Disusun Oleh :
Pembimbing:
FAKULTAS KEDOKTERAN
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
Disusun oleh :
Muhammad Fiqi Ferdian
30101407248
Pembimbing,
1. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan sensitasi dari tungau
(mite) Sarcoptes scabei var hominis dan produknya, yang termasuk dalam kelas Arachnida.
Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat
mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan, di Jawa sering disebut gudik
sedangkan orang sunda menyebutnya budug. (Ratnasari et al., 2014)
Sarcoptes scabei menyerang bagian kulit yang tipis dan lembab seperti pada bayi yang
seluruh kulitnya masih tipis sehingga seluruh tubuhnya dapat terserang, sedangkan
dikarenakan kulit orang dewasa sudah mengalami perubahan menjadi hanya bagian tertentu
saja yang tipis sehingga predileksi terserangnya hanya di tempat tertentu saja seperti diantara
jari-jari tangan, pada alat genitalia serta bokong. (Boediardja et al., 2015)
2. Epidemologi
World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian Skabies pada tahun
2014 sebanyak 130 juta orang didunia.(WHO, 2009) Tahun 2014 menurut Internasional
Alliance for the Control Of Scabies (IACS) kejadian Skabies bervariasi mulai dari 0,3%
menjadi 46%. (IACS, 2009) Kejadian Skabies pada Tahun 2015 juga berprevalensi tinggi di
beberapa Negara di antaranya Mesir diperoleh (4,4%), Nigeria (10,5%), Mali (4%), Malawi
(0,7%), dan Kenya (8,3%). Insiden tertinggi terjadi pada anak – anak dan remaja.(Salah
Hegab et al., 2015)
Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan karena Indonesia
merupakan Negara beriklim tropis. Prevalensi scabies di Indonesia menurut data Depkes RI
sudah terjadi cukup penurunan dari tahun ke tahun terlihat dari data prevalensi tahun 2008
sebesar 5,60% - 12,96%, prevalensi tahun 2009 sebesar 4,9 - 12, 95 % dan data terakhir yang
didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia tahun 2013 yakni 3,9 – 6 %. Walaupun terjadi
penuruan prevalensi namun dapat dikatakan bahwa Indonesia belum terbebas dari penyakit
skabies dan masih menjadi salah satu masalah penyakit menular di Indonesia.(Ridwan et al.,
2017) Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2010 prevalensi
kejadian penyakit scabies sebesar 3,57%, pada tahun 2011 pravalensi kejadian penyakit
scabies sebesar 4,27%, dan pada tahun 2012 pravalensi kejadian penyakit scabies sebesar
4,5%. Skabies ini sering dikaitkan sebagai penyakitnya anak pesantren alasannya karena anak
pesantren suka/gemar bertukar, pinjam meminjam pakaian,handuk, sarung, bahkan bantal,
guling dan kasurnya kepada sesamanya, sehingga disinilah faktor penyebab penyakit mudah
tertular dari satu santi ke santri yang lain. Berdasarkan data puskesmas mekar, dipondok
pesantren Darul Mukhlisin didapatkan bahwa, pada tahun 2012 kasus penyakit scabies
mencapai 239 yang menduduki di urutan ke 5 kasus tertinggi yang terjadi di Puskesmas
tersebut. Halini tergambar pada penelitian yang dilakukan bahwa prevalensi Skabies pada
Pondok pesantren di Kabupaten Lamongan sebanyak 64,2%, sejalan dengan hasil penelitian
di Pasuruan prevalensi Skabies di pondok pesantren adalah 70%.( Kuspriyamto, 2002)
3. Etiologi
Penyebabnya adalah Sarcoptes Scabies
a. Klasifikasi
Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai
akibat infestasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes Scabies terbentuk
Filum Arthropoda, kelas Arachida, Ordo Akrarima, super famili Sarcoptes. Pada
manusia disebut Sarcoptes Scabies Var Hominis. (Djuanda, 2010)
b. Kebiasaan Hidup
Tempat yang paling disukai oleh kutu betina adalah bagian kulit yang tipis dan
lembab, yaitu daerah sekitar sela jari tangan, siku, pergelangan tangan, bahu dan
daerah kemaluan. Pada bayi yang memeliki kulit serba tipis, telapak tangan, kaki,
muka dan kulit kepala sering diserang kutu tersebut (Boediardja et al., 2015).
c. Siklus Hidup
Kopulasi (perkawinan) dapat terjadi dipermukaan kulit, yang jantan mati
setelah membuahi tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali
terowongan dalam startum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 hingga 50. Bentuk betina yang dibuhai dapat hidup
sebulan lamanya. Biasanya dalam waktu 3-10 hari telur akan menetas, dan menjadi
larva. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan dan dapat juga diluar. Setelah 2-3
hari, larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina. Seluruh
siklusnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari.
(Boediardja et al., 2015) Perkembangan skabies dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: keadaan social ekonomi yang rendah, hygiene perorangan yang buruk,
kepadatan penduduk yang tinggi, sering berganti pasangan seksual, minimnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies, kesalahan diagnosa dan
penatalaksanaannya (Mansjoer A, 2008).
Sumber: (Tan, 2017)
d. Morfologi
Ukuran bentuk betina berkisar antara 330-450 mikron kali 250-350 mikro.
Ukuran jantan lebih kecil 200-240 mikro kali 150-200 mikro. Permukaan tubuhnya
bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang
berjalan transversal (Gambar 1). Larva mempunyai 3 pasang kaki sedangkan nimpa
memiliki 4 pasang kaki. Bentuk dewasa memiliki 2 pasang kaki didepan sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina terakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat. (Boediardja et al., 2015)
Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung,
adapun cara penularannya adalah:
I. Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual
merupakan hal tersering, sedangkan pada anak - anak penularan didapat dari orang tua
atau temannya.
II. Kontak tidak langsung (melalui benda)
Misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan
mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir
menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies
dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut. (Djuanda, 2010).
4. Patogenisis
8. Terapi
Syarat Obat yang Ideal:
a. Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
b. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
c. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
d. Mudah diperoleh dan harganya murah.
e. Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita
yang hiposensitasi). (Boediardja et al., 2015)
a. Permetrin 5% krim aplikasi hanya sekali dioleskan di kepala sampai kaki dan
dibersihkan setelah 8-12 jam. Perawatan harus diulang setelah 7-14 hari. Tidak
dianjurkan pada bayi usia dibawah 2 tahun. Permetrin aman pada kehamilan dan
menyusui. (Boediardja et al., 2015)
b. Ivermectin oral (diminum dengan makanan) 200 mikrogram / kg 1x 1 minggu lalu
diulang minggu ke 2 dengan dosis yang sama. Obat ini biasanya digunakan untuk
mengontrol scabies di tempat yang beresiko tinggi misalnya panti jompo, penjara,
pesantren, dan asrama. Obat ini tidak disarankan pada ibu hamil dan anak – anak
dengan berat badan kurang dari 15kg.
c. Benzil benzoat lotion 20-25% diterapkan sekali sehari di malam hari selama 3 hari.
Efektif terhadap semua stadium akan tetapi obat ini sulit diperoleh, sering memberi
iritasi, dan terkadang setelah dipakai makin gatal dan panas. Obat ini aman pada
kehamilan. (Boediardja et al., 2015)
d. Gamma Benzena heksa klorida (Gammexane) kadar 1% dalam sediaan krim atau
losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6
tahun dan ibu hamil karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup
sekali kecuali jika masih ada gejala, diulangi seminggu kemudian. (Boediardja et al.,
2015)
e. Krotamiton 10% dalam sediaan krim atau salep juga merupakan obat pilihan yang
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal, tapi harus dijauhkan dari mata,
mulut, dan uretra. (Boediardja et al., 2015)
f. Sulfur Presipitatum 4 – 20% dalam sediaan krim atau salep yang digunakan selama 3
hari berturut – turut. Obat dapat digunakan pada bayi kurang dari 2 tahun akan tetapi
dapat menimbulkan iritasi, berbau tidak sedap, mengotori pakaian, dan tidak efektif
pada stadium telur. (Boediardja et al., 2015)
Skabies berkrusta
Sebuah skabisida topikal (permethrin 5% krim atau benzil ben-Zoate lotion 25%)
diulang setiap hari selama 7 hari kemudian 2x seminggu sampai sembuh.
Oral ivermectin 200 mikrogram / kgbb pada hari 1, 2 dan 8. Untuk kasus yang
parah, ivermectin tambah mungkin diperlukan pada hari 9 dan 15 atau pada hari 9, 15,
22 dan 29.(Salavastru et al., 2017)
9. Pencegahan
a. Lakukan edukasi pada pasien tentang penyakit scabies, perjalananya, penularanya,
cara eradikasi tungau scabies, menjaga hygiene pribadi, dan tata cara pengolesan obat.
(Boediardja et al., 2015)
b. Orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan
skabisid topical.(Tan, 2017)
c. Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya
mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita,
mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya
merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini
sangat mengganggu kehidupan sehari - hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara
tuntas, tidak menjaminterbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan
antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
d. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab. (Depkes, 2007)
DAFTAR PUSTAKA
1. Boediardja, Siti Aisah. dan Handoko, Ronny P. (2015) Skabies. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Djuanda, A. (2010) “Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin”. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. IACS. (2014) “Skabies”.http;//www.controlscabies.org/about-scabies/. Tanggal 19
Agustus 2018;
4. Kuspriyamto.(2002) “Pengaruh Sanitasi dan Higiene Perorangan Terhadap Penyakit
Kulit.” Tesis. Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga.
5. Mansjoer, A. (2008). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
6. Novitasari (2018) "Laporan Pendahuluan Scabies Di Ruang Kie Puskesmas Arjuno
Malang". Malang.
7. Ratnasari, A. F. dan Sungkar, S. (2014) “Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur,” eJKI. doi: 10.23886/ejki.2.3177.
8. Ridwan, A. R., Sahrudin dan Ibrahim, K. (2017) “Hubungan Pengetahuan, Personal
Hygiene , dan Kepadatan Hunian dengan Gejala Penyakit Skabies Pada Santri di
Pondok Pesantren Darul Muklisin Kota Kendari 2017,” Jimkesmas, 2(6), hal. 1–8.
9. Salah Hegab, D., Mahfouz Kato, A., Ali Kabbash, I. dan Maged Dabish, G. (2015)
“Scabies among primary schoolchildren in Egypt: Sociomedical environmental study
in Kafr El-Sheikh administrative area,” Clinical, Cosmetic and Investigational
Dermatology. doi: 10.2147/CCID.S78287.
10. Salavastru, C. M., Chosidow, O., Boffa, M. J., Janier, M. dan Tiplica, G. S. (2017)
“European guideline for the management of scabies,” Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology, 31(8), hal. 1248–1253. doi:
10.1111/jdv.14351.
11. Tan, S. T. (2017) “Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup,” Cdk-245, 44(7), hal.
507–10. Tersedia pada: http://www.kalbemed.com/Portals/6/19_254CME-Scabies-
Terapi Berdasarkan Siklus Hidup.pdf.
12. Wardhana, A. H. dan Manurung, J. (2006) “Skabies : tantangan penyakit zoonosis
masa kini . dan masa datang,” (30), hal. 40–52.
13. WHO. (2009) “Epidemiology and management of common skin disease in children in
developing countries”;