Anda di halaman 1dari 26

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa September

2016
FKIK Universitas Tadulako
Rumah Sakit Daerah Madani

REFERAT

“DEMENTIA ALZHEIMER”

Nama : Andi Ichsan Makkawaru


Stambuk : N 111 16 023
Pembimbing Klinik : dr. Merry Tjandra, Sp. KJ

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2016
BAB 1

PENDAHULUAN

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-

negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-

negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya

penyakit-penyakit degenerative (yang beberapa di antaranya merupakan faktor risiko

timbulnya demensia) serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hamper

seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat,

pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang dengan penyakit Alzheimer

(penyebab tersebar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5

tahun (Rochmah, 2014).

Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia lanjut sering tidak

disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif

namun perlahan. Selain itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa

penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan

berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang

sudah menua. Akibatnya, penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai

akhirnya mulai memengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada

ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya. Saat ini telah disadari bahwa

diperlukan deteksi dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai

penelitian telah menunjukkan bila gejala-gejala penurunan fungsi kognitif dikenali

2
sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak

mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia (Harimurti,

2014).

Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejala penurunan

fungsi kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai

peran yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan

penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan diketahuinya berbagai faktor resiko

(seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke, riwayat keluarga, dan lain lain)

berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang

usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan

upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu, bila

ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif yang disertai beberapa faktor yang

mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif pasien maka seseorang dokter dapat

merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya, baik secara farmakologis

maupun non-farmakologis (Harimurti, 2014).

Revisi DSM-IV-TR edisi ke-4 mengatakan bahwa demensia “ditandai oleh

defek kognitif multiple yang mencakup hendaya memori,” tanpa hendaya kesadaran.

Fungsi kognitif yang dapat terserang demensia meliputi intelegensi umum,

pengetahuan dan memori, bahasa, pemecahan masalah, orientasi, persepsi, atensi dan

konsentrasi, daya nilai, serta kemampuan sosial. Kepribadian seseorang dapat pula

terpengaruh. Seseorang dengan hendaya kesadaran mungkin akan memenuhi kriteria

diagnostic delirium. Sebagai tambahan, diagnosis demensia, menurut DSM-IV-TR,

3
mewajibkan bahwa gejalanya mengakibatkan hendaya yang signifikan dalam

kemampuan berfungsi secara sosial dan okupasional dan bahwa gejala tersebut

menggambarkan penurunan kemampuan berfungsi dari yang sebelumnya signifikan.

Dementia memiliki 4 tipe, 1). Demensia pada penyakit Alzheimer, 2). Demensia

vascular, 3). Demensia pada penyakit lain, dan 4). Demensia YTT.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Dementia Alzheimer

Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum,

berjumlah kira-kira dua-pertiga dari semua kasus dementia. Penyakit ini

menyebabkan penurunan kemampuan kognitif secara berangsur-angsur, sering

bermula dengan kehilangan daya ingat. Penyakit Alzheimer ditandai oleh dua

abnormalitas di otak – plak amyloid (amyloid plaques) dan ‘neurofibrillary

tangles’ (belitan-belitan neurofibriler). Plak itu adalah kumpulan protein yang

abnormal yang disebut beta amyloid. Belitan-belitan itu adalah kumpulan serat

yang berbelit-belit yang terdiri dari protein yang disebut tau. Plak dan serat yang

berbelit-belit itu menghambat komunikasi antara sel-sel syaraf dan menyebabkan

sel-sel itu mati (Alzheimer Australia, 2012).

II. Epidemiologi Dementia Alzheimer

Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara

epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia

kurang 58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita

pada usia lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset. Penyakit alzheimer dapat

timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai setelah berusia 40 tahun keatas.

5
Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan umur:

4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun. Angka

prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia 60-

69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80 tahun.

Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit

alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5

juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum

diketahui dengan pasti. Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih

banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia

harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian

tidak ada perbedaan terhadap jenis kelamin (Japardi, 2002).

III. Etiologi Dementia Alzheimer

Meski kausa demensia tipe Alzheimer tetap ttidak diketahui, telah dicapai

kemajuan dalam memahami basis molekuler adanya deposit amyloid yang

merupakan penanda utama neuropatologi gangguan ini. Sejumlah studi

mengindikasikan bahwa sebanyak 40 persen pasien memiliki riwayat keluarga

dengan demensia Alzheimer; oleh karena itu, faktor genetic dianggap

memainkan peran dalam munculnya gangguan ini, setidaknya pada beberapa

kasus. Dukungan lain adanya pengaruh genetik adalah angka kejadian bersama

pada kembar monozigot , yang lebih tinggi daripada angka untuk kembar

dizigotik (masing masing 43 persen versus 8 persen). Meskipun jarang pada

beberapa kasus yang terdokumentasi dengan baik, gangguan ini diturunkan

6
dalam keluarga melalui gen autosom dominan. Demensia tipe Alzheimer telah

terbukti berhubungan dengan kromosom 1, 14m dan 21 (Sadock, 2015).

Menurut japardi tahun 2002 mengutarakan bahwa, bukan hanya genetic

sebagai faktor resiko terjadi penyakit Demensia Alzheimer ini, melainkan peran

usia, infeksi virus, lingkungan, imunologi, dan trauma memiliki peran terhadap

penyakit ini.

IV. Patogenesis Demensia Alzheimer

Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang

dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa

kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein

beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP).

Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan

mengakibatkan rusaknya ukuran otak.

Secara maskroskopik, perubahanpa otak pada Alzheimer melibatkan

kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid

dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan

morfologik (structural) dan biokimia pada neuron – neuron. Perubahan

morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi

degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah

kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan

sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar

7
sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan

mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada

neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia

menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus

secara bersama – sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks

ganda yang sekelilingnya masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system

transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi

dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan

berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer.

Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-

beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel

neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada

keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam

pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen

oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi

gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel –

sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat,

matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh.

Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga

mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah

sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain

8
karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara

neurokimia kelainan pada otak. Berikut pathway Demensia Alzheimer.

9
V. Gambaran Klinis Dementia Alzheimer

Perubahan Psikiatrik dan Neurologis

 Kepribadian

Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia

biasanya akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit

mungkin dapat menonjol selama 13 perkembangan demensia. Pasien dengan

demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan

sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid

umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya.

Pasien yang mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis

biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan

eksplosif (Sadock, 2015).

 Halusinasi dan Waham

Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama

pasien dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga

40 persen memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak

sistematis, meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien

tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan

pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik

(Sadock, 2015).

10
 Mood

Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian,

depresi dan kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40

hingga 50 persen pasien dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara

utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia

juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang

nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patologis) (Sadock, 2015).

 Perubahan Kognitif

Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya

apraksia dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM

IV. Tanda-tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah

bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia

tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler.

Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout),

refleks mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat

ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien

(Sadock, 2015). Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat

digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE) (Smith, 2007)

11
Gambar Test menggambar jam pada salah penilaian MMSE (Smith, 2007)

Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala

neurologis tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan,

kelemahan, tanda defisit neurologis fokal terutama yang terkait dengan

penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan disfagia yang

lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada jenis-jenis

demensia lainnya (Sadock, 2015).

 Reaksi Katastrofik

Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan

yang oleh Kurt Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami

kesulitan untuk memahami suatu konsep dan menjelaskan perbedaan konsep-

konsep tersebut. Lebih jauh lagi, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-

masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu.

Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap

12
kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan.

Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara

menghindari kegagalan dalam kemampuan intelektualnya, misalnya dengan

cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa.

Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim,

biasanya ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus

frontalis. Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar,

bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan

kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya (Sadock,

2015).

 Sindrom Sundowner

Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung,

ataksia dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada

pasien yang berumur lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan

penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat

psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga

muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan

isyarat interpersonal dihilangkan (Sadock, 2015).

VI. Diagnosa Dementia Alzheimer

Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan

gangguanmental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ;

13
F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer

 F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini

 F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat

 F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau

tipe campuran

 F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak

Tergolongkan)

Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe

Alzheimer’s , Demensia vaskuler, Demensia karena kondisi medis lainnya,Demensia

menetap akibat zat, Demensia karena penyebab multipel, Dandemensia yang tidak

ditentukan (NOS; not otherwise specified) (Sadock, 2015).

Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan

status mental,dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja.

Keluhan terhadappeerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun

membuat kita harusmempertimbangan dengan cermat untuk mendiagnosis dimensia

(Sadock, 2015).

Adapun kriteria diagnostic berdasarkan DSM-IV-TR, sebagai berikut ;

A. Perkembangan defisit kognitifmultipel yang dimanifestasikandengan baik

1) Gangguan daya ingat (gangguankemampuan untuk mempelajariinformasi baru

dan untuk mengingatinformasi yang telah dipelajarisebelumnya)

2) Satu (atau lebih) gangguan kognitif

14
berikut;

a) Afasia (gangguan bahasa)

b) Apraksia (gangguankemampuan untuk melakukanaktivitas motorik

walaupunfungsi motorik utuh)

c) Agnosia (kegagalan untukmengenali atau mengidentifikasibenda

walaupun fungsi sensorikutuh

d) Gangguan dalam fungsieksekutif (yaitu

merencanakan,mengorganisasi, mengurutkan dan abstrak)

B. Defisit kognitif dalam kriteria A1dan A2 masing-masingmenyebabkan gangguan

yangbermakna dalam fungsi sosial ataupekerjaan dan menunjukkan suatupenurunan

bermakna dari tingkatfungsi sebelumnya

C. Perjalanan penyakit ditandai olehonset yang bertahap dan penurunankognitif yang

terus menerus

D. Defisit kognitif dalam kriteria A1dan A2 bukan karena salah satuberikut ;

(1) Kondisi sistem saraf pusat lain yang menyebabkan defisit progresif dalam

daya ingat kognisi misalnya penyakit serebrovaskuler, penyakit Parkinson,

penyakit Huntington, hematoma subdural , hidrosefalus tekanan normal,

tumor otak

(2) Kondisi sistemik yang diketehui menyebabkan demensia misalnya,

hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin,

hiperkalsemia, neurosifilis, infeksi HIV

15
(3) Kondisi yang berhubungan dengan zat

E. Defisit tidak terjadi semata-mataselama perjalanan suatu delirium

F. Gangguan tidak lebih baikditerangkan oleh gangguan aksislainnya (misalnya,

gangguandepresif berat,Skizofrenia)

Kondisi akibat zat

Kode didasarkan pada tipe onset danciri yang menonjol;

 Tanpa gangguan perilaku ; Jika ganguan kognitif tidak disertai dengan

gangguan perilaku yang bermakna secara klinis

 Dengan gangguan perilaku ; Jika gangguan kognitif disertai gangguan

perilaku yang bermakna secara klinis (misalnya keluyuran, agitasi)

Subtipe yang spesifik;

 Dengan onset dini : jika onset padaumur < 65 tahun

 Dengan onset lanjut ; jika onset padausia > 65 tahun

Catatan cara ; Penyakit Alzheimerditulis pada aksis 3. Gejala klinis lainyang

menonjol yang berhubungandengan penyakit Alzheimer,sdidiagnosis pada aksis I (

misalnyagangguan mood yang berkaitan denganpenyakit Alzheimer, dengan

depresiyang menonjol, dan perubahankepribadian yang berhubungan denganpenyakit

Alzheimer, tipe agresif )(Sadock, 2015).

VII.Diagnosis Banding

Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler

16
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer

denganadanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit

serebrovaskuler seiringberjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adalah khas,

kemerosotan yang bertahap tersebut tidaksecara nyata ditemui pada seluruh kasus.

Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui padademensia vaskuler daripada

demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokanadanya faktor risiko

penyakit serebrovaskuler (Sadock, 2015).

Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks

Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi

neurologisfokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit).

Meskipun berbagaimekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya

disebabkan oleh mikroemboli dari lesiarteri intrakranial yang mengakibatkan

terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebutbiasanya menghilang tanpa

perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasiendengan TIA yang

tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian hari,

dengandemikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi klinis penting untuk

mencegah infarkserebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA yang

mengenai sistem vertebrobasiler dansistem karotis. Secara umum, gejala penyakit

sistem vertebrobasiler mencerminkan adanyagangguan fungsional baik pada batang

otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi sistemkarotis mencerminkan

gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik.Terapi

antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan

17
bedahreksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko

infark serebri pada pasien dengan TIA (Sadock, 2015).

Delirium

Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang

ditunjukkanoleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan

dengan demensia olehawitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan

kognitif dalam perjalanannya,eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan

siklus tidur yang bermakna, dan gangguanperhatian dan persepsi yang menonjol

(Sadock, 2015).

18
Depresi

Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala gangguan fungsi kognitif

yang sukardibedakan dengan gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang

menyerupaipsuedodemensia, meskipun istilah disfungsi kognitif terkait depresi

(depression-related cognitivedysfunction) lebih disukai dan lebih dapat

menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsikognitif terkait depresi secara

umum memiliki gejala-gejala depresi yang menyolok, lebihmenyadari akan gejala-

gejala yang mereka alami daripada pasien dengan demensia serta seringmemiliki

riwayat episode depresi (Sadock, 2015).

Skizofrenia

Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan fungsi intelektual

yang didapat(acquired), gejalanya lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan

gejala-gejala psikosis dangangguan pikiran seperti yang terdapat pada demensia

(Sadock, 2015).

Proses penuaan yang normal

Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan berbagai fungsi

kognitif yangsignifikan, akan tetapi masalah-masalah memori atau daya ingat yang

ringan dapat terjadi sebagaibagian yang normal dari proses penuaan. Gejala yang

normal ini terkadang dikaitkan dengangangguan memori terkait usia, yang dibedakan

19
dengan demensia oleh ringannya derajat gangguanmemori dan karena pada proses

penuaan gangguan memori tersebut tidak secara signifikanmempengaruhi perilaku

sosial dan okupasional pasien (Sadock, 2015).

VIII. Penatalaksanaan

Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan

verifikasidiagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas

penyakit dapat dihambatatau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat

diberikan. Tindakan pengukuran untukpencegahan adalah penting terutama pada

demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupapengaturan diet, olahraga, dan

pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-obatan yangdiberikan dapat

berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadaptekanan

darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada

dalambatas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada

pasien demensiavaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal

menunjukkan perburukan fungsikognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan

demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensidalam hal ini adalah sangat penting

mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburukkerusakan fungsi kognitif.

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telahdibuktikan tidak

berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itudisebabkan

oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak.

Tindakanbedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler

berikutnya padapasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi

20
secara umum pada pasiendengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan

medis suportif, dukungan emosionaluntuk pasien dan keluarganya, serta terapi

farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik,termasuk perilaku yang merugikan

(Sadock, 2015).

Terapi Psikososial

Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien

dengan demensia.Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori.

Memori jangka pendek hilangsebelum hilangnya memori jangka panjang pada

kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasienbiasanya mengalami distres akibat

memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsimemorinya disamping

memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadipudar seiring

perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin

sedikitmenggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi

hingga kecemasanyang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa

pemahaman akan dirinya(sense of self) menghilang (Sadock, 2015).

Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan

edukatifsehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit

yang dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan

penerimaan akan perburukandisabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga

dirinya. Banyak fungsi yang masih utuhdapat dimaksimalkan dengan membantu

pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapatdikerjakannya. Suatu pendekatan

psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsikognitif juga dapat

21
bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara“berdamai”

dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan

masalahorientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya,

serta membuat catatanuntuk masalah-masalah daya ingat (Sadock, 2015).

Farmakoterapi

Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan,

antidepresiuntuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi,

akan tetapi dokter jugaharus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi

pada pasien usia lanjut (misalnyakegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan

peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatandengan aktivitas antikolinergik

yang tinggi sebaiknya dihindarkan (Sadock, 2015).

Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat

kolinesterase yangdigunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga

sedang pada penyakit Alzheimer.Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari

neurotransmitter asetilkolin sehinggameningkatkan potensi neurotransmitter

kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikanmemori. Obat-obatan

tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memoriringan hingga

sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan

neurotransmisi kolinergik (Sadock, 2015).

Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang

digunakankarena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang

tersedia mengenairivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek

22
gastrointestinal (GI) dan efeksamping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada

donezepil. Tidak satupun dari obat-obatantersebut dapat mencegah degenerasi neuron

progresif (Sadock, 2015).

23
BAB III
KESIMPULAN

Simpulan

1. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa

disertai gangguan kesadaran

2. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia

3. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer

(Alzheimer’sdiseases)

4. Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi

kepribadian, halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi

Katastrofik, Sindrom Sundowner

5. Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit,

kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan

dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

6. Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman

Penggolongan danDiagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III

7. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang

dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5

atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian

24
8. Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan demensia

vaskuler, demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium,

depresi, skizofrenia, proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi

mental, gangguan ,depresi berat)

9. Penatalaksanaan pasien demensia meliputi

10. Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan

menggunakanpendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of

Dementia (BPSD)

Saran

Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan

diagnosisnya membutuhkanketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang dan harus diingatpenatalaksanaan pada pasien demensia

bukan hanya farmakologi tetapi bersifat holistic yang jugamencakup psikososial dan

Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)

25
DAFTAR PUSTAKA

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Buku Ajar Psikiatri Edisi

Kedua.Jakarta : FKUI.

Maslim R (ed). 2001.Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.

Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya

Rochmah W, Harimurti K, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Penerbit

Buku Kedokteran Jakarta: EGC.

Sadock B J dan Sadock V A. 2014. Buku Ajar Psikiatri Klinis Kaplan & Sadock.

Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran Jakarta: EGC.

Smith, David S. Field Guide to Bedside Diagnosis, 2nd Edition. 2007 Lippincott

Williams &Wilkins.

26

Anda mungkin juga menyukai