Anda di halaman 1dari 22

TUGAS KELOMPOK II

KONSEP RUANG LINGKUP KEPERAWATAN MARITIM


KASUS PENYAKIT RABIES

STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI


T.A 2022

Oleh
KETUA : Miming Suryanti S

ANGGOTA
- Harlian - Fitriani
- Hartalia Seri Yuliana - La Ode Arfiki
- Haryono Umagapi - Lisnawati
- Hendro - Maghfirah Bakti
- Herlina - Muhammad Irfan
- Heti Nur Indasari - Narni
- Hilda Meisin Wulandari P - Nening
- Ismayuli - Ni Putu Santriani
- Iswahyudin - Ni Putu Wiwik Juni S
- Jasmawati - Nursayati Arif
- Normawati Lamaka
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
Sarcoptes scabiei var. hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas
Arachnida, ordo Acarina, famili Sarcoptidae.Skabies dapat menjangkiti semua orang
pada semua umur, ras, dan tingkat ekonomi sosial. Sekitar 300 juta kasus skabies di
seluruh dunia dilaporkan setiap tahunnya. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari
puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian skabies adalah 5,6%-
12,95%. Skabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit
tersering. Skabies seringkali diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga
prioritas penanganannya rendah. Akan tetapi, penyakit ini dapat menjadi kronis dan
berat serta menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Lesi pada skabies menimbulkan
rasa tidak nyaman karena sangat gatal sehingga penderita seringkali menggaruk dan
mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh bakteri Grup A Streptococcus dan
Staphylococcus aureus.

Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain


keadaan sosial ekonomi yang rendah, kebersihan yang buruk, hubungan seksual yang
sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografik seperti
keadaan penduduk dan ekologi. Keadaan tersebut memudahkan transmisi dan
infestasi Sarcoptes scabiei. Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya
ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal yang
tinggi seperti asrama, panti asuhan, dan penjara.

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Meskipun demikian, terdapat gambaran subyektif dan obyektif yang
dikenal dengan 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies. Tanda
tersebut antara lain adalah pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang, terdapat
terowongan, dan ditemukannya parasit.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Skabies

2.1.1 Pengertian Skabies

Skabies (kudis) merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit tungau
Sarcoptes scabei yang mampu membuat terowongan dibawah kulit dan ditularkan
melaui kontak manusia (Boediardja 2015). Di Indonesia skabies sering disebut
kudis, orang jawa menyebutnya gudik, sedangkan orang sunda menyebutnya
budug (Can moki, 2012). Skabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang kulit,
dapat mengenai semua golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau
(kutu atau mite) scabiei , Secara global, skabies dapat mengenai lebih dari 130 juta
orang setiap saat dengan tingkat kejadian skabies bervariasi dari 46% (Thomas et
al. 2015) Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh seekor
tungau (kutu) yang bernama scabiei, filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarina, superfamili scabei. Kecil ukurannya, hanya bisa dilihat di bawah lensa
mikroskop, yang hidup didalam jaringan kulit penderita, hidup membuat terowongan
yang bentuknya memanjang setiap hari (Imartha 2016). Skabies bisa menyebabkan
rasa gatal makin menjadi-jadi dimalam hari, sehingga membuat orang sulit tidur.
Dibandingkan penyakit kulit gatal lainnya, scabies merupakan penyakit kulit dengan
rasa gatal nomor satu, faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi skabies
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, higenitas pribadi yang buruk, pengetahuan
yang rendah, kontak dengan penderita, kelembaban dan kepadatan hunian yang
tinggi (Hilma & Ghazali 2014).

2.1.2 Etiologi

Skabies ialah penyakit kulit yang diakibatkan oleh infestasi dan sensitasi
tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan sejenisnya. Sarcoptes scabiei
adalah tungau dari famili Sarcoptidae, ordo Acaria, kelas Arachnida. Badannya
yang berbentuk oval, pipih datar di bagian ventral, dan convex di bagian
dorsal.Tungau yang jantan berukuran 150-200 mikron, sedangkan yang betina lebih
besar berkisar ukuran 300-350 mikron. Alat mulut terdiri dari selisere yang bergigi
dan palpi menjadi satu dengan hypostom. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang
kaki, 2 pasang menghadap ke depan sebagai alat perekat dan 2 pasang
menghadap ke belakang (Sudarsono, 2012) Setelah melakukan kopulasi yang
jantan mati dan yang betina gravid mencari tempat buat meletakkan telurnya di
stratum korneum dari kulit dengan membuat terowongan sambil meletakkan telur
4-5 butir sehari sampai dengan selesai 40-50 butir. Dalam waktu 5 hari, telur akan
menetas dan keluar larva dengan 3 pasang kaki. Larva ini akan meneruskan
membuat terowongan ke arah lateral, membuat terowongan baru dan menembus
mencari jalan keluar, setelah itu terjadi 2 stadium nimfa, lalu menjadi dewasa.
Lingkaran hidup berlangsung 8-17 hari dan tungau betina dapat hidup 2-3 minggu
sampai 1 bulan ( Griana, 2013) Skabies disebabkan oleh kutu yang transparan,
berbentuk oval, pungggungnya cembung, perutnya rata dan tidak bermata.
Kelainan kulit yang ditimbulkannya tidak hanya disebabkan oleh investasi tungau
skabies semata, tetapi juga akibat garukan oleh

penderita sendiri. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret
dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah
infestasi. Pada saat itu, terjadilah kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan
ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Sarcoptes scabiei termasuk filum
arthropoda, kelas arachnida, ordo acarina, super family sarcoptes. Penyakit skabies
sering berjangkit pada daerah yang padat penduduknya, dengan kondisi sanitasi
lingkungan dan perilaku hygiene perorangan yang tidak baik. Penularan penyakit
ini dapat terjadi karena hubungan erat/ tatacara ekspresi kekerabatan dalam
tatanan masyarakat atau keluarga, misalnya melalui kebiasaan berjabat tangan,
hubungan antara suami dan istri, ibu dan anak, serta anggota keluarga lainnya
(Rini, et al.,2015).

2.1.3 Epidemilogi

Penyakit ini menular dari hewan ke manusia (zoonosis), manusia ke hewan


bahkan dari manusia ke manusia. Cara penularannya melalui kontak langsung
maupun kontak tak langsung. Penyebaran tungau skabies melalui kontak langsung
dengan penderita skabies secara terus menerus, bisa juga menular melalui
penggunaan handuk bersamaan, sprei tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki
pasien scabies (Ira Indriaty P.B.Sopi, 2015) Ada dugaan bahwa setiap siklus 30
tahun terjadi epidemi sekabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan
penyakit tersebut, diantaranya ialah sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang
buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan demografik serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan PHS
(penyakit akibat hubungan seksual) (Djuanda, 2010).
2.1.4 Cara Penularan

Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau
dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif
tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan penularan. Sekitar
90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid.
Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap.
Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya
tungau berada di luar tubuh hospes ( buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei , Badan
Penerbit FKUI, Jakarta , 2016). Penularan penyakit skabies bisa terjadi dengan
secara langsung ataupun tidak langsung, adapun cara penularannya ialah : a.
Kontak langsung ( kulit bersentuhan langsung dengan kulit ) Penularan skabies
dapat melalui kontak langsung contohnya berjabat tangan, tidur bersama, dan
hubungan seksual , pada anak-anak atau balita biasanya penularan di dapat pada
orang tuanya (Djuanda, 2010). b. Kontak tidak langsung ( melalui benda )
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur,
pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan.
Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang
peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber
penularan utama adalah selimut. merupakan sumber utama terjadinya wabah
skabies pada rumah sakit, panti jompo, pemondokkan/asrama dan rumah sakit jiwa,
karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2010).

2.1.5 Patofisiologis

Ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulit seseorang, maka ia mulai


mengalami gejala skabies. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada
umumnya berupa terowongan yang berisi tungau Sarcoptes scabiei, telur, dan hasil
metabolisme/ekskresinya (Gambar2.1). Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis
dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-
10 mm, yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum.
Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Ketika
menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum
korneum. Sekret dan produk eksresi tersebut akan menyebabkan sensitisasi
sehingga menimbulkan lesi sekunder, berupa papul, vesikel, yang dapat dan bula.
Selain itu, dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan
pioderma (Gambar 2.2 dan 2.3). Namun, tungau hanya dapat ditemukan pada lesi
primer. ( Hilma, et.al., 2014)

2.1.6 Gejala Klinis

Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa awal
investasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas,
atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik
gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi
kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat
terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar
14 hari (Buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabies , Badan Penerbit FKUI, Jakarta ,
2016). Diagnosa skabies dapat ditegakkan dengan melihat 2 dari 4 tanda di bawah
ini (AlFalakh, 2009) :

a. Pruritus nokturnu,
artinya gatal disaat malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih
tinggi pada suhu atau cuaca yang lebih lembab dan panas
b. Penyakit skabies ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga yang terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang semua anggota keluarganya terkena. Meskipun
mengalami infeksi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat
sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya kunikulus pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabu-
abuan, yang berbentuk garis lurus atau berkeloak, rata-rata panjang 1 cm, pada
ujung luka ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi skunder ruam
kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskonasi, dan lain-lain). Tempat berkembang
biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu : sela-
sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak
bagian depan, areola mamae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna
(pria), dan perut di bagian bawah. Pada bayi atau balita dapat menyerang
telapak tangan dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Menurut Primanggono (2012) ada beberapa tanda dan gejala sekabies, yaitu :
a. Gatal Gatal menjadi salah satu gejala paling umum yang akan dirasak
ketika terkena skabies. Rasa gatal ini biasanya sangat kuat dan akan
semakin parah saat malam tiba.

b. Edema Edema menandakan adanya kebocoran cairan tubuh melalui dinding


pembuluh darah. Cairan ini kemudian menumpuk pada jaringan di sekitarnya
dan menyebabkan pembengkakan. Selain pembengkakan, edema juga
memiliki ciri berupa kulit yang tampak meregang

c. Infeksi

Tungau selalu bersembunyi di bawah kulit. Biasanya, tungau betina akan


bertelur di terowongan yang telah dibuatnya. Setelah menetas, larva kemudian
bergerak ke permukaan kulit dan menyebar ke seluruh tubuh atau ke orang
lain lewat kontak fisik. Oleh sebab itu, seseorang dapat terinfeksi penyakit ini
apabila tertular dari orang lain yang memilikinya. Sekolah menjadi salah satu
tempat yang paling tinggi ririsko penularan kudisnya pada anak.

Scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali


terowongan misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis,
areola mammae, peri-umbilikalis, lipat payudara, pinggang, bokong bagian
bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior.
Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi berupa garis halus yang
berwarna putih keabu-abuan sepanjang 2-15mm, berkelok-kelok dan sedikit
meninggi dibandingkan sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau
vesikel kecil berukuran < 5 mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim
tropis, jarang ditemukan lesi terowongan, kalaupun ada terowongan hanya
berukuran pendek sekitar 1-2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan karena sering
disertai ekskoriasi akibat garukan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun
demikian, terowongan dapat berada di tangan, sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pustul tanpa lesi terowongan
sering terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi yang harus
diperiksa adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna (Buku Illustrasi Siklus
Hidup S. scabiei , Badan Penerbit FKUI, Jakarta , 2016).

Gejala utama skabies, yaitu ruam dan gatal, disebabkan karena


sensitisasi terhadap deposit tungau dalam trowongan. Hal ini membutuhkan
waktu beberapa waktu untuk berkembang sehingga pada awalnya skabies
bersifat asimtomatik. Sel-sel inflamasi terakumulasi disekitar terowongan untuk
membentuk papul atau plak dan ruam hipersensitivitas yang jauh dapat timbul
(Firza, et al, 2016).

2.1.7 Hispatologi Skabies

Gambaran histopatologis menunjukkan bahwa terowongan pada skabies


terletak pada stratum korneum dimana tungau betina akan tampak pada bagian
ujung 19 terowongan di bagian sratum Malphigi. Kelainan yang tampak berupa
proses inflamasi ringan serta edema lapisan Malphigi dan sedikit infiltrasi
perivaskular (Sudirman, 2006).

Imunologi Skabies Infestasi pertama skabies akan menimbulkan gejala klinis setelah
satu bulan kemudian. Tetapi yang telah mengalami infestasi sebelumnya, gejala
klinis dapat timbul dalam waktu 24 jam. Hal ini terjadi karena pada infestasi ulang
telah ada sensitisasi dalam tubuh pasien terhadap tungau dan produknya yang
antigen dan mendapat respon dari sistem imun tubuh (Sudirman, 2006).

Klasifikasi Skabies Skabies didapati dalam berbagai varian, dan salah satunya
adalah skabies berkrusta (skabies Norwegia). Bentuk ini ditandai dengan dermatosis
berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang distrofik, skuama yang menyeluruh
(generalisata). Bentuk ini sangat menular tetapi tidak terlalu gatal. Tungau dapat
ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan skabies krusta terutama terjadi
pada pasien dengan usia lanjut imunokompromais, dan pada pasien dengan
retardasi mental dan psikosis. Selain agen tungau spesifik Sarcoptes scabiei varian
hominis, manusia juga dapat terinfeksi dari spesies yang berasal dari hewan.Telah
dilaporkan scabies yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian selain hominis,
diantaranya berasal dari anjing, babi, kuda, unta, beruang hitam, monyet, dan rubah.
Hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa transfer parasit dari hewan ke manusia
dapat terjadi, tetapi penelitian eksperimental menunjukkan adanya limited-cross
ineffectivity antara agen spesies dengan host yang berbeda.Selain itu, studi genotip
juga telah mengungkapkan bahwa terdapat pemisah di antara host dan agen spesifik
yang membatasi transmisi tungau. Pada kasus yang langka, transmisi tungau dari
hewan ke manusia menimbulkan manifestasi klinisyang berbeda, seperti misalnya
masa inkubasi menjadi lebih pendek, gejala bersifat sementara dan dapat sembuh
sendiri, dan tidak terdapat pembentukan terowongan serta predileksinya menjadi
atipikal (Firza, et al, 2016).Menurut Buku (Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei , Badan
Penerbit FKUI, Jakarta, 2016), skabies di bagi beberapa macam , yaitu :

a) Skabies pada orang bersih Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated
biasanya ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang baik. Penderita
skabies mengeluh gatal di daerah predileksi skabies seperti sela-sela jari tangan
dan pergelangan tangan. Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat. Manifestasi
skabies pada orang bersih adalah lesi berupa papul dan terowongan dengan
jumlah sedikit sehingga sulit diidentifikasi dan sering terjadi kesalahan diagnosis
karena gejala yang tidak khas. Dari terowongan dari 1000 penderita scabies of
cultivated, hanya ditemukan 7% terowongan. Tipe ini sering ditemukan
bersamaan dengan penyakit menularlain. Ditandai dengan gejala minimal dan
sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya menghilang akibat mandi secara
teratur.
b) Skabies in cognito
Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi
atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.51 Bentuk incognito terdapat pada skabies
yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik,
tetapi tungau tetap ada dan masih dapat menularkan skabies. Di sisi lain,
pengobatan steroid topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah parah
karena penurunan respons imun seluler. Skabies akibat pengobatan dengan
menggunakan kostikosteroid topical atau sistemik.Pemberian obat ini hanya dapat
memperbaiki gejala klinik (rasa gatal) tapi penyakitnya tetap ada dan tetap
menular
c) Skabies nodularis
Skabies nodularis pertama kali dilaporkan pada tahun 1923 oleh Ayres dan
Anderson. Disebut skabies nodularis karena lesinya berupa nodus coklat
kemerahan yang gatal di daerah tertutup pakaian. Terbentuknya nodus
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas kulit terhadap S.scabiei dan produknya.
Lesi nodularis terjadi pada 7-10% penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-
20mm dan terowongan biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau
jarang ditemukan di dalam nodus. Lesi berupa nodul coklat kemerahan yang gatal
pada daerah tertutup. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada
genitalia laki-laki, inguinal dan aksila.Nodus ini timbul sebagai reaksi
hipersensetivitas terhadap tungau scabies.Pada nodus yang berumur lebih dari
satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama
beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti scabies
dan kortikosteroid.
d) Skabies bulosa
Skabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompromised memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mengalami skabies bulosa. Bula yang terbentuk
mirip dengan bula pada pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan
lepuh berukuran besar. Walaupun secara klinis dan histopatologis skabies bulosa
mirip dengan pemfigoid bulosa, keduanya tidak 23 mirip apabila diperiksa dengan
immunofluorensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perbedaan lain
antara skabies bulosa dengan pemfigoid bulosa adalah lokasi lesi, gejala, dan
usia penderita. Skabies bulosa biasanya tersebar di sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan dan genital sedangkan pemfigoid bulosa tersebar di daerah
badan dan ekstremitas.
e) Skabies kruktosa
Tipe ini jarang terjadi, namun bila ditemui kasus ini, dan terjadi keterlambatan
diagnosis maka kondisi ini akan sangat menular.
f) Skabies yang Ditularkan Melalui Hewan
Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda, kambing, kelinci,
monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada binatang di Amerika adalah
anjing. Penyebab skabies pada binatang mirip dengan yang menginfestasi
manusia tetapi berbeda strain. Manusia dapat menularkan skabies ke binatang
peliharaan, namun yang lebih sering adalah infestasi silang dari binatang
peliharaan seperti anjing ke manusia.
g) Skabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur
Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden) banyak dijumpai
pada orang yang menderita penyakit kronik atau orang berusia lanjut yang
berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama. Lesi pada skabies bedridden
hanya terbatas.
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus terbaring di tempat
tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
h) Skabies pada Bayi
Lesi skabies pada bayi dapat timbul di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan
kulit kepala. pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat
terutama malam hari akan tetapi pada bayi.

Gambaran klinis tidak khas, terowongan sulit ditemukan namun vesikel lebih
banyak, dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala,leher,telapak tangan,
telapak kaki.

i) Skabies pada Santri Pondok

Penyakit skabies sangat mudah menular bahkan hanya dengan sentuhan sudah
bisa terjadi penularan. Hal ini lah yang menyebabkan penyakit scabies dengan
prevalensi yang tinggi seringkali ditemukan di pondok pesantren mengingat
kondisi pondok pesantren yang dihuni oleh banyak individu sehingga kesempatan
untuk terjadinya penularan sangat besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ma’rufi (2005).

2.1.10 Dampak Skabies

Supri (2013) mengemukakan beberapa diagnosa keperawatan penyakit


skabies, yaitu :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi.

b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri dan gatal yang dirasakan.

c. Gangguan rasa aman = cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan


tentang penyakit yang dialami

d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan skunder.

2.1.11 Penatalaksaan

Untuk mengobati atau menghilangkan tungau skabies penderita harus meningkatkan


kebersihan pribadi, dengan mengganti pakaian setiap hari, seprei dan sarung bantal
dicuci setiap hari, sampai semua skabies musnah menurut (Djuanda, 2010). Ada dua
cara yaitu dengan penatalaksaan non farmakologi dan farmakologi Cara pengobatan
secara farmakolgi ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita
yang hiposensitisasi) Jenis obat topical :
a. Belerang endap (belerang endap) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau
krim. Preparat ini karena tidak efektif stadium telur, maka penggunaannya tidak
boleh kurang dari tiga hari. Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori
pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur
kurang dari 2 tahun. B.
b. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap
malam selama setiap hari. Obat ini sulit diperoleh, sering menyebabkan iritasi dan
kadang-kadang makin gatal setelah pemakaian. C.
c. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan=gammexane) kadarnya 1% dalam krim
atau losion, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah
digunakan dan jarang memberikan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak
dibawah 6 tahun dan wanita hamil, karena toksis terhadap susunan saraf pusat.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu
kemudian. D.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losio, merupakan skabisid yang efektif. Dapat
menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu lama atau pada kulit
yang menunjukkan iritasi akut.

Untuk pengobatan Non Farmakologi ialah :

Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit.


Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan
penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit.Walaupun penyakit ini hanya
merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini
sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara
tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, menurut peneltian Sivalingam
tahun 2017 langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan
antiseptik.
2. . Cuci seua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika
panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
3. . Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket.
4. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.

2.1.12 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Skabies

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait
dengan kemiskinan salah satunya adalah kepadatan hunian. Penyebaran tungau skabies
akan lebih mudah terjadi pada penduduk yang hidup berkelompok atau padat penghuni pada
suatu lingkungan seperti asrama, kelompok anak sekolah, antar anggota keluarga pada
rumah yang padat penghuni bahkan antar warga di suatu perkampungan. Kepadatan hunian
termasuk ke dalam salah satu syarat untuk kesehatan perumahan, dimana kepadatan hunian
yang tinggi terutama pada kamar tidur akan memudahkan penularan penyakit scabies secara
kontak langsung dari satu orang ke orang lain.Selain itu, kepadatan hunian juga dapat
mempengaruhi kelembaban di dalam ruangan, dimana penghuni yang melebihi kapasitas
ruangan akan meningkatkan suhu ruangan menjadi panas.

Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan respon
imunologis terhadap penyakit infeksi seperti skabies. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan
gizi kurang merupakan hubungan timbal balik yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi
dapat memperburuk keadaaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena
infeksi. Responden yang status gizinya kurang makan akan mudah terserang penularan
skabies. Adanya ketahanan pangan, pengetahuan tentang asupan gizi dan pola pengasuhan
anak yang baik maka akan mengurangi risiko menurunya imunitas dan antibody tubuh,
sehingga tidak mudah terserang infestasi tungau.

2.2 Konsep Status Gizi

2.2.1 Pengertian gizi

Pengertian gizi dalam kesehatan reproduksi adalah bagaimana seoarang individu,


mampu untuk mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuhnya, agar individu
tersebut tetap berada dalam keadaan sehat dan baik secara fisik atau mental. Serta
mampu menjalankan sistem metabolisme dan reproduksi, baik fungsi atau prosesnya
secara alamiah dengan keasan tubuh yang sehat (Marmi, 2013).

2.2.2 Pengertian status gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh
untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas,
pemeliharaan kesehatan, dan lainnya). Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran
kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energy yang masuk dan yang
dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013).

2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

a. Faktor external

Faktor external yang mempengaruhi status gizi antara lain (Marmi, 2013):

1) Pendapatan

Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya dalah taraf ekonomi keluarga,


yang hubungannya dengan daya beli keluarga tersebut.

2) Pendidikan

Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan


perilaku orang tua atau masyarakat tentang status gizi yang baik.

3) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang


kehidupan keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan keluarga
4) Budaya

Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan
kebiasaan.

b. Faktor internal

Faktor internal yang mempengaruhi status gizi anatara lain (Marmi, 2013):

1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki dalam
pemberian nutrisi pada anak dan remaja.
2) Kondisi fisik
Seseoarang yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut
usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan
mereka yang buruk. Anak dan remaja pada periode hidup ini kebutuhan zat
gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.
3) Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau
menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.

2.2.3 Status gizi remaja

Kebutuhan gizi remaja relatif besar, karena remaja masih mengalami masa
pertumbuhan. Remaja umumnya melakukan aktivitas fisik lebih tinggi dibandingkan
dengan usia lainnya, sehingga diperlukan zat yang lebih banyak. Secara biologis
kebutuhan gizi remaja selaras dengan aktivitas. Remaja membutuhkan lebih banyak
protein, vitamin, dan mineral. 32 Secara sosial dan psikologis, remaja sendiri
menyakini bahwa mereka tidak terlalu memerhatikan faktor kesehatan dalam
menjatuhkan pilihan makanannya, melainkan lebih memerhatikan faktor lain seperti
orang dewasa, lingkungan sosial, dan faktor lain yang sangat mempengaruhinya
(Marmi, 2013) :

a. Energi
Energi merupakan kebutuhan yang terutama apabila tidak tercapai, diet protein,
vitamin, dan mineral tidak dapat dipergunakan secara efektif dalam berbagai
fungsi metabolik. Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan,
perkembangan, aktifitas otot, fungsi metaboliknya (menjaga suhu tubuh,
menyimpan lemak tubuh). Sumber energi berasal dari karbohidrat, protein, lemak
menghasilkan kalori masing-masing, sebagai berikut: karbohidrat 4 kkal/g, protein
4 kkal/g dan lemak 9 kkal/g. Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik,
remaja yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan (BB) atau mungkin
obesitas. Asupan energy yang rendah menyebabkan retardasi pertumbuhan,
berat badan (BB) rendah, dan starvasi (Soetjiningsih, 2004)
b. Protein
Protein diperlukan untuk sebagian besar proses metabolik, terutama
pertumbuhan, dan maintenen atau merawat jaringan tubuh. Protein mensuplai
sekitar 12%-14% asupan energi selama masa anak dan remaja. Kebutuhan
sehari-hari yang direkomendasikan pada remaja berkisar antara 44-59 gram,
tergantung jenis kelamin dan umur.
c. Lemak
Lemak berperan penting sebagai komponen struktural dan fungsional membran
sel, yang meliputi berbagai segi dari metabolisme. Lemak juga sebagai sumber
asam lemak esensial yang diperlukan oleh pertumbuhan, karena merupakan
sebagai sumber suplai energi yang berkadar tinggi dan pengangkut vitamin yang
larut dalam lemak. Lemak esensial juga dibutuhkan oleh tubuh sekitar 3% dari
total energi. Kebutuhan lemak dihitung sekitar 37% dari asupan energi total
remaja, baik laki-laki maupun perempuan.
d. Karbohidrat
Sumber terbesar energi tubuh adalah karbohidrat yang menjadi bagian dari
bermacammacam struktur sel dan substan dan komponen primer diet serat.
Karbohidrat disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak tubuh. Sumber
karbohidrat yang baik adalah karbohidrat simple atau (buah-buahan, sayur-
sayuran, susu, gula, pemanis berkalori lainnya), dan karbohidrat kompleks
(produk padi-padian dan syur-sayuran). Asupan yang tidak adekuat menyebabkan
ketosis. Ketosis adalah suatu keadaan tubuh, yang terjadi sebagai akibat dari
kurangnya kadar karbohidrat dalam tubuh.
e. Mineral
Kebutuhan mineral seluruhnya meningkat pada masa kerja tumbuh remaja.
Mineral berperan penting pada kesehatan, kalsium, zat besi, dan seng, khususnya
penting pada masa pertumbuhan dan perkembangan (Soetjiningsih, 2004).

f. Vitamin
Vitamin A merupakan nutrien yang larut dalam lemak, esensial untuk mata, tulang,
pertumbuhan, pertumbuhan gigi, diferensial sel, reproduksi dan integritas sistem
imun. Sumber vitamin A yang baik adalah, karoten (sayur daun hijau tua, buah
dan sayur kuning dan orange), makanan yang diperkaya dengan vitamin A dan
susu. Vitamin C berfungsi dalam pembentukan kolagen tulang dan gigi, dan
melindungi vitamin lain dan mineral dari oksidasi (antioksidan). Asupan perhari
vitamin C yaitu, 50 mg/hari untuk remaja usia 11-14 tahun pada laki-laki, dan 60
mg/hari untuk usia 15-18 tahun pada perempuan.

2.2.4 Factor Penyebab Masalah Gizi Remaja

a. Kebiasaan makan yang buruk


Kebiasaan makan yang buruk, berpangkal pada kebiasaan makan keluarga
yang tidak baik sudah tertanam sejak kecil akan terus menerus terjadi pada
usia remaja. Remaja makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan
berbagai zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut
terhadap kesehatan (Adriani, dkk 2014).
b. Pemahaman gizi yang keliru
Tubuh yang langsing sering menjadi idaman bagi setiap para remaja terutama
wanita remaja hal ini sering menjadi penyebab masalah, karena untuk
memelihara kelangsingan tubuh mereka menerapka pembatasan makanan
secara keliru. Sehingga kebutuhan gizi mereka tidak terpenuhi. Hanya makan
sekali sehari atau makan-makanan seadanya, tidak makan nasi merupakan
penerapan prinsip pemeliharaan gizi yang keliru dan mendorong terjadinya
gangguan gizi (Adriani, dkk 2014).
c. Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu
Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu saja menyebabkan
kebutuhan gizi tidak terpenuhi. Keadaan seperti ini biasanya terkait dengan
“mode” yang tengah marak dikalangan remaja (Adriani, dkk 2014).
d. Promosi yang berlebihan melalui media massa
Usia remaja merupakan usia di mana mereka sangat mudah tertarik pada
sesuatu yang baru. Kondisi ini diamnfaatkan oleh pengusaha makanan dengan
memperomosikan produk makanan mereka, dengan cara yang sangat
memengaruhi pada remaja. Apalagi film yang menjadi idola mereka (Adriani,
dkk 2014).
e. Masuknya produk-produk makanan baru
Produk makanan baru yang berasal dari negara lain secara besar membawa
pengaruh terhadap kebiasaan makan para remaja. Seperti jenis makanan siap
saji (fast food) yang berasal dari Negara barat seperti hot dog, pizza,
hamburger, fried chicken, dan french fries, berbagai makanan yang berupa
kripik (junk food) sering dianggap lambing kehidupan modern oleh para remaja
(Adriani, dkk 2014).

2.2.5 Penilaian Status Gizi

Menurut Supariasi, dkk (2009), penilain status gizi secara dibagi menjadi 2 cara
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung terdiri
dari antropometri, klinis, biokimia, dan biosfik. Sedangkan penilain status gizi tidak
langsung terdiri dari survey konsumsi, makanan, statistic vital dan factor ekologi. Cara
pengukuran yang paling sering digunakan di masyarakat adalah Antropometri gizi.
Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antrometri
sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter.
Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan,
tinggi badan. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.
Jenis-jenis dari Indeks Antropometri adalah berat badan menutut tinggi badan
(BB/TB), dan indeks massa tubuh (IMT) (Supariasa, dkk 2009).

2.2.6 Klasifikasi Status Gizi

Status gizi menurut Pratiwi (2011), dibagi menjadi 4 macam yaitu:


a. Status Gizi Buruk Keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam
waktu yang cukup lama.
b. Status Gizi Kurang Terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat
gizi esensial.
c. Status Gizi Baik atau Status Gizi Optimal Terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-
zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik,
perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat
setinggi mungkin.
d. Status Gizi Lebih Terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan,
sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Menurut (Syarifatun Nur
Aini , 2013) IMT direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk menentukan
status gizi pada remaja. Cara pengukuran IMT adalah IMT = Berat badan (Kg) /
Tinggi badan (M2).
2.2.7 Kategori IMT Berdasarkan WHO

KATEGORI IMT KLASIFIKASI


< 17,0 Kurus (kekurangan BB tingkat berat)
17,0 – 18,4 Kurus (kekurangan BB tingkat sedang)
18,5 – 25,0 Normal
25,1 – 27,0 Kegemukan (kelebihan BB tingkat ringan)
>27,0 Gemuk (kelebihan BB tingkat Berat)

2.2.8 Status Gizi Santri Pondok

Data status gizi didapatkan dari pengukuran antropometri terhadap tinggi badan dan
berat badan dibandingkan dengan usia lalu dikategorikan menurut IMT/U. Data tingkat
kecukupan energi dan zat gizi makro dihitung dengan membandingkan asupan sehari
dengan AKG. Asupan sehari santri didapat dari pelaporan porsi makan yang diambil
santri, akan di lakukan observasi sisa makanan di penyelenggaraan makanan pondok
pesantren berlangsung serta recall terhadap snack atau makanan dari luar pondok
pesantren yang dilakukan selama 2 hari. Hasil perhitungan sisa makanan dan recall
kemudian dihitung nilai gizinya menggunakan program Nutrisurvey dan dibandingkan
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut (Faizzatur Rokhmah, 2016)
III KESIMPULAN

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes sacbiei var. hominis. Siklus hidup skabies memiliki beberapa fase, yaitu
telur, larva, nimfa, dan dewasa. Sarcoptes scabiei bertahan hidup dengan membuat lesi
berupa terowongan di lapisan stratum korneum kulit manusia yang berisi telur, tungau, dan
hasil metabolisme. Lesi tersebut sangat menular melalui kontak langsung kulit ke kulit maupun
kontak tidak langsung. Skabies dapat menginfestasi siapa saja, namun beberapa kelompok
yang memiliki kerentanan dan lebih berisiko untuk terinfeksi adalah anak-anak/usia muda,
dewasa muda yang aktif secara seksual, penghuni rumah jompo, fasilitas kesehatan jangka
panjang, sekolah berasrama, dan tempat huni lain yang ramai dengan kebersihan rendah,
sistem kekebaan tubuh yang rendah, pendapatan keluarga yang rendah, kebersihan yang
buruk seperti berbagi pakaian dan handuk serta frekuensi mandi yang jarang. Terdapat empat
tanda kardinal dari infeksi oleh Sarcoptes scabiei, yaitu pruritus nokturna, menyerang
sekelompok orang, terdapat terowongan (kunikulus), dan menemukan parasit skabies.
Penatalaksanaan skabies dilakukan pada penderita yang terinfeksi dan orang-orang yang
dekat dengan penderita maupun melakuan kontak langsung dengan penderita. Pengulangan
terapi dapat dilakukan bila tanda dan gejala menetap. Pilihan obat untuk skabies adalah
Permethrin krim 5%, Krotamiton losio atau krim 10%, Sulfur presipitatum 5%-10%, Benzyl
Benzoate 25%, Lindane losio 1 %, dan Ivermektin oral.

Skabies merupakan penyakit infeksi oleh ektoparasit Sarcoptes scabiei var. hominis.
Skabies merupakan penyakit kulit ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering di Indonesia.
Peyakit ini sering terjadi kepada orang atau kelompok dengan higienitas yang rendah. Gejala
yang paling sering ditimbulkan adalah gatal yang semakin bertambah saat malam hari.
Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan pada skabies memerlukan edukasi yang lebih untuk pasien karena pilihan
obat yang akan diberikan tidak sedikit efek sampingnya dan parasit ini bersifat sangat
menular.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dan Sungkar S. Parasitologi kedokteran edisi
keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.
2. Audhah NA, Umniyati SR, dan Siswati AS. Scabies risk factor on students of islamic
boarding school (study at darul hijrah islamic boarding school, cindai alus village,
martapura subdistrict, banjar district, south kalimantan). J Buski. 2012;1(4):14- 22.
3. Aminah P, Sibero HT, dan Ratna MG. Hubungan tingkat pengetahuan dengan
kejadian skabies. J Majority. 2015;5(4):54- 59.
4. Ratnasari AF dan Sungkar S. Prevalensi skabies dan faktor-faktor yang
berhubungan di pesantren x, jakarta timur. eJKI [internet]. 2014 [diakses tanggal 30
November 2015]; 2(1):7-12. Tersedia dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/arti
cle/viewFile/3177/3401.
5. Stephen J dan Gilmore. Control strategies for endemic childhood scabies. PloS ONE
[internet]. 2011 [diakses pada 30 November 2015].
6.(1):e15990.Tersediadari:http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.
pone.001599.Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, Editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. hlm.
122-125.
7. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi I. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.
8. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diakses tanggal 29 oktober
2015].Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/.
9. Currie BJ dan McCarthy JS. Permethrin and ivermectin for scabies. N Egl J Med.
2010;362(8):717-725.
10.Medscape; 2014 [diakses tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/ 1109204-overview#a4.
11. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diakses tanggal 29 oktober 2015].
Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/ep i.html.
12. American Academy of Dermatology 1938; 2015 [diakses tanggal 30 Oktober
2015]. Tersedia dari: https://www.aad.org/dermatology-a-toz/diseases-and-
treatments/q--- t/scabies/who-gets-causes.
13.Medscape; 2014 [diakses tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia
dari:http://emedicine.medscape.com/arti cle/1109204-overview#a5.
14. American Academy of Dermatology 1938; 2015 [diakses tanggal 30 Oktober
2015]. Tersedia dari: https://www.aad.org/dermatology-a-toz/diseases-and-
treatments/q--- t/scabies/signs-symptoms.
15. Gunning K, Pippitt K, Kiraly B, Sayler M. Pediculosis and scabies: a treatment
update. American Family Physician. 2012;86(6):535-541.
16. Oakley A. Scabies: diagnosis and management. BPJ19. 2009;19:12-16
17. Oliver Chosidow. Scabies. N Engl J Med. 2006;354(16):1718-1-27.
18. Karthieyan K. Treatment in scabies: newer perspectives. Postgraduate Med J.
2005;81:7-11.
19. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diakses tanggal 30 Oktober 2015].
Tersediadari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/he
alth_professionals/meds.html.
20. American Academy of Dermatology 1938; 2015 [diakses tanggal 30 Oktober
2015]. Tersedia dari: https://www.aad.org/dermatology-a-toz/diseases-and-
treatments/q-- t/scabies/diagnosis-treatment

Anda mungkin juga menyukai