Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PENYAKIT ALZHEIMER

Oleh

KELOMPOK VII

 Novi Yanti Rachman


 Nur Ina Parawati
 Nur Riska
 Retika Sari
 Rismawati

AKADEMI KEPERAWATAN BATARI TOJA WATAMPONE


TAHUN 2010
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Alzheimer ditemukan pertama kali pada tahun 1907 oleh seorang ahli psikiatri
dan neuropatologi yang bernama Alois Alzheimer. Ia mengobservasi seorang wanita berumur 51
tahun, yang mengalami gangguan intelektual dan memori serta tidak mengetahui kembali
ketempat tinggalnya, sedangkan wanita itu tidak mengalami gangguan anggota gerak koordinasi
dan reflek. Pada autopsy tampak bagian otak mengalami atropi yang difus dan simetris, dan
secara mikroskopis tampak bagian kortikal otak mengalami neuritis plaque dan degenerasi
neurofibrillary.

Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup pada berbagai
populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin meningkat. Dilain pihak akan
menimbulkan masalah serius dalam bidang social ekonomi dan kesehatan, sehingga akan
semakin banyak yang berkonsultasi dengan seorang neurology karena orang tua tersebut yang
tadinya sehat, akan mulai kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai
anggota keluarga. Hal ini menunjukan munculnya penyakit degeneratife otak, tumor, multiple
stroke, subdural hematoma atau penyakit depresi yang merupakan penyebab utama demensia.
Isilah demensia digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis dengan gejala menurunnya
daya ingat dan hilangnya fungsi intelek lainnya. Defenisi demensia menurut unit Neurobehavior
pada boston veterans Administration Medikal Center (BVAMC) adalah kelainan fungsi intelek
yang didapat dan bersifat menetap, dengan adanya gangguan paling sedikit 3 dari 5 komponen
fungsi luhur yaitu gangguan bahasa, memori, visuospasial, emosi dan kognisi.
Penyebab pertama penderita demensia adalah penyakit alzeimer (50-60) dan kedua oleh
cerebrovaskuler (20). Diperkirakan penderita demensia terutama penderita Alzheimer pada abad
terakhir ini semakin meningkat jumlah kasusnya sehingga akan mungkin menjadi epidemic
seperti di Amerika dengan insiden demensia 187 populisi /100.000/tahun dan penderita alzeimer
123/100.000/tahun serta penyebab kematian keempat atau kelima.
B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas adalah sebagai berikut :

1. Apa pengertian Alzheimer itu ?

2. Bagaimana etiologi Alzheimer itu ?

C. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum

Mengetahui apa itu Alzheimer !

2. Tujuan khusus

Mengetahui pengertian Alzheimer !


Mengetahui etiologi Alzheimer !
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP MEDIS

1. Defenisi

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses
penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguandegenarif yang mengenai sel-sel otak dan
menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut
dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal
1003). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara
maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.

2. Etiologi

Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah
dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi
heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan
daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat
berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi
yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy,
adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik.
Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus
faktor genetika.
3. Manifestasi Klinis

Gejala Alzheimer Berdasarkan National Alzheimer ‘s Association (2003), dibagi menjadi


3 tahap, yaitu : 

a. Gejala Ringan (lama penyakit 1-3 tahun)

- Lebih sering bingung dan melupakan informasi yang baru dipelajari.

- Diorintasi : tersesat di daerah sekitar yang dikenalnya dengan baik

- Bermasalah dalam melaksanakan tugas rutin

- Mengalami perubahan dalam kepribadian dan penilaian misalnya mudah tersinggung,


mudah menuduh ada yang mengambil barangnya bahkan menuduh pasangannya tidak
setia lagi/selingkuh.

b. Gejala sedang (lama penyakit 3-10 tahun)

- Kesulitan dalam mengerjakan aktifitas hidup sehari –hari seperti makan dan mandi 

- Perubahan tingkah laku misalnya : sedih dan emosi

- Mengalami gangguan tidur

- Keluyuran

- Kesulitan mengenali keluarga dan teman (pertama-tama yang akan sulit untuk dikenali
adalah orang-orang yang paling jarang ditemuinya, mulai dari nama, hingga tidak
mengenali wajah sama sekali. Kemudian bertahap kepada orang-orang yang cukup jarang
ditemui).

c. Gejala berat (lama penyakit 8-12 tahun)

- Sulit / kehilangan kemampuan berbicara.

- Kehilangan napsu makan, menurunya berat badan

- Sangat tergantung pada caregiver/pengasuh


- Perubahan perilaku misalnya : Mudah curiga, depresi, apatis atau mudah mengamuk.

4. Patofisiologi

a. Faktor Genetik

Beberapa penelitian mengungkapkan 50 prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan


melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita
Alzheimer mempunyai resiko menderita dimension 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
control normal pemeriksaan genetika DNA pada penderitaan Alzheimer dengan familial earli
onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21, diregio proksimal log arm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita
down sindrom mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat
neurofibrillary tangles (NFT), senile plague dan penurunan market kolinegik pada jaringan
otaknya yang mengambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer .Hasil
penelitian penyakit Alzheimer terdapat anak kembar menunjukan 40-50 adalah monozygote
dan 50 adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetic berperan dalam
penyakit Alzheimer. Pada sporadic non familial (50-70), beberapa penderitanya ditemukan
kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukan bahwa kemungkunan faktor lingkungan
menentukan ekspresi genetika pada Alzheimer.

b. Faktor Infeksi

Ada hipotesa menunjukan penyebab infeksi pada keluarga penderita Alzheimer yang
dilakukan secara immune blot analisis, ternyata ditemukan adanya antibody reaktif. Infeksi
virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersifat lambat, kronik dan
remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti creutzfeldt-jacub dan kuru, diduga berhubungan
dengan penyakit Alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan antara lain:

a) Manifestasi klinik yang sama

b) Tidak adanya respon imun yang spesifik

c) Adanyan plak amyloid pada susunan saraf pusat

d) Timbulnya gejala mioklonus


e) Adanya gambaran spongioform

3. Faktor Lingkungan

Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit Alzheimer. Faktor lingkungan antara lain, aluminium, silicon, mercury,
zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrilary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum dapat
dijelaskan secara pasti, apakah keberadaannya aluminium adalah penyebab degenerasi
neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita Alzheimer, juga
ditemukan keadaan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor,sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas.Ada dugaan bahwa asam amino glutamate akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (cairan-
influks) dan menyebabkan kerusakan metabolism energy seluler dengan akibat kerusakan dan
kematian neuron.

4. Faktor Imunologis

Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita Alzheimer
didapatkan kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alphan protein,
anti typsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat
hubungan bermakna dan meningkat dari penderita alzhaimer dengan penderita tiroid. Tiroid
Hashimoto merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda
karena peranan faktor immunitas.

5. Faktor Trauma

Beberapa penelitian menunjukan adanya hubungan pemyakit Alzheimer dengan


trauma kepala. Hal ini dihubungan dengan petinju yang menderita demensia pugilistic,
dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

6. Faktor Neurotransmiter

Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai


peranan yang sangat penting seperti :
a) Asetikolin

Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik


neurotransmitter dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita
Alzheimer didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan
transport kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya deficit presinaptik
kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporalis superior, nucleus
basalis, hipokampus. Kelainan neurotransmitter asetilkolin merupakan kelainan yang
selalu ada dibandingkan jenis neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer,
dimana pada jaringan otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic marker.
Pada penelitian dengan pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan
berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik
sebagai patogenesa penyakit Alzheimer.

b) Noradrenalin

Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan


otak penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang
merupakan tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan
deficit kortikal noradrenergik.

Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks.
Palmer et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun
baik pada post dan ante-mortem penderita Alzheimer.

c) Dopamine

Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter


region hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine
pada penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan
karena histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
d) Serotonin

Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-


indolacetil acil pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga
didapat pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada
anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang
sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya
neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis

e) MAO (manoamin oksidase)

Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter monoamine. Akivitas


normal MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan sebagian kecil dopamine,
sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine. Pada penderita Alzheimer,
didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan frontalis sedangakan MAO-B
pada daerah temporal dan menurun pada nucleus basalis dari meynert.

5. Pemeriksaan Diagnostik

1. Neuropatologi 

Diagnosa definitive tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi.


Secara umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris sering kali berat otaknya berkisar 1000
gr (850-1250gr).Beverapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus
temporoparietal, anterior frontal sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer, system
somatosensorik tetap utuh (jerins 1937) kelainan-kelainan neuropatologi pada penyakit
Alzheimer terdiri dari :

a. Neurofibrillary Tangles (NFT)

Merupakan sitoplasma neuronal yang terbentuk dari filament-filamen abnormal


yang berisi protein neurofilamen, hipokampus, amigdala, substansia alba, lokus seruleus,
dorsal raphe dari inti batang otak. NFT selain didapatkan pada penyakit Alzheimer, juga
ditemukan pada otak manula,down sindromeparkinson, SSPE, sindroma ekstrapiramidal,
supranuklear palsy. Densitas NFT berkolerasi dengan beratnya demensia.
b. Senile Plague (SP)

Merupakan struktur kompleks yang terjadi akibat degenerasi nerve ending yang
berisi filament-filamen abnormal, serat amiloid ekstraseluler, astrosit, microglia. Amloid
prekusor protein yang terdapat pada neokorteks, amygdale, hipokampus, korteks
somatosensorik, korteks piriformis, dan sedikit didapatkan pada korteks motorik primer,
korteks somatosensorik, korteks visual dan auditorik. Senile plague ini juga terdapat pada
jaringan perifer. Perry (1987) mengatakan densitas senile plague berhubungan dengan
penurunan kolinergi. Kedua gambaran histopatologi (NFT dan senile plague) merupakan
gambaran karakteristik untuk penderita penyakit Alzheimer.

c. Degenerasi Neuron

Pada pemeriksaan mikroskopik perubahan dan kematian neuron pada penyakit


Alzheimer sangat selektif. Kematian neuron pada neokorteks terutama didapatkan pada
neuron pyramidal lobus temporal dan frontalis. Juga ditemukan pada hipokampus,
amigdala, nucleus batang otak termasuk lokus seruleus, raphe nucleus dan substanasia
nigra. Kematian sel noradrenergic terutama pada nucleus basalis dari meynert, dan sel
noradrenergic terutama pada lokus seruleus serta sel serotogenik pada pertumbuhan saraf
pada neuron kolinergik yang berdegenerasi pada lesi eksperimen binatang dan ini
merupakan harapan dalam pengobatan penyakit Alzheimer.

d. Perubahan Vakuoler

Merupakan suatu neuronal sitoplasma yang berbentuk oval dan dapat menggeser
nucleus. Jumlah vakuoler ini berhubungan secara bermakna dengan jumlah NFT dan SP,
perubahan ini sering didapatkan pada korteks temporomedial, amygdale dan insula. Tidak
pernah ditemukan pada korteks frontalis, parietal, oksipital, hipokampus, serebelum dan
batang otak.

e. Lewy Body

Merupakan bagian sitoplasma intraneuronal yang banyak terdapat pada


anterhinal, gyrus cingulated, korteks insula, dan amydala. Sejumlah kecil pada korteks
frontalis, temporal, parietalis, oksipitalis. Lewy body kortikal ini sama dengan
immunoreaktivitas yang terjadi pada lewy body batang otak pada gambaran histopatologi
penyakit Parkinson. Hansen et al menyatakan lewy body merupakan variasi dari penyakit
Alzheimer.

2. Pemeriksaan neuropsikologis

Penyakit Alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan


neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungis konginitif
umum dan mengetahui secara rinci pola deficit yang terjadi. Test psikologis ini juga bertujuan
untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti
gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa.
Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi diagnostic yang penting karena : 

a. Adanya deficit konginitif yang berhubungan dengan demensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.

b. Pemeriksaan neuropsikologi secara kompherensif memungkinkan untuk membedakan


kelainan kongnitif pada global demensia dengan defisit selektif yang diakibatkan oleh
disfungsi fokal, faktor metabolic, dan gangguan psikiatrik 

c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh demensia


karena berbagai penyebab. (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian
neuropsikologis denagn mempergunakan alat baterai yang bermanifestasi gangguan
fungsi kongnitif, dimana pemeriksaan terdiri dari :

1.Verbal fluency animal category

2.Modifikasi boston naming test

3.Mini mental state

4.Word list recall

5.Construction praxis

6.Word list memory


7.Word list recognition

“Test ini memakan waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control”

3. CT Scan dan MRI

Merupakan metode non invasif yang berevolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi
perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem. Pemeriksaan ini
berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya selain
Alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh dan pembesaran
vertikel keduannya merupakan gambaran marker dominan yang sangat spesifik pada penyakit
ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada demensia lainnya seperti multiinfark, Parkinson,
binswanger sehingga kita sukar untuk membedakan denagn penyakit Alzheimer. Penipisan
substansia alba serebri dan pembesaran vertikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik dan
hasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada
daerah kortikal dan periventrikuler (capping anterior home pada ventrikel lateral). Capping ini
merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan dikortikal, gambaran
atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta
pembesaran sisterna basalis dan fissure sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitive
untuk membedakan demensia dari penyakit Alzheimer dengan penyebab lain, dengan
memperhatikan usuran (atropi) dari hipokampus.

4. EEG

Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada


penyakit Alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis yang non
spesifik.

5. PET (Positron Emission Tomography)

Pada penderita Alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisme
02, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal, hasil
ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi dan selalu dan sesuai dengan hasil
observasi penelitian neuropatologi.
6. SPECT (Single Photon Emission Computet Tomography)

Aktivitas I.123 terendah pada refio parieral penderita Alzheimer. Kelainan ini
berkorelasi dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini
(SPECT dan PET) tidak digunakan secara rutin 

7. Laboratorium darah

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita Alzheimer. Pemeriksaan
laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit demensia lainnya seperti
pemeriksaan darah rutin, B12, Calcium, Posfort, BSE, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat,
serologi sifilis, screening antibody yang dilakukan secara selektif. 

6. Kriteria Diagnosis

Terdapat beberapa kriteria untuk diagnosis klinis penyakit alzhemer yaitu : 

1. Kriteria diagnosis tersangka penyakit Alzheimer terdiri dari : 

Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini


mental atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test
neuropsikologik. Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi :

- Tidak ada gangguan tingkat kesadaran

- Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering

- > 65 tahun 

- Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya.

2. Diagnosis tersangka penyakit Alzheimer ditunjang oleh: 

- Perburukan (gangguan berbahasa)

- ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku

- Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan neuropatologi


- Pada gambaran EEG memberiakan gambaran normal atau perubahan non spesifik
seperti peningkatan aktivitas gelomabang lambat.

- Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri.

3. Gambaran lain tersangka diagnosis penyakit Alzheimer setelah dikeluarkan penyebab


demensia lainnya terdiri dari : 

- Gejala yang berhubungan dengan depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi,


emosi, kelainan seksual, berat badan menurun.

- Kelainan neurologi lain pada beberapa pasien, khususnya penyakit pada stadium lanjut
dan termasuk tanda-tanda motorik seperti peningkatan tonus otot,mioklonus atau
gangguan berjalan.

- Terdapat bangkitan pada stadium lanjut.

4. Gambaran diagnosis tersangka penyakit Alzheimer yang tidak jelas terdiri dari : 

- Awitan mendadak

- Diketemukan gejala neurologic fokal seperti hemiparase, hipestesia, defisit lapangan


pandang dan gangguan koordinasi

- Terdapat bangkitan atau gangguan berjalan pada saat awitan.

5. Diagnosis klinis kemungkinan penyakit Alzheimer adalah :

- Sindroma demensia, tidak ada gejala neurologic lain, gejala psikiatrik atau kelainan
sistemik yang menyebabkan demensia

- Adanya kelainan sistemik sekunder atau kelainan otak yang menyebabkan demensia,
defisit kognisi berat secara gradual progresif yang diidentifikasi tidak ada penyebab
lainnya.

6. Kriteria diagnosis pasti penyakit Alzheimer adalah gabungan dari criteria klinik tersangka
penyakit Alzheimer dan didapatkan gambaran histopatologi dari biopsy atau otopsi.
7. Penatalaksanaan

Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan
E belum mempunyai efek yang menguntungkan :

a. Inhibitor kolinesterase

Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit Alzheimer, dimana penderita Alzheimer didapatkan penurunan kadar
asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase
yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA (tetrahydroaminoacridine). Pemberian
obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori dan apraksia selama pemberian berlangsung.
Beberapa peneliti mengatakan bahwa obat-obatan anti kolinergik akan memperburuk
penampilan intelektual pada organ normal dan penderita Alzheimer.

b. Thiamin

Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita Alzheimer didapatkan penurunan


thiamin pyrophosphatase dependent enzyme yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan transketolase
(45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nucleus basalis. Pemberian thiamin
hidrochloryda dengan dosis 3gr/hari selama tiga bulan peroral, menunjukan perbaikan
bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.

c. Nootropik

Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi


kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000mg pada penderita
Alzheimer tidak menunjukan perbaikan klinis yang bermakna.

d. Klonidin 

Gangguan fungsi intelektual pada penderita Alzheimer dapat disebabkan kerusakan


noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik alpha 2
reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 mgg, didapatkan hasil yang
kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.

e. Haloperiodol

Pada penderita Alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi)
dan tingkah laku. Pemberian oral haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 mgg akan memperbaiki
gejala tersebut. Bila penderita Alzheimer menderita depresi sebaiknya diberikan tricyclic anti
depressant (aminitryptiline25-100 mg/hari).

f. Acetyl L-Carnitine (ALC)

Merupakan suatu substrate endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan


bantuan enzim ALC transferace. Penelitian ini menunjukan bahwa ALC dapat meningkatkan
aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberiaan dosis 1-2 gr /hari/oral
selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulakan bahwa dapat memperbaiki atau menghambat
progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Adapun pengkalian yang dilakukan pada penyakit Alzheimer :

Aktifitas Istirahat

Gejala : Merasa leleh

Tanda : Siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan

Pola tidur Letargi dan gangguan keterampilan motorik.

Sirkulasi

Gejala : Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik, hipertensi, episode emboli 

Integritas Ego

Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi


terhadap lingkungan, kehilangan multiple.

Tanda : Menyembunyikan ketidakmampuan, duduk dan menonton yang lain,


aktivitas pertama mungkin menumpuk benda tidak bergerak dan emosi
stabil.

Eliminasi

Gejala : Dorongan berkemih

Tanda : Inkontinensia urine/feaces

Makanan/Cairan

Gejala : Riwayat episode hipoglikemia, perubahan dalam pengecapan, nafsu makan,


kehilangan berat badan.
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak
makan.dan tampak semakin kurus.

Higene

Gejala : Perlu bantuan tergantung orang lain

Tanda : Kebiasaan personal yang kurang, lupa untuk pergi kekamar mandi dan
kurangberminat pada waktu makan

Neurosensori

Gejala : Peningkatan terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif,


kehilangan sensasi propriosepsi dan adanya riwayat penyakit serebral
vaskuler/sistemik serta aktifitas kejang.

Kenyamanan

Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius, trauma kecelakaan


Tanda : Ekimosis laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain

Integritas Sosial

Gejala : Merasa kehilangan kekuatan

Tanda : Kehilangan control sosial, perilaku tidak tepat.


2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan:

a. Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan


b. Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan
c. Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang

2. Perubahan proses piker berhubungan dengan:

a. Degenerasi neuron irreversible


b. Kehilangan Memori
c. Konflik psikologis
d. Deprivasi tidur

3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan :


a. Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori
b. Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya

4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan :


a. Perubahan pada sensori
b. Tekanan psikologik
c. Perubahan pada pola aktivitas

5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih dari kebutuhan berhubungan dengan :

a. Perubahan sensori

b. Kerusakan penilaian dan koordinasi

c. Agitasi

d. Mudah lupa, kemunduran hobi dan penyambunyian

6. Perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan :

a. kehilangan fungsi neurologis/tonus otot


b. ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan

c. Perubahan diet atau pemasukan makanan

7. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubung dengan :

a. Kacau mental, pelupa dan disorientasi pada tempat atau orang

b. Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control perilaku

c. kurang keinginan /penolakan seksual oleh orang terdekat

d. Kurang privasi

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungen dengan :

a. Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu

b. Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yang dicintanya

c. Hubungan keluarga sangat ambivalen

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Resiko terhadap trauma berhubungan dengan :

a. Ketidakmampuan mengenali/mengidentifikasi bahaya dalam lingkungan

b. Disorientasi, bingung, gangguan dalam pengambilan keputusan

c. Kelemahan, otot-otot yang tidak terkordinasi, adanya aktifitas kejang

Intervensi Rasionalisasi

- Kaji derajat gangguan kemampuan kompetensi munculnya tingkah laku yang impulsive
dan penurunan persepsi visual. Bantu orang terdekat untuk mengidentifikasi resiko
terjadinya bahaya yang mungkin timbul.

- Hilangkan/minimalkan sumber bahaya dalam lingkungan.


- Penurunan persepsi visual meningkatkan resiko terjatuh. Mengidentifikasi resiko
potensial di lingkungan dan mempertinggi kesadaran sehingga pemberi asuhan lebih
sadar akan bahaya.

- Alihkan perhatian klien ketika prilaku teragitasi atau bahaya seperti keluar dari tempat
tidur dengan memanjat pagar tempat tidur tersebut.

- Seorang dengan gangguan kognitif dan gangguan persepsi merupakan awal untuk
mengalami trauma sebagai akibat ketidakmampuan untuk bertanggung jawab terhadap
kemampuan keamanan yang dasar atau mengevaluasi keadaan tertentu.

- Mempertahankan keamanan dengan menghindari konfrontasi yang dapat meningkatkan


prilaku/meningkatkan resiko terjadinya trauma.

2. Perubahan proses piker berhubungan dengan :

a. Degenerasi neuro irreversible

b. Kehilangan Memori

c. Konflik psikologis

d. Deprivasi tiduran

Intervensi Rasionalisasi

- Kaji tingkat gangguan kognitif seperti perubahan orientasiterhadap orang, tempat dan
waktu, rentang, perhatian, kemampuan berpikir. Bicarakan dengan orang terdekat
mengenai perubahan tingkah laku yang biasa /lamanya masalah yang telah ada.

- Pertahankan lingkungan yang tenang menyenangkan.

- Tatap wajah ketika berbicara dengan pasien.

- Panggil pasien dengan namanya.

- Memberikan dasar untuk evaluasi/perbandingan yang akan dating dan mempengaruhi


pilihan terh.
- Gunakan suara yang agak rendah dan berbicara perlahan pada pasien.

- Kebisingan, keramaian, orang banyak biasanya merupakan sensori yang berlebihan dan
dapat meningkatkan gangguan neuron.

- Menimbulkan perhatian, terutama pada orang-orang dengan gangguan perceptual.

- Nama merupakan bentuk identitas diri dan menimbulkan pengenalan terhadap realita dan
individu.

- Meningkatkan kemungkinan pemahaman.

3. Perubahan persepsi sensorik berhubungan dengan :

a. Perubahan persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori.

b. Keterbatasan berhubungan dengan lingkungan sosialnya.

Intervensi Rasionalisasi

- Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi
individu yang termasuk didalamnya adalah penurunan penglihatan/pendengaran.

- Karena keterlibatan otak biasanya global, yaitu dalam persentasi kecil mungkin
memperlihatkan masalah yang bersifat asimetri yang menyebabkan pasien kehilangan
kemampuan pada salah satu sisi tubuhnya Berikan sentuhan dalam cara perhatian.

- Dapat meningkatkan persepsi terhadap diri sendiri.

- Mengkomunikasikan kenyamanan melalui berbagai cara.

4. Perubahan pola tidur berhubungan dengan :

a. Perubahan pada sensori

b. Tekanan psikologik

c. Perubahan pada pola aktivitas.


Intervensi Rasionalisasi

- Berikan kesempatan untuk istirahat/tidur sejenak, anjurkan latihan saat siang hari,
turunkan aktivitas fisik/mental pada sore hari.

- Hindari penggunaan pengikatan secara terus menerus.

- Karena aktivitas fisik dan mental yang lama mengakibatkan kelelahan yang dapat
meningkatkan kebingungan, aktifitas yang terprogram tanpa stimulus yang berlebihan
dapat meningkatkan waktu tidur Berikan makanan kecil pada sore hari.

- Resiko gangguan sensori, meningkatkan agitasi dan menghambat waktu tidur.

- Meningkatkan relaksasi dengan perasaan mengantuk.

5. Resiko terhadap perubahan pola nutrisi kurang/lebih kebutuhan berhubungan dengan:

a. Perubahan sensori

b. Kerusakan penilaian dan koordinasi

c. Agitasi

d. Mudah lupa,kemunduran hobi dan penyembunyian

Intervensi Rasional

- Kaji pengetahuan pasien/orang terdekat mengenai.

- Tentukan jumlah latihan/langkah yang pasien lakukan.

- Usahakan untuk memberikan makanan kecil setiap kira-kira satu jam sesuai kebutuhan.

- Berikan waktu yang leluasa untuk makan.

- Kolaborasi

- Identifikasi kebutuhan untuk menbantu memformulasikan perencanaan pendidikan secara


individual Rujuk konsultasikan dengan ahli gizi.
- Masukan nutrisi mungkin perlu untuk memenuhi kebutuhan yang mendekati
berhubungan dengan kecukupan kalori secara individu.

- Makanan dalam jumlah yang besar mungkin terlalu banyak untuk pasien yang
mengakibatkan kesulitan dalam menelan. Makanan kecil bisa meningkatkan masukan
yang sesuai. Pembatasan jumlah makanan yang diupayakan hanya sekali waktu
pemberian akan menurun kebingungan pasien mengenai makanan mana yang dipilih.

- Pendekatan yang santai membantu pencernaan makanan dan menurunkan kemungkinan


untuk marah yang dicetuskan oleh keramaian.

- Bantuan mungkin diperlukan untuk menggembangkan kesembangan diet secara individu


untuk menemukan kebutuhan pasien/makanan yang disukai.

6. Perubahan pola eliminasi konstipasi/inkontinensia berhubungan dengan :

a. Kehilangan fungsi neurologis/tonus otot

b. Ketidakmampuan untuk menentukan letak kamar mandi/mengenali kebutuhan

c. Perubahan diet atau pemasukan makanan

Intervensi Rasional

- Kaji pola yang sebelumnya dan bandingkan dengan yang sekarang.

- Letakan tempat tidur dengan kamar mandi jika memungkinkan buatkan tanda tertentu
dipintu berkode khusus. Berikan cahaya yang cukup tertentu malam hari.

- Buat program latihan defikasi/kandung kemih. Tingkatkan partisipasi pasien sesuai


tingkat kemampuannya.

- Anjurkan menu adekuat selama siang hari,diet tinggi serat dari sari buah. Batasi minum
saat menjelang malam dan waktu tidur.

- Kolaborasi.
- Memberikan informasi mengenai perubahan yang mungkin selanjutnyamemerlukan
pengkajian/intervensi.

- Berikan obat pelembab feces, metamacil,gliserin supositoria sesuai indikasi.

- Meningkatkan orientasi/penemuan kamar mandi. Inkontinensia mungkin disertai


ketidakmampuan untuk menemukan tempat berkemih.

- Menstimulasi kesadaran pasien, meningkatkan pengaturan fungsi tubuh dan membantu


menghindari kecelakaan.

- Menurunkan resiko konstipasi/dehidrasi.Pembatasan minum pada sore menjelang malam


dapat menurunkan seringnya berkemih/inkontinensia pada malam hari.

- Mungkin diperlukan untuk memfasilitasi/menstimulasi deteksi yang teratur.

7. Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan :

a. Kacau mental, pelupa dan disorintasi pada tempat atau orang

b. Perubahan fungsi tubuh, penurunan dalam kebiasaan/control prilaku

c. Kurang keinginan/penolakan seksual oleh orang terdekat 

d. Kurang privasi

Intervensi Rasional

- Kaji kebutuhan/ kemampuan pasien secara individu.

- Anjurkan pasangan untuk memperlihatkan penerimaan/perhatiannya.

- Berikan jaminan terhadap privasi.

- Gunakan distraksi sesuai dengan kebutuhan. Ingatkan pasien bahwa ini merupakan
tempat umum(tempat masyarakat banyak) dan tingkah laku yang dilakukan sekarang
tidak dapat diterima.
- Metode alternative perlu diciptakan pada keadaan tertentu untuk memfasilitasi kebutuhan
akan intimasi(keinginan untuk melakukan hubungan seksual) Berikan waktu yang
cukup untuk menjelaskan/mendiskusikan perhatian dari orang terdekat.

- Seseorang dengan gangguan kognitif biasanya kebutuhan dasarnya pada efektif, rasa
cinta, perasaan diterima, dan ekspresi seksual.

- Tingkah laku ekspresi seksual mungkin berbeda. Privasi memungkinkan seseorang untuk
mengekspresikan keinginan seksualnya tanpa hambatan dari orang lain.

- Merupakan satu alat yang paling bermanfaat ketika tingkah laku yang tidak sesuai,
Seperti membuka pakaian.

- Mungkin memerlukan informasikan dan atau konseling mengenai alternatif tertentu


dalam melakukan aktifitas/agresi seksual.

8. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan :

a. Tingkah laku pasien yang tidak menentu/terganggu

b. Keluarga berduka karena ketidak berdayaan menjaga orang yang dicintainya 

c. Hubungan keluarga sangat ambivalen

Intervensi Rasional

- Libatkan semua orang terdekat dalam pendidikan dan perencanaan perawatan pasien
dirumah.

- Buat prioritas.

- Realitas dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan yang ada.

- Bicarakan semua kontinu kemampuan keluarga dalam merawat pasien dirumah.

- Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang menjadi keluhan kecemasannya.

- Diskusikan kemungkinan adanya isolasi. Berikan penguatan terhadap kebutuhan terhadap


system dukungan.
- Kolaborasi.

- Dapat memudahkan beban terhadap penangganan dan adaptasi rumah.

- Rujuk pada sumber-sumber penyokong setempat seperti perawatan lansia pada siang hari,
pelayanan dirumah, berhubungan dengan asosiasi penyakit.

- Membantu membuat satu pesan tertentu dan memfasilitasi pemecahan masalah.

- Menurunkan stress yang menyelimuti harapan yang keliru seperti individu tersebut dapat
menemukan kembali tingkat kemampuan pada masa lalu setelah penggunaan obat
tertentu.

- Tingkah laku yang terhalang, tuntutan perawatan tinggi dan seterusna dapat
menimbulkan keluarga akan menarik diri dari pergaulan social.

- Orang terdekat memerlukan dukungan yang dihadapi akan meningkatkan selama


mengatasi penyakit untuk memudahkan proses adaptasi.

- Kepercayaan bahwa individu dapat menemukan semua kebutuhan pasien meningkatkan


resiko penyakit fisik/mental.

- Koping dengan individu seperti ini adalah tugas perlu waktu dan membuat frustasi.

4. EVALUASI

a. Tidak mengalami trauma, keluarga mampu mengenali risiko potensial di lingkungan dan
mengidentifikasikan tahap-tahap untuk memperbaikinya

b. Mampu mengenali perubahan dalam berpikir/tingkah laku dan faktor-faktor penyebab jika
memungkinkan 

c. Mampu mendemonstrasikan respon yang meningkatkan/sesuai dengan stimulasi

d. Mendapatkan diet nutrisi yang seimbang dan mampu mempertahankan kembali berat badan
yang sesuai 
e. Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap pikiran yang
melayang-layang

f. Mampu menciptakan pola eliminasi yang adekuat

g. Mampu mengidentifikasi/mengungkapkan dalam diri mereka sendiri untuk mengatasi


keadaan

h. Memenuhi kebutuhan seksualitas dalam cara yang dapat diterima


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan 

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang
terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses
penyakit, Juga merupakan penyakit dengan gangguandegenarif yang mengenai sel-sel otak dan
menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut
dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal
1003 ). Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di Negara
maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah.

Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah
dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi
heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan
daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat
berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi
yang diakibatkan oleh adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolism energy,
adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik

B. Saran 

Kita tahu otak merupakan organ yang sangat kompleks. Dimana di otak terdapat area-
area yang mengatur fungsi tertentu. Untuk itu ada beberapa tips yang bisa diikuti bila ada
anggota keluarga ada yang menderita penyakit alzheimer : Buat cacatan kecil, untuk membantu
mengingat,Ciptakan suasana yang menyenangkan, Hindari memaksa pasien untuk mengingat
sesuatu atau melakukan hal yang sulit karena akan membuat pasien cemas, Usahakan untuk
berkomunikasi lebih sering, Buatlah lingkunganyang aman,Ajarkan pasien berjalan-jalan pada
waktu siang hari,Bergaya hidup sehat,Mengkonsumsi sayur 
DAFTAR PUSTAKA

Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.

Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT
15.EGC.Jakarta

http://www.indonesiaindonesia.com/f/9951-alzheimer/

http://medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=2002

Anda mungkin juga menyukai