Anda di halaman 1dari 7

KEPERAWATAN KOMUNITAS

PENYAKIT TIDAK MENULAR

DISUSUN OLEH :

NAMA : FERNANDO

NIM : 1814201242

PRODI : S1 KEPERAWATAN

DOSEN PEMBIMBING : Yeslina,M.Kep,Ns.Sp.Com

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

ILMU KEPERAWATAN

T/A : 2020/2021
LATAR BELAKANG

Pada tahun 2016, sekitar 71 persen penyebab kematian di dunia adalah penyakit
tidak menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun. Sekitar 80 persen
kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. 73%
kematian saat ini disebabkan oleh penyakit tidak menular, 35% diantaranya karena
penyakit jantung dan pembuluh darah, 12% oleh penyakit kanker, 6% oleh penyakit
pernapasan kronis, 6% karena diabetes, dan 15% disebabkan oleh PTM lainnya (data
WHO, 2018).

Keprihatinan terhadap peningkatan prevalensi PTM telah mendorong lahirnya


kesepakatan tentang strategi global dalam pencegahan dan pengendalian PTM,
khususnya di negara berkembang. PTM telah menjadi isu strategis dalam agenda
SDGs 2030 sehingga harus menjadi prioritas pembangunan di setiap negara.

Indonesia saat ini menghadapi beban ganda penyakit, yaitu penyakit menular dan
Penyakit Tidak Menular. Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi antara
lain oleh perubahan lingkungan, perilaku masyarakat, transisi demogra, teknologi,
ekonomi dan sosial budaya. Peningkatan beban akibat PTM sejalan dengan
meningkatnya faktor risiko yang meliputi meningkatnya tekanan darah, gula darah,
indeks massa tubuh atau obesitas, pola makan tidak sehat, kurang aktivitas sik, dan
merokok serta alkohol.

Program Kemenkes lainnya yang disinergikan dengan program PTM utama


adalah pengendalian gangguan indera serta yang berfokus pada gangguan penglihatan
dan pendengaran serta gangguan disabilitas. Berdasarkan data Riskesdas 2013,
prevalensi gangguan pendengaran secara nasional sebesar 2,6% dan prevalensi
ketulian sebesar 0,09%. Hasil survei Rapid Assesment of Avoidable Blindness
(RAAB) menunjukkan bahwa prevalensi kebutaan atas usia 50 tahun Indonesia
berkisar antara 1,7% sampai dengan 4,4%. Dari seluruh orang yang menderita
kebutaan, 77,7% kebutaan disebabkan oleh katarak. Penyebab lain dari kebutaan di
Indonesia adalah kelainan di segmen posterior bola mata (6%), glaucoma (2,9%), dan
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi (2,3%). Pada prevalensi gangguan
pendengaran ditemukan 2,6 % dan ketulian sebesar 0,09 %. Sedangkan pada Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 disebutkan prevalensi disabilitas pada
penduduk umur 18 – 59 tahun sebesar 22%.

Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada indikator-


indikator kunci PTM yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019, sebagai berikut :

 Prevalensi tekanan darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun keatas meningkat
dari 25,8% menjadi 34,1%;

 Prevalensi obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas meningkat dari 14,8 %


menjadi 21,8%;
 Prevalensi merokok penduduk usia ≤18 tahun meningkat dari 7,2%. menjadi
9,1%.

Untuk data PTM lainnya menunjukkan hasil sebagai berikut :

 Prevalensi Asma pada penduduk semua umur menurun dari 4,5% menjadi 2,4%;

 Prevalensi Kanker meningkat dari 1,4 per menjadi 1,8 per mil;

 Prevalensi Stroke pada penduduk umur ≥ 15 tahun meningkat dari 7 menjadi 10,9
per mil; l Prevalensi penyakit ginjal kronis ≥ 15 tahun meningkat dari 2,0 per mil
menjadi 3,8 per mil;

 Prevalensi Diabetes Melitus pada penduduk umur ≥ 15 tahun meningkat dari 6,9
% menjadi 10,9%; l Prevalensi aktivitas sik kurang pada penduduk umur ≥ 10
tahun meningkat dari 26,1% menjadi 33,5%;

 Prevalensi konsumsi buah/sayur kurang pada penduduk umur ≥ 5 tahun


meningkat dari 93,5% menjadi 95,5%.

Meningkatnya kasus PTM secara signikan diperkirakan akan menambah beban


masyarakat dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan biaya yang besar
dan memerlukan teknologi tinggi. Hal ini dapat terlihat dari data Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) tahu n 2017, sebanyak 10.801.787
juta orang atau 5,7% peserta JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik dan
menghabiskan biaya kesehatan sebesar 14,6 triliun rupiah atau 21,8% dari seluruh
biaya pelayanan kesehatan dengan komposisi peringkat penyakit jantung sebesar
50,9% atau 7,4 triliun, penyakit ginjal kronik sebesar 17,7% atau 2,6 triliun rupiah.

Untuk itu, dibutuhkan komitmen bersama dalam menurunkan morbiditas,


mortalitas dan disabilitas PTM melalui intensikasi pencegahan dan pengendalian
menuju Indonesia Sehat, sehingga perlu adanya pemahaman yang optimal serta
menyeluruh tentang besarnya permasalahan PTM dan faktor risikonya pada semua
pengelola program disetiap jenjang pengambil kebijakan dan lini pelaksanaan. Atas
dasar hal tersebut di atas, maka dipandang sangat penting untuk diterbitkannya
Pedoman Manajemen Program Pencegahan dan Pengendalian PTM (P2PTM) sebagai
acuan penyelenggaraan program yang berkesinambungan sehingga upaya yang
dilakukan kepada masyarakat lebih tepat dan berhasil guna meskipun pejabat
pengelola program yang ditunjuk nantinya juga akan berganti.

(http://p2ptm.kemkes.go.id/uploads/VHcrbkVobjRzUDN3UCs4eUJ0dVBndz09/2019
/03/Buku_Pedoman_Manajemen_PTM.pdf)
Penyakit tidak menular Hipertensi

Faktor Resiko

Akibat yang ditimbulkannya sudah barang tentu menjadi masalah kesehatan


masyarakat dan segera mendapat perhatian dari Direktoran Pengendalian Penyakit
Tidak menular. Hipertensi, merupakan salah satu faktor risiko yang paling
berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah. Seringkali,
mereka yang mengidap hipertensi tidak menunjukkan gejala, sehingga baru disadari
bila telah menyebabkan gangguan organ seperti gangguan fungsi jantung atau stroke.
Tidak jarang hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan
kesehatan rutin atau datang dengan keluhan lain. Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun
ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya
7,2% penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus
yang minum obat hipertensi. Itu berarti 76% kasus hipertensi di masyarakat belum
terdiagnosis atau 76% masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita
hipertensi.

Penatalaksaan

Penatalaksanaan hipertensi meliputi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi.


Terapi non farmakologi berupa modifikasi gaya hidup meliputi pola diet, aktivitas
fisik, larangan merokok dan pembatasan konsumsi alkohol. Terapi farmakologis dapat
diberikan antihipertensi tunggal maupun kombinasi.

Pencegahan

Untuk mengelola penyakit hipertensi termasuk penyakit tidak menular lainnya,


Kemenkes membuat kebijakan yaitu:
- Mengembangkan dan memperkuat kegiatan deteksi dini hipertensi secara aktif
(skrining)
- Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan deteksi dini melalui kegiatan
Posbindu PTM
- Meningkatkan akses penderita terhadap pengobatan hipertensi melalui revitalisasi
Puskesmas untuk pengendalian PTM melalui Peningkatan sumberdaya tenaga
kesehatan yang profesional dan kompenten dalam upaya pengendalian PTM
khususnya tatalaksana PTM di fasilitas pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas;
Peningkatan manajemen pelayanan pengendalian PTM secara komprehensif (terutama
promotif dan preventif) dan holistik; serta Peningkatkan ketersediaan sarana dan
prasarana promotif-preventif, maupun sarana prasarana diagnostik dan pengobatan.
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan hipertensi dimulai dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih sehat.
Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu melakukan
Pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau mengurangi faktor risiko
Hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui promosi kesehatan seperti diet
yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah, rendah garam dan lemak, rajin
melakukan aktivitas dan tidak merokok. Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan
sekunder yang lebih ditujukan pada kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit.
Bila ditemukan kasus, maka dapat dilakukan pengobatan secara dini. Sementara
pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan kualitas hidup penderita.
Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut dini dan pengelolaan hipertensi
yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan darah dapat terkontrol dan tidak
memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal kronik, stroke dan jantung.
Penanganan respon cepat juga menjadi hal yang utama agar kecacatan dan kematian
dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali dengan baik. Pencegahan tertier
dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar dari komplikasi yang lebih lanjut
serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang lama ketahanan hidup.
Program pemerintah

Direktorat Penyakit Tidak Menular (PTM) mengajak masyarakat menjadi ‘CERDIK’


dengan melakukan Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara
lainnya, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat, Istirahat cukup, dan Kendalikan stress.
Upaya CERDIK perlu terus ditingkatkan dan digencarkan, terutama sosialisasi ke
daerah-daerah sub-urban,” tambah dr. Ekowati Rahajeng.
PENYAKIT TIDAK MENULAR STROKE

Faktor Resiko

Faktor resiko yang bisa di ubah (Oleh : P2PTM Kemenkes RI)

 Hipertensi
 Diabetes Melitus
 Merokok
 Atrial Fibrilasi
 Penyakit Jantung lainnya
 Pasca Stroke
 Dislipidemia
 Konsumsi alkohol
 Penyalahgunaan obat
 Stenosis arteri karotis
 Hiperfibrinogenemia
 Hiperhomosisteinemia
 Obesitas
 Pemakaian kontrasepsi hormonal
 Stres mental fisik
 Migrain
 Kurang aktivitas fisik
 Sickle cell anemia

Penatalaksaan

 Penyuntikkan rtPA. Penyuntikan rtPA (recombinant tissue plasminogen activator)


melalui infus dilakukan untuk mengembalikan aliran darah. ...
 Obat antiplatelet. Untuk mencegah pembekuan darah, digunakan obat antiplatelet,
seperti aspirin.
 Obat antikoagulan. ...
 Obat antihipertensi. ...
 Statin. ...
 Endarterektomi karotis. ...
 Angioplasti.

Pencegahannya

 Hindari asap rokok


 Tingkatkan konsumsi sayur & buah
 Cek kesehatan secara rutin    
 Berolahraga secara teratur seperti aerobik minimal 3 kali seminggu
 Kurangi makanan asin dan bergaram
Program pemerintah
Stroke dapat dicegah dengan pengendalian perilaku yang berisiko seperti
penggunaan tembakau, diet yang tidak sehat dan obesitas, kurang aktivitas fisik serta
penggunaan alkhohol.
Menurut data Riskesdas, faktor risiko perilaku utama yang menjadi tantangan dalam
upaya pengendalian Penyakit Tidak Menular di Indonesia adalah :
 Sekitar 93,5% penduduk berusia >10 tahun kurang konsumsi buah dan sayur.
 Sekitar 36,3% penduduk berusia >15 tahun merokok, perempuan berusia > 10
tahun yang merokok  sekitar 1,9%.
 Sekitar 26,1% penduduk kurang melakukan aktivitas fisik.
 Sekitar 4,6% penduduk berusia >10 tahun minum minuman beralkhohol.
Faktor perilaku tersebut di atas, merupakan penyebab terjadinya faktor risiko
fisiologis atau faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia , obesitas,
dan lain-lain yang dapat menyebabkan terjadinya stroke.
Untuk mencegah terkena penyakit tidak menular seperti stroke maka dianjurkan untuk
setiap individu meningkatkan gaya hidup sehat dengan perilaku “CERDIK”, yaitu ,
Cek Kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat
dan seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres.

CERDIK adalah slogan  yang berisi pesan  yang mudah diingat agar masyarakat
memahami dan mampraktikan  gaya hidup sehat untuk  mencegah  terkena penyakit
tidak menular. Cerdik menjadi slogan utama dalam upaya kesehatan berbasis
masyarakat yang  dikembangkan oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Tidak Menular dalam wadah Posbindu PTM  yang dibina oleh 4.820
puskesmas di seluruh Indonesia untuk menggerakkan masyarakat melakukan deteksi
dini dan memonitoring faktor risiko PTM.

Anda mungkin juga menyukai