PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, Penyakit Tidak Menular ( PTM ) menjadi penyebab kematian utama sebesar
36 juta ( 63 % ) dari seluruh kasus kematian yag terjadi di seluruh dunia, dimana sekitar 29
juta (80%) justru terjadi di Negara-negara berkembang (WHO,2010). Peningkatan kematian
akibat PTM di masa mendatang diproyeksikan akan terus terjadi sebesar 15 % (44 juta
kematian) dengan rentang waktu antara tahun 2010-2020. Kondisi ini timbul akibat
perubahan perilaku manusia dan lingkungan yang cenderung tidak sehat terutama pada
Negara-negara berkembang.
Pada awal perjalanan PTM seringkali tidak bergejala dan tidak menunjukkan tanda
klinis secara khusus sehingga datang sudah terlambat atau pada stadium lanjut akibat tidak
mengetahui dan menyadari kondisi kelainan yang terjadi pada dirinya. Riset kesehatan
Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 menunjukka bahwa 69,6 % dari kasus Diabetes Mellitus
dan 63,2 % dari kasus Hypertensi masih belum terdiagnosis. Keadaan ini mengakibatkan
penanganan menjadi sulit, terjadi komplikasi bahkan berakibat kematian dini.
Dalam kurun waktu tahun 1995-2007, kematian akibat PTM mengalami peningkatan
dari 41,7 % menjadi 59,5 %. Peningkatan prevalensi PTM berdampak terhadap peningkatan,
sebab pembiayaan kesehatan yang harus di tanggung Negara dan masyarakat. Penyandang
PTM memerlukan biaya yang relative mahal, terlebih bila kondisinya berkembang semakin
lama (menahun) dan terjadi komplikasi.
Data pusat pembiayaan Jaminan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2012
memperlihatkan bahwa PTM menghabiskan biaya pengobatan yang cukup besar bila
dibandingkan dengan biaya pengobatan tertinggi dari seluruh penyakit menular.
PTM dapat dicegah dengan mengendalikan faktor resikonya, yaitu merokok, diet yang
tidak sehat, kurang aktifitas fisik dan konsumsi minuman beralkohol. Mencegah dan
mengendalikan faktor resiko relative lebih murah bila dibandingkan dengan biaya
pengobatan PTM. Pengendalian factor resiko merupakan upaya untuk mencegah PTM bagi
masyarakat sehat, yang mempunyai factor risiko bagi penyandag PTM, dengan tujuan bagi
yang belum memiliki factor resiko agar tidak timbul factor resiko PTM, kemudian bagi yang
mempunyai factor resiko diupayakan agar kondisi factor resiko PTM normal kembali dan
atau mencegah terjadinya PTM bagi yag sudah menyandang PTM untuk mencegah
komplikasi, kecacatan dan kematian dini serta meningkatkan kualitas hidup.
1
Pada awal perjalanan PTM seringkali tidak bergejala dan tidak menunjukkan tanda
klinis secara khusus sehingga datang sudah terlambat atau pada stadium lanjut akibat tidak
mengetahui dan menyadari kondisi kelainan yang terjadi pada dirinya. Riset Kesehatan
Dasar pada tahun 2013 menunjukkan bahwa 69,9% dari kasus diabetes melltius dan 63,2%
dari kasus hipertensi masih belum terdiagnosa. Keadaan ini mengakibatkan penanganan
menjadi sulit, terjadi komplikasi bahkan berakibat kematian lebih dini.
Peningkatan prevalensi PTM berdampak terhadap peningkatan beban pembiayaan
kesehatan yang harus ditanggung Negara dan Masyarakat. Penyandang PTM memerlukan
biaya yang relative mahal, terlebih bila kondisinya berkembang semakin lama dan terjadi
komplikasi.
Salah satu strategi pengendalian PTM yang efisien dan efektif adalah pemberdayaan
dan peningkatan peran serta masyarakat. Masyarakat diberikan fasilitas dan bimbingan
untuk berpartisipasi dalam pengendalian factor resiko PTM dan dibekali pengetahuan dan
keterampilan untuk melakukan deteksi dini, pemantauan factor resiko PTM serta tindak
lanjutnya.
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan masalah yang sangat substansial,
mengingat pola kejadian sangat menentukan status kesehatan di suatu daerah dan juga
keberhasilan peningkatan status kesehatan di suatu negara (Sudoyo, 2006). Secara global
WHO (World Health Organization) memperkirakan PTM menyebabkan sekitar 60%
kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Perubahan pola struktur masyarakat dari
agraris ke industry dan perubahan pola fertilitas gaya hidup dan social ekonomi masyarakat
diduga sebagai hal yang melatarbelakangi prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM),
sehingga kejadian penyakit tidak menular semakin bervariasi dalam transisi epidemiologi
(Mirza, 2009).
Pada tahun 2016, sekitar 71 persen penyebab kematian di dunia adalah penyakit tidak
menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun. Sekitar 80 persen kematian tersebut
terjadi di negara berpenghasilan menegah dan rendah. 73% kematian saat ini disebabkan
oleh penyakit tidak meniular, 35% diantaranya karena penyakit jantung dan pembuluh
darah, 12% oleh penyakit kanker, 6% oleh penyakit pernafasan kronis, 6% karena diabetes,
dan 15% disebabkan oleh PTM lainnya (data WHO,2018).
Keprihatinan terhadap peningkatan prevalensi PTM telah mendorong lahirnya
kesepakatan tentang strategi global dalam pencegahan dan pengendalian PTM, khususnya di
negara berkembang. PTM telah menjadi isu strategis dalam agenda SDGs 2030 sehingga
harus menjadi prioritas pembangunan di setiap negara.
Indonesia saat ini mengahadapi beban ganda penyakit, yaitu penyakit menular dan
penyakit tidak menular. Perubahan pola penyakit tersebut sangat dipengaruhi antara lain
2
oleh perubahan lingkungan, perilaku masyarakat transisi demografi, teknologi, ekonomi dan
sosial budaya. Peningkatan beban akibat PTM sejalan dengan meningkatnya faktor risiko
yang meliputi pola makan tidak sehat, kurang aktifitas fisik, dan merokok serta alkohol.
Program kemenkes lainnya yang disinergikan dengan program PTM utama adalah
pengendalian gangguan indera serta yang berfokus pada gangguan penglihatan dan
pendengaranserta gangguan disabilitas. Berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi
ketulian sebesar 0,09%. hasil survei prevalensi kebutaan atas usia 50 tahun indonesia
berkisar antara 1,7% sampai dengan 4,4%. Dari seluruh orang yang menderita kebutaan,
77,7% kebutaan disebabkan oleh katarak. Penyebab lain dari kebuataan di indonesia adalah
kelainan di segmen posterior bola mata (6%), glucoma (2,9%), dan kelainan refraksi yang
tidak terkoreksi (2,3%). Pada prevalensi gangguan pendengaran ditemukan 2,6% dan
ketulian sebesar 0,09%. sedangkan pada riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018
disebutkan prevalensi disabilitas pada penduduk umur 18-59 tahun sebesar 22%.
Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada indikator-
indikator kunci PTM yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019, yaitu Prevalensi tekanan
darah tinggi pada penduduk usia 18 tahun keatas meningkat dari 25,8% menjadi 34,1%,
Prevalensi obesitas penduduk usia 18 tahun keatas meningkat dari 14,8% menjadi 21,8%,
Prevalensi merokok penduduk usia ≤ 18 tahun meningkat dari 7,2% menjadi 9,1%.
Untuk data PTM lainnya menunjukkan hasil yaitu Prevalensi asma pada penduduk
semua umur menurun dari 4,5% menjadi 2,4%, Prevalensi kanker meningkat dari 1,4% per
mil menjadi 1,8 per mil, Prevalensi stroke pada penduduk umur ≥ 15 tahun meningkat dari 7
per mil menjadi 10,9 per mil, Prevalensi penyakit ginjal kronis ≥ 15 tahun meninhkat daei
2,0 per mil menjadi 3,8 per mil, Prevalensi diabetes melitus pada penduduk umur ≥ 10
tahun meningkat dari 26,1 % menjadi 33,5%, Prevalensi konsumsi buah/sayur kurang pada
penduduk umur ≥ 5 tahun meningkat dari 93,5% menjadi 95,5%.
Meningkatnya kasus PTM secara signifikan diperkirakan akan menambah beban
masyarakat dan pemerintah, karena penanganannya membutuhkan biaya yang besar dan
memerlukan tekhnologi tinggi. Hal ini dapat terlihat data Badan Penyelengara Jamianan
Sosial Kesehatan (BPJS) tahun 2017, sebanyak 10.801.787 juta orang atau 5,7% peserta
JKN mendapat pelayanan untuk penyakit katastropik dan menghabiskan biaya kesehatan
sebesar 14,6 triliun rupiah atau 21,8% dari seluruh biaya pelayanan kesehatan dengan
komposisi peringkat penyakit jantung sebesar 50,9% atau 7,4 triliun, penyakit ginjal kronik
sebesar 17,7% atau triliun rupiah.
Untuk itu dibutuhkan komitmen bersama dalam menurunkan morbiditas, mortalitas
dan disabilitas PTM melalui inten sifikasi pencegahan dan pengendalian menuju Indonesia
Sehat, sehingga perlu adanya pemahaman yang optimal serta menyeluruh tentang besarnya
3
permasalahan PTM dan faktor risikonya pada semua pengelola program disetiap jenjang
pengambil kebijakan dan lini pelaksanaan.
Dalam melaksanakan pelayanan Penyakit Tidak Menular di Puskesmas, agar dapat
berjalan dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan pasien maka Puskesmas Kedungdoro
perlu menyusun “PEDOMAN PENYAKIT TIDAK MENULAR PUSKESMAS
KEDUNGDORO” yang dapat dijadikan sebagai panduan bagi penanggungjawab program
PTM dan Pelaksana dalam menunaikan tugasnya memberikan pelayanan kesehatan yang
aman dan bermutu.
Kegiatan Pelayanan Penyakit Tidak Menular (PTM) meliputi kegiatan di dalam
maupun luar gedung Puskesmas baik Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya
Kesehatan Masyarakat (UKM).
.
B. Tujuan Pedoman
1. Tujuan Umum
1. Tujuan Khusus
d. Sebagai pedoman tim posbindu dan lintas sektor dalam pelaksaan kegiatan Posbindu PTM,
Skrining PTM, serta petugas IVA dalam pelaksanaan IVA.
4
C. Sasaran Pedoman
1. Pelayanan Kesehatan Pada Usia Produktif (Target 100%) = 28328 Orang
2. Pelayanan Kesehatan Pada Hipertensi (Target 100%) = 10401 Orang
3. Pelayanan Kesehatan Pada Diabetes Melitus (Target 100%) = 1357Orang
4. Pelayanan Pemeriksaan IVA (Target 100%) = 4578 WUS
5. Pelayanan Kesehatan Indera (Target 100%) = 40884 Orang
6. Pelayanan Kesehatan Jiwa (ODGJ) ( Taget 100%) = 129 Orang.
7. Deteksi Dini Faktor Risiko PTM usia ≥ 15 tahun ( 100 % ) = 32902 orang
8. Persentase merokok penduduk usia 10- 18 tahun ( < 8.9% ) = 2978Anak/Remaja
E. Batasan Operasional
Batasan operasional pedoman ini meliputi batasan pelaksanaan standar pelayanan P2PTM di
Puskesmas Kedungdoro yaitu :
a. Upaya pengendalian melalui promosi adalah kegiatan penyuluhan baik kepada individu
maupun kelompok masyarakat tentang penyakit tidak menular dan cara pencegahan penyakit
tidak menular
b. Deteksi dini adalah upaya kesehatan untuk mengenali atau menandai suatu gejala penyakit
ataupun faktor resiko dari penyakit
c. Skrining adalah pemeriksaan kesehatan yang dilakukan untuk menilai apakah seseorang
memiliki faktor risiko terhadap suatu masalah kesehatan
d. Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang
dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan yang menderita penyakit kronis untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal
5
e. Pelaporan adalah kegiatan rutin pengumpulan data, yakni pengumpulan data penyakit tidak
menular kasus baru, pengumpulan data surveilans faktor risiko penyakit, pengumpulan data
pelaksanaan posbindu PTM
f. Tindak lanjut adalah suatu aksi atau lanjutan langkah dari kegiatan
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Distribusi Ketenagaan
Pengaturan dan penjadwalan program PTM dikoordinir oleh coordinator PTM dan oleh
penanggungjawab program PTM Masing-masing bidang, sesuai dengan Persetujuan Kepala
Puskesmas.
C. Jadwal Kegiatan
Jadwal pelaksanaan kegiatan Program PTM disepakati dan disusun bersama dengan
Tenaga Kesehatan yang ada di Puskesmas Kedungdoro dan atas persetujuan kepala
puskesmas.
6
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruang
Ruang yang digunakan untuk kegiatan Program PTM idealnya adalah ruang tertutup
yang luas, dan cukup untuk melakukan proses kegiatan/aktivitas Program PTM.
Koordinasi pelaksanaan kegiatan dari program PTM dilakukan oleh penanggungjawab
program PTM. Fasilitas kegiatan PTM yang ada dalam gedung Puskesmas Kedungdoro
berupa uapaya pelayanan deteksi dini kanker mulut rahim (Test IVA) yang bertempat di ruang
IVA.
Untuk kegiatan luar Gedung disesuaikan dengan tempat yang telah disediakan oleh
masyarakat atau OPD yang berada di wilayah Puskesmas Kedungdoro.
B. Standar Fasilitas
8 Tensimeter 9 buah
7
10 Timbang Badan 9 buah
12 Komputer 1 buah
BAB IV
TATALAKSANA PELAYANAN
A. Lingkup kegiatan
1. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)/ Upaya Kesehatan Masyarakat ( UKM )
Kegiatan UKP berupa konsultasi pasien, pemberian obat sesuai kebutuhan pasien yang
tersedia di Puskesmas atau dirujuk. Dan Untuk Kegiatan UKM berupa Skrining dan
penemuan masyarakat yang mempunyai Faktor resiko penyakit PTM dan melakukan
rujukan ke Puskesmas.
8
2. Pelayanan edukasi pada usia proktif adalah Edukasi yang dilaksanakan di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan/atau UKBM
2. Pelayanan Skrining faktor risiko pada usia produktif adalah skrining yang dilakukan
minimal 1 kali dalam setahun untuk penyakit menular dan penyakit tidak menular
meliputi :
a. Pengukuran tinggi badan, berat badan dan lingkar perut
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan gula darah
b. Pelayanan momen khusus dilakukan dalam bentuk kegiatan skrining program indera
1. Petugas mempersiapkan tempat dan alat kesehatan
yang akan digunakan
2. Petugas melakukan anamnesa
B. Metode
Metode pelayanan kesehatan penyakit tidak menular (PTM) yang dilakukan di Puskesmas
Kedungdoro menggunakan metode :
1. Perencanaan
12
Perencanaan hasil penentuan prioritas, rumusan tujuan, rumusan intervensi dan jadwal
kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan kegiatan penyakit tidak menular (PTM)
hendaknya terintegrasi dengan kegiatan perencanaan di wilayah kerja puskesmas. Kegiatan
perencanaan terdiri dari, sebagai berikut :
a. Menentukan prioritas masalah
b. Menentukan tujuan
c. Menentukan kegiatan
d. Menyusun jadwal kegiatan
13
2. Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan upaya yang akan dilakukan sesuai dengan rencana kegiatan.
Kegiatannya merupakan implementasi dari kegiatan terpilih. Mekanisme pelaksanaan dapat
dilakukan dengan berbagai cara, sebagaimana dijelaskan di lingkup kegiatan di atas.
3. Monitoring
Monitoring adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengetaui sejauh mana pencapaian dan
pelaksanaan program penyakit tidak menular (PTM) di puskesmas. Monitoring dapat
dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan bailk dalam gedung maupundi luar gedung.
Mekanisme monitoring dapat dilakukan dengan cara melakukan pelaporan pelaksanaan dan
pencapaian program kesehatan lingkungan di Puskesmas, yang disampaikan oleh pengelola
program pelayanan penyakit tidak menular (PTM) di Puskesmas kepada kepala puskesmas
setiap bulannya (secara langsung ataupun melalui mini lokakarya bulanan puskesmas).
4. Evaluasi
Evaluasi sebaiknya dilakukan di setiap tahapan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
hasil evaluasi dilakukan pada setiap pertengahan dan akhir tahun untuk menilai proses dan
hsil pelaksanaan kegiatan pelayanan program penyakit tidak menular (PTM)di puskesmas.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menilai sejauh mana kemajuan kegiatan dan hasil yang
dicapai. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan indikator kinerja program pelayanan
program penyakit tidak menular (PTM) di Puskesmas Kedungdoro.
5. Pelaporan
Menyampaikan laporan kegiatan pelayanan program penyakit tidak menular (PTM) secara
berkala Kepala Dinas Kesehatan Kota. Laporan kegiatan pelayananan penyakit tidak
menular (PTM) merupakan bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan dalam skala
kota. Bila pasien yang diberikan pelayanan penyakit tidak menular (PTM) adalah anggota
masyarakat yang bertempat tinggal diluar wilayah Puskemas, maka Kepala Puskesmas akan
melaporkana kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk ditindaklanjuti.
Pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan program penyakit tidak melura (PTM) di
Puskesmas terintegrasi dengan sistem informasi Puskesmas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C. Langkah Kegiatan
1. Pengkajian Awal
14
Ketika pasien diterima di Puskesmas untuk memperoleh pelayanan perlu dilakukan kajian
awal yang lengkap dalam menetapkan alasan kenapa pasien perlu mendapat pelayanan klinis
di Puskesmas. Pada tahap ini, Puskesmas membutuhkan informasi khusu dan prosedur untuk
mendapat informasi, tergantung pada kebutuhan pasien dan jenis pelayanan yang harus
diberikan. Kajian dilaksanakan oleh setiap disiplin dalam lingkup praktik, profesi, perizinan,
undang-undang dan peraturan terkait atau sertifikasi. Dalam hal ini, pengkajian awal
dilakukan dengan prinsip SOAP, yaitu :
Subyektif
Data subyektif pasien didapatkan dari anamnesa pasien / keluarganya. Data subyektif
antara lain membuat keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat alergi, informasi lainnya
yang dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosa.
Obyektif
Data obyektif pasien didapatkan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas
terhadap pasien, baik pemeriksaan fisik maupun penunjang. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan anatara lain : keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital, status generalis,
status lokalis, dan pemeriksaan fisik lain yang diperlukan untuk menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa,
misalnya pemeriksaan laboratorium, dan sebagainya. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan tetapi tidak dapat dilakukan di Puskesmas Kedungdoro, maka dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan lain yang bekerja sama dengan Puskesmas Kedungdoro .
Assesment
Temuan pada kajian awal dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dan
menetapkan pelayanan / tindakan sesuai kebutuhan serta rencana tindak lanjut dan
evaluasinya.
Temuan dan kajian awal juga dapat digunakan untuk membuat keputusan perlunya
review / kajian ulang pada situasi yang meragukan.
15
Rencana layanan ditetapkan berdasarkan hasil kajian yang dinyatakan dalam bentuk
diagnosis. Dalam menyusun rencana layanan perlu dipandu oleh standar pelayanan
medis dan standar asuhan keperawatan.
16
2. Perencanaan Layanan Klinis
Rencana layanan ditetapkan berdasarkan hasil kajian yang dinyatakan dalam bentuk
diagnosis. Dalam menyusun rencana layanan perlu dipandu oleh standar pelayanan medis
dan standar asuhan keperawatan.
Pasien punya hak untuk mengambil keputusan terhadap layanan yang akan diperoleh.
Pasien/keluarga diberi peluang untuk bekerjasama dalam menyusun rencana layanan klinis
yang akan dilakukan. Dalam menyusun rencana layanan tersebut harus memperhatikan nilai-
nilai budaya yag dimiliki oleh pasien.
Pada kondisi tertentu pasien membutuhkan layanan terpadu yang melibatkan tim
kesehatan. Rencana layanan terpadu meliputi: tujuan layanan yang akan diberikan,
pendidikan kesehatan pada pasien dan/atau keluarga pasien, jadwal kegiatan, sumber daya
yang akan digunakan, dan kejelasan tanggung jawab tiap anggota tim kesehatan dalam
melaksanakan layanan. Pelaksanaan layanan terpadu antar profesi dilaksanakan dengan
rujukan internal Puskesmas.
Salah satu cara melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan tentang pelayanan yang
diterimanya adalah dengan cara memberikan informed consent/informed choice. Untuk
menyetujui/memilih tindakan, pasien harus diberi penjelasan/konseking tentang hal yang
berhubungan dengan pelayanan yang direncanakan, karena dieperlyakan untuk suatu
keputusan persetujuan.
Informed consent dilakukuan sebelum suatu tindakan atau pengobatan tertentu yang
berisiko. Pasien dan keluarga dijelaskan tentang tes/tindakan, prosedur, dan pengobatan
mana yang memerlukan persetujuan dan bagaimana mereka dapat memberikan persetujuan
secara tertulis pada lembar inform consent.
Untuk meningkatkan luaran klinis yang optimal perlu ada kerjasama antara petugas
kesehatan dan pasien/keluarga. Pasien/keluarga perlu mendapatkan penyuluhan kesehatan
dan edukasi yang terkait dengan penyakit dan kebutuhan klinis pasien, oleh karena itu
penyuluhan dan pendidikan pasien/keluarga perlu dipadukan dalam pelayanan klinis.
Setiap kali selesai melakukan edukasi kepada pasien/keluarga maka dilakukan penilaian
terhadap efektivitas penyampaian informasi kepada pasien/keluarga pasien agar mereka
dapat berperan aktif dalam proses layanan dan memahami konsekuensi layanan yang
17
diberikan. Hasil pelaksanaan edukasi ditulis di dalam lembar catatan penyampaian edukasi
dan disimpan di dalam berkas rekam medis.
5. Perencanaan Rujukan
Jika kebutuhan pasien tidak dapat dipenuhi oleh Puskesmas, maka pasien harus dirujuk
ke fasilitas kesehatan yang mampu menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien.
Pasien/keluarga pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang rencana
rujukan. Informasi tentang rencana rujukan harus disampailkan dengan cara yang mudah
dipahami oleh pasien/keluarga pasien.
Informasi tentang rencana rujukan diberikan kepada pasien/keluarga pasien untuk
menjamin kesinambungan pelayanan. Informasi yang perlu disampaikan kepada pasien
meliputi: alasan rujukan, fasilitas kesehatan yang dituju, termasuk pilihan fasilitas kesehatan
lainnya, jika ada, sehingga pasien/keluarga pasien dapat memutuskan fasilitas yang mana
yang dipilih, serta kapan rujukan harus dilakukan.
Untuk memastikan kontinuitas pelayanan, informasi mengenai kondisi pasien
dikirimbersama pasien. Salainan resume pasien tersebut diberikan kepada fasilitas kesehatan
penerima tujuan rujukan bersama dengan pasien. Resume tersebut memuat kondisi klinis
pasien, prosedur dan pemeriksaan yang telah dilakukan dan kebutuhan pasien lebih lanjut.
Jika puskemas menerima umpan balik rujukan pasien dari fasilitas kesehatan yang lebih
tinggi atau fasilitas kesehatan lain, maka perlu dilakukan tindak lanjut terhadap pasien
melalui proses kajian, dan sesuai prosedur yang berlaku, dengan memperhatikan
rekomendasi tindak lanjut dari sarana kesehatan yang memberikan umpan balik rujukan.
18
19
BAB V
LOGISTIK
A. Perencanaan Kebutuhan
Fungsi perencanaan ini pada dasarnya adalah menghitung berapa besar kebutuhan bahan
logistik yang diperlukan untuk periode waktu tertentu, biasanya untuk satu tahun.
Ada dua cara pendekatan yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan obat,
yaitu :
1. Dengan memenuhui atau menghitung kebutuhan yang telah dengan nyata dipergunakan
dalam periode waktu yang lalu :
20
2. Dengan melihat program kerja yang akan datang
1. Membuat analisa kebutuhan untuk dapat menunjang pelaksanaan kegiatan pelayanan, pola
penyakit, target kinerja kerja.
B. Penganggaran
C. Pengadaan
Fungsi berikutnya adalah pengadaan, yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk
mengadakan bahan logistik yang telah direncanakan.
D. Penyimpanan
Fungsi berikutnya adalah penyimpanan ini sebenarnya termasuk juga fungsi penerimaan
barang. Secara garis besar yang harus dicek kebenarannya:
1. Kesesuaian dengan jenis, jumlah dan spesifikasi bahan serta waktu penyerahan
barang terhadap surat pesan (SP) dan surat perintah kerja (SPK).
2.Kondisi fisik bahan, apakah tidak ada perubahan warna, kemasan, bau, noda dan
sebagainya yang menindikasikan tingkat kualitas bahan.
3.Kesesuaian waktu penerimaan bahan terhadap batas waktu surat pesan (SP).
Barang yang diterima tersebut kemudian dibuatkan berita acara penerimaan (BAP) barang.
Berdasarkan sifat dan kepentingan barang/bahan logistik ada beberapa jenis barang logistik,
yaitu biasanya tidak langsung disimpan digudang, tetapi diterimakan langsung kepada
pengguna. Yang penting adalah bahwa mekanisme ini harus diatur sedemikian rupa sehingga
tercipta internal check (saling uji secara otomatis) yang memadai, yang dietetapkan oleh yang
berwenang (pimpinan).
21
Fungsi penyimpanan ini sangat menentukan kelancaran distribusi. Beberapa keuntungan
melakukan fungsi penyimpanan ini, sebagai berikut :
22
BAB VI
KESELAMATAN SASARAN KEGIATAN / PROGRAM
Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu system dimana psukesmas membuat
asuhan kebiadan lebih awal. Hal ini termasuk asesmen resiko, identifikasi dan pengolahan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan anilsa insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya implementasi solusi untuk menimbulkan timbulnya resiko. System ini
mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oelh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
A. Tujuan
1. Pelayanan secara menyeluruh dan terkoordinasi mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan,
diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, pemindahan pasien, rujukan, dan
saat pasien keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan ketersediaan sumber
daya fasilitas pelayanan kesehatan.
23
4. Komunikasi dan penyampaian informasi antar profesi kesehatan sehingga tercapai proses
koordinasi yang efektif.
Standar keselamatan pasien wajib diterapkan fasilitas pelayanan kesehatan dan penilaiannya
dilakukan dengan menggunakan Instrumen Akreditasi.
Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu :
1. Hak pasien untuk mendapat informasi
22. Mendidik pasien dan keluarga tentang hak dan kewajiban pasien
27. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
24
2. Peningkatan komunikasi efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan yang dipahami oleh
resipien/penerima akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan
pasien. Komunikasi dapat secara elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang paling mudah mengalami kesalahan adalah perintah diberikan secara lisan
dan yang diberikan melalui telpon. Komunikasi lain yang mudah terjadi kesalahan adalah
pelaporan kembali hasil pemeriksaan klinis, seperti laboratorium klinis menelpon unit
pelayanan untuk melaporkan hasil pemeriksaan segera/cito.
Ketepatan pemberian obat kepada pasien dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan
identifikasi pada saat memberikan obat kepada pasien. Pengukuran indikator dilakukan dengan
cara menghitung jumlah pasien yang dilayani oleh bagian farmasi dikurangi kejadian kesalahan
pemberian obat dibagi jumlah seluruh pasien yang mendapat pelayanan obat.
Agar tidak terjadi risiko infeksi, maka semua petugas Puskesmas Kedungdoro wajib
menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan 5 langkah dengan menggunakan sabun
dan air mengalir. 5 langkah cuci tangan pakai sabun (CTPS) harus dilaksanakan pada keadaan,
yaitu :
25
E. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien
Sangat penting bagi staf fasilitas pelayanan kesehatan untuk dapat menilai kemajuan yang
telah dicapai dalam memberikan asuhan yang lebih aman. Dengan tujuh langkah menuju
keselamatan pasien, melalui perencanaan kegiatan dan pengukuran kinerjanya. Melaksanakan
tujuh langkah ini akan membantu memastikan bahwa asuhan yang diberikan seaman mungkin,
dan jika terjadi sesuatu hal yang tidak benar bisa segera diambil tindakan yang tepat. Tujuh
langkah menuju keselamatan pasien terdiri dari :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien, ciptakan budaya adil dan terbuka.
2. Memimpin dan mendukung staf. Tegakkan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan
pasien diseluruh fasilitas pelayanan kesehatan anda.
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Bangun sistem dan proses untuk mengelola
risiko dan mengindentifikasi kemungkinan terjadinya kesalahan.
4. Mengembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf anda mudah untuk melaporkan insiden secara
internal (lokal) maupun eksternal (naisonal).
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. Dorong staf untuk menggunakan
analisa akar masalah guna pembelajaran tentang bagaimana terjadi insiden.
26
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
Dalam mengurangi dan mencegah bahaya yang akan terjadi, setiap pemegang program
harus mengerjakan pekerjaannya dengan hati-hati, mengenali bahan potensial berbahaya dan
penanggungannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kegiatan tersebut merupakan upaya
kesehatan dan keselamatan kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja di Puskesmas Kedungdoro adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia di Puskesmas,
pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan Puskesmas melalui upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di Puskesmas.
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan rawat jalan, dan kasus darurat di
ruang tindakan. Standar pelaksanaan K3 di Puskesmas, yaitu :
5. Pemberian imunisasi
7. Pengelolaan sarana dan prasarana puskesmas dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja
8. Pengelolaan peralatan medis puskesmas dari aspek keselamatan dan kesehatan kerja
10. Pengelolaan bahan berbahaya, beracun dan limbah bahan berbahaya dan beracun
27
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
1. Unsur masukan (input), yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana, ketersediaan
dana, dan standar prosedur operasional
2. Unsur proses, yaitu tindakan yang dilakukan, komunikasi, dan kerja sama
3. Unsur lingkungan, yaitu kebijakan, organisasi, manjemen, buadaya, respon, dan tingkat
pendidikan masyarakat.
Pengendalian mutu pelayanan klinis terintegrasi dengan program pengendalian mutu pelayanan
klinis Puskesmas yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kegiatan pengendalian mutu pelayanan klinis meliputi :
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi untuk
peningkatan mutu standar
2. Pelaksanaan, yaitu :
28
Indikator SPM Program Penyakit Tidak Menular adalah sebagai berikut :
No Indikator Target Cara Pengukuran
1 Pelayanan Kesehatan Pada Usia 100 %
Produktif Sesuai Standar Jumlah usia produktif 15-59 tahun x 100%
2 Pelayanan Kesehatan Penderita 100% Jumlah penduduk usia produktif + Jumlah pend
Hipertensi Sesuai Standar uduk usia lansia x 31,2%
3 Pelayanan Kesehatan Penderita Diabetes 100% Jumlah penduduk usia produktif + Jumlah pend
Melitus (DM) Sesuai Standar uduk usia lansia x 8,5
4 Pelayanan Kesehatan Orang dengan 100% 0,2 % x Jumlah Penduduk
Gangguan Jiwa Berat (ODGJ) Sesuai
Standar
Indikator Kinerja Program PTM adalah sebagai berikut :
No Indikator Target Cara Pengukuran
1 Program IVA 100 % Jumlah wanita usia subur yang periksa IVA x100%
Jumlah sasaran wanita usia subur usia 30-50 tahun
29
BAB IX
PENUTUP
30