Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Skabies adalah suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes


scabei var, hominis yang memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia.
Penyakit ini mudah menular dari manusia ke manusia dengan cara kontak
langsung maupun tidak langsung.¹ Kontak secara langsung misalnya berjabat
tangan, tidur bersama ataupun hubungan seksual. Secara tidak langsung misalnya
melalui tempat tidur, handuk, pakaian dan lain-lain.
Penyakit gudik atau kudis, merupakan penyakit kulit yang dapat di temui
hampir di setiap pondok pesantren, tetapi juga dapat ditemui pada lingkungan
kumuh dan padat penduduk, kamp militer, bahkan rumah sakit, status ekonomi
rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan kualitas higienis pribadi yang kurang
baik atau cenderung jelek. Dianggap sebagai penyakit yang tidak berbahaya
sehingga kurang mendapat perhatian baik dari penderita maupun orang-orang
yang berada di sekitarnya. Penyakit gudik dapat menjangkiti semua orang pada
semua umur, ras dan level sosial ekonomi.2
Banyak orang masih belum mengetahui bahwa penyebab gudikan adalah
spesies tungau yang tidak dapat dilihat oleh mata telanjang. Spesies ini disebut
sebagai Sarcoptes scabiei (var. hominis) dan penyakitnya disebut scabies.1
Scabies memberikan masalah kesehatan secara global, karena 300 juta kasus
terjadi setiap tahunnya di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan
scabies merupakan salah satu dari enam penyakit parasit epidermal kulit yang
terbesar angka kejadiannya di dunia. Insiden di Amerika hampir mencapai 1 juta
kasus per tahun. Rata-rata prevalensi kejadian scabies di Inggris adalah 2,27 per
1000 orang (laki-laki) dan 2,81 per 1000 orang (perempuan).1
Prevalensi scabies di Indonesia menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 2000 sebesar 4,6012,95% dan penyakit scabies menduduki
urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Sampai saat ini scabies masih
terabaikan sehingga menjadi masalah kesehatan yang umum di seluruh dunia.
Cepatnya proses penularan dan ketidakpahaman masyarakat akan penyakit ini
menimbulkan sulitnya pemberantasan scabies.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Skabies


Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap tungau Sarcoptes scabiei varian hominis beserta
produknya. Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig,
budukan, dan gatal agogo.1

II.2 Epidemiologi Skabies


Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi.
Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia,
Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara. Studi epidemiologi
memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung tinggi pada anak-anak
serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, umur, ataupun
kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan
dan kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit ini lebih sering di
daerah perkotaan.2

II. 3 Etiologi Skabies


Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu
sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Sarcoptes scabiei varian
hominis. Sarcoptes scabiei termasuk kedalam kingdom Animalia, filum
Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, famili Sarcoptes, genus
Sarcoptes scabiei varian hominis. Tungau ini khusus menyerang dan
menjalani siklus hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu
terdapat S. scabiei yang lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian
animalis menyerang hewan seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik,
kambing, macan, beruang dan monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini
dapat menyerang manusia yang pekerjaannya berhubungan erat dengan
hewan tersebut di atas, misalnya peternak, gembala, dll. Gejalanya ringan,
sementara, gatal kurang, tidak timbul terowongan-terowongan, tidak ada

2
infestasi besar dan lama serta biasanya akan sembuh sendiri bila menjauhi
hewan tersebut dan mandi yang bersih.1
Secara morfologik tungau ini berukuran kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor dan tidak bermata. Ukuran betina berkisar antara 330-
450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan jantan lebih kecil, yakni 200-240
mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2
pasang kaki di depan yang berakhir dengan penghisap kecil di bagian
ujungnya sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina
berakhir dengan rambut (satae), sedangkan pada yang jantan pasangan kaki
ketiga berakhir dengan rambut dan keempat berakhir dengan alat perekat.4

Gambar 1. Sarcoptes scabiei varian hominis

II.4 Siklus Hidup


Sarcoptes scabiei tinggal di dalam stratum korneum (lapisan tanduk)
kulit dan memakan cairan sel. Tungau menggali hanya dilapisan bagian atas
kulit dan tidak pernah sampai di bawah stratum korneum. Terowongan yang
dihasilkan tampak sebagai garis tipis yang berkelok-kelok yang berwarna
abu-abu atau seperti kulit dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1 cm
Siklus hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga menjadi tungau dewasa
memerlukan waktu 10-14 hari sedangkan tungau betina mampu hidup pada
inangnya hingga 30 hari. Tungau betina menggali terowongan di bawah
permukaan kulit dan meletakkan 2 – 3 telur setiap harinya selama 6 hari
berturut-turut, sehingga menyebabkan timbulnya papule pada kulit. Telur
akan menetas setelah 2 - 3 hari

3
Perkembangan instar meliputi telur, larva, protonimfa, dan tritonimfa.
Setelah menetas, larva bermigrasi ke permukaan kulit dan menggali area
stratum korneum yang masih utuh menghasilkan terowongan pendek yang
hampir tidak terlihat yang disebut sebagai moulting pounch (kantung untuk
berganti kulit). Setelah berumur 3-4 hari, larva Sarcoptes scabiei, yang
berkaki 3 pasang akan berganti kulit, menghasilkan protonimfa berkaki 4
pasang. Kemudian protonimfa akan berganti kulit lagi menjadi tritonimfa
sebelum benar-benar menjadi tungau dewasa. Larva dan nimfa biasanya dapat
ditemukan di dalam moulting pounch atau pada folikel rambut. Tritonimfa
akan menjadi dewasa dan berubah spesifik menjadi jantan atau betina dalam
waktu 3-6 hari. Setelah dewasa, tungau akan segera keluar dari moulting
pounch ke permukaan kulit untuk mencari area stratum korneum yang masih
utuh dan membuat terowongan kembali
Tungau jantan dewasa jarang ditemukan di permukaan kulit, karena
mereka berada di dalam lubang sempit dan makan sampai mereka siap untuk
kawin. Setelah siap kawin, tungau jantan dewasa akan mencari tungau betina
dewasa yang berada di dalam moulting pounch. Perkawinan terjadi ketika
tungau jantan dewasa melakukan penetrasi ke dalam moulting pounch berisi
tungau betina dewasa fertil. Perkawinan hanya terjadi sekali. Meskipun masih
diperdebatkan, tetapi diyakini bahwa tungau jantan akan mati setelah
melakukan perkawinan
Tungau betina yang mengandung telur akan meninggalkan moulting
pounch dan berada di permukaan kulit sampai menemukan tempat yang
cocok untuk menggali terowongan permanen untuk meletakkan telurtelurnya.
Setelah bertelur, tungau betina dewasa akan hidup sampai 1-2 bulan sebelum
kemudian mati

4
Gambar 2. Siklus hidup Sarcoptes Scabiei

II.5 Infestasi, Daya Tahan Hidup Dan Penularan Pada Inang


Diluar tubuh inang, Sarcoptes scabiei dapat bertahan hidup selama 24-36
jam dalam suhu ruangan (21°C) dan dengan kelembaban 40% - 80%. Pada
suhu yang lebih rendah (10-15°C) dengan kelembaban yang lebih tinggi
Sarcoptes scabiei dapat bertahan hidup lebih lama. Meskipun tidak memiliki
mata, Sarcoptes scabiei menggunakan rangsangan bau dan suhu untuk
mengenali tubuh inang
Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat
saat kontak kulit dengan penderita. Skabies dapat ditularkan melalui kontak
langsung maupun kontak tidak langsung. Penularan melalui kontak langsung
(skin-to-skin) menjelaskan mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh
anggota keluarga maupun dalam sebuah komunitas yang tinggal di
lingkungan padat penghuninya. Penularan secara tidak langsung dapat
melalui penggunaan bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Bahkan
dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antar penderita dengan orang
sakit, namun skabies bukan manifestasi utama dari penyakit menular seksual.

5
Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-
bagian tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang stratum
korneumnya tipis dan bagian yang lembab, seperti di sela-sela jari tangan,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan,
areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genetalia eksterna (pria) dan
perut bagian bawah. Pada bayi dan anak-anak dapat juga ditemukan ruam
pada kulit kepala, wajah, leher telapak tangan, dan kaki.

Gambar 3 Predileksi \\\\\\\\\\\\\


Skabies

II.6 Patogenesis Skabies


Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya
memperlihatkan peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap
timbulnya gatal. Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera
memberikan gejala pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer
serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap
tungau maupun sekret yang dihasilkan terowongan di bawah kulit.
Adanya keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV
diperkirakan menjadi penyebab munculnya manifestasi pada skabies. Pada
reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin E pada sel
mast yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast.
Sehingga terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi

6
hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari
setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-papul dan nodul
inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan jumlah sel
limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus.
Kelainan kulit yang menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih
luas dibandingkan lokasi tungau dengan efloresensi dapat berupa papul,
nodul, vesikel, urtika, dan lainnya. Di samping lesi yang disebabkan oleh
Sarcoptes scabiei secara langsung, dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan
penderita sendiri. Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul
erosi, ekskoriasi, krusta hingga terjadinya infeksi sekunder.5

II.7 Manifestasi Klinis Skabies


Terdapat 4 tanda kardinal dari skabies, dimana diagnosis dapat
ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal tersebut atau
menemukan tanda kardinal ke-41 :
1. Pruritus nokturna adalah gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan
panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan
penderita menjadi gelisah.
2. Mengenai sekelompok orang, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga
yang rumahnya berdekatan dengan penderita akan terkena.
3. Adanya terowongan (kunikulus / burrows) pada tempat-tempat
predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan. Berbentuk garis lurus
atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujungnya terdapat papul atau
vesikel. Kunikulus ini pada pemeriksaan fisik kadang tidak ditemukan
karena sudah hilang akibat garukan kronis. Jika timbul infeksi sekunder
lesi kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dll).
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Apabila
dapat menemukan terowongan yang masih utuh kemungkinan besar
dapat menemukan tungau dalam berbagai stadium. Akan tetapi, kriteria

7
yang keempat ini agak sulit ditemukan karena hampir sebagian besar
penderita umumnya datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak
spesifik.

II.8 Diagnosis Skabies


Pada umumnya, diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan dua dari empat
tanda kardinal. Diagnosis definitif bergantung pada identifikasi mikroskopis
adanya tungau, telur atau fecal pellet. Seringkali tungau tidak dapat
ditemukan walau terdapat gejala skabies yang jelas. Untuk itu, anamnesa
yang jelas dan adanya tanda kardinal akan sangat membantu untuk
menegakkan diagnosa skabies.6
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapat dilakukan dengan beberapa cara antara
lain7 :
1. Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau
KOH 10%, lalu dilakukan kerokan kulit dengan mengangkat papul
atau atap terowongan menggunakan scalpel steril. Kemudian kerokan
diperiksa dibawah mikroskop.
2. Biopsi irisan (epidermal shave biopsy)
Lesi dijepit dengan 2 jari kemudian dibuat irisan tipis dengan skalpel
steril kemudian diperiksa dibawah mikroskop.
3. Tes tinta Burrow (Burrow ink test)
Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan 20-30 menit,
kemudian dihapus dengan kapas alkohol, maka jejak terowongan akan
terlihat sebagai garis gelap yang karakteristik, berbelok-belok, karena
akumulasi tinta di dalam terowongan.

II.9 Diagnosis Banding Skabies


1. Prurigo nodularis, berupa nodul-nodul yang gatal, sifatnya kronik,
muncul jika ada stress, predileksi pada bagian ekstensor ekstremitas.9

8
Gambar 4 Prurigo nodular

2. Pedikulosis korporis, gatal disertai infeksi sekunder dengan pembesaran


kelenjar getah bening.8,9

Gambar 5 Pedikulosis korporis


3. Dermatitis atopik, bersifat kronis dan residif, muncul eritema dan papulo-
vesikel yang gatal, ada riwayat atopi pada keluarga, terdapat faktor
pemicu, tes kulit alergi positif, kadar IgE serum meningkat.8,9

Gambar 6 Dermatitis atopic

9
II.10 Penatalaksanaan Skabies
1. Non-farmakologi1,2,10 :
a. Mandi dan keringkan badan.
b. Pengobatan skabisid topikal yang diberikan dioleskan di seluruh
kulit, kecuali wajah, sebaiknya dilakukan pada malam hari sebelum
tidur. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
c. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan
teratur dan bila perlu direndam dengan air panas.
d. Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota
keluarga serumah.
e. Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid.
Tidak boleh mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan diluar
ketentuan dari dokter.
f. Pasien harus diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi
skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap
menetap hingga 4 minggu.
g. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan
pengobatan yang sama dan ikut menjaga kebersihan.

2. Farmakologi1,2,6,10 :
Pengobatan skabies harus efektif terhadap tungau dewasa, telur dan
produknya, mudah diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman
untuk semua umur, dan terjangkau biayanya. Pengobatan skabies dapat
berupa topikal maupun oral. Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus
dioleskan di seluruh permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit
kepala, lebih difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area
lipatan kulit sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak
dan skabies berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan
skabisid topikal.

10
Jenis obat topikal :
a. Permethrin 5%
Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara
mengganggu polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui
ikatan dengan natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding
sel dan akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini merupakan
pilihan pertama dalam pengobatan scabies karena efek
toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan kecenderungan
keracunan akibat kesalahan dalam penggunaannya sangat kecil.
Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit
dan cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali
melalui keringat, sebum, dan juga melalui urin.
Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang
diaplikasikan selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih.
Apabila belum sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua
setelah 1 minggu. Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang
berumur kurang dari 2 bulan, wanita hamil dan ibu menyusui.
Wanita hamil dapat diberikan dengan aplikasi yang tidak lama
sekitar 2 jam. Efek samping jarang ditemukan, berupa: rasa
terbakar, perih, dan gatal, namun mungkin hal tersebut dikarenakan
kulit yang sebelumnya memang sensitive dan terekskoriasi.

b. Presipitat Sulfur 2-10%


Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama
digunakan, sejak 25 M. Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk
salep (2% -10%) dan umumnya salep konsentrasi 6% lebih disukai.
Cara aplikasi salep sangat sederhana, yakni mengoleskan salep
setelah mandi ke seluruh kulit tubuh selama 24 jam selama tiga
hari berturut-turut. Keuntungan penggunaan obat ini adalah
harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-satunya
pilihan di negara yang membutuhkan terapi massal. Bila kontak
dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk hydrogen
sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germicid

11
dan fungicid. Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan
oleh anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam
konsentrasi 2,5% pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini adalah
bau tidak enak, mewarnai pakaian dan kadang-kadang
menimbulkan iritasi.

c. Benzyl benzoate
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol
benzil yang merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzil
benzoate bersifat neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan
sebagai 25% emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada usia
dewasa muda atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi
12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik
dan teratur dan secara kosmetik bias diterima. Efek samping dari
benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah
dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak
menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat
menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan
pada wanita hamil, menyusui bayi, dan anak-anak kurang dari 2
tahun. Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan
resistant crusted scabies. Di negara-negara berkembang dimana
sumber daya yang terbatas, benzil benzoate digunakan dalam
pengelolaan skabies sebagai alternatif yang lebih murah.

d. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)


Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena,
adalah sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat
(SSP) tungau. Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru,
mukosa usus, dan selaput lendir kemudian keseluruh bagian tubuh
tungau dengan konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan
kulit yang menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau.
Lindane dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses.

12
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan
tidak berwarna.
Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh
tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1%
krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat
diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan
larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan
sebelumnya. Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan
Lindane selama 6 jam sudah efektif. Dianjurkan untuk tidak
mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak menggunakan
konsentrasi lain selain 1%. Efek samping lindane antara lain
menyebabkan toksisitas SSP, kejang, dan bahkan kematian pada
anak atau bayi walaupun jarang terjadi.
Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane
yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor,
disorientasi, kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang,
kegagalan pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti
menunjukkan lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis
kelainan darah seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan
pancytopenia.

e. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)


Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai
krim 10% atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50%
dan 70%. Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali
sehari selama lima hari berturutturut setelah mandi dan mengganti
pakaian dari leher ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci
setelah aplikasi kedua. Efek samping yang ditimbulkan berupa
iritasi bila digunakan jangka panjang.
Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini tidak
memiliki efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Crotamiton 10%
dalam krim atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman
digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak kecil.

13
f. Ivermectin
Ivermectin adalah bahan semisintetik yang dihasilkan oleh
Streptomyces avermitilis, anti parasit yang strukturnya mirip
antibiotic makrolid, namun tidak mempunyai aktifitas sebagai
antibiotic, diketahui aktif melawan ekto dan endo parasit.
Digunakan secara meluas pada pengobatan hewan, pada mamalia,
pada manusia digunakan untuk pengobatan penyakit filarial
terutama oncocerciasis. Diberikan secara oral, dosis tunggal, 200
ug/kgBB dan dilaporkan efektif untuk scabies. Digunakan pada
umur lebih dari 5 tahun. Juga dilaporkan secara khusus tentang
formulasi ivermectin topikal efektif untuk mengobati scabies. Efek
samping yang sering adalah kontak dermatitis dan toxicepidermal
necrolysis.

g. Monosulfiran
Tersedia dalam bentuk lotion 25% sebelum digunakan
harus ditambahkan 2-3 bagian air dan digunakan setiap hari selama
2-3 hari.

h. Malathion
Malathion 0,5% adalah insektisida organosfosfat dengan
dasar air digunakan selama 24%. Pemberian berikutnya beberapa
hari kemudian. Namun saat ini tidak lagi direkomendasikan karena
berpotensi memberikan efek samping yang buruk.

Penatalaksanaan simptomatiknya seperti obat anti histamin


mungkin mengurangi gatal yang secara karakteristik menetap selama
beberapa minggu setelah terapi dengan anti skabeis yang adekuat. Pada
bayi, aplikasi hidrokortison 1% pada lesi kulit yang sangat aktif dan
aplikasi pelumas atau emolient pada lesi yang kurang aktif mungkin
sangat membantu, dan pada orang dewasa dapat digunakan triamsinolon
0,1% dengan atau tanpa antibiotik topikal tergantung adanya infeksi

14
sekunder oleh Staphylococcus aureus. Setelah pengobatan berhasil untuk
membunuh tungau skabies, masih terdapat gejala pruritus selama 6
minggu sebagai reaksi eczematous atau masa penyembuhan.8

II.11 Pencegahan
Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan skabies, orang-orang
yang kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan
topikal skabisid. Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah
penyebaran skabies karena seseorang mungkin saja telah mengandung tungau
skabies yang masih dalam periode inkubasi asimptomatik. Selain itu untuk
mencegah terjadinya reinfeksi melalui sprei, bantal, handuk dan pakaian yang
digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan dikeringkan dengan
udara panas karena tungau skabies dapat hidup hingga 3 hari diluar kulit,
karpet, dan kain pelapis lainnya.4

II.12 Komplikasi
Infeksi sekunder pada pasien skabies merupakan akibat dari infeksi
bakteri atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik yang
ada. Erosi merupakan tanda yang paling sering muncul pada lesi sekunder.
Infeksi sekunder dapat ditandai dengan munculnya pustul, supurasi, dan
ulkus. Selain itu dapat muncul eritema, skuama, dan semua tanda inflamasi
lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat terhadap iritasi. Infeksi
sekunder lokal sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
biasanya mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau antibiotik oral,
tergantung tingkat piodermanya.2,7

II.13 Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta
menghilangkan faktor predisposisi (antara lain higiene), maka penyakit ini
dapat memberikan prognosa yang baik.1

15
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : By. Ag
Umur : 6 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Ambarawa
Pekerjaan :-

B. Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesa di Poli Kulit RSUD Ambarawa pada
tanggal 19 Oktober 2018.
1. Keluhan Utama :
Timbul bintik-bintik yang terasa gatal
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan pasien Poli Anak dibawah naungan SpA yang
dikonsulkan ke bagian kulit kelamin. Berdasarkan Alloanamnesa dengan
ibu pasien, awalnya pasien datang ke poli anak dengan keluhan demam
dan pilek 1 minggu SMRS. Ibu pasien juga mengeluhkan timbul bintik-
bintik kecil putih keabuan pada bagian selangkangan, paha, lipat paha
kanan dan bintik kemerahan pada bagian perut dan punggung bawah,
sehingga dikonsulkan ke poli kulit. Pasien sering menggaruk bagian
tubuhnya tersebut. Menurut ibu pasien keluhan gatal sudah dirasa sejak -+
2 minggu yang lalu. Tetapi 1 minggu ini bintik-bintik semakin banyak dan
menyebar ke tubuh lain. Keluhan gatal dirasa semakin hebat terutama pada
malam hari, sehingga pasien sering terbangun dari tidurnya. Keluhan
demam disangkal.
Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan kakak yang
bersekolah di Pondok Pesantren, ibu pasien mengaku bahwa kakaknya
memiliki keluhan yang serupa setelah pulang dari pondok, dan sering

16
hilang timbul. Ibu pasien mengaku bahwa sekarang kakaknya sudah tidak
ada keluhan lagi setelah berobat di puskesmas. Ibu pasien juga megaku
bahwa kakak dan adiknya tidur bersama. Penggunaan handuk bersama
disangkal. Ibu pasien mengaku bahwa dirumahnya terdapat hewan ternak
yaitu ayam, letak kandang ayam dekat dengan rumah. Riwayat Alergi
disangkal. Riwayat pengobatan disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Di dalam keluarga, kakaknya mempunyai riwayat penyakit seperti yang
dikeluhkan pasien. Riwayat alergi (-).
5. Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tinggal bersama kedua
orang tua dan kakaknya. Dirumah terdapat hewan ternak yaitu ayam, letak
kandang berdekatan dengan rumah.
6. Riwayat Higeinitas :
Ibu pasien mengaku mandi 1 kali sehari yaitu pagi atau sore hari. Pasien
tidur bersama kakaknya.

C. Pemeriksaan Fisik :
1. Status Generalis :
a. Keadaan umum : tampak sakit sedang
b. Kesadaran : compos mentis.
c. BB : 6.6 Kg
d. Tanda Vital
1) Tekanan darah : - mmHg.
2) Nadi : 120 kali/menit.
3) Pernapasan : 22 kali/menit.
4) Suhu : 36.4ºC.
e. Kepala : kesan normochepal, rambut berwarna hitam, tidak mudah
dicabut.
f. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
g. Hidung : pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-).

17
h. Mulut : mukosa bibir lembab, bibir tidak sianosis.
i. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
j. Thorax : Bentuk normochest, pergerakan simetris kanan dan kiri.
1) Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak.
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tak membesar.
Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-).
2) Pulmo
Inspeksi : retraksi tidak ada, gerakan dinding dada simetris
kanan dan kiri.
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri.
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : VBS (+/+), wh (-/-), rh (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : datar, terdapat lesi (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba.
Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen.
l. Ekstremitas atas : akral hangat, CRT (< 2 detik/ < 2 detik), sianosis
(-/-), edema (-/-), terdapat lesi (-/-).
m. Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT (< 2 detik/< 2 detik), sianosis
(-/-), edema (-/-), terdapat lesi (+/-).

18
2. Status Dermatologis :

Gambar 7 Ujud Kelainan Kulit pada Perut Bawah, Selangkangan Kanan dan Punggung
Bawah Kanan

Lokasi I : perut bawah, punggung bawah kanan, selangkangan kanan


UKK : papul, eritema, hiperpigmentasi

Gambar 8 Ujud Kelainan Kulit pada Paha kanan dan lipat paha kanan
Lokasi II : paha kanan, lipat lutut kaki kanan
UKK : papul,, hiperpigmentasi

19
D. Resume
By. Ag, laki-laki, usia 6 bulan, ibu pasien mengeluh awalnya timbul bintik-bintik
putih keabuan pada perut bawah, selangkangan kanan, paha kanan, dan lipat paha
kanan yang terjadi sejak 2 minggu yang lalu dan terasa gatal pada pasien. Gatal
dirasa semakim memberat terutama pada malam hari. Pasien tinggal bersama
kedua orang tua dan kakaknya yang mengalami keluhan serupa dan kakanya yang
tinggal di pondok pesantren. Ibu pasien mengaku bahwa adik dan kakaknya tidur
bersama dan di rumahnya terdapat hewan ternak yaitu ayam, dimana kandang
ayam berdekatan dengan rumahnya. Pada pemeriksaan fisik dijumpai status
generalisata pasien dalam batas normal. Sementara pada status dermatologis
didapatkan pada perut bawah, selangkangan, dan pungung ditemukan ujud
kelainan kulit seperti papul, eritema, hiperpigmentasi. Pada paha dan lipat paha
kanan ditemukan papul dan hiperpigmentasi.

E. Diagnosis Banding
- Skabies
- Prurigo
- Pedikulosis Korporis
- Dermatitis

F. Diagnosis Kerja
Skabies

G. Pemeriksaan Penunjang
Saran : Kerokan kulit

H. Tatalaksana
1. Non-farmakologi :
a. Edukasi kepada ibu pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh
infestasi parasit (tungau) di mana penyakit ini berhubungan dengan
higienitas yang rendah. Diterangkan juga bahwa penyakit ini sangat
menular.
b. Dalam pengobatan, aplikasikan obat salep 1x dalam seminggu selama
2 minggu pada malam hari dari leher kebawah, pada tempat lesi agak

20
ditekan agar obat menyerap dengan baik. Sebelumnya, pasien mandi
sore dengan bersih, keringkan badan dengan handuk bersih yang baru
kemudian aplikasikan salep pada malam harinya lalu ganti seluruh
pakaian (dalam maupun luar) serta sprei kasur. Salep ini dibersikan
setelah pemakaian selama 8-12 jam. Setelah seminggu kontrol
kembali ke dokter.
c. Keluarga pasien sebaiknya berobat juga untuk mendapatkan
pengobatan yang sama dan ikut menjaga kebersihan.
d. Edukasi kepada ibu pasien dan keluarga untuk meningkatkan
kebersihan per orangan dan lingkungan, antara lain kebiasaan mandi 2
kali sehari dengan menggunakan sabun dan menggosok anggota badan
dengan baik serta keramas pada sore hari, memotong kuku secara
rutin 1 kali seminggu, membersihkan lantai rumah dengan baik dan
membuka jendela rumah pada siang hari sebagai pencahayaan dan
ventilasi.
e. Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga
serumah.

2. Farmakologi
- Topikal : Permetrin 5% krim pada malam hari 1x seminggu
- Sistemik : Cetirizin tab 1/7 (1x1) sore

I. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia
- Quo ad cosmetica : ad bonam

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari alloanamnesis didapatkan, pasien laki-laki berusia 6 bulan, ibu pasien


mengeluh pasien awalnya timbul bintik-bintik putih keabuan pada perut bawah ,
selangkangan, paha dan lipat paha sebelah kanan yang terjadi sejak 2 minggu
yang lalu yang terasa gatal. Gatal dirasa semakin memberat terutama pada malam
hari. Pasien tinggal bersama kedua orang tua dan kakaknya yang mempunyai
keluhan yang sama. Kakaknya tinggal di pondok pesantren. Ibu pasien mengaku
adik dan kakak tidur bersama. Dirumah pasien terdapat hewan ternak yaitu ayam
dan kandang hewan dekan dengan rumah pasien. Anamnesis ini mengarah kepada
penyakit kulit, yaitu Skabies. Skabies atau sering disebut gudik merupakan
peyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensititasi terhadap Sarcoptes
scabiei var, hominis dan produknya. Penyakit ini dapat menyerang manusia secara
berkelompok, terutama kelompok dengan higien yag buruk dan sosio ekonomi
yang rendah. Skabies dapat menular dengan cara kontak langsung (kontak kulit
dengan kulit) maupun kontak tidak langsung (melalui benda, contoh pakaian,
handuk, sprei, bantal, dan lain-lain). Diagnosis skabies dapat ditegakan dengan
menemukan 2 dari 4 tanda kardinal. Pada kasus ini ditemukan 2 tanda kardinal,
yaitu gatal yang dirasa memberat terutama pada malam hari (Pruritus nocturna) ,
dan mengenai kakak pasien yang tinggal di Pondok pesantren dimana memiliki
keluhan yang serupa. Dan terdapat predileksi lesi khas pada skabies, yaitu pada
kulit yang memiliki stratum korneum yang tipis, seperti sela jari, telapak tangan,
pergelangan tangan bagian volar, lipat ketiak bagian depan, dan perut. Sementara,
tungau belum ditemukan karena tidak dilakukan kerokan kulit.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai pada perut bawah, selangkangan
punggung bawah, lipat paha kanan ditemukan wujud kelainan kulit seperti, papul,
eritema, makula, dan hiperpigmentasi. Tidak terdapar pustul, krusta, skuama, pus
dan ekskoriasi. Hal ini menunjukan pada lokasi ini, ujud kelaianan kulit yang
tampak merupakan ujud primer dan belum menimbulkan infeksi sekunder,
keadaan ini disebut scabies.

22
Pada kasus ini dipikirkan diagnosis banding berupa prurigo hebra,
pedikulosis korporis, dan dermatitis. Prurigo herba merupakan penyakit kulit
kronis dimulai sejak bayi atau anak, sering terdapat pada anak dengan tingkat
sosial ekonomi dan kebersihan rendah. Penyebab pasti belum diketahui, diduga
sebagai penyakit herediter, akibat kepekaan kulit terhadap gigitan serangga.
Tanda khasnya adalah adanya papul-papul miliar tidak berwarna, berbentuk
kubah, sangat gatal. Tempat predileksinya di ekstremitas bagian ekstensor dan
simetris. Diagnosis ini dapat disingkirkan karena tempat predileksi pada pasien
ini tidak simetris dan predileksinya tidak terdapat pada ekstensor sebelum
terjadi lesi pasien tidak berkontak gigitan serangga, dan pasien belum pernah
mengalami keluhan ini sebelumnya.
Pedikulosis korporis, merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh
gigitan Pedikulus humanus varitas corporis dan menimbulkan rasa gatal.
Keluhan berupa gatal dengan kelainan kulit berupa papul milier disertai bekas
garukan yang menyeluruh pada tubuh pasien. Kadang timbul infeksi sekunder
dengan pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya
menyerang orang dewasa terutama pada orang dengan higiene yang buruk,
misalnya penggembala yang disebabkan mereka jarang mandi, mengganti atau
mencuci pakaian. Pada pasien ini jarang ditemukan bekas garukan yang
menyeluruh pada tubuh pasien dan tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening regional. Sehingga hal ini melemahkan diagnosis pedikulosis korporis.
Derrmatitis, meskipun memberikan kelainan kulit yang hampir sama
namun pada dermatitis dalam anamnesa tidak didapatkan adanya anggota
keluarga yang menderita keluhan yang sama, riwayat alergi, riwayat kontak
dengan bahan iritan, dan pada ujud kelainan kulit pasien tempat predileksi tidak
simetris (pada DKA).
Penatalaksanaan pada kasus skabies dapat dilakukan dengan non-
farmakologi dan farmakologi. Penatalaksanaan non-farmakologi yaitu dengan
memberikan edukasi tentang pengertian penyakit yang merupakan manifestasi
dari tungu, beserta faktor resiko dan cara penularan penyakit. Kemudian
edukasi cara penggunaan obat antiskabies dengan benar dan pencegahan
skabies dengan cara seperti berikut, pakaian, handuk, karpet, sprei, selimut,

23
bantal, guling, dan kasur yang telah dipakai sampai 3 hari kebelakang dicuci
bersih, pencucian lebih baik menggunakan air panas dengan suhu 500C atau
lebih dan dijemur dibawah sinar matahari langsung sampai benar-benar kering
atau ditempatkan di plastik kantung selama 1 minggu. Hal ni diharapkan
tungau yang tertinggal di dalam alat-alat tersebut akan mati 3-5 hari diluar
tubuh hostnya. Tidak boleh menggunakan pakaian atau handuk bersama
dengan orang lain. Bila gatal sebaiknya jangan digaruk menggunakan kuku dan
jangan terlalu keras karena dapat menyebabkan luka yang lebih parah dan
meningkatkan resiko infeksi lain. Eduaksi pula tentang menjaga kebersihan.
Menjelaskan pentingnya mengobati setiap orang yang tinggal dengan pasien,
khusunya yang menderita keluhan serupa.
Penatalaksanaan farmakologi yang dilakukan pada pasien ini adalah dengan
memberikan obat secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah
permetrin 5% krim dioleskan dari leher kebawah pada malam hari selama 8-12
jam satu kali seminggu, untuk pemakaian krim di tempat lesi agak sedikit ditekan
agar krim dapat menyerap dengan baik. Meunurut literatur, pemethrin merupakan
pilihan pertama dalam pengobatan skabies karena efek toksisitasnya terhadap
mamalia sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat kesalahan dalam
penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang
terabsorpsi di kulit dan cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali
melalui keringat, sebum, dan juga melalui urin. Permethrin tersedia dalam bentuk
krim 5%, yang diaplikasikan selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih.
Apabila belum sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1
minggu. Efek samping jarang ditemukan, berupa: rasa terbakar, perih, dan gatal,
namun mungkin hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya memang
sensitive dan terekskoriasi. Pemberian obat sistemik berupa antihistamin, berupa
cetirizine 1x2,5mg (1/2 sendok teh) yang merupakan antihistamin generasi II.
Pasien diberi obat ini atas indikasi pruritus yang dirasakan pasien. Antihistamin
ini memiliki mekanisme kerja menghambat fungsi eosinophil, menghambat
pelepasan histamine dan prostaglandin D2. Melalui mekanisme kerja tersebut
cetirizine memiliki efek antihistamin sehingga dapat mengurangi rasa pruritus.

24
Prognosis pasien pada umumnya baik bila diobati dengan benar dan juga
menghindari faktor risiko yang ada. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan
kepada setiap orang yang tinggal bersama dengan pasien secara menyeluruh,
khususnya yang mengalami keluhan serupa dengan pasien. Bila skabies tidak
diobati dengan baik dan adekuat maka Sarcoptes scabiei varian hominis akan
tetap hidup dan berkembang biak dalam kulit manusia karena manusia merupakan
hospes definitif dari S. Scabiei varian hominis ini. Prognosis pasien ini pada quo
ad vitam, quo ad functionam dan kosmetiknya adalah ad bonam, tetapi progosis
pada qua ad sanationam adalah dubia. Hal ini dikarenakan resiko kegagalan
pengobatan dan terjadi reinfestasi tungau kembali pada pasien ini masih
meragukan, mengingat pasien tinggal bersama kakaknya yang memiliki keluhan
serupa dan tinggal di lingkungan pesantren dimana teman-teman pasien memiliki
keluhan yang serupa. Maka dari itu perlu juga dilakukan pengobatan kepada
seluruh anggota keluargadan juga para santri lainnya untuk mencegah terjadainya
reinfestasi tungau, tetapi pengobatan secara menyuluruh hanya dapat tercapai
dengan adanya kerjasama dengan pihak terkait yaitu keluarga dan pondok
pesantren.

25
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien dengan identitas; nama By. Ag (6 bulan) dengan


diagnosis skabies. Diagnosis scabies pada kasus ini ditegakan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan
pasien laki-laki berusia6 bulan dengan keluhan timbul bintik-bintik kemerahan
pada bagian perut bawah, punggung, selangkangan, paha, dan lipatan paha kanan.
Pasien sering menggaruk bagian tubuhnya tersebut. Menurut ibu pasien keluhan
gatal sudah dirasa sejak -+ 2 minggu yang lalu, gatal dirasa semakin hebat
terutama pada malam hari. Pasien tinggal bersama keluarganya yang dimana
kakaknya memiliki keluhan yang serupa. Ibu pasien mengaku jika tidur pasien
bersama kakak pasien. Dan dirumah pasien terdapat hewan ternak berupa ayam
dimana kandangnya dekat dengan rumah.
Pada pemeriksaan fisik status dermatologis didapatkan pada perut bawah,
punggung bawah kanan , dan selangkanan kanan terdapat ujud kelainan kulit
berupa papul, eriterma, dan hiperpigmentasi. Dimana ujud kelainan kulit pada
bagian paha dan lipat paha kanan berupa papul dan hiperpigmentasi. Terapi yang
diberikan pada pasien ini adalah permethrin 5% krim yang dioleskan satu kali
pada malam hari, Cetirizin 1/7 tab x 1 dalam sehari. Pasien dan keluarga dimita
untuk pasien tidak menggaruk lukanya, istirahat, menjaga kebersihan kulit,
mencuci selimut, handuk, dan pakaian dengan menggunakan air panas, serta
menjemur kasur, bantal, dan guling secara rutin, untuk tidak memakai handuk dan
pakaian secara bersamaan dengan orang lain, keluarga juga diedukasi untuk
menggunakan salep yang digunakan oleh pasien dan kontrol ke poliklinik kulit.
Prognosis pada pasien ini adalah quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad
bonam, quo ad sanationam dubia, quo ad kosmetikam ad bonam.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Wasitaatmadja SM. Anatomi Kulit. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S,


ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2009: 3-6.

2. Handoko R. Skabies. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, ed. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-5, cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2009: 119-22.

3. Binic I, Aleksandar J, Dragan J, Milanka L. Crusted (Norwegian) Scabies


Following Systemic And Topikal Corticosteroid Therapy. J Korean Med Sci.
2010: (25) 88-91.

4. Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Med J.


2005: 17; 331(7517) / 619-22.

5. Beggs J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA: Michigan


Department Of Community Health. 2005: 4-6, 10.

6. Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009: (22) 279-92.

7. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi ke-1. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2003: 5-10.

8. Cox N. Permethrin Treatment In Scabies Infestasion: Important of Correct


Formulation. British Medical J. 2000: (320) 37-8.

9. Fox G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of
Family Practice. 2006: (55) 26-7, 30.

10. Johnston G, Sladden M. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Medical J.


2005: (331) 619-22.

27

Anda mungkin juga menyukai