Anda di halaman 1dari 25

Co-Asistensi Bidang Reseptir

RINGWORM PADA ANJING

Rabu, 29 Agustus 2018

SITI AYU INDAH SARI H.N, S.KH


C024181011

PEMBIMBING
Drh. Baso Yusuf, M.Sc

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN Co-Asistensi BIDANG RESEPTIR

Co-Assistensi Bidang : Reseptir


Angkatan : III
Tahun Ajar : 2018/2019
Nama Mahasiswa : Siti Ayu Indah Sari HN
NIM : C024181011

Makassar, 05 September 2018

Menyetujui,

Pembimbing Kordinator Bidang Reseptir

Drh. Baso Yusuf, M.Sc. Abdul Wahid Jamaluddin,S.Farm,M.Si


NIP. 198808282014041002

Tanggal Pengesahan : 06 September 2018

Tanggal Ujian : 10 September 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyusun laporan ini yang berjudul “Ringworm pada
Anjing” dengan baik.

Adapun maksud dan tujuanpenyusunanlaporan ini untuk memenuhi tugas


mandiri Co-Asistensi bidang reseptir. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada drh. Baso Yusuf M.Sc. selaku pembimbing materi dalam pembuatan
laporan ini, serta kepada semua pihak yang telah mendukung dalam pembuatan
laporan ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan yang terdapat dalam


laporan ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran kepada
berbagai pihak sebagai bahan evaluasi guna meningkatkan ilmu dan pengetahuan
untuk kedepannya.

Makassar, September 2018

1
BAB I
Pendahuluan
a. Latar Belakang

Penyakit Ringworm pada anjing sangat menganggu karena infeksi


penyakitnya membuat kulit pada hewan peliharaan berubah menjadi keropeng,
terbentuk kerak dan terjadi peradangan, kerusakan bulu diseluruh muka, hidung
dan telinga (Boddie,1962), Perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran
atau cincin dengan batas jelas dan umumnya dijumpai di daerah leher sehingga
rasa gatal bisa menyebabkan stress pada hewan peliharaaan yang dapat
menurunkan imunitasnya.
Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan, dan antara manusia
dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan kemanusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang tertua di dunia (Jungerman dan Schwartzman,
1972). Dawson (1968) melaporkan bahwa kejadian penyakit ini ditemukan pada
hewan piara, ternak, satwa liar lainnya. Dinamakan ringworm karena pernah
diduga penyebabnya adalah worm dan karena gejalanya dimulai dengan adanya
peradangan pada permukaan kulit yang bila dibiarkan akan meluas secara
melingkar seperti cincin, maka dinamai ringworm, meski sebelumnya memang
penyakit ini disebabkan oleh cendawan namun akhirnya pemakaian istilah
tersebut tetap dipakai sampai sekarang. Penularan dari hewan kemanusia
(zoonosis) dilaporkan pada tahun 1820 dari sapi ke manusia (MORTIMER, 1955).
Hewan yang terserang umumnya hewan piaraan adalah anjing, babi, domba,
kucing, kuda, kambing,sapi dan lainnya, namun yang paling utama ialah anjing,
kucing, sapi. Ketiga hewan ini merupakan masalah penting untuk manusia karena
sifat zoonosisnya. Trichopyton spp dan Microsporum spp, merupakan 2 jenis
kapang yang menjadi penyebab utama ringworm pada hewan. Di Indonesia yang
menonjol diserang adalah anjing, kucing dan sapi.

2
b. Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi penyakit ringworm
2. Untuk mengatahui tata laksana penanganan kasus penyakit ringworm
3. Untuk mengetahui resep obat dari penanganan kasus ringworm

c. Masalah
1. Apa penyebab penyakit ringworm ?
2. Bagaimana tata laksana penanganan kasus penyakit ringworm ?
3. Bagaimana resep obat dari penanganan kasus ringworm ?

3
BAB II
Tinjauan Pustaka

a. Gambaran Singkat Ringworm


Pengertian Ringworm
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh kapang pada bagian kutan
(kulit). Penyakit kulit menular ini pada ternak tidak berakibat fatal, namun sangat
mengganggu. Pada anjing, penyakit ini sangat tidak berestetika sesbagai hewan
peliharaan yang dekat dengan manusia. Ringworm menyerang hewan dan
manusia. Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan dan antara
manusia dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan ke manusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang yang tertua di dunia (Adzima et al., 2013).
Dalam pemeriksaan klinis, dermatofitosis pada hewan dengan lesi yang
terdiri dari kombinasi alopesia, hiperkeratosis, makula, sisik dan krusta. Lesi-lesi
tersebut ditemukan di bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang dan
bagian perut. Lesi klasik pada anjing umumnya memiliki batasan dengan radang
aktif di pinggiran lesi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Outerbridge (2006)
bahwa dermatofitosis pada anjing biasanya menimbulkan lesi lokal, paling sering
ditemukan pada wajah, kaki depan, kaki belakang, perut bagian bawah dan ekor.

Etiologi
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh cendawan pada bagian
kutan/superfisial atau bagian dari jaringan lain yang mengandung keratin (bulu,
kuku, rambut dan tanduk). Trichopyton spp dan Microsporum spp, merupakan 2
jenis kapang yang menjadi penyebab utama ringworm pada hewan.
M. canis bersifat ectothrix dan zoofilik yang terdapat pada kucing, anjing, kuda,
dan kelinci, gambaran mikroskopis dari kultur adalah macroconidia berbentuk
spindle, berdinding tebal dan kasar. Microconidia berbentuk clubbing dan
berdnding halus, sedangkan M. gypseum bersifat ectothrix dan geofilik.
Gambaran makroskopisnya macroconidia berbentuk spindle, dinding tipis 3-6
septa, dan microconidianya sedikit dan berbentuk clubbing (Pohan., A. 2009).

4
Gejala Klinis
Pada anjing sering terjadi kerusakan bulu diseluruh muka, hidung dan
telinga (Boddie,1962), Perubahan yang tampak pada kulit berupa lingkaran atau
cincin dengan batas jelasdan umumnya dijumpai di daerah leher (Gambar 1),
muka terutama sekitar mulut, pada kaki dan perut bagian bawah (Muller dan
Kirik, 1976). Selanjutnya terjadi keropeng, lepuh dan kerak, dan dibagian
keropeng biasanya bagian tengahnya kurang aktif, sedangkan pertumbuhan aktif
terdapat pada bulu berupa kekusutan, rapuh dan akhirnya patah, ditemukan pula
kegatalan (Jungerman dan Schwartzman, 1972).

Gambar 1. Ringworm pada anjing


Sumber : Petalk (2005)
Patogenesa
Negara yang beriklim subtropik atau dingin, kejadian ringworm lebih
sering, karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan-hewan selain kurang
menerima sinar matahari secara langsung, juga sering bersama-sama di kandang,
sehingga kontak langsung di antara sesama individu lebih banyak terjadi. Cara
penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung jamur
baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat melalui
tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air.
Di samping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di
kulit tergantung dari beberapa faktor seperti faktor virulensi dari dermatofita,
faktor trauma, kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, faktor suhu dan kelembaban,
kurangnya kebersihan dan faktor umur dan jenis kelamin (Ahmad., R.Z. 2009).

5
Diagnosa
a. Melihat gejala klinis yang spesifik pada ringeorm, maka dapat digunakan
sebagai pedoman adalah perubahan kulit maka dilakukan pengambilan dan
penamaan sampel pada media Sabouraud dengan kerokan kulit
b. Pemeriksaan langsung secara mikroskopis atau dengan cahaya
Wood.Adanya cendawan menunjukan warna yang berpendar.

Gambar 3.a). Spora dermatofita pada pemeriksaan kulit, b) batang


rambut yang mengalami kerusakan (Pinter dan Zrinka, 2004).

Pada pemeriksaan dengan menggunakan Wood’s Lamp dilakukan dengan


langsung diamati pada tiap lesi.Jika ada pendaran berwarna hijau kekuningan itu
berarti terdapat agen dermatofitosis. Pendaran berwarna hijau kekuningan akibat
dari reaksi metabolit dermatofita dengan sinar ultra ultraviolet. Ketika tidak ada
pendaran maka tidak muncul warna hijau kuning (bersinar). Pemeriksaan dengan
Wood’s Lamp dapat menunjukkan pendaran (flourescence) pada jamur patogen
tertentu. Fluoresensi ini disebabkan oleh metabolisme aktif triptofan oleh jamur
ke rambut yang terinfeksi yang sedang dalam pertumbuhan aktif, tidak dapat
meniru fluoresensi secara in vitro.Ada faktor tambahan yang dapat menghambat
fluoresensi seperti aplikasi iodine topikal. Kehadiran bakteri seperti
Corynebacterium minutissimum dan Pseudomona aeruginosa, bisa berpendar
meski warnanya sedikit lebih ringan.Keratin, sabun dan serat sintetis atau salep
topikal bisa memberi kesan positif palsu. Dengan mempertimbangkan informasi
ini, Wood lamp adalah alat bantu dalam diagnosis dermatofitosis namun tidak
digunakan sebagai satu-satunya metode diagnostik. Terisolasi dalam media kultur,
inilah satu-satunya metode yang memungkinkan identifikasi spesies, yang sangat

6
berguna dalam menentukan pengobatan infeksi yang tepat, sehingga mendapatkan
hasil yang lebih baik (Sheinberg et al., 2017).

c. Pemeriksaan histologis dan pemupukan dengan kultur cendawan. Agar


sabouraund glucose dapat digunakan sebagai standar kultur kecepatan
tubuh, perubahan warna permukan maupun warna punggung koloni dapat
digunakan untuk pengenlan meskipun terdapat variasi dalam spesies
(Kementrian Pertanian Direktoral Jendral Peternakan Dan Kesehatan
Hewan, 2012).
Diagnosa Banding
Ringworm sering dikelirukan dengan perubahan kulit yang lain seperti
penyakit kudis, gigitan serangga, infeksi bakteri seperti folikulitis,
furunkulosis, yang di sebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus.Diagnosa dapat dibuat dengan menemukan cendawan baik
langsungmaupun tidak langsung (Barr Stephen dan Dwight, 2006).
Pengobatan
Jenis, lama dan alasan pemilihan obat
Ringworm jenis tertentu dapat sembuh dengan sendirinya tetapi
kebanyakan perlu diobati dengan bahan kimia. Pengobatan dapat
dilakukan dengan dua cara yaiu dengan obat sistemik (oral) dan obat
topikal (salep). Dapat digunakan obat yang mengndung lemak, jodium
sulfa atau asam salisilat.Untuk lesi kecil digunakan 2 % miconazole cream
atau larutan thiabendazole setiap hari sampai sembuh. Bila lesi
berkembang dapat digunkan 0,5 % sulfur atau 1:300 larutan Captan
sebagai pencuci 2 kali seminggu. Untuk penyakit kronis, diberikan obat
sistemik, seperti microcrystallin griseofulvin. Dosis untuk anjing 40-120
m/kkb/hari 1 kali dicampur dengan makanan yang berlemak tinggi.
Pengobatan dilanjutkan selama 2 minggu setelah sembuh dari lesi atau
pemeriksaan pada kultur negatif Kementrian Pertanian Direktoral Jendral
Peternakan Dan Kesehatan Hewan, 2012)
Pengelolaan terapeutik dermatofitosis tergantung pada tingkat infeksi dan
juga lokasi dan jaringan yang terkena dan didasarkan pada obat-obatan

7
topikal dan oral.Dalam kasus infeksi lokal disarankan untuk menggunakan
produk topikal.
Penggunaan obat sistemik ditunjukkan pada kasus infeksi
ekstensif, pasien dengan imunosupresi, dan juga ketika produk topikal
gagal. Saat menerapkan perawatan sistemik, penting untuk memantau
pasien dan mempertimbangkan kemungkinan interaksi obat ( Sheinberget
al., 2017).
Adapun Obat anti jamur sistemik yaitu (plumbs, 2011).
 Griseovulfin
 Penggunaan / Indikasi : pada spesies hewan, griseofulvin disetujui
FDA untuk digunakan pada anjing dan kucing untuk mengobati
jamur dermatofitik infeksi pada kulit, rambut dan cakar, dan untuk
mengobati kurap (disebabkan oleh T. equinum dan M. gypseum) di
kuda Ini juga telah digunakan pada hewan laboratorium dan
ruminansia untuk indikasi yang sama. Tablet oral yang disetujui
FDA untuk anjing dan kucing tidak lagi dipasarkan di Amerika
Serikat, namun bentuk sediaan manusia tersedia.
 Farmakologi : Griseofulvin bekerja pada jamur yang rentan dengan
mengganggu struktur poros mitosis sel, menahan metafase
pembelahan sel. Griseofulvin memiliki aktivitas melawan spesies
Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton. Hanya
pertumbuhan rambut dan kuku baru yang tahan terhadap infeksi.
Ini tidak memiliki aktivitas antibakteri dan tidak bermanfaat secara
klinis terhadap jamur patogen lainnya, termasuk ragi Malassezia.
 Farmakokinetik : bentuk microsized obat diserap bervariasi (25-
70%); Lemak makanan akan meningkatkan penyerapan. Bentuk
ultramicrosize obat mungkin hampir 100% diserap. Umumnya,
bentuk ultramicrosize diserap 1,5 kali dan juga bentuk microsized
untuk pasien tertentu. Griseofulvin terkonsentrasi pada kulit,
rambut, kuku, lemak, otot skeletal, dan hati, dan dapat ditemukan
di stratum korneum dalam waktu 4 jam setelah pemberian dosis.
Griseofulvin dimetabolisme oleh hati melalui demethylation

8
oksidatif dan glukuronidasi ke 6-desmethylgriseofulvin, yang tidak
aktif. Pada manusia, waktu paruh 9-24 jam. Waktu paruh serum 47
menit telah dilaporkan untuk anjing. Kurang dari 1% obat
diekskresikan tidak berubah dalam urin.
 Kontraindikasi: Griseofulvin dikontraindikasikan pada pasien yang
memiliki hipersensitif terhadapnya atau dengan kegagalan
hepatoseluler. Seharusnya tidak digunakan pada hewan hamil. Itu
tidak boleh digunakan pada kuda yang ditujukan untuk makanan.
Karena anak kucing mungkin terlalu peka terhadap efek buruk
yang terkait dengan griseofulvin, mereka harus dipantau dengan
hati-hati jika pengobatan dilakukan. Kucing harus diuji untuk FIV
sebelum menggunakan griseofulvin karena efek neutropenic atau
panleukopenic dari obat tersebut.
 Efek samping: Griseofulvin dapat menyebabkan anoreksia,
muntah, diare, anemia, neutropenia, leukopenia, trombositopenia,
depresi, ataksia, hepatotoksisitas, dermatitis / fotosensitifitas dan
nekrolisis epidermal toksik. Kecuali tanda klinis GI, efek samping
jarang terjadi pada dosis biasa. Kucing, terutama anak kucing,
mungkin lebih rentan terhadap efek samping (misalnya, depresi
sumsum tulang) dibandingkan spesies lainnya. Ini bisa jadi karena
kecenderungan spesies ini untuk membentuk konjugat glukuronida
yang lebih lambat dan dengan demikian memetabolisme obat pada
tingkat yang lebih lambat daripada anjing atau manusia.
 Ketokenazole
 Penggunaan / Indikasi Karena keterbatasan toksisitasnya bila
dibandingkan dengan amfoterisin B, pemberian oral, dan efikasi
yang relatif baik, ketokonazol telah digunakan untuk mengobati
beberapa infeksi jamur pada anjing, kucing, dan spesies kecil
lainnya. Ketokonazol sering digunakan dengan amfoterisin B untuk
meningkatkan keampuhan ketokonazol, dan dengan mengurangi
dosis amfoterisin B, menurunkan risiko toksisitasnya. Agen
antijamur yang baru (flukonazol, itrakonazol) memiliki kelebihan

9
dibanding ketokonazol, terutama toksisitast yang kurang,namun
ketokonazol dapat secara signifikan lebih murah daripada agen
yang lebih baru. Ketokonazol dianggap oleh beberapa orang
sebagai obat pilihan untuk mengobati histoplasmosis pada anjing.
Penggunaan ketoconazole pada kucing kontroversial dan ada yang
bilang tidak boleh digunakan spesies itu. Ketokonazol juga
digunakan secara klinis untuk pengobatan hiperadrenokortikoal
pada anjing. Ketokonazol nampaknya merupakan pilihan yang
tepat, meski harganya relatif mahal dan kurang efektif bila
dibandingkan dengan mitotane. Namun, ini mungkin sangat
berguna untuk terapi paliatif pada anjing dengan tumor besar,
ganas, atau invasif dimana operasi bukanlah pilihan. Ketokonazol
juga sering digunakan pada anjing untuk stabilisasi sebelum
operasi. Karena merupakan inhibitor steroidogenesis reversibel,
biasanya bukan pilihan yang tepat untuk pengobatan jangka
panjang
 Farmakologi : pada dosis biasa dan konsentrasi serum, ketokonazol
bersifat fungistatis terhadap jamur yang rentan pada konsentrasi
yang lebih tinggi untuk waktu yang lama atau melawan organisme
yang sangat rentan, ketokonazol mungkin bersifat fungisida. Hal
ini diyakini bahwa ketokonazol meningkatkan permeabilitas
membran seluler dan menyebabkan efek metabolik sekunder dan
penghambatan pertumbuhan. Mekanisme yang tepat untuk efek ini
belum ditentukan, namun mungkin karena ketokonazol
mengganggu sintesis ergosterol. Tindakan fungisida ketokonazol
mungkin disebabkan oleh efek langsung pada membran sel.
Ketokonazol memiliki aktivitas melawan sebagian besar jamur
patogen, termasuk Blastomyces, Coccidioides, Cryptococcus,
Histoplasma,Microsporum, dan Trichophyton. Tingkat yang lebih
tinggi diperlukan untuk mengobati sebagian besar strain
Aspergillus dan Sporothrix. Ketahanan terhadap ketokonazol telah
didokumentasikan untuk beberapa jenis Candida albicans.

10
Ketokonazol memiliki aktivitas in vitro melawan Staphylococcus
aureas dan epidermidis, Nocardia, enterococci, dan jenis virus
herpes simpleks 1 dan 2. Implikasi klinis dari aktivitas ini tidak
diketahui. Melalui penghambatan 5-lipooxygenase, ketokonazol
memiliki beberapa aktivitas antiinflamasi. Obat ini bisa menekan
sistem kekebalan tubuh, mungkin dengan menekan proliferasi
Tlymphocytes. Ketokonazol juga memiliki efek endokrin karena
sintesis steroid secara langsung dihambat dengan menghambat
beberapa sistem enzim P-450. Pengurangan testosteron atau
sintesis kortisol yang terukur dapat terjadi pada dosis yang
digunakan untuk terapi antijamur, namun dosis yang lebih tinggi
umumnya diperlukan untuk mengurangi kadar testosteron atau
kortisol secara klinis bermanfaat dalam pengobatan karsinoma
prostat atau hiperadrenokortiko. Efek pada mineralokortikoid
diabaikan.
 Farmakokinetik : Meskipun dilaporkan bahwa ketokonazol terserap
dengan baik setelah pemberian oral, ketersediaan hayati tablet
ketoconazole pada anjing sangat bervariasi. Satu studi (Baxter et al
1986) pada enam anjing normal, menemukan bioavailabilitas
berkisar antara 0,04-0,89 (4-89%) setelah 400 mg (19,5-25,2 mg /
kg) diberikan pada anjing berpuasa. Konsentrasi serum puncak
terjadi antara 1 dan 4,25 jam setelah pemberian dosis dan kadar
serum puncak berkisar antara 1,1-45,6 mikrogram / mL.
 Obat topical
 Mikonasol untuk pengobtan dermatofitosis. Untuk pengobatan infeksi
jamur digunakan mikonazol cream 2% dengan lama 2-4 minggu dua
kali sehari.
 Ketokenazole cream 2 %.
salep ketoconazole 2% merupakan obat antifungal azole
(imidazole). Mekanisme kerjanya sama dengan obat antifungal azole lain,
yaitu menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel fungi. Efektif

11
membunuh dermatofita dan varietes fungi sistemik seperti Histoplasma,
Blastomyces dan Coccidioides.
Anjing dimandikan dengan sulfur untuk membantu penyembuhan.
Terapi suportif yang diberikan vi-sorbid yang merupakan multivitamin dan
cod liver oil untuk membantu regenerasi rambut serta menjaga
kesehatannya.
Tata laksanalebih detail ( Plan treatment secara detai)
Table 2. Terapi topical dan sistemik pada dermatofita (Yosela Tanti, 2015):
Azoles Allylamines Lainnya
( fungistatis) ( Fungisidal)
Topikal Miconazole Terbinafrin Ciclopirox olamine
Clotrimazole ( fungicidal)
Ketoconazole Tolnaftate
Oxiconazole Haloprogin
Econazole
Sistemik Ketoconazole Terbinafrin Grisouvulfin
Itraconazole ( fungistatik)
Fluconazole

Adapun plan treatmen yang digunakan dalam kasus ringworm adalah


(Sheinberd et al., 2017).
 Obat yang digunakan secara topikal adalah azol; Ini mengubah
fluiditas dan permeabilitas membran dan menghasilkan
penghambatan pertumbuhan dan replikasi seluler, sementara
pengobatan antijamur topikal mengurangi kontaminasi lingkungan
pada dermatofi (Kurtdedeet al.,2014). Produk topikal harus diberikan
ke dalam lesi dan menyebar 2cm ke arah luar dalam jaringan sehat.
Produk topikal terbaru sudah tersediaadalah sertaconazole, yang
selain fungostatik, memiliki efek antipruritus berkepanjangan.
Luliconazole adalah produk topikal baru lainnya untuk digunakan
pada manusia yang disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) pada tahun 2013.

12
 Penggunaan obat sistemik ditunjukkan pada kasus infeksi ekstensif,
pasien dengan imunosupresi, dan juga ketika produk topikal gagal.
Tujuannya memberikan resolusi infeksi jamur (Kurtdedeet al.,2014). .
Obat yang dapat digunakan adalah Griseofulvin yang tetap menjadi
antijamur pilihan. Itraconazole dianggap lebih aman daripada
ketokonazol. Ketokonazol efektif pada banyak infeksi namun
membawa peningkatan risiko masalah hati. Dalam kasus anjing,
ketokonazol sangat efektif dan dapat ditoleransi dengan baik dengan
dosis 5mg per kilogram untuk jangka waktu yang pendek.
Itraconazole lebih aman pada anjing dan bisa digunakan pada kucing
namun biayanya biasanya merupakan faktor pembatas.
 Untuk pencegahan dan pengendalian infeksi, lakukan prosedur
pembersihan dan desinfeksi habitat hewan, serta perlakuan tepat
waktu terhadap pasien yang terinfeksi.
 Anjing dimandikan dengan sulfur untuk membantu penyembuhan.
 Terapi suportif yang diberikan vi-sorbid yang merupakan
multivitamin dan cod liver oil untuk membantu regenerasi rambut
serta menjaga kesehatannya.
Tabel 3.Adapun obat antifungi yang dapat digunakan yaitu (plumbs, 2011):
Griseofulvin Keterangan
Indikasi Obat antifungi yang digunskan terutama untuk
kurap dan infeksi dermatofit lainnya berupa
jamuur.Akan bekerja,baik pada lapisan kulit dan
menghambat mitosis fungi.Aktifitas antifungi
terbatas pada dermatofita
Kontraindikasi Tidak dianjurkan untuk hewan yang
bunting,Hipersensitifitas
Dosis Anjing:Microsize: 25 mg/kg q12h PO untuk
42–56 hari Ultramicrosize: 5–10 mg/kg PO
sekli sehari untuk 42 hari
Frekuensi Microsize :q12h PO untuk 42–56 hari
Ultramicrosize: q24h untuk 42 hari

13
Rute PO
Efek samping Anoreksia, diare,anemia,leucopenia
Nama Paten Fulvisin
Ketoconazole
Indikasi Obat antifungi azole efektif membunuh
dermatophyta, dan varietas fungi sistemik
seperti Histoplasma,Blastomices, dan
Coccidioides.
Kontraindikasi Hiersensitivitas
Dosis Anjing: 15 mg/kg PO q12h
Frekuensi q12h
Rute PO
Efek samping Muntah,diare dan nyeri hepatic
Nama paten Nizoral

Mekanisme dan Interaksi obat


Griseofulvin
Mekanisme kerja : Obat ini menghambat mitosis jamur dengan berkaitan dengan
mikrotubulus dan menghambat polimerisasi tubulin menjadi mikrotubulus.
Griseofulvin tidak larut air. Obat diberikan per oral, dan hanya sekitar 50% dosis
oral yang masuk ke sirkulasi.Absorbsi meningkat bila diberikan bersama
lemak.Infeksi kulit dan rambut memerlukan terapi 4-6 minggu, kuku tangan
sampai 6 bulan, dan kuku kaki memerlukan 1 tahun terapi .Griseofulvin
dimetabolisme di hati dengan dealkilasi dan metabolitnya yang inaktif diekskresi
dalam urine sebagai glukuronid. Griseofulvin menghambat jamur dari spesies
Microsporum,Tricophyton, dan Epidermophyton.Griseofulvin biasanya hanya
digunakan untuk mengobati infeksi dermatofit pada kulit, kuku atau rambut.
Griseofulvin tersedia dalam bentuk tablet 125, 250, dan 500 mg, dan suspensi 125
mg/ml.
Interaksi Obat : Absorbsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan
fenobarbital tetapi efek tersebut dapat dikurangi dengan cara mengkonsumsi

14
griseofulvin bersama makanan. Obat ini juga dapat menurunkan efektifitas
warfarin yang merupakan antikoagulan. Kegagalan kontrasepsi telah dilaporkan
pada pasien yang mengkonsumsi griseofulvin dan oral
Ketokenazole
Mekanisme kerja: Obat ini mempunyai aktivitas antijamur terhadap Candida,
Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis,
Sporothrix spp, dan Paracoccidioides brasiliensis. Ketokonazol bisa diberikan per
oral atau topikal. Pada pemberian oral, obat ini diserap baik pada saluran cerna
(75%), dan absorpsi meningkat pada pH asam. Dalam plasma, 84% ketokonazol
berikatan dengan protein plasma terutama albumin, 15% berikatan dengan sel
darah dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol dimetabolisme secara ekstensif
oleh hati.Sebagian besar ketokonazol diekskresi bersama cairan empedu ke lumen
usus dan hanya sebagian kecil yang keluar bersama urine.. Ketokonazol tersedia
dalam bentuk tablet 200 mg, gel/krim 2%, dan scalp solution 20 mg/ml.
Interaksi Obat: Konsentrasi serum Ketokenazole dapat menurun pada pasien
yang mengkonsumsi obat yang dapat menurunkan sekresi asam lambung seperti
antacid, sehingga obat ini di berikan setelah 2 jam pemberian ketokenazole (
Plumbs, 2011).

15
PEMBAHASAN
Kasus
Signalement
Anjing bernama Ludwig, ras lokal, jenis kelamin jantan, umur 1 tahun 6
bulan, berat badan 14 kg. Anamnesa Anjing menderita sakit kulit selama 6
bulan terakhir. Anjing jarang dimandikan oleh pemiliknya dan tidak pernah
dikandangkan, dibiarkan. Diberikan pakan berupa nasi yang dicampurkan
dengan ayam.
Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik diperoleh data anjing bernama Bleky berupa
suhu tubuhnya normal 38,2○C, respirasi 33x/menit, denyut jantung 83x/menit,
pulsus 80x/menit, CRT < 2 detik, kulit banyak terdapat lesi.
Gejala dan Tanda Klinis
Beberapa gejala klinis yang terlihat adalah anjing mengalami kegatalan pada
bagian tubuh yang terdapat lesi. Sedangkan tanda klinis yang terlihat seperti
adanya alopesia anular pada daerah daun telinga, kaki depan, kaki belakang,
leher dan kelopak mata. Sisikditemukan di bagian kaki depan, kaki belakang
dan perut. Krusta di bagian kaki belakang. Makula terdapat pada daerah kaki
depan dan kaki belakang. Hiperkeratosis pada kaki belakang.
Pemeriksaan Kerokan Kulit dan Wood’s Lamp
Pemeriksaan secara mikroskopis dilakukan terhadap sampel kerokan kulit dan
rambut. Dilakukan dengan metode natif/langsung dengan cara mengerok
pinggiran atau tepi lesi dan debris-debris menggunakan scapel. Kemudian
ditaruh di atas objek glas kemudian ditutup dengan cover glas. Setelah itu,
diberikan KOH 10% berfungsi sebagai agen keratolitik yaitu untuk melisiskan
keratin yang ada pada kerokan kulit dan rambut. Dari hasil pemeriksaan
kerokan kulit ditemukan arthrospora dari dermatofita. Spora diidentifikasi
berupa bentukan bulat yang berkoloni yang berwarna bening. Pada
pemeriksaan trikogram, terlihat rambut mengalami kerusakan pada batangnya,
struktur atau bagian-bagian rambut sudah tidak jelas. Pada pemeriksaan
dengan menggunakan Wood’s Lamp dilakukan dengan langsung diamati pada
tiap lesi. Jika ada pendaran berwarna hijau kekuningan itu berarti terdapat

16
agen dermatofitosis. Pendaran berwarna hijau kekuningan akibat dari reaksi
metabolit dermatofita dengan sinar ultra ultraviolet.

Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, gajala dan tanda klinis,
pemeriksaan kerokan kulit dan wood’s lamp, dapat disimpulkan bahwa anjing
lokal yang bernama Bleky didiagnosa dermatofitosis.
Pengobatan
Pengobatan secara sistemik dan topical untuk infeksi jamur
dermatofitosis diberikan griseofulvin dan salep ketokenazole 2 %.
Griseofulvin merupakan obat antifungal yang bersifat fungistatik, yang
bekerja dengan cara menghambat mitosis sel jamur berikatan dengan protein
mikrotubular (Wientarsih et al., 2012). Cara mengaplikasikan griseofulvin
diberikan peroral satu tablet sehari dan dapat diberikan dengan cara
mencampurkan obat tersebut dengan makanan. Sedangkan salep ketokenazole
2% merupakan obat antifuingal azole (imidazole). Mekanisme kerjanya sama
dengan antifungal azole lain, yaitu menghambat sintesis ergosterol pada
dinding sel fungi. Dioleskan ke bagian lesi dan diberikan terapi supportif vi-
sorbid yang merupakan multivitamin dan cod liver oil untuk membantu
regenerasi rambut serta menjaga kesehatannya.
Tata laksana
Prinsip pengobatan dengan menghilangkan faktor predisposisi dan
pemberian terapi farmakologis. Obat anti jamur oral secara umum lebih baik

17
dari topikal namun memiliki efek samping sistemik dan interaksi obat yang
lebih berbahaya.
Perhitungan Dois
DP = DA X BB/DS
DA : 15 mg/kg
BB : 14 kg
DS : 125 mg
Frekuensi : 2 kali sehari (PO) diberikan selama 14 hari

Griseofulvin
DP= 15 mg/kg x 14kg
125 mg
DP= 210 = 1,68 mg x 14 Hari x 2 =
125 mg
DP= 23,52 = 48 mg

18
Klinik Hewan Pendidikan Unhas
Drh.Ayu Indah
Jl. Almarkas Al Islmi Kompleks Perum Dosen Unhas Blok ix
Telp: (0401) 123456
SIP:018/XXXXX/DKPPP/XII/2017

No.Resep: 001 Makassar, 07 September 2018

R/ Griseofulvin cap 48 mg
m.f. la.dtd da.in caps .No. I
S. b.dd 1,68 mg

R/ Ketokenazole 2% tube 5 mg No. I


s.u.e. 2.dd dipplic part dol.m.et.v

Pro : Ludwig ( Anjing,jantan) 14 kg, 1 tahun 6 bulan


Pemilik: Inri
Alamat : Jl.AP. Pettarani

Pembahasan
Ringworm atau dermatofitosis adalah infeksi oleh kapang pada bagian
kutan (kulit).Penyakit kulit menular ini pada ternak tidak berakibat fatal, namun
sangat mengganggu, pada anjing penyakit ini sangat tidak berestetika sebagai
hewan peliharaan yang dekat dengan manusia. Ringworm menyerang hewan dan
manusia. Dermatofitosis ini dapat menular antar sesama hewan dan antara
manusia dengan hewan (antropozoonosis) dan hewan ke manusia (zoonosis) dan
merupakan penyakit mikotik yang yang tertua di dunia.
Dalam pemeriksaan klinis, dermatofitosis pada hewan dengan lesi yang
terdiri dari kombinasi alopesia, hiperkeratosis, makula, sisik dan krusta. Lesi-lesi
tersebut ditemukan di bagian daun telinga, wajah, kaki depan, kaki belakang dan
bagian perut. Lesi klasik pada anjing umumnya memiliki batasan dengan radang
aktif di pinggiran lesi. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Outerbridge (2006)

19
bahwa dermatofitosis pada anjing biasanya menimbulkan lesi lokal, paling sering
ditemukan pada wajah, kaki depan, kaki belakang, perut bagian bawah dan ekor.
Pengobatan secara sistemik diberikan dan topikal untuk infeksi jamur
dermatofitosis diberikan itraconazole dan salep ketoconazole . Itraconazole aktif
terhadap berbagai jamur termasuk dermatofita. Mekanisme kerja itraconazole
sama dengan antijamur azole lainnya, yaitu menghambat mediasi sitokrom P450
oksidase untuk sintesis ergosterol, yang diperlukan untuk dinding sel jamur.
Itraconazole diserap optimal pada pemberian bersama makanan dan pH
asam.Obat ini dikonsumsi sekali sehari secara oral. Obat ini memiliki
bioavabilitas yang sangat tinggi dan penyerapan yang sempurna, tidak memiliki
efek samping yang humoral disbanding keroconazole, dimana dapat menurunkan
cortisol konsentrasi testoteron. Sebaliknya dapat meningkatkan konsentrasi
progesterone (Dharmajono, 2001), sedangkan salep ketoconazole 2% merupakan
obat antifungal azole (imidazole). Mekanisme kerjanya sama dengan obat
antifungal azole lain, yaitu menghambat sintesis ergosterol pada dinding sel fungi.
Efektif membunuh dermatofita dan varietes fungi sistemik seperti Histoplasma,
Blastomyces dan Coccidioides. Ketoconazole 2% dapat dioleskan ke bagian lesi-
lesi (Plumbs, 2011). Anjing dimandikan dengan sulfur untuk membantu
penyembuhan. Terapi suportif yang diberikan vi-sorbid yang merupakan
multivitamin dan cod liver oil untuk membantu regenerasi rambut serta menjaga
kesehatannya.

20
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan laboratorium, maka anjing


lokal yang bernama Ludwig di diagnosa mengalami dermatofitosis. Pengobatan
yang diberikan berupa griseofulvin yang diaplikasikan secara peroral sebagai
terapi sistemik dan ketoconazole 2% sebagai terapi topikal. Untuk pengobatan
alternatif dapat berikan obat antifungal berupa ketoconazole, itraconazole
fluconazole dan terbinafrin.

21
DAFTAR PUSTAKA

Adzima, V. Faisal, J. dan Mahdi, A. 2013. Isolasi dan Identifikasi Kapang


penyebab Dermatofitosis pada Anjing di Kecamatan Syiah Kuala Banda
Aceh. Volume 17, No. 1, Februari 2013.

Ahmad, RS. 2007. Permasalahan dan Penanggulangan Ringworm pada Hewan.


Balai Penelitian Veteriner.

Barr, S.C dan Dwight, D. B. 2006. Canine And Feline Infectious Diseaase
And Parasitology. Ithaca, New York.

Dharmojono . 2001. Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Edisi I. Jakarta

Gholib, D. dan Rachmawati, 2010. Kapang Dermatofit Trichophyton


verrucosum Penyebab Penyakit Ringworm pada Sapi.

Lakshmipathy, Deepika T danKrishnan Kannabiran, 2010. Review


ondermatomycosis: pathogenesis and treatment. Vol.2, No.7, 726-731. 3
April 2010.

Kementrian Pertanian Direktoral Jendral Peternakan Dan Kesehatan Hewan,


2012.

Kurtded, A, et al. 2014 Dermatophytosis caused by Trichophyton mentagrophytes


var. erinacei in a dog: a case report. Veterinarni Medicina, 59, 2014 (7):
349–351

Plumbs. 2011. Veterinary Drug Handbook. 7 th Edition. Pharma Vet Inc.

Printer, L and Zrinka, S. 2004. A Restrospective Study Of Trichophyton


mentagrophytes Infection In Dog. Veterinarski Arhiiv. 74 (4).251-260.

Sabra, S.M.M and Salem, M. 2015. Field Study On Farm Workers


Occupational.

Health Hazards Associated with Camels Zoonotic Dermatophytosis, with


Reference to Fungal Etiology, and Morbidity Rates, Taif, KSA. (2015),
Volume 3, Issue 10 , 1817 – 1827. 18 Agustus 2015.

Sheinberg , G. et al. 2017. Dermatophytes From A Zoonituc Point Of View .


VOL 6, Issue 1, Page No. 1856-1861. Januari 2017.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular Dari Hewan Ke Manusia. Volume


I. Yogyakarta.

Tjay, T.H dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Jakarta

22
Yossea, Tanti. 2015. Diagnosis And Treatment Of Tinea Cruris.

23

Anda mungkin juga menyukai