Anda di halaman 1dari 24

Co-Asistensi Bidang Diagnostik Lab/ Klinik (Kodil)

IDENTIFIKASI staphylococcus aureus DI LUKA TERBUKA


KUCING DOMESTIK

SRI RAHAYU SAFITRI


C024192008

Dibimbing oleh
Drh. Siti Arifah, M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDIN
MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN MANDIRI BIDANG DIAGNOSTIK LABORATORIUM

Co-Asistensi Bidang : Diagnostik Laboratorium


Angkatan : VI (Enam)
Tahun Ajar : 2019-2020
Nama Mahasiswa : Sri Rahayu Safitri
NIM : C024192008

Makassar, November 2020

Mengetahui,

Pembimbing Kasus Bidang Kodil Koordinator Bidang Kodil

Drh. Sitti Arifah, M.Si Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc


NIP. 198508072010122008

Ketua Program Profesi Dokter Hewan

Drh. A. Magfira Satya Apada, M.Sc


NIP. 198508072010122008

Tanggal Pengesahan :
Tanggal Ujian :
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kucing merupakan makhluk sosial. Antara kucing satu dengan kucing lain
memiliki agresi berupa tingkah laku mempertahankan wilayah, tingkah laku
kawin, dan lain-lain. Tingkah laku kawin pada kucing biasanya terjadi ketika
kucing mulai memasuki masa pubertas. Pubertas ini menyebabkan munculnya
tingkah laku kawin pada kucing. Ketika musim kawin, kucing betina rumahan
(indoor) akan dibawa oleh pemiliknya pada kucing jantan untuk dikawinkan,
sedangkan pada kucing luar rumah (outdoor), kucing jantan akan saling
berkompetisi sesama kucing jantan lain untuk memperebutkan batas wilayah dan
untuk kawin. Pada musim kawin banyak diantaranya kucing berkelahi untuk
memperebutkan betina dan wilayah kekuasaannya. Kucing biasa menggunakan
cakar dan gigitannya untuk melawan musuh dan perlindungan diri sehingga akibat
dari perkelahian tersebut adalah luka (Gorda, 2016).
Seekor hewan yang menderita luka akan merasakan adanya
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami gangguan
fisik dan emosional. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa luka akan
mempengaruhi 2 kualitas hidup dari hewan itu sendiri. Penanganan luka
didasarkan untuk melindungi saraf-saraf yang terluka dan harus segera ditutup
(bisa dengan perban/bandage, plaster atau tindakan pembedahan dengan cara
dijahit (suture). Respon rasa sakit berbeda pada tiap hewan, faktor yang pertama
adalah Individu (umur muda lebih peka umur tua), jenis hewan (kucing, anjing
lebih peka dari pada sapi) (Gorda, 2016).
Luka adalah rusaknya kesatuan jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang. Luka secara umum terdiri dari luka
yang disengaja dan luka yang tidak disengaja. Luka yang disengaja bertujuan
sebagai terapi, misalnya pada prosedur operasi atau pungsi vena, sedangkan luka
yang tidak disengaja terjadi secara accidental (Gayatri et al., 2008).
Manajemen perawatan luka diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan,
mencegah kerusakan kulit lebih lanjut, mengurangi risiko infeksi, dan
meningkatkan kenyamanan pasien. Berbagai jenis luka yang dikaitkan dengan
tahap penyembuhan luka memerlukan manajemen luka yang tepat. Perawatan
luka saat ini sudah berkembang sangat pesat. Pada perkembangannya, hasil
penelitian perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih
baik dari pada lingkungan yang kering (Gayatri et al., 2008).
Dalam merawat luka pertama kali dilakukan yaitu pembersihan luka
semaksimal mungkin sehingga mengurangi kontaminasi pada luka dan mencegah
terjadinya infeksi. Misalnya pada luka lecet dan luka parut bisa langsung
dibersihkan dengan air mengalir, air hangat dan cairan antiseptic. Sedangkan pada
luka tusuk dan luka gigitan perlu dibersihkan lebih maksimal untuk mengeluarkan
racun atau mikroba yang mungkin terdapat pada luka. Selanjutnya bagian yang
mengeluarkan darah dengan kasa steril atau kain yang bersih untuk menghentikan
pendarahan sebelum perawatan luka lebih lanjut (Oktaviani et al., 2019).
Perawatan selanjutnya terhadap luka yaitu menggunakan pembalut luka
(wound dressing) berupa tekstil medis dari bahan serat, benang, kain, produk
komposit yang biasanya disterilkan terlebih dahulu sebelum digunakan. Pada
mulanya, setiap luka dirawat supaya cepat kering termasuk luka yang
mengeluarkan cairan sel (lembab) langsung dibalut dengan kain kasa. Setelah luka
kering kasa biasanya lengket sehingga jaringan tumbuh lebih lambat dan
memungkinkan adanya infeksi pada luka (Oktaviani et al., 2019).
Kelompok bakteri terdiri dari banyak spesies yang tersebar luas di tubuh
manusia. Diantaranya yang paling umum adalah Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pyogenes, Escherichia coli,
Streptococcus pneumonia, Klebsiella pneumonia, Salmonella typhi, Pseudomonas
aeruginosa, Neisseria gonorrhoeae, Mycobacterium tuberculosis dan lain-lain
(Singh et al., 2013). Laporan ini akan membahas mengenai cara mengidentifikasi
jenis bakteri penyebab abses pada kucing khusunya abses yang diakibatkan oleh
luka terbuka.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun tujuan penulisan laporan ini yaitu:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Abses?
1.2.2 Apa jenis abses atau luka pada kucing?
1.2.3 Apakah etiologi dari bakteri staphylococcus aureus?
1.2.4 Bagaimana pathogenesis staphylococcus aureus?
1.2.5 Apa faktor virulensi staphylococcus aureus?
1.2.6 Bagaimana pengobatan staphylococcus aureus?

1.3. Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan abses.
1.3.2 Untuk mengetahui jenis abses atau luka pada kucing
1.3.3 Untuk mengetahui etiologi dari staphylococcus aureus
1.3.4 Untuk mengetahui pathogenesis dari staphylococcus aureus
1.3.5 Untuk mengetahui factor virulensi staphylococcus aureus
1.3.6 Untuk mengetahui pengobatan dari infeksi staphylococcus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian abses


Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau rusaknya
kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan
yang rusak atau hilang. Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul
diantaranya hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis,
perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel. Luka
didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tubuh oleh sebab-sebab
fisik, mekanik, kimia dan termal. Luka, baik luka terbuka atau luka tertutup,
merupakan salah satu permasalahan yang paling banyak di temukan (Ariningrum
et al., 2018).
Abses berupa infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang berdinding
tebal, manifestasinya berupa peradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan.
Penyebaran infeksi tergantung pada lokasi yang terkena serta penyebab virulensi
organisme. Abses dapat berukuran besar ataupun kecil dan menyebabkan
kemerahan apabila berada dibawah kulit, dan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan secara lokal. Beberapa abses akan mengalami ruptur dan menyebabkan
pengeluaran sekresi berbau busuk (Downing, 2019).
Abses bisa terjadi dikarenakan faktor internal pasien, prosedur (klasifikasi
luka, volume operasi ahli bedah), pra-operasi (pencukuran rambut, persiapan kulit
pasien, tangan tim bedah, propilaksis antimikroba), proses bedah (ruangan
operasi, durasi, manejemen instrument bedah, pakaian bedah dan teknik operasi)
dan post-operasi (perawatan luka insisi dan terapi antim ikroba) (Weese, 2008).
Kemudian ketika infeksi bakteri terjadi maka sistem imun mengirimkan sel darah
putih untuk melawan bakteri penyebab infeksi ke daerah yang terkena. Sel darah
putih kemudian akan menyerang bakteri. Selama proses ini terjadi, beberapa
jaringan di sekitarnya akan mati, meninggalkan lubang yang berisi nanah. Nanah
itu sendiri terdiri dari jaringan mati, sel darah putih, dan bakteri. Lama-lama akan
munculah benjolan berwarna kemerahan dan terasa sakit ketika disentuh. Infeksi
yang terjadi pada luka operasi disebabkan oleh bakteri, yaitu bakteri gram positive
(staphylococcus aureus) dan terkadang bakteri anaerob yang dapat berasal dari
kulit, lingkungan, dari alat-alat untuk menutup luka (Vista, 2015).

2.2. Jenis Abses Atau Luka


Macam-macam luka dan kategori penyebabnya (Gorda, 2016):
a. Luka memar (vulnus contussum). Kontusi atau memar jaringan (disebut juga
sebagai luka “tertutup”) dengan kulit bengkak dan berwarna biru, terbagi atas
tiga derajat. Derajat pertama di sebabkan oleh robekan kapiler jaringan bawah
kulit yang di sertai pembentukan ekhiminisis. Kontusi derajat kedua di
sebabkan oleh pecahnya pembulu darah yang lebih besar dengan pembetukan
matom. Kontusi derajat ketiga ditandai dengan kerusakan jaringan, misalnya
patah tulang, sampai dengan timbulnya shock dan gangrene
b. Luka lecet (vulnus abrasi) Adalah luka yang hanya mengenai lapisan paling
luar dari kulit dan sangat dangkal.
c. Luka sayat (vulnus incisi) Adalah luka yang diperoleh karena trauma benda
tajam. Pinggir luka atau licin. Jaringan yang hilang boleh dikatakan tidak ada.
d. Luka robek (vulnus laceratum) Luka yang penggirnya tidak teratur atau
compang-campaing sebagian dari jaringan umumnya hilang. Desebabkan
oleh trauma tumpul.
e. Luka tusuk (vulnus punctum). Luka yang disebabkan tusukan benda berujung
runcing seperti paku. Tapi luka mungkin terdorong ke dalam luka kecil, tetapi
dapat sangat dalam. Apabila luka tusuk ini menembus suatu organ. Maka luka
masuk selalu lebih besar dari luka keluarnya. Kadang-kadang luka ini baru
diketahui setelah timbul abses di telapak kaki.
f. Luka tembak (vulnus sclopetum). Apabila luka tembak ini menumbus suatu
organ, maka luka keluarnya lebih lebar dan lebih compang-camping. Apabila
tembakan dilakukan dari jarak dekat, maka apabila luka masuk dapat ditemui
jelaga. Pada luka keluar tidak jarang di temui pula bagian –bagian organ yang
diterjang peluru.Keluar tidaknya peluru atau sampai dimana kerusakan yang
di timbulnya tergantung dari jenis senjata, peluru jarak dan arah tembakkan.
g. Luka granulasi Adalah luka yang diatasnya tumbuh jaringan granulasi. Luka
granulasi dapat dimulai oleh ulkus atau laku terinfeksi.
h. Vulnus ulkus Suatu luka yang dalam, karena infeksi,tumor ganas, atau
kelainan pembulu darah.
i. Luka gigitan ( vulnus morsum ) Adalah luka karena gigitan binatang. Luka
gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan
yang menggigit, terkadang bekas gigitan tidak jelas karena sudah terkoyak.
Kedalaman luka menyesuaikan dengan gigitn hewan tersebut.

2.3 Etiologi Penyakit Staphylococcus Aureus


Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak (Gambar 2.1). Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi
membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada
perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar,
halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.
aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan
dalam virulensi bakteri (Kusuma, 2009).
klasifikasi bakteri Staphylococcus aureus sebagai berikut (Putri, 2017):
Divisi : Protophyta
Kelas : Schizomycetes
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus

Gambar 1. Staphylococcus aureus (Dewi, 2013).


2.4 Pathogenesis Staphylococcus Aureus

Sebagian bakteri Staphylococcus Aureus merupakan flora normal pada


kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri
ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen
bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu
meragikan manitol. Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan
yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S.
aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat
diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,
osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik. Abses setempat,
seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, atau
kelenjar keringat (Kusuma, 2009).
Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin
di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang
membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui
pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada
vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya
endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru.
Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau
infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan
meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosocomial.
Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus
(Kusuma, 2009).
Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung
pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang
dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg/gr makanan. Gejala keracunan 3
ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai
demam. Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba
dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan
gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari
permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada
anakanak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat
diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak
ditemukan dalam aliran darah (Kusuma, 2009).

2.5 Factor Virulensi Staphylococcus Aureus


Staphylococcus Aureus dapat menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai
zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa
protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya (Kusuma, 2009) :
1. Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses
fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus
dari Streptococcus.
2. Koagulase Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat,
karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim
tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan,
sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat
menghambat fagositosis.
3. Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di
sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta
hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung
jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada
medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan
manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus
yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba
dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel
darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah
merah domba.
4. Leukosidin Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan.
Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus
patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat
difagositosis
5. Toksin eksfoliatif. Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat
melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan
pemisahan intraepitelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif
merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai
dengan melepuhnya kulit.
6. Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST) Sebagian besar galur S. aureus yang
diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik.
Pada manusia, toksin ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan
multisistem organ dalam tubuh.
7. Enterotoksin Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap
suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam
keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan
protein.

2.6 Pengobatan Staphylococcus Aureus


Berdasarkan pada daya bunuh bakteri, maka antibiotik dibagi menjadi: a.
Antibiotik narrow spectrum (spektrum sempit), Antibiotik broad spectrum
(spektrum luas) dan Antibiotik part spectrum (spektrum sebagian atau khusus).
Mekanisme aktivitas antibiotik adalah dengan melakukan penghambatan sintesis
bahan penting bakteri, antara lain (Dewi, 2013):
a. Dinding sel (sintesis terganggu, sehingga dinding sel kurang sempurna
dan tidak tahan terhadap tekanan osmose plasma, akibatnya dinding sel pecah,
misalnya penicillin, cefalosporin),
b. Membran sel (molekul lipoprotein membran dalam dinding sel,
sintesisnya diganggu, sehingga zat penting isi sel, yaitu polipeptid dapat keluar
membran, karena membran lebih permeabel, nystatin, amfoterisin B),
c. Protein sel (chloramphenicol, tetracyclin, gol. aminoglikosida dan
makrolida), asam nukleat (RNA) (rimfamisin dan mytomicin)
Amoxicillin merupakan senyawa penicillin semi sintetik dengan aktivitas
antibakteri spektrum luas yang bersifat bakterisid. Aktivitasnya mirip dengan
ampisilin, efektif terhadap sebagian bakteri Gram-positif dan beberapa Gram-
negatif yang patogenik. Bakteri patogenik yang sensitif terhadap amoxicillin
adalah Staphylococci, Streptococci, Enterococci, S. pneumoniae, N. gonorrhoeae,
H. influenzae, E. coli dan P. mirabilis. Amoxicillin kurang efektif terhadap spesies
Shigella dan bakteri penghasil beta-laktamase. Senyawa ini berbeda dengan
ampisilin, yaitu dengan adanya suatu gugus hidroksil fenolik tambahan. Spektrum
kerjanya seperti ampisilin, tetapi jumlah yang diabsorpsi lebih banyak (Dewi,
2013).
BAB III
MATERI DAN METODE

3.1 Pengambilan Sampel


Kucing di temukan di pinggir jalan dengan kondisi lemas dan memiliki luka
terbuka. Sampel abses diperoleh dengan cara swab dengan menggunakan cutton
but steril. Isolat bakteri dari sampel abses untuk kerentanan terhadap agen
antibakteri pada media general Natrium Agar (NA) dan media differensial
Mannitol Salt Agar (MSA) dan Mac Conkey.

3.2 Media Nutrient Agar


3.2.1 Alat dan bahan:
Bubuk nutrient agar, kertas perkamen, timbangan digital, sendok tanduk,
aquades, gelas ukur, tabung erlenmeyer, bunsen, penjepit leher tabung, korek api,
cawan petri, aluminium foil, waterbath, autoklaf, dan inkubator.
3.2.2 Prosedur pembuatan media nutrient agar:
a. Siapkan alat dan bahan yang sudah steril.
b. Timbang bubuk nutrient agar sebanyak 5,6 gram.
c. Masukkan ke dalam tabung erlenmeyer dan campurkan aquades
sebanyak 200 ml.
d. Dihomogenkan dengan cara diaduk di waterbath.
e. Mulut tabung ditutup menggunakan aluminium foil selanjutnya
dimasukkan ke dalam autoklaf dengan suhu 170ºC selama 15 menit.
f. Setelah dikeluarkan, media didinginkan dan tuang kedalam cawan petri,
biarkan hingga memadat.

3.3 Pewarnaan Gram


3.2.1 Alat dan bahan :
Objek glass, lampu spiritus, ose, alkohol 96%, Crystal violet, lugol/iodin,
safranin/fusin karbolat, spesimen, minyak emersi, mikroskop.
3.2.2 Prosedur pewarnaan gram :
Pewarnaan gram dilakukan dengan membersihkan objek glass dengan
alkohol 96% kemudian difiksasi di atas lampu spiritus dan memberi label pada
bagian bawah preparat glass. Panaskan ujung ose (sengkelit) sampai berwarna
merah terang, letakkan ose di atas api. Tunggu hingga dingin sebentar. Ambil
sedikit spesimen yang akan diperiksa dengan menaruh ose rata terhadap
permukaan spesimen. Dengan tetap memegang ose rata terhadap permukaan kaca
objek, putar sengkelit dengan arah menjauhi pusat atau berbentuk spiral oval.
Sisakan ruangan antara spesimen dan keempat sudut kaca. Diamkan apusan
sampai benar-benar kering atau dengan memfiksasi bagian bawah dari objek
gelas.Teteskan larutan zat warna Kristal Violet sebanyak 1-2 tetes kemudian
tunggu selama 1-1,5 menit. Cuci dengan aquades dan keringkan preparat dengan
diangin-anginkan di atas bunsen. Tetesi dengan lugol pada keseluruhan objek
selama 60 detik, cuci dengan aquades. Kemudian teteskan alkohol 96% dan
diamkan sampai kering. Tambahkan fusin karbolat/safranin pada keseluruhan
kaca objek selama 2 menit. Bilas dengan aquades dan keringkan. Amati preparat
dengan objektif 40x untuk melihat distribusi ulasan, lalu pakai objek 100x
(dengan minyak emersi).

Gambar 2. Langkah-langkah pewarnaan gram


3.4 Media Selektif Differensial
3.4.1 Mannitol Salt Agar (MSA)
3.4.1.1 Alat dan bahan :
Bubuk Mannitol Salt Agar (MSA), kertas perkamen, timbangan digital,
sendok tanduk, aquades, gelas ukur, tabung erlenmeyer, bunsen, penjepit leher
tabung, korek api, cawan petri, aluminium foil, waterbath, autoklaf.
3.4.1.2 Prosedur pembuatan media Mannitol Salt Agar (MSA) :
a. Siapkan alat dan bahan yang sudah steril.
b. Timbang bubuk Mannitol Salt Agar (MSA) sebanyak 7,5 g .
c. Masukkan bubuk Mannitol Salt Agar (MSA) ke dalam labu erlemeyer
yang berisi 200 ml aquades.
d. Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan masukkan kedalam
autoclave dengan suhu 170º C selama ±15 menit.
e. Media didinginkan dan tuang kedalam cawan petri dan biarkan hingga
memadat dan bewarna merah.
3.4.2 Mac Conkey
3.4.2.1 Alat dan bahan :
Bubuk Mac Conkey, kertas perkamen, timbangan digital, sendok tanduk,
aquades, gelas ukur, tabung erlenmeyer, bunsen, penjepit leher tabung, korek api,
cawan petri, aluminium foil, waterbath, autoklaf.
3.4.2.2 Prosedur pembuatan media Mannitol Salt Agar (MSA) :
f. Siapkan alat dan bahan yang sudah steril.
g. Timbang bubuk Mac Conkey sebanyak 5,2 g .
h. Masukkan bubuk Mac Conkey ke dalam labu erlemeyer yang berisi 100
ml aquades.
i. Tutup erlenmeyer dengan aluminium foil dan masukkan kedalam
autoclave dengan suhu 170º C selama ±15 menit.
j. Media didinginkan dan tuang kedalam cawan petri dan biarkan hingga
memadat dan bewarna merah.
3.4.3. Penanaman dengan Goresan (Streak)
Bertujuan untuk mengisolasi mikroorganisme dari campurannya atau
meremajakan kultur ke dalam medium baru.
Prosedur penanaman dengan strea k :
a. Bagi cawan menjadi 3 bagian menggunakan spidol marker.
b. Inokulasi daerah 1 dengan streak zig-zag.
c. Panaskan jarum inokulan dan tunggu dingin, kemudian lanjutkan streak
zig-zag pada daerah 2 (streak pada gambar). Cawan diputar untuk
memperoleh goresan yang sempurna.
d. Lakukan hal yang sama pada daerah 3.

Gambar 3. Langkah-langkah streak


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sinyalemen dan Anamnesa


Kucing Domestik atas nama NoName berjenis kelamin jantan ditemukan di
pinggir jalan Kompleks Perumahan Unhas Jalan Sunu dengan keluhan kondisi
luka terbuka pada bagian kaki dan keadaan yang sangat lemah. Noname berumur
kurang lebih 1,5 tahun dengan berat badan 2 kg. Kemudian bagian luka terbuka di
ambil sampelnya dengan cara swab menggunakan cutton but steril.

Gambar 4. tampakan luka NoName yang


mengalami infeksi pada luka terbuka

4.2 Identifikasi bakteri


Kultur bakteri pus/nanah pasien NoName pada media nutrien agar (NA)
dilakukan dengan metode swab langsung menggunakan cottonbud. Hasil dari
kultur adanya koloni bakteri yang tumbuh sesuai arah swab setelah diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC. Nutrien agar merupakan media yang umum
digunakan karena bakteri gram positif maupun gram negarif dapat tumbuh pada
media ini.
Gambar 5. Koloni bakteri yang tumbuh pada
media Nutrient Agar

Hasil dari bakteri yang dikultur pada media NA dilakuakan pewarnaan gram
untuk mengetahui bakteri apa yang tumbuh pada media. Pelaksaan uji pewarnaan
dengan mengikuti prosedur yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pada
pewarnaan gram yang dilakukan yang didapatkan adalah teridentifikasinya bakteri
Gram-positif karena bakteri tersebut dapat memfementasikan manithol sehingga
mengubah PO Red berubah menjadi warna kuning. Setelah mendapatkan hasil,
maka dilakukan pengujian lanjutan yaitu penumbuhan bakteri kedalam media
selektif untuk bakteri gram positif.

Gambar 6. Hasil pewarnaan gram menunjukkan


bakteri berbentuk basil dan berwarna pink
Penanaman bakteri pada media selektif selanjutnya dilakukan pada media
Manitol salt agar (MSA). Media MSA adalah media selektif dan diferensial yang
digunakan untuk isolasi bakteri gram positif. Koloni terpisah pada media NA
kemudian dikultur ke media MSA dengan metode strike. Hasil positif
Stapylococcus aureus pada media MSA (penampakan fisik warna kuning)
(Murwani et al, 2017)

Gambar 7. Hasil kultur bakteri pada media MSA


yang menunjukkan pertumbuhan bakteri
Stapylococcus aureus

Setelah dilakukan kultur bakteri pada media selektif differensial dan telah
ditemukan hasilnya, langkah selanjutnya dilakukan pewarnaan gram sesuai
dengan langkah-langkah yang telah disebutkan di atas. Hasil interpretasi
pewarnaan gram menunjukkan bakteri berbentuk coccus gram positif menandakan
bahwa bakteri tersebut adalah jenis staphylococcus aureus pada media MSA.

Gambar 8. Hasil pewarnaan gram dari media selektif differensial (100x)


Penanaman bakteri pada media selektif selanjutnya dilakukan pada media
Mac Conkey. Media Mac Conkey adalah media selektif dan diferensial yang
digunakan untuk isolasi bakteri gram positif maupun gram negatif. Koloni
terpisah pada media NA kemudian dikultur ke media Mac Conkey dengan metode
strike. Hasil positif Stapylococcus aureus pada media Mac Conkey (penampakan
warna merah tidak terang tembus) (Murwani et al, 2017)

Gambar 9. Hasil kultur bakteri pada media Mac


Conkey yang menunjukkan pertumbuhan bakteri
Stapylococcus aureus
Setelah dilakukan kultur bakteri pada media selektif differensial dan telah
ditemukan hasilnya, langkah selanjutnya dilakukan pewarnaan gram sesuai
dengan langkah-langkah yang telah disebutkan di atas. Hasil interpretasi
pewarnaan gram menunjukkan bakteri berbentuk coccus gram positif menandakan
bahwa bakteri tersebut adalah jenis staphylococcus aureus pada media Mac
Conkey.

Gambar 10. Hasil pewarnaan gram dari media selektif differensial (100x)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau
rusaknya kesatuan/komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat
substansi jaringan yang rusak atau hilang.
Dari pengujian laboratorium kultur bakteri menggunakan media
Nutrient Agar, Manithol salt agar dan Mac Conkey. Pada media selektif
differensial berupa media Manithol salt agar didapatkan interpretasi kuning
keemasan yang menandakan adanya bakteri stapylococcus aureus. Mac
Conkey di dapatkan interpretasi warna merah tidak terang tembus. Untuk
lebih memperkuat hasil, langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan
mikroskopik dengan hasil bakteri gram positif berbentuk coccus yang
menandakan bahwa hasil menunjukkan bakteri stapylococcus aureus.
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengindentifikasi
bakteri yangadai di abses kucing selain dengan mengkultur bakteri tersebut
di media agar
DAFTAR PUSTAKA

Ariningrum, Dian., Jarot Subandono., Ida Bagus Metria., Nunik Agustriani.,


Muthmainah., Lilik Wijayanti., Krisna Yarsa Putra., Sri Mulyani., Erindra.,
Endang Listyaningsih., Muthmainah 12. Rieva Ermawan. 2018. Buku
Manual Keterampilan Klinik Topik Manajemen Luka. Kementerian Riset,
Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Universitas Sebelas Maret : Jawa
Tengah.
Dewi, Amalia Krishna. 2013. Isolasi, Identifikasi Dan Uji Sensitivitas
Staphylococcus Aureus Terhadap Amoxicillin Dari Sampel Susu Kambing
Peranakan Ettawa (Pe) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo,
Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. Vol. 31, No. 2.
Downing, R., 2019. Abscesses in Cats | VCA Animal VCA Hosp. URL.
Gayatri, Zulfa., Elly Nurachmah, Dewi. 2008. Perbandingan Penyembuhan Luka
Terbuka Menggunakan Balutan Madu Atau Balutan Normal Salin-Povidone
Iodine. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 12, No. 1, Hal 34-39.
Gorda, I Wayan. 2016. Vulnus Morsum Pada Kucing Lokal. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana : Denpasar.
Kusuma, Sri Agung Fitri. 2009. Staphylococcus Aureus. Universitas Padjadjaran
Fakultas Farmasi : Semarang.
Murwani, Sri., Dahliatul Qasimah dan Indah Amalia Amri. 2017. Penyakit
Bakterial pada Ternak Hewan Besar dan Unggas. Universitas Brawijaya
Press : Malang
Oktaviani, Dede Jihan., Shella Widiyastuti., Dian Amalia Maharani., Agni Nur
Amalia., Asep Maulana Ishak., Ade Zuhrotun. 2019. Review: Bahan Alami
Penyembuh Luka. Majalah Farmasetika. Vol. 4, No. 3, Hal : 45-56.
Putri, Hanna Shofiana. Sensitivitas Bakteri Staphylococcus Aureus Isolat Dari
Susu Mastitis Terhadap Beberapa Antibiotika. Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga : Surabaya.
Singh S., M. Khare, R.K. Patidar, S. Bagde, K.N. Sahare, D. Dwevedi and V.
Singh. 2013. Antibacterial activities against pyogenic pathogens. Int. Jour.
Of Pharmaceutical Sciences and Research. 4(8):2974-2979.
Vista, S. 2015. Infeksi Luka Operasi. Medan. Universitas Sumatera Utara.

Weese, J.S., 2008. A Review of Post-operative Infections in Veterinary


Orthopedic Surgery. Vet. Comp. Orthop. Traumatol 21:99–105.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai