Anda di halaman 1dari 19

“SCABIES”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Ilmu


Kesehatan Masyarakat Puskesmas Abepura

Oleh :

Kezia A Rumsowek, S.Ked

Pembimbing :
dr. Grace Panghadean, M.Kes

SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................i

BAB I.......................................................................................................................1

PENDAHULUAN...................................................................................................1

BAB II......................................................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................3

2.1 Definisi...........................................................................................................3

2.2 Epidemiologi..................................................................................................3

2.3 Etiologi...........................................................................................................5

2.4 Cara Penularan...............................................................................................7

2.5 Patogenesis.....................................................................................................7

2.6 Gejala Klinis...................................................................................................8

2.7 Diagnosis........................................................................................................9

2.8 Penatalaksanaan............................................................................................11

2.9 Pencegahan...................................................................................................14

2.10 Prognosis....................................................................................................14

BAB III..................................................................................................................15

KESIMPULAN......................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

i
BAB I

PENDAHULUAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi Sarcoptes

scabiei var. hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida,

ordo Acarina, famili Sarcoptidae. Skabies dapat menjangkiti semua orang pada semua

umur, ras, dan tingkat ekonomi sosial. Sekitar 300 juta kasus skabies di seluruh dunia

dilaporkan setiap tahunnya. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas

seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian skabies adalah 5,6%-12,95%. Skabies

di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering. Skabies

seringkali diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas penanganannya

rendah. Akan tetapi, penyakit ini dapat menjadi kronis dan berat serta menimbulkan

komplikasi yang berbahaya. Lesi pada skabies menimbulkan rasa tidak nyaman karena

sangat gatal sehingga penderita seringkali menggaruk dan mengakibatkan infeksi

sekunder terutama oleh bakteri Grup A Streptococcus dan Staphylococcus aureus.

Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial

ekonomi yang rendah, kebersihan yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya

promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografik seperti keadaan

penduduk dan ekologi. Keadaan tersebut memudahkan transmisi dan infestasi Sarcoptes

scabiei. Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di

lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal yang tinggi seperti

asrama, panti asuhan, dan penjara. Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh

infestasi Sarcoptes scabiei sangat bervariasi. Meskipun demikian, terdapat gambaran

subyektif dan obyektif yang dikenal dengan 4 tanda utama atau tanda kardinal pada

1
infestasi skabies. Tanda tersebut antara lain adalah pruritus nokturna, menyerang

sekelompok orang, terdapat terowongan, dan ditemukannya parasit.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang kulit, dapat mengenai semua

golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite) Sarcoptes

scabiei. Kata skabies sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu scabere yang berarti

menggaruk. Sedangkan nama Sarcoptes scabiei berasal dari bahasa Yunani yaitu sarx

(daging) dan koptein (menancap dan memotong). Secara harfiah skabies berarti gatal

pada kulit sehingga muncul aktivitas menggaruk kulit yang gatal.

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitas terhadap

tungau sarcoptes skabies varietas hominis. Di Indonesia skabies lebih dikenal dengan

nama gudik, kudis, buduk, kerak, dan gatal agago. Skabies adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei varian hominis, yang penularannya terjadi

secara kontak langsung.

2.2 Epidemiologi
Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit ini dapat

mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit ini banyak dijumpai

pada anak dan orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua umur. Insiden untuk

pria dan wanita sama. Skabies dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras,

dan tingkat ekonomi sosial. Sekitar 300 juta kasus skabies di seluruh dunia dilaporkan

setiap tahunnya. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas seluruh

Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian skabies adalah 5,6%-12,95%. Skabies di

Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering

3
Skabies juga merupakan salah satu penyakit kulit yang terabaikan di beberapa

negara seperti Papua New Guinea, Fiji, Australia, New Zealand, Melanesia,

Polynesium dan Micronesia di Pasifik. Pada negara Afrika seperti Ethiopia dan

Nigeria cenderung mengabaikan penyakit kulit skabies karena menurut pendapat

masyarakat penyakit ini tidak mengancam jiwa. Penyakit skabies sering diabaikan

oleh individu yang terkena dampaknya dan tidak memotivasi individu tersebut untuk

mendatangi pusat kesehatan terdekat.

Di daerah tropis dan subtropis, seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah dan Selatan,

Kepulauan Karibia, India dan Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan daerah

endemik skabies. Faktor kontribusi utama dalam kejadian skabies adalah kemiskinan

dan kepadatan penduduk. Oleh karena itu, kelompok ini lebih rentan terkena skabies.

Kemiskinan dan kepadatan penduduk, sering terjadi bersamaan dan kepadatan

penduduk memiliki faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran skabies,

mencerminkan peran mendasar dari kontak fisik dalam penularan dari orang ke orang.

Kemiskinan juga memiliki faktor yang berpengaruh pada penyebaran skabies,

dikarenakan kemiskinan berhubungan dengan status gizi yang rendah, sehingga

individu yang memiliki status gizi rendah memiliki faktor risiko lebih besar terkena

skabies. Insiden skabies di negara berkembang sampai saat ini menunjukkan siklus

fluktuasi yang belum dapat dijelaskan, interval antara akhir dari suatu endemik dan

permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Transmisi skabies sering

terjadi ketika individu-individu tidur bersama di satu tempat tidur yang sama, hal ini

sering terjadi pada tempat seperti sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama

dan pemondokan, pondok pesantren dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh

masyarakat luas seperti rumah singgah.

4
Di salah satu negara Eropa, khususnya negara Jerman terjadi peningkatan insidensi

skabies yang diakibatkan kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur bersama.

Faktor lainnya yakni fasilitas umum yang dipakai secara bersama- sama di lingkungan

padat penduduk. Penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara

penderita skabies dengan orang sehat. Di Amerika Serikat dilaporkan, bahwa skabies

dapat ditularkan melalui hubungan seksual meskipun bukan merupakan akibat utama.

2.3 Etiologi
Sarcoptes scabiei tergolong filum artropoda, kelas araknida, ordo akarina, famili

sarkoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis yang

ditransmisikan secara kontak langsung, sedangkan jenis lain yakni Sarcoptes scabiei

var mange ditransmisikan ke manusia melalui kontak dengan berbagai hewan liar,

hewan yang didomestikasi, dan hewan ternak. Sarcoptes scabiei merupakan tungau

kecil yang berbentuk bulat dan lonjong dan bagian ventral yang datar, parasit betina

setelah dibuahi akan mencari lokasi yang tepat pada permukaan kulit untuk bertelur

dengan cara membentuk terowongan dengan kecepatan 0,5- 5 mm per hari.

Secara morfologi merupakan tungau berukuran kecil yang berbentuk oval, bagian

perutnya rata dan punggungnya cembung.Tungau ini bewarna putih kotor, tidak

bermata dan translusen. Dari segi ukuran, ukuran tungau betina berkisar 330-450

mikron x 230- 350 mikron, sedangkan tungau jantan lebih kecil, yakni berkisar 200-

240 mikron x 150- 200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang

kaki depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir

pada rambut, sedangkan pada jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan

keempat berakhir dengan alat perekat. Selama ini terdapat 15 varietas atau strain

tungau yang telah diidentifikasi dan dideskripsikan secara morfologi maupun

pendekatan biomolekuler. Skabies juga menginfestasi hewan lain seperti sapi, babi,

5
kambing, kelinci dan kuda. Secara morofologi, skabies yang ditemukan pada hewan

tampak serupa, namun memiliki perbedaan secara biologis terdiri dari varian berbeda.

Setiap hewan memiliki spesies skabies yang berbeda strain dan tidak akan mampu

bertahan hidup apabila berganti tuan rumah. Seperti contoh skabies pada kambing

dapat menyerang manusia, akan tetapi tidak akan bertahan hidup lebih lama pada kulit

manusia.Siklus hidup Sarcoptes scabiei dimulai setelah kopulasi (perkawinan) yang

terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, namun terkadang jantan dapat bertahan

hidup beberapa saat di dalam terowongan yang digali oleh betina. Sarcoptes scabiei

betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan

kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari

sampai mencapai 40 atau 50 butir. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat hidup

sebulan lamanya. Telurnya akan menetas dalam waktu 3-5 hari, dan akan menjadi

larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini biasanya akan hidup dalam

terowongan yang digali oleh induknya. Selanjutnya larva tersebut akan berubah

menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk yakni jantan dan betina dengan 4 pasang

kaki. Seluruh siklus hidup dari Sarcoptes scabiei berkisar 8-12 hari mulai dari telur

sampai menjadi dewasa.

Gambar 2. 1 Sarcoptes scabiei betina Gambar 2. 2 Sarcoptes scabiei jantan

6
2.4 Cara Penularan
Sarcoptes scabiei mudah menular karena kontak kulit yang sering terjadi,

terutama bila tinggal di tempat tinggal yang sama. Penularan terjadi akibat kontak

langsung dengan kulit pasien atau tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi

tungau. Skabies dapat mewabah pada daerah padat penduduk seperti daerah kumuh,

penjara, panti asuhan, panti jompo, dan sekolah asrama.

Penyebab skabies antara lain disebabkan oleh rendahnya faktor sosial ekonomi,

kebersihan yang buruk seperti mandi, pemakaian handuk, mengganti pakaian dan

melakukan hubungan seksual. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan di tempat

seperti di asrama, panti asuhan, penjara, pondok pesantren yang kurang terjaga

personal hygienenya. Terdapat banyak faktor yang menunjang perkembangan

penyakit skabies antara lain turunnya imunitas tubuh akibat HIV, sosial ekonomi yang

rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas.

2.5 Patogenesis
Tungau skabies yang biasanya menyerang manusia adalah tungau betina yang

telah dibuahi. Tungau yang telah dibuahi biasanya akan membentuk lubang–lubang

terowongan pada kulit manusia untuk meletakkan telur-telurnya. Setelah terjadi

fertilisasi, tungau betina akan menuju stratum korneum untuk membuat terowongan.

Selama di stratum korneum, tungau betina ini akan bertahan hidup dengan cara

menghisap cairan yang keluar dari sel-sel kulit untuk kemudian meletakkan telurnya.

Dalam waktu 2-3 hari telur-telur tersebut akan menetas di dalam stratum korneum.

Telur yang sudah menetas akan berbentuk larva yang mempunyai 3 pasang kaki, larva

ini dapat tinggal di terowongan, tetapi juga dapat keluar, dengan cara melubangi atap

terowongan, kemudian larva tersebut menggali terowongan pendek (moulting pocket)

7
dimana mereka berubah menjadi nimfa. Selanjutnya akan berubah menjadi bentuk

dewasa setelah 7-10 hari kemudian. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai

bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. Tungau betina dapat bertahan

hidup selama 2-3 minggu pada terowongan yang dibentuk pada kulit. Terowongan

yang dibentuk dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum.

Kelainan kulit yang ditimbulkan tidak hanya berasal dari tungau skabies, tetapi juga

oleh penderita sendiri akibat intervensi yang diberikan yakni garukan. Gatal yang

timbul merupakan proses sensitisasi terhadap sekreta dan eksekreta tungau yang

memerlukan waktu kira-kira sebulan sebelum infestasi. Pada saat itu terbentuklah

ruam primer pada kulit dengan ditemukannya papul, vesikel, urtikari, eritema, dan

lain-lain. Rasa gatal yang akan menimbulkan keinginan untuk menggaruk lokasi yang

terinfeksi, sehingga akan menimbulkan ruam sekunder pada kulit yakni erosi,

ekskoriasi, krusta, dan bahkan dapat menimbulkan infeksi sekunder.

2.6 Gejala Klinis


Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam lapisan

kulitnya. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya berupa

terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil metabolisme. Terowongan berwarna

putih abu-abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-

kelok kurang lebih 1-10 mm yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam

stratum korneum. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil.

Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Ketika menggali

terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum.

Sekret dan eksret tersebut akan menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi

sekunder. Lesi sekunder berupa papul, vesikel, pustul, dan terkadang bula. Selain itu

8
dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma.

Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier, namun tungau hanya dapat

ditemukan pada lesi primer. Lesi primer pada skabies sangat menular melalui jatuhnya

krusta yang berisi tungau. Krusta tersebut menyediakan makanan dan perlindungan

bagi tungau yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi sarcoptes scabiei sangat

bervariasi. Dikenal 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies yaitu,

pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang, ditemukannya terowongan

(kunikulus), dan ditemukan parasit Sarcoptes scabiei. Pruritus nokturna adalah rasa

gatal yang terasa lebih hebat pada malam hari karena meningkatnya aktivitas tungau

akibat suhu yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali

mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal timbul

setelah 3 sampai 4 minggu, tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam

waktu beberapa jam. Studi lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat

timbul dalam 4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya.

2.7 Diagnosis
Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Apabila ditemukan dua dari empat tanda kardinal skabies, maka diagnosis sudah dapat

dipastikan Tungau biasanya dapat ditemukan pada ujung terowongan, namun

pemeriksaan ini memerlukan pengalaman dan keterampilan. Mendeteksi lesi bisa

terlihat sulit, karena sering dikaburkan oleh eksim atau impetigo atau atipikal.

Kelainan kulit dapat disertai papula, vesikula, urtika, dan lain-lain. Garukan tangan

dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder.

Ada beberapa cara mendiagnosis skabies menurut Clinical Microbiology Reviews,

yaitu :

9
a. KOH 10%

Berdasarkan identifikasi tungau, telur, atau pellet kotoran tungau dari kerokan

kulit (misalnya, dari papula scabietic atau dari bawah kuku) atau dengan

deteksi tungau pada ujung liang. Setelah lesi ditetesi satu atau dua tetes minyak

imersi yang kemudian dikerok, dan spesimen diperiksa setelah melewati 10 %

KOH dengan melewati mikroskop cahaya di bawah daya rendah. Metode

pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang cukup baik namun sensivitas rendah

untuk skabies biasa, hal ini berhubungan dengan kuantitas tungau yang

dibutuhkan untuk mendiagnosa skabies.Selain itu beberapa faktor dapat

mempengaruhi tingkat sensitivitas, misalnya, lesi yang tidak terdapat luka,

jumlah sampel dan kerokan yang dilakukan secara berulang. Dalam beberapa

kasus, penampilan histologik tidak begitu spesifik, hipersensivitas yang lambat,

peningkatan eosinofil, edema papiler, dan epidermal spongiosis. Selain itu,

ditemukan kesulitan dalam membedakan tungau aktif, reaksi kulit sisa, dan

reinfestation.

b. Dermatoscopy

Metode ini menggunakan epiluminescene mikroskop dengan resolusi tinggi

videodermatoscopy. Diagnosis ditegakkan dengan pengamatan “jet-with-

contrail” pada pola kulit yang mewakili tungau dan liang. Namun pemeriksaan

ini memiliki beberapa kesulitan apabila dilakukan pada bayi dan juga

pemeriksaan ini cenderung lebih mahal.

c. Antigen Detection dan PCR

Diagnostik Pemeriksaan ini sangat berpengaruh pada kuantitas tungau skabies

dalam sampel. Oleh karena itu, pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan

yang wajib dilakukan untuk menegakkan diagnosis skabies. Pemeriksaan PCR

10
biasanya dilakukan bersama deteksi assay enzyme-linked immunosorbent PCR,

yaitu test pada pasien dengan skabies atipikal

d. Swab kulit

Pemeriksaan ini diawali dengan membersihkan kulit menggunakan larutan eter

lalu dilekatkan selotip pada kulit yang sudah dibersihkan dan dengan cepat

diangkat, kemudian selotip dilekatkan pada gelas objek kemudian diperiksa

dengan mikroskop.

e. Burrow ink test

Pemeriksaan ini menggunakan tinta cina, papul skabies akan dilapisi dengan

tinta cina dengan menggunakan pena dan dibiarkan selama 20-30 menit

kemudian dibersihkan menggunakan alkohol. Dikatakan positif apabila tinta

masuk ke dalam terowongan dan membentuk garis khas yakni zig zag.

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan skabies dilakukan kepada penderita dan seluruh anggota

keluarga atau orang yang dekat dengan penderita meskipun tidak menimbulkan gejala.

Syarat obat yang ideal harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak

menimbulkan iritasi dan tidak toksik, tidak berbau, serta tidak mewarnai atau merusak

pakaian, dan mudah diperoleh serta murah. Penatalaksanaan umum meliputi edukasi

kepada pasien, yaitu:

(a) Mandi dengan air hangat dan keringkan badan;

(b) Pengobatan skabisid topikal yang dioleskan di seluruh kulit, kecuali wajah,

sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum tidur;

(c) Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan;

11
(d) Ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan, dan selalu cuci dengan teratur,

bila perlu direndam dengan air panas, karena tungau akan mati pada suhu

130ºC;

(e) Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga

serumah;

(f) Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid dan tidak

boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah seminggu

sampai dengan 4 minggu yang akan datang; dan

(g) Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang

sama dan ikut menjaga kebersihan.

Produk yang digunakan untuk membunuh tungau disebut skabisid. Permetrin

krim 5%, Krotamiton losio 10% dan Krotamiton krim 10%, Sulfur presipitatum 5%-

10%, Benzyl Benzoat Losio 25%, Gamma benzene hexachloride 1% krim (Lindane

losio 1%), dan Ivermektin merupakan regimen untuk pengobatan tungau yang hanya

tersedia dengan resep dokter.

Permetrin krim 5% telah disetujui oleh United States Food and Drug

Administration (FDA). Aman dan efektif bila digunakan pada anak-anak berusia 2

bulan atau lebih, dan merupakan obat pilihan untuk pengobatan skabies. Permetrin

dapat membunuh tungau dan telur. Aplikasinya hanya sekali dan dihapus setelah 10

jam. Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Krotamiton losio 10% dan

Krotamiton krim 10% telah disetujui FDA untuk pengobatan skabies pada orang

dewasa. Aman bila digunakan dengan pengarahan, yaitu harus dijauhkan dari mata,

mulut, dan uretra. Obat ini memiliki dua efek, yaitu sebagai antiskabies dan antigatal.

12
Sulfur presipitatum 5%-10% digunakan untuk mengobati skabies pada anak-anak dan

orang dewasa. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur sehingga penggunaanya

tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian,

kadang-kadang menyebabkan iritasi. Telah terbukti dapat mengobati anak usia kurang

dari 2 bulan. Benzyl Benzoat losio 25% efektif terhadap semua stadium, diberikan

setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan

kadangkadang menyebabkan rasa makin gatal dan panas setelah dipakai. Gamma

benzene hexachloride 1% krim (Lindane losio 1%) merupakan organoklorida.

Meskipun telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk pengobtan skabies, lindane

tidak dianjurkan sebagai terapi lini pertama. Penggunaan yang berlebihan atau secara

tidak sengaja menelan lindane dapat menjadi racun bagi otak dan bagian-bagian lain

dari system saraf. Penggunaan lindane harus terbatas pada pasien yang mengalami

gagal pengobatan dengan obat lain yang memiliki efek lebih sedikit atau tidak mampu

mentoleransi obat tersebut. Lindane tidak boleh digunakan pada bayi yang premature,

orang dengan gangguan kejang, ibu hamil atau menyusui, iritasi kulit, serta bayi, anak-

anak, dan orang dewasa yang beratnya kurang dari 110 pon. Ivermektin merupakan

agen antiparasit oral yang yang digunakan untuk infeksi cacing. Bukti menunjukkan

bahwa ivermektin oral dapat menjadi pengobatan yang aman dan efektif untuk

skabies. Tapi, ivermektin tidak termasuk obat yang disetujui FDA. Ivermektin oral

digunakan untuk pasien yang mengalami gagal pengobatan atau tidak dapat

mentoleransi obat topikal. Dosis yang digunakan untuk skabies klasik adalah 2 dosis

(200µg/kgBB/ dosis) diminum bersamaan dengan makan, sekitar satu minggu

terpisah.

13
2.9 Pencegahan
Pencegahan skabies dilakukan dengan cara melakukan edukasi pada pasien tentang

penyakit skabies, perjalanan penyakit, penularan, cara eradikasi tungau skabies,

menjaga higiene pribadi, dan tata cara penggunaan obat. Selain itu, pencegahan

skabies dilakukan dengan cara memutus transmisi penularan dengan cara pengobatan

yang dilakukan harus pada orang serumah dan orang disekitar pasien yang

berhubungan erat. Dan selama pengobatan harus dijelaskan pemakaian obat pada

pasien bahwa krim harus dioleskan ke seluruh tubuh dan dibiarkan selama 12 jam.

Pencegahan skabies juga dapat dilakukan dengan cara membersihkan media yang

dapat menjadi transmisi tidak langsung seperti pakaian, seprai, handuk, dan lain-lain

harus dicuci menggunakan air panas diatas 60ºC, kasur, bantal dan guling harus

dijemur paling sedikit 2 kali seminggu dan memperhatikan ventilasi rumah agar

cahaya matahari dapat masuk.

2.10 Prognosis
Prognosis sangat baik bila dilakukan tatalaksana dengan tepat

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad funtionam : Dubia ad bonam

Qua ad sanationam : Bona

14
BAB III

KESIMPULAN

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap

Sarcoptes sacbiei var. hominis. Siklus hidup skabies memiliki beberapa fase, yaitu telur,

larva, nimfa, dan dewasa. Sarcoptes scabiei bertahan hidup dengan membuat lesi berupa

terowongan di lapisan stratum korneum kulit manusia yang berisi telur, tungau, dan hasil

metabolisme. Lesi tersebut sangat menular melalui kontak langsung kulit ke kulit maupun

kontak tidak langsung. Skabies dapat menginfestasi siapa saja, namun beberapa

kelompok yang memiliki kerentanan dan lebih berisiko untuk terinfeksi adalah anak-

anak/usia muda, dewasa muda yang aktif secara seksual, penghuni rumah jompo, fasilitas

kesehatan jangka panjang, sekolah berasrama, dan tempat huni lain yang ramai dengan

kebersihan rendah, sistem kekebaan tubuh yang rendah, pendapatan keluarga yang

rendah, kebersihan yang buruk seperti berbagi pakaian dan handuk serta frekuensi mandi

yang jarang. Terdapat empat tanda kardinal dari infeksi oleh Sarcoptes scabiei, yaitu

pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang, terdapat terowongan (kunikulus), dan

menemukan parasit skabies. Penatalaksanaan skabies dilakukan pada penderita yang

terinfeksi dan orang-orang yang dekat dengan penderita maupun melakuan kontak

langsung dengan penderita. Pengulangan terapi dapat dilakukan bila tanda dan gejala

menetap. Pilihan obat untuk skabies adalah Permethrin krim 5%, Krotamiton losio atau

krim 10%, Sulfur presipitatum 5%-10%, Benzyl Benzoate 25%, Lindane losio 1 %, dan

Ivermektin oral.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, dan Sungkar S. Parasitologi kedokteran edisi
keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.

2. Audhah NA, Umniyati SR, dan Siswati AS. Scabies risk factor on students of islamic
boarding school (study at darul hijrah islamic boarding school, cindai alus village,
martapura subdistrict, banjar district, south kalimantan). J Buski. 2012;1(4):14- 22.

3. Aminah P, Sibero HT, dan Ratna MG. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian
skabies. J Majority. 2015;5(4):54- 59.

4. Ratnasari AF dan Sungkar S. Prevalensi skabies dan faktor-faktor yang berhubungan


di pesantren x, jakarta timur. eJKI [internet]. 2014 [diakses tanggal 30 November 2015];
2(1):7-12. Tersedia dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/arti
cle/viewFile/3177/3401.

5. Stephen J dan Gilmore. Control strategies for endemic childhood scabies. PloS ONE
[internet]. 2011 [diakses pada 30 November 2015]; 6(1):e15990. Tersedia
dari:http://journals.plos.org/plosone/artic le?id=10.1371/journal.pone.001599. Firza
Syailindra dan Hanna Mutiara l Skabies Majority | Volume 5 | Nomor 2 | April 2016 |42

6. Ronny PH. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar H, Siti A, Editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. hlm. 122-125.

7. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi I. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2003.

8. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diakses tanggal 29 oktober


2015].Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/.

9. Currie BJ dan McCarthy JS. Permethrin and ivermectin for scabies. N Egl J Med.
2010;362(8):717-725.

10. Medscape; 2014 [diakses tanggal 30 Oktober 2015]. Tersedia dari:


http://emedicine.medscape.com/article/ 1109204-overview#a4.

16
11. Centers for Disease Control Prevention; 2010 [diakses tanggal 29 oktober 2015].
Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/scabies/ep i.html.

12. American Academy of Dermatology 1938; 2015 [diakses tanggal 30 Oktober 2015].
Tersedia dari: https://www.aad.org/dermatology-a-toz/diseases-and-treatments/q---
t/scabies/who-gets-causes

17

Anda mungkin juga menyukai