PENYAKIT ALZHEIMER
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
A13.3
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli
Psikiatri dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi
seorang wanita berumur 51 tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori
serta tidak mengetahui kembali ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak
mengalami gangguan anggota gerak,koordinasi dan reflek. Pada autopsi tampak
bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetri, dan secara nikroskopik tampak
bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi neurofibrillary.
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2010 terdapat 35,6
juta orang di dunia yang menderita demensia, diperkirakan meningkat menjadi 65,7
juta pada tahun 2030 dan 115,4 juta pada tahun 2050.3 Dari seluruh pasien yang
menderita demensia, 50-60% diantaranya menderita Alzheimer’s diseases. Prevalensi
demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang
yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6% pada pria dan 0,8% pada wanita.
Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21%. Pasien dengan demensia
Alzheimer membutuhkan lebih dari 50% perawatan.
1.2 Tujuan Penulisan
2.1. Definisi
Demensia Alzheimer adalah penyakit dengan hendaya berat fungsi
otak(kemampuan kerja otak menurun) atau sering disebut gangguan pikun, yang
berlangsung secara progresif yang mengakibatkan gangguan berpikir, mengingat,
mental, emosi dan perilaku. Sehingga mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu.
Umumnya yang terkena orang usia lanjut, walau bisa juga pada usia lebih muda
(Depkes,2013).
2.2. Epidemiologi
Penyakit alzheimer merupakan penyakit neurodegeneratif yang secara
epidemiologi terbagi 2 kelompok yaitu kelompok yang menderita pada usia kurang
58 tahun disebut sebagai early onset sedangkan kelompok yang menderita pada usia
lebih dari 58 tahun disebut sebagai late onset.
Penyakit alzheimer dapat timbul pada semua umur, 96% kasus dijumpai
setelah berusia 40 tahun keatas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan
insidensi berdasarkan umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada
usia > 80 tahun. Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada
kelompok usia 60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada
usia 80 tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita
penyakit alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar,
18,5 juta orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum
diketahui dengan pasti.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali
dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih
lama dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap
jenis kelamin.
2.3. Faktor risiko
1. Gangguan daya ingat. Gejalanya diakibatkan karena sering lupa akan kejadian
yang baru saja terjadi, lupa janji, menanyakan dan menceritakan hal yang
sama berulang kali, dan lupa tempat parkir dimana.
2. Sulit fokus yaitu sulit melakukan aktivitas pekerjaan sehari-hari, lupa cara
memasak, mengoperasikan telepon, tidak dapat melakukan perhitungan
sederhana, bekerja dengan waktu yang lebih lama dari biasanya.
3. Sulit melakukan kegiatan familiar, yaitu seringkali sulit merencanakan atau
menyelesaikan tugas sehari-hari bingung cara mengemudi, sulit mengatur
keuangan.
4. Disorientasi, bingung akan waktu (tanggal, hari-hari penting), bingung
dimana mereka berada dan bagaimana mereka sampai disana, tidak tahu jalan
kembali ke rumah.
5. Kesulitan memahami visuospasial yaitu sulitnya membaca, mengukur jarak,
membedakan warna, membedakan sendok/garpu, tidak mengenali wajah
sendiri dicermin, menabrak cermin, menuangkan air digelas namun
tumpah/tidak tepat penuangannya.
6. Gangguan berkomunikasi, yaitu kesulitan berbicara dan mencari kata yang
tepat untuk menjelaskan suatu benda, seringkali berhenti di tengah percakapan
dan bingung untuk melanjutkannya.
7. Menaruh barang tidak pada tempatnya dan kadang curiga ada yang mencuri
atau menyembunyikan barang tersebut, juga termasuk gejala Demensia
Alzheimer.
8. Salah membuat keputusan, seperti kesulitan berbicara dan mencari kata yang
tepat untuk menjelaskan suatu benda seringkali berhenti ditengah jalan dan
sulit untuk melanjutkan kembali.
9. Menarik diri dari pergaulan, tidak memiliki semangat ataupun inisiatif untuk
melakukan aktivitas atau hobby yang biasa dinikmati, tidak terlalu semangat
untuk pergi bersosialisasi.
10. Adanya perubahan perilaku dan kepribadian, emosi berubah seara drastis,
menjadi bingung, curiga, depresi, takut atau tergantung yang berlebihan pada
anggota keluarga, mudah kecewa, marah dan putus asa baik di rumah maupun
dalam pekerjaan.
2.5. Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai
pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron
yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian
dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut
terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta)
yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal.
A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal
melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan
neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease, salah satunya A-beta,
fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan
tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril –
fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi
neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas
sehingga menggagu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah
sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor.
Pada stadium awal Alzheimer, terjadi keadaan mudah lupa dan kehilangan
ingatan ringan. Terdapat kesulitan ringan dalam aktivitas pekerjaan dan social.
Depresi dapat terjadi pada saat ini. Pasien dapat kehilangan kemampuannya
mengenali wajah, tempat, dan objek yang sudah dikenalnya. Pasien juga sering
mengulang-ulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya. Kemampuan
berbicara memburuk sampai pembentukan suku kata yang tidak masuk akal, agitasi,
dan peningkatan aktivitas fisik. Nafsu makan pun bertambah secara berlebihan.
Terjadi pula disfagia dan inkontinensia. Pasien dapat menjadi depresif, curiga,
paranoid, dan kasar(perubahan kepribadian).
Pendekatan terapi pada penyakit Alzheimer didasarkan pada teori yang berkembang
sesuai patogenesis dan patofisiologis penyakit dan kebutuhan untuk memperbaiki
gejala-gejala kognitif dan tingkah laku yang mengalami gangguan, meskipun hingga
saat ini belum ada terapi yang benar-benar secara meyakinkan mencegah Alzheimer
ataupun memperlambat perjalanannya.
Terapi medis dan non-medis untuk Alzheimer meliputi:
1) Obat-obatan Psikotropik dan intervensi perilaku
Berbagai intervensi farmakologis dan perilaku dapat memperbaiki gejala
klinik penyakit Alzheimer, seperti : kecemasan, agitasi dan perilaku psikotik,
yang memang pendekatan terbaiknya adalah secara simptomatis saja. Obat-obatan
ini sangat berguna meski keefektifannya sedang dan bersifat sementara saja dan
tidak mampu untuk mencegah perkembangan penyakit dalam jangka waktu yang
lama.
Intervensi perilaku meliputi pendekatan patient centered ataupun melalui
pelatihan tenaga yang siap memberikan bantuan perawatan terhadap pasien.
Intervensi-intervensi ini dikombinasikan dengan farmakoterapi seperti
penggunaan anxiolytic untuk anxietas dan agitasi, neuroleptik untuk keadaan
psikotiknya dan anti depressan untuk keadaan depresinya.
Beberapa obat psikotik yang dianjurkan untuk digunakan oleh banyak praktisi
adalah haloperidol, risperidone, olanzapine dan quetiapine. Obat-obatan ini
diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif untuk meminimalisir efek
samping, oleh karena sebagian besar pasien adalah mereka yang berusia lanjut.
2) Cholinesterase Inhibitors (ChEIs)
Strategi yang digunakan secara luas untuk mengatasi gejala-gejala
alzheimer adalah mengganti kehilangan neurotransmitter asetilkolin di korteks
serebri. Seperti diketahui, pada penyakit Alzheimer terdapat kehilangan yang
substansial dari asetilkolin, penurunan jumlah enzim asetiltransferase (enzim
untuk biosintetis asetilkolin) dan hilangnya neuron-neuron kolinergik di daerah
subkortikal (nukleus basalis dan hippokampus).yang memiliki serabut projeksi ke
korteks. Observasi ini menghasilkan teori bahwa manifestasi klinis dari alzheimer
timbul sebagai akibat dari hilangnya persarafan kolinergik ke korteks serebri.
Akibatnya, dikembangkanlah berbagai senyawa yang mampu menggantikan
defek kolinergik ini dengan cara mengintervensi proses degradasi asetilkolin oleh
asetilkolinesterase sinaptik (spesifik), ataupun oleh asetilkolinesterase non
sinaptik (non spesifik) yang sering disebut sebagai butyrylkolinesterase(BuChE).
Hanya tacrin dan rivastigminlah yang juga menghambat BuChE. Hal ini penting
untuk kemanjuran terapi, sebab dalam perjalanan penyakit Alzheimer, BuChE
akan meninggi dan di sintesis oleh berbagai lesi Alzheimer termasuk oleh plak
senilis. Efek obat-oabtan ini antara lain ; Memperbaiki fungsi kognitif pada fase
yang lanjut, Memperbaiki gangguan perilaku, Menolong pasien dengan demensia
akibat gangguan vaskuler yang sering muncul bersamaan dengan Alzheimernya.
Obat-obatan ini hanya berefek sementara sebab tidak memperbaiki penyebab
dasar dari hilangnya asetilkolin di korteks, yakni degenerasi neuron yang tetap
berlangsung secara progresif
3) Antagonis N-methyl-D-aspartate (NMDA)
Merupakan obat generasi baru yang amat berguna pada Alzheimer fase
lanjut. Kombinasi dengan asetilkolinesterase inhibitor terbukti lebih manjur.
Mamantine adalah contoh obat golongan ini, yang juga dapat digunakan untuk
keadaan neurodegeneratif lainnya seperti huntington disease, demensia terkait
AIDS dan demensia vaskular.
4) Estrogen
Amat berguna pada wanita menopause dimana produksi estrogennya
mulai menurun. Seperti kita ketahui estrogen merupakan suatu neurotropik dan
membantu melindungi otak dari proses-proses degeneratif.
5) Aktivitas dan sikap hidup yang sehat
Aktivitas-aktivitas fisik dan mental sangat direkomendasikan pada pasien-
pasien Alzheimer dengan memperlambat perkembangan penyakit dan mencegah
proses kemunduran lebih lanjut. Pada tahap perkembangan demensia Alzheimer
yang dini, sikap hidup yang sehat, baik fisik maupun psikologis mampu
memberikan perlindungan dan daya tahan dari otak terhadap lesi yang mulai
muncul dengan cara membangkitkan kompensasi dari bagian otak yang masih
sehat dan melindunginya dari perkembangan penyakit yang progresif.
6) Terapi musik
Salah satu cara meningkatkan kualitas hidup pasien adalah menjalani
terapi musik. Terapi musik untuk pasien Alzheimer sangat berguna untuk
menjaga kesehatan otak, yang berarti bisa menunda kerusakan lebih lanjut.
Menurut penelitian dalam jurnal Psychology of Music, suara Anda atau lagu yang
didengarkan dalam terapi musik bahkan tak perlu sekelas penyanyi kawakan.
Lagu apapun dan seperti apapun tipe suara Anda, hasilnya tetap baik bagi
kesehatan otak. Penelitian dalam Journal of Alzheimer’s Disease menyebutkan
bahwa orang yang baru saja didiagnosis bisa mendapatkan manfaat dengan rutin
menyanyi. Sedangkan bagi pasien Alzheimer di tahap lebih lanjut, kemampuan
berbicara dan berkonsentrasi mungkin melemah. Namun, mereka masih bisa
menjalani terapi musik yaitu dengan rutin mendengarkan musik.
\
BAB III
SIMPULAN
2.1 Simpulan
1. Kandita Mahran, Nisa, dkk. Faktor Resiko Demensi Alzhaimer. 2016; vol 5
no 4. Universitas Lampung
2. World Health Organization. Dementia: a public health priority. Jenewa:
World Health Organization; 2012.
3. Dr. Iskandar, Japardi. Penyakit Alzhaimer. 2002. Universitas Sumatera Utara
4. Al Rasyid, dkk. Penyakit Alzhaimer : Prevalensi dan Insidensi. 2000.
Universitas Gadjah Mada
5. www.depkes.go.id