Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN


KEPERAWATAN DIMENSIA
Disusun untuk memenuhi tugas laporan individu Praktek Profesi
Ners Dapartemen Gerontik

OLEH :
PETRUS SUDI ZADA
210814901339

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES WIDYAGAMA HUSADA
MALANG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Definisi

Demensia adalah gejala yang disebabkan oleh penyakit otak yang


biasanya bersifat kronis dan progesif. Dimana gangguan dari beberapa fungsi
kortikal lebih tinggi, termasuk memori, berpikir, orientasi, pemahaman,
perhitungan, belajar, berbahasa, dan penilaian. Gangguan fungsi kognitif
terkadang didahului dengan penuaan, pengendalian emosi, perilaku sosial,
dan motivasi (Wicitania, 2016).

Demensia adalah suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya


bersifat kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur. Jenis
demensia yang paling sering dijumpai yaitu demensia tipe Alzheimer,
termasuk daya ingat, daya pemahaman, berhitung, kemampuan belajar,
berbahasa, dan daya kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut dan
biasanya disertai rendahnya fungsi kognitif, ada kalanya diawali oleh
kemorosotan (deterioration) dalam pengendalian emosi, prilaku sosial, atau
motivasi, sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit
serebrovaskuler, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder
mengenai otak (Nisa, 2016).
Demensia adalah sekelompok penyakit dengan ciri-ciri hilangnya
ingatan jangka pendek, kemampuan berpikir (kognitif) lain, dan melakukan
hal seharihari. Demensia ini disebabkan oleh berbagai penyakit dan kondisi
yang mengakibatkan sel-sel otak yang rusak atau koneksi antara sel otak
(Alzheimer's, 2016).
Demensia adalah sekelompok penyakit dengan ciri-ciri hilangnya
ingatan jangka pendek, kemampuan berpikir (kognitif) lain, dan melakukan
hal seharihari. Demensia ini disebabkan oleh berbagai penyakit dan kondisi
yang mengakibatkan sel-sel otak yang rusak atau koneksi antara sel otak
(Alzheimer's, 2016).
2. Faktor Resiko

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian demensia pada


lansia. Faktor-faktor di uraikan sebagai berikut:
a. Umur

Umur merupakan faktor resiko utama terhadap kejadian demensia pada


usia lanjut. Hubungan ini sangat berbanding lurus yaitu bila semakin
meningkatnya umur, semakin tinggi pula resiko terjadinya demensia.
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dalam kehidupan manusia.

Manusia yang memasuki tahap ini ditandai dengan menurunnya


kemampuan kerja tubuh akibat perubahan atau penurunan fungsi organ-
organ tubuh, semakin usia yang bertambah akan semakin rentan pula
terkena penyakit (Aisyah, 2016).
b. Jenis kelamin

Demensia lebih banyak dialami perempuan, bahkan saat populasi


perempuan lebih sedikit dari laki-laki, kejadian demensia pada
perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Akan tetapi tidak ada
perbedaan signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian demensia, hal
ini menunjukan bahwa laki-laki maupun perempuan memiliki peluang
yang sama untuk berkembangnya demensia (Alzheimers’s disease,
2016)
c. Genetik

Sebagian pasien demensia memiliki genetik demensia dari faktor


keturunan. Namun pada sebagian orang yang memliki gen demensia
hanya sedikit gennya yang berkembang menjadi demensia. Penyakit
Alzheimers (AD) merupakan penyakit genetik heterogen; dikaitkan
dengan satu susceptibility (risk) gene dan tiga determinative (disease)
genes. Susceptibility (risk) gene yang diketahui ialah alel apolipoprotein
EЄ4 (APOE Є4) di kromosom 19 pada q13. Hal ini harus dilakukan
pemeriksan secara detail agar mengetahui faktor ini terjadi pada lanjut
usia (Alzheimers’s, 2011)
d. Pola makan

Kebutuhan lanjut usia semakin menurun seiring dengan


bertambahnya usia. Pada usia 40-49 tahun menurun sekitar 5%, dan
pada usia 50-69 tahun menurun hingga 10%, sehingga jumlah makanan
yang dikonsumsi akan berkurang dan pola makan tidak teratur,
contohnya seperti berat badan akan menurun, dan kekurangan vitamin
dan mineral (Fatmah, 2016).
e. Riwayat penyakit

Penyakit infeksi dan metabolisme yang tidak ditangani serta


diabaikan dapat memicu terjadinya demensia seperti tumor otak, penyakit
kardiovaskuler (seperti hipertensi dan atherosclerosis), gagal ginjal,
penyakit hati, penyakit gondok. Penyakit penyebab demensia dibagi
menjadi 3 kelompok meliputi demensia idiopatik, demensia vaskuler, dan
demensia sekunder. Demensia idiopatik contohnya seperti penyakit
Alzheimers, penyakit Hungtiton, penyakit pick yang terjadi pada lobus
frontal, dll. Demensia vaskuler contohnya demensia multi-infark,
pendarahan otak non-traumatik dengan demensia dan pada demensia
sekunder terjadi karena infeksi, gangguan nutrisi, gangguan auto-imun,
trauma, dan stress (Aisyah, 2016).
f. Status gizi

Status gizi yang baik menjadikan seseorang dapat memiliki tubuh


yang sehat dan menjaga sistem dalam tubuh bekerja secara baik pula.
Pada masa lansia adanya penurunan fungsi tubuh yang diakibatkan oleh
umur, penyakit dan salah satunya status gizi. Asupan makanan yang
kurang bergizi bagi para lansia mengakibatkan penurunan sistem dalam
tubuh. Zat gizi makro diketahui berkaitan dengan kejadian demensia
pada lansia, terutama vitamin B kompleks. Kekurangan vitamin B
kompleks pada lansia dapat meningkatkan resiko terjadinya demensia.
Ini menunjukan bahwa buruknya status gizi secara tidak langsung dapat
mengakibatkan munculnya resiko demensia pada lansia (Pratiwi, 2014).
3. Etiologi

Menurut Aspiani (2014) penyebab demensia dibedakan menjadi dua :

a. Penyebab demensia yang reversible

1) Drugs (obat)

Misalnya obat sedative, obat penenang, obat anti konvulsan,


obat anti hipertensi, obat anti aritmia. Menurut Sharon (1994) semua
obat memiliki efek samping yang potensial misalnya depresi,
disorientasi, dan demensia, termasuk obat yang kita kira tidak
berbahaya seperti penghilang rasa sakit, obat batuk dan obat
pencahar. Sirkulasi darah yang buruk, metabolisme umum yang
menurun, sembelit dan penurunan fungsi detoksifikasi
(menetralisirkan racun) hati dapat menjadi penyebab keracunan obat
pada segala usia.
2) Emotional (emosional)

Gangguan emosional misalnya depresi. UNHAS, (2016)


menyatakan riwayat pasien yang mendukung demensia adalah
kerusakan bertahap seperti tangga (stepwise) misalnya depresi yang
menyebabkan kehilangan memori dan kesukaran membuat
keputusan diikuti oleh periode yang stabil dan kemudian akan
menurun lagi. Awitan dapat perlahan atau mendadak.
3) Metabolic dan endokrin

Misalnya adalah diabetes melitus, hipoglikemia, gangguan


tiroid, gangguan elektrolit. Menurut (Robert,R. 2008) dalam Waluyan
(2016) keadaan hiperglikemi dan resistensi insulin dapat
mengakibatkan komplikasi kronis pada penderita dengan pengobatan
jangka panjang yaitu komplikasi makrovaskular, mikrovaskular dan
komplikasi neuropati. Komplikasi diabetes mellitus tipe 2
menyebabkan terjadinya perubahan dan gangguan di berbagai
sistem, termasuk sistem saraf pusat, dan hal ini berhubungan dengan
gangguan fungsi kognitif.
4) Eye and ear

Disfungsi mata dan telinga.

5) Nutritional

Kekurangan vitamin B6 (pellagra), vit B1 (sindrom wernicke),


vitamin B12 (anemia pernisiosa), asam folat dan asam lemak omega-
3. Asam lemak omega-3 merupakan komponen penting dari
membran sel dari semua sel di dalam tubuh. Kekurangan asam lemak
omega-3 dapat meningkatkan risiko penurunan kognitif yang
berkaitan dengan usia atau demensia. Para ilmuan percaya bahwa
asam lemak omega- 3 DHA adalah perlindungan terhadap penyakit
demensia (Sumbono, 2016).
6) Tumor dan trauma

Tumor otak terutama tumor metastatik (dari payudara dan


paru) dan meningioma akan mengganggu keseimbangan antara
neurotransmitter di otak (Tomb, 2004).
7) Infeksi

Ensefalitis oleh virus misalnya herpes simplek, bakteri


misalnya pneumococcus, TBC, parasit, fungus, abses otak,
neurosifilis. Menurut Almeida (2005) dalam Harahap (2015)
penyebab demensia terkait
infeksi adalah semua agen penyebab infeksi pada SSP dapat secara
tunggal atau bersama-sama menyebabkan terjadinya infeksi dengan
memanfaatkan faktor virulensi yang dimilikinya. Dengan faktor
virulensi tersebut, agen infeksi mampu menginduksi respon inflamasi
di otak dengan akibat terjadinya proses neurodegenerasi, suatu
proses yang mengakibatkan terjadinya demensia.
8) Arterosklerosis

Komplikasi penyakit arterosklerosis adalah infark miokard dan


gagal jantung. Menurut Sharon (1994) jantung dan paru-paru
berhubungan dengan berat ringannya kekurangan oksigen di otak.
Kekurangan oksigen ini pada gilirannya dapat menyebabkan episode
akut kebingungan dan dapat menyebabkan demensia kronis.
b. Penyebab demensia yang non reversible

1) Penyakit degenerative

Misalnya penyakit alzheimer, penyakit huntington, kelumpuhan


supranuklear progresif, penyakit parkinson.
2) Penyakit vaskuler

Misalnya penyakit serebrovaskuler oklusif (demensia multi-infark),


embolisme serebral, arteritis, anoksia sekunder akibat henti jantung,
gagal jantung.
3) Demensia traumatik

Misalnya perlukaan kranio-serebral, demensia pugi-listika.

4) Infeksi

Misalnya sindrom defisiensi imun dapatan (AIDS), infeksi


opportunistik, demensia pasca ensefalitis
4. Tanda dan Gejala

Menurut Asrori dan putri (2014), menyebutkan ada beberapa tanda


dangejala yang dialami pada Demensia antara lain :
a. Kehilangan memori

Tanda awal yang dialami lansia yang menderita demensia adalah


lupa tentang informasi yang baru di dapat atau di pelajari, itu merupakan
hal biasa yang diamali lansia yang menderita demensia seperti lupa
dengan pentujuk yang diberikan, nama maupun nomer telepon, dan

penderita demensia akan sering lupa dengan benda dan tidak


mengingatnya.
b. Kesulitan dalam melakukan rutinitas pekerjaan

Lansia yang menderita Demensia akan sering kesulitan untuk


menyelesaikan rutinitas pekerjaan sehari-hari. Lansia yang mengadalami
Demensia terutama Alzheimer Disease mungkin tidak mengerti tentang
langkahlangkah dari mempersiapkan aktivitas sehari-hari seperti
menyiapkan makanan, menggunkan perlatan rumah tangga dan
melakukan hobi.
c. Masalah dengan bahasa Lansia yang mengalami

Demensia akan kesulitam dalam mengelolah kata yang tepat,


mengeluarkan kat-kata yang tidak biasa dan sering kali membuat kalimat
yang sulit untuk di mengerti orang lain
d. Disorientasi waktu dan tempat

Mungkin hal biasa ketika orang yang tidak mempunyai penyakit


Demensia lupa dengan hari atau diaman dia berada, namun dengan
lansia yang mengalami Demensia akan lupa dengan jalan, lupa dengan
dimana mereka berada dan baimana mereka bisa sampai ditempat itu,
serta tidak mengetahui bagaimana kebali kerumah.
e. Tidak dapat mengambil keputusan

Lansia yang mengalami Demensia tidak dapat mengambil


keputusan yang sempurna dalam setiap waktu seperti memakai pakaian
tanpa melihat cuaca atau salah memakai pakaian, tidak dapat
mengelolah keuangan.
f. Perubahan suasana hati dan kepribadian

Setiap orang dapat mengalami perubahan suasan hati menjadi


sedih maupun senang atau mengalami perubahan perasaann dari waktu
ke waktu, tetapi dengan lansia yang mengalami demensia dapat
menunjukan perubahan perasaan dengan sangat cepat, misalnya
menangis dan marah tanpa alasan yang jelas. Kepribadian seseorang
akan berubah sesuai dengan usia, namun dengan yang dialami lansia
dengan demensia dapat mengalami banyak perubahan kepribadian,
misalnya ketakutan, curiga
yang berlebihan, menjadi sangat bingung, dan ketergantungan pada
anggota keluarga.
5. Klasifikasi

Aisyah (2016) membedakan Tipe-tipe demensia menjadi beberapa


jenis yaitu:
a. Demensia tipe Alzheimer

Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan satu kondisi yang


selanjutnya dalam tahun (1970), menggambarkan wanita berusia 51
tahun dengan perjalanan demensia progresif 4,5 tahun. Diagnosis akhir
penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak.
Faktor genetik dianggap berperan sebagian dalam perkembangan
penyakit demensia ini.
Observasi makroskopis neuroanatomik klasik pada otak dari
seorang pasien dengan penyakit Alzheimer adalah antrofi difus dan
pembesaran ventrikel serebal serta timbulnya bercak-bercak senilis,
kekusutan neurofibriler, hilangnya neuronal, dan degenerasi
granulovaskular pada neuron.
b. Demensia vaskuler

Penyebab pertama dari demensia vaskuler dianggap adalah


penyakit vaskuler serebral yang multiple, yang menyebabkan suatu pola
gejala demensia. Demensia vaskuler paling sering terjadi pada laki-laki,
khususnya mereka yang mengalami hipertensi yang telah ada
sebelumnya atau faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Penyakit pick
ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam darah frontotemporal. Darah
tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, yang merupakan massa
elemen sitoskeletal. Penyakit pick berjumlah kira-kira 5 persen dari
semua demensia yang irreversibel. Penyakit pick sangat sulit dibedakan
dengan demensia tipe Alzheimers, walapun stadium awal penyakit pick
lebih sering ditandai dengan perubahan kepribadian dan prilaku, dengan
fungsi kognitif lain yang relative bertahan.
c. Demensia berhubungan dengan HIV

Infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) sering kali


menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang
terinfeksi dengan HIV mengalami demensia dengan angka tahunan 14
persen. Perkembangan demensia pada pasien yang terinfeksi HIV sering
disertai tampaknya kelainan parenkimal. d. Demenisa yang berhubungan
dengan trauma kepala Demensia dapat dari trauma kepala, demikian
juga berbagai sindrom neuropsikiatrik.
6. Pathofisiologi

Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya


demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan
biokimiawi di susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sekitar 10%
pada penuaan antara umur 30-70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah
disebutkan di atas merupakan kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi sel-
sel neuron korteks serebri.
Penyakit degenerative pada otak, gangguan vaskular dan penyakit
lainnya, serta gangguan nutrisi, metabolic dan toksisitas secara langsung
maupun tak langsung dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan
melalui mekanisme iskema, infark, inflamasi, deposisi protein abnormal
sehingga jumlah neuron menurun dan mengganggu fungsi dari area kortikal
ataupun subkortikal. Di samping itu, kadar neurotransmitter di otak yang di
perlukan untuk proses konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan
menimbulkan gangguan fungsi kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar),
gangguan sensorium (perhatian, kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan
mood. Fungsi yang mengalami gangguan tergantung lokasi area yang
terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya, karena manifestasinya
dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan memicu keadaan
konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo, 2019).
7. Pathway

Faktor predisposisi: virus lambat, proses


autoimun, keracunan albumin, dan genetic

Penurunan metabolism dan aliran darah di korteks parictalis superior

Degenerasi neuron kolinergik

Kerusakan neurofibrilar yang difusi Hilangnya serat saraf kolinergik di korteks serebru
Kelainan neurotransmiter

Asetikolin pada otak

Demensia
Terjadi

Penurunan sel yang neuron

Perubaha Kehilangan kemampuan menyelesaikan Tingkah laku aneh dan


kemampuan masalah, perubahan mengawasi keadaan kacau, dan cenderung
plak senilis
merawat diri yang kompleks dan berfikir abstrak, emosi mengembara, mempunyai
stabil, pelupa, dan apatis dorongan melakukan
kekerasan

Deficit perawatan
diri (makan,
minum, berpakaian
dan hygiene) - Gangguan interaksi sosial Resiko tinggi trauma
- Gangguan interaksi sosial
- Gangguan komunikasi verbal
- Koping tidak efektif

Pathway Demensia (Arif, 2012)


8. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk penegakkan demensia meliputi


pemeriksaan laboratorium, pencitraan otak, elektro ensefalografi dan
pemeriksaan genetika.
a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi


hati, hormon tiroid dan kadar vitamin B12. Pemeriksaan HIV dan
neurosifilis pada penderita dengan resiko tinggi. Pemeriksaan cairanotak
bila terdapat indikasi.
b. Pemeriksaan pencitraan otak

Pemeriksaan ini berperan untuk menunjang diagnosis, menentukan


beratnya penyakit serta prognosis. Computed Tomography (CT) –
Scan atau Metabolic Resonance Imaging (MRI) dapat mendeteksi
adanya kelainan struktural sedangkan Positron Emission Tomography
(PET) dan Single Photon Emission Tomography (SPECT) digunakan
untuk mendeteksi pemeriksaan fungsional. MRI menunjukkan kelainan
struktur hipokampus secara jelas dan berguna untuk membedakan
demensia alzheimer dengan demensia vaskular pada stadium awal.
c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG tidak menunjukkan adanya kelainan yang


spesifik. Pada stadium lanjut ditemukan adanya perlambatan umum dan
kompleks secara periodik.
d. Pemeriksaan Genetika

Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid


polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4.
Setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan
lambat atau tipe sporadik menjadikan genotif APOE epsilon 4 sebagai
penanda untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2013).
9. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Umum

1) Terapi elektrokonvulsif

2) Monitor tanda vital dan jantung


3) Support nutris dan cairan

4) Diet cair atau lunak

5) Fisioterapi, occupational terapi

b. Pengobatan

1) Antipsikotik seperti Haloperidol

2) Sedative-hypnotiv :Chloral hydrate

3) Agen Antiansietas : Lorazepam, diazepam (valium)

4) Antidepresan

5) Laksatif (Tarwoto, 2013)

c. Terapi Farmakologi

1) Anti-oksidan, vitamin E yang terdapat dalam sayuran, kuning telur,


margarine, kacang-kacangan, minyak sayur, bisa menurunkan resiko
demensia Alzheimer. Vitamin C dapat mengurangi radikal bebas
(misalnya sayuran, stroberi, melon, tomat, dan brokoli).
2) Obat anti-inflamasi

3) Obat penghambat asetilkolin esterase (misalnya Exelon).

d. Terapi Non Farmakologi

1) Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga

2) Program harian untuk klien

3) Istirahat yang cukup

4) Reality orientation training atau orientasi realitas

5) Rehabilitasi

6) Terapi music

7) Terapi rekreasi (Wahjudi, 2008)

8) Brain Gym atau Senam Otak (Feny, 2016)

9) Terapi Puzzle (Dyah, 2015)


B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN DEMENSIA

1. Pengkajian

Pengkajian pada kelompok lansia di panti atau di masyarakat


dilakukan dengan melibatkan penanggung jawab kelompok lansia, kultural,
tokoh masyarakat, dan petugas kesehatan (Maryam, 2008). Menurut Aspiani,
(2014) pengkajian pada asuhan keperawatan lansia demensia meliputi :
a. Identitas klien

Identitas klien yang biasa dikaji pada klien dengan demensia


adalah usia (tempat/ tanggal lahir) karena banyak klien lansia yang
mengalami demensia. Identitas lainnya yang perlu ditanyakan adalah
nama lengkap, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku bangsa,
pendidikan terakhir, diagnosis medis (bila ada), alamat.
b. Keluhan utama

Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien dengan


masalah psikososial demensia adalah klien kehilangan ingatan.
c. Riwayat kesehatan sekarang

Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai keadaan


klien saat ini mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai dilakukan
pengkajian.
d. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat adanya masalah


psikososial sebelumnya dan bagaimana penanganannya.
e. Riwayat kesehatan keluarga

Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang mengalami


gangguan psikologi seperti yang dialami oleh klien, atau adanya penyakit
genetik yang mempengaruhi psikososial.
f. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum Keadaan umum klien lansia yang mengalami


masalah psikososial demensia biasanya lemah.
2) Kesadaran Kesadaran klien biasanya composmentis.

3) Tanda-tanda vital Suhu tubuh dalam batasan normal 36,50C - 37,50C;


nadi normal (N : 70 – 82 x/menit); tekanan darah kadang
meningkat atau menurun; pernafasan biasanya mengalami normal
atau meningkat
g. Pola fungsi kesehatan

Yang perlu dikaji adalah aktivtias apa saja yang biasa dilakukan
sehubungan dengan adanya masalah psikososial demensia.
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Klien mengalami
gangguan persepsi, klien mengalami gangguan dalam memelihara
dan menangani masalah kesehatan.

2) Pola nutrisi Klien dapat mengalami makan berlebih/ kurang karena


kadang lupa apakah sudah makan atau belum
3) Pola eliminasi Tidak ada masalah terkait pola eliminasi

4) Pola tidur dan istirahat Klien mengalami insomnia

5) Pola aktivitas dan istirahat Klien mengalami gangguan dalam


pemenuhan aktivitas sehari-hari karena penurunan minat.
6) Pola hubungan dan peran Menggambarkan dan mengetahui
hubungan dan peran klien terhadap anggota keluarga dan
masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan
masalah keuangan.
7) Pola sensori dan kognitif Klien mengalami kebingungan,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi,
mudah lupa, gagal dalam melaksanakan tugas, cepat marah,
disorientasi.
8) Pola persepsi dan konsep diri Klien dengan demensia umumnya
mengalami gangguan persepsi, tidak mengalami gangguan konsep
diri.
9) Pola seksual dan reproduksi Klien mengalami penurunan minat.

10) Pola mekanisme/ penanggulangan stress dan koping Klien


menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif dalam menangani
stress yang dialaminya
11) Pola tata nilai dan kepercayaan Klien tidak mengalami gangguan
dalam spiritual
2. Diagnose Keperawatan

a. Deficit perawatan diri (makan, minum, berpakaian dan hygiene)


berhubungan dengan gangguan psikologis dana tau psikotik (D.0109)
b. Gangguan interaksi sosial (D.0118)

c. Gangguan komunikasi verbal (D.0119)


d. Koping tidak efektif (D.0096)
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Deficit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Intervensi Utama : Dukungan Perawatan
(makan, minum, keperawatan 3 x 24 jam diharapkan diri : Makan/minum (I.11351)
berpakaian dan kemampuan melakukan aktivitas Observasi
hygiene) (D.0109) perawatan diri: makan/minum
1. Monitor kemampuan menelan
meningkat (L.11103) dengan kriteria
hasil : 2. Identifikasi diet yang dianjurkan

1. Kemampuan makan meningkat Terapeutik


1. Menyiapkan lingkungan yang
2. Minat melakukan perawatan diri
menyenangkan selama makan
meningkat
2. Lakukan oral hygine, bila perlu
3. Verbalisasi melakukan perawatan
diri meningkat 3. Atur posisi nyaman saat makan/minum

4. Memberikan bantuan saat


makan/minum sesuai tingkat
kemandirian
5. Siapkan makanan dengan suhu yang
meningkatkan nafsu makan
6. . Sediakan peralatan makan/minum
yang dibutuhkan
Edukasi

1. Jelaskan pentingnya perawatan diri :


makan/minum
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian obat analgesik


sesuai indikasi
Intervensi Pendukung: Pemberian
Makanan
Observasi

1. Identifikasi makanan yang


diprogramkan
2. Identifikasi kemampuan menelan

3. Periksa mulut untuk residu pada akhir


makan
Terapeutik

1. Lakukan kebersihan tangan dan mulut


sebelum makan
2. Sediakan lingkungan yang
menyenangkan selama makan
3. Berikan posisi duduk semi fowler saat
makan
4. Sediakan peralatan makan yang

dibutuhkan
Edukasi

1. Anjurkan keluarga memberi bantuan


saat makan
Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian analgesik


2 Gangguan interaksi Setelah dilakukan tindakan Modifikasi perilaku keterampilan sosial
sosial (D.0118) keperawatan selama 3 x 24 jam (I.13484)
Dirahapkan masalah gangguan Observasi
interaksi sosia meningkat (L13115)
1. Identifikasi penyebab kurangnya
dengan kreteria hasil :
keterampilan sicial
1. Perasaan nyaman dengan
2. Identifikasi focus pelatihan
situasi sosial meningkat
keterampilan social
2. Perasaan mudah menerima
Terapeutik
atau mengkomunikasikan
1. Motivasi untuk berlatih keterampilan
perasaan meningkat
social
3. Responsive pada orang lain
2. Beri umpan balik positif `9misalnya
menurun
pujian atau penghargaan terhadap
4. Perasaan tertasik pada orang
kemampuan social)
lain menurun
3. Libatkan keluarga selama latihan
5. Minat melakukan kontak emosi
keterampilan social
menurun
Edukasi

1. Jelaskan tujuan keterampilan social


2. Jelaskan respon konsekuensi
keterampilan social
3. Anjurkan mengungkapkan perasaan
akibat masalah yang dialami
4. Edukasikan keluarga untuk dukungan
keterampilan social
5. Latih keterampilan social secara

bertahap
3 Gangguan komunikasi Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : Deficit bicara
verbal (D.0119) keperawatan selama 3 x 24 jam (I.13492)
Dirahapkan masalah gangguan Observasi
komunikasi verbal meningkat
1. Monitor proses kognitif, anatomis, dan
(L.13118) dengan kriteria hasil:
fisiologiyang berkaitan dengan bicara
1. Afasia menurun
Teraupeutik
2. Disfasia menurun
1. Gunakan metode komunikasi
3. Apraksia menurun alternative
2. Modifiksdi lingkungan untuk
4. Pelo menurun
meminimalkan bantuan
3. Ulangi apa yang disampaikan pasien

4. Gunakan juru bicara, jika perlu


Edukasi
1. Anjurkan bicara perlahan

Kolaborasi
1. Rujuk ke ahli patologi atau terapis

4 Koping tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Dukungan pengambilan keputusan


keperawatan selama 3 x 24 jam (I12104)
(D.0096)
Dirahapkan masalah koping tidak Observasi
efektif membaik (L.09086) dengan
1. Identifikasi persepsi mengenai
kriteria hasil :
masalah saat pembuatan keputusan
1. Kemampuan memenuhi peran
kesehatan
sesuai usia meningkat
Terapeutik
2. Perilaku koping adaptif
1. Fasilitasi mengklarifikasi nilai dan
meningkat
harapan yang membatu membuat
3. Vebalisasi kemampuan
pilihan
mengatasi masalah meningkat
2. Diskusikan kelebihan dan kekurangan
4. Verbalisasi kelemahan diri
dari setiap solusi
menurun
3. Fasilitasi melihat situasi scara realistic
5. Verbalisasi pengakuan
masalah meningkat 4. Motivasi menggunakan tujuan
6. Perilaku asertif menurun perawatan yang diharapkan
5. Fasilitasi pengambilan keputusan
seacara kolaboratif
Edukasi

1. Informasikan alternative solusi secara


jelas
2. Beri informasi yang diminta pasien
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perawat melaksanakan tindakan
keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap perencanaan dan
kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat keperawatan dan
respon klien terhadap tindakan tersebut (Anggarini, 2018).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu proses yang
digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien dengan membandingkan
hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil yang sudah ditetapkan
(Debora, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, B. (2016). Hubungan Zat Gizi Mikro, aktifitas fisik dan latihan
kecerdasan dengan Kejadian Demensi pada Lansia di Kelurahan
Depok Jaya Tahun 2009. dalam N. Wicitania, Faktor Resiko Gizi
Terhadap Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia Di Panti Werda Elim
Semarang. (Skripsi) Semarang: Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Kesehatan Universitas Semarang.
Alzheimer's, A. (2016). Alzheimer's Fact and Figure 2011. dalam W. Nuria,
Faktor Resiko Gizi Terhadap Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia D
Panti Werda Elim Semarang. (Skripsi) Semarang: Fakultas Ilmu
Keperawatan Dan Kesehatan Muhamadiyah Semarang.
Aspiani, R.Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik. Jakarta:
Trans Info Media
Asrori, N., & Putri, O. O. 2014. Panduan Perawatan Pasien Demensia di
Rumah. Malang: Umm Press.
Darmojo, B. (2018). Geriatri, Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. edisi ke-4. dalam
D. Qurniawati, Hubungan Prilaku Makan Dan Status Gizi Pada Lansia
Di Kecamatan Wates Kabupaten Kulon Progo.(Skripsi) Yogyakarta:
Falkultas Teknik Uniersitas Negeri Yogyakarta.
Fatmah. (2016). Gizi Usia lanjut. dalam N. Wicitania, Faktor Resiko Terhadap
Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia Di Panti Werda Elim Semarang.
(Skripsi) Semarang: fakultas Keperawatan dan Kesehatan Universitas
Muhamadiyah Semarang.

Nisa, K. M. (2016). Faktor Resiko Demensia Alzheimer. MAJORITY, Volume


5, Nomor 4 , 86.
Pratiwi, C. U. (2014). Pola Konsumsi Pangan, Aktivitas Fisik, Riwayat
Penyakit, Riwayat Demensia keluarga, dan Kejadian Demensia Pada
Lansia di Panti Wrdha Tresna Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan , 130
Sumbono, A. (2016). Biokimia Pangan Dasar. Buku di akses dari
https://books.google.co.id/books?isbn=6024019831 pada 21 Januari
2018
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Edisi 1. Jakarta : PPNI
Tomb, D. A. (2004). Buku Saku Psikiatri. Buku diakses di
https://books.google.co.id/books?isbn=9794485918 pada 23 Januari
2018
Wulandari, Ayu Fitri Sekar. (2011). Kejadian dan tingkat Depresi pada Lanjut
Usia diakses pada tanggal 25 September 2016.

Anda mungkin juga menyukai