OLEH:
SGD 5
NI LUH PUTU SHINTA DEVI (0802105010)
I MADE ARYA KAMASUTA (0802105014)
NI WAYAN BUDI ARTHINI (0802105023)
LUH PUTU JUNIARI LISTUAYU (0802105024)
WAYAN WIRA ADNYANA (0802105037)
NI NYM. PRADNYA PARAMITHA D. (0802105038)
NI PUTU ARYSTA K.D. (0802105039)
I.A. EKA JAYANTHI (0802105048)
I GST. AYU SIKHA PERMATA A.S. (0802105049)
NI PUTU WINDA IRMALIA DEWI (0802105062)
II. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat
dengan usia. Sekitar 10% populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu
berusia diatas 85 tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi
lansia, maka penyakit alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden
kasus alzheimer meningkat pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden
alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per
tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki.
Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki.
III. PENYEBAB
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer.
Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian
daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan
penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam
amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut
mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler,
kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein
abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut
terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternatif penyebab yang telah dihipotesa
adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi virus, polusi udara/industri,
trauma, neurotransmiter, defisit formasi sel-sel filament presdiposisi heriditer. Dasar
kelainan patologi penyakit alzheimer terdiri dar degenerasi neuronal, kematian daerah
spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kognitif dengan penurunan daya
ingat secara progresif.
Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian
selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh
adanya peningkatan calcium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi
radikal bebas atau terdapatnya produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit
alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa
peran faktor genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor
non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus factor genetika.
Patogenesa
Sejumlah patogenesa penyakit alzheimer yaitu:
1. Faktor genetik
Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan melalui
gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga penderita
alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol normal Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early
onset terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal logarm, sedangkan pada
familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada penderita
down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40 tahun terdapat
neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker kolinergik pada jaringan
otaknya yang menggambarkan kelainan histopatologi pada penderita alzheimer. Hasil
penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah
monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik
berperan dalam penyaki alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa
ditemukan kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan
faktor lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.
2. Faktor infeksi
Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer yang
dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemuka adanya antibodi reaktif. Infeksi
virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang bersipat lambat, kronik
dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob disease dan kuru, diduga
berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut mempunyai beberapa persamaan
antara lain:
a. manifestasi klinik yang sama
b. Tidak adanya respon imun yang spesifik
c. Adanya plak amyloid pada susunan saraf pusat
d. Timbulnya gejala mioklonus
e. Adanya gambaran spongioform
3. Faktor lingkungan
Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam
patogenesa penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar lain, aluminium, silicon, mercury,
zinc. Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan
neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum
dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab degenerasi
neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita alzheimer, juga
ditemukan keadan ketidak seimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium, dengan patogenesa
yang belum jelas. Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi
melalui reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-
influks) danmenyebabkan kerusakan metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan
dan kematian neuron.
4. Faktor imunologis
Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderitaalzheimer didapatkan
kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti
trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli. Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan
bermakna dan meningkat dari penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto
merupakan penyakit inflamasi kronik yang sering didapatkanpada wanita muda karena
peranan faktor immunitas
5. Faktor trauma
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma
kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana
pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.
6. Faktor neurotransmitter
Perubahan neurotransmiter pada jaringan otak penderita Alzheimer mempunyai peranan
yang sangat penting seperti :
a) Asetikolin
Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmitter
dengan cara biopsy sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita Alzheimer
didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport
kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya deficit presinaptik kolinergik ini
bersifat simetris pada korteks frontalis, temporalis superior, nucleus basalis, hipokampus.
Kelainan neurotransmitter asetilkolin merupakan kelainan yang selalu ada dibandingkan
jenis neurotransmitter lainnya pada penyakit Alzheimer, dimana pada jaringan
otak/biopsy selalu didapatkan kehilangan cholinergic marker. Pada penelitian dengan
pemberian scopolamine pada orang normal, akan menyebabkan berkurang atau
hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik sebagai patogenesa
penyakit Alzheimer.
b) Noradrenalin
Kadar metabolism norepinefrin dan dopamine didapatkan menurun pada jaringan otak
penderita Alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan
tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkolerasi dengan deficit kortikal
noradrenergik.
Bowen et al (1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan otak penderita
Alzheimer menunjukan adanya defesit noradrenalin pada presinaptik neokorteks. Palmer
et al (1987),Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi noradrenalin menurun baik pada
post dan ante-mortem penderita Alzheimer.
c) Dopamine
Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurotransmitter region
hypothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan akivitas dopamine pada
penderita Alzheimer. Hasil ini masih controversial, kemungkinan disebabkan karena
histopatologi region hypothalamus setia penelitian bebeda-beda.
d) Serotonin
Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acil
pada biopsy korteks serebri penderita Alzheimer. Penurunan juga didapat pada subregio
hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan maksimal pada anterior hipotalamus
sedangkan pada posterior peraventrikuler hipotalamus berkurang sangat minimal.
Perubahan kortikal serotonergik ini beghubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan
diisi oleh formasi NFT pada nucleus rephe dorsalis
e) MAO (manoamin oksidase)
Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter monoamine. Akivitas normal
MAO A untuk deaminasi serotonin, norepinefrin, dan sebagian kecil dopamine,
sedangakan MAO-B untuk deaminasi terutama dopamine. Pada penderita Alzheimer,
didapatkan peningkatan MAO A pada hipotalamus dan frontalis sedangakan MAO-B
pada daerah temporal dan menurun pada nucleus basalis dari meynert.
IV. PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit
Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi)
dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar,
protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada
korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak.
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron
korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial.
Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron –
neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang
menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah
kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian
besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat
pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen
penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein
tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada
mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks
ganda yang sekelilingnya masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system transport
internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti
kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak
menyebabkan Alzheimer.
Kelainan
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama
Lingkungan terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk
Faktor genetik Infeksi virus Imunologi Trauma neurotransmiter
dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam s sel neuronal. A-beta adalah fragmen
proteinPenurunan
prekusor metabolisme
amiloid (APP) yang darah
dan aliran pada di
keadaan
korteks normal
parietalismelekat pada membrane
superior
neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi
fragmen – fragmen olehDegenerasi
protease, neuron kolinergik
salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang
menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel
Kekusutan neurofibrilar yang Hilangnya serat-serat kolinergik di korteks
gliadifus
yangdan plak senilis
akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat
cerebellum
larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan
Penurunan sel neuronlain adalah A-beta
kolinergik
menghasilkan radikal bebas sehingga menggagu yang berproyeksi
hubungan ke hipokampus
intraseluler dan menurunkan
Atropi otak dan amigdala
respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor.
Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP Kelainan neurotransmiter
juga berpengaruh pada AD. Secara
neurokimia kelainan pada otak
Asetilkolin menurun
Penurunan daya ingat, gangguan intelektual, memori, fungsi bahasa, kognitif, perilaku
Alzheimer
Perubahan kemampuan
Risiko mengawasi keadaan Hambatan
cedera kompleks dan berpikir Interaksi
abstrak, emosi labil, Sosial
pelupa, apatis, loss deep
memory
B4 (Bladder)
Inspeksi : Pada tahap lanjut, beberapa klien sering berkemih tidak pada tempatnya ,
biasanya yang berhubungan dengan penurunan status kognitif pada klien Alzheimer.
Penurunan refleks kandung kemih yang bersifat progresif dan klien mungkin mengalami
inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan
postural. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
B5 (Bowel)
Inspeksi :Pemenuhan nutrisi berkurang yang berhubungan dengan asupan nutrisi yang
kurang karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Karena penurunan
aktivitas umum, klien sering mengalami konstipasi.
B6(Bone)
Inspeksi : Pada tahap lanjut biasanya didapatkan adanya kesulitan untuk beraktivitas
karena kelemahan umum dan penurunan status kognitif menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan pemenuhan aktivitas sehari-hari. Adanya gangguan keseimbangan dan
koordinasi dalam melakukan pergerakan disebabkan karena perubahan pada gaya
berjalan dan kaku pada seluruh gerakan akan memberikan risiko pada trauma fisik bila
melakukan aktivitas.
2. Pemeriksaan Neuropsikologik
Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan
neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi
kognitif umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis
ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak
yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi,
perhatian dan pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik
mempunyai fungsi diagnostik yang penting karena:
a. Adanya defisit kognisi yang berhubungan dgndemensia awal yang dapat
diketahui bila terjadi perubahan ringan yang terjadi akibat penuaan yang normal.
b. Pemeriksaan neuropsikologik secara komprehensif memungkinkan untuk
membedakan kelainan kognitif pada global demensia dengan defisit selektif yang
diakibatkan oleh disfungsi fokal, faktor metabolik, dan gangguan psikiatri.
c. Mengidentifikasi gambaran kelainan neuropsikologik yang diakibatkan oleh
demensia karena berbagai penyebab. The Consortium to establish a Registry for
Alzheimer Disease (CERALD) menyajikan suatu prosedur penilaian
neuropsikologis dengan mempergunakan alat batrey yang bermanifestasi
gangguan fungsi kognitif, dimana pemeriksaannya terdiri dari:
Verbal fluency animal category
Modified boston naming test
Mini mental state
Word list memory
Constructional praxis
Word list recall
Word list recognition
Test ini memakn waktu 30-40 menit dan <20-30 menit pada control.
3. CT Scan dan MRI
Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi
perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem. Pemeriksaan
ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab demensia lainnya
selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal menyeluruh
danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan yang
sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada
demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar
untuk membedakan dengan penyakit alzheimer. Penipisan substansia alba serebri dan
pembesaran ventrikel berkorelasi dengan beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan
status mini mental. Pada MRI ditemukan peningkatan intensitas pada daerah kortikal
dan periventrikuler (Capping anterior horn pada ventrikel lateral). Capping ini
merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain didapatkan kelainan di kortikal,
gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal seperti adanya atropi
hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan fissura sylvii. Seab et
al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia dari penyakit
alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi) dari
hipokampus.
4. EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang suklinis. Sedang pada
penyakit alzheimer didapatkan perubahan gelombang lambat pada lobus frontalis
yang non spesifik.
7. Laboratorium Darah
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada penderita alzheimer.
Pemeriksaan laboratorium ini hanya untuk menyingkirkan penyebab penyakit
demensia lainnya seperti pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, BSE, fungsi
renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skreening antibody yang dilakukan
secara selektif.
X. TINDAKAN PENANGANAN
Pengobatan penyakit alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan
patofisiologis masih belun jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya
memberikan rasa puas pada penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C,
dan E belum mempunyai efek yang menguntungkan.
A. Penatalaksanaan Medikamentosa
1. Inhibitor kolinesterase
Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan
simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan
kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti
kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA
(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori
danapraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-
obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal
dan penderita alzheimer.
2. Thiamin
Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan
thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan
transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis.
Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral,
menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo
selama periode yang sama.
3. Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi
kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada
penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.
4. Klonidin
Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan
noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik
alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu,
didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
5. Haloperiodol
Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan
tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan
memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya
diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).
6. Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan
bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat
meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian
dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat
memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.
B. Penatalaksanaan Non-Medikamentosa
1. Mendukung Fungsi Kognitif.
Karena kemampuan kognitif menurun, maka perawat harus memberikan lingkungan
yang mudah dikenali yang dapat membantu pasien mengintegrasikan lingkungan
sekitar dan aktifitasnya.
2. Peningkatan Keamanan Fisik
Umtuk menghindari jatuh atau kecelakaan lain, semua sumber bahaya yang jelas
harus dihilangkan. Lampu tidur, lampu pemanggil, dan tempat tidur rendah
digunakan saat tidur. Lingkungan yang bebas bahaya memungiknkan pasien mandiri
secara maksimal dan memiliki rasa otonomi.
3. Mengurangi ansietas dan agitasi
Meskipun kehilangan kognitifnya parah,namun ada saat dimana pasien sadar akan
cepat menhilangkan kemampuannya. Pasien menjadi sangat membutuhksn dukungan
emosional yang dapat memperkuat citra diri yang positif.
4. Meningkatkan Komunikasinya
Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena
arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan mengorganisai dan
menyampaikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dipakai untuk
mengingatkan pasien dan sangat membantu pasien.
5. Meningkatkan kemandirian dalam Proses Perawatan diri
Upaya ditujukan untuk membantu pasien memelihara fungsi kemandirian selama
mungkin. Dianjurkan menyederhanakan aktifitas sehari-hari dengan menyusun
lamgkah-langkah singkat dan mudah dicapai sehingga pasien dapat merasakan
kepuasan diri.
6. Menyediakan Kebutuhan sosialisasi dan keintiman
Karena sosialisasi dengan teman lama dapat meyenagnkan maka pasien didorong
untuk melakukan kunjungan, saling berkirim surat, dan bertelepon. Kunjungan
sebaiknya singkat dan tidak menimbulkan stress. Sebaiknya hanya menungunjungi
satu sampai dua orang saja dalam sekali kunjungan.
7. Meningktkan nutrisi yang adekuat
Saat makan, keadaan harus tetap dijaga agar keadaan tidak menjadi konfrontasional.
Pasien lebih menyukai makanan yangsudah dikenal yang tampak menggunakan
selera makan dan tersa lezat. Untuk menghindari bermain dengan makanan, makanan
sebaiknya dihidangkan satu-satu.makanan sebaiknya dipotong kecil-kecil agar tidak
tersedak. Makanan sebaiknya disediakan dalam keadaan hangat.
8. Mendukung dan mendidik pemberi perawatan dalam keluarga.
Perawat harus peka terhadap masalah emosional yang dihadapi keluarga. Dukungan
dan edukasi pemberi perawatan merupakan komponen yang penting.
Aktifitas istirahat
Gejala : Merasa lelah
Tanda : Siang/malam gelisah, tidak berdaya, gangguan pola tidur
Letargi : penurunan minat atau perhatian pada aktivitas yang biasa, hobi,
ketidakmampuan untuk menyebutkan kembali apa yang dibaca/ mengikuti
acara program televisi.
Gangguan keterampilan motorik, ketidakmampuan untuk melakukan hal
yang telah biasa yang dilakukannya, gerakan yang sangat bermanfaat.
Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit vaskuler serebral/sistemik. hipertensi, episode emboli
(merupakan factor predisposisi).
Integritas ego
Gejala : Curiga atau takut terhadap situasi/orang khayalan, kesalahan persepsi
terhadap lingkungan, kesalahan identifikasi terhadap objek dan orang,
penimbunan objek : meyakini bahwa objek yang salah penempatannya telah
dicuri. kehilangan multiple, perubahan citra tubuh dan harga diri yang
dirasakan.
Tanda : Menyembunyikan ketidakmampuan ( banyak alasan tidak mampu untuk
melakukan kewajiban, mungkin juga tangan membuka buku namun tanpa
membacanya) , duduk dan menonton yang lain, aktivitas pertama mungkin
menumpuk benda tidak bergerak dan emosi stabil, gerakan berulang ( melipat
membuka lipatan melipat kembali kain ), menyembunyikan barang, atau
berjalan-jalan.
Eliminasi
Gejala : Dorongan berkemih
Tanda : Inkontinensia urine/feaces, cenderung konstipasi/ imfaksi dengan diare.
Makanan/cairan
Gejala : Riwayat episode hipoglikemia (merupakan factor predisposisi) perubahan
dalam pengecapan, nafsu makan, kehilangan berat badan, mengingkari
terhadap rasa lapar/ kebutuhan untuk makan.
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk mengunyah, menghindari/menolak makan
(mungkin mencoba untuk menyembunyikan keterampilan). dan tampak
semakin kurus (tahap lanjut).
Higene
Gejala : Perlu bantuan /tergantung orang lain
Tanda : tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan personal yang kurang,
kebiasaan pembersihan buruk, lupa untuk pergi kekamar mandi, lupa
langkah-langkah untuk buang air, tidak dapat menemukan kamar mandi dan
kurang berminat pada atau lupa pada waktu makan: tergantung pada orang
lain untuk memasak makanan dan menyiapkannya dimeja, makan,
menggunakan alat makan.
Neurosensori
Gejala : Pengingkaran terhadap gejala yang ada terutama perubahan kognitif,
dan atau gambaran yang kabur, keluhan hipokondria tentang kelelahan,
diarea, pusing atau kadang-kadang sakit kepala. adanya keluhan dalam
kemampuan kognitif, mengambil keputusan, mengingat yang berlalu,
penurunan tingkah laku ( diobservasi oleh orang terdekat). Kehilangan
sensasi propriosepsi ( posisi tubuh atau bagian tubuh dalam ruang tertentu ).
dan adanya riwayat penyakit serebral vaskuler/sistemik, emboli atau
hipoksia yang berlangsung secara periodic ( sebagai factor predisposisi )
serta aktifitas kejang ( merupakan akibat sekunder pada kerusakan otak ).
Tanda : Kerusakan komunikasi : afasia dan disfasia; kesulitan dalam menemukan
kata- kata yang benar ( terutama kata benda ); bertanya berulang-ulang atau
percakapan dengan substansi kata yang tidak memiliki arti; terpenggal-
penggal, atau bicaranya tidak terdengar. Kehilangan kemampuan untuk
membaca dan menulis bertahap ( kehilangan keterampilan motorik halus ).
Kenyamanan
Gejala : Adanya riwayat trauma kepala yang serius ( mungkin menjadi factor
predisposisi atau factor akselerasinya), trauma kecelakaan ( jatuh, luka
bakar dan sebagainya).
Tanda : Ekimosis, laserasi dan rasa bermusuhan/menyerang orang lain
Interaksi social
Gejala : Merasa kehilangan kekuatan. factor psikososial sebelumnya; pengaruh
personal dan individu yang muncul mengubah pola tingkah laku yang
muncul.
Tanda : Kehilangan control social,perilaku tidak tepat.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Menyusun prioritas
1) Perubahan proses pikir berhubungan dengan degeneration neuron
iriversibel ditandai dengan tidak mampu mengintrepitasikan stimuli dan
menilai realitas dengan akurat, disorientasi, apatis, loss deep memory, dan
kesulitan dalam mengakomodasikan ide/ perintah,.
2) Risiko cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi memori.
3) Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan deficit kognitif
ditandai dengan klien tampak kotor dan bau, klien tidak mampu untuk
melakukan proses perawatan diri, klien tampak lemah, klien tampak kurus,
klien tampak pucat.
4) Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan iskemia lobus temporal
atau frontal sekunder akibat penyakit Alzheimer ditandai dengan afasia
dan disfasia.
5) Hambatan interaksi social berhubungan dengan hambatan komunikasi
sekunder akibat penyakit mental kronis ditandai dengan afasia, rasa
bermusuhan/menyerang orang, kehilangan control social, dan perilaku
tidak tepat
b. Intervensi
Memotivasi pasien
dalam cara yang
Ciptakan aktivitas
menguatkan
yang sederhana dan
kegunaannya dan
tidak bersifat
kesenangan diri dan
kompetitif yang
merangsang realita.
didasarkan pada
Kekurangan tidur
kemampuan individu.
dapat mengganggu
Evaluasi pola dan
proses berpikir dan
kecukupan
kemampuan koping
tidur/istirahat. catat
klien.
adanya letargi,
peningkatan peka
rangsang, sering
“menguap”, adanya
garis hitam dibawah
mata.
Kolaborasi
Kolaborasi Dapat digunakan
Antisiklotik, seperti untuk mengontrol
haloperidol (haldol); agitasi, halusinasi.
tioridazin (Mallril) Mallril jarang
digunakan karena
adanya beberapa
efek samping yang
bersifat
ekstrapiramidal,
meningkatkan
kekacauan mental;
masalah penglihatan
dan terutama
gangguan berdiri dan
berjalan.
Dapat meningkatkan
kesadaran mental
Vasodilator, seperti
tetapi memerlukan
siklandelat
penelitian lebih
(Cyclospasmol)
lanjut.
Dalam penelitian
merupakan cara yang
Titamin
dilakukan terus
menerus untuk
menyelidiki
kemanfaatan dari
tiamin dosis tinggi
selama fase awal
penyakit untuk
memperlambat
berkembangnya
gangguan/meningkat
an keadaan kognisi
secara sederhana
2. Risiko cedera Setelah diberikan asuhan Mandiri Mandiri
berhubungan dengan keperawatan selama ....x - Awasi - Untuk
kerusakan fungsi 24 jam, diharapkan klien klien secara ketat mengkaji keamanan
memori. tidak mengalami cedera. selama beberapa klien.
malam pertama.
- Anjurkan - Untuk
individu untuk menghindarkan risiko
meminta bantuan cedera akbat suasana
selama malam hari. gelap.
- Singkirkan - Untuk
benda-benda menghindari risiko
berbahaya dari klien. cedera/terpapar
benda-benda
- Pasang berbahaya.
pegangan tangan di - Untuk
kamar mandi. menghindari terpleset
- Pertimban di kamar mandi.
gkan penggunaan - Untuk
sistem alarm. memudahkan klien
menginstruksikan
keadaan bahaya pada
dirinya.
Gabungkan kegiatan
Mempertahankan
sehari-hari kedalam
kebutuhan rutin dapat
jadwal aktivitas jika
mencegah
mungkin.
kebingungan yang
semakin memburuk
dan meningkatkan
Kaji kemampuan dan partisipasi pasien.
Membantu dalam
tingkat itaspenurunan
mengantisipasi dan
kemampuan ADL
merencanakan
dalam skala 0 – 4.
pertemuan kebutuhan
individual.
Rencanakan tindakan
Klien akan mampu
untuk defisit motorik
melakukan aktivitas
seperti tempatkan
sendiri untuk
makanan dan peralatan
memenuhi perawatan
di dekat klien agar
dirinya.
mampu sendiri
mengambilnya.
Kaji kemampuan
Ketidakmampuan
komnikasi untuk BAK.
berkomunikasi
Kemampuan
dengan perawat dapat
menggunakan urinal
menimbulkan
pispot. Antarkan ke
masalah
kamar mandi bila
pengososngan
kondisi
kandung kemih oleh
memungkinkan .
karena masalah
neurogenik.
Meningkatkan
Identifikasi kebiasaan
latihan dan menolong
BAB . anjurkan minum
mencegah konstipasi
dan meningkatkan
aktivitas.
Kolaborasi :
Kolaborasi :
Pertolongan utama
Pemberian
terhadap fungsi
suppositoria dan
bowell atau BAB
pelumas faeces /
pencahar. Untuk
Konsul ke dokter
mengembangkan
terapi okupasi.
terapi dan
melengkapi
kebutuhan khusus.
4. Hambatan komunikasi Setelah diberikan asuhan Mandiri Mandiri
Kaji kemampuan klien Untuk menentukan
verbal berhubungan keperawatan selama ... x
untuk berkomunikasi. tingkat kemampuan
dengan iskemia lobus 24 jam, diharapkan klien
klien dalam
temporal atau frontal tidak mengalami
berkomunikasi.
sekunder akibat hambatan komunikasi Menentukan cara-cara
Untuk membantu
penyakit Alzheimer verbal dengan kriteria berkomunikasi seperti
proses
ditandai dengan afasia hasil : mempertahankan
berkomunikasi
Membuat
dan disfasia kontak mata,
dengan klien, dan
teknik/metode
pertanyaan dengan
agar tidak terjadi
komunikasi yang
jawaban ya atau tidak,
miskomunikasi.
dapat dimengerti
menggunakan kertas
sesuai kebutuhan dan
dan pensil/bolpoint,
meningkatkan
gambar, atau papan
kemampuan
tulis; bahasa isyarat,
berkomunikasi
penjelas arti dari
Untuk memudahkan
komunikasi yang
klien dalam
disampaikan.
Letakkan bel/lampu memanggil perawat
panggilan di tempat saat membutuhkan
mudah dijangkau dan bantuan.
berikan penjelasan cara
menggunakannya.
Jawab panggilan
tersebut dengan segera.
Penuhi kebutuhan
Memberikan terapi
klien. Katakan kepada
bicara pada klien.
klien bahwa perawat
siap membantu jika
dibutuhkan.
Kolaborasi dengan
ahli wicara bahasa.
5. Hambatan interaksi Setelah diberikan Asuhan Mandiri Mandiri
Agar individu
social berhubungan Keperawatan selama Beri individu
terstimulasi untuk
dengan hambatan ….x24 jam, diharapkan hubungan suportif.
melakukan interaksi
komunikasi sekunder kliem mampu melakukan
social.
akibat penyakit mental interaksi social, dengan
Agar klien mampu
kronis ditandai dengan out come : Bantu mengidentifikasi
klien mampu mengidentifikasi
afasia, rasa alternative tindakan.
tindakan yang baik.
bermusuhan/menyerang berinteraksi dengan
Agar klien mampu
orang disekitarnya
orang, kehilangan Bantu menganalisis melakukan interaksi
dengan baik.
control social, dan pendekatan yang dengan orang lain
klien tidak memiliki
perilaku tidak tepat berfungsi paling baik. dengan baik.
rasa
Untuk merangsang
bermusuhan/menyer
klien untuk
ang orang. Gunakan pertanyaan
menjawab
dan observasi untuk
pertanyaan perawat
mendorong individu
secara tidak
dengan keterbatasan
langsung
keterampilan interaksi
menstimulasi klien
untuk berinteraksi.
Dukungan keluarga
sangat membantu
Bantu anggota dalam melakukan
keluarga dalam interaksi social.
memahami dan
memberi dukungan.
4. EVALUASI
No.
Diagnosa Keperawatan Evaluasi
Dx
1. Perubahan proses pikir berhubungan Proses pikir klien tidak bertambah buruk :
dengan degeneration neuron Klien mampu menginterpretasikan stimulus
iriversibel. sedikit demi sedikit
Klien mampu mengakomodasikan sedikit
demi sedikit suatu ide/perintah
Klien mampu mengenali orang-orang
terdekatnya, seperti nama keluarganya.
Klien mampu mengenali tempat-tempat
disekitarnya, seperti alamat rumah.
Klien mampu mengenali waktu seperti pagi,
siang, dan malam.
2. Risiko cedera berhubungan dengan Tidak terjadi cedera.
kerusakan fungsi memori.
3. Sindrom defisit perawatan diri Sindrom defisit perawatan diri teratasi:
berhubungan dengan deficit kognitif. Klien tampak bersih dan segar
Klien tidak pucat.
4. Hambatan komunikasi verbal Tercapainya suatu teknik/metode komunikasi
berhubungan dengan iskemia lobus yang dapat dimengerti sesuai kebutuhan dan
temporal atau frontal sekunder akibat meningkatkan kemampuan berkomunikasi.
penyakit Alzheimer.
5. Hambatan interaksi social Hambatan interaksi social teratasi:
berhubungan dengan hambatan Klien mampu berinteraksi dengan orang
komunikasi sekunder akibat penyakit disekitarnya denan baik.
mental kronis. Klien tidak memiliki rasa
bermusuhan/menyerang orang.
Daftar Pustaka
Brunner & Suddarth. 1997. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika: Jakarta
Suprapto. 2009. Alzheimer. http://fortunestar.co.id/penyakit-lain/78-alzheimer.html.
Yulfran. 2009. Alzheimer. http://yulianafransiska.wordpress.com/2009/03/15/alzheimer-
dementia-pada-penyakit-alzheimer/.