Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai
perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat
insidensi TB sebanyak 8,5–9,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada tahun 2009
terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.1 Pengendalian TB saat ini diperkirakan mulai
mengalami kendala seiring dengan peningkatan jumlah pasien diabetes mellitus (DM)
di dunia, yaitu terdapat sekitar 285 juta pasien DM dan akan bertambah menjadi 438
juta di tahun 2030.2
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor resiko paling penting
dalam terjadinya perburukan TB. Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui
karena pada kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang
selanjutnya akan mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium
tuberculosis (M.tb) dan kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien
dengan diabetes memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat
dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.2 Interaksi antara penyakit kronik seperti
TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi
penyakit tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%,
terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.6-7
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas.
Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. Sebaliknya juga
bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan
memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami
perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT). Upaya pencegahan dan pengendalian
dua penyakit mematikan DM dan TB sangat penting untuk menurunkan mortalitas

1
karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui bagaimana mekanisme DM dapat
menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada
penderita DM.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis dan Diabetes Mielitus

Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis.
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia kronis yang terjadi karena kelainan defek sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya.

II.2. PATOGENESIS

II.2.1. Gangguan Fungsi Imun Pada Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan


penurunan sistem imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan
netrofil pada pasien DM yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan
penurunan produksi mediator inflamasi seperti TNF α, IL-1β serta IL-6. Limfosit Th1
mempunyai peranan penting untuk mengontrol dan menghambat pertumbuhan basil
M.tb, sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun fungsi limfosit T secara
primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk
terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis dan
fagositik yang menurun. Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan gangguan
yang lebih lanjut pada sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8.
Keseimbangan antara sel limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam
mengatur pertahanan tubuh melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi
pada TB aktif.1

3
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida
pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan dapat
menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang kurang
terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi menyebabkan TB
menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Selain
terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM juga terdapat gangguan
fisiologis paru seperti hambatan dalam proses pembersihan sehingga memudahkan
penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi non enzimatik pada protein jaringan
menginduksi terjadinya gangguan pada fungsi mukosilier atau menyebabkan
neuropati otonom diabetik sehingga menyebabkan abnormalitas pada tonus basal
jalan napas yang mengakibatkan menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.
Gangguan fungsi imun dan fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada tabel 1.

Tabel 1. Gangguan Fungsi Imun dan Fisiologis Paru Penderita DM

Kelainan fungsi imunologi paru pada Disfungsi fisiologis paru pada DM


DM
Gangguan kemotaksis, perlengketan, Reaktifitas bronkial berkurang
fagositosis dan mikrobisida
polimorfonuklear

Penurunan monosit perifer dengan Penurunan elastic recoil dan volume


gangguan fagositosis paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast Penurunan kapasitas difusi


menjadi limfosit

Cacat fungsi opsonisasi C3. Sumbatan mukus pada saluran napas

Penurunan respons ventilasi terhadap


hipoksemia

Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi


sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya
dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren,
gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset

4
limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis
terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang
disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor
yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM
mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak
terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari
PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang
menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas
membunuh dalam 48 jam.3

II.2.2. Hiperglikemia akibat Tuberculosis

Pada awal abad ke-19, Root mengatakan bahwa pasien TB tidak akan
berkembang menjadi DM dibandingkan dengan pasien bukan TB, namun pandangan
ini kemudian berubah pada tahun 1957 setelah Nichols menemukan bahwa pada 178
pasien TB ternyata 5% berkembang menjadi DM dan 22% memperlihatkan kelainan
pada uji penapisan. Penelitian multisenter yang diadakan di India pada tahun 1987
menemukan prevalensi DM yang sebelumnya tidak terduga pada pasien TB adalah
sebesar 9,7% , pada laki-laki usia diatas 40 tahun didapatkan angka prevalensi
sebesar 17,8% dibandingkan dengan usia di bawah 40 tahun yaitu sebesar 5,1%.
Sementara pada perempuan masing-masing adalah sebesar 23,5% dan 4,0%. Secara
keseluruhan untuk laki-laki dan perempuan masing-masing menjadi 10% dan 8,7%.6
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan
13% pasien TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan
kontrol tanpa TB dengan usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar 3,2%
yang memiliki DM, dari 13% pasien tersebut ternyata 60% didiagnosis sebagai pasien
DM baru. Penelitian di Nigeria juga mendapatkan hasil bahwa pada pasien TB yang
disertai dengan gangguan toleransi glukosa ternyata setelah 3 bulan diberikan
pengobatan TB hasil tes toleransi glukosa kembali normal. Penelitian di Tanzania
pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA) positif, 9 di
antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus yang didiagnosis melalui tes

5
toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB tambahan memberikan peningkatan
pada prevalens DM menjadi 4%. Gangguan toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82
pasien (16,2%). Sebagai perbandingan survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan
dan Shah pada suatu komunitas mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan
GTG sebesar 8,8%. Gangguan toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan DM. Walaupun GTG dapat kembali normal pada sejumlah
besar kasus TB dengan kemoterapi yang efektif, namun persentase yang lebih tinggi
pada GTG adalah signifikan karena menurut National Diabetes Data Group dari
National Institutes of Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG dapat berkembang
menjadi DM setiap tahunnya. Data-data yang telah ditemukan di atas menekankan
pentingnya dilakukan uji penapisan DM pada pasien TB.1
Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi.
Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit
(makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang
terbunuh dalam intraselular. Hal inilah menjadi salah satu penyebab meningkatnya
kepekaan pasien DM terhadap infeksi.3

II.2.3 Intoleransi Glukosa Pada Tuberculosis

Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada


perkembangan GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat
merangsang hormon stres seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon
pertumbuhan yang bekerja secara sinergis meningkatkan kadar gula darah lebih dari
200 mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF α juga meningkat pada penyakit berat yang
dapat merangsang sekresi hormon anti-insulin. Usia, penyakit komorbid dan alkohol
juga dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon adrenokortiko-tropin,
kortisol dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB, kelainan ini menyebabkan
kemampuan respons inang terhadap stress menjadi terganggu.1
Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB yang
berat dan ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan kalsifikasi lebih
tinggi pada kasus DM dengan TB, mendorong suatu keadaan defisiensi insulin

6
absolut. Kelompok protein transporter asam lemak yang terdapat pada basil tuberkel
kemungkinan dapat menyebabkan disregulasi homeostasis energi pada penyakit TB.
Gen protein transporter asam lemak dari mikobakterium yang diekspresikan pada
hepatosit mamalia dapat meningkatkan ambilan asam lemak rantai panjang. Asam
lemak rantai panjang merupakan sumber energi penting pada sebagian besar
organisme serta berfungsi pula sebagai hormon darah yang mengatur berbagai fungsi
penting seperti metabolisme glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat gangguan
metabolisme lipid tersebut.1

II.2.4. Kerusakan pankreas akibat tuberkulosis

Bukti – bukti yang menunjukkan mikobakterium dapat menyebabkan DM


meningkat dengan cepat dari waktu ke waktu. Seorang ahli patologi Dr. Phillip
Schwarz membuat hipotesis bahwa TB dapat menyebabkan DM karena terdapat
amiloidosis pada pankreas. Otopsi yang dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia
16-87 tahun, Schwartz menemukan lesi TB yang berasal dari infeksi TB saat anak-
anak dan 224 kasus diantaranya terdapat amiloidosis pankreas. Sebagian besar pasien
yang diotopsi tersebut didiagnosis DM sebelum kematiannya sehingga diduga
amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas tersebut yang menyebabkan DM.
Menurut Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis pada pankreas yang
menyebabkan DM harus dianggap sebagai kelainan imunologi yang disebabkan TB.
Diabetes mudah ditemukan dengan uji laboratorium rutin, namun TB tidak mudah
untuk ditemukan sehingga proses kerusakan tersebut berlangsung secara tersembunyi
yang memerlukan waktu bertahun-tahun sampai kelainan tersebut ditemukan.12
Seorang ahli patologi Dr. Phillip Schwarz membuat hipotesis bahwa TB
dapat menyebabkan DM karena terdapat amiloidosis pada pankreas. Otopsi yang
dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia 16-87 tahun, Schwartz menemukan lesi TB
yang berasal dari infeksi TB saat anak-anak dan 224 kasus diantaranya terdapat
amiloidosis pankreas. Sebagian besar pasien yang diotopsi tersebut didiagnosis DM
sebelum kematiannya sehingga diduga amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas
tersebut yang menyebabkan DM. Menurut Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis

7
pada pankreas yang menyebabkan DM harus dianggap sebagai kelainan imunologi
yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan dengan uji laboratorium rutin,
namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses kerusakan tersebut
berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun sampai
kelainan tersebut ditemukan.1
Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas
yaitu melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik
yang disebut sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb
dan produk-produk inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan
kerentanan inflamasi (reaksi hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis.
Schwartz mengakui fakta bahwa mikroba tidak perlu selalu ditemukan dalam jaringan
pankreas akan membingungkan para ilmuwan untuk generasi mendatang karena
mereka akan menduga bahwa amiloidosis ini adalah suatu penyakit autoimun akibat
ketidakmampuan untuk mengenali infeksi TB tersebut.1
Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu
serangan mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran tuberkel
bakteri dalam darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan kelenjar getah
bening abdominal yang ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans dan epiteloid,
merupakan tanda infeksi pada infeksi TB, biasanya tidak ditemukan pada jaringan
pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya kalsifikasi dan
amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa ketika pankreas
mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens DM.1

II.3 Manifestasi Klinis

Telah banyak dilakukan penelitian untukmelihat perbedaan manifestasi klinis


penderita TB paru dengan DM dan penderita TB paru saja. Pada tahun 1934 telah
dilakukan penelitian terhadap 234 kasus TB paru pada penderita DM di Boston
hasilnya menunjukkan bahwa tanda dan gejala tidak berbeda pada penderita TB paru
saja dan tidak ada gejala tersembunyi yang membahayakan.

8
Wang, dkk. di Taiwan (2009) menyatakan bahwa pasien TB dengan DM
menunjukkan frekuensi lebih tinggi dalam hal gejala demam dan hemoptisis, sputum
basil tahan asam (BTA) positif, lesi konsolidasi,kavitas, dan keterlibatan lapangan
paru bawah.

Penelitian Alisjahbana, dkk. (2007) diIndonesia menemukan beberapa


perbedaanmanifestasi klinis. Gejala klinis ditemukan lebih banyak pada pasien TB
paru yang juga menderita DM dan berdasarkan indeks Karnofsky, keadaan umumnya
juga lebih buruk (tabel 4). Dikatakan hasilnya tidak terlalu signifikan karena
perbedaannya kecil.

9
Penelitian lain di Malaysia, Saudi Arabia,dan Turki, tidak menemukan
perbedaansignifikan dalam hal gejala, akan tetapisebuah studi besar di Mexico
melaporkan gambaran klinis yang lebih buruk padapasien TB yang menderita DM,
yaitu dalam hal demam, hemoptisis, dan keadaan umumnya.

Tuberkulosis yang aktif juga dapat memperburuk kadar gula darah dan
meningkatkan risiko sepsis pada penderita diabetes. Demam, kuman TB paru aktif,
dan malnutrisi menstimulasi hormon stres seperti epinefrin, glukagon, kortisol, dan
hormon pertumbuhan, yang secara sinergis bekerja meningkatkan kadar gula dalam
darah hinggalebih dari 200 mg/dL. Kadar IL-1 dan TNF plasma juga meningkat dan
menstimulasi hormon anti-insulin, sehingga memperburuk keadaan infeksinya.

II.4 Diagnosis

Diagnosis TB paru melalui anamnesis, pemeriksaan fisik (suara napas


bronkial,melemah, ronki basah, dan retraksi interkostalatau diafragma), dan
pemeriksa anpenunjang berupa pemeriksaan bakteriologi dan radiologi. Diagnosis
utama ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA) melalui pemeriksaan
penunjang.

Pemeriksaan bakteriologi penting untuk menemukan M.Tuberculosis. Pada


semua pasien yang dicurigai TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari, yaitu
sewaktu-pagi-sewaktu(SPS). Hasil diagnosis positif membutuhkan paling sedikit
5000 batang kuman permL sputum. Selain sputum, bahan dapat diambil dari cairan
pleura, jaringan kelenjar getah bening, cairan serebrospinal.

Pasien TB paru disertai DM memiliki jumlah basil yang lebih tinggi dalam
sputumnya.Pada penelitian Alisjahbana, dkk. dari 373pasien TB yang menderita DM,
328 pasien(87,9%) menunjukkan kultur M.Tuberkulosis positif. Hasil penelitiannya
juga menunjukkan peningkatanBTA +++ dengan odd ratio (OR)1,71 pada penderita
TB paru dengan DM.Pemeriksaan sputum mikroskopis lebihsering menunjukkan

10
hasil kultur positif M.Tuberkuosis sampai 2 bulan setelah mulai pengobatananti-TB,
bahkan bisa sampai 6 bulan setelahmulai pengobatan (22,2%).

II.5. GAMBARAN RADIOLOGI PASIEN TB PARU - DM

Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya


lama sakit dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan Steidl
melaporkan bahwa pada sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola radiologi
khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas, dan lesi berbentuk baji menyebar dari hilus
menuju bagian tepi, terutama pada zona bagian bawah paru, sementara pada pasien
TB non DM lesi biasanya berupa infiltrat di lobus atas paru. Penelitian yang
dilakukan di Pakistan oleh Jabbar, dkk pada 173 pasien TB-DM mendapatkan
gambaran radiologi sebagian besar melibatkan lapang bawah paru yaitu sebanyak
36%, lesi bilateral didapatkan pada 47% pasien, efusi pleura sebanyak 32% pasien.
Lesi juga disertai dengan kavitas yang secara signifikan lebih sering ditemukan pada
laki-laki sebanyak 32% dibandingkan dengan perempuan sebanyak 15%.1
Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM
menemukan bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih banyak
dibandingkan dengan lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya sebesar 16%.
Lesi bilateral sebanyak 32%, 20% pasien terdapat kavitas pada paru dengan sebagian
besar letak kavitas terdapat di lapang bawah paru yaitu 80%, lesi nodular ditemukan
pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36% pasien. Mereka menyimpulkan bahwa
gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM cenderung atipikal oleh karena itu
bila menemukan pasien DM dengan gambaran lesi di lapang bawah paru harus
dipikirkan kemungkinan infeksi TB sehingga dapat dilakukan diagnosis serta
penanganan yang tepat.1
Pada beberapa penelitian yang lain juga ditemukan gambaran radiologis yang
umum ditemukan pada pasien TB-DM adalah berupa lesi yang mengenai banyak
lobus serta kavitas multipel. Individu usia tua cenderung mengalami lesi di lobus
bawah paru, kemungkinan hal ini disebabkan karena terjadi perubahan tekanan

11
oksigen alveolar di lobus bawah paru yang disebabkan oleh pengaruh usia atau
penyakit DM.1

Gambaran Radiologi pada pasien TB dengan Diabetes Mellitus 5

Lapangan paru bawah lebih sering


terlibat , diikuti lobus atas kemudian
tengan

II.7. PENATALAKSANAAN

II.7.1. Interaksi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Obat Hipoglikemia Oral
(OHO)
Prinsip pengobatan obat anti-tuberkulosis(OAT) terdiri dari dua fase, yaitu
fase intensifselama 2 sampai 3 bulan dan fase lanjutanselama 4 sampai 6 bulan,
terkadang sampai12 bulan karena jumlah M.Tuberkulosis yang harus dieradikasi.25
Lini pertama pengobatan TBparu menggunakan rifampisin, isoniazid,pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin.Tatalaksana pengobatan pada penderita TB paru yang
memiliki DM sama dengan penderita TB paru saja, akan tetapi lebih sulit,terutama
karena ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan, yaitu interaksi antar obat
TB paru dengan obat DM dan efek samping obat. Hingga saat ini, belum ada
rekomendasi kuat berdasarkan evidence mengenai tatalaksana pengobatan TB
parupada penderita DM maupun sebaliknya.

12
International Union Against Tuberculosis andLung Disease (IUATLD) dan
WHO memberikanrekomendasi terapi TB paru pada penderitaDM menggunakan
regimen yang sama sesuai standar. Perhimpunan Dokter ParuIndonesia (PDPI)
menyarankan pemberian OAT dan lama pengobatan pada prinsipnya sama dengan
TB paru tanpa DM, dengansyarat gula darah harus terkontrol.
Apabilagula darah tidak terkontrol, pengobatanperlu dilanjutkan hingga 9
bulan. Tahun2011, American Diabetes Association (ADA)merekomendasikan target
HbA1c kurang dari7% atau setara dengan gula darah sewaktusebesar 130 mg/dL.
Dosis harian rifampisin adalah 8-12 mg/kgBB/hari, maksimal 600 mg. Efek samping
Rifampisin yang sering yaitu hepatitis imbasobat (HIO) termasuk mual dan muntah,
sertawarna kemerahan pada urin, keringat, danair mata.
Obat DM golongan sulfonilureadanthiazolidinedion (TZD) dimetabolismedi
hati oleh enzim sitokrom P450 dan enzimini diinduksi kuat oleh rifampisin,
sehinggakadar obat antidiabetik tersebut jika diberikanbersamaan dengan rifampisin
akanmengalami penurunan (sulfonilurea 22%-30%,TZD 54%-64%). Metformin tidak
dipengaruhioleh rifampisin. Kadar plasma obat rifampisinpada pasien TB paru
dengan DM hanya 50%dari kadar rifampisin pasien TB paru tanpa DM.Konsentrasi
plasma maksimal rifampisin diatas target (8 mg/L) hanya ditemukan pada6% pasien,
sedangkan pada yang bukan DMditemukan 47%.20 Hal ini dapat
menjelaskanmengapa respons pengobatan pasien TBparu dengan DM lebih rendah
dibandingkandengan pasien TB tanpa DM.
Isoniazid (INH) merupakan penghambatP450 sehingga dapat mengurangi
efekri fampisin, tetapi pemberian INH dan rifampisin secara bersamaan tetap akan
meningkatkan enzim hati. Dosis harian INHadalah 4-6 mg/kgBB/hari, maksimal 300
mg. Efek samping berupa gejala-gejala saraf tepi,kesemutan, rasa terbakar di kaki,
dan nyeriotot. Pasien DM juga sering disertai dengan B6 (piridoksin) 100 mg/hari
untuk mencegah neuropati perifer akibat pemberian INH. Dosis harian etambutol 15-
20 mg/kgBB/hari.

13
Pemberian etambutol pada penderita DM harus hati-hati karena efek
sampingnyaadalah penurunan tajam penglihatan,serta buta warna hijau dan merah,
padahal penderita DM sering mengalami retinopati. Dosis harian pirazinamid 20-30
mg/kgBB/hari. Efek samping utamanya adalah hepatitis imbas obat; dapat terjadi
nyeri sendi yang dapat ditanggulangi dengan aspirin.

Pirazinamid dan etambutol tidak mempengaruhi kadar obat antiglikemik


dalam darah. Dosis harian streptomisin 12-18 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimal1000 mg. Efek samping utamanya adalah kerusakan nervus VII yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Keadaan dapat pulih kembali jika
obat dihentikan. Rifampisin dan INH diduga tidak berpengaruh terhadap insulin
karena insulin didegradasi di hati melalui hidrolisis disulfida antararantai A dan rantai
B oleh insulin degradingenzyme (IDE).

II.7.2. Prinsip Pengobatan TB – DM


Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan
pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM
pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun
insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga
untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal.3
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi
adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar
glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah
mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia
persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP
80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL
<100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg.
Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia
dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa
plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila
perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia

14
oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan
hidrasi dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.3

Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan TB


paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien TB-
DM, yaitu :1-5
1. Paduan OAT (obat anti TB) pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan
syarat kadar gula darah terkontrol.
2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk menstabilkan
kadar gula darahnya dan pengobatan harus dilanjutkan selama 9 bulan.
3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat
interaksi Rifampisin dengan OHO golongan sulfonilurea sehingga dosisnya harus
dinaikkan.
5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan terapi
OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg% dan
HbA1c <7%.
6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring terhadap
efek samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system saraf.
Pertimbangkan penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama untuk pasien
dengan neuropati perifer.
7. Hati-hati memberikan terapi etambutol sehubungan efek sampingnya pada mata,
karena penyandang DM juga sering terjadi komplikasi pada mata.
8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme
harus dilakukan.
9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.

Setelah selesai pengobatanTB paru, dapat dilanjutkan kembali dengan obat


anti-diabetes oral. Dua studi di Indonesia menunjukkan bahwa DM tidak
mempengaruhi farmakokinetik OAT selama fase intensif pengobatan TB paru, tetapi

15
mungkin berpengaruh pada rifampisin dalam fase lanjut. Hal ini didukungdengan
kultur sputum yang masih positif setelah pengobatan fase lanjut, tetapi tidak setelah
fase intensif. Hipotesis perbedaan pengaruh DM terhadap farmakokinetik OAT
selama pengobatan fase intensif dan fase lanjut karena adanya perbedaan induksi
rifampisin.

II.7.3. Pemberian insulin pada pasien tuberkulosis dengan diabetes melitus

Pengobatan pasien ini dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek


rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat
metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan
meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi
karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang, INH
dapat menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa
diusus, mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan
sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah
kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent.
Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan
nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga;
terdapatnya indikasi penggunaan insulin.3
Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang
optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera
dimulai dengan menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The
American Association of Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan
insulin analog atau insulin modern karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia,
penggunaan insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit
biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring dengan tercapainya koreksi
glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi. Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM
tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :1
1. Infeksi TB yang berat.

16
2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau defisiensi
endokrin pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek anabolic.
4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.
5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.1

PENAPISAN

Penapisan diabetes mellitus pada pasien tuberkulosis


Penelitian yang dilakukan di Tanzania menyatakan bahwa bila tes toleransi
glukosa oral tidak dilakukan saat terapi TB dimulai maka lebih dari separuh kasus
DM tidak akan dapat terdeteksi. Kesadaran terhadap penyakit DM di negara
berkembang umumnya rendah dan pasien dengan DM tipe 2 mungkin tidak bergejala
atau memperlihatkan gejala yang minimal, sehingga seringkali pasien tidak akan
mengeluhkan riwayat penyakit yang mengarah ke DM terutama pada pasien-pasien
TB dengan tingkat pendidikan yang rendah. Penapisan terhadap penyakit DM
merupakan satu-satunya cara untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya
komorbid DM pada TB. Metode penapisan sederhana dan ekonomis yang dapat
diterapkan di seluruh klinik TB di dunia diantaranya adalah anamnesis penyakit DM
yang dilakukan pada setiap pasien TB baru dan bila memungkinkan dapat dilakukan
pemeriksaan gula darah dengan alat fingerstick glucometer assay. Pasien dengan hasil
pemeriksaan yang tinggi harus mendapatkan perhatian khusus mengingat besarnya
kemungkinan terjadinya kegagalan pengobatan.5

Penapisan tuberkulosis pada pasien diabetes mellitus


Semua penderita DM memerlukan pemeriksaan medis yang teratur dan
pemeriksaan foto toraks tiap dua tahun sekali. Pemeriksaan ini harus dilakukan lebih
ketat pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun atau dengan berat badan kurang
dari 10% dari berat badan ideal. Setiap pasien DM dengan keluhan batuk tiba-tiba,
kehilangan berat badan, kelainan pada foto toraks atau peingkatan dosis insulin untuk
mengkontrol glukosa darah, harus dilakukan penapisan untuk penyakit TB. American

17
Thoracic Society tahun 1986 merekomendasikan bahwa penderita IDDM terutama
dengan control glikemik yang buruk harus diberikan kemoprofilaksis INH. Walaupun
kemoprofilaksis primer mungkin berguna pada komunitas tertentu dengan prevalens
tinggi DM dan TB seperti penduduk asli Sioux Oglala Amerika Utara namun tidak
ada alasan untuk pemberian kemoprofilaksis primer pada pasien DM yang terkontrol
dengan baik. Kemoprofilaksis sekunder pada pasien DM dengan tes tuberkulin positif
biasanya direkomendasikan walaupun beberapa peneliti masih mempertanyakan
manfaatnya.6

II.8 Efek Metformin Pada Pengobatan Pasien TB-DM


Seperti dibahas sebelumnya, DM dan TB sangatlah berhubungan. Dalam hal
ini dipastikan pasien-pasien ini terbebani penurunan imunitas seluler, penurunan
hitung netrofil, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi saluran napas [23].
Selain TB sensitif obat, beberapa studi melaporkan hubungan antara MDR-TB dan
DM, dengan prevalensi TB resisten obat lebih tinggi pada pasien DM [24]. Terapi
MDR-TB dikenal terbatas dan mahal, serta menimbulkan efek samping pada
kebanyakan pasien [22]. Oleh karenanya, dikembangkan beberapa metode untuk
mengontrol TB dan diabetes serta meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek
samping antibiotik pada infeksi Mtb, termasuk yang sensitif obat, resisten obat, dan
TB laten. Dari metode-metode ini, HDT dianggap strategi baru untuk mendampingi
terapi standar anti-TB. HDT adalah terapi tambahan yang memodulasi imunitas sel
induk untuk meningkatkan eradikasi pathogen, dan dapat memperpendek durasi
terapi [22]. Selain itu, masalah resistensi terapi yang sering berkaitan dengan strategi
konvensional, dapat diatasi dengan HDT. Metformin adalah salah satu HDT untuk
terapi TB/DM [22,23,24].
Baru-baru ini, di antara obat-obatan yang mengontrol diabetes, metformin telah
menarik perhatian sebagai host-directed therapy (HDT). Efeknya termasuk
meningkatkan efektor makrofag, mengurangi peradangan, dan mencegah kerusakan
paru-paru. Dalam penelitian in vivo, metformin menunjukkan kemampuan untuk
mempromosikan efek autofagi makrofag melalui fusi fagolisosom dengan cara

18
mengaktivasi ekspresi AMP-activated protein kinase (AMPK), produksi spesies
oksigen reaktif mitokondria (mROS), dan penghambatan pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis (Mtb) [22,23]. Singhal dkk [22] menunjukkan bahwa
aktivasi AMPK oleh metformin menghambat pertumbuhan Mtb dan juga
menunjukkan bahwa tikus yang diobati dengan isoniazid (INH) dan metformin
mengalami penurunan jumlah bakteri di paru-paru \dibandingkan dengan tikus yang
diobati INH saja. Mereka menilai efek pengobatan metformin pada manusia dengan
TB berdasarkan temuan in vivo dan in vitro. Efek anti-inflamasi dengan cara
meningkatkan regulasi sel T dan CD8+ [24] . Pada studi in vivo sebelumnya,
digunakan dosis metformin 2.430 mg/hari untuk manusia 60 kg 3 x sehari. Dosis
harian 250-3000 mg. Obat anti-TB umumnya efektif dalam mengobati pasien TB
sensitif obat, bahkan yang disertai DM. Oleh karena itu, efek HDT tambahan dari
metformin mungkin tidak esensial bagi terapi TB. Tetapi, TB paru ber-kavitas
berkaitan dengan jumlah bakteri yang lebih tinggi dan dibuktikan sebagai faktor
resiko penting kegagalan terapi dan relaps [25,26].

19
KESIMPULAN

1. Diabetes mellitus menyebabkan kerusakan pada fungsi imun dan fisiologis


paru sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi maupun reaktifasi TB,
memperpanjang waktu konversi sputum dan meningkatkan risiko gagal
pengobatan yang mendorong terjadinya TB MDR.

2. Tuberkulosis dapat menginduki hiperglikemi sehingga dapat menyebabkan


GTG bahkan DM. Hal ini diduga selain karena proses infeksi yang
menyebabkan peningkatan sekresi hormon anti-insulin juga disebabkan
karena terjadinya kerusakan pankreas seperti pakreatitis maupun amiloidosis
akibat proses inflamasi terhadap toksin M. tb.

3. Gambaran foto toraks pada TB-DM bersifat atipikal, namun beberapa


penelitian menunjukkan kecenderungan infiltrat yang lebih luas, infiltrat pada
lobus bawah paru, kavitas multipel dan efusi pleura.

4. Terdapat interaksi antara OAT dengan OHO, sehingga sebaiknya digunakan


insulin untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien DM dengan TB.

5. Sebaiknya dilakukan penapisan TB pada pasien DM terutama di negara-


negara dengan insidensi TB yang tinggi agar dapat dilakukan kontrol dan
penatalaksanaan yang lebih baik untuk kedua penyakit tersebut

6. Mengajukan metformin sebagai host-directed therapy yang memiliki


mekanisme aktivasi autofagi makrofag, yang disebut host-directed therapy

7. Metformin dapat menjadi pengobatan adjuvan anti-TB yang efektif pada


pasien DM dengan tingkat beban bakteri yang tinggi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Prameshwari, A.I. Hubungan Tuberculosis Pada Diabetes Mellitus. 2013.


Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, FKUI/RSUP Persahabatan.
Jakarta; Indonesia.
2. Cahyadi, A, Venty. Tuberculosis Paru Pada Pasien Diabetes Mellitus. 2011.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran universitas Kristen
Atma Jaya- RS Atma Jaya. Jakarta; Indonesia.
3. Sidarta, P. Pengelolaan DM Tipe II yang Disertai TB Paru BTA Positif. 2009.
Cited 28 Juni 2014. Available from
http://www.usebrains.wordpress.com/2009/09/29/pengelolaan-dm-tipe-II-
yang-disertai-tb-paru-bta-positif.
4. Bonas, A. Tuberkulosis Pada Penderita Diabetes Mellitus.2009. Cited 28 Juni
2014. Available from
http://www.ansharbonassilfa.wordpress.com/2009/04/17/tuberkulosis-dan-
diabetes-mellitus.
5. Subagyo, Ahmad. TB dan DM Bila Menyerang Bersamaan. 2013. Cited 28
Juni 2013. Available from http://www.klikparu.com/2013/06/tb-dan-dm-
bagaimana-bila-menyerang.html
6. World Health Organization. Global tuberculosis control 2011. Geneva :
World Health Organization; 2011.
7. Sulaiman SA, Mohd Zain FA, Abdul Majid S, Munyin N, Mohd Tajuddin NS,
Khairuddin Z, et al. Tuberculosis among diabetic patient. Webmed Central
Infectious Diseases. 2011;2(12):1-13.
8. Palomino JC, Leão SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science to
patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.
9. Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus : convergence
of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
10. Kapur A, Harries AD, Lonnroth K, Bygbjerg C, Lefebvre P. Diabetes and
tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge. US
Endrocinology. 2009;5(1):12-14.
11. Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J
Tuberc. 2000;47:3-8.
12. Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis : a review of the role of optimal
glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders. 2012;11(28):1-4.
13. McMahon MM, Bistrian Bruce R. Host defences and susceptibility to
infection in patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am.
1995;9:1-9.
14. Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications of diabetes mellitus.
Infect Dis Clin North Am. 1995;9:65-96.
15. Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A, Istriana
E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in
Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.

21
16. Mollentzc WF, Pansegrouw DR, Steyn AF. Diabetes mellitus, pulmonary
tuberculosis and chronic calcific pancreatitis revisited. South Afr Med J.
1990;78:235-9.
17. Broxmeyer L. Diabetes mellitus, tuberculosis and the mycobacteria: two
millennia of enigma. Med Hypotheses. 2005;65:433–9.
18. Elias D, Markovits D. Induction and therapy of autoimmune diabetes in the
non obese diabetic (NOD)/lt mouse by a 65-kDa heat shock protein. Proc Natl
Acad Sci. 1990;87:1576-80.
19. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary
tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus.
Eastern Mediterranean Health Journal. 2006;12:522-7.
20. Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of
pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28:70.
21. Nijland HM, Ruslami R, Stalenhoef JE, Nelwan EJ, Alisjahbana B, Nelwan
RHH, et al. Exposure to rifampicin is strongly reduced in patients with
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect Dis. 2006;43:848-54.
22. Wallis RS, Hafner R. Advancing host-directed therapy for tuberculosis. Nat
Rev Immunol 2015;15:255-263.
23. Singhal A, Jie L, Kumar P, et al. Metformin as adjunct antituberculosis
therapy. Sci Transl Med 2014;6:263ra159.
24. Zierski M, Bek E, Long MW, Snider DE Jr. Short-course (6 month)
cooperative tuberculosis study in Poland: results 18 months after completion
of treatment. Am Rev Respir Dis 1980;122:879-889.
25. . Palaci M, Dietze R, Hadad DJ, et al. Cavitary disease and quantitative
sputum bacillary load in cases of pulmonary tuberculosis. J Clin Microbiol
2007;45:4064-4066.
26. 26. Zierski M, Bek E, Long MW, Snider DE Jr. Short-course (6-month)
cooperative tuberculosis study in Poland: results 30 months after completion
of treatment. Am Rev Respir Dis 1981;124:249-251.

22

Anda mungkin juga menyukai