Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

Disusun oleh :
Hanna Kalita Mahandhani G4A017077

SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

DEMENSIA PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo

Oleh:
Hanna Kalita Mahandhani G4A017077

Disetujui
Pada tanggal, Agustus 2019
Penguji

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

2
I. PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya jumlah lansia di Indonesia maka akan


semakin meningkat pula permasalahan akibat proses penuaan. Otak adalah
suatu organ kompleks, pusat pengaturan sistem tubuh dan pusat kognitif yang
rentan terhadap proses penuaan atau degeneratif. Berbagai penyakit
degeneratif otak diantaranya adalah demensia alzheimer, demensia vaskular,
dan parkinson. Permasalahan lanjutan sering terjadi saat otak mulai menua,
risiko jatuh akan meningkat dan mengakibatkan cedera hingga keterbatasan
gerak pada lansia (Kemenkes RI, 2013).
Indonesia termasuk dalam salah satu dari lima negara dengan jumlah
lansia terbanyak di dunia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2010
jumlah lansia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa, pada tahun 2014 jumlah
penduduk lansia di Indonesia mencapai 18,781 juta jiwa dan diperkirakan
pada tahun 2025 jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 36 juta jiwa
(Kemenkes RI, 2015). Konsensus Delphi memperkirakan jumlah orang
dengan demensia di Asia Tenggara akan meningkat dari 2,48 juta di tahun
2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030. Data dari BAPPENAS tahun 2013
angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1
tahun pada periode 2010-2015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035.
WHO mencatat 47,5 juta orang di dunia mengalami demensia dan
diperkirakan meningkat menjadi 75,6 juta orang di tahun 2030. Kasus baru
demensia terjadi setiap empat detik dan setiap tahun kejadian demensia
terjadi sebanyak 7,7 juta kasus baru. Indonesia memiliki angka prevalensi
penderita demensia mencapai 606. 100 penderita pada tahun 2005, dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 1.016.800 pada tahun 2020 dan 3.042.
000 pada tahun 2050 (Sari et al., 2018).

II. TINJAUAN PUSTAKA


3
A. Gambaran Klinis Umum Demensia
Demensia adalah sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding
sebelumnya yang cukup berat sehingga mengganggu aktivitas sosial dan
profesional yang tercermin dalam aktivitas hidup keseharian, biasanya
ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan oleh delirium
maupun gangguan psikiatri mayor (PPK Demensia, 2015). Sedangkan
pengertian demensia menurut WHO (2016) adalah sindrom terjadinya
penurunan memori, berpikir, perilaku, dan kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari pada individu.
Diagnosis klinis demensia ditegakkan berdasarkan riwayat neurobehavior,
pemeriksaan fisik neurologis dan pola gangguan kognisi. Pemeriksaan
biomarka spesifik dari liquor cerebrospinalis untuk penyakit neurodegeneratif
hanya untuk penelitian dan belum disarankan dipakai secara umum di praktik
klinik. Keluhan non kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok
behavioral neuropsychological symptomps of dementia (BPSD), Komponen
perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif, dan non-agresif seperti wandering,
dishibisi, sundowning syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah
depresi, gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi.
Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel, dan gangguan gerak
lainnya dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus (PPK
Demensia, 2015).

B. Faktor Risiko Demensia


1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi (PPK Demensia, 2015).
a) Usia
Risiko terjadinya penyakit Alzheimer meningkat secara nyata
dengan meningkatnya usia, meningkat dua kali lipat setiap 5
tahun pada individu diatas 65 tahun dan 50% individu diatas 85
tahun mengalami demensia. Studi populasi menunjukkan usia

4
diatas 65 tahun risiko untuk semua demensia adalah OR= 1,1 dan
untuk penyakit Alzheimer OR= 1,2.
b) Jenis Kelamin
Beberapa studi prevalensi menunjukkan bahwa penyakit
Alzheimer lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Sedangkan
kejadian Demensia Vaskular lebih tinggi pada pria.
c) Riwayat Keluarga
Penyakit Alzheimer Awitan Dini (Early Onset Alzheimer
Disease/EOAD) terjadi sebelum usia 60 tahun, sekitar 13 % dari
EOAD ini memperlihatkan transmisi otosominal dominan. Tiga
mutasi gen yang teridentifikasi untuk kelompok ini adalah
amiloid beta protein precursor pada kromosom 21 ditemukan 10-
15% kasus, pada kromosom 14 ditemukan 30-70% kasus.

2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi


a) Kardiovaskuler
b) Gaya Hidup
Gaya hidup sehat meliputi olah raga teratur, tidak merokok, tidak
mengkonsumsi alkohol, konsumsi banyak buah, sayur, kacang-
kacangan, minyak zaitun.
C. Penyakit Alzheimer
1. Definisi
Penyakit neurodegenaratif yang sering ditemukan dengan
karakteristik klinis berupa penurunan progresif memori episodik
dan fungsi kortikal lain (PPK Demensia, 2015).
2. Epidemiologi
Konsensus Delphi memperkirakan jumlah orang dengan
demensia di Asia Tenggara akan meningkat dari 2,48 juta di tahun
2010 menjadi 5,3 juta pada tahun 2030. Data dari BAPPENAS
tahun 2013 angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki dan
perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 2010-2015 menjadi
72,2 tahun pada periode 2030-2035. WHO mencatat 47,5 juta
5
orang di dunia mengalami demensia dan diperkirakan meningkat
menjadi 75,6 juta orang di tahun 2030. Kasus baru demensia terjadi
setiap empat detik dan setiap tahun kejadian demensia terjadi
sebanyak 7,7 juta kasus baru. Indonesia memiliki angka prevalensi
penderita demensia mencapai 606. 100 penderita pada tahun 2005,
dan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.016.800 pada tahun
2020 dan 3.042. 000 pada tahun 2050 (Sari et al., 2018).
Alzheimer merupakan penyakit dengan prevalensi tinggi
pada usia lanjut. Asosiasi Alzheimer melaporkan terdapat 13% dari
populasi usia lanjut yang terkena penyakit Alzheimer di negara
berkembang (Sultan et al., 2018) WHO memperkirakan pada
dekade selanjutnya angka terjadinya Alzheimer dapat mencapai
114 juta di tahun 2050 (Folch et al., 2016).

3. Etiologi
Penyebab penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti.
Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa sebanyak 40% pasien
mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer
sehingga faktor genetik dianggap berperan dalam penyakit ini
(Kaplan et Sadock, 2010).
Berdasarkan hasil riset, penyakit alzheimer menunjukan
adanya hubungan antara kelainan neurotransmitter dan enzim-
enzim yang memetabolisme neurotransmitter tersebut. Dasar
kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari degenerasi
neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang
mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya
ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau
asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron.
Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang
diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau
terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik (Sultan et
al., 2018).
6
4. Patofisiologi
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak
dengan Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus
kortikal dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis
patognomonis Alzheimer adalah bercak senilis (amyloid plaques),
kekusutan neurofibriler (neurofibrilary tangles), hilangnya
neuronal, dan degenerasi granulovaskuler pada neuron. Neuron
yang banyak berkurang pada Alzheimer terutama neuron
kolinergik. Kerusakan saraf paling banyak terjadi pada daerah
limbik dan korteks otak sehingga mengakibatkan gangguan emosi
dan memori (Kaplan et Sadock, 2010).
Kelainan neurotransmiter juga menjadi salah satu faktor
yang berperan dalam patogenesis dan patofisiologi penyakit
Alzheimer. Neurotransmiter yang paling berperan adalah
asetilkolin dan norepinefrin. Apabila terdapat penurunan aktivitas
pada kedua neurotransmiter utama tersebut maka dapat
menyebabkan penyakit ini. Data lain yang mendukung patogenesis
penyakit ini adalah penurunan konsentrasi enzim
asetilkolinesterase di dalam otak. Kolin asetiltransferase adalah
enzim kunci untuk sintesis asetilkolin. Penurunan epinefrin pada
penyakit Alzheimer diperkirakan karena adanya penurunan neuron
yang mengandung norepinefrin di dalam lokus sereleus. Dua
neurotransmiter lainnya yang berperan adalah somatostastin dan
kortikotropin (Kaplan et Sadock, 2010).
Teori lain yang mendukung kausatif dari penyakit
Alzheimer adalah adanya kelainan pengaturan metabolisme
fosfolipid membran yang menyebabkan membran kekurangan
cairan sehingga menjadi lebih kaku (Kaplan et Sadock, 2010).

7
5. Gambaran Klinis

Gejala penyakit Alzheimer bervariasi antara individu.


Gejala awal yang paling umum adalah kemampuan mengingat
informasi baru secara bertahap memburuk. Berikut ini adalah
gejala umum dari Alzheimer (Alzheimer Assosiation, 2015) :

a) Hilangnya ingatan yang mengganggu kehidupan sehari-hari.


b) Sulit dalam memecahkan masalah sederhana.
c) Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas yang akrab di rumah,
di tempat kerja atau di waktu luang.

d) Kebingungan dengan waktu atau tempat.


e) Masalah pemahaman gambar visual dan hubungan spasial.
f) Masalah baru dengan kata-kata dalam berbicara atau menulis.
g) Lupa tempat menyimpan hal-hal dan kehilangan kemampuan
untuk menelusuri kembali langkah-langkah.

h) Penurunan atau penilaian buruk.


i) Penarikan dari pekerjaan atau kegiatan sosial.
j) Perubahan suasana hati dan kepribadian, termasuk apatis dan
depresi.
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat
perlahan - lahan, sehingga pasien dan keluarganya tidak
mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat
beberapa stadium perkembangan penyakit alzheimer beerdasarkan
National Institute of Aging and Alzheimer’s Asscociation (NIA-
AA), yaitu:

 Stadium I (Preclinical Stage) (Sperling et al., 2011; Rygiel,


2016)
 Lama penyakit 10-20 tahun) sebelum timbul manifestasi
klinis.

8
 Asimptomatik dengan PET menunjukkan cerebral
amylodosis.

 Stadium II (Mild Cognitive impairment due to


Alzheimer) (Sultan et al., 2018)
 Terdapat gambaran pada stadium sebelumnya ditambah
dengan adanya neurodegenerasi yang ditandai dengan
peningkatan CSF tau.
 MRI : abnormal volumetric, Cortical thinning,
Hippocampal atrophy
 FDG-PET: penurunan metabolisme glukosa
 Terdapat biomarker postif yang menunjukkan akumulasi
amiloid.
Tabel 2.1 Biomarker Akumulasi Amiloid (Stahl, 2013)

 Gejala klinis yang muncul : Kesulitan dalam mengingat


nama, kata yang sulit, sulit konsentrasi.

 Stadium III (Dementia due to Alzheimer) (Sultan et al.,


2018)
 Gambaran pada semua stadium
 Terdapat penurunan kognitif, gejala behavioral yang
mengganggu fungsi sosial

9
Gambar 2.1 Stadium Alzheimer (Sultan et al., 2018)

10
Gambar 2.2 Gambaran Otak dengan Alzheimer (Kapita Selekta,
2000).

6. Diagnosis
Tabel 2.1 Kriteria diagnostik Demensia Tipe Alzheimer menurut
DSM IV

A. Perkembangan defisit kognitif multipel Kode didasarkan pada tipe onset


yang diamnifestasikan oleh : dan ciri yang menonjol :
1) Gangguan daya ingat Dengan onset dini: jika onset
(gangguan kemampuan untuk pada usia < 65 tahun
Dengan delirium : jika delirium
mengingat informasi yang telah
menumpang pada demensia
dipelajari sebleumnya) Dengan waham: jika waham
2) Satu atau lebih gangguan merupakan ciri yang menonjol
kognitif berikut : Dengan mood terdepresif: jika
a) Afasia (gangguan bahasa) mood terdepresi (termasuk
b) Apraksia ( gangguan gambaran yang memenuhi
kemampuan untuk kriteriagejala lengkap untuk
melakukan motorik episodedepresi berat) adalah ciri
walaupun fungsi motorik yang menonjol. Suatu diagnosis
utuh) terpisah gangguan mood karena
c) Agnosia ( kegagalan kondisi medis umum tidak
diberikan.
untuk mengenali atau
Tanpa penyulit: jika tidak ada
mengidentifikasi benda satupun diatas yang menonjol
walaupun fungsi pada gambaran klinis sekarang
sensoriknya utuh) Dengan onset lanjut: jika onset
d) Gangguan dalam fungsi > 65 tahun
eksekutif yaitu: Sebutkan jika:
merencanakan, Dengan gangguan perilaku
mengorganisasi, Catatan penulisan: juga tuliskan
Alzheimer pada Aksis III
mengurutkan)
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan
A2 masing-masing menyebabkan
gangguan yang bermakna dalam
fungsi sosial atau pekerjaan dan
menunjukkan suatu penurunan
bermakna dari tingkat sebelumnya
C. Perjalanan penyakit ditandai onset
yang bertahap dan penurunan kognitif
yang terus menerus
D. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan
A2 bukan karena salah satu berikut :

11
1) Kondisi sistem saraf pusat lain
yang menyebabkan defisit
progresif dalam daya ingat, dan
kognisi (misalnya: penyakit
serebrovaskuler, hematoma
subdural, hidrosefalus tekanan
normal, tumor otak)
2) Kondisi sistemik yang
diketahui menyebabkan
demensia (misalnya:
hipotiroidisme, defisiensi Vit
B12 atau asam folat, defisiensi
niasin, hiperkalsemia,
neurosifilis, infeksi HIV)
3) Kondisi akibat zat
E. Defisit tidak terjadi semata-mata
selama perjalanan suatu delirium
F. Gangguan tidak lebih baik diterangan
oleh gangguan Aksis I lainnya
(misalnya: gangguan depresif berat,
skizofrenia)

Kriteria diagnosis Alzheimer menurut DSM V adalah sebagai


berikut :

A. The criteria are met for major or mild neurocognitive disorder


B. There is insidious onset and gradual progression of impairment
in one or more cognitive domains (for neurocognitive disorder,
at least two domains must be impaired)
C. Criteria are met for either probable or possible Alzheimer’s
disease as follows :
For major neurocognitive disorder :
Probable Alzheimer’s disease is diagnosed if either of the
following is present: otherwise, posibble Alzheimer’s disease
should be diagnosed.
1. Evidence of a causative Alzheimer’s disease genetic mutation
from family history or genetic testing
2. All three the following are present :

12
a) Clear evidence of decline in memory and learning and at least
one other cognitive domain (based on detailed history or serial
neurophysiological testing)
b) Steadily progressive, gradual decline in cognition, without
plateaus.
c) No evidence of mixed etiology (absence of other
neurodegenerative or cerebrovascular disease or another
neurological mental)

Konsensus untuk penegakkan diagnosis Alzheimer yang


diterbitkan oleh the National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the
Alzheimer’s Disease and Related Disorders Association (ADRDA)
adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup:


- Demensia yang tidtegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan
pemeriksaan the mini-mental test,Blessed Dementia Scale,atau
pemeriksaan sejenis,dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis
- Defisit pada dua atau lebih area kognitif
- Tidak ada gangguan kesadaran
- Awitan antara umur 40 dan 90,umunya setelah umur 65 tahun
- Tidak adanya kelinan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat
menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif
Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh:
- Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia,apraksia,dan
agnosia
- Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku
- Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama,terutama bila sudah
dikonfirmasi secara neuropatologi
- Hasil laboratorium yang menunjukkan
- Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar
Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG,seperti
peningkatan atktivitas slow-wave
- Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan
terdokumentasi oleh pemeriksaan serial
Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit

13
Alzheimer,setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit
Alzheimer:
- Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)
- Gejala-gejala yang berhubungan seperti
depresi,insomnia,inkontinensia,delusi, halusinasi,verbal
katastrofik,emosional,gangguan seksual,dan penurunan berat badan
- Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien,terutama pada penyakit
tahap lanjut,seperti peningkatan tonus otot,mioklunus,dan gangguan
melangkah
- Kejang pada penyakit yang lanjut
- Pemeriksaan CT normal untuk usianya
Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi
tidak cocok adalah:
- Onset yang mendadak dan apolectic
- Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,gangguan
sensorik,defisit lapang pandang,dan inkoordinasi pada tahap awal
penyakit;dan kehang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau
tahap awal perjalanan penyakit
Diagnosis possible penyakit Alzheimer:
- Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia,tanpa adanya gangguan
neurologis psikiatrik,atau sistemik alin yang dapat menyebabkan
demensia,dan adandya variasi pada awitan,gejala klinis,atau perjalanan
penyakit
- Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang
cukup untuk menyebabkan demensia,namun penyebab primernya bukan
merupakan penyabab demensia
Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah:
- Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer
- Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau atutopsi
Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila
terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit
Alzheimer,seperti:
- Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
- Awitan sebelum usia 65 tahun
- Adanya trisomi-21
- Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit
Parkinson

a. Anamnesis
14
Anamnesis harus terfokus pada awitan (onset),
lamanya,dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi
kognitif yang terjadi. Seorang usia lanjut dengan kehilangan
memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun
kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 75%
pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala
memori,tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan
mengurus keuangan, berbelanja,mengikuti
perintah,menemukan kata,atau mengemudi. Perubahan
kepribadian,disinhibisi,peningkatan berat badan atau obsesi
terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal
dementia (FTD),bukan penyakit Alzheimer. Pada pasien
yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit
ditentukan apakah demensia yang terjadi adalah penyakit
Alzheimer,demensia multi-infark,atau campuran keduanya
(PPK Demensia, 2015).
Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab
demensia,makan anamnesis harus diarahkan pula pada
berbagai fator risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi
susunan saraf pusat akibat sifilis,konsumsi alkohol
berlebihan,intoksikasi bahan kimia pada pekerja
pabrik,serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif
dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu
menjadi bagian dari evaluasi,mengingat bahwa pada
penyakit Alzheimer terdapat kecenderungan familial (PPK
Demensia, 2015).

b. Pemeriksaan Fisik dan Neurologis


Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan
gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut.
Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis,
parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik
15
lain umumnya timbul pada FTD, Demensia dengan Lewy
Body (DLB), atau demensia multi-infark (PPK Demensia,
2015).

c. Pemeriksaan Kognitif dan Neuropsikiatrik


Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi
dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini
mental status examination (MMSE), yang dapat pula
digunakan untuk memantau perjalanan penyakit.
Penggunaan MMSE berfungsi untuk membagi penyakit
Alzheimer menjadi: ringan, sedang, dan berat. Pembagian
tersebut berdasarkan skor yang didaptkan, apabila skor 21-
26 dikategorikan ringan, 10-20 dikategorikan moderate, 10-
14 dikategorikan moderate severe, dan kurang dari 10
tergolong severe (PPK Demensia, 2015).
Penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori
episodik, category generation (menyebutkan sebanyak-
banyaknya binatang dalam satu menit), dan kemampuan
visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan
memori episodik visual sering merupakan abnormalitas
neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit
Alzheimer,dan tugas yang membutuhkan pasien untuk
menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah
jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian
pasien penyakit Alzheimer (PPK Demensia, 2015).
Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan.
Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap
memori pasien,hubungan di komunitas,hobi,penilaian,
berpakaian,dan makan. Pengetahuan mengenai status
fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga (PPK Demensia, 2015).
d. Pemeriksaan Penunjang
16
1) Neuropatologi
Hasil yang akan didapatkan pada penyakit ini
adalah gambaran (Kaplan et Sadock, 2010) :
 Lewy body
 Neurofibrillary tangles (NFT)
 Senile plaque
 Degenerasi neuron
 Perubahan vakuoler
2) CT Scan dan MRI
Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan
kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya
selain Alzheimer seperti multiinfark dan tumor
serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran
ventrikel keduanya merupakan gambaran marker
dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini.
Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia
lainnya seperti multiinfark, Alzheimer, binswanger
sehingga kita sukar untuk membedakan dengan
penyakit Alzheimer (Kaplan et Sadock, 2010).

Gambar 2.3 Brain Scan Alzheimer (Cummings, 2004)

Penipisan substansia alba serebri dan


pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya
gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini
mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas
pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping

17
anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini
merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain
didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi
juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya
atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran
sisterna basalis dan fissura sylvii (Kaplan et Sadock,
2010).
Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif
untuk membedakan demensia dari penyakit
alzheimer dengan penyebab lain, dengan
memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus
(Kapita Selekta, 2000).
3) Laboratorium Darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang


spesifik pada penderita alzheimer. Pemeriksaan
laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan
penyebab penyakit demensia lainnya seperti
pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor,
BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat,
serologi sifilis, skrining antibody yang dilakukan
secara selektif (Kaplan et Sadock, 2010).
4) SPECT (Single Photon Emission Computered
Tomography)
Pemeriksaan ini digunkan untuk mendeteksi
pola metabolisme otak dalam berbagai jenis
demensia. (Sultan et al., 2018)

5) EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas
bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit
alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat

18
pada lobus frontalis yang non spesifik (Kapita
Selekta, 2000).
6) PET (Positron Emission Tomography)
Penderita alzheimer akan memberikan hasil
penurunan aliran darah, metabolisme O2, dan
glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat
menurun pada regional parietal, hasil ini sangat
berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan
selalu dan sesuai dengan hasil observasi penelitian
neuropatologi (Sultan et al., 2018).
7) FDG-PET (Fluorodeoxyglucose Positron Emmision
Tomography)
Berguna untuk pengukuran kuantitatif metabolisme
glukosa pada neuron. Pada penyakit Alzheimer
terdapat penurunan metabolisme glukosa yang
menyebabkan neuronal injury. Pitsburg compound
(PiB) PET digunakan untuk distribusi amiloid di
otak (Sultan et al., 2018).

7. Diagnosis Banding
Tabel 2.3 Daignosis Banding Alzheimer (PPK Demensia, 2015)

19
8. Penatalaksanaan

Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia


adalah untuk memberikan perawatan medis suportif , bantuan
emosiaonal untuk pasien dan keluarganya, dan pengobatan
farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala perilaku yang
mengganggu (Kaplan et Sadock, 2010).
a) Farmakologis
Pemberian benzodiazpein dapat digunakan untuk insomnia
dan kecemasan, antidepresan untuk depresi dan obat
antipsikotik untuk waham dan halusinasi. Untuk mencegah
penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase seperti tetrahidroaminakridin (Tacrine). Obat ini
telah direkomendasikan oleh The Food and Drug
Administration (FDA) untuk pengobatan Alzheimer (Kaplan
et Sadock, 2010).
Berdasarkan British Asscociation of Psychopharmacology
Guidelines tahun 2017 rekomendasi obat untuk anti demensia

20
adalah CheI (kolinesterase inhibitor) seperti Donepezil,
Rivastigmine, Galantamine. Obat tersebut memberikan efek
yang baik pada demensia ringan hingga moderate. Pada kasus
Alzheimer berat dapat digunakan obat Mematine (MME).
MME ini bekerja sebagai N-metyl-D-aspartate (NMDA)
receptor antagonist yang akan mencegah kerusakan neuron
karena NMDA dan radikal bebas. Monoterapi MME terbukti
mengurangi gejala kognitif dan behavioral (Galdehuys and
Darvesh, 2014; Matsunaga et al., 2015).

9. Prognosis
Nilai prognostik Alzheimer tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit
2. Variabilitas gambaran klinis
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis
kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor
pertama yang paling mempengaruhi prognostik penderita
alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka
harapan hidup rata-rata 4-10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya
meninggal dunia akibat infeksi sekunder (Kapita Selekta, 2000).

DAFTAR PUSTAKA

21
Folch, J, Petrov, D, Ettcheto, M, Abad, S, Sanchez-Lopez, E, Garcia, M L,
Olloquequi, J, Beas-Zarate, C, Auladell, C, & Camins, A Current Research
Therapeutic Strategies for Alzheimer's Disease Treatment. Neural Plast,
2016; 8501693.
Kaplan, HI et Sadock, BJ. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Jlilid Satu. Tangerang : Binarupa Aksara Publisher.

Kumar, A, Singh, A, & Ekavali A review on Alzheimer's disease pathophysiology


and its management: an update. Pharmacol Rep, 2015; 67(2): 195-203.
Kemenkes RI. 2013. Buletin Lansia. Jakarta.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jakarta : Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI.

Matsunaga, S, Kishi, T, & Iwata, N Memantine monotherapy for Alzheimer's


disease: a systematic review and meta-analysis. PLoS One, 2015; 10(4):
e0123289.
Panduan Praktik Klinik Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2015.
Jakarta: Perdossi.

Rygiel, K Novel strategies for Alzheimer's disease treatment: An overview of anti-


amyloid beta monoclonal antibodies. Indian J Pharmacol, 2016; 48(6): 629-
636.
Sari et al. 2018. Description of Dementia In The Elderly Status In The Work Area
Health Center Ibrahim Adjie Bandung. Indonesian Contempory Nursing
Journal. Vol. 3(1): 1-11.

Sperling, R A, Aisen, P S, Beckett, L A, Bennett, D A, Craft, S, Fagan, A M,


Iwatsubo, T, Jack, C R, Jr., Kaye, J, Montine, T J, Park, D C, Reiman, E M,
Stahl, M, Phd. Stahl's Essential Psychopharmacology 4th,. 2013;
Sultan et al. 2018. An Update on Treatment of Alzheimer Disease- A Literature
Review. European Journal Pharmaceutical and Medical Research. Vol. 5(7);
9-18

22
WHO. 2016. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs362/en/ diakses pada
tanggal 25 Agustus 2019.

23

Anda mungkin juga menyukai