Anda di halaman 1dari 64

REFERAT

Infeksi Jamur pada Kulit

Pembimbing:

dr. Prasti Adhi Dharmasanti, Sp.KK

Oleh:

Greetty Permatahati (112018184)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RS BHAYANGKARA H.S SAMSOERI MERTOJOSO SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 06 MEI – 08 JUNI 2019

1
KANDIDIASIS

Definisi

Kandidiasis adalah penyakit jamur yang bersifat akut atau subakut disebabkan oleh
jamur intermediate Candida sp., biasanya oleh spesies Candida albicans dan dapat
mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, dengan berbagai manifestasi
klinisnya yang bisa berlangsung akut, kronis atau episodik, kadang-kadang dapat
menyebabkan septicemia, endokarditis atau meningitis.1

Epidemiologi

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki
maupun perempuan. Jamur penyebabnya terdapat pada orang sehat sebagai saprofit.
Gambaran klinisnya bermacam-macam sehingga tidak diketahui data-data penyebarannya
dengan tepat.2

Etiologi

Yang tersering sebagai penyebab ialah Candida albicans yang dapat diisolasi dari
kulit, mulut, selaput mukosa vagina, dan feses orang normal. Sebagai penyebab
endokarditis kandidiasis ialah C. parapsilosis dan penyebab kandidiasis septicemia adalah
C. tropikalis.1

Candida sp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya
sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang
ditemukan pada manusia, C.albicans lah yang paling pathogen. Candida sp.
memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan saling
bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa
lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih
besar sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai
titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius
yang ada lebih besar. 1,2

Sel jamur kandida berbentuk bulat, lonjong, dengan ukuran 25µ x 36 µ hingga 25
µ x 528,5 µ Spesies-spesies kandida dapat dibedakan berdasarkan kemampuan fermentasi
dan asimilasi terhadap larutan glukosa, maltosa, sakarosa, galaktosa dan laktosa. Jamur
kandida dapat hidup sebagai saprofit tanpa menyebabkan kelainan apapun di dalam
berbagai alat tubuh baik manusia maupun hewan. C. albicans merupakan spesies jamur

2
kandida yang paling sering menyebabkan kandidiasis pada manusia, baik kandidiasis
superfisialis maupun sistemik. Pada media agar khusus akan terlihat struktur hyphae,
pseudohyphae dan ragi.3

Gambar 1. Candida albicans

Klasifikasi

Berdasarkan tempat yang terkena CONANT dkk. (1971), mambaginya sebagai berikut:1,2

Kandidiasis selaput lendir:

1. Kandidiasis oral (thrush)


2. Perleche
3. Vulvovaginitis
4. Balanitis atau balanopostitis
5. Kandidiasis mukokutan kronik
6. Kandidiasis bronkopulmonar dan paru

Kandidiasis kutis:

1. Lokalisata: a. daerah intertriginosa


b. daerah perianal

2. Generalisata
3. Paronikia dan onikomikosis
4. Kandidiasis kutis granulomatosa

3
Kandidiasis sistemik:

1. Endokarditis
2. Meningitis
3. Pielonefritis
4. Septikemia

Reaksi id. (kandidid)

Reaksi terjadi karena reaksi alergi terhadap jamur atau antigen lain yang terbentuk
selama proses inflamasi, klinis nya berupa vesikel eritrematosa yang bergerombol, terdapat
pada lateral jari dan telapak tangan. Bila infeksi diobati maka keinan akan sembuh.

Patogenesis

Kandida di dalam tubuh manusia dapat bersifat 2 macam. Kandida sebagai saprofit
terdapat dalam tubuh manusia tanpa menimbulkan gejala apapun, baik subyektif maupun
obyektif. Dapat dijumpai di kulit, selaput lendir mulut, saluran pencernaan, saluran
pernafasan, vagina dan kuku. Kandida sebagai jamur dapat menimbulkan infeksi primer
maupun sekunder dari kelainan yang telah ada. Beberapa faktor predisposisi dapat
mengubah sifat saprofit kandida menjadi patogen. Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada
faktor predisposisi baik endogen maupun eksogen.4

Faktor endogen:4,5

1. Perubahan fisiologik:
 Kehamilan, karena perubahan pH dalam vagina
Kondisi vagina selama masa kehamilan menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap
infeksi kandida, hal ini tampak dengan ditemukannya kolonisasi candida spp yang tinggi
pada masa ini sejalan dengan tingginya simtomatik vaginitis. Keluhan ini paling sering
timbul pada usia kehamilan trimester ketiga. Bagaimana mekanisme hormon-hormon
reproduksi dapat meningkatkan kepekaan vagina terhadap infeksi kandida masih belum
jelas.

 Kegemukan, karena banyak keringat


 Debilitas
 Iatrogenik
 Endokrinopati, gangguan gula darah pada kulit

4
Pada penderita diabetes mellitus juga ditemukan kolonisasi candida spp dalam vagina
mungkin karena peningkatan kadar glukosa dalam darah, jaringan dan urin. Akan tetapi
mekanismenya juga tidak diketahui.

 Penyakit kronik: tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan umum yang buruk.
2. Umur: orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak
sempurna.
3. Imunologik: penyakit genetik.

Faktor eksogen:

1. Iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan perspirasi meningkat.


2. Kebersihan kulit
3. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan
memudahkan masuknya jamur.
4. Kontak dengan penderita, misalnya pada thrush, balanopostitis.

Gejala klinis

Kandidiasis selaput lendir

Thrush
Biasanya mengenai bayi, tampak pseudomembran putih coklat muda kelabu yang
menutup lidah, palatum mole, pipi bagian dalam, dan permukaan rongga mulut yang lain.
Lesi dapat terpisah-pisah, dan tampak seperti kepala susu pada rongga mulut. Bila
pseudomembran terlepas dari dasarnya tampak daerah yang basah dan merah. Pada glositis
kronik, lidah tampak halus dengan papila yang atrofik atau lesi berwarna putih di tepi atau
di bawah permukaan lidah.1

5
Gambar 2. Thrush

Perleche
Lesi berupa fisur pada sudut mulut; lesi ini mengalami maserasi, erosi, basah, dan
dasarnya eritematosa. Faktor predisposisnya ialah defisiensi riboflavin.1

Gambar 3. Perleche

Vulvovaginitis
Biasanya sering terdapat pada penderita diabetes mellitus karena kadar gula darah
dan urin yang tinggi dan pada wanita hamil karena penimbunan glikogen dalam epitel
vagina. Keluhan yang paling sering adalah rasa gatal pada daerah vulva dan adanya duh
tubuh. Sifat duh tubuh bervariasi dari yang cair seperti air sampai tebal dan homogen
dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret tampak seperti susu yang disertai
gumpalan-gumpalan putih sehingga tampak seperti susu basi/pecah dan tidak berbau. Akan

6
tetapi lebih sering sekret hanya minimal saja. Pada yang berat terdapat pula rasa panas,
nyeri sesudah miksi, dan dispaneuria.1,4,5

Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan pembengkakan pada labia dan vulva,
juga dapat ditemukan lesi papulopustular di sekitarnya. Pada pemeriksaan yang ringan
tampak hiperemia di labia menora, introitus vagina, dan vagina terutamanya 1/3 bagian
bawah. Servik tampak normal sedangkan mukosa vagina tampak kemerahan. Sering pula
terdapat kelainan yang khas bercak-bercak putih kekuningan. Bila ditemukan keluhan dan
tanda-tanda vaginitis serta pH vagina < 4,5 dapat diduga adanya infeksi kandida. Pada
kelainan yang berat juga terdapat edema pada labia menora dan ulkus-ulkus yang dangkal
pada labia menora dan sekitar introitus vaginal. Fluor albus pada kandidosis vagina
bewarna kekuningan. Tanda yang khas ialah disertai gumpalan-gumpalan sebagai kepala
susu bewarna putih kekuningan. Gumpalan tersebut berasal dari massa yang terlepas dari
dinding vulva atau vagina terdiri atas bahan nekrotik, sel-sel epitel, dan jamur.1,4,5

Gambar 4. vulvovaginitis

Balanitis atau balanopostitis


Penderita mendapat infeksi karena kontak seksual dengan wanitanya yang menderita
vulvovaginitis, lesi berupa erosi, pustula dengan dindingnya yang tipis, terdapat pada glans
penis dan sulkus koronarius glandis.1

7
Gambar 5. Balanitis

Kandidiasis mukokutan kronik


Penyakit ini timbul karena adanya kekurangan fungsi leukosit atau sistem hormonal,
biasanya terdapat pada penderita dengan bermacam-macam defisiensi yang bersifat
genetik, umumnya terdapat pada anak-anak. Gambaran klinisnya mirip penderita dengan
defek poliendokrin.1,4

Kandidiasis kutis

Kandidiasis intertriginosa
Lesi di daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari
tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik,
basah dan eritematosa.1

Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil
atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif, dengan pinggir yang kasar dan
berkembang seperti lesi primer.1

Gambar 6. Kandidiasis intertriginosa

8
Kandidiasis perianal
Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit tipe basah. Penyakit ini
menimbulkan pruritus ani.1

Gambar 7. Kandidiasis perianal

Kandidiasis kutis generalisata


Lesi terdapat pada glabrous skin, biasanya juga di lipat payudara, intergluteal, dan
umbilikus. Sering disertai glositis, stomatitis, dan paronikia. Lesi berupa ekzematoid,
dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini sering terdapat pada bayi, mungkin
karena ibunya menderita kandidosis vagina atau mungkin karena gangguan imunologik.4,5

Paronikia dan Onikomikosis


Sering diderita oleh orang-orang yang pekerjaanya berhubungan dengan air, bentuk
ini tersering didapat. Lesi berupa kemerahan, pembengkakan yang tidak bernanah, kuku
menjadi tebal, mengeras dan berlekuk-lekuk, kadang-kadang bewarna kecoklatan, tidak
rapuh, tetap berkilat dan tidak terdapat sisa jaringan di bawah kuku seperti pada tinea
unguium.1,4,5

Diaper-rash
Sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah dan jarang diganti yang dapat
menimbulkan dermatitis iritan, juga sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatisis
oral dan perianal.1

9
Gambar 8. Diaper-rash

Reaksi id (kandidid)

Reaksi terjadi karena adanya metabolit kandida, klinisnya berupa vesikel-vesikel


yang bergerombol, terdapat pada sela jari tangan atau bagian badan yang lain, mirip
dermatofitid. Di tempat tersebut tidak ada elemen jamur. Bila lesi kandidosis diobati,
kandidid akan menyembuh. Jika dilakukan uji kulit dengan kandidin (antigen kandida)
memberi hasil positif.1

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis klinis kandidiasis dibuat berdasarkan keluhan penderita, pemeriksaan klinis,


pemeriksaan laboratorium berupa sediaan basah maupun gram dan pemeriksaan biakan
jamur, selain itu juga pemeriksaan pH cairan vagina untuk kandidiasis vulvovaginalis.4

1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan
pewarnaan Gram, terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.1

2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud, dapat
pula agar ini dibubuhi antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37°C, koloni tumbuh setelah 24-
48 jam, berupa yeast like colony. Identifikasi Candida albicans dilakukan dengan
membiakkan tumbuhan tersebut pada corn meal agar.1

3. Pemeriksaan pH vagina

10
Pada kandidiasis vulvovaginalis pH vagina normal berkisar antara 4,0-4,5 bila
ditemukan pH vagina lebih tinggi dari 4,5 menunjukkan adanya bakterial vaginosis,
trikhomoniasis atau adanya infeksi campuran. 1

Diagnosis Banding

Kandidiasis kutis lokalisata dengan:1,6

a. Eritrasma : lesi di lipatan, lesi lebih merah, batas tegas, kering tidak ada satelit, pemeriksaan
dengan sinar Wood positif bewarna merah bata.
b. Dermatitis intertriginosa
c. Dermatofitosis (tinea)
Kandidiasis kuku dengan tinea unguium

Kandidiasis vulvovaginitis dengan :

a. Trikomonas vaginalis
b. Gonore akut
c. Leukoplakia
d. Liken planus

Penatalaksanaan2,7

Saat ini telah banyak tersedia obat-obat antimikosis untuk pemakaian secara topikal
maupun oral sistemik untuk terapi kandidiasis akut maupun kronik. Kecenderungan saat
ini adalah pemakaian regimen antimikosis oral maupun lokal jangka pendek dengan dosis
tinggi. Antimikosis untuk pemakaian lokal/topikal tersedia dalam berbagai bentuk,
misalnya krim, lotion, vaginal tablet dan suppositoria. Tidak ada indikasi khusus dalam
pemilihan bentuk obat topikal. Untuk itu perlu ditawarkan dan dibicarakan dengan
penderita sebelum memilih bentuk yang lebih nyaman untuk pasien. Untuk keradangan
pada vulva yang ekstensi mungkin lebih baik dipilih aplikasi lokal bentuk krim. Hendaklah
mengingatkan pasien untuk menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi.

Pengobatan:

1. Topikal:
 Larutan ungu gentian ½ - 1 % untuk selaput lendir, 1-2 % untuk kulit, dioleskan sehari 2
kali selama 3 hari.

11
 Nistatin: berupa krim, salap, emulsi
 Amfoterisin B
 Grup azol antara lain:
i. Mikonazol 2% berupa krim atau bedak
ii. Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim
iii. Tiokonazol, bufonazol, isokonazol
iv. Siklopiroksolamin 1% larutan, krim
v. Antimikotik yang lain yang berspektrum luas

2. Sistemik
 Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran cerna, obat ini tidak
diserap usus.
 Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidosis sistemik
 Untuk kandidosis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per vaginam dosis tunggal,
sistemik dapat diberikan ketokonazol 2 x 200 mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2
x 200 mg dosis tunggal atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal.
 Itrakonazol: bila dipakai untuk kandidosis vulvovaginalis dosis untuk orang dewasa 2 x
100 mg sehari, selama 3 hari.
Penggolongan obat antimikotik

Azol

Golongan azol dikembangkan sekitar akhir tahun 1960-an dan tersedia dalam bentuk
sediaan topikal dan sistemik.

 Imidazol
Imidazol merupakan generasi pertama kelompok azol. Mikonazol adalah imidazol yang
pertama di pasaran, yang lainnya adalah: klotrimazol, ekonazol, ketokonazol, isokonazol,
omokonazol, oksikonazol, fentikonazol dan tiokonazol. Dari semua imidazol hanya
ketokonazol yang mempunyai bentuk oral dan sistemik.

Cara kerja azol termasuk di sini derivat imidazol maupun triazol adalah melakukan
penghambatan 14a-demethylase, suatu enzim dependent cytochrom p 450 yang sangat
diperlukan untuk sintesa ergosterol. Golongan imidazol mempunyai efek penyembuhan
klinis dan mikologis sebesar 85-95%. Pemakaian yang hanya satu kali perhari dan lama

12
pemakaian hanya 1 sampai 7 hari yang dirasakan lebih nyaman untuk penderita maka
banyak dipakai sehingga menggeser pemakaian nystatin.

Berbagai macam derivat imidazol digunakan secara topikal, berbagai penelitian yang
telah dilakukan tidak membuktikan bahwa obat yang satu lebih superior dari yang lainnya.
Semuanya menunjukkan efektifitas yang sama bila diberikan secara topikal, serta bebas
dari efek samping sistemik.

Sejak imidazol topikal pertama diperkenalkan, klotrimazol 100 mg selama 6 hari,


merupakan terapi jangka panjang. Selanjutnya kecenderungan terapi diarahkan menjadi
jangka pendek, klotrimazol 200 mg diberikan selama 3 hari. Akhir-akhir ini dosis tinggi
lokal yang diberikan hanya 1 kali menjadi lebih disukai (klotrimazol 500 mg) dibandingkan
dengan dosis tunggal peroral dari azol generasi yang berikutnya. Ketokonazol adalah satu-
satunya imidazol yang dapat diberikan peroral dan sekarang mulai digeser pemakaiannya
dengan azol yang lainnya.

 Triazol

Azol generasi ketiga adalah goongan triazol yang dikembangkan pada tahun 1980.
Derivat triazol yang pertama adalah itrakonazol, dan yang lainnya adalah flukonazol dan
terkonazol.

Efek terapi itrakonazol dosis tunggal yang diteliti pada tikus percobaan
menunjukkan dalam waktu 24 jam obat telah mempengaruhi perubahan ultrastruktur
dinding sel dan dalam waktu 3 hari jamur tereradikasi sempurna dari epitel vagina.
Penelitian lanjutan terhadap jaringan vagina manusia menunjukkan 200 mg dosis tunggal
itrakonazol peroral memberikan efek penghambatan dalam waktu 3 hari. Pemanjangan efek
itrakonazol diakibatkan karena adanya kemampuan lipofilik obat tersebut. Akhirnya angka
penyembuhan klinis dan mikologis tidak berbeda untuk terapi jangka pendek peroral dari
itrakonazol dengan pemakaian topikal golongan imidazol.

Efek samping pemberian obat antimikotik golongan azol umumnya adalah rasa
tidak nyaman pada daerah gastrointestinal, dapat terjadi gejala hepatotoksis pada
pemberian ketokonazol (jarang), sedangkan reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi.
Flukonazol secara umum dapat ditoleransi dengan baik walaupun mempunyai efek gastro
intestinal (mual, muntah).

13
Triazol yang ketiga adalah terkonazol. Terkonazol adalah satu-satunya triazol yang
tersedia dalam bentuk topikal, dengan efektifitas yang sama dengan triazol bentuk oral. Di
Amerika, terkonazol tersedia dalam bentuk krim 0,4 untuk regimen 7 hari dan 0,8% untuk
regimen 3 hari, selain itu tersedia juga bentuk supossitoria vagina 80 mg untuk regimen 3
hari. Derivat triazol ini mempunyai spektrum aktivitas yang luas, awal kerja yang lebih
cepat, lebih efektif dan lebih kecil efek sampingnya. Pada saat ini terkonazol belum tersedia
di Indonesia.

Prognosis

Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor predisposisi.1

Daftar pustaka

1. Djuanda A, Suriadiredja ASD, Sudharmo A, Wiryadi B, Kurniati D, Daili E, et al. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2017.
2. Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th
ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007.
3. Siregar, R.S. Kandidiasis. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta. 2005 : 31 – 4.
4. Madani, F. Infeksi Jamur Kulit, dalam Harahap, M. (ed), Ilmu Penyakit Kulit, Penerbit
Hipokrates, Jakarta.2000: 73 – 87.
5. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts:
Blackwell Science,Inc.;2002
6. Daili, Emmy S. Sjamsoe; Menaldi, Sri Linuwih; Wisnu, I Made. 2009. Panduan
Bergambar Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Kulit.
7. Setiabudy R, Bahry B. Obat jamur. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 571-83.

14
PITIRIASIS VERSIKOLOR

Definisi
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial yang sering terjadi disebabkan
oleh Malasezia furfur,yaitu jamur yang bersifat lifopilik dimorfik dan merupakan flora
normal pada kulit manusia, ditandadi dengan bercak lesi yang bervariasi mulai dari
hipopigmentasi, kemerahan sampai kecoklatan atau hiperpigmentasi. Penyakit jamur kulit
ini adalah penyakit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak putih sampai coklat
yang berskuama halus. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang
terlihat di ketiak, lipat paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.1

Etiologi
Malassezia furfur (sebelumnya dikenal dengan nama Pityrosporum ovale, P.
orbiculare) adalah jamur lipofilik yang normal terdapat pada keratin kulit dan folikel
rambut. Jamur ini merupakan organisme oportunistik yang dapat menyebabkan pityriasis
versicolor Jamur ini membutuhkan asam lemak untuk tumbuh.1,2

Gambar 1. Malassezia furfur

Koloni Malassezia furfur dapat tumbuh dengan cepat dan matur dalam 5 hari
dengan suhu 30-37° C. Warna koloni Malassezia Furfur adalah kuning krem.2

15
Gambar 2. Koloni Malassezia Furfur

Malassezia furfur memiliki fragmen hifa dengan gambaran seperti sphagetti atau
meatball saat dilihat dengan mikroskop. Sel jamur terdiri dari 2 bentuk.1,2

Epidemiologi
Pitiriasis versikolor adalah penyakit universal tapi lebih banyak dijumpai di daerah
tropis oleh karena tingginya temperatur dan kelembaban. Menyerang hampir semua usia
terutama remaja, terbanyak pada usia 16-40 tahun. Tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita, walaupun di Amerika Serikat dilaporkan bahwa penderita berusia 20-30 tahun
dengan perbandingan 1,09% pria dan 0,6% wanita. Insiden yang akurat di Indonesia belum
ada namun diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena penyakit ini, sedang
di negara subtropis yaitu Eropa tengah dan utara hanya 0,5-1% dari semua penyakit
jamur.3,4

Patogenesis
Malassezia spp. yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah menjadi bentuk
miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau faktor predisposisi yang diduga
dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu, kelembaban lingkungan yang tinggi,
dan tegangan CO2 tinggi permukaan kulit akibat oklusi, faktor genetik, hyperhidrosis,
kondisi imunosupresif, dan malnutrisi.1,6
Beberapa mekanisme dianggap merupakan penyebab perubahan warna pada lesi kulit,
yakni Malassezia spp memproduksi asam dikarboksilat (a.l. asam azeleat) yang
mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi metabolit (pityriacitrin)
yang mempunyai kemampuan absorbsi sinar ultraviolet sehingga menyebakan lesi

16
hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menunjukkan pada pemeriksaan mikroskop
electron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal. Lapisan keratin yang
lebih tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.1,6,7

Gambaran Klinis
Lesi pitiriasis versikolor terutama dijumpai di bagian atas dada dan meluas ke
lengan atas, leher, tengkuk, perut atau tungkai atas/bawah. Dilaporkan adanya kasus-kasus
yang khusus dimana lesi hanya dijumpai pada bagian tubuh yang tertutup atau
mendapatkan tekanan pakaian , misalnya pada bagian yang tertutup pakaian dalam. Dapat
pula dijumpai lesi pada lipatan aksila, inguinal atau pada kulit muka dan kepala.1
Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/makula berwarna
putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan rasa gatal ringan yang
umumnya muncul saat berkeringat. Ukuran dan bentuk lesi sangat bervariasi bergantung
lama sakit dan luasnya lesi. Pada lesi baru sering dijumpai makula skuamosa folikular.
Sedangkan lesi primer tunggal berupa makula dengan batas sangat tegas tertutup skuama
halus. Pada kulit hitam atau coklat umumnya berwarna putih sedang pada kulit putih atau
terang cenderung berwarna coklat atau kemerahan. Makula umumnya khas berbentuk bulat
atau oval tersebar pada daerah yang terkena. Pada beberapa lokasi yang selalu lembab,
misalnya pada daerah dada, kadang batas lesi dan skuama menjadi tidak jelas.1
Pada kasus yang lama tanpa pengobatan lesi dapat bergabung membentuk
gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Beberapa kasus di daerah berhawa
dingin dapat sembuh total. Pada sebagian besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi
berubah menjadi makula hipopigmentasi yang akan menetap hingga beberapa bulan tanpa
adanya skuama.1

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan langsung dengan KOH 20%.
Bahan-bahan kerokan kulit diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan skalpel steril dan
jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng steril pula atau ditempel pada selotip.
Sebagian dari bahan tersebut diperiksa langsung dengan KOH 20% yang diberi tinta Parker
biru hitam atau biru laktofenol, dipanaskan sebentar, ditutup dengan gelas penutup dan
diperiksa di bawah mikroskop. Bila penyebabnya memang jamur, maka kelihatan garis
yang memiliki indeks bias lain dari sekitarnya dan jarak-jarak tertentu dipisahkan oleh
sekat-sekat yang dikenal dengan hifa. Pada pitiriasis versikolor hifa tampak pendek-

17
pendek, lurus atau bengkok dengan banyak spora bergerombol sehingga sering disebut
dengan gambaran spaghetti and meatballs atau bacon and eggs.1,3,4
2. Pemeriksaan dengan lampu wood
Dapat memberikan perubahan warna pada seluruh daerah lesi sehingga batas lesi
lebih mudah dilihat. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan fluoresensi
warna kuning keemasan sampai orange. Pemeriksaan ini memungkinkan untuk melihat
dengan lebih jelas perubaha pigmentasi yang menyertai kelainan ini.1,2

Gambar 3. hasil pemeriksaan lampu wood

Diagnosis
Dugaan diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah predileksi
berupa makula berbatas tegas berwarna putih, kemerahan, sampai dengan hitam, yang
berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu wood untuk melihat fluoresensi kuning
keemasan akan membantu diagnosis klinis. Konfirmasi diagnosis dengan didapatkan hasil
positif pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.1,3

Diagosis Banding
Pitiriasis alba
Pitiriasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan
pria sama banyak. Lesi berbentuk bulat atau oval. Pada mulanya lesi berwarna merah muda
atau sesuai warna kulit dengan skuama halus diatasnya. Setelah eritema menghilang lesi
yang dijumpai hanya hipopigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita
datang berobat terutama pada orang dengan kulit berwarna. Bercak biasanya multipel 4
sampai 20. Pada anak-anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering di sekitar

18
mulut, dagu, pipi serta dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Lesi
umumnya asimtomatik tetapi dapat juga terasa gatal dan panas.1,3
Pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan melanin di stratum basal dan terdapat
hiperkeratosis dan parakeratosis. Kelainan ini dapat dibedakan dari vitiligo dengan adanya
batas yang tidak tegas dan lesi yang tidak amelanotik serta pemeriksaan menggunakan
lampu wood.1
Kelainan hipopigmentasi ini dapat terjadi akibat perubahan-perubahan pasca inflamasi
dan efek penghambatan sinar ultra violet oleh epidermis yang mengalami hiperkeratosis
dan parakeratosis.1
Terapi pitiriasis alba kadang tidak memuaskan namun penyakit ini dapat menyembuh
sendiri seiring dengan meningkatnya usia, namun pernah dilaporkan lesi yang menetap
hingga dewasa. Terapi yang dapat diberikan berupa kortikostroid topikal. Untuk lesi
pitiriasis alba yang luas dapat digunakan PUVA.1,2

1. Vitiligo
Vitiligo adalah suatu hipomelanosis yang didapat bersifat progresif, seringkali familial
ditandai dengan makula hipopigmentasi pada kulit, berbatas tegas dan asimtomatis. Makula
hipomelanosis pada vitiligo yang khas berupa bercak putih seperti putih kapur, bergaris
tengah beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, berbentuk bulat atau lonjong
dengan tepi berbatas tegas dan kulit pada tempat tersebut normal dan tidak mempunyai
skuama.. Vitiligo mempunyai distribusi yang khas. Lesi terutama terdapat pada daerah
yang terpajan (muka, dada bagian atas, dorsum manus), daerah intertriginosa (aksila, lipat
paha), daerah orifisium (sekitar mulut, hidung, mata, rektum), pada bagian ekstensor
permukaan tulang yang menonjol (jari-jari, lutut, siku).1 Pada pemeriksaan histopatologi
tidak ditemukan sel melanosit dan reaksi dopa untuk melanosit negatif. Pada pemeriksaan
dengan lampu Wood makula amelanotik pada vitiligo tampak putih berkilau, hal ini
membedakan lesi vitiligo dengan makula hipomelanotik pada kelainan hipopigmentasi
lainnya.1,6
Patogenesis vitiligo belum dapat dijelaskan dengan pasti. Dikemukakan 3 teori yaitu:
a. Teori autoimun
Vitiligo merupakan suatu penyakit autoimun. Pada penderita vitiligo dapat ditemukan
autoantibodi terhadap antigen sistem melanogenik disebut autoantibodi anti melanosit.,
yang bersifat toksik terhadap melanosit atau menghambat pembentukan melanin. Hal ini
disokong dengan meningkatnya insiden vitiligo pada penderita penyakit autoimun.1,2
b. Teori neurogenik

19
Teori mengatakan bahwa mediator neurokimia seperti asetilkolin, epinefrin dan nor
epinefrin yang dilepaskan oleh ujung saraf perifer merupakan bahan neurotoksik yang
menghancurkan melanosit atau menghambat produksi melanin. Bila zat-zat tersebut
diproduksi berlebihan sel melanosit didekatnya akan rusak.1,2
c. Teori autositotoksik
Teori ini berdasarkan biokimia melanin dan prekursornya. Dikemukakan bahwa produk
antara dari biosintesis melanin adalah monofenol atau polifenol. Sintesis berlebihan dari
produk antara tersebut akan bersifat toksik terhadap melanosit.1,2

Penatalaksanaan vitiligo meliputi:1,3,8


a. Tabir surya
Tujuan penggunaan tabir surya adalah untuk melindungi kulit yang terlibat agar tidak
mengalami reaksi terbakar surya dan tidak terjadi tanning pada kulit yang normal. Yang
dianjurkan adalah tabir surya dengan SPF lebih dari 30.
b. Kosmetik penutup
Tujuan penggunaan kosmetik penutup adalah untuk menyembunyikn lesi vitiligo sehingga
tidak tampak. Merek yang tersedia misalnya Covermark (Lydia O’Leary), Dermablend,
Vitadye dan Dy-o-Derm. Biasanya warna disesuaikan dengan warna kulit dan tidak mudah
hilang.
c. Kortikosteroid topikal
Pemakaian kortikosteroid topikal pada vitiligo berlandaskan pada teori autoimun. Jika tidak
ada respon selama 2 bulan maka terapi dianggap tidak akan berhasil. Evaluasi perlu
dilakukan setiap 2 bulan untuk mencegah timbulnya atropi kulit dan telangiektasia.
d. Pemakaian psoralen dengan UVA
Psoralen secara topikal ataupun sistemik yang diikuti oleh pajanan terhadap sinar UVA
(PUVA) menyebabkan proliferasi sel-el pigmen didalam umbi rambut dan perpindahan sel-
sel pigmen tersebut kedaerah kulit yang putih (hipopigmentasi)
e. Minigrafting
Minigrafting dapat digunakan pada vitiligo segmental yang stabil dan tidak dapat diobati
dengan tehnik yang lain.
f. Bleaching
Terapi ini digunakan untuk vitiligo yang luas, gagal dengan terapi PUVA, atau menolak
PUVA. Yang digunakan adalah Monobenzylether of hydroquinon 20% cream , dioleskan
2 kali sehari . Biasanya dbutuhkan waktu 9-12 bulan agar terjadi depigmentasi.

20
Tatalaksana
Mengidentifikasi faktor predisposisi dan menyingkirkan yang dapat dihindari
merupakan hal yang penting dalam tatalaksana PV selain terapi. Terapi dapat menggunakan
terapi topikal atau sistemik, dengan beberapa pertimbangan, antara lain luas lesi, biaya,
kepatuhan pasien, kontra indikasi, dan efek samping.1,9
Sebagai obat topikal dapat digunakan antara lain selenium sulfide bentuk sampo 1,8%
atau bentuk losio 2,5% yang dioleskan tiap hari selama 15-30 menit kemudian dibilas.
Aplikasi yang dibiarkan sepanjang malam dengan frekuensi 2 kali seminggu juga dapat
digunakan, dengan perhatian akan kemingkinan reaksi iritasi. Pengolesan dianjurkan di
seluruh badan selain kepala dan genitalia. Ketokonazol 2% bentuk sampo juga dapat
digunakan serupa dengan sampo selenium sulfid. Alternatif lain adalah solusio natrium
hiposulfit 20%, solusio propilen glikol 50%. Untuk lesi terbatas berbagai krim derivate azol
misalnya mikonazol, klotrimazol, isokonazol, ekonazol dapat digunakan; demikian pula
krim tolsiklat, tolnaftat, siklopiroksolamin, dan haloprogin. Obat topikal sebaiknya
diteruskan 2 minggu setelah hasil pemeriksaan dengan lampu wood dan pemeriksaan
mikologis langsung kerokan kulit negatif.1,7,9
Obat sistemik dipertimbangkan pada lesi luas, kambuhan, dan gagal dengan terapi
topikal. Antara lain dengan ketokonazol 200mg/hari selama 5-10 hari atau itrakonazol
200mg/hari selama 5-7 hari. 1,7,9
Pengobatan rumatan (maintenance) dipertimbangkan untuk menghindari kekambuhan
pada pasien yang sulit menghindari faktor predisposisi; antara lain dengan sampo selenium
sulfide secara periodis atau dengan obat sistemik ketokonazol 400mg sekali setiap bulan
atau 200 mg sehari selama 3 hari tiap bulan. 1,7,9

Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan konsisten.
Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan

lampu wood dan sediaan langsung negatif. 
 Jamur penyebab pitiriasis versikolor

merupakan bagian dari flora normal dan kadang- kadang tertinggal dalam folikel rambut.
Hal ini yang mengakibatkan tingginya angka kekambuhan. Masalah lain adalah
menetapnya hipopigmentasi dan diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi.
Namun hal tersebut bukan akibat kegagalan terapi, sehingga penting untuk memberi
informasi kepada pasien bahwa bercak putih tersebut akan menetap beberapa bulan setelah
terapi dan akan menghilang secara perlahan. 1,7

21
Daftar Pustaka

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.


Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.h.109-16.

2. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan Makalah
Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin Serta
Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS Sanglah.
2011. h. 37-8.

3. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI:2017

4. Verma S, Hefferman MP. Tinea cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ (editor). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.

5. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin, clinical
dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.

6. Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2008.

7. Madani, F. Infeksi Jamur Kulit, dalam Harahap, M. (ed), Ilmu Penyakit Kulit, Penerbit
Hipokrates, Jakarta.2000
8. Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts:
Blackwell Science,Inc.;2002
9. Setiabudy R, Bahry B. Obat jamur. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007: 571-83.

22
PITYROSPORUM FOLLIKULITIS
Definisi
Pityrosporum folliculitis adalah penyakit kronis pada folikel polisebasea yang
disebabkan olah spesies pityrosporum, berupa papul dan pustul folikular yang biasanya
gatal dan terutama berlokasi dipunggung, dada, leher dan lengan atas. Pityrosporum
folikulitis suatu kondisi kulit yang berkembang karena jamur dalam folikel rambut dan
menyebabkan pruritus yang papulopustules, dengan bentuk menyerupai jerawat hanya saja
pada pityrosporum folikulitis papulnya berwarna lebih merah terang. Pustula ini terbentuk
dari pertumbuhan berlebih dari jamur penyebabnya.1,2

Gambar 1. Pityrosporum Folikulitis

Epidemiologi
Organisme Malassezia dapat ditemukan pada kulit orang normal sampai 75-98%
karena organisme ini merupakan bagian dari flora normal tubuh. Kolonisasi organisme ini
meningkat dimulai segera setelah lahir, dan meningkat kembali pada akhir masa remaja
dan dewasa muda itu akibat aktifitas kelenjar sebasea dan konsentrasi lemak dikulit.3,4
Data disalah satu Rumah Sakit di Philipina didapatkan bahwa 16% dari pasien yang
berobat didiagnosis dengan Pityrosporum folikulitis. Tahun 2008 laporan dari China 15%
dari semua pasien kulit didiagnosis dengan Pityrosporum folikulitis dan kebanyakan pasien
yang sembuh adalah laki-laki dewasa muda. Laki-laki dan perempuan tidak ada
perbandingan hanya ada beberapa sumber menyebutkan perempuan: laki-laki yaitu 1,5: 1
Pytirosporum folicilitis paling sering terjadi pada mereka yang berusia 13-45 tahun.4,5

Faktor Resiko 4,5


Faktor eksternal

23
 Jamur penyebab pityrosporum folliculitis atau malasezia folikulitis cenderung tumbuh
terlalu cepat di tempat yang panas, lembab, dan lingkungan yang berkeringat.
 Pemakaian pakian yang ketat sehingga menyebabkan timbul keringat
 Tabir surya dan pelembab berminyak dapat menutup jalan folikel.

Faktor Host atau individu

 Kulit berminyak (diprovokasi oleh pengaruh hormonal)


 Kegemukan
 Kehamilan
 Stres atau kelelahan

Penyakit Sistemik, termasuk:

 Diabetes mellitus
 Defisiensi imun

Obat-obatan, seperti:

 Antibiotik oral spektrum luas (sering diresepkan untuk jerawat), antibiotik ini akan
menekan bakteri kulit, bakteri yang tertekan ini malahan memungkinkan jamur untuk
berkembang biak.
 Steroid Oral seperti prednisone ( jerawat steroid), penggunaan steroid akan menyebabkan
imun menurun yang berakibat mudahnya terinfeksi jamur
 Kontrasepsi Oral atau pil

Etiologi
Jamur penyebab adalah spesies pityrosporum yang identik dengan malassezia furfur,
penyebab pityriasis versicolor atau panu. Jamur penyebab sekarang disebut malassezia
khusus malassezia furfur, adalah agen patogen pada Pityrosporum folikulitis. Malassezia
juga dikaitkan dengan penyakit kulit lain antara lain termasuk dermatitis seboroik,
folikulitis, pityriasis versicolor dan dermatitis atopi.1,6

Patogenesis
Pada pityrosprum folikulitis organisme berada didalam ostium dan segmen pusat yang
mendalam dari folikel rambut. Penyumbatan folikel diikuti oleh pertumbuhan berlebih dari
ragi yang subur di bagian kelenjar sebasea. Ragi malassezia membutuhkan asam lemak

24
bebas untuk hidup, biasanya organisme ini terdapat didalam stratum korneum dan folikel
yang terdapat peningkatan kelenjar sebasea seperti dada dan punggung. Ragi ini
menghidrolisis trigeliserida menjadi asam lemak rantai menengah dan lemak bebas.
Hasilnya adalah respon yang sel dimediasi dan aktivasi jalur alternative komplemen yang
mengarah ke peradangan.1,6,7
Malassezia akan tumbuh berlebihan dalam folikel, sehingga folikel dapat pecah. Dalam
hal ini reaksi peradangan terhadap produk, tercampur dengan asam lemak bebas yang
dihasilkan melalui aktifitas lipase. Perluasan folikel rambut mengarah ke letusan putih pada
kulit yang mengelilingi folikel rambut. Letusan ini juga dapat tampak merah, ini tergantung
pada cuaca. Ketika folikel banyak terinfeksi oleh jamur, maka kulit akan tampak sebagai
ruam putih atau merah. Pesatnya pertumbuhan dan multiplikasi dari jamur di wilayah
folikel rambut menyebabkan pengembangan ruam pada kulit. Kulit membentuk patch gatal
dan jerawatan.1,6,7

Diagnosis banding2,3
 Akne vulgaris (jerawat)
 Folikulitis bakterial

Diagnosis
• Diagnosis Pitirosporum folikulitis didasarkan pada kecurigaan klinis dari presentasi klasik
papulopustul pruritus dalam pola folikuler ditemukan di punggung, dada, lengan atas, dan,
terkadang leher serta jarang ditemukan pada wajah.
• Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, terdapat fluoresensi biru terang atau putih yang
diamati pada folikel di lokasi lesi.
• Diagnosa dengan biopsi juga dapat dilakukan, yang kemudian seperti penyakit jamur
umumnya di gunakan KOH 10%.2,3
Pemeriksaan Penunjang
Frekuensi pitiriasis versikolor tidak meningkat pada kasus infeksi HIV, tetapi penyakit
yang sering dijumpai akibat malassezia furfur adalah folikulitis Malassezia, yang terutama
terdapat pada pasien tranplantasi organ. Penyakit ini ditandai dengan erupsi pustul, makula,
papul pruritik dengan distribusi generalisata. Pada beberapa kasus terdapat lesi menyerupai
akne vulgaris pada wajah, dada, dan punggung. Folikulitis ini sering diduga kandidiasis
diseminata karena pada pemeriksaan biopsi dijumpai sel ragi, sehingga perlu dilakukan
kultur dengan media khusus untuk Malassezia. Media yang dipakai mengandung lipid dan
asam lemak seperti media Leeming-Notman.1,7

25
Gambaran Histologis dapat dijumpai 7
1. Dilated folikel rambut dengan sumbat keratin mengandung spora jamur
2. Intra-dan perifollicular inflamasi infiltrat terdiri dari neutrofil, limfosit dan
histiosit
3. Intra-dan perifollicular musin kolam Folikel rambut bisa pecah, menghasut reaksi
tubuh granulomatosa asing.

Penatalaksanaan
Pengobatan dilakukan dengan mengunakan obat anti jamur atau anti mikotik oral,
misalnya:
 Ketokonazol 200 gr selama 2-4 minggu
 Itrakonazol 200gr sehari selama 2 minggu
 Flukonazol 150gr seminggu selama 2-4 minggu
 Pengobatan dengan anti jamur topikal biasanya kurang efektif, walaupun biasanya
digunakan.1,8

Prognosis
Pada umumnya pasien dengan Pityrosporum Folikulitis umumnya baik, dengan
menjaga personal hygiene yang baik dan tepat mendapatkan pengobatan.1

Daftar Pustaka
1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.h.109-16.
2. Garcia AL, Madkan VK, Tyring SK. Pityrosporum (Malaszezia) follikulitis in: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, editor. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine. 7th ed. New York:McGraw Hill; 2008.

3. Khalifa E. Sharquie, Khalil AH, Sawsan S, Mohammadi A. Malaszesia Follikulitis versus


Truncal Acne vulgaris (Clinical and Histophatologica; Study). Iraq: Departement of
Dermatology and Venerology, College of Medicine; 2012.
4. Anane S, Chtourou ), Bodemer C, Kharfi M. Malaszesia follikulitis in an infant. Medical
Mycology Case Report; 2013.
5. Ayers Katherine, Sweeney SM, Wiss K. Pityrosporum Follikulitis Diagnosis and
Management in 6 Female Adoscents with Acne vulgaris. Arch Pediatr Adolesc Med; 2005

26
6. Rubenstein RM, Malerich SA. The journal of Clinical and Aesthetic Dermatology.
Malassezia (Pityrosporum); 2014.
7. Rippon. Superficial Infection.Dalam: Medical Mycology. Third edition. WB Saunders
company. Philadelphia. 2006:154-9.
8. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI:2017

27
DERMATOFITOSIS

Definisi

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial disebabkan oleh dermatofita yang


memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan menggunakannya sebagai sumber
nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti stratum korneum pada epidermis,
rambut, dan kuku. Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit superfisial.
Yang terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.
Kemampuannya untuk membentuk ikatan molekuler terhadap keratin dan
menggunakannya sebagai sumber makanan menyebabkan mereka mampu berkolonisasi
pada jaringan keratin.1

Klasifikasi Dermatofitosis

Dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang dikelompokkan lebih
lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu : 1

a) Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala

b) Tinea Barbe : dermatofitosis pada daerah dagu, kumis dan jenggot

c) Tinea Kruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang
kadang sampai perut bagian bawah

d) Tinea Pedis et Manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan

e) Tinea Unguium : dermatofitosis pada jari tangan dan kaki

f) Tinea Korporis : dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 diatas

Tinea kapitis

Tinea kapitis adalah suatu infeksi pada kulit kepala dan rambut yang disebabkan
oleh spesies dermatofita. Dermatofita merupakan golongan jamur yang menyebabkan
dermatifitosis yang mempunyai sifat mencerna keratin.1-3

Tinea kapitis terjadi akibat dermatofita spesies Microsporum dan Trichophyton.


Setiap negara dan daerah memiliki perbedaan pada spesies penyebab tinea kapitis
misalnya di amerika serikat dan Eropa Barat 90 % kasus tinea kapitis yang disebabkan
oleh T. tonsurans dan jarang disebabkan M. Canis, sedangkan di Eropa Timur dan
Selatan serta Afrika Utara disebabkan oleh T. violaceum. Di inggris kasus terbanyak

28
disebabkan oleh infeksi M.canis yang di dapatkan dari kucing. Spesies penyebab
terjadinya tinea kapitis gray patch adalah microsporum dan trikofiton. Pada tinea kapitis
black dot terutama disebabkan oleh Tricophyton tonsurans, T. violaceum dan T.
mentagrophytes. Penyebab utama tinea kapitis kerion adalah Microsporum canis, M.
gypseum, T. tonsurans, dan T. violaceum. Sedangkan pada tinea favus disebabkan oleh
spesies T. schoenleinii, T. violaceum, dan M. Gypseum.1-3

Manifestasi klinis

Tinea kapitis dapat hadir dengan beberapa gejala klinis, tergantung jenis
organisme, jenis invasi pada rambut, tingkat resistensi dan respon inflamasi. Manifestasi
klinis tinea kapitis pada tiap negara bervariasi dari rambut kusam, rambut patah dengan
skala ringan sampai berat, nyeri, inflamasi.Kelainan pada tinea kapitis dapat ditandai
dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia dan kadang terjadi gambaran yang
lebih berat yang disebut kerion, limfadenopati servical dan oksipital.1,4

 Non-inflamasi atau gray patch


Gejala klinis terutama disebabkan oleh M. Audouinii dan M. Ferrigineum yang
sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit timbul akibat invasi rambut ektothrix. Lesi
bermula dari papul eritematosa yang kecil disekitar rambut, kemudian papul akan
melebar dan membentuk bercak yang menjadi pucat dan bersisik mengelilingi batang
rambut dan akhirnya menyebar secara sentrifugal yang melibatkan folikel rambut
disekitarnya. Keluhan penderita adalah rasa gatal, warna rambut menjadi abu-abu dan
tidak berkilau. Rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri yang menyebabkan alopesia setempat.1,3,5

Gambar 1. Tinea Kapitis “Gray Patch”

29
 Black dot 
Gejala yang timbul disebabkan oleh T. tonsurans dan T. violaceum. Lokasi
arthrospora berada didalam batang rambut yang membuat rambut menjadi lebih rapuh.
Pada permulaan penyakit, gambaran klinis menyerupai kelainan yang disebabkan oleh
genus Microsporum. Rambut yang terinfeksi akan patah tepat pada muara folikel dan
yang tertinggal adalah ujung rambut yang penuh dengan spora. Ujung rambut didalam
folikel akan muncul gambaran “black dot” pada pemeriksaan klinis. Pada skala yang
luas dengan rambut rontok yang minimal dan peradangan dapat menyerupai dermatitis
seboroik atau psoriasis. Pada infeksi black dot sering terjadi inflamasi dimana
peradangan terjadi dari folikulitis ke kerion. Pada beberapa kasus tinea kapitis black dot
juga dapat ditemukan gangguan pada kuku dan rambut yang hilang. 1,3,6

Gambar 2. Tinea Kapitis “Black Dot”

 Kerion 
Kerion merupakan jenis tinea kapitis yang bersifat inflamasi dan merupakan
tinea kapitis dengan peradangan yang berat. Pembentukan kerion banyak didapatkan
pada penyebab berupa Microsporum canis dan Microsporum gypseum. Reaksi
peradangan berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel
radang yang padat disekitarnya sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul kecil yang
berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut (sikatriks) dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk. Tinea kapitis anthropophilik dapat
tiba-tiba menjadi inflamasi dan berkembang menjadi kerion akibat hipersensitivitas
yang tinggi. 1,3,6,7

30
Gambar 3. Kerion pada Kulit Kepala

 Favus 
Favus merupakan gejala tinea yang jarang, gejala di sebabkan T. schoenleini.
Organisme dapat mempengaruhi kulit dan kuku juga hal ini di tandai dengan warna
krusta kekuningan yang dikenal sebagai skutula disekitar rambut. Skutula memiliki
berbau yang khas yaitu berbau tikus “moussy odor” dan rambut secara ekstensif akan
hilang menjadi alopesia dan atrofi. 1,3,6,8

Gambar 4. Tinea Kapitis Favus

Diagnosis Banding1,3

 Dermatitis Seboroik
Peradangan yang erat dengan keativan glandula sebasea yang aktif pada bayi dan
insiden puncak pada usia 18-40 tahun. Manifestasi pada dermatitis seboroik didapatkan
eritema, skuama yang berminyak dan kekuningan dengan batas tidak tegas, rambut
rontok mulai dari verteks dan frontal. Krusta tebal dapat berbau tidak sedap dan meluas

31
ke dahi, glabela, telinga postaurikular,leher, daerah supraorbital, liang telinga luar,
lipatan nasolabial, sternal,payudara,interskapular, umbilikus, lipat paha dan anogenital

 Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat kronik dan
residif, di tandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama
yang kasar, berlapis-lapis dan trasparan disertai fenomena tetesan lilin, auspitz dan
kobner. Penyakit ini mengenai semua umur namun umumnya pada dewasa dan pria lebih
banyak dibandingkan wanita. Predileksi psoriasis adalah skalp, ekstremitas bagian
ekstensor terutama siku serta lutut serta lumbosacral.

 Alopesia Areata
Etiologi alopesia areata sampai sekarang belum diketahui namun sering
dihubungkan dengan infeksi fokal, kelainan endokrin dan stres emosional. Gejala klinis
terdapat bercak berbentuk bulat atau lonjong dan terjadi kerontokan rambut pada kulit
kepala, alis, janggut, dan bulu mata. Pada tepi daerah yang botak ada rambut yang
terputus, bila dicabut terlihat bulbus yang atrofi. Pada pemeriksaan histopatologi
ditemukan rambut banyak dalam fase anagen, folikel rambut terdapat berbagai ukuran,
tetapi lebih kecil dan tidak matang, bulbus rambut didalam dermis dan dikelilingi oleh
infiltrasi limfosit.

Diagnosis

Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan pada hasil gejala klinis dan hasil tes
laboratorium. Tes laboratorium yang dapat digunakan yaitu :

 Lampu Wood1,6,8
Filter sinar ultraviolet (Wood) memunculkan fluoresensi hijau dari beberapa
jamur dermatofita , terutama spesies Microsporum. Lampu Wood adalah prosedur
screening yang berguna untuk mengambil spesimen dari Infeksi Microsporum. Pada
grey patch ringworm dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut
yang sakit melampaui batas-batas grey patc.

 Pemeriksaan KOH1,6,8
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula
dengan pembesaran 10x10, kemudian pembesaran 10x45. Sediaan diambil dari kulit
kepala dengan cara kerokan pada lesi yang diambil menggunakan blunt solid scalpel
atau dengan menggunakan sikat.

32
Pengambilan sampel terdiri rambut sampai akar rambut serta skuama. Setelah
sampel diambil kemudian sampel diletakkan di atas gelas alas, kemuadian ditambahkan
1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan
untuk kulit 20%. Setelah sediaan dicampurkan dengan KOH, ditunggu 15-20 menit
untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat pelarutan makan dapat dilakukan
pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan
tersebut, pemanasan sudah cukup. Biala terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal
KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih
nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH misalnya tinta Parker super-
chroom blue black.

 Kultur1,6,9
Medium kultur yang digunakan untuk jamur dermatofit adalah sabouraud
dextrose agar. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamu. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan yaitu sabouraud
dextros agar. Antibiotik seperti kloramfenikol dan cycloheximide ditambahkan ke media
untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri atau jamur kontaminan. Kerokan yang
diambil pada lesi di kulit kepala dengan menggunakan sikat kemudian di ratakan di
permukaan media kultur. Kebanyakan dermatofit tumbuh pada suhu 26oC dan
diperlukan waktu tumbuh setelah 2 minggu untuk dilakukan pemeriksaan

Tatalaksana

Prinsip managemen untuk tinea kapitis yaitu terdiri dari pengobaan sistemik,
pengobatan topikal dan tindakan preventif.6 Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai
klinis dan kesembuhan secepat mungkin serta mencegah penyebaran.2,4

Terapi Topikal 1,2,3,6

Pengobatan topikal antijamur tidak dianjurkan untuk terapi tunggal dalam


pengobatan tinea kapitis. Namun hal ini mungkin dapat mengurangi penularan kepada
orang lain dengan menurunkan pertumbuhan spora jamur. Selenium sulfida, shampo
ketokonazol dan shampo povidone iodine digunakan seminggu 2-3 kali, untuk
mengurangi spora jamur dan infeksivitas. Pada saat menggunakan shampo sebaiknya
didiamkan selama 5 menit sebelum dibilas. Penggunaan obat-obat topikal konvensional
yang digunakan misalnya asam salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%,

33
vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna (hijau brilian 1% dalam cat
Castellani).

Terapi Oral

Obat antimitotik digunakan untuk penetrasi folikel rambut.6 Gold standar terapi
oral untuk tinea kapitis pada empat dekade adalah griseofulvin.6 Obat baru yang dapat
digunakan untuk alternatif terapi tinea kapitis adalah flukonazole, ketokonazole,
itrakonazole, dan terbinafine.6

 Griseofulvin1,2,4-6,10

Merupakan turunan dari spesies penicillium mold. Griseofulvin sebagai fungistatik dengan
efek inhibitor RNA jamur, DNA, menghambat sintesis asam nukleat, microtubular
assembly, dan merusak sintesis dinding sel. Dosis rekomendasi untuk tinea kapitis adalah
10-25 mg/kgBB per hari untuk anak-anak dan 0.5-1g per hari untuk orang dewasa untuk
griseofulvin microsize. Lama pengobatan umumnya 6-12 minggu. Terapi tergantung pada
organisme, misalnya infeksi T. tonsurans mungkin memerlukan pengobatan jangka
panjang, tetapi bervariasi antara 8 dan 10 minggu. Efek samping termasuk mual dan ruam
pada 8 ± 15%.

Obat ini kontra indikasi pada kehamilan. Griseofulvin tidak larut dalam air dan absorbsinya
buruk dari saluran pencernaan. Sehingga untuk mempertinggi absorpsi obat dalam usus,
sebaiknya obat dimakan bersama-sama makanan yang banyak mengandung lemak seperti
susu, kacang, mentega. Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, namun keluhan utama
ialah cephalgia pada 15% penderita. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan traktus
digestinus ialah nausea, vomitus, dan diare. Griseovulvin juga bersifat fotosensitif dan
dapat mengganggu fungsi hepar.

 Antijamur Golongan Azole1,2,4-6,10

Obat antijamur golongan azole termasuk ketokonazole, itrakonazole dan flukonazole.


Mereka bekerja dengan menghambatan pembentukan ergosterol dalam jamur dengan
inhibitor sitokrom p450-dependent enzymes di dalam membran sel.

Untuk tinea kapitis dosis itraconazole umumnya diberikan 3-5 mg / kg/ hari selama empat
sampai enam minggu atau 2 x 100-200 mg/hari. Itraconazole memiliki spektrum yang

34
sangat luas terhadap jamur, termasuk aspergillus dan dermatofit. Kontraindikasi pada
pasien dengan gagal jantung kongestif.

Ketokonazole merupakan obat jamur yang bersifat fungistatik dapat diberikan obat
sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari- 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Kontraindikasi ketokonazol adalah pada penderita kelainan hepar.

Flukonazol memberikan efek yang efektif terhadap berbagai organisme yang berbeda
termasuk Trichophyton dan spesies Microsporum. Flukonazol , berbeda dengan antijamur
azol lainnya karena sangat larut dalam air dan memiliki bioavailabilitas yang sangat baik.
Dosis flukonazol berkisar 1,5-6 mg/kg/hari. Penggunaan flukonazol merupakan
kontraindikasi dalam kombinasi dengan astemizol dan terfenadine serta tidak
dianjurkanpada pasien dengan penyakit hati atau disfungsi ginjal atau dikombinasi dengan
eritromisin

 Terbinafine1,2,4-6,10

Terbinafine adalah fungisidal terhadap kedua Trichophyton dan Microsporum spp.


Terbinafine adalah obat allylamine sebagai antijamur spektrum. Terbinafine bekerja
dengan memblok pembentukan ergosterol pada membran sel jamur dengan menghambat
squalene epoksidase yang mengarah ke akumulasi squalene. Obat ini dimetabolisme di hati
dan diekskresikan terutama dalam urin. Terbinafine tersedia sebagai krim atau dalam
bentuk tablet (250mg). Di beberapa negara tablet pediatrik tersedia (125mg) . Dosis 62,5
mg-250 mg sehari tergantung pada berat badan atau dosis dewasa adalah 250 mg sedangkan
pada anak-anak digunakan berdasarkan pada berat badan yaitu : < 20 kg (62,5 mg/hari) ,
20 – 40 kg (125 mg/ hari) dan > 40 kg (250 mg/hari). Durasi pengobatan dilakukan selama
4 minggu, namun jika penyebabnya adalah T. tonsurans membutuhkan pengobatan selama
satu bulan. Efek samping terinafine ditemukan pada 10% pada penderita yaitu gangguan
gastrointestinal seperti nauusea, vomitus, nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya
ringan. Sefalgia ringan dan dilaporkan 3,3-7% gangguan fungsi hepar.

Daftar Pustaka

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis: dalam: Menaldi, SLSW, Bramono K, Indriatmi


W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta: FKUI. 2018; h.109-16

35
2. Higgins EM, et al. Guideline for the tanagement of tinea capitis. British Journal of
Dermatology. 2000; 143:53-58

3. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI:2017

4. Verma S, Hefferman MP. Superficial fungal infection: dermatophytosis,


onychomycosis, tinea nigra, piedra. Dalam : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen
KF, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine 7th ed.
volume 1 & 2. New York: Mc Graw Hill, 2008 : p 1807-13

5. Health Protection Agency. Tinea capitis in the united kingdom: a report on its diagnosis,
management and prevention. London: Health Protection Agency, March 2007

6. Rebollo N, et al. Tinea capitis. review article. Actas Dermosifiliogr. 2008;99:91-100

7. Maha A, Dayel, Bukhari I. Tinea capitis. The Gulf Journal of Dermatology and
Venereology.Vol.1. No.1. 2004

8. Brown RG, Burns T. Dermatologi. Edisi 8. Jakarta: Erlangga. 2005 ; h. 35

9. Siregar RS. Penyakit Kulit Jamur. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2004; p.24

10. Wolff K, Johnson RA, et al. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology.
5th ed. New York :Mc Graw Hill. 2007

36
Tinea Kruris

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup.1 Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau
bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans
(6%).1,3

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat
meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis
dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat.
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada
pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang
pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.2-4

Pemeriksaan Fisik

Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika
kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan
skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi.1,3

Gambar 1. Tinea Kruris

Manifestasi tinea cruris : 1,5

37
a. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan
proksimal dari abdomen bawah dan pubis.

b. Daerah bersisik.

c. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.

d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai
likenifikasi.

e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan
sedikit skuama.

f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena.

g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena
garukan.

h. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit
eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula folikuler.

Diagnosis Banding

1. Kandidiasis inguinalis
Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida.
Kandidosis kadang sulit dibedakan dengan Tinea kruris jika mengenai lipatan paha dan
perianal. Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan berkrusta.
Perbedaannya ialah pada kandidiasis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas
dengan satelit-satelit di sekitarnya. Predileksinya juga bukan pada daerah-daerah yang
berminyak, tetapi lebih sering pada daerah yang lembab. Selain itu, pada pemeriksaan
dengan larutan KOH 10 %, terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu. Pada wanita, ada
tidaknya flour albus biasanya dapat membantu diagnosis. Pada penderita diabetes mellitus,
kandidiasis merupakan penyakit yang sering dijumpai. 1,4,6

2. Eritrasma

Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh
Corynebacterium minutissimum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama
di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat.
Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini

38
rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di
daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada
pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi.
Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas
dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak.
Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat berfluoresensi merah membara (coral
red).1,4,6

Penatalaksanaan

Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal
saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi.
Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan
efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan
sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi
menyembuh.7,8 Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi
topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek
terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi
hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.9

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam empat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti
siklopiros, tolnaftat, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14
alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol),
dimana struktur tersebut merupakan komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan
Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah
squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan
menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan
kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin
mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan
lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk
pemberian topikal dan sistemik. Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris :1,7-
9

1. Golongan Azol1,7-9

39
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec), merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam
pengobatan tinea cruris karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya
menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-
sel jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika
tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini
tersedia dalam bentuk kream 1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu.
Tidakada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan
hipersensitivitas, peradangan infeksi yang luas dan hinari kontak mata.

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm), mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur
yang rusak akan menghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran
sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%,
solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak
sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.

c. Econazole (Spectazole), mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan


dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga
mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan
dengan ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali
atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

d. Ketokonazole (Nizoral), mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang


bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur
meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan
selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.

e. Oxiconazole (Oxistat), mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan
menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel
jamur mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia
dalam bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun
penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan
hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

40
f. Sulkonazole (Exelderm), merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik
tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran
komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream
1% dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang
dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2. Golongan alinamin1,7-9

a. Naftifine (Naftin), bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari
alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga
menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi
setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan
lotion. . Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-
4minggu).

b. Terbinafin (Lamisil), merupakan derivat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat
skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang
menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas
pada penelitian melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat
ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu.

3. Golongan Benzilamin1,7-9

a. Butenafine (mentax), anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan
membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam
bentuk cream 1%, diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa
dioleskan sebanyak 4kali sehari.

4. Golongan lainnya1,7,8

a. Siklopiroks (Loprox), memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan
dengan sintesi DNA

b. Haloprogin (halotex), tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan
selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali sehari.

c. Tolnaftate, tersedia dalam cream 1%, bedak, solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4
minggu.

41
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris: 1,7,8

a. Ketokonazole, sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang
berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.

b. Itrakonazole, sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang
berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom
P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput
sel jamur. Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin
dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selama 1
minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh
melebihi 400mg/hari. Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini
dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama
dengan cisapride karena berhubungan dengan aritmia jantung.

c. Griseofulvin, termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur
dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya
dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg
ultramicrosize) PO selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg
microsize /kg/hari.

d. Terbinafine, pemberian secara oral pada dewasa 250 mg/hari selama 2 minggu. Pada anak
pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :1,3

1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering.

2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.

3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti
pakaian yang lembab.

42
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak
ketat dan ganti setiap hari.

5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita
harus segera dicuci dan direndam air panas.

Daftar Pustaka

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.


Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.
2. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan Makalah
Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin Serta
Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS Sanglah.
2011. h. 37-8.

3. Bassiri-Jahromi S, Khaksari AA. Epidemiological survey of dermatophytosis in Malaysia,


from 2007 to 2009. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009; 75: 142-7.

4. Citrashanty I, Suyoso S. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2008-2010. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit Kelamin 2011; 23: 200-6.

5. Verma S, Hefferman MP. Tinea cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ (editor). 7 th ed. New
York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.

6. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin, clinical
dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.

7. Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2008.

8. Siswati AS, Ervianti E. Dermatomikosis superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim ketokonazole


2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas lesi klinis (laporan
penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004.

43
Tinea Korporis

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala,
wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.1Manifestasinya akibat
infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan
yang hidup.Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi.
Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah
tropis.1-3

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim
yang panas (tropis dan subtropis).1,4 Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang
bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan
imunitas hospes dan spesies dari jamur.5

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti


Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat ditemukan
berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.Namun demikian yang lebih umum
menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes, dan M.canis.1,6

Gejala Klinik
Keluhan gatal terutama bila berkeringat. Oleh karena gatal dan digaruk, lesi
semakin meluas, terutama di daerah kulit yang lembab. kelainan yang terlihat dalam klinik
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-
kadang terihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-
bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dapat pula terlihat sebagai lesi-
lesi dengan pinggir polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Khas dari
infeksi ini ada central healing (dibagian tepi meradang dan bagian tengah tenang).1,3

44
Gambar 1. Tinea Korporis
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20%
untuk melihat hifa atau spora jamur.1
Pemeriksaan Histologis akan tampak neutrofil di stratum corneum, ini merupakan
petunjuk diagnostik yang penting. Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin
pada tinea corporis menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat inflamasi
superfisial (rembesan sel radang ke permukaan).3
Diagnosis
Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan gejala yang dikeluhkan pasien, tanda-
tanda infeksi jamur yang ditemukan, ditambah dengan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosis. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah rasa gatal1,7
Diagnosis banding1,2,7
1. Psoriasis
Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema yang meninggi dengan skuama di
atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema
yang di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan
berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi: lentikuler,
nummular atau plakat, dapat berkonfluensi.
Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan kobner (isomorfik).
Kedua fenomena yang disebut lebih dulu dianggap khas.
Fenomena tetesan lilin adalah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada
goresan seperti lilin digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Pada fenomena
Auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis.
Trauma pada kulit penderita psoriasis, misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan
yang sama dengan kelainan psoriasis dan disebut fenomena kobner yang timbul kira-kira
setelah 3 minggu.

45
Gambar 2. Psoriasis
2. Pitriasis rosea
Sebagian penderita mengeluh gatal ringan. Penyakit dimulai dengan lesi pertama
(herald patch), umumnya di badan, solitarm berbentuk oval dan anular. Ruam terdiri atas
eritema dan skuama halus di pinggir..
Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, member gambaran yang khas,
sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil, susunannya sejajar dengan kosta, sehingga
menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa hari.

Gambar 3. Pitriasis rosea


Penatalaksanaan

Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi


selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.1,9

A. Terapi topikal1,9,10

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup


pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai
formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal
digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol

46
dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.1,7,11

Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas :

a. Econazol 1 %

b. Ketoconazol 2 %

c. Clotrinazol 1%

d. Miconazol 2% dll.

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada


pembentukan ergosterol membran sel jamur. 7,12

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga
skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. yaitu aftifine
1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan
hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.1,7,12

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan
esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan
agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas. 1,7,12

4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti
jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari
pertama dari terapi. 1,7,12

B. Terapi sistemik1,8,12

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan


bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama
pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau
pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.

1. Griseofulvin

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku emas pada
pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton.

47
Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis pada stadium metafase.

2. Ketokonazol

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan
imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

3. Flukonazol

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak
dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4) Itrakonazol

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan
efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi
maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.

5. Amfosterin B

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus.
Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur,
protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

Prognosis

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan
menggunakan anti jamur sistemik.1,8

Daftar pustaka

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.


Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.

2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus involvement. In :
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s:
Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.

3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP, editors.

48
Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.

4. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editors.
Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell scientific publication,1992. p.1148-
9.

5. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4

6. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. available from;


http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm

7. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and synopsis of clinical
dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.

8. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common tinea infections.
1998 July 1, available from: <http://www.afp.org/journal/asp/.htm>

9. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.

10. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of diagnostic.
6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.

11. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis. In :


Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-106.

12. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi
SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit
FKUI, 2004.

49
Tinea pedis

Definisi

Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki. Tinea pedis
merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak kaki.
Tinea pedis merupakan golongan dermatofitosis pada kaki.Penyebab yang paling sering
adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, dan E. flaccosum. Penyakit ini ditemukan hampir
disemua penjuru dunia dan dapat mengenai anak – anak, dewasa muda, maupun orang
tua.1,2

Gambaran klinis

Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:1,3-5


1. Interdigitalis. Di antara jari IV dan jari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis,
dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa kelompok
vesikel. Sering terjadi maserasi pada sela jari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan
rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati dibersihkan, akan terlihat kulit
baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan. Pada suatu ketika
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis,
limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-gejala konstitusi.

Gambar.1 Tinea pedis, Interdigitalis.

2. Moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya
ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat
papul dan kadang-kadang vesikel. Sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki
bagian lateral, dan biasanya bilateral.

50
Gambar 2. Tinea pedis pada telapak kaki

3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini
mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau
telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah
interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut
meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat
terjadi, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai
erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya
diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa untuk diperiksa secara sediaan langsung atau
untuk dibiak.

Gambar 3. Tinea pedis; Vesiko Bulosa, dengan hiperpigmentasi dari lesi yang inflamasi.

4. Bentuk yang terakhir adalah bentuk akut ulseratif pada telapak dengan maserasi, madidans,
dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena pemeriksaan kerokan kulit dan kultur
sering tidak ditemukan jamur.

Gambar 4. Tinea pedis tipe Ulseratif.

51
Pemeriksaan labolatorium

Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan langsung menggunakan mikroskop,


mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan
dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.6 Sediaan basah dilakukan dengan
meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KoH. Konsentrasi
larutan untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan
dicampur dengan larutan KoH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan
jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah
diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap pada sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup.
Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan yang diinginkan
tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada
sediaan KoH, misalnya tinta Parker superchoom blue black. Pada sediaan kulit dan kuku
yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang maupun
spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati.2,5,7
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dextrosa Sabouraud.1,7 Pada agar Sabouraud dapat ditambahkan
antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula klorheksimit. Kedua zat tersebut
diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.2,5,8

Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)

52
Gambar 6 : Gambaran histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis

Diagnosis

Athlet’s foot biasanya dapat didiagnosis dengan inspeksi dari kulit, tetapi jika
diagnosis tidak pasti, maka dilakukan pemeriksaam kalium hidroksida dari kerokan kulit
dan diperiksa menggunakan mikroskop (dikenal sebagai tes KOH).9 Tes ini dapat
membantu penegakan diagnosis dari Athlet’s foot dan membantu menyingkirkan
kemungkinan penyebab yang lain, seperti kandidiasis, keratolisis, erithrasma, dermatitis
kontak, eksim, atau psoriasis. Dermatofitosis diketahui menyebabkan Athlet’s foot dan
akan menunjukkan beberapa hifa bersepta dan bercabang pada mikroskop.9,10
Pada lampu wood (black light), meskipun berguna dalam mendiagnosis infeksi jamur
pada kulit kepala (Tinea kapitis), biasanya tidak membantu dalam mendiagnosis Athlet’s
foot, karena dermatofit umum yang menyebabkan penyakit ini tidak berfluoresensi
dibawah sinar ultraviolet.11

Diagnosis Banding

Tinea pedis harus dibedakan dari beberapa penyakit lain dikaki sebagai diagnosis
banding diantaranya adalah : 1,3,11

1. Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis dengan gejala gatal disertai eritema, vesikel, skuamasi terutama pada jari-jari,
punggung, dan kaki. Diakibatkan oleh kontak dengan zat yang menyebabkan alergi.
2. Psoriasis Pustulosa
Kelainan kulit berupa plak bersisik putih yang terdapat pada daerah lutut, siku, dan kulit
kepala. Selain itu juga, terdapat pada jari-jari tangan dan jari-jari kaki dengan penampakan
plak-plak yang licin dan merah dan permukaan yang mengalami maserasi.
3. Skabies Pada Kaki
Gejala gatal pada badan, sela jari tangan, lipat paha, dan lipatan siku yang disebabkan oleh
tungau (kutu) skabies.

53
Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya.1-
3,5

Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya


Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis Antifungal
rubrum yang difus, topikal disertai
eritema dan dengan obat-
Epidermophyton retakan pada obatan
floccosum permukaan telapak keratolitik asam
Scytalidium kaki; pada salisilat, urea
hyalinum umumnya sifatnya dan asam laktat
kronik dan sulit untuk
S. dimidiatum
disembuhkan; mengurangi
berhubungan hiperkeratosis;
dengan defisiensi dapat juga
Cell Mediated ditambahkan
Immunity (CMI) dengan obat-
obatan oral
Interdigital T. Tipe yang paling Obat-obatan
mentagrophytes sering; eritema, topikal; bisa
krusta dan juga
(var. maserasi yang menggunakan
interdigitale) terjadi pada sela- obat-obatan oral
T. rubrum sela jari kaki, dan pemberian
antibiotik jika
E. floccosum
terdapat infeksi
S. hyalinum bakteri; kronik :
S. dimidiatum ammonium
klorida
Candida spp. hexahidrate 20
%
Inflamasi / T. Vesikel dan bula Obat-obatan
Vesikobulosa mentagrophytes pada pertengahan topikal biasanya
kaki; berhubungan cukup pada fase
(var. dengan reaksi akut, namun
mentagrophytes) dermatofit apabila dalam
keadaan berat
maka indikasi
pemberian
glukokortikoid

54
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan
daerah interdigital; topikal;
T. Ulserasi dan erosi; antibiotik
mentagrophytes biasanya terdapat digunakan
E. floccosum infeksi sekunder apabila terdapat
oleh bakteri; infeksi sekunder
biasanya terdapat
pada pasien
imunokompromais
dan pasien
diabetes

ANTIFUNGAL TOPIKAL1-3,6
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi,
yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. 5
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi lebih cocok pada pengobatan
Tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.
 Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat pertumbuhan
bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu.
Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.
 Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol;
menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga
menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.
 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat biosintesis
ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi
jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah
intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis
tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan
hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21
hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep
asam salisilat 10 %.
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai jenis
jamur.

55
 Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea
versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2
kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada Tinea
pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik).
 Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan kematian sel
jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine 10%
dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
 Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam
perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam
benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek
keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai
setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi
ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para
pemakainya karena salep ini berlemak.
 Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam
dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia
dalam bentuk salep campuran yang mengandung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.
 Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal kekuningan,
sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan
larutan dengan kadar 1 %.
ANTIFUNGAL SISTEMIK1-3,6
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan.
Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa
obat antifungal di bawah ini antara lain
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel
utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk
anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu
agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam
klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada
sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan

56
klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa
gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole
yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan
obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai
pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari
sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan
mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan
komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit
kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya
edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole
diindikasikan pada Tinea pedis tipe moccasion.
4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol
menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan
konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan
pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan
dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin
baik digunakan pada pasien Tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu
penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan Tinea pedis dengan terbinafine lebih
efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.

Prognosis

Pengobatan yang diterapkan dalam beberapa minggu pada kaki biasanya dapat
menyembuhkan Tinea pedis (Athlete’s Foot) pada penderita dengan gejala yang baru.

57
Infeksi Tinea pedis kronis atau berulang juga bisa disembuhkan dengan cara ini, tetapi
mungkin memerlukan perubahan signifikan dalam perawatan kaki dan beberapa minggu
pengobatan. Kasus yang lebih parah mungkin memerlukan obat oral. Bahkan setelah
pengobatan berhasil, penderita tetap berisiko terhadap infeksi ulang jika mereka tidak
mengikuti pedoman pencegahan. Sebagian besar kasus Athlete’s foot sembuh dalam waktu
dua minggu. Kasus yang lebih parah dapat mencapai waktu satu bulan atau bahkan lebih
lama dengan asumsi penyebabnya adalah infeksi jamur.1,3,6

Daftar Pustaka

1. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. Dalam: Menaldi, SL, Bramono K, Indriatmi, ed.


Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017.

2. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi
SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit
FKUI, 2004.
3. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, dkk. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin di Indonesia. PERDOSKI:2017
4. Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general
medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p
5. Price SA, Wilson LM. in Patofisiologi.Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Edisi
Empat.EGC.1995
6. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. in Tinea pedis: An Update. Asian Journal
of Medical Sciences 2 (2011)
7. Claire J. Carlo, MD. Patricia MacWilliams Bowe, RN, MS. Tinea pedis(Athlete’s Foot)
8. Penyakit Dermatofitosis in kuliah itu keren.blogspot.com/2011/03/pengakit
dermatofitosis.html
9. Tinea pedis et Manum in online medica wiki encyclopedia
http://wikimed.blogbeken.com/htm
10. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford; 2005.
p. 65-6
11. Hainer BL. Dermatothyte infections. Am Fam Physic 2003

58
Tinea unguium

Definisi

Tinea unguium atau disebut juga onychomycosis adalah invasi lempengan kuku
yang disebabkan oleh jamur dermatofita.1 Penyebab terbanyak tinea unguium adalah
Trichopyton rubrum dan Trichopyton mentagrophytes yaitu sekitar 95%-97%. Pada abad
kedua puluh, Trichopyton rubrum mengakibatkan epidemis tinea unguium, tinea pedis,
dan jenis-jenis dermatophytoses epidermal di negara-negara industri. Penyebab lain yang
jauh lebih sedikit yaitu Epidermophyton floccosum, Trichopyton violaceum, Trichopyton
schoenleinii, dan Trichopyton verrucosum.1,2

Gejala Klinis

Ada tiga bentuk gejala klinis dari tinea unguium : 3

1. Bentuk subungual distal


Bentuk ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses ini menjalar ke
proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisi kuku yang rapuh. Kalau proses berjalan terus,
maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat hanya kuku rapuh yang
menyerupai kapur.3

Gambar 1. Bentuk subungual distal


2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikotika
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan dipermukaan
kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur. Oleh kelainan ini
dihubungkan dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.3

59
Gambar 2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikotika

3. Bentuk subungual proksimal


Bentuk ini mulai dari pangkal kuku bagian proksimal terutama menyerang kuku
dan membentuk gambaran klinis yang khas, yaitu terlihat kuku dibagian distal masih utuh,
sedangkan bagian proksimal rusak. Biasanya penderita tinea unguium mempunyai
dermatofitosis di tempat lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering
diserang daripada kuku tangan.3

Gambar 3. Bentuk subungual proksimal

Diagnosis

Untuk mendiagnosis tinea unguium selain dari gejala klinis juga dapat menggunakan
pemeriksaan mikroskopik, kultur, dan histopatologi. Oleh karena onikomikosis
bertanggung jawab besar pada distropi kuku, maka pemeriksaan dengan laboratorium
sangat membantu sebelum memberikan pengobatan anti jamur. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan KOH, hisopatologi, dan kultur jamur.4

60
Pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan Periodic Acid-Schiff Stain (PAS)
dapat menegakkan diagnosa 41%-93%. Ini lebih sensitif dibanding dengan menggunakan
ether KOH atau kultur jamur. Pada satu penelitian menyatakan histopatologi 85% lebih
sensitif, pencampuran KOH dan kombinasi sentrifugal dengan PAS menunjukkan
sensitivitas 57%. Kultur dengan menggunakan sabouraud agar dengan chloramfenikol dan
cycloheximed (Mycosel) agar menunjukkan sensitivitas 32%. 4

Diagnosa Banding

1. Pustular psoriasis
Psoriasi dapat terjadi pada kuku yang memiliki gejala khas psoriasis yaitu terdapat
lubang psoriasis berbatas pada kuku jari yaitu besar,dalam, dan tidak teratur terjadi pada
matriks kuku proksimal. Onycholysis kuku merupakan manifestasi paling umum dari
psoriasis kuku dan dapat mempengaruhi kuku dan kuku kaki. Dimana terdapat perbatasan
eritematosa sepanjang daerah onycholytic adalah diagnostic untuk psoriasis kuku.5

Gambar 4. Pustular psoriasis

2. Lichen planus
Lichen planus dapat menghancurkan kuku karena itu penting untuk mendiagnosa dan
mengobati penyakit sesegera mungkin. Meskipun lichen planus sering mempengaruhi
kedua matriks kuku kecurigaan klinis harus terangsang oleh tanda-tanda matriks kuku,
terutama kuku menipis, terdapat kehancuran matriks kuku dan muncul sebagai
perpanjangan dari kulit lipatan kuku proksimal yang melekat pada kuku.atrofi idiopatik

61
dari kuku adalah berbagai langkah lichen planus oleh kerusakan kuku akut dan progresif
terkemuka untuk meredakan atrofi.5

Gambar 5. Lichen planus

Penatalaksanaan

1. Debridemen.
Mengangkat jaringan kuku yang distropik, pasien seharusnya didebridemen setiap satu
minggu. Pada onikomikosis subungual distal, hiperkeratotik harus diangkat. Pada
onikomikosis superfisial putih, kuku diangkat dengan cara dikuret.2
2. Terapi topikal.
Pada terapi topikal tersedia dalam bentuk losion dan lacquer (cat kuku). Amorolfine
lacquer dilaporkan efektif dengan penggunaan selama 12 bulan. Sedangkan ciclopirox
(penlac) nail lacquer adalah agen topikal (ciclopirox 80%) yang efektif digunakan selama
48 minggu.6

3. Terapi oral :
a. Terbinafine dengan dosis 250mg/hari selama 6-8 minggu.4
b. Itraconazol diberikan selama 12-16 minggu, dengan interval pemberian setiap 1 bulan
dengan dosis setiap tahap 2 x 200 mg/hari selama 1 minggu. 4
c. Fluconazole dengan dosis 150-300 mg perkali pemberian atau per minggu selama 6-12
bulan. 4

Daftar pustaka
1. Wiley Jhon, Sons. Mycologi. In: editor. Hay J.R, Ashbee R.H. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th ed. USA : Blackwell Publishing. 2010. p.36.34 – 36.35.

62
2. Wolff K, Johnson RA, Suurmond Dick. Tinea Unguium. In: Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 9th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2009.
3. Djuanda A,Hamzah Mochtar, Aisah Siti. Mikosis. Dalam : editor. Budimulja Unandar.
Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: 2007.p.93-99.
4. James D. William, Berger G. Timothy, Elston M. Dirk. Diseases Resulting from Fungi and
Yeasts. In: Andrews’ Disease of the Skin Clinical Dermatology. 10th ed. California :
Elservier Saundres. p. 305-07.
5. Wolff K, Katz I. Stephen Goldsmith A. Lowell, Paller S. Amy Gilchrest A. Barbara, Leffell
J. David. Biologi Of Nails and Nail Disorders. In: editors: Tosti A, Piraccini BM.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7thed. New York: McGraw-Hill
Companies. 2008. p.778-93.
6. Wolff K, Katz I. Stephen Goldsmith A. Lowell, Paller S. Amy Gilchrest A. Barbara, Leffell
J. David. Fungal Disease. In: editor: Verna S, Heffernan MP. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine.. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2008. p.1807-21.

63
64

Anda mungkin juga menyukai