Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENANGANAN PERTAMA PADA GIGITAN ULAR BERBISA

Untuk memenuhi tugas keperawatan gawat darurat dan manajemen bencana


Dosen pengampu Widjijati MN

Disusun Oleh :

ITA DWI RETNO ALAWIYAH

(P1337420218089)

3A

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Purwokerto, 30 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Patofisiologi Gigit Ular Berbisa............................................................................3
B. Tanda dan Gejala Gigitan Ular Berbisa.................................................................4
C. Pengetahuan Masyarakat dan Perawat Tentang Gigitan Ular................................5
D. Penatalaksanaan Pada Gigitan Ular...................................................................... 6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................................9
B. Saran ....................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gigitan ular merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dan harus dilihat
apakah ular yang menggigit berbisa atau tidak. Komposisi bisa ular 90% adalah
protein, setiap bisa ular dapat mengandung lebih dari 100 protein yang berbeda.
Selain protein, komponen lain yang dapat ditemukan dalam bisa ular adalah lemak,
polisakarida, riboflavin, histamin dan serotonin. Dalam kasus berat, akan luka
gigitan akan berkembang menjadi bula dan jaringan nekrotik, serta muncul gejala
sistemik berupa mual, muntah dan kelemahan otot atau kejang. (WHO, 2016).
Saat ada yang tergigit ular masyarakat cenderung melakukan pertolongan
pertama menggunakan cara tradisional seperti menghisap luka, membakar luka,
memberi obat-obat tradisional, ataupun membuat luka baru, mengikat luka gigitan
ular dengan tali dengan kuat. Secara teori, semua hal yang secara tradisional
dilakukan oleh masyarakat akan memberikan dampak buruk pada kondisi luka
(Avau, Borra, Vandekerckhove, dan De Buck; WHO, 2016; 2016). Sedangkan
pengetahuan perawat tentang penanganan gigitan ular berbisa dipengaruhi dari
tingkat pendidikan, lama berkerja, usia dan pelatihan-pelatihan yang sudah pernah di
ikuti.
Pada saat ada yang tergigit ular ada dua cara dalam melakukan
penatalaksanaannya. Pertama penatalaksanaan di lapangan yaitu minta korban dan
orang orang di sekitarnya untuk menjauhi ular, Tenangkan korban dan batasi
gerakan, Cuci area yang tergigit secara lembut dengan sabun dan air, Berikan
tekanan ringan dengan melilitkan perban elastik di atas tempat gigitan dan di seluruh
panjang lengan atau tungkai, Cari pertolongan medis dengan segera. Yang kedua
penatalaksanaan di rumah sakit yaitu lakukan monitoring keadaan pasien, dan
berikan obat anti biasa.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam  makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Mempelajari patofisiologi akibat gigitan ular berbisa.
2. Menjelaskan tanda-tanda dan gejala gigitan ular berbisa.
3. Menjelaskan tentang pengetahuan masyarakat dan perawat tentang penanganan
gigitan ular berbisa.
4. Menjelaskan cara penatalaksanaan untuk mengatasi gigitan ular berbisa.

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Bagaimana patofisiologi akibat gigitan ular berbisa?
2. Apakah tanda-tanda dan gejala gigitan ular berbisa?
3. Bagaimana pengetahuan masyarakat dan perawat tentang penanganan gigitan
ular berbisa?
4. Bagaimana penatalaksanaan pada gigitan ular berbisa?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Gigit Ular Berbisa


Pada orang yang digigit ular, perlu dilakukan pemeriksaan apakah ular yang
menggigit anak tersebut berbisa atau tidak (Anik Muryani, 2010). Komposisi bisa
ular 90% adalah protein, setiap bisa ular dapat mengandung lebih dari 100 protein
yang berbeda: enzim (80-90% pada viperidae dan 25-70% pada elapidae),
polipeptida toksin non-enzim dan protein non-toksin seperti nerve growth factor.
Bisa ular mengandung enzim hidrolase, hialuronidase dan aktivator maupun
penghambat proses fisiologis seperti kiniogenase. Kebanyakan venom
mengandunglamino acid oxidase, phosphomono- dan diesterases, 5’-nucleotidase,
DNAase, NAD-nucleosidase, phospholipase A2 and peptidases. Selain protein,
komponen lain yang dapat ditemukan dalam bisa ular adalah lemak, polisakarida,
riboflavin, histamin dan serotonin.
1. Zinc Metalloproteinase Haemorrhagins: memiliki efek menghancurkan endotel
vaskular, menyebabkan perdarahan.
2. Enzim prokoagulan: Bisa ular Vipiridae dan beberapa Elapidae dan Clubridae
memiliki protease serin dan enzim prokoagulan lain yang memiliki struktur seperti
trombin yang mengaktivasi faktor X, protrombin dan faktor pembekuan lain.
3. Phospolipase A2 (lechitinase): Enzim ini menghancurkan mitokondria, sel darah
merah, leukosit, trombosit, akhiran serabut saraf, otot lurik, endotel vaskular dan
membran lain. Enzim ini menghasilkan aktivitas neurotoksin presinaptik, efek
sedasi seperti opiat yang akan menyebabkan pelepasan histamin dan zat
antikoagulan.
4. Asetilkolinesterase: ditemukan pada bisa Elapidae, enzim ini tidak memberikan
efek neurotoksitas.
5. Hialuronidase: memberikan efek penyebaran bisa pada jaringan. Enzim
proteolitik (metaloproteinase, endopeptidase atau hidrolase) dan sitotoksin

3
polipeptida (kardiotoksin) yang akan meningkatkan permeabilitas vaskular yang
berakibat edema, pembentukan bula dan nekrosis tempat gigitan.
Bisa ular juga mengandung neurotoksik yaitu Post sinaps; α-bungarotoksin dan
cobrotoksin, yang terdiri dari 60-74 asam amino, toksin ini terikat ke reseptor
asetilkolin pada motor end plate dan Presinaptik; βbungarotoksin, crotoksin dan
taipoksin, mengandung 120-140 asam amino dan subunit fosfolipase A. Toksin ini
mengeluarkan asetilkolin pada akhiran syaraf pada neuromuscular junction dan
merusak akhiran saraf dan mencegah pengeluaran neurotransmitter berikutnya.

B. Tanda dan Gejala Gigitan Ular Berbisa


Lokasi sakit bukanlah gambaran umum, dalam kasus berat akan luka gigitan
akan berkembang menjadi bula dan jaringan nekrotik, serta muncul gejala sistemik
berupa mual, muntah dan kelemahan otot atau kejang. (WHO, 2016) Tanda- tanda
dan gejala gigitan ular yaitu bekas taring, laserasi, Bengkak dan kemerahan, kadang
–kadang bulae/ vasikular, sakit kepala, mual muntah, rasa sakit pada otot- otot ,
dinding perut, demam, keringat dingin. Untuk bisa ular neurotoksik maka akan
menyebabkan kelumpuhan otot pernafasan, kardiovaskuler terganggu, kesadaran
menurun bias sampai koma. Untuk bisa ular haemolitik maka akan menyebabkan
Luka bekas patukan yang terus berdarah, haematoma pada tiap suntikan IM,
hematuria , haemoptisis/ atau haematimisi, kegagalan ginjal (HTN), biasanya ular
ini hidup di dalam lubang , nyeri terbakar hebat, Satu atau dua luka tusuk kecil
berjarak sekitar satu cm , bengkak, lepuh berisi darah dan berubah warna
kemungkinan terjadi beberapa jam setelah gigitan, mual muntah, berkeringat dan
lemah.
Gejala umum meliputi syok, muntah dan sakit kepala. Periksa jejas gigitan untuk
melihat adanya nekrosis lokal, perdarahan atau pembesaran kelenjar limfe setempat
yang lunak. Tanda spesifik bergantung pada jenis racun dan reaksinya, meliputi:
1. Syok
2. Pembengkakan lokal yang perlahan meluas dari tempat gigitan
3. Perdarahan: eksternal: gusi, luka; internal: intrakranial

4
4. Tanda neurotoksisitas: kesulitan bernapas atau paralisis otot pernapasan,
ptosis, palsi bulbar (kesulitan menelan dan berbicara), kelemahan
ekstremitas
5. Tanda kerusakan otot: nyeri otot dan urin menghitam.

C. Pengetahuan Masyarakat dan Perawat Tentang Gigitan Ular


Masyarakat cenderung melakukan pertolongan pertama menggunakan cara
tradisional seperti menghisap luka, membakar luka, memberi obat-obat tradisional,
ataupun membuat luka baru, mengikat luka gigitan ular dengan tali dengan kuat.
Secara teori, semua hal yang secara tradisional dilakukan oleh masyarakat akan
memberikan dampak buruk pada kondisi luka (Avau, Borra, Vandekerckhove, dan
De Buck; WHO, 2016; 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Suryati dkk (2018)
dalam penelitianya tentang hubungan antara pengetahuan masyarakat terhadap
sikap dalam pertolongan pertama gigitan binatang menyebutkan bahwa 33%
respondennya memiliki pengetahuan buruk dan 12% dengan pengetahuan cukup
baik dalam penanganan awal gigitan ular. Penelitian menunjukkan tindakan
mengikat luka pasca gigitan ular (tourniquet) dapat meningkatkan insiden
pembengkakan lokal yang signifikan pada korban (Avau, Borra, Vandekerckhove,
dan De Buck , 2016). Insisi yang diberikan pada luka dapat meningkatkan nyeri dan
tingkat pembengkakan pada luka gigitan ular. Insisi pada daerah luka dapat
merusak urat saraf dan pembuluh darah. Insisi dapat meningkatkan paparan
mikroorganisme luar pada area luka (WHO, 2016). Masyarakat juga jarang
mengetahui jenis ular atau tingkat bahaya dari ular yang menggigitnya. Tidak
semua masyarakat juga memahami ciri-ciri ular berbisa dan tidak. Ciri-ciri ular
berbisa yaitu, bentuk kepala segitiga atu elips, terdapat dua gigi taring besar di
rahang atas dan bekas gigitan terdiri dari dua titik. Sedangkan ciri-ciri ular tidak
berbisa adalah bentuk kepada segi empat atau bulat, gigi taring kecil dan bekas
gigitan lengkung seperti huruf “U” (Luman dan Endang, 2016)
Pengetahuan perawat tentang penangann gigitan ular berbisa dipengaruhi dari
tingkat pendidikan, lama berkerja, usia dan pelatihan-pelatihan yang sudah pernah
di ikuti. Pengetahuan yang cukup juga dapat dilihat dari jumlah perhitungan nilai

5
rata-rata per klasifikasi pernyataan pada kuesioner saat pelatihan. Masih banyak
perawat yang membenarkan cara-cara pertolongan pertama yang dulu memang
diperbolehkan akan tetapi untuk sekarang cara-cara itu tidak di anjurkan untuk
pertolongan pertama karena itu dapat menimbulkan efek yang membahayakan
korban bahkan penolong itu sendiri. Tapi banyak juga perawat yang mengetahui
cara-cara yang lebih tepat dan dianjurkan untuk menangani gigitan ular.
Pengetahuan yang cukup ini juga dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti usia.
Semakin bertambahnya usia akan semakin bertambah pula daya tangkap dan pola
pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin bagus. Pengalaman
bekerja juga sangat berpengaruh pada pengetahuan perawat bahwa masa kerja yang
lama yang lebih dari lima tahun akan memungkinkan memiliki kemampuan yang
baik dan pengetahuan yang baik pula. Pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap
tingkat pengetahuan, selain usia dan pengalaman kerja. Notoadmodjo (2010)
berpendapat bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
memungkinkan terjadinya pengetahuan. Data yang diperoleh dari penelitian
(Ningrum, dkk) responden yang mengikuti pelatihan gigitan ular hanya 7 responden
dari 30 responden yang diteliti. Padahal pelatihan yang baik juga dapat
meningkatkan pengetahuan perawat atas budaya dan para pesaing luar, membantu
perawat yang mempunyai keahlian untuk bekerja dengan teknologi baru, membantu
perawat untuk memahami bagaimana bekerja secara baik dan efektif (Noe, R.A, et
al., 2010).

D. Penatalaksanaan Pada Gigitan Ular


1. Penatalaksanaan di lapangan
Secara umum : ketahui dahulu ular yang menggigit berbisa atau tidak kemudian
lakukan pertolongan yang sesuai yaitu:
a. Jenis gigitan ular berbisa : Minta korban dan orang orang di sekitarnya untuk
menjauhi ular, Tenangkan korban dan batasi gerakan, Cuci area yang tergigit
secara lembut dengan sabun dan air, Berikan tekanan ringan dengan
melilitkan perban elastik di atas tempat gigitan dan di seluruh panjang lengan
atau tungkai, Cari pertolongan medis dengan segera.

6
b. Jenis gigitan ular tidak berbisa : Minta korban dan orang orang di sekitarnaya
menjauhi ular, Cuci area yang tergigit secara lembut dengan sabun dan
air.Jika lukanya kecil, oleskan salep antibiotik dan tutupi lukanya.Cari
pertolongan medis, ( Thygerson,2010)
Penatalaksanaan dilapangan menurut Harrison tahun 2013 : Bawa korban
ketempat perawatan yang memadai sesegera mungkin, Jaga agar korban tidak
bergerak untuk meminimalisir penyebaran bisa secara sitemik, Pasang belat pada
ekstremitas yang tergigit, dan dijaga ekstremitas itu dalam posisis setinggi
jantung, Lalu lakukan imobilisasi dengan tekanan ( pembebatan seluruh
ekstremitas dengan perban dengan tekanan 40-70 mmHg dan pemasangan belat)
dapat dilakukan bisa itu terutama bersifat neurotoksid tanpa adanya pengaruh
lokal pada jaringan, jika penyelamat terampil melakukan teknik ini dan jika
korban dapat dibawa ketempat, perawatan kesehatan. Hindari menyayat kedalam
luka gigitan, dinginkan, mengkonsumsi minuman berakohol oleh korban, dan
kejut listrik. Pertolongan pertama yang terbaik adalah : melakukan dengan benar
(RIGHT) =Reassure (tenangkan) korban, imobilisasi ekstremitas, ggettodhe
hospital (=bawa kerumah sakit), berikan keterangan kepada dokter tentang tanda
dan gejala yang timbul.
2. Penatalaksanaan di rumah sakit
a. Monitor tanda vital, irama jantung,saturasi o2 secara ketat, dan awasi adanya
tanda-tanda kesulitan menelan atau insuvisiensi pernafasan.
b. Perhatian tingkat eritema dan pembengkakan dan lingkar ekstremitas setiap
15 menit sampai pembengkakan telah stabil.
c. Mula-mula obati syok dengan resusitasi cairan kristaloid menggunakan cairan
isotonis. Jika hipotensi masih menetap, coba berikan albumin 5% dan
fasofresor.
d. Mulailah pencarian anti bisa ular spesifik yang sesuai, untuk semua kasus
gigitan ular berbisa yang diketahui jenisnya. Di amerika serikat, tersedia
bantuan 24 jam dari pusat pengendalian racun regional.

7
e. Adanya bukti keracunan bisa ular secara sistematik ( gejala sistemik
adnormalitas laboratorium) dan (kemungkinan) tanda lokal progresif yang
signifikan adalah indikasi untuk pemberian bisa ular.
f. Pemberian anti bisa ular sebaiknya dilanjutkan sampai korban
memperlihatkan perbaikan yang pasti. Tetapi neurotoksisitas akibat gigitan
seekor ular (misalnya kobra) lebih sulit disembuhkan dengan menggunakan
anti bisa ular. Diperlukan intubasi, pemberian lebih banyak anti bisa ular
biasanya tidak dapat membantu.
g. Crofab, yaitu antibisa ular yang digunakan di amerika serikat untuk spesies
pit viver (ular ekor mira atau ular bangkai laut) berbisa di amerika utara,
mempunyai resiko yang cukup rendah umtuk menimbulkan alergi.
h. Jika terdapat resiko alergi yang sinifikan, pasien sebaiknya diberikan terapi
antihistamin IV (misalnya difenhidramin, 1 mg/kg sampai dosis maksimal
sebesar 100 mg; ditambah dengan simetidin,5-10 mg/kg sampai dosis
maksimal sebesar 300 mg) dan diberikan cairan kristaloid IV untuk
mengembangkan volume intravaskular.
i. Penhambat asetilkolinesterase mungkin menyebabkan perbaikan neurorogis
pada penderita yang digigit ular yang mengandung neurotoksin pasca sinaps.
Setelah dilakukan pemberian anti bisa ular naikan ekstremitas yang tergigit.
Perbarui imunisasi tetanus, Observasi apakah ada sindroma kompartemen-
otot. observasi pasien yang memperlihatkan tanda keracunan. (Harrison,2013)

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bias ular mengandung 90% protein dan komponen lain yang dapat ditemukan
adalah lemak, polisakarida, riboflavin, histamin dan serotonin. Orang yang digigit
ular akan muncul bekas taring, laserasi, Bengkak dan kemerahan, kadang –kadang
bulae/ vasikular, sakit kepala, mual muntah, rasa sakit pada otot- otot , dinding perut,
demam, keringat dingin. Cara manusia dan perawat dalam menanganinya ada yang
sudah mengerti da nada yang belum memahami cara yang benar dalam
mengatasinya. Pelaksanaannya dengan mengurangi shok pasien, membatasi gerak
pasien pada bagian gigitan, cuci area yang tergigit secara lembut dengan sabun dan
air, Berikan tekanan ringan dengan melilitkan perban elastik di atas tempat gigitan
dan di seluruh panjang lengan atau tungkai, cari pertolongan medis dengan segera
lakukan monitoring keadaan pasien, dan berikan obat anti bias di rumah sakit

B. Saran
Semoga dalam penulisan masalah ini dapat berguna bagi penulis khususnya,
bagi pembaca mungkin dalam penyusunan makalah ini penulis masih banyak
kekurangan karena keterbatasan ruang lingkup, waktu, situasi, kondisi dan ilmu
yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan penulis makalah ini di masa yang akan datang, jadi
setiap manusia hendaknya bersyukur atas segala rahmat Allah SWT. Makalah ini
dibuat agar para pembaca lebih aktif dan lebih memahami tentang cara menangani
gigitan ular berbisa.

9
DAFTAR PUSTAKA

Afni, A. C. N., & Sani, F. N. (2020). Pertolongan Pertama dan Penilaian Keparahan
Envenomasi Pada Pasien Gigitan Ular. Jurnal Kesehatan Kusuma Husad, 91-98.

World Health Organization (2016). Guidlinelines For The Management Of Snakebites.


World Health Organization: Region Office for South East Asia.

Putra , Putu Agus (2016) tatalaksana gigitan ular yang disertai sindrom kompartemen
di ruang terapi intensif . Jurnal Keperawatan.

Medikanto, A. R., Silalahi, L. M. M. V., & Srie, C. T. (2017). Viperidae Snake Bite:
Kasus Serial. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana , 02, p.2460-9684.

Kelly, J., Weber, M., English, M., & Campbell, H. (2016). Buku Saku Pelayanan


Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Hospital Care For Children.

Suryati, Ida, Yuliano, Aldo, & Bundo, Puti (2018). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan
Sikap Masyarakat Dengan Penanganan Awal Gigitan Binatang. Prosiding Seminar
Kesehatan Perintis. 01, p.2622-2256

10

Anda mungkin juga menyukai