PENDAHULUAN
2.1 Pengertian
Dementia adalah sindrom mental yang ditandai dengan hilangnya kemampuan intelektual secara
menyeluruh yang mencakup gangguan mengingat, penilaian, dan pemikiran abstrak demikian juga
dengan perubahan tingkah laku, tetapi tidak disebabkan oleh kesadaran yang berkabut, depresi atau
gangguan fungsional mental lainnya. Alzheimer merupakan penyakit dementia primer yang tersering.
Penyakit Alzheimer (AD) adalah penyakit yang bersifat degeneraif dan progresif pada otak yang
menyebabkan cacat spesifik pada neuron, serta mengakibatkan gangguan memori, berfikir, dan
tingkah laku (Price dan Wilson, 2006).
2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai populasi,
maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah
serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan, sehingga aka semakin banyak yang
berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai
kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini
menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau
penyakit depresi, yang merupakan penyebab utama demensia.
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat dengan
usia. Sekitar 10% populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu berusia diatas 85
tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi lansia, maka penyakit
alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden kasus alzheimer meningkat
pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per
tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per tahun.
Menurut National Alzheimer's Association (2003), penyakit Alzheimer menyerang hingga 10 % dari
orang berusia 65 tahun atau lebih, dan secara berangsur proporsi ini berlipat ganda setiap 10 tahun
setelah usia 65 tahun. Dan sebanyak separuh dari populasi yang berusia 85 tahun atau lebih dapat
dipastikan mengidap Alzheimer. Sementara, pada orang yang memiliki faktor genetik turunan /
bawaan dari orang tua, penyakit ini akan menyerang di bawah usia 65 tahun. Namun, kasus seperti
ini cukup jarang ditemukan.
2.3 Etiologi
Penyebab penyakit Alzheimer yang pasti pada saat ini belum diketahui. Sedangkan, Usia dan riwayat
keluarga adalah faktor resiko yang sudah terbukti untuk penyakit Alzheimer. Bila anggota keluarga
ada yang menderita penyakit ini, maka diklasifikasikan sebagai familiar atau Alzheimer Disease
Familial (FAD). Penyakit Alzheimer yang timbul tanpa diketahui ada riwayat familiarnya disebut
sporadic atau Alzheimer Disease Sporadic (ADS). AD juga digambarkan sebagai:
1. awitan dini (gejala pertama muncul sebelum usia 65 tahun, yaitu dalam kisaran 30-60 tahun).
AD awitan dini ini jarang terjadi yaitu angka kejadiannya sekitar 5% sampai 10%. AD awitan dini ini
cenderung terjadi dalam keluarga, yang dipercayai sebagai penyebab sebenarnya adalah karena
adanya mutasi gen yang diwasirkan secara autosomal. Sejauh ini, tiga gen awitan dini mutasi
penyebab AD telah diidentifikasi pada tiga kromosom yang berbeda. Yaitu kromosom nomer 21, 14,
dan 1.
2. awitan lambat (gejala pertama muncul pada usia lebih dari 65 tahun).
Para ahli mengemukakan bahwa lebih dari satu gen yang terlibat dalam meningkatkan risiko
seseorang untuk terkena AD awitan lambat.
2.5 Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit
Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak
seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor
amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada penyakit Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron
korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara
mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron-neuron.
Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi
soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris
yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam
Sistem Saraf Pusat, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang
terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron.
Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal
terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan
kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi
dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron
yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam
cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein
prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan
dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease,
salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut.
Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril
plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh.
Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu
hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin
rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga
berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak
2.7 Pengobatan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis
masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada
penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan.
2.7.1 Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik
penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk
mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara
sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat
memperbaiki memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan
bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan
penderita alzheimer.
2.7.2 Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin
pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini
disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan
dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi
dibandingkan placebo selama periode yang sama.
2.73 Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses
belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak
menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
2.7.4 Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik
kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan
dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk
memperbaiki fungsi kognitif.
2.7.5 Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku.
Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila
penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-
100 mg/hari).
2.7.6 Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan bantuan enzym
ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil
kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam
pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi
kognitif.
2.8 Pencegahan
Penyakit alzheimer dapat dicegah sejak dini dengan mengosumsi kunyit secara rutin. Kunyit
merupakan herbal penguat daya ingat (anti-alzheimer), salah satu tanaman obat yang berpeluang
sebagai pengganti pengobatan kimiawi yang dapat memperlambat datangnya penyakit pikun.
Penyakit alzheimer merupakan sejenis penyakit pikun yang umum terjadi pada manusia usia lanjut,
secara alamiah pikun biasa terjadi karena penurunan kondisi fisik otak. Zat dalam kunyit yang
berperan untuk ini adalan curcumin, dimana akan mampu memepertahankan kualitas otak hingga
usia lanjut. Namun konsumsi kunyit yang terlalu berlebihan juga akan mampu memicu sakit perut,
gangguan hati serta ginjal. Jadi, kunyit ini dikonsumsi dalam jumlah sedang secara rutin untuk
mendapatkan efek terapi yang diinginkan.
Cara pencegahan yang lainnya yaitu dengan tetap menerapkan gaya hidup sehat misalnya
berolahraga rutin, tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol, mengonsumsi sayur dan buah
segar karena ini mengandung antioksidan yang berfungsi mengikat radikal bebas yang akan mampu
merusak sel-sel tubuh. Menjaga kebugaran mental dengan tetap aktif membaca dan memperkaya diri
dengan berbagai pengetahuan juga merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit alzheimer.
2.9.2 EEG
BAB 3. PATHWAYS
alzheimer
alzheimer
4.2 Diagnosa
4.2.1 risiko cidera berhubungan dengan Resiko kelemahan, ketidakmampuan untuk mengenali/
mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
4.2.2 Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
sensori, mudah lupa
4.2.3 Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuron irreversible
4.2.4 Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah, mudah
tersinggung, kurang percaya diri)
4.2.5 Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan intelektual (pikun, disorientasi,
penurunan kemampuan mengatasi masalah)
4.2.6 Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan menyelesaikan masalah,
perubahan intelektual
4.2.7 Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kognitif, keterbatasan fisik.
4.3 Perencanaan
NO Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 risiko cidera berhubungan dengan Resiko kelemahan, ketidakmampuan untuk mengenali/
mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
Pasien tidak mengalami trauma Keluarga mengenali resiko potensial di lingkungan dan
mengidentifikasi tahap-tahap untuk memperbaikinya. 1. Kaji derajat kemampuan munculnya
tingkah laku yang membahayakan
2. Hilangkan atau minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan
3. Alihkan perhatian pasien ketika perilaku teragitasi atau berbahaya
5. Lakukan pemantauan terhadap efek samping obat ,misalnya seperti tanda hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal.
6. Hindari penggunan restrain secara terus menerus.
7. Berikan kesempatan orang terdekat tinggal bersama pasien selama periode agitasi
akut 1. Mengidentifikasi risiko potensial di lingkungan yang membahayakan
3 Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuron irreversible gangguan proses
pikir pasien tidak bertambah buruk Klien mampu mengenali perubahan dalam berpikir / tingkah laku
dan factor-faktor penyebab jika memungkinkan
1. Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi terhadap orang, tempat waktu,
rentang perhatian dan kemampuan berpikir
2. Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
3. Lakukan pendekatan dengan cara perlahan dan tenang
4. Tatap wajah ketika bercakap-cakap dengan pasien
5. Gunakan kata-kata yang pendek dan kalimat yang sederhana dan berikan instruksi sederhana.
Ulangi instruksi tersebut sesuai dengan kebutuhan.
1. Memberikan dasar untuk evaluasi/perbandingan yang akan datang dan mempengaruhi pilihan
terhadap intervensi.
2. Keramaian biasanya merupakan sensori yang berlebihan yang meningkatkan gangguan neuron
3. Pendekatan yang terburu-buru dapat mengancam pasien bingung yang mengalami kesalahan
persepsi.
4. Menimbulkan perhatian, terutama pada orang-orang dengan gangguan perceptual
5. Sesuai dengan berkembangnya penyakit, pusat komunikasi dalam otak mungkin saja terganggu.
4 Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah, mudah
tersinggung, kurang percaya diri)
diharapkan klien mampu melakukan interaksi social klien mampu berinteraksi dengan orang
disekitarnya dengan baik 1. Beri individu hubungan suportif.
2. Bantu mengidentifikasi alternative tindakan.
3. Bantu menganalisis pendekatan yang berfungsi paling baik.
4. Bantu anggota keluarga dalam memahami dan memberi dukungan. 1. individu terstimulasi
untuk melakukan interaksi social.
2. klien mampu mengidentifikasi tindakan yang baik.
3. klien mampu melakukan interaksi dengan orang lain dengan baik.
4. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal-hal untuk dirinya
semaksimal mungkin
5. Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi 1. Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau
pemilihan intervensi
5. Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa
mendatang.
2. Sesuai dengan perkembangan penyakit, kebutuhan akan kebersihan dasar mungkin dilupakan.
4. Klien akan mampu melakukan aktivitas sendiri untuk memenuhi perawatan dirinya.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Alzheimer adalah jenis kepikunan yang dapat melumpuhkan pikiran dan kecerdasan
seseorang. Keadaan ini ditunjukkan dengan kemunduran fungsi intelektual dan emosional secara
progresif dan perlahan sehingga mengganggu kegiatan sosial sehari-hari. Menurut dr. Samino, SpS
(K), Ketua Umum Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), alzheimer timbul akibat terjadinya proses
degenerasi sel-sel neuron otak di area temporo-parietal dan frontalis. Demensia Alzheimer juga
merupakan penyakit pembunuh otak karena mematikan fungsi sel-sel otak. Penyebab yang pasti
belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi
sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Kejanggalan awal biasanya dirasakan oleh
penderita sendiri, mereka sulit mengingat nama atau lupa meletakkan suatu barang. Cara
pencegahan penyakit alzheimer yaitu dengan tetap menerapkan gaya hidup sehat misalnya
berolahraga rutin, tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol, mengonsumsi sayur dan buah
segar karena ini mengandung antioksidan yang berfungsi mengikat radikal bebas yang akan mampu
merusak sel-sel tubuh. Menjaga kebugaran mental dengan tetap aktif membaca dan memperkaya diri
dengan berbagai pengetahuan juga merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit alzheimer.
5.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat mengerti,
memahami dan dapat menjelaskan tentang penyakit alzheimer yang pada akhirnya mampu
melakukan segala bentuk pencegahan demi menekan angka insidensi penyakit alzheimer ini. Selain
itu, mahasiswa juga diharapkan lebih banyak menggali kembali informasi tentang hal yang terkait
dengan itu untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang lebih dalam lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Albert, Marilynn. 2010. Keep Your Brain Young. Yogyakarta: MedPress.
Carpenito, L.J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Craft-Rosernberg, Martha dan Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan Definisi dan
klasifikasi. Yogyakarta: Digna Pustaka.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC
Lumbantobing. 2006. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta : FKUI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika: Jakarta
Pangkalan Ide. 2011. Health Secret of Tumeric (Kunyit). Jakarta: Alex Media Komputindo.
Price, Sylvia A, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses-Proses penyakit.
Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Potter, dan Perry. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan konsep proses dan Praktik, Vol. 2.
Jakarta: EGC
Saunders, WB. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Sharon, Fish. 1994. Penyakit Alzheimer: Bagaimana Menjaga Diri Anda dan Orang yang Anda Kaihi.
Jakarta: Gunung Mulia.
Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Yatim, Faisal. 2003. Pikun (Dimensia), Penyakit Alzheimer, dan Sejenisnya. Jakarta: Pustaka Populer
Obor.