DI PUSKESMAS KOTA
OLEH KELOMPOK 2:
1. REINILDIS MALA
2. LUDGARDIS EHOL
3. ADELINA SIA
4. FRANSISKUS SOLANDUS HAMBUR
5. ANASTASIA IFONA AJENG
6. ANKARIA LUNUM
7. MARIA YUNITA ASUNG
I. DEFINISI
Scabies adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei. Pada
penyakit ini terdapat keluhan gatal-gatal yang hebat karena kutu tersebut menggali kulit
dan membuat terowongan dalam kulit, khususnya diantara jari-jari tangan, pada alat
genitalia serta bokong (Sunderkötter et al., 2021).
Skabies (the itch, gudik, budukan, gatal agogo) adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var. homini dan
produknya. Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan infestasi dan sensitisasi
terhadap sarcoptes scabies dan produknya (Widayati, 2019).
Seluruh siklus hidup Sarcoptes Scabies mulai dari telur sampai bentuk dewasa
memerlukan waktu antara 8-12 hari yang jantan mati setelah kopulasi yang betina
menggali terowongan di stratum korneum dan bertelur. Setelah 3-5 hari menetas
menjadi larva dan 2-3 hari kemudian menjadi nimfa berkaki 8 (jantan dan betina) waktu
yang diperlukan sejak menetasnya telur sampai menjadi bentuk dewasa adalah 7-8 hari,
diluar tubuh penderita parasit hanya dapat hidup selama 2-3 hari pada suhu kamar
(Widayati, 2019).
Perkembangan skabies dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: keadaan
sosial ekonomi yang rendah, hygiene perorangan yang buruk, kepadatan penduduk yang
tinggi, sering berganti pasangan seksual, minimnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit skabies, kesalahan diagnosa dan penatalaksanaannya (Rahmatia & Ernawati,
2020).
https://klinikkulitkelamin.com/penyakit-scabies/
Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia adalah
sebagai berikut:(Chandler & Fuller, 2019)
1. Skabies pada orang bersih yang merupakan skabies pada orang dengan tingkat
kebersihannya cukup, bisa salah didiagnosis karena kutu biasanya hilang akibat
mandi secara teratur.
2. Skabies pada bayi dan anak lesi skabies yang mengenai seluruh tubuh, termasuk
seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi
sekunder berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada
bayi, lesi terdapat di muka.
3. Skabies yang ditularkan oleh hewan dapat menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya peternak dan
gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi
terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dan akan sembuh sendiri bila
menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih.
4. Skabies Nodular terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang sering
dikenai adalah genitalia pria, lipatan paha, dan aksila. Lesi ini dapat menetap
beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga satu tahun walaupun
telah mendapat pengobatan anti skabies.
5. Skabies Inkognito, obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala
dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya, pengobatan dengan
steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan lesi bertambah hebat. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena penurunan respons imun selular.
6. Skabies terbaring di tempat tidur merupakan penderita penyakit kronis dan orang
tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita skabies yang
lesinya terbatas.
7. Skabies krustosa (Norwegian Scabies), lesinya berupa gambaran eritodermi,
yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku. Krusta terdapat
banyak sekali, dimana krusta ini melindungi sarcoptes scabiei di bawahnya.
Bentuk ini mudah menular karena populasi sarcoptes scabiei sangat tinggi dan
gatal tidak menonjol. Bentuk ini sering salah didiagnosis, kadang diagnosisnya
baru dapat ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke orang
banyak. Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi
mental (Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan
tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan diabetes),
dan penderita imunosupresif.
II. ETIOLOGI
Penyebabnya adalah Sarcoptes Scabies
1) Klasifikasi
Sarcoptes Scabies terbentuk Filum Arthropoda, kelas Arachida, Ordo Akrarima,
super famili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes Scabies Var Hominis.
Selain Sarcoptes Scabies, misalnya pada kambing dan sapi.
2) Kebiasaan Hidup
Tempat yang paling disukai oleh kutu betina adalah bagian kulit yang tipis dan
lembab, yaitu daerah sekitar sela jari tangan, siku, pergelangan tangan, bahu dan
daerah kemaluan. Pada bayi yang memiliki kulit serba tipis, telapak tangan, kaki,
muka dan kulit kepala sering diserang kutu tersebut.
3) Siklus Hidup
Kopulasi (perkawinan) dapat terjadi dipermukaan kulit, yang jantan mati setelah
membuai tungau betina. Tungau betina yang telah dibuai menggali terowongan
dalam startum korneum, dengan kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil
meletakkan telurnya 2-4 butir sehari mencapai 40-50. Bentuk betina yang dibuhai
dapat hidup selamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam
terowongan dan dapat juga diluar. Setelah 2-3 larva akan menjadi nimfa yang
mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki, 2 pasang kaki
didepan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua padabetina terakhir
dengan rambut, sedangkan pada yang jantan pasangan ketiga berakhir dengan
rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat. Ukuran bentuk betina berkisar
antara 330-450 mikron kali 250-350 mikro. Ukuran jantan lebih kecil 200-240
mikro kali 150-200 mikro. Seluruh siklusnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. Kurang lebih 10% telur yang dapat
menjadi bentuk dewasa, yang dapat menularkan penyakitnya.
III. PATOFISIOLOGI
Kutu Scabies dapat menyebabkan gejala transien pada manusia, tetapi mereka
bukan penyebab infestasi persisten. Cara penularan paling efisien adalah melalui
kontak langsung dan lama dengan seorang individu terinfeksi. Kutu Scabies dapat
bertahan hingga tiga hari pada kulit manusia sehingga media seperti tempat tidur
atau pakaian merupakan sumber alternatif untuk terjadinya suatu penularan.
Siklus hidup dari kutu berlangsung 30 hari dan dihabiskan dalam epidermis
manusia. Setelah melakukan kopulasi, kutu jantan akan mati dan kutu betina akan
membuat liang ke dalam lapisan kulit dan meletakkan total 60-90 telur. Telur
menetas membutuhkan 10 hari untuk menjadi larva dan kutu dewasa. Kurang dari
10% dari telur dapat menghasilkan kutu dewasa.
Kutu Scabies kemudian bergerak melalui lapisan atas kulit dengan
mengeluarkan protease yang mendegrasi stratum korneum. Scybala (kotoran) yang
tertinggal saat mereka melakukan perjalanan melalui epidermis, menciptakan
kondisi klinis lesi yang diakui sebagai liang.
Populasi pasien tertentu dapat rentan terhadap penyakit Scabies, termasuk
pasien dengan gangguan immunodefisiensi primer dan penurunan respons imun
sekunder terhadap terapi obat, dan gizi buruk. Kondisi lainnya adalah gangguan
motorik akibat kerusakan saraf yang menyebabkan ketidakmampuan untuk
menggaruk dalam menanggapi pruritus sehingga menonaktifkan utilitas menggaruk
untuk menghilangkan kutu pada epidermis dan menghancurkan liang yang dibuat
oleh kutu betina. (Sunderkötter et al., 2021).
IV. PATHWAY
Agen transmitter
sarcoptes scabies
Risiko infeksi
Hipotalamus
Hipertermi
V. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Chandler & Fuller, (2019) tanda dan gejala yang muncul yaitu:
1) Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2) Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di pondok
pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya
terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa
(carrier).
3) Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna
putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang satu
cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian
sluar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong,
genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang
telapak tangan dan telapak kaki.
4) Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
5) Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha,
dan muncul gelembung berair pada kulit.
6) Erupsi kulit tergantung pada derajat sensitasi, lama infestasi,hygiene
perorangan, dan pengobatan sebelumnya, erupsi kulit. Batognomatik berupa
terowongan halu dengan ukuran 0,3-0,5 milimeter, sedikit meninggi, berkelok-
kelok, putih keabuan dengan panjang 10 milimeter sampai 3 centimeter dan
bergelombang
VI. DIAGNOSIS SCABIES
Kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan disertai papula, vesikula, urtika,
dan lain-lain. Garukan tangan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi
sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap kasus scabies terinfeksi sekunder oleh
streptococcus aureus atau staphylococcus pyogenes:
Menurut Engelman et al., (2020) diagnosis ditegakkan atas dasar:
1) Adanya terowongan yang sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau kelok-
kelok, panjangnya beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya
tampak vesikula, papula, atau pustula.
2) Tempat predileksi yang khas adalah sela jari, pergelangan tangan bagian volar,
siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus,
bokong, genetalia eksterna (pria). Pada orang dewasa jarang terdapat di muka
dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi
dapat terjadi diseluruh permukaan kulit.
3) Penyembuhan cepat setelah pemberian obat antiskabies topikal yang efektif.
4) Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari satu anggota keluarga
menderita gatal, harus dicurigai adanya scabies. Gatal pada malam hari
disebabkan oleh temperatur tubuh menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu
meningkat.
Diagnosa skabies dilakukan dengan membuat kerokan kulit pada daerah yang
berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang dilakukan sebaiknya
dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan darah karena sarcoptes betina
bermukim agak dalam di kulit dengan membuat terowongan. Untuk melarutkan
kerak digunakan larutan KOH 10 persen selanjutnya hasil kerokan tersebut diamati
dengan mikroskop dengan perbesaran 10-40 kali. Cara lain adalah dengan
meneteskan minyak immesi pada lesi, dan epidermis diatasnya dikerok secara
perlahan-lahan.
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan skabies dapat dilakukan dengan delousing yakni shower
dengan air yang telah dilarutkan bubuk DDT (Diclhoro Diphenyl Trichloroetan).
Pengobatan lain adalah dengan mengolesi salep yang mempunyai daya miticid baik
dari zat kimia organic maupun non organic pada bagian kulit yang terasa gatal dan
kemerahan dan didiamkan selama 10 jam. Alternatif lain adalah mandi dengan
sabun sulfur/belerang karena kandungan pada sulfur bersifat antiseptik dan
antiparasit, tetapi pemakaian sabun sulfur tidak boleh berlebihan karena membuat
kulit menjadi kering. Pengobatan skabies harus dilakukan secara serentak pada
daerah yang terserang skabies agar tidak tertular kembali penyakit skabies. Selain
itu, obat tradisional juga berkhasiat dalam menangani pengobatan Skabies.
Misalnya, khasiat tanaman obat permot (Passiflora foeltida) melalui aplikasi secara
topical atau dengan menggosok-gosokkan pada kulit yang terserang skabies,
mengakibatkan terjadinya pembesaran pori-pori kulit, sehingga bahan aktif yang
terkandung dalam tanaman permot akan diabsorbsi ke dalam kulit dan beraktivitas
terhadap tungau. Diduga khasiat yang memberikan pengaruh terhadap kematian
sarcoptes scabiei adalah asam hidrosianat dan alkaloid (Trasia, 2020).
VIII. KOMPLIKASI
Bila skabies tidak di obati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul:
1) Dermatitis akibat garukan
2) Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, selulitis, limfangitis, folikulitis, dan
furunkel.
3) Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang skabies dapat menimbul
komplikasi pada ginjal, yaitu glomerulonefritis.
4) Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat antiskabies yang
berlebihan, baik pada terapi awal atau dari pemakaian yang terlalu sering.
Hal yang penting diperhatikan dalam pencegahan penyebaran penyakit scabies yang
bisa dilakukan agar terhindar dari penyakit scabies kulit antara lain :
1. Menghindari kontak fisik dengan penderita atau menyentuh benda yang
sekiranya telah terpapar tungau, melalui sentuhan kulit kudis / scabies mudah
menular.
2. Usahakan untuk mencuci pakain, handuk, maupun seprai bekas pakai penderita
kudis / scabies menggunakan detergen dan air panas dan dijemur dibawah
matahari atau dry cleaned untuk membunuh tungau yang menepel.
3. Usahakan untuk rutin membersihkan rumah karena kondisi lingkungan yang
kotor bisa menjadi pemicu penyakit akibat tungau ini.seperti hal rutin
memvakum lantai, permukaan kursi, seprai dan sebagainya hingga bersih agar
tungau yang mungkin tertinggal bisa ditumpas.
IX. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Indentitas terdiri dari nama, jenis kelamin, agama, suku, pekerjaan, status,
alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, no bed, nama ruangan dan
diagnosa medis.
c. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan saat didata.
Klien merasakan gatal, ketidaknyaman pada kulit, tidak bisa tidur akibat
gatal yang dirasakan,kulit klien tampak kemerahan, pasien mengalami
demam, terdapat ulkus dan erosi.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Tidak menjaga kebersihan badan, rambut dan pubis (personal hiygine
yang buruk)
3) Data sosial
Hubungan klien dengan keluarga dan perawat baik tetapi hubungan
dengan masyarakat kurang baik karena klien merasa malu akibat
penyakit yang diderita.
d. Data biologis
1) Nutrisi
Penderita tidak nafsu makan akibat penyakit yang diderita.
2) Istirahat tidur
Penderita kurang tidur akibat rasa gatal yang diderita
3) Eliminasi
Pola eliminasi teratur.
4) Personal hygnies.
Personal hygnies klien buruk.
5) Pola aktifitas.
Aktivitas terhambat akibat penyakit yang diderita.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: keadaan umum klien lemah
2) Kesadaran: composmetis
3) Kulit: Pada klien dengan skabies, terdapat terowongan dan di ujungnya
ada papul dan vesikel pada daerah-daerah tertentu.
4) Turgor kulit tidak elastis, membrane mukosa dan kulit kering, kulit terasa
kasar.
5) Badan: pada penderita scabies terlihat bekas garukan sejajar, perubahan-
perubahan urtikaria, papula erithematosa yang awet, lesi tampak jelas.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya erosi
2. Risiko infeksi ditandai dengan pertahanan primer yang tidak baik.
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritas/gatal.
4. Gangguan body image berhubungan dengan perubahan dalam penampilan
sekunder.
5. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (infeksi)
C. INTERVENSI
D. IMPLEMENTASI
Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien
dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang baik yang
menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan disebut dengan implementasi
keperawatan. Implementasi dalam pelaksanaannya harus berpusat kepada
kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang memengaruhi kebutuhan keperawatan,
strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti dan
Mulyanti, 2017).
Perawat melaksanakan tindakan keperawatan untuk intervensi yang telah
disusun pada tahap perencanaan dan mengakhiri tahap implementasi denganS
mendokumentasikan tindakan keperawatan serta respon klien terhadap tindakan
yang telah diberikan. Tindakan keperawatan merupakan perilaku atau aktivitas
spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi
keperawatan. Tindakan – tindakan pada intervensi keparawatan terdiri atas
observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018).
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan adalah tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang telah dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan dari tindakan keperawatan
yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Dokumentasi pada tahap
ini adalah dengan membandingkan secara sistematik dan terencana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan dengan hasil yang didapat dari
klien, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan
tenaga kesehatan lainnya (Dinarti dan Mulyanti, 2017).
Proses evaluasi keperawatan biasanya menggunakan komponen format
dengan formula SOAP, yaitu :
S (data subjektif ), data berdasarkan keluhan yang disampaikan oleh pasien
atau keluarga yang masih dirasakan oleh pasien setelah dilakukan tindakan
keperawatan (Budiono, 2016).
O (data objektif), data berdasarkan hasil pengukuran atau hasil observasi
perawat secara langsung kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah
dilakukan tindakan keperawatan (Budiono, 2016).
A (Analisis), interpretasi dari data subjektif dan objektif. Analisis merupakan
suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau dapat
dituliskan masalah/diagnosis baru akibat perubahan status kesehatan klien
yang telah teridentifiksasi datanya dalam data subjektif dan objektif
(Budiono, 2016).
P (Planning) Perencanaan keperawatan yang akan anda lanjutkan, anda
hentikan, anda modifikasi, atau anda tambahkan dari rencana tindakan
keperawatan. Tindakan yang telah menunjukan hasil yang memuaskan dan
tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan yang
perlu dilakukan adalah tindakan kompeten untuk menyelesaikan masalah
klien dan membutuhkan waktu untuk mencapai keberhasilannya. Tindakan
yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang dirasa dapat membantu
menyelesaikan masalah klien (Budiono, 2016).
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK S.T DENGAN SCABIES
DI PUSKESMAS KOTA
Riwayat alergi
Riwayat Alergi : (√ ) tidak ( ) ya
Jenis Alergi :
Obat : Tidak ada
Makanan : Tidak ada
dll :-
Riwayat Kesehatan Keluarga : Ibu pasien mengatakan semua anggota keluarga yang tinggal
serumah juga memilki penyakit seperti yang dialami pasien.
Imunisasi
Hepatitis B: √ I
Polio :√ I √ II II √ III √ IV
DPT :√ I √ II √ III
BCG :√ I
Campak : √
Lain-lain : 3x
Keadaan Umum : Baik
RR: 22x/menit
Nadi: 120x/menit
TD: -
TTV
Suhu: 38,5 ˚c
Kesadaran: ( √ ) Alert ( ) Verbal ( ) Pain ( ) Unresponsive
Pertumbuhan
Antropometri
Dan lain-lain
Tempatpembuangansampah
Selokan/got
Lubang pembuangan sampah buatan sendiri
√Tempat pembuangan sampah umum dari RT dan lurah
Tidak tahu/sembarangan
PemeriksaanFokus
Data Subyektif Data Obyektif
DS : Ibu pasien mengatakan anaknya 1. Kulit merah dan terasa gatal
mengalami gatal-gatal pada seluruh 2. Kerusakan jaringan/lapisan kulit
badan sejak 1 minggu yang lalu. 3. Tampak luka bernanah pada sela-sela jari tangan, sela-
sela jari kaki, dan selangkangan
DS: DO:
Ibu pasien mengatakan sejak 2 hari - Suhu tubuh diatas nilai normal
yang lalu anaknya mengalami demam - Kulit terasa hangat
ANALISIS DATA
DO :
1. Kulit merah
dan terasa
gatal
2. Kerusakan
jaringan/lapis
an kulit
3. Tampak luka
bernanah
pada sela-sela
jari tangan,
sela-sela jari
kaki, dan
selangkangan
2. 19/12/2 DS: Proses penyakit (infeksi) Hipertermia
3 Ibu pasien
mengatakan sejak 2
hari yang lalu
anaknya mengalami
demam
DO:
- Suhu tubuh
diatas nilai
normal
- Kulit terasa
hangat
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
INTERVENSI KEPERAWATAN
Edukasi :
4. Anjurkan
menggunakan
pelembab
5. Anjurkan minum air
yang cukup
6. Menganjurkan
kepada orang tua
pasien untuk
menjaga kebersihan
dirumah dan
menjemur semua
barang (kasur,
bantal, dan selimut).
BAB III
PEMBAHASAN
Chandler, D. J., & Fuller, L. C. (2019). A Review of Scabies: An Infestation More than
Skin Deep. Dermatology, 235(2), 79–80. https://doi.org/10.1159/000495290
Dewi Silviana, Siti Haryani, & Tri Susilo. (2020). Pengelolaan hipertermi pada an. A
dengan kejang demamsimpleks di ruang amarilis rsud ungaran.
D3_080117A016_Manuskrip - Dewi Silviana, 1–12.
http://repository2.unw.ac.id/1139/1/D3_080117A016_Manuskrip - Dewi Silviana.pdf
Engelman, D., Yoshizumi, J., Hay, R. J., Osti, M., Micali, G., Norton, S., Walton, S.,
Boralevi, F., Bernigaud, C., Bowen, A. C., Chang, A. Y., Chosidow, O., Estrada-
Chavez, G., Feldmeier, H., Ishii, N., Lacarrubba, F., Mahé, A., Maurer, T., Mahdi, M.
M. A., … Fuller, L. C. (2020). The 2020 International Alliance for the Control of
Scabies Consensus Criteria for the Diagnosis of Scabies. British Journal of
Dermatology, 183(5), 808–820. https://doi.org/10.1111/bjd.18943
Nadeak, B. Y., & Made Birawan, I. (2022). The selection of moisturizer for treatment of
atopic dermatitis. Medical Journal : Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran, 5(1), 30–39.
Prayogi, S., & Kurniawan, B. (2016). Pengaruh personal hygiene dalam pencegahan
penyakit skabies. Jurnal Majority, 5(5), 140–143.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/939
Rahmatia, N., & Ernawati, T. (2020). Penatalaksanaan Skabies Melalui Pendekatan
Kedokteran Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Satelit. Majority, 9(1), 1–8.
Sunderkötter, C., Wohlrab, J., & Hamm, H. (2021). Epidemiologie, Diagnostik und
Therapie der Skabies. Deutsches Arzteblatt International, 118(41), 695–704.
https://doi.org/10.3238/arztebl.m2021.0296
Trasia, R. F. (2020). Pemilihan Skabisida dalam Pengobatan Skabies. Journal of
Pharmaceutical And Sciences, 3(2), 58–63. https://doi.org/10.36490/journal-
jps.com.v3i2.41
Widayati, R. I. (2019). Mengenai Pencegahan Skabies Pada Anak Binaan Sos Children ’ S
Village Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 8(1), 92–98.
Yunita theresiana, nimas ayu lestari nurjanah, w. (2023). Program ) as well as a healthy
environment with scabies. 11(2), 554–564.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus PPNI