Anda di halaman 1dari 24

DEMENSIA ALZHEIMER DAN DEMENSIA LAIN

Karena adanya kemajuan dalam teknologi medis, jumlah orang lanjut usia di masyarakat

telah berkembang pesat. Karena usia adalah faktor risiko utama untuk berkembangnya penyakit

Alzheimer (disebut sebagai demensia tipe Alzheimer dalam DSM IV) dan demensia terkait, jumlah

orang yang menderita penyakit ini meningkat dengan cepat. Dalam banyak kasus, penyebab dari

penyakit alzheimer tidak diketahui. Jarang ditemukan, bahwa adanya beberapa mutasi genetik

menyebabkan terjadinya penyakit ini ketika penyakit ini dimulai pada pertengahan kehidupan dan

adanya pola pewarisan autosomal yang dominan. Para ilmuwan secara aktif mencari pengobatan

yang lebih efektif dan penyembuhan yang mungkin dilakukan, dan peningkatan pengetahuan dari

faktor risiko potensial dan faktor pelindung yang mungkin dapat berkonstribusi pada strategi

pencegahan. Seiring dengan pendekatan tersebut, diagnosis yang akurat, perawatan simptomatik

dan intervensi keluarga sangat penting untuk meminimalkan penderitaan pasien dan anggota

keluarga dan untuk memaksimalkan tingkat fungsional pasien.

Demensia biasanya dimulai secara bertahap/ perlahan-lahan, dimulai dari bentuk

penurunan kognitif ringan. Faktanya penurunan fungsi kognitif berhubungan dengan penuaan

yang muncul menjadi suatu rangkaian. Aspek normal dari penuaan adalah kesadaran tentang

perubahan memori ringan, tetapi secara objektif defisit kognitifnya ringan. Namun, seiring dengan

kemajuan pada neurogeneration, penurunan kognitif ringan, merupakan keadaan transisi antara

penuaan normal dan demensia, yang akan berkembang dan menempatkan pasien pada peningkatan

risiko untuk berkembangnya demensia.


DEFINISI

Menurut DSM IV, ciri penting dari demensia adalah gangguan memori, gangguan

setidaknya pada satu domain kognitif (misalnya bahasa, kemampuan visuospasial), serta adanya

gangguan yang signifikan pada fungsi pekerjaan dan sosial atau keduanya yang merupakan

hasil/akibat dari gangguan kognitif. Ciri-ciri ini tidak bisa terjadi secara eksklusif selama

perjalanan delirium. Demensia dengan tipe Alzheimer didefinisikan sebagai sindrom demensia

dengan onset yang gradual (pelan pelan/berangsur angsur) dan progresif dan tanpa penyebab lain

yang bisa diidentifikasi dan kadang sebabnya dapat diobati. Diagnosis pasti demensia jenis

Alzheimer dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak, umumnya

setelah kematian pasien. Sebuah kelompok kerja untuk diagnosis pada gangguan ini ditetapkan

oleh National Institute of Neurological and Communicative Disorders and the Alzheimer's

Association menetapkan kriteria yang memberikan panduan untuk possible diagnosis dan probable

diagnosis (diagnosis yang mungkin dan kemungkinan diagnosis) untuk penyakit Alzheimers.

Kemungkinan penyakit Alzheimers termasuk dalam sindrom demensia dimana ada penyakit

tambahan (seperti tumor atau serebral thrombosis) mungkin bisa diimplikasikan. Possible

diagnosis (diagnosis yang mungkin) penyakit Alzheimers sama dengan demensia yang progresif

dari tipe Alzheimers. Kriteria penelitian untuk diagnosis penyakit Alzheimers telah diusulkan

untuk direvisi baru-baru ini. Kriteria ini mempertimbangkan pengetahuan ilmiah yang

berkembang tentang neuroimaging dan biomarker lain untuk penyakit Alzheimers, termasuk

adanya gangguan memori episodik diawal sakit yang terjadi bersama dengan setidaknya satu atau

lebih biomarker abnormal, seperti struktural neuroimaging dengan menggunakan magnetic

resonance imaging (MRI), pemeriksaan molekular neuroimaging dengan positron emission

tomography (PET) dan analisis amyloid β atau protein dari cairan serebrospinal.
Sebelum pasien mengalami demensia, kemunduran kognitif ringan (mild cognitive

impairment) sering didiagnosis. Pasien dengan prodormal demensia ini dapat hidup mandiri, sadar

akan perubahan ingatan mereka, dan biasanya menunjukkan masalah dalam mengingat kembali,

meskipun domain kognitif non memori mungkin terganggu juga. Ketika seorang pasien

menunjukkan gejala kognitif terutama di bidang memori, istilah gangguan kognitif ringan

amnestik sering digunakan. Pasien dengan subtipe amnestik ini cenderung berkembang menjadi

penyakit Alzheimer.

SEJARAH

Pada tahun 1906, Psikiater dan ahli saraf Jerman Alois Alzheimer pertama kali

mendiskripsikan seorang pasien setengah baya yang menderita demensia progresif yang

mempengaruhi bahasa, ingatan dan perilaku. Setelah pasien meninggal pada usia 55 tahun,

alzheimer menerapkan teknik pewarnaan baru ke jaringan otak pasien dan menunjukkan adanya

sesuatu yang saat ini dinamakan neurofibrillary tangles dan plak neuritik di neokorteks dan daerah

otak lainnya. Selama bertahun-tahun, penyakit Alzheimer’s dianggap sebagai demensia presenil,

sebagian karena beberapa plak dan tangles yang terjadi pada orang tua tanpa demensia dan

beberapa orang tua dengan demensia mempunyai beberapa plak dan tangles. Konflik semacam ini

telah diselesaikan pada akhir 1960an, ketika tingkat demensia terbukti berkorelasi dengan jumlah

plak neurotik di daerah neurokortikal. Selain itu, penyebab dari demensia senile tidak ada selain

penyakit Alzheimer.

Pengakuan bahwa demensia bukanlah bagian normal dari penuaan tetapi merupakan suatu

penyakit telah mendorong agenda penelitian. Namun, itu juga telah berfungsi untuk menstigmasi

kondisi tersebut. Banyak orang yang telah berusia tua enggan untuk mencari bantuan untuk
peningkatan gejala ingatan mereka karena ketakutan mereka bahwa mereka mungkin menderita

penyakit Alzheimer. Dengan demikian, perawatan simptomatik sering dimulai setelah pasien

sudah menderita demensia dengan derajat moderat. Namun, jika perawatan masa depan dapat

dikembangkan untuk menunda timbulnya peyakit Alzheimer, mungkin ada sedikit penekanan pada

pengobatan keaadaan penyakit dan perhatian yang lebih besar untuk strategi pencegaahan,

mengurangi stigma dan meningkatkan akses ke perawatan.

EPIDEMIOLOGY

Demensia adalah penyebab paling umum psikopatologi pada orang tua. Demensia tipe

Alzheimer menyumbang sekitar 60% dari demensia pada usia tua. Diperkirakan 5-10% orang

berusia diatas 65 tahun menyumbang kenaikan paling mencolok dalam insiden demensia diusia

sangat tua. Demensia Alzheimer dan demensia terkait membebani masyarakat setiap tahun sekitar

$ 100 miliar, yang mencakup baik biaya langsung (yaitu pengeluaran dolar aktual) dan biaya tidak

langsung (yaitu, kerugian sumber daya yang tidak melibatkan pengeluaran dolar). Faktor risiko

terbesar dalam berkembangnya demensia adalah usia : insiden dan prevalensi penyakit menjadi

dua kali lebih besar setiap 5 tahun setelah usia 60 tahun. Diperkirakan 4 juta warga AS menderita

penyakit Alzheimer. Ketika generasi baby boom (lahir tahun 1950an dan 1960an) masuk kedalam

usia 60 tahun dan lebih tua, penyakit Alzheimer akan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

lebih besar. Jumlah orang Amerika yang menderita penyakit Alzheimer diperkirakan meningkat

tiga kali lipat pada pertengahan abad, tumbuh dari 4,5 juta menjadi lebih dari 13 juta. Prevalensi

gangguan kognitif ringan mungkin setinggi 19 persen pada orang yang lebih tua dari usia 65 tahun

dan 29 persen pada mereka yang lebih tua dari usia 85 tahun.
ETIOLOGI

Para ilmuwan sedang mencari kemungkinan penyebab penyakit Alzheimer, yang

mengarah pada perawatan yang dapat menunda atau bahkan menghentikan proses demensia.

Upaya telah difokuskan pada berbagai sistem neurotransmitter, terutama sistem kolinergik karena

temuan hilangnya neuron kolinergik di nukleus dasar otak depan. Studi jaringan setelah kematian

dan cairan serebrospinal juga telah menemukan defisit dalam sistem neurotransmitter

serotonergik, dopaminergik, somatostatinergik, noradrenergik, dan glutaminergik.

Beberapa penemuan penting yang menjelaskan pemahaman penyakit telah berada di

bidang biologi molekuler dan genetika. Peningkatan frekuensi pasien sindrom Down (trisomi 21)

yang akan berkembang menjadi penyakit neuropatologi dan demensia Alzheimer pada usia 40-an

memicu fokus awal pada kromosom 21, dan keterkaitan yang signifikan dengan kromosom 21

ditemukan pada beberapa keluarga awitan tetapi tidak pada yang lain. Semangat dalam penelitian

genetika meningkat ketika gen yang mengkode protein prekursor amiloid (APP) ditemukan dalam

plak senilis yang dilokalisasi ke wilayah kromosom 21 yang sama. Mutasi APP, bagaimanapun,

relatif jarang. Penelitian tambahan telah menunjukkan bahwa kebanyakan onset awal dalam

keluarga tidak memisahkan mutasi APP menunjukkan mutasi gen kromosom 14 (presenilin 1).

Bentuk lain dari onset awal penyakit Alzheimer diperlihatkan oleh keluarga asal Jerman Volga.

Untuk keluarga-keluarga ini, mutasi kromosom 1 (presenilin 2) telah diidentifikasi.

Studi tentang penyakit dengan onset lambat (demensia yang dimulai setelah usia 60 tahun)

menunjukkan bukti adanya hubungan atau asosiasi atau keduanya dengan wilayah kromosom 19.

Apolipoprotein E (APOE) adalah kandidat gen untuk kerentanan penyakit Alzheimer sebagian

karena APOE dan cairan serebrospinal terikat agar amiloid β peptida dan antisera tidak bergerak
ke APOE plak senilis dan tangles neurofibrillary. Selain itu, APOE dilokalisasi di daerah yang

sama dari kromosom 19 yang diidentifikasi dalam suatu studi hubungan.

APOE memiliki tiga varian alel (2, 3, dan 4). Setiap orang mewarisi satu alel dari masing-

masing orang tua, sehingga lima genotipe umum adalah mungkin (2/3, 3/3, 2/4, 3/4, dan 4/4).

Genotipe keenam (2/2) jarang. Pada populasi umum, sekitar 3 persen orang memiliki 4/4 genotip,

20 persen memiliki genotipe 3/4, dan kebanyakan orang memiliki 3/3 genotipe. Alel APOE-4

meningkatkan risiko dan mengurangi usia saat onset demensia dalam mode terkait dosis, yaitu,

risiko penyakit Alzheimer terendah untuk genotipe 3/3, lebih tinggi untuk genotipe 3/4, dan

tertinggi untuk genotip 4/4. Sebaliknya, alel APOE-2 memiliki efek perlindungan, sehingga risiko

penyakit Alzheimer lebih rendah untuk orang-orang dengan genotipe 2/3 daripada bagi mereka

dengan genotipe 3/3. Kerentanan terhadap penyakit Alzheimer dari APOE mempengaruhi banyak

ras dan telah dikonfirmasi di seluruh dunia.

Salah satu strategi yang digunakan untuk memfasilitasi pencarian penyebab mengakui

bahwa penyakit Alzheimer mungkin merupakan kondisi heterogen. Investigasi yang

membandingkan keluarga (satu atau lebih dipengaruhi kerabat tingkat pertama dari subjek

penelitian atau autosomal dominan jenis besar) dan pasien penyakit Alzheimer sporadis, serta

pasien dengan onset dini (65 tahun atau lebih muda) dan demensia onset lambat, telah menemukan

perbedaan klinis dan biologis di antara mereka. Penelitian lain menunjukkan perbedaan jenis

kelamin menurut ekspresi penyakit, metabolisme glukosa otak, dan fungsi neuroendokrin dan

kemungkinan interaksi antara usia saat onset, jenis kelamin, dan riwayat keluarga demensia. Studi

kasus-kontrol telah mengidentifikasi beberapa faktor risiko untuk penyakit Alzheimer, termasuk

trauma kepala sebelumnya dan depresi. Faktor-faktor yang dapat mengurangi risiko untuk
berkembangnya penyakit Alzheimer termasuk prestasi pendidikan yang lebih tinggi, ukuran otak

yang lebih besar, dan kondisi kardiovaskular.

Faktor lain yang berkontribusi termasuk peradangan dan perubahan oksidatif yang dapat

menyebabkan disfungsi dan akhirnya kematian neuron. Mekanisme patogenik, hipertensi dan

resistensi insulin, lebih lanjut membahayakan aliran darah ke otak, mengurangi metabolisme

glukosa, dan menyebabkan hiperensitas substansia alba dan stroke kecil.

Dalam arti, penelitian dalam penyakit Alzheimer seperti memecahkan teka-teki puzzle

besar: Meskipun para peneliti mulai mengumpulkan beberapa sudut, teka-teki jauh dari

terpecahkan. Dalam beberapa kasus, penyebabnya mungkin merupakan cacat genetik pada

kromosom 14; di lain, campuran faktor genetik dan lingkungan dapat memainkan peran.

DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS

Ciri khas demensia adalah gangguan memori. Dalam perkembangan demensia, memori

jangka pendek pada awalnya terpengaruh. Pasien memiliki kesulitan khusus dalam mempelajari

informasi baru, seperti yang ditunjukkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mengingat tiga

objek setelah 5 menit atau bahkan setelah dua pengalihan. Memori jangka panjang mungkin

terpengaruh, dan pasien mungkin tidak mengingat informasi pribadi yang penting di masa lalu.

Area kognitif lain mungkin terganggu, termasuk pemikiran abstrak, judgment, kepribadian, dan

bahasa. Dalam kasus khas penyakit Alzheimer, onsetnya tersembunyi (tidak terdeteksi) sehingga

anggota keluarga mengalami kesulitan memperkirakan kapan gangguan tersebut dimulai.

Diagnosis demensia sering luput atau tertunda. Studi prevalensi sampel masyarakat juga

mendeteksi banyak kasus yang tidak terdiagnosis. Sayangnya, dokter sering menerapkan diagnosis

demensia secara salah dengan mendiagnosis kondisi ketika tidak ada atau melewatkannya ketika
itu terjadi. Kesalahan seperti itu mungkin disebabkan oleh kurangnya perhatian pada fungsi

kognitif selama pemeriksaan skrining medis atau kurangnya pengetahuan tentang proses penuaan

normal.

Riwayat lengkap dari seseorang yang mengetahui pasien dengan baik, pemeriksaan fisik

dan neurologis, dan pemeriksaan status mental sangat penting dalam evaluasi diagnostik. Tes

status mental standar singkat (misalnya, Pemeriksaan Mini-Mental State Examination, Mini-Cog)

berguna untuk mengukur tingkat gangguan kognitif, dan neuropsikologi yang lebih luas untuk

memberikan rincian tentang sifat defisit kognitif. Pada pemeriksaan, pasien dapat menunjukkan

apraksia (ketidakmampuan untuk melaksanakan perintah motorik, meskipun pemahaman dan

fungsi motorik utuh), agnosia (ketidakmampuan untuk mengenali objek, meskipun fungsi sensorik

utuh), atau kesulitan dalam keterampilan visual-spasial (ketidakmampuan untuk menyalin gambar

dua dimensi dan tiga dimensi atau untuk menyusun blok). Berbagai perubahan perilaku dapat

menyertai defisit kognitif, termasuk paranoia, agitasi, insomnia, kecemasan, dan depresi.

PATOLOGI DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Gambaran histopatologis utama termasuk plak neuritik (endapan ekstraseluler protein

amiloidogen) dan tangles neurofibrillary (filamen sitoskeletal intraseluler yang abnormal).

Kepadatan plak telah digunakan sebagai kriteria untuk diagnosis penyakit Alzheimer setelah

kematian. Pengurangan jumlah neuron dan sinapsis dan akumulasi plak dan tangles terjadi di lobus

frontal, temporal, dan parietal; temuan itu konsisten dengan keterlibatan asosiasi dan struktur otak

limbik. Karena kehilangan neuronal, otak pasien penyakit Alzheimer menunjukkan atrofi lebih

besar dari yang diperkirakan untuk usia mereka.


Pencitraan struktural (computed tomography [CT] atau magnetic resonance imaging

[MRI]) dapat mengidentifikasi penyebab demensia yang bisa diobati seperti hidrosefalus tekanan

normal atau lesi yang menempati ruang (space occupying lession). Pencitraan struktural juga

membantu dalam mendeteksi stroke dan pola atrofi. The American Academy of Neurology dalam

pedoman parameter praktik merekomendasikan neuroimaging struktural sebagai prosedur rutin

untuk evaluasi awal pasien dengan demensia.

Dalam praktek klinis, pemindaian struktural banyak digunakan, dan ahli radiologi

menafsirkan hasil berdasarkan pembacaan visual. Dalam setting penelitian, program analisis

gambar digunakan untuk mengukur volume MRI dan CT regional. Analisis ini telah menemukan

bahwa pengukuran atrofi medial temporal atau hippocampal dapat membedakan pasien dengan

diagnosis klinis penyakit Alzheimer dari kontrol. Atrofi pada korteks entorhinal dan hipokampus

dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk perkembangan memori dan perkembangan penyakit

Alzheimer.

Scan Positron emission tomographic (PET) mengukur metabolisme glukosa regional

setelah injeksi fluorodeoxyglucose (FDG) dapat membedakan demensia tipe Alzheimer dari

demensia lainnya. Pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan hipometabolisme di daerah

posterior cingulate, parietal, temporal, dan frontal, dan pola ini dapat diamati juga pada pasien

dengan gangguan kognitif ringan (Gambar 54.3f – 1). Menggabungkan penilaian risiko genetik

dengan PET adalah strategi potensial untuk deteksi dini penyakit Alzheimer.

Gambar 54.3f.1

Contoh PET otak dari kontorl subyek (kiri), pasien dengan mild cognitif impairment (tengah) dan

pasien dengan penyakit Alzheimer (kanan), termasuk penggunaan agen FDDNP (atas), FDG

(tengah) dan MPPF (bawah). Untuk semua metode pencitraan, pasien dengan mild cognitif
impairment menunjukkan hasil pertengahan antara pasien kontrol dan pasien dengan penyakit

Alzheimer. Skala absolut sebanding pada subyek dengan pemeriksaan spesifik dan pewarnaan

yang lebih hangat di indikasikan untuk hasil yang lebih baik. Pada pasien dengan penyakit

Alzheimer anak panah menunjukkan ke arah frontal, parietal, singulat posterior (atas), frontal dan

temporoparietal (tengah) dan medial temporal (bawah)

Beberapa probe molekul kecil yang digunakan pada pencitraan PET telah ditemukan untuk

menyediakan pengukuran in vivo dari plak amyloid, dan satu Senyawa (FDDNP) dapat mengukur

baik plak amiloid dan tau tangles. Penelitian PET menggunakan Pittsburgh Compound-B (PIB),

turunan dari pewarna thioflavin-T amyloid, menunjukkan retensi kortikal yang secara signifikan

lebih besar pada pasien dengan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan kontrol (Gambar 54.3f

– 2). PET scan setelah injeksi FDDNP telah ditemukan untuk membedakan pasien dengan penyakit

Alzheimer dari pasien dengan gangguan kognitif ringan dan kontrol kognitif intak (utuh/tanpa

gangguan) (Gambar 54.3f – 1). Scan FDDNP-PET juga dapat menampilkan proyeksi permukaan

kortikal tiga dimensi, yang menunjukkan pola sinyal sangat mirip dengan yang diharapkan dari

studi otopsi yang menunjukkan pola akumulasi otak regional dari plak dan tangles (Gambar 54.3f

– 3). Ligan PET lainnya, MPPF, memberikan visualisasi neuron piramidal hippocampal, yang juga

menunjukkan tingkat sinyal yang berbeda sesuai dengan tingkat defisit kognitif pasien (Gambar

54.3f – 1).

Gambar 54.3f – 2

PIB standar menunjukkan gambar yaang dipertajam dari retensi PIB pada pasien 79 tahun dengan

penyakit Alzheimer dibandingkan dengan pasien kontrol berusia 67 tahun yang sehat.
Gambar 54.3f – 3

proyeksi permukaan kortikal tiga dimensi dari FDDNP-PET pada kontrol dan pasien dengan

penyakit Alzheimer yang menunjukkan permukaan otak lateral (atas) dan medial (bawah).

Pewaarnaan yang lebih hangat mengindikasikan level yang lebih tinggi dari plak dan tangles.

Single photon emission computed tomography (SPECT) memindai pola aliran darah

serebral dari hipoperfusi parietal dan temporal, yang dapat membantu dalam mendiagnosis

penyakit Alzheimer. Studi perbandingan menunjukkan bahwa SPECT memiliki akurasi diagnostik

yang lebih rendah daripada PET, tetapi kemajuan dalam analisis statistik berbasis voxel telah

meningkatkan akurasi diagnostik SPECT. Meskipun SPECT telah digunakan secara lebih luas

karena ketersediaannya dan biaya rendah, penggunaan PET yang lebih besar untuk studi onkologi

telah membuatnya tersedia di banyak wilayah geografis. Selain itu, Pusat Layanan Medicare dan

Medicaid AS telah menyetujui penggantian Medicare untuk pemindaian FDG-PET untuk

membantu diagnosis banding penyakit Alzheimer dan demensia frontotemporal.

Pemeriksaan laboratorium setidaknya harus mencakup beberapa tes darah untuk

menyaring penyakit tiroid, defisiensi vitamin B12, anemia, penyakit hati, dan berbagai gangguan

metabolik yang mungkin dapat menyebabkan perubahan memori. Kadar protein pada cairan

serebrospinal berhubungan dengan plak dan tangles (misalnya, peningkatan tau terfosforilasi dan

amiloid β-peptida rendah 1–42 [Aβ1-42]) mampu membedakan pasien dengan penyakit Alzheimer

dari kontrol normal; Namun, pungsi lumbal tidak sering digunakan sebagai prosedur diagnostik

dalam setting klinis. Biomarker tambahan yang diteliti termasuk tes identifikasi penciuman,

penanda serum peradangan (inflamasi), pilocarpine eye drop test, dan skin test untuk menentukan

perubahan endotel.
DIFERENSIAL DIAGNOSA

Diagnosis banding penyakit Alzheimer bisa menjadi tantangan. Kecuali untuk pengukuran

metabolisme glukosa serebral regional menggunakan PET scanning, penanda biologis yang paling

potensial masih dalam tahap pengembangan, dan dokter masih menggunakan metode

konvensional untuk evaluasi: riwayat pasien, pemeriksaan fisik, pencitraan struktural, dan tes

laboratorium. Riwayat pasien memberikan informasi penting, dan beberapa informan harus dicari

untuk menguatkan. Bahkan dengan evaluasi yang paling menyeluruh, kesalahan diagnostik bisa

terjadi. Ketika pasien diikuti untuk otopsi untuk konfirmasi neuropatologi, akurasi diagnosis klinis

sebelumnya bisa serendah 60 persen.

Demensia vaskular diperkirakan mencapai 10 hingga 20 persen pada demensia usia lanjut.

Secara klasik, gangguan ini ditandai oleh serangan penyakit yang tiba-tiba dan penurunan bertahap

dalam fungsi kognitif daripada onset tersembunyi dan perjalanan progresif penyakit Alzheimer.

Koeksistensi demensia vaskular dan demensia tipe Alzheimer (diperkirakan sekitar sepertiga dari

semua demensia) merusak akurasi diagnostik.

Meskipun penyakit Alzheimer dan demensia vaskular merupakan sebagian besar dari

semua demensia, banyak kondisi lain harus dipertimbangkan dan kadang-kadang dapat dibedakan

dari penyakit Alzheimer oleh gambaran klinis mereka. Misalnya, demensia frontotemporal

ditandai oleh perubahan kepribadian, kemampuan visuospasial relatif masih ada, dan disfungsi

eksekutif. Sebaliknya, pasien dengan demensia Lewy body mungkin terdapat bukti adanya

halusinasi visual, delusi, status mental yang berfluktuasi, dan kepekaan terhadap obat antipsikotik.
Alkohol dan obat-obatan dapat menyebabkan kehilangan memori dan gejala demensia

lainnya. Untuk pasien lanjut usia, obat layak mendapat penekanan khusus sebagai penyebab

gangguan memori karena polifarmasi yang meluas dan perubahan yang berkaitan dengan usia

dalam fungsi tubuh dan farmakokinetik. Otak orang dengan usia lanjut bisa sangat sensitif terhadap

perubahan di lingkungannya, dan hampir semua penyakit fisik dapat mempengaruhi perubahan

seperti itu dan menghasilkan sindrom mirip demensia. Banyak kondisi fisik dan mental yang

berpotensi dapat diobati harus dipertimbangkan setiap kali diagnosis demensia (Tabel 54.3f – 1).

Gambaran klinis depresi pada geriatri dapat mirip dengan demensia. Istilah "depressive

pseudodementia " sebelumnya tidak lagi dianggap bermanfaat karena demensia itu nyata; sebagai

gantinya, " dementia syndrome of depression" sering digunakan. Frekuensi yang dilaporkan telah

salah mengira pasien depresi dengan demensia berkisar 5 hingga 15 persen. Retardasi

psikomotorik, gangguan konsentrasi, dan sifat apatis dari pasien depresi dapat disalahartikan

sebagai gejala demensia, terutama ketika gejala-gejala ini disertai dengan hilangnya memori.

Namun, pada dementia syndrome of depression, keluhan memori cenderung melebihi gangguan

memori aktual yang diamati pada tes psikologis. Fakta bahwa demensia dan depresi sering kali

bersamaan semakin mengaburkan gambaran diagnostik. Sekitar 30 persen pasien dengan demensia

progresif juga menderita beberapa bentuk depresi.

Banyak orang di usia 50-an dan yang lebih tua mengeluh tentang lupa dan khawatir tentang

maknanya. Gangguan memori terkait usia, seperti yang didefinisikan oleh workgroup yang

diselenggarakan oleh National Institute of Mental Health (NIMH), berlaku untuk orang sehat usia

50 tahun dan lebih tua yang memiliki keluhan subjektif kehilangan memori dan defisiensi ringan

dalam kinerja memori dibandingkan dengan orang dewasa muda. Sekitar 40 persen orang berusia

50-an dan hingga 85 persen dari mereka yang berusia 80 tahun dan lebih tua menderita gangguan
memori terkait usia. Data awal menunjukkan bahwa apabila kondisi stabil selama interval hingga

4 tahun dan dengan demikian dianggap mencerminkan penuaan normal dan biasanya tidak

berkembang menjadi demensia. Meskipun mungkin butuh waktu lebih lama untuk mengingat,

kebanyakan orang lanjut usia terus mengingat informasi yang telah mereka pelajari dengan baik

dan peristiwa penting dari masa lalu. Karena gangguan memori terkait usia begitu umum, hal ini

juga disebut sebagai penuaan normal.

Tabel 54.3f-1

Beberapa kondisi potensial yang reversibel yang mungkin menyebabkan gangguan mnyerupai

demensia

Zat Gangguan metabolik dan endokrin

Agen antikolinergik Penyakit addison’s


Antihipertensi Sindrom cushing
Antipsikotik Kegagalan hepar
Kortikosteroid Hiperkarbia (penyakit obstruksi paru kronis)
Digitalis Hipernatremia
Narkotik Hiperparatiroidisme
Agen antiinflamasi nonsteroid Hipertiroidisme
Penitoin Hipoglikemia
Polifarmasi Hiponatremia
Hipnotik sedative Hipotiroidisme
Gagal ginjal
Volume depletion
Gangguan psikiatri Kondisi yang bermacam-macam

Cemas Impaksi feses


Depresi Perawatan di rumah sakit
Mania Penurunan pendengaran dan penglihatan
Gangguan waham (paranoid)
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Demensia tipe Alzheimer adalah penyakit kronik progresif yang pada akhirnya mengarah

pada kematian, tidak langsung dari proses demensianya tetapi biasanya dari penyakit yang saling

berhubungan. Tingkat perkembangan penyakit bervariasi, dan sulit untuk memperkirakan

seberapa cepat penurunan yang mungkin dialami pasien. Beberapa pasien menjadi demensia berat

dalam waktu 1 tahun; yang lain mengalami perjalanan penyakit yang stabil selama beberapa tahun.

Bentuk lain dari neurodegenerasi, termasuk demensia frontotemporal, demensia vaskular, dan

demensia Lewy body, secara bertahap juga progresif. Kadang-kadang, penyebab demensia dapat

diobati (mis: Toksisitas obat, hipotiroidisme) dapat disembuhkan ketika penyebab yang

mendasarinya diobati.

PENGOBATAN

Langkah pertama dalam mengobati demensia adalah berusaha mengidentifikasi penyakit

yang mendasari yang dapat menyebabkan gangguan memori dan gejala sindrom lainnya. Jika tidak

ada yang ditemukan atau jika gejalanya menetap setelah perawatan spesifik yang sesuai, maka

tersedia beberapa pengobatan simtomatik.

Psikofarmakoterapi

Berbagai perawatan farmakologis tersedia untuk penyakit Alzheimer (Tabel 54.3f-2 dan

54.3f-3). Banyak dari pendekatan ini mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi

tidak satu pun yang dapat menghentikan proses demensia. Sebagian besar agen farmakologis yang

sekarang tersedia atau sedang dalam pengembangan menargetkan gejala tertentu (misalnya, agitasi
atau kehilangan memori) dan berasal dari neurobiologi penyakit yang diketahui (misalnya, defisit

neurotransmitter tertentu) atau pendekatan antidemensia yang dihipotesiskan (misalnya,

antiamyloid, antitau, antiinflamasi atau antioksidan).

Tabel 54.3f-2

Terapi medikasi yang digunakan atau masih di investigasi untuk terapi demensia tipe Alzheimers

Inhibitor kloinesterase Hormon


Tacrine Estrogen terkonjugasi
Donepezil N-Methyl D-aspartate antagonis
Rivastigmine Memantine
Galantamine Penguat kognitif potensial lain
Suistained-release physostigmine Acetyl-L-carnitine
Eptastigmine Curcumin
Agonis kolinergik Ginkgo biloba
Xanomeline Obat nonsteroid antiinflamasi
Mailameline Omega-3 asam lemak
Antioxidan
Vitamin E (α-tocopherol)

Tabel 54.3f-3

Beberapa obat yang digunakan atau masih di investigasi untuk terapi perilaku yang berhubungan

dengan demensia

Antipsikotik Anti cemas


Aripiprazole Buspirone
Haloperidol Lorazepam
Thioridazine Clonazepam
Risperidon Obat antiparkinson
Olanzapine Selegiline
Quetiapin Antagonis reseptor β-adrenergik
Anti kejang Propanolol
Carbamazepin pindolol
Sodium divalproate
Antidepresan
Citalopram
Fluoxetin
Paroxetin
Sertralin
Trazodon

Salah satu pendekatan untuk meningkatkan fungsi memori adalah untuk meningkatkan

aktivitas kolinergik di otak. Otopsi pasien dengan penyakit Alzheimer telah menemukan

penurunan kadar choline acetyltransferase di otak, sebuah temuan yang konsisten dengan defisit

kolinergik sentral. Percobaan agonis kolinergik untuk sementara meningkatkan memori pada

sukarelawan normal muda dan tua. Percobaan beberapa agen, termasuk physostigmine

(Antilirium), choline (Mega-B), dan lesitin (PhosChol), telah menghasilkan hasil yang

bertentangan (beberapa efek vs tidak ada efek yang dapat diukur pada memori pasien dengan

demensia) atau belum direplikasi .

Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah menyetujui empat inhibitor

cholinesterase (tacrine [Cognex], donepezil [Aricept], rivastigmine [Exelon], dan galantamine

[Razadyne]) dan satu antagonis reseptor N-methyl D-aspartate (NMDA) (memantine [Namenda])

untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Obat-obatan ini telah terbukti bermanfaat untuk daya ingat,

aspek kognisi lain, gangguan perilaku, fungsi keseluruhan, dan bahkan beban pengasuh. Tacrine

memiliki kelemahan menyebabkan peningkatan kadar transaminase serum reversibel dan karena

itu jarang digunakan.


Perawatan simptomatik awalnya hanya diindikasikan untuk pasien dengan penyakit

Alzheimer ringan sampai sedang. Baru-baru ini, efektifitas inhibitor kolinesterase telah meluas

hingga mencakup pasien dengan penyakit Alzheimer berat, pasien dengan penyakit Lewy body,

dan pasien dengan demensia yang terkait dengan penyakit Parkinson. Rivastigmine juga

diindikasikan untuk pengobatan demensia yang terkait dengan penyakit Parkinson. Memantine

diindikasikan untuk pasien dengan penyakit Alzheimer sedang sampai parah. Praktek klinis rutin

sering menggabungkan inhibitor kolinesterase dengan memantine, dan studi terbaru menunjukkan

bahwa kombinasi ini memberikan respons yang menguntungkan dibandingkan dengan

farmakoterapi inhibitor kolinesterase saja.

Uji klinis menunjukkan pentingnya deteksi dini dan pengobatan dengan obat penghambat

cholinesterase. Pada uji kilinis Secara acak, pada pasien dengan penyakit Alzheimer yang

dikontrol dengan plasebo, obat ini menyebabkan peningkatan fungsi kognitif yang signifikan

dibandingkan dengan plasebo setelah 6 bulan pengobatan. Selama 6 bulan periode pengobatan

open-label, pasien yang awalnya diobati dengan plasebo diberikan obat aktif, dan pada 1 tahun,

kinerja kognitif yang lebih baik diamati pada pasien yang memulai pengobatan obat dari awal

percobaan dibandingkan dengan mereka yang yang telah tertunda plasebo selama 6 bulan. Studi

yang menggunakan obat penghambat cholinesterase pada pasien dengan gangguan kognitif ringan

tidak meyakinkan. Sebagai contoh, uji coba terkontrol plasebo secara acak pada pasien dengan

gangguan kognitif ringan menemukan bahwa penghambat cholinesterase donepezil menunda

perkembangan penyakit Alzheimer dibandingkan dengan plasebo setelah 1 tahun pengobatan;

Namun, tidak ada perbedaan antara obat dan plasebo yang ditemukan setelah 3 tahun pengobatan.

Karena itu, meresepkan inhibitor cholinesterase untuk pasien dengan gangguan kognitif ringan,

akan dianggap sebagai penggunaan di luar label.


Studi yang sedang berlangsung menilai berbagai agen lain yang dapat meningkatkan fungsi

kognitif, termasuk estrogen, agen antiinflamasi nonsteroid dan suplemen. Sayangnya, manfaat

klinis untuk berbagai perawatan ini tidak dapat disimpulkan. Banyak pasien juga menggunakan

sediaan bebas, yang harus dievaluasi secara rutin.

Percobaan klinis sebelumnya pada pasien dengan penyakit Alzheimer cukup parah

menemukan bahwa pengobatan dengan vitamin E (α-tokoferol) pada 2.000 IU setiap hari

menurunkan tingkat penurunan fungsional. Namun, meta-analisis baru-baru ini telah menemukan

peningkatan risiko infark miokard pada pasien yang mengonsumsi suplemen vitamin E harian,

terutama dosis lebih besar dari 400 IU.

Ketika para ilmuwan mengungkap mekanisme patogenetik dasar penyakit Alzheimer,

beberapa strategi terapi untuk mencegah atau mengurangi akumulasi amiloid yang tidak larut

sedang diselidiki, termasuk sekretase inhibitor atau modulator, vaksin aktif atau pasif, agregat

(oligomer) dan inhibitor tau kinase, obat penurun kolesterol statin, obat antiinflamasi, asam lemak

omega-3, dan pigmen kari kuning, curcumin.

Terapi yang tersedia untuk perilaku yang terkait dengan demensia (mis : Depresi, agitasi,

psikosis, dan kecemasan) dapat membantu. Pasien yang menderita demensia dengan depresi secara

bersamaan dapat membaik setelah perawatan dengan obat antidepresan. Antidepresan dengan efek

antikolinergik minimal (mis : Inhibitor reuptake serotonin selektif [SSRI]) lebih disukai daripada

obat trisiklik. Lithium (Eskalith) dapat menjadi antidepresan yang efektif untuk depresi geriatri

dan gangguan bipolar I. Namun, pasien dengan penyakit neurologis yang mendasari telah

dilaporkan mempunyai hasil terapi yang buruk dengan pengobatan lithium, sehingga harus

digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan demensia.


Obat antipsikotik mungkin efektif dalam mengobati gejala dan agitasi psikotik, dengan

pilihan agen tertentu tergantung pada profil efek sampingnya. Sebuah uji coba meta-analisis

terkontrol terhadap pengobatan antipsikotik pada demensia menunjukkan bahwa antipsikotik

memiliki efek yang jauh lebih besar daripada plasebo, tetapi tingkat efeknya kecil.

Agen dengan potensi tinggi seperti haloperidol (Haldol) cenderung menyebabkan gejala

parkinson, sedangkan obat dengan potensi rendah seperti klorpromazin menyebabkan sedasi,

hipotensi postural, dan efek antikolinergik. Lebih jarang, tardive dyskinesia dan sindrom

neuroleptik malignant dapat terjadi. Clozapine (Clozaril) dapat menghasilkan efek antikolinergik,

serta agranulositosis, dan karenanya membutuhkan pemantauan penghitungan darah, yang dapat

sangat bermasalah pada pasien usia lanjut yang lemah. Karena profil efek samping yang lebih baik,

obat antipsikotik atipikal yang lebih baru, seperti quetiapine (Seroquel), risperidone (Risperdal),

olanzapine (Zyprexa), dan ziprasidone (Geodon), telah menerima perhatian yang lebih besar dalam

beberapa tahun terakhir. Baik pengalaman klinis dan data dari uji coba terkontrol menggunakan

obat-obatan yang terakhir ini pada pasien yang lebih tua dengan demensia yang mulai muncul.

Namun, obat antipsikotik yang diminum oleh pasien demensia telah dikaitkan dengan efek

samping dan peningkatan angka kematian, sehingga para peneliti mempertanyakan apakah risiko

mereka lebih besar daripada manfaatnya, dan dokter menjadi lebih konservatif dalam

menggunakannya.

Dokter harus menyadari risiko tardive dyskinesia pada pasien usia lanjut. Satu penelitian

terhadap pasien psikiatri lansia menunjukkan bahwa risiko terbesar adalah selama 2 tahun pertama

pengobatan antipsikotik. Karena efek samping seperti itu, obat-obatan alternatif telah digunakan

untuk mengobati agitasi, termasuk agen penghambat β dan obat sedasi antidepresan, seperti

trazodone (Desyrel).
Benzodiazepin juga telah digunakan untuk mengobati agitasi yang menyertai demensia.

Namun, mereka memiliki efek samping yang tidak diinginkan, termasuk beberapa sangat

berbahaya bagi pasien lansia dengan demensia, seperti kebingungan, gangguan memori,

disorientasi, disartria, dan agitasi yang rumit dengan cara berjalan ataxic. Benzodiazepin kerja

pendek yang tidak memerlukan metabolisme oksidatif di hati dan tidak memiliki metabolit aktif

lebih aman daripada agen kerja panjang. Agen benzodiazepin yang bekerja lama cenderung

terakumulasi dalam darah dan paling baik dihindari, seperti senyawa yang bekerja sangat pendek,

yang cenderung mencapai tingkat puncak tinggi dengan cepat. Benzodiazepin yang bekerja singkat

mungkin berguna untuk mengobati insomnia, meskipun dokter harus mengevaluasi penyebab

spesifik insomnia, seperti restless leg syndrome, apnea obstruktif, frekuensi kemih yang

disebabkan oleh penyakit prostat, kurang olahraga siang hari, penggunaan kafein, dan lama tinggal

di tempat tidur. Selain itu, upaya mengurangi tidur siang hari, menghindari stimulan malam hari,

dan mengatur waktu makan dan kegiatan harus dilakukan sebelum menggunakan agen

farmakologis untuk tidur.

Intervensi lainnya

Perhatian terhadap Lingkungan

Pasien dengan kehilangan kognitif peka terhadap lingkungan mereka dan tampaknya

melakukan yang terbaik dengan stimulasi optimal. Stimulasi yang kurang dapat menyebabkan

penarikan (withdrawl); stimulasi berlebihan dapat menyebabkan kebingungan dan agitasi.

Lingkungan yang akrab dan konstan memaksimalkan fungsi kognitif pasien yang ada. Rutinitas

sehari-hari sering meningkatkan rasa aman pasien; memori dan orientasi dapat difasilitasi oleh

tampilan jam dan kalender yang menonjol, lampu malam, daftar periksa, dan buku harian. Jadwal
pengobatan harus disederhanakan, jika mungkin. Jika pergerakan tidak dapat dihindari, akan

sangat membantu untuk menempatkan objek yang dikenal (mis : Foto dan furnitur) di lingkungan

baru dan untuk menciptakan suasana seperti di rumah. Ketersediaan surat kabar, radio, dan televisi

dapat bermanfaat dalam mempertahankan kontak pasien dan kesadaran dengan dunia luar.

Intervensi Keluarga

Intervensi psikoterapi dengan anggota keluarga merupakan aspek penting dari perawatan.

Pendidikan dan konseling tentang sifat penyakit pasien membantu kerabat untuk mengatasi

kemarahan dan kebingungan yang sering mereka alami ketika pasien dengan demensia berperilaku

dengan cara yang aneh, mengganggu, dan tidak seperti biasanya. Kerabat mungkin perlu

diyakinkan bahwa reaksi emosional mereka adalah umum dan bahwa membicarakannya dapat

membawa kelegaan. Banyak kerabat juga membutuhkan bantuan untuk menghadapi kehilangan

pasien yang sekarang berperilaku seperti orang asing dan bukan orang yang pernah mereka kenal.

Asosiasi Alzheimer, sebuah organisasi nasional anggota keluarga dengan cabang-cabang lokal di

seluruh Amerika Serikat, telah berada di garis depan dalam memberikan dukungan pendidikan dan

emosional bagi anggota keluarga.

Demensia tipe Alzheimer telah menarik perhatian media massa. Akibatnya, kekhawatiran

dan kecemasan publik telah menyebabkan peningkatan kesadaran akan perubahan memori dan

kecenderungan untuk menafsirkan secara berlebihan gangguan memori yang berkaitan dengan

usia normal sebagai demensia tipe Alzheimer. Anggota keluarga pasien Alzheimer umumnya

paling cemas tentang perubahan ingatan yang mereka amati dalam diri mereka sendiri, mengingat

kemungkinan komponen genetik dalam penyakit ini. Kadang-kadang pendidikan dan evaluasi fisik

dan neuropsikologis lengkap menghilangkan, setidaknya untuk sementara, kecemasan yang tidak
berdasar tentang penyakit ini. Di lain waktu evaluasi semacam itu akan mengungkap tanda-tanda

awal demensia progresif.

Dalam banyak situasi, orang usia lanjut dengan demensia adalah pasien yang diidentifikasi.

Tetapi konflik interpersonal di antara anggota keluarga memerlukan resolusi untuk membantu

pasien usia lanjut. Selain itu, anak dewasa sering melakukan kontak awal dengan psikiater

geriatrik, dan keterampilan dan sensitivitas yang cukup diperlukan untuk mempertahankan aliansi

dengan anak dewasa sambil menghormati otonomi, martabat, dan privasi orangtua lanjut usia.

Strategi Pencegahan

Studi MacArthur tentang penuaan yang berhasil menemukan bahwa pilihan gaya hidup

yang dilakukan orang di awal kehidupan menentukan kesehatan dan vitalitas mereka seiring

bertambahnya usia. Bahkan, hanya sekitar sepertiga dari apa yang menentukan penuaan yang

berhasil sudah diprogram melalui genetika seseorang. Dua pertiga lainnya merupakan hasil dari

pengaruh lingkungan yang sebagian besar berasal dari pilihan gaya hidup.

Berdasarkan bukti dari berbagai sumber, termasuk studi epidemiologi, studi pada hewan,

dan pengalaman klinis, beberapa strategi mungkin berguna dalam memaksimalkan kesehatan otak.

Karena data dari uji klinis double-blind, terkontrol plasebo umumnya tidak tersedia untuk

pendekatan ini, dokter harus mempertimbangkan potensi risiko dan manfaat dari strategi ini. Untuk

banyak dari pilihan gaya hidup sehat ini, seperti pengkondisian kardiovaskular atau makan diet

rendah lemak, risikonya minimal dan manfaatnya telah terbukti untuk kondisi lain (mis : Penyakit

jantung). Bukti epidemiologis dan lainnya mendukung pilihan gaya hidup dan strategi

nonfarmakologis yang dapat meningkatkan kinerja memori dan bahkan mungkin memperlambat

penuaan otak, termasuk mempertahankan aktivitas mental, pengurangan stres, pengkondisian


aerobik fisik, dan kebiasaan diet yang sehat. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa

program gaya hidup sehat jangka pendek menggabungkan latihan mental dan fisik, pengurangan

stres, dan diet sehat dikaitkan dengan efek signifikan pada fungsi kognitif dan metabolisme otak.

Pemindaian PET otak menemukan pengurangan aktivitas istirahat di korteks prefrontal

dorsolateral kiri, yang mungkin mencerminkan efisiensi kognitif yang lebih besar dari wilayah

otak yang terlibat dalam memori kerja (Gambar 54.3f-4).

Gambar 54.3f-4

Pemetaan parameter statistik dari hasil pemindaian fluorodeoxyglucose (FDG)-positron emission

topography (PET) menunjukkan penurunan aktivitas metabolik sebanyak 5% pada dorsolateral

prefrontal kortek kiri sesudah 2 minggu dengan program gaya hidup sehat, termasuk latihan

memori, kondisi fisik dan diet sehat, sedangkan tidak ada penurunan yang bermakna yang

diobservasi pada grup kontrol. Skala warna menyoroti semua lokasi dari voxel kortikal yang

menunjukkan penuruan yang lebih besar secara signfikan (p<.01) pada kelompok intervensi

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Gambar sebelah kiri adalah titik pandang dari lateral kiri.

Gambar kanan titik pandang dari otak atas. Panah menunjukkaan voxel dari puncak signifikan

(Z=3.82, p<.001)

Anda mungkin juga menyukai