Anda di halaman 1dari 13

JOURNAL READING

European guideline for the management of scabies


Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam
menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin di RST Tingkat II Dokter Soedjono

Disusun Oleh :

Muhammad Fiqi Ferdian


30101407248

Pembimbing:

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, Sp. KK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2018
LEMBAR PENGESAHAN

JOURNAL READING

European guideline for the management of scabies

Tugas Kepanitraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin RST TK II dr. Soedjono Magelang
Periode 13 Agustus – 8 September 2018

Disusun oleh :
Muhammad Fiqi Ferdian
30101407248

Magelang, Agustus 2018


Telah dibimbing dan disahkan oleh,

Pembimbing,

Letkol CKM (K) dr. Susilowati, SpKK


Tinjauan Pustaka

1. Definisi
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi dan sensitasi dari tungau
(mite) Sarcoptes scabei var hominis dan produknya, yang termasuk dalam kelas Arachnida.
Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat
mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan, di Jawa sering disebut gudik
sedangkan orang sunda menyebutnya budug. (Ratnasari et al., 2014)
Sarcoptes scabei menyerang bagian kulit yang tipis dan lembab seperti pada bayi yang
seluruh kulitnya masih tipis sehingga seluruh tubuhnya dapat terserang, sedangkan
dikarenakan kulit orang dewasa sudah mengalami perubahan menjadi hanya bagian tertentu
saja yang tipis sehingga predileksi terserangnya hanya di tempat tertentu saja seperti diantara
jari-jari tangan, pada alat genitalia serta bokong. (Boediardja et al., 2015)

2. Epidemologi
World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian Skabies pada tahun
2014 sebanyak 130 juta orang didunia.(WHO, 2009) Tahun 2014 menurut Internasional
Alliance for the Control Of Scabies (IACS) kejadian Skabies bervariasi mulai dari 0,3%
menjadi 46%. (IACS, 2009) Kejadian Skabies pada Tahun 2015 juga berprevalensi tinggi di
beberapa Negara di antaranya Mesir diperoleh (4,4%), Nigeria (10,5%), Mali (4%), Malawi
(0,7%), dan Kenya (8,3%). Insiden tertinggi terjadi pada anak – anak dan remaja.(Salah
Hegab et al., 2015)
Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan karena Indonesia
merupakan Negara beriklim tropis. Prevalensi scabies di Indonesia menurut data Depkes RI
sudah terjadi cukup penurunan dari tahun ke tahun terlihat dari data prevalensi tahun 2008
sebesar 5,60% - 12,96%, prevalensi tahun 2009 sebesar 4,9 - 12, 95 % dan data terakhir yang
didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia tahun 2013 yakni 3,9 – 6 %. Walaupun terjadi
penuruan prevalensi namun dapat dikatakan bahwa Indonesia belum terbebas dari penyakit
skabies dan masih menjadi salah satu masalah penyakit menular di Indonesia.(Ridwan et al.,
2017) Berdasarkan profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2010 prevalensi
kejadian penyakit scabies sebesar 3,57%, pada tahun 2011 pravalensi kejadian penyakit
scabies sebesar 4,27%, dan pada tahun 2012 pravalensi kejadian penyakit scabies sebesar
4,5%. Skabies ini sering dikaitkan sebagai penyakitnya anak pesantren alasannya karena anak
pesantren suka/gemar bertukar, pinjam meminjam pakaian,handuk, sarung, bahkan bantal,
guling dan kasurnya kepada sesamanya, sehingga disinilah faktor penyebab penyakit mudah
tertular dari satu santi ke santri yang lain. Berdasarkan data puskesmas mekar, dipondok
pesantren Darul Mukhlisin didapatkan bahwa, pada tahun 2012 kasus penyakit scabies
mencapai 239 yang menduduki di urutan ke 5 kasus tertinggi yang terjadi di Puskesmas
tersebut. Halini tergambar pada penelitian yang dilakukan bahwa prevalensi Skabies pada
Pondok pesantren di Kabupaten Lamongan sebanyak 64,2%, sejalan dengan hasil penelitian
di Pasuruan prevalensi Skabies di pondok pesantren adalah 70%.( Kuspriyamto, 2002)

3. Etiologi
Penyebabnya adalah Sarcoptes Scabies
a. Klasifikasi
Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun lalu sebagai
akibat infestasi tungau Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes Scabies terbentuk
Filum Arthropoda, kelas Arachida, Ordo Akrarima, super famili Sarcoptes. Pada
manusia disebut Sarcoptes Scabies Var Hominis. (Djuanda, 2010)
b. Kebiasaan Hidup
Tempat yang paling disukai oleh kutu betina adalah bagian kulit yang tipis dan
lembab, yaitu daerah sekitar sela jari tangan, siku, pergelangan tangan, bahu dan
daerah kemaluan. Pada bayi yang memeliki kulit serba tipis, telapak tangan, kaki,
muka dan kulit kepala sering diserang kutu tersebut (Boediardja et al., 2015).
c. Siklus Hidup
Kopulasi (perkawinan) dapat terjadi dipermukaan kulit, yang jantan mati
setelah membuahi tungau betina. Tungau betina yang telah dibuahi menggali
terowongan dalam startum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan
sambil meletakkan telurnya 2 hingga 50. Bentuk betina yang dibuhai dapat hidup
sebulan lamanya. Biasanya dalam waktu 3-10 hari telur akan menetas, dan menjadi
larva. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan dan dapat juga diluar. Setelah 2-3
hari, larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina. Seluruh
siklusnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari.
(Boediardja et al., 2015) Perkembangan skabies dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain: keadaan social ekonomi yang rendah, hygiene perorangan yang buruk,
kepadatan penduduk yang tinggi, sering berganti pasangan seksual, minimnya
pengetahuan masyarakat tentang penyakit skabies, kesalahan diagnosa dan
penatalaksanaannya (Mansjoer A, 2008).
Sumber: (Tan, 2017)
d. Morfologi
Ukuran bentuk betina berkisar antara 330-450 mikron kali 250-350 mikro.
Ukuran jantan lebih kecil 200-240 mikro kali 150-200 mikro. Permukaan tubuhnya
bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis-garis paralel yang
berjalan transversal (Gambar 1). Larva mempunyai 3 pasang kaki sedangkan nimpa
memiliki 4 pasang kaki. Bentuk dewasa memiliki 2 pasang kaki didepan sebagai alat
untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina terakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat. (Boediardja et al., 2015)

Sumber: (Wardhana dan Manurung, 2006)


e. Transmisi

Penularan penyakit skabies dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung,
adapun cara penularannya adalah:
I. Kontak langsung (kulit dengan kulit)
Penularan skabies terutama melalui kontak langsung seperti berjabat tangan,
tidur bersama dan hubungan seksual. Pada orang dewasa hubungan seksual
merupakan hal tersering, sedangkan pada anak - anak penularan didapat dari orang tua
atau temannya.
II. Kontak tidak langsung (melalui benda)
Misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan
mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir
menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies
dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut. (Djuanda, 2010).

4. Patogenisis

Sumber: (Novitasari, 2018)


Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap
sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi.
Pada saat itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel,
urtika dan lain -lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder. (Boediardja et al., 2015)

5. Manifestasi Klinis dan Diagnostik


Diagnosa dapat ditegakkan dengan menentukan 2 dari 4 tanda dibawah ini :
a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas
tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. (Boediardja et al.,
2015)
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di pondok pesantren,
sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal
keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak
memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier). (Boediardja et
al., 2015)
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna putih
keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang satu cm, pada
ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam
kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya
biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame
(wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada
bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki. (Boediardja et al., 2015)
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat ditemukan satu atau
lebih stadium hidup tungau ini. (Boediardja et al., 2015) Adanya tanda : papula
(bintil), pustula (bintil bernanah), dan ekskoriasi (bekas garukan). Gejala yang
ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit yang umumnya
muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha, dan muncul gelembung
berair pada kulit. (Boediardja et al., 2015)

6. Bentuk Khusus Skabies


Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia adalah
sebagai berikut:
a. Skabies pada orang bersih (Scabies in the clean)
Tipe ini sering ditemukan bersamaan dengan penyakit menular lain. Ditandai
dengan gejala minimal dan sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya menghilang
akibat mandi secara teratur.
b. Skabies pada bayi dan anak kecil
Gambaran klinis tidak khas, terowongan sulit ditemukan namun vesikel lebih
banyak, dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala, leher, telapak tangan, telapak
kaki.
c. Skabies noduler (Nodular Scabies)
Lesi berupa nodul coklat kemerahan yang gatal pada daerah tertutup. Nodul
dapat bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun walaupun telah diberikan obat
anti skabies.
d. Skabies in cognito
Skabies akibat pengobatan dengan menggunakan kostikosteroid topikal atau
sistemik. Pemberian obat ini hanya dapat memperbaiki gejala klinik (rasa gatal) tapi
penyakitnya tetap ada dan tetap menular.
e. Skabies yang ditularkan oleh hewan (Animal transmited scabies)
Gejala ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat
pada tempat-tempat kontak, dapat sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan
mandi yang bersih.
f. Skabies krustosa (crustes scabies / scabies Norwegia)
Tipe ini jarang terjadi, namun bila ditemui kasus ini, dan terjadi keterlambatan
diagnosis maka kondisi ini akan sangat menular.
g. Skabies terbaring di tempat tidur (Bed ridden)
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus terbaring di tempat
tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas. (Emier, 2007).

7. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui pemeriksaan
mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapacara antara lain:
a. Kerokan kulit
Teteskan minyak mineral di atas liang dan kemudian menggoreskan
longitudinal menggunakan skapel no 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek, diberi
kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20x atau100x dapat dilihat tungau.
Pemeriksaan mikroskopik dengan minyak mineral setelah dilakukan pengerokan kulit
yang didapatkan kutu betina yang hamil dengan telur berbentuk oval, telur warna
keabuan dan terdapat kotoran.(Salavastru et al., 2017)
b. Pengambil tungau dengan jarum
Mula – mula carilah terowongan kemudian pada ujung yang terlihat papul atau
vesikel dicongkel dengan jarum dan diletakan diatas objek glass, lalu ditutup dengan
kaca penutup dan dilihat dengan mikroskop cahaya. (Boediardja et al., 2015)

c. Epidermal shave biopsi


Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai diantara ibu jari dan jari
telenjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan skapel no 15 yang dilakukan
sejajar dengan kulit.Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga tidak terjadi
pendarahandan tidak perlu anastesi spesimen diletakan pada gelas objek lalu ditetesi
minyak mineral dan diperiksa dengan mikroskop cahaya. (Salavastru et al., 2017)
d. Tes tinta Burrow
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis karakteristik, berbelok-
belok, karena tinta yang masuk. Tes ini dapat dilakukan pada anak-anak dan pasien
non-koperatif. (Salavastru et al., 2017)

8. Terapi
Syarat Obat yang Ideal:
a. Harus efektif terhadap semua stadium tungau.
b. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.
c. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian.
d. Mudah diperoleh dan harganya murah.
e. Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita
yang hiposensitasi). (Boediardja et al., 2015)

a. Permetrin 5% krim aplikasi hanya sekali dioleskan di kepala sampai kaki dan
dibersihkan setelah 8-12 jam. Perawatan harus diulang setelah 7-14 hari. Tidak
dianjurkan pada bayi usia dibawah 2 tahun. Permetrin aman pada kehamilan dan
menyusui. (Boediardja et al., 2015)
b. Ivermectin oral (diminum dengan makanan) 200 mikrogram / kg 1x 1 minggu lalu
diulang minggu ke 2 dengan dosis yang sama. Obat ini biasanya digunakan untuk
mengontrol scabies di tempat yang beresiko tinggi misalnya panti jompo, penjara,
pesantren, dan asrama. Obat ini tidak disarankan pada ibu hamil dan anak – anak
dengan berat badan kurang dari 15kg.
c. Benzil benzoat lotion 20-25% diterapkan sekali sehari di malam hari selama 3 hari.
Efektif terhadap semua stadium akan tetapi obat ini sulit diperoleh, sering memberi
iritasi, dan terkadang setelah dipakai makin gatal dan panas. Obat ini aman pada
kehamilan. (Boediardja et al., 2015)
d. Gamma Benzena heksa klorida (Gammexane) kadar 1% dalam sediaan krim atau
losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6
tahun dan ibu hamil karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup
sekali kecuali jika masih ada gejala, diulangi seminggu kemudian. (Boediardja et al.,
2015)
e. Krotamiton 10% dalam sediaan krim atau salep juga merupakan obat pilihan yang
mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal, tapi harus dijauhkan dari mata,
mulut, dan uretra. (Boediardja et al., 2015)
f. Sulfur Presipitatum 4 – 20% dalam sediaan krim atau salep yang digunakan selama 3
hari berturut – turut. Obat dapat digunakan pada bayi kurang dari 2 tahun akan tetapi
dapat menimbulkan iritasi, berbau tidak sedap, mengotori pakaian, dan tidak efektif
pada stadium telur. (Boediardja et al., 2015)

 Skabies berkrusta
Sebuah skabisida topikal (permethrin 5% krim atau benzil ben-Zoate lotion 25%)
diulang setiap hari selama 7 hari kemudian 2x seminggu sampai sembuh.
Oral ivermectin 200 mikrogram / kgbb pada hari 1, 2 dan 8. Untuk kasus yang
parah, ivermectin tambah mungkin diperlukan pada hari 9 dan 15 atau pada hari 9, 15,
22 dan 29.(Salavastru et al., 2017)

9. Pencegahan
a. Lakukan edukasi pada pasien tentang penyakit scabies, perjalananya, penularanya,
cara eradikasi tungau scabies, menjaga hygiene pribadi, dan tata cara pengolesan obat.
(Boediardja et al., 2015)
b. Orang-orang yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan
skabisid topical.(Tan, 2017)
c. Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya
mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita,
mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya
merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini
sangat mengganggu kehidupan sehari - hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara
tuntas, tidak menjaminterbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan
antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
d. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab. (Depkes, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

1. Boediardja, Siti Aisah. dan Handoko, Ronny P. (2015) Skabies. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin, edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2. Djuanda, A. (2010) “Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin”. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
3. IACS. (2014) “Skabies”.http;//www.controlscabies.org/about-scabies/. Tanggal 19
Agustus 2018;
4. Kuspriyamto.(2002) “Pengaruh Sanitasi dan Higiene Perorangan Terhadap Penyakit
Kulit.” Tesis. Surabaya: Pascasarjana Universitas Airlangga.
5. Mansjoer, A. (2008). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
6. Novitasari (2018) "Laporan Pendahuluan Scabies Di Ruang Kie Puskesmas Arjuno
Malang". Malang.
7. Ratnasari, A. F. dan Sungkar, S. (2014) “Prevalensi Skabies dan Faktor-faktor yang
Berhubungan di Pesantren X, Jakarta Timur,” eJKI. doi: 10.23886/ejki.2.3177.
8. Ridwan, A. R., Sahrudin dan Ibrahim, K. (2017) “Hubungan Pengetahuan, Personal
Hygiene , dan Kepadatan Hunian dengan Gejala Penyakit Skabies Pada Santri di
Pondok Pesantren Darul Muklisin Kota Kendari 2017,” Jimkesmas, 2(6), hal. 1–8.
9. Salah Hegab, D., Mahfouz Kato, A., Ali Kabbash, I. dan Maged Dabish, G. (2015)
“Scabies among primary schoolchildren in Egypt: Sociomedical environmental study
in Kafr El-Sheikh administrative area,” Clinical, Cosmetic and Investigational
Dermatology. doi: 10.2147/CCID.S78287.
10. Salavastru, C. M., Chosidow, O., Boffa, M. J., Janier, M. dan Tiplica, G. S. (2017)
“European guideline for the management of scabies,” Journal of the European
Academy of Dermatology and Venereology, 31(8), hal. 1248–1253. doi:
10.1111/jdv.14351.
11. Tan, S. T. (2017) “Scabies: Terapi Berdasarkan Siklus Hidup,” Cdk-245, 44(7), hal.
507–10. Tersedia pada: http://www.kalbemed.com/Portals/6/19_254CME-Scabies-
Terapi Berdasarkan Siklus Hidup.pdf.
12. Wardhana, A. H. dan Manurung, J. (2006) “Skabies : tantangan penyakit zoonosis
masa kini . dan masa datang,” (30), hal. 40–52.
13. WHO. (2009) “Epidemiology and management of common skin disease in children in
developing countries”;

Anda mungkin juga menyukai