Anda di halaman 1dari 15

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata kuliah ini membahas tentang konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan pada
sistem neuro atau sistem saraf, meliputi review anatomi fisiolofi sistem saraf, konsep dasar penyakit
pada sistem saraf, serta konsep dasar dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem saraf. Metode pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah, diskusi, discovery
learning, case study, Problem Based Learning, dan praktikum.
Sekarang ini penyakit pikun atu Alzheimer pada lansia angka sangat sering terjadi. Dan kebutuhan
dasar manusia pada lansia pun juga harus dipenuhi. masalah inilah yang menjadi dasar perlunya
perawatann pada pasien Alzheimer. Perawat untuk melakukan asuhan keparawatan pada pasien
Alzheimer tentunya harus mengetahui teori-teori yang berkaitaan. Agar nantinya pada saat
melakukan asuhan keperawatan tidak tejadi kesalahan.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Mahasiswa dapat memahami konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
sistem saraf (Alzheimer) :
a. Pengertian, patofisiologi pada penyakit alzheimer
b. Pengkajian, tes diagnostik, dan manifestasi klinis pada klien dengan gangguan sistem saraf
(Alzheimer)
c. Mahasiswa dapat memahami penatalaksanaan umum pada pasien dengan gangguan sistem
saraf (Alzheimer)
1.2.2 Mahasiswa akan mampu mengaplikasikan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
gangguan sistem saraf (Alzheimer).

1.3 Rumusan Masalah


1.3.1 Apa definisi Alzheimer ?
1.3.2 Apa penyebab dari Alzheimer ?
1.3.3 Bagaimana Tanda Gejala dari Alzheimer ?
1.3.4 Bagaimana Penatalaksanaan dan Asuhan Keperawatan yang tepat pada Pasien yang
mengalami gangguan system saraf (Alzheimer)?

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian

Dementia adalah sindrom mental yang ditandai dengan hilangnya kemampuan intelektual secara
menyeluruh yang mencakup gangguan mengingat, penilaian, dan pemikiran abstrak demikian juga
dengan perubahan tingkah laku, tetapi tidak disebabkan oleh kesadaran yang berkabut, depresi atau
gangguan fungsional mental lainnya. Alzheimer merupakan penyakit dementia primer yang tersering.
Penyakit Alzheimer (AD) adalah penyakit yang bersifat degeneraif dan progresif pada otak yang
menyebabkan cacat spesifik pada neuron, serta mengakibatkan gangguan memori, berfikir, dan
tingkah laku (Price dan Wilson, 2006).
2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai populasi,
maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah
serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan, sehingga aka semakin banyak yang
berkonsultasi dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai
kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota keluarga. Hal ini
menunjukkan munculnya penyakit degeneratif otak, tumor, multiple stroke, subdural hematoma atau
penyakit depresi, yang merupakan penyebab utama demensia.
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat dengan
usia. Sekitar 10% populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu berusia diatas 85
tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi lansia, maka penyakit
alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden kasus alzheimer meningkat
pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per
tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per tahun.
Menurut National Alzheimer's Association (2003), penyakit Alzheimer menyerang hingga 10 % dari
orang berusia 65 tahun atau lebih, dan secara berangsur proporsi ini berlipat ganda setiap 10 tahun
setelah usia 65 tahun. Dan sebanyak separuh dari populasi yang berusia 85 tahun atau lebih dapat
dipastikan mengidap Alzheimer. Sementara, pada orang yang memiliki faktor genetik turunan /
bawaan dari orang tua, penyakit ini akan menyerang di bawah usia 65 tahun. Namun, kasus seperti
ini cukup jarang ditemukan.

2.3 Etiologi
Penyebab penyakit Alzheimer yang pasti pada saat ini belum diketahui. Sedangkan, Usia dan riwayat
keluarga adalah faktor resiko yang sudah terbukti untuk penyakit Alzheimer. Bila anggota keluarga
ada yang menderita penyakit ini, maka diklasifikasikan sebagai familiar atau Alzheimer Disease
Familial (FAD). Penyakit Alzheimer yang timbul tanpa diketahui ada riwayat familiarnya disebut
sporadic atau Alzheimer Disease Sporadic (ADS). AD juga digambarkan sebagai:
1. awitan dini (gejala pertama muncul sebelum usia 65 tahun, yaitu dalam kisaran 30-60 tahun).
AD awitan dini ini jarang terjadi yaitu angka kejadiannya sekitar 5% sampai 10%. AD awitan dini ini
cenderung terjadi dalam keluarga, yang dipercayai sebagai penyebab sebenarnya adalah karena
adanya mutasi gen yang diwasirkan secara autosomal. Sejauh ini, tiga gen awitan dini mutasi
penyebab AD telah diidentifikasi pada tiga kromosom yang berbeda. Yaitu kromosom nomer 21, 14,
dan 1.
2. awitan lambat (gejala pertama muncul pada usia lebih dari 65 tahun).
Para ahli mengemukakan bahwa lebih dari satu gen yang terlibat dalam meningkatkan risiko
seseorang untuk terkena AD awitan lambat.

Penyakit Alzheimer dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:


2.3.1. Faktor genetic
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui gen
autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita alzheimer
mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol normal.
Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset terdapat kelainan
lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada familial late onset didapatkan
kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita down syndrome mempunyai kelainan
gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan
penurunan marker kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi
pada penderita alzheimer. Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan
40-50% adalah monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik
berperan dalam penyaki alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor
lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
2.3.2 Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang dilakukan
secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi reaktif. Infeksi virus tersebut
menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa
penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit
alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:
1) manifestasi klinik yang sama
2) Tidak adanya respon imun yang spesifik
3) Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
4) Timbulnya gejala mioklonus
5) Adanya gambaran spongioform
2.3.3 Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga dapat berperan dalam patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan
antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada
susunan saraf pusat yang ditemukan neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal
tersebut diatas belum dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab
degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga
ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa yang
belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui
reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-influks)
danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian
neuron.
2.3.4 Faktor imunologis
60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin
dan peningkatan alpha protein, anti trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Terdapat hubungan
bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto
merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan
faktor immunitas.
2.3.5 Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma kepala. Hal
ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana pada otopsinya
ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
2.3.6 Faktor neurotransmiter
Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai peranan yang
sangat penting seperti:
1) Asetilkolin
Penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi
jaringan otak pada penderita alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase,
asetikolinesterase dan transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit
presinaptik dan postsynaptik kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior,
nukleus basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang selalu
ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnya pada penyakit alzheimer, dimana pada jaringan
otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada penelitian dengan pemberian
scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini
sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa penyakit alzheimer.
2) Noradrenalin
Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak penderita
alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan tempat yang utama
noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit kortikal noradrenergik. Hasil biopsi dan
otopsi jaringan otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik
neokorteks. Konsentrasi noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.
3) Dopamin
Pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan
perubahan aktivitas dopamin pada penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan
disebabkan karena potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.
4) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid pada biopsi
korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada nukleus basalis dari meynert.
Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada
anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat
minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi
oleh formasi NFT pada nukleus rephe dorsalis.
5) MAO (Monoamine Oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal MAO terbagi 2
kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan sebagian kecil dopamin,
sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer, didapatkan
peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B meningkat pada daerah
temporal danmenurun pada nukleus basalis dari meynert.

2.4 Tanda dan Gejala


Kejanggalan awal biasanya dirasakan oleh penderita sendiri, mereka sulit mengingat nama atau lupa
meletakkan suatu barang. Mereka juga sering kali menutup-nutupi hal itu dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan biasanya akan dirasakan oleh
orang-orang di sekitar mereka yang mulai khawatir akan penurunan daya ingat. Mereka awalnya
belum mencurigai adanya problem besar di balik kepikunan yang dialami pasien, tetapi kemudian
tersadar bahwa kondisinya sudah parah. Gejala klinis pada penyakit Alzheimer dapat terlihat sebagai
berikut :
2.4.1 Kehilangan daya ingat/memori
Pada orang tua normal, dia tidak ingat nama tetangganya, tetapi dia tahu orang itu adalah
tetangganya. Pada penderita Alzheimer, dia bukan saja lupa nama tetangganya tetapi juga lupa
bahwa orang itu adalah tetangganya.
2.4.2 Kesulitan melakukan aktivitas rutin yang biasa
Seperti tidak tahu bagaimana cara membuka baju atau tidak tahu urutan-urutan menyiapkan
makanan.
2.4.3 Kesulitan berbahasa.
Umumnya pada usia lanjut didapat kesulitan untuk menemukan kata yang tepat, tetapi penderita
Alzheimer lupa akan kata-kata yang sederhana atau menggantikan suatu kata dengan kata yang
tidak biasa.
2.4.4 Disorientasi waktu dan tempat.
Kita terkadang lupa kemana kita akan pergi atau hari apa saat ini, tetapi penderita Alzheimer dapat
tersesat pada tempat yang sudah familiar untuknya, lupa di mana dia saat ini, tidak tahu bagaimana
cara dia sampai di tempat ini, termasuk juga apakah saat ini malam atau siang.
2.4.5 Penurunan dalam memutuskan sesuatu atau fungsi eksekutif
Misalnya tidak dapat memutuskan menggunakan baju hangat untuk cuaca dingin atau sebaliknya.
2.4.6 Salah menempatkan barang.
Seseorang secara temporer dapat salah menempatkan dompet atau kunci. Penderita Alzheimer
dapat meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak biasa, misal jam tangan pada kotak gula.
2.4.7 Perubahan tingkah laku.
Seseorang dapat menjadi sedih atau senang dari waktu ke waktu. Penderita Alzheimer dapat
berubah mood atau emosi secara tidak biasa tanpa alasan yang dapat diterima.
2.4.8 Perubahan perilaku
Penderita Alzheimer akan terlihat berbeda dari biasanya, ia akan menjadi mudah curiga, mudah
tersinggung, depresi, apatis atau mudah mengamuk, terutama saat problem memori menyebabkan
dia kesulitan melakukan sesuatu.
2.4.9 Kehilangan inisiatif
Duduk di depan TV berjam-jam, tidur lebih lama dari biasanya atau tidak menunjukan minat pada
hobi yang selama ini ditekuninya.
Awitan dari perubahan mental penderita alzheimer sangat perlahanlahan, sehingga pasien dan
keluarganya tidak mengetahui secara pasti kapan penyakit ini mulai muncul. Terdapat beberapa
stadium perkembangan penyakit alzheimer yaitu:
a. Stadium I (lama penyakit 1-3 tahun)
Memori : ingatan terganggu
Kepribadian : ketidakpedulian, lekas marah sesekali
Motor sistem : normal
EEG : normal
CT/MRI : normal
PET : hipometabolisme posterior bilateral
b. Stadium II (lama penyakit 3-10 tahun)
Memori : ingatan terakhir sangat terganggu
Kepribadian : ketidakpedulian, lekas marah sesekali
Motor sistem : gelisah, mondar-mandir
EEG : latar belakang irama lambat
CT/MRI : normal
PET : hipometabolisme frontal dan parietal bilateral
c. Stadium III (lama penyakit 8-12 tahun)
Fungsi intelektual : sangat memburuk
Motor sistem : anggota tubuh kaku dan postur fleksi
EEG : difus lambat
PET : hipometabolisme frontal dan parietal bilateral

2.5 Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit
Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak
seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor
amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan
mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada penyakit Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron
korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara
mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron-neuron.
Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi
soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris
yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam
Sistem Saraf Pusat, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang
terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron.
Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan
pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal
terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan
kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi
dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron
yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam
cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein
prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan
dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease,
salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut.
Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril
plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh.
Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu
hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin
rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga
berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak

2.6 Komplikasi dan Prognosis


Dari pemeriksaan klinis 42 penderita probable alzheimer menunjukkan bahwa nilai prognostik
tergantung pada 3 faktor yaitu:
1. Derajat beratnya penyakit;
2. Variabilitas gambaran klinis;
3. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis kelamin.
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama yang paling mempengaruhi prognostik
penderita alzheimer. Pasien dengan penyakit alzheimer mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-
10 tahun sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi sekunder.

2.7 Pengobatan
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis
masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada
penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai efek yang
menguntungkan.
2.7.1 Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan simptomatik
penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan kadar asetilkolin. Untuk
mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara
sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat
memperbaiki memori danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan
bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal dan
penderita alzheimer.
2.7.2 Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan thiamin
pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase (45%), hal ini
disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis. Pemberian thiamin hydrochlorida dengan
dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral, menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi
dibandingkan placebo selama periode yang sama.
2.73 Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi kognisi dan proses
belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada penderita alzheimer tidak
menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
2.7.4 Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan noradrenergik
kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alfa 2 reseptor agonis dengan
dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu, didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk
memperbaiki fungsi kognitif.
2.7.5 Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan tingkah laku.
Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut. Bila
penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-
100 mg/hari).
2.7.6 Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan bantuan enzym
ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat meningkatkan aktivitas asetil
kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam
pengobatan, disimpulkan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi
kognitif.

2.8 Pencegahan
Penyakit alzheimer dapat dicegah sejak dini dengan mengosumsi kunyit secara rutin. Kunyit
merupakan herbal penguat daya ingat (anti-alzheimer), salah satu tanaman obat yang berpeluang
sebagai pengganti pengobatan kimiawi yang dapat memperlambat datangnya penyakit pikun.
Penyakit alzheimer merupakan sejenis penyakit pikun yang umum terjadi pada manusia usia lanjut,
secara alamiah pikun biasa terjadi karena penurunan kondisi fisik otak. Zat dalam kunyit yang
berperan untuk ini adalan curcumin, dimana akan mampu memepertahankan kualitas otak hingga
usia lanjut. Namun konsumsi kunyit yang terlalu berlebihan juga akan mampu memicu sakit perut,
gangguan hati serta ginjal. Jadi, kunyit ini dikonsumsi dalam jumlah sedang secara rutin untuk
mendapatkan efek terapi yang diinginkan.
Cara pencegahan yang lainnya yaitu dengan tetap menerapkan gaya hidup sehat misalnya
berolahraga rutin, tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol, mengonsumsi sayur dan buah
segar karena ini mengandung antioksidan yang berfungsi mengikat radikal bebas yang akan mampu
merusak sel-sel tubuh. Menjaga kebugaran mental dengan tetap aktif membaca dan memperkaya diri
dengan berbagai pengetahuan juga merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit alzheimer.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
2.9.1 CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume
jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
CT Scan dilakukan untuk Menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran ventrikel
keduanya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit ini. Dan
mengetahui adanya Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan
beratnya gejala klinik dan hasil pemeriksaan status mini mental.
MRI dilakukan untuk menhgetahui peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler
(Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia
awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal
seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii.
MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain,
dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari hipokampus.

2.9.2 EEG

Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas


bangkitan yang suklinis. Sedang pada penyakit alzheimer didapatka perubahan gelombang lambat
pada lobus frontalis yang non spesifik.
2.9.3 PET (Positron Emission Tomography)
Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan, penuruan aliran darah, metabolisme O2, glukosa
didaerah serebral.
2.9.4 SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Kelainan ini berkolerasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan
ini (SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin.

BAB 3. PATHWAYS

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN


4.1 Pengkajian
I. Identitas Klien:
Sumber informasi : Keluaga
Tempat/tanggal lahir : isi sesuai dengan identitas pasien
Umur : paling sering terjadi pada usia >60 tahun
Agama : isi sesuai dengan identitas pasien
Jenis kelamin : kebanyakan terjadi pada wanita
Pekerjaan :kebanyakan yang kontak dengan aluminium, merkuri
Bahasa yang dimengerti : isi sesuai dengan identitas pasien
Diagnosa medis : Alzheimer

II. Riwayat Penyakit


1. Keluhan Utama:
Biasanya pasien datang ke rumah sakit sudah karena adanya komplikasi
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluarga atau orang terdekat melaporkan bahwa pasien memperlihatkan penurunan daya ingat
ringan, tidak tertarik pada lingkungan, kurangnya perhatian
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Kejanggalan awal biasanya dirasakan oleh penderita sendiri, mereka sulit mengingat nama atau lupa
meletakkan suatu barang. Mereka juga sering kali menutup-nutupi hal itu dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan biasanya akan dirasakan oleh
orang-orang di sekitar mereka yang mulai khawatir akan penurunan daya ingat
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Penyebab penyakit Alzheimer ditemukan memiliki hubungan genetik yang jelas.Diperkirakan 10-30 %
klien Alzheimer menunjukkan tipe yang diwariskan dan dinyatakan sebagai penyakit Alzheimer
familiar (FAD)
Genogram:

alzheimer

alzheimer

III. Pengkajian Saat Ini (Pola Fungsional Kesehatan):


1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan.
Gejala : Perlu bantuan/tergntung pada orang lain
Tanda :
a. Tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan personal yang kurang, kebiasaan
pembersihan buruk.
b. Lupa untuk pergi ke kamar mandi, lupa langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk buang air
atau tidak dapat menemukan kamar mandi.
c. Kurang berminat atau lupa tentang waktu makan; ketergantungan pada orang lain untuk
memasak makanan dan menyiapkannya di meja, makan dan menggunakan alat makan.
2. Pola nutrisi/metabolik
Gejala : Riwayat episode hipoglikemia (merupakan faktor predisposisi). Perubahan dalam
pengecapan, napsu makan, mengingkari terhadap rasa lapar/kebutuhan untuk makan. Kehilangan
berat badan
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk mengunyah. Menghindari atau menolak makan (mungkin
mencoba menyembunyikan keterampilan). Tampak semakin kurus (tahap lanjut)
3. Pola eliminasi
Gejala : dorongan berkemih (dapat mengindikasikan kehilangan tonus otot)
Tanda : Inkontinensia urine/feses; cenderung kostipasi/impaksi dengan diare.
4. Pola aktivitas dan latihan
Pada siang hari penderita diberi kesempatan sebanyak mungkin untuk berpartisipasi dalam aktivitas
olah raga, karena pola aktivitas dan istirahat yang teratur akan memperbaiki tidur malam.
5. Pola tidur dan istirahat
Gejala : merasa lelah
Tanda : siang malam gelisah, tidak berdaya, gangguan pola tidur. Letargi: penurunan
minat/perhatian pada aktivitas yang biasa, hobi, ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa
yang dibaca/mengikuti acara program televisi
6. Pola persepsi-kognisi
Gejala : Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutam perubahan kognitif, dan atau gambaran
yang kabur, diare, pusing atau kadang-kadang sakit kepala. Adanya keluhan dalam penurunan
kognitif, mengambil keputusan, mengingat yang baru berlalu, penurunan tingkah laku.
Tanda : Kerusakan komunikasi: afasia dan disfasia; kesuliatan dalam menemukan kata-kata yang
benar ( terutam kata benda ); bertanya berulang-ulang atau percakapan dengan subtansi kata yang
tidak memiliki arti; terpenggal-penggal, atau bicaranya tidak terdengar.
7. Pola persepsi diri-konsep diri
Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi atau orang khayalan.
Tanda :
a. menyembunyikan ketidakmampuan ( banyak alasan tidak mampu untuk melakukan kewajiban
mungkin juga tangan membuka buku tanpa membacanya ).
b. Duduk dan menonton yang lain
c. Aktivitas utama mungkin menumpuk benda tidak bergerak, gerakan berulang ( melipat-membuka
liputan-melipat kembali kain ), menyembunyikan barang-barang, atau berjalan-jalan.
d. Emosi labil : mudah menangis, tertawa tidak pada tempatnya; perubahan alam perasaan (apatis,
letargi, gelisah, lapang pandang sempit, peka rangsang); marah yang tiba-tiba diungkapkan (reaksi
katastrofik);depresif yang kuat delusi; paranoia lengket pada orang.
8. Pola seksualitas-reproduksi
Gejala : Kelainan seksual dalam keadaan kebingungan dan kesepian
Tanda : dapat merasakan kenyamanan dan kepuasan dengan bunyi dengkur berirama, basahnya
lidah hewan peliharaan. Penyakit alzheimer tidak menghilangkan kebutuhan akan keintiman.
9. Pola peran hubungan
Gejala : Merasa kehilangan kekuatan, Faktor psikososial sebelumnya; pengaruh personal dan
individu yang muncul mengubah pola tingkah laku.
Tanda : kehilangan kontrol sosial, perilaku tidak tepat.
10. Pola manajemen koping-stress
Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius (mungkin menjadi faktor prediosposisi/faktor
akselerasi), Trauma kecelakaan (jatuh, luka bakar, dan sebagainya)
Tanda : Ekimosis, laserasi. Rasa bermusuhan atau menyerang orang lain.
11. Sistem nilai dan keyakinan
Gejala : kepikunan atau kemunduran dalam berfikir merupakan hal yang wajar yang dialami oleh
mereka yang memasuki usia lanjut.
Tanda : membiarkan orang lanjut usia dengan keadan demikian (pikun)
IV. Pemeriksaan Fisik:
Per sistem dan terarah (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien
1. Keadaan Umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran sesuai dengan degenerasi neuron kolinergik dan proses
senilisme.Adanya perubahan pada tanda vital meliputi bradikardi,hipotensi,dan penurunan frekuensi
pernapasan.
a. B1 (Breathing)
Berkaitan dengan hipoventilasi inaktifitas, aspirasi makanan atau saliva dan berkurangnya fungsi
pembersihan saluran nafas.
1) Inspeksi, didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk batuk efektif, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, dan penggunaan otot bantu napas.
2) Palpasi, taktil premitus seimbang kanan dan kiri
3) Perkusi, adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
4) Auskultasi, bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronkhi, pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
dengan inaktivitas.
b. B2 (Blood)
Hipotensi postural : berkaitan dengan efek samping pemberian obat dan juga gangguan pada
pengaturan tekanan darah oleh sistem persarafan otonom.
c. B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan dengan pengkajian
pada sistem lainnya.
1) Inspeksi umum, didapatkan berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
2) Pengkajian Tingkat Kesadaran: Tingkat kesadaran klien biasanya apatis dan juga bergantung
pada perubahan status kognitif klien.
3) Pengkajian fungsi serebral: Status mental : biasanya status mental klien mengalami perubahan
yang berhubungan dengan penurunan status kognitif, penurunan persepsi, dan penurunan memori,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
4) Pengkajian Saraf kranial. Pengkajian saraf ini meliputi pengkajian saraf kranial I-XII :
a) Saraf I. Biasanya pada klien penyakit alzherimer tidak ada kelaianan fungsi penciuman
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan mengalami perubahan, yaitu sesuai dengan keadaan usia
lanjut biasanya klien dengan alzheimer mengalami keturunan ketajaman penglihatan
c) Saraf III, IV dan VI. Biasanya tidak ditemukan adanya kelainan pada saraf ini
d) Saraf V. Wajah simetris dan tidak ada kelainan pada saraf ini.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal
f) Saraf VIII. Adanya tuli konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis serta penurunan
aliran darah regional
g) Saraf IX dan X. Kesulitan dalam menelan makanan yang berhubungan dengan perubahan status
kognitif
h) Saraf XI. Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada vasikulasi dan indera
pengecapan normal
5) Pengkajian sistem Motorik
a) Inspeksi umum pada tahap lanjut klien akan mengalami perubahan dan penurunan pada fungsi
motorik secara umum.
b) Tonus Otot. Didapatkan meningkat. Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena adanya perubahan status kognitif dan ketidakkooperatifan klien dengan metode
pemeriksaan.
c) Pengkajian Refleks. Pada tahap lanjut penyakit alzheimer sering mengalami kehilangan refleks
postural, apabila klien mencoba untuk berdiri dengan kepala cenderung ke depan dan berjalan
dengan gaya berjalan seperti didorong. Kesulitan dalam berputar dan hilangnya keseimbangan (salah
satunya ke depan atau ke belakang) dapat menyebabkan klien sering jatuh.
6) Pengkajian Sistem sensorik.
Sesuai barlanjutnya usia, klien dengan penyakit alzheimer mengalami penurunan terhadap sensasi
sensorik secara progresif. Penurunan sensori yang ada merupakan hasil dari neuropati perifer yang
dihubungkan dengan disfungsi kognitif dan persepsi klien secara umum.
d. B4 (Bladder)
Beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya.Penurunan refleks kandung kemih yang
bersifat progresif dan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan
e. B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang karena
kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif konstipasi
f. B6 (Bone)
Kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan
masalah pada pola aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari

4.2 Diagnosa

4.2.1 risiko cidera berhubungan dengan Resiko kelemahan, ketidakmampuan untuk mengenali/
mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
4.2.2 Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
sensori, mudah lupa
4.2.3 Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuron irreversible
4.2.4 Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah, mudah
tersinggung, kurang percaya diri)
4.2.5 Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan intelektual (pikun, disorientasi,
penurunan kemampuan mengatasi masalah)
4.2.6 Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan menyelesaikan masalah,
perubahan intelektual
4.2.7 Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kognitif, keterbatasan fisik.

4.3 Perencanaan
NO Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1 risiko cidera berhubungan dengan Resiko kelemahan, ketidakmampuan untuk mengenali/
mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan.
Pasien tidak mengalami trauma Keluarga mengenali resiko potensial di lingkungan dan
mengidentifikasi tahap-tahap untuk memperbaikinya. 1. Kaji derajat kemampuan munculnya
tingkah laku yang membahayakan
2. Hilangkan atau minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan
3. Alihkan perhatian pasien ketika perilaku teragitasi atau berbahaya

4. Kenakan pakaian sesuai lingkungan fisik atau kebutuhan individu

5. Lakukan pemantauan terhadap efek samping obat ,misalnya seperti tanda hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan, gangguan gastrointestinal.
6. Hindari penggunan restrain secara terus menerus.
7. Berikan kesempatan orang terdekat tinggal bersama pasien selama periode agitasi
akut 1. Mengidentifikasi risiko potensial di lingkungan yang membahayakan

2. bertanggung jawab terhadap kebutuhan keamanan yang dasar

3. Mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang dapat meningkatkan


perilaku/meningkatkan risiko terjadinya trauma.
4. Perlambatan proses metabolism secara umum mengakibatkan penurunan suhu tubuh.
Hipotalamus dipengaruhi oleh proses penyakit yang menyebabkan seseorang merasa kedinginan.
5. Pasien mungkin tidak melaporkan tanda/gejala dan obat dapat dengan mudah menimbulkan
kadar toksisitas pada lansia. Ukuran dosis/penggantian obat mungkin diperlukan untuk mengurangi
gangguan.
6. Membahayan individu untuk melepaskan restrain tersebut secara parsial.
7. Dapat meningkatkan agitasi dan timbul resiko fraktur pada pasien lansia (berhubungan dengan
penurunan kalsium tulang)
2 Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan
sensori, mudah lupa Pasien diharapkan tidak terjadi perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan 1. Klien mendapat diet nutrisi yang seimbang
2. Mempertahankan/ mendapat kembali BB yang sesuai
3. Klien dapat mengubah pola asupan yang benar 1. Kaji pengetahuan klien/keluarga mengenai
kebutuhan makan
2. Usahakan/ berikan bantuan dalam memilih menu
3. Berikan makanan kecil setiap jam sesuai kebutuhan
4. Hindari makanan yang terlalu panas 1. Identifikasi kebutuhan untuk membantu perencanaan
pendidikan
2. Klien tidak mampu menentukan pilihan kebutuhan nutrisi

3. Makan makanan kecil meningkatkan masukan yang sesuai

4. Makan panas mengakibatkan mulut terbakar atau menolak untuk makan

3 Perubahan proses pikir berhubungan dengan degenerasi neuron irreversible gangguan proses
pikir pasien tidak bertambah buruk Klien mampu mengenali perubahan dalam berpikir / tingkah laku
dan factor-faktor penyebab jika memungkinkan
1. Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi terhadap orang, tempat waktu,
rentang perhatian dan kemampuan berpikir
2. Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang
3. Lakukan pendekatan dengan cara perlahan dan tenang
4. Tatap wajah ketika bercakap-cakap dengan pasien
5. Gunakan kata-kata yang pendek dan kalimat yang sederhana dan berikan instruksi sederhana.
Ulangi instruksi tersebut sesuai dengan kebutuhan.
1. Memberikan dasar untuk evaluasi/perbandingan yang akan datang dan mempengaruhi pilihan
terhadap intervensi.

2. Keramaian biasanya merupakan sensori yang berlebihan yang meningkatkan gangguan neuron
3. Pendekatan yang terburu-buru dapat mengancam pasien bingung yang mengalami kesalahan
persepsi.
4. Menimbulkan perhatian, terutama pada orang-orang dengan gangguan perceptual
5. Sesuai dengan berkembangnya penyakit, pusat komunikasi dalam otak mungkin saja terganggu.

4 Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan emosi (cepat marah, mudah
tersinggung, kurang percaya diri)
diharapkan klien mampu melakukan interaksi social klien mampu berinteraksi dengan orang
disekitarnya dengan baik 1. Beri individu hubungan suportif.
2. Bantu mengidentifikasi alternative tindakan.
3. Bantu menganalisis pendekatan yang berfungsi paling baik.
4. Bantu anggota keluarga dalam memahami dan memberi dukungan. 1. individu terstimulasi
untuk melakukan interaksi social.
2. klien mampu mengidentifikasi tindakan yang baik.
3. klien mampu melakukan interaksi dengan orang lain dengan baik.

4. Dukungan keluarga sangat membantu dalam melakukan interaksi social.


5 Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan intelektual (pikun, disorientasi,
penurunan kemampuan mengatasi masalah) diharapkan klien tidak mengalami hambatan
komunikasi verbal dengan kriteria hasil Pasien mampu Membuat teknik/metode komunikasi yang
dapat dimengerti sesuai kebutuhan dan meningkatkan kemampuan berkomunikasi 1. Kaji
kemampuan klien untuk berkomunikasi.
2. Gunakan kertas dan pensil/bolpoint, gambar, atau papan tulis; bahasa isyarat, penjelas arti dari
komunikasi yang disampaikan.
1. Untuk menentukan tingkat kemampuan klien dalam berkomunikasi.
2. Untuk membantu proses berkomunikasi dengan klien, dan agar tidak terjadi miskomunikasi.

6 Koping individu tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan menyelesaikan masalah,


perubahan intelektual
Pasien diharapkan mampu melakukan koping individu menjadi efektif Pasien Mampu
menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang
sedang terjadi
1. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan
2. Dukung kemampuan koping
3. Beri dukungan psikologis secara menyeluruh

4. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengizinkan klien melakukan hal-hal untuk dirinya
semaksimal mungkin
5. Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas
rehabilitasi 1. Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau
pemilihan intervensi

2. Kepatuhan terhadap program latihan dan berjalan membantu memperlambat kemajuan


penyakit.
3. Klien Alzheimer sering merasa malu, apatis, tidak adekuat, bosan dan merasa sendiri. Klien
dibantu dan didukung untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (seperti meningkatnya mobilitas)
4. Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta
mempengaruhi proses rehabilitasi.

5. Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa
mendatang.

7 Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kognitif, keterbatasan


fisik Diharapkanpasien akan mendapat perilaku peningkatan pemenuhan perawatan diri klien
tampak bersih dan segar. 1. Identifikasi kesulitan berpakaian/perawatan diri, seperti keterbatasan
fisik; apatis/depresi atau temperatur ruangan.
2. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai kebutuhan dengan
perawatan rambut/kuku/kulit, bersihkan kacamata dan gosok gigi.
3. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan kemampuan ADL dalam skala 0 – 4.
4. Rencanakan tindakan untuk defisit motorik seperti tempatkan makanan dan peralatan di dekat
klien agar mampu sendiri mengambilnya.
5. Kaji kemampuan komnikasi untuk BAK. Kemampuan menggunakan urinal pispot. Antarkan ke
kamar mandi bila kondisi memungkinkan.
6. Identifikasi kebiasaan BAB . anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas. 1. Memahami
penyebab yang mempengaruhi pilihan intervensi/ strategi

2. Sesuai dengan perkembangan penyakit, kebutuhan akan kebersihan dasar mungkin dilupakan.

3. Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.

4. Klien akan mampu melakukan aktivitas sendiri untuk memenuhi perawatan dirinya.

5. Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalah pengososngan


kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.

6. Meningkatkan latihan dan menolong mencegah konstipasi


4.4 Pelaksanaan dan Evaluasi
Pelaksanaan dapat dituliskan sesuai dengan intervensi yang ada. Dan memastikan intevensi telah
atau belum dilaksanakan. Evaluasi yang munkin perlu diperhatikan antara lain:
1. Mempertahankan fungsi ingatan yang optimal
2. Memperlihatkan penurunan dalam perilaku yang bingung
3. Dapat bergerak bebas dan mandiri disekitar rumah
4. Mengungkapkan rasa keamanan dan terlindung
5. Mengungkapkan perasaan ketenangan dan kepuasan diri
6. Menunjukan peningkatan kemempuan untuk memahami pesan
7. Menunjukkan kemampuan untuk mengekpresikan diri secara verbal
8. Dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari pada tingkat yang diperkirakan.
9. Mengunngkapkan kesadaran tentang maartabat dan otonomi
10. Tetapkan pola tidur dan istirahat pada jadwal teratur
11. Mengurangi perilaku melamun pada malam hari
12. Menetapkan pola aktivitas pada jadwal yang ditetapkan

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Alzheimer adalah jenis kepikunan yang dapat melumpuhkan pikiran dan kecerdasan
seseorang. Keadaan ini ditunjukkan dengan kemunduran fungsi intelektual dan emosional secara
progresif dan perlahan sehingga mengganggu kegiatan sosial sehari-hari. Menurut dr. Samino, SpS
(K), Ketua Umum Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), alzheimer timbul akibat terjadinya proses
degenerasi sel-sel neuron otak di area temporo-parietal dan frontalis. Demensia Alzheimer juga
merupakan penyakit pembunuh otak karena mematikan fungsi sel-sel otak. Penyebab yang pasti
belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam,
gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri, trauma, neurotransmiter, defisit formasi
sel-sel filament, presdiposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dari
degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi
kognitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Kejanggalan awal biasanya dirasakan oleh
penderita sendiri, mereka sulit mengingat nama atau lupa meletakkan suatu barang. Cara
pencegahan penyakit alzheimer yaitu dengan tetap menerapkan gaya hidup sehat misalnya
berolahraga rutin, tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol, mengonsumsi sayur dan buah
segar karena ini mengandung antioksidan yang berfungsi mengikat radikal bebas yang akan mampu
merusak sel-sel tubuh. Menjaga kebugaran mental dengan tetap aktif membaca dan memperkaya diri
dengan berbagai pengetahuan juga merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit alzheimer.
5.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa keperawatan agar dapat mengerti,
memahami dan dapat menjelaskan tentang penyakit alzheimer yang pada akhirnya mampu
melakukan segala bentuk pencegahan demi menekan angka insidensi penyakit alzheimer ini. Selain
itu, mahasiswa juga diharapkan lebih banyak menggali kembali informasi tentang hal yang terkait
dengan itu untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang lebih dalam lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Albert, Marilynn. 2010. Keep Your Brain Young. Yogyakarta: MedPress.
Carpenito, L.J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Craft-Rosernberg, Martha dan Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan Definisi dan
klasifikasi. Yogyakarta: Digna Pustaka.
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC
Lumbantobing. 2006. Kecerdasan Pada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta : FKUI
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Salemba Medika: Jakarta
Pangkalan Ide. 2011. Health Secret of Tumeric (Kunyit). Jakarta: Alex Media Komputindo.
Price, Sylvia A, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep klinis Proses-Proses penyakit.
Jakarta: EGC
Priharjo, Robert. 2007. Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Potter, dan Perry. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan konsep proses dan Praktik, Vol. 2.
Jakarta: EGC
Saunders, WB. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC
Sharon, Fish. 1994. Penyakit Alzheimer: Bagaimana Menjaga Diri Anda dan Orang yang Anda Kaihi.
Jakarta: Gunung Mulia.
Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta :
EGC.
Yatim, Faisal. 2003. Pikun (Dimensia), Penyakit Alzheimer, dan Sejenisnya. Jakarta: Pustaka Populer
Obor.

Anda mungkin juga menyukai