Anda di halaman 1dari 33

Proposal Skripsi

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA KUALITATIF


DAN KUANTITATIF PADA PASIEN PASKA OPERASI FRAKTUR DI
RSAL MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT TAHUN 2019.

Oleh
Safira Virgi Amalia Far-Far
1504015346

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA
JAKARTA
2020
Proposal Skripsi

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA KUALITATIF


DAN KUANTITATIF PADA PASIEN PASKA OPERASI FRAKTUR DI
RSAL MINTOHARDJO JAKARTA PUSAT TAHUN 2019.

Yang diajukan oleh:

Safira Virgi Amalia Far-Far


1504015346

Telah disetujui

Pembimbing I

Apt. Nurhasnah., M. Farm. Tanggal: 06 November 2020

Pembimbing II

Apt. Siti Fauziyah., M. Farm. Tanggal: 05 November 2020

Mengetahui:
Ketua Program Studi Farmasi

Apt. Kori Yati., M. Farm. Tanggal :


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Fraktur adalah hilangnya kontinuinitas tulang, tulang rawan, yang disebabkan


oleh trauma dan non trauma. Penyebab patah tulang atau fraktur terbanyak adalah
akibat trauma (Solomon 2018). Badan kesehatan dunia WHO mencatat pada tahun
2011-2012 terdapat 5,5 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas. Kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta
setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tenggara
(WHO 2015). Di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat kecelakaan
memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%
( Fajariati 2017).
Fraktur dibagi berdasarkan fraktur tertutup dan terbuka. Fraktur tertutup
adalah fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, tulang tidak keluar melalui
kulit. Fraktur terbuka adalah fraktur yang merusak jaringan kulit, karena adanya
hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka sangat berpotensi menjadi
infeksi (Asrizal 2014) . Pada kasus bedah ortopedi fraktur grade I dan II dapat
digunakan antibiotic golongan sefalosporin generasi pertama yaitu cefazolin. Grade
III bisa digunakan cefazolin dengan penambahan aminoglikosida seperti gentamicin
(Anderson 2011). Apabila dicurigai pada kasus tersebut melibatkan bakteri anaerob
maka bisa ditambahkan metronidazole (Kemenkes 2011).
Indonesia merupakan negara yang memiliki prevalensi penyakit infeksi cukup
tinggi. Tingginya penyakit infeksi akan semakin meningkatnya penggunaan
antibiotik. Peresepan antibiotik di rumah sakit, terutama di Indonesia cukup tinggi
yaitu sekitar 44-97%, walaupun terkadang tidak dibutuhkan atau peresepan tersebut
tanpa indikasi (Suryoputri 2018)
Evaluasi kuantitas penggunaan antibiotik dilakukan dengan menghitung nilai
ATC/ DDD 100 patient days. Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik dilakukan
dengan mengumpulkan data rekam medik pasien (indikasi, durasi/ lama pemberian,
dosis, frekuensi, cara/rute pemberian) kemudian dianalisis dengan kriteria gyssens.
Kriteria gyssens merupakan alur penilaian kualitatif penggunaan antibiotik yang
tercantum dalam pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotic ( Suryoputri
2018).
Hasil analisis kuantitatif menunjukan bahwa dari 100 rekam medik terdapat
14 jenis antibiotik yang digunakan di Bangsal Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto selama periode Oktober-Desember 2017 dengan nilai
DDD 100 patient days sebesar 60,94. Golongan antibiotik terbanyak adalah
sefalosporin (45,19) dengan jenis antibiotik terbanyak adalah ceftriaxone (36,15).
Adapun hasil analisis kualitatif pada penelitian ini antara lain kategori IIA (0,74%);
kategori IIB (2,96%); kategori IIIA (1,48%); kategori IIIB (0,74%); kategori IVA
(62,96%); kategori IVB (8,89%); kategori V (13,33%); kategori VI (8,89%). Evaluasi
penggunaan antibiotik secara kuantitatif dari nilai DDD didapat 60,94 dan secara
kualitatif didapatkan hasil tidak efektif dalam meresepkan antibiotic (Suryoputri
2018).
Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo Jakarta Pusat merupakan pusat
rujukan di daerah Jakarta Pusat, RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat berlokasi di Jalan
bendungan hilir sehingga memilki posisi strategis dalam melaksanakan pelayanan
kesehatan. Untuk pelayanan bedah sebagai sarana pelayanan terpadu untuk tindakan
operatif terencana maupun darurat dan sentral. Unit bedah sentral RSAL
Mintohardjo merupakan ruang operasi yang sudah dilengkapi dengan peralatan
canggih, ruang persiapan, dan ruang pulih sadar. Unit bedah sentral sudah mampu
melayani beberapa tindakan pembedahan salah satunya tindakan operasi bedah
orthopedi (fraktur). (Website RSAL Mintohardjo)
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dan kuantitatif pada pasien
paska operasi fraktur di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019- 2020.
B. Masalah Penelitian
Bagaimana penggunaan antibiotik pada pasien paska operasi fraktur di RSAL
Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020. ?

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi kuantitas serta kualitas penggunaan antibiotik pda pasien
pasca operasi fraktur di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Sebagai bahan acuan dan sumber ilmu pengetahuan untuk penelitian lain terkait
dengan penggunaan antibiotik pada pasien paska operasi
b. Dapat mengetahui penggunaan antibiotik yang tepat pada pasien paska operasi
fraktur.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi para tenaga kesehatan di
lingkungan RSAL Mintohardjo jakarta pusat dalam menngunakan antibiotik pada
pasien paska operasi fraktur.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai sarana dalam meningkatkan wawasan dan
pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur merupkan istilah dari hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan, sudut dan tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan
lunak di sekitar tulang yang akan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Helmi 2013).

b. Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang yang mengalami patah
secara sepontan. Pukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. Fraktur
yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
3. Fraktur Patologik dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi  pada
berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomyelitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. Rakhitis
merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Dalam hal ini
kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
1. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2. Infeksi seperti osteomyelitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri
3. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain,  biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbs Vitamin D atau
oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.(Hansen 2015)

c. Klasifikasi Fraktur
secara umum keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Fraktur tertutup (closed fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur di mana kulit tidak ditembus oleh fragmen
tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka (open fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam atau dari luar.
3. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya mal-union, delayed union, non-union, serta infeksi tulang (Helmi 2013).
d. Gejala Klinis
1. Riwayat trauma
2. Nyeri lokal dan makin bertambah bersama gerakan
3. Hilangnya fungsi anggota gerak dan persendian yang terdekat
4. Terdapat perubahan bentuk (deformitas)
5. Nyeri tekan, nyweri ketok, dan nyeri sumbu, krepitasi tidak perlu selalu dibuktikan
6. Gerakan-gerakan abnormal
7. Pemeriksaan keadaan neurovaskuler di bagian distal dari garis fraktur
8. Bila berdasarkan pengamatan klinis diduga terdapat fraktur, maka perlakukanlah
sebagai fraktur sampai terbukti lain (Purwadianto 2000).

e. Penatalaksanaan Fraktur

1. Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Fraktur


Cefazolin merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, yang sangat
aktif terhadap bakteri coccus Gram positif seperti pneumococci, streptococci, dan
staphylococci (Deck 2012). Cefazolin juga memiliki aktivitas terhadap beberapa
bakteri Enterobacter sp. Mekanisme kerja dari sefalosporin adalah menghambat
sintesis dinding sel dari bakteri. Cefazolin relatif dapat ditoleransi baik pada
penggunaan intramuscular maupun intravena. Cefazolin memiliki t½ yang panjang
yaitu ± 2 jam (Petri 2011). Sefalosporin termasuk dalam kelompok antibiotik dengan
pola aktivitas tipe II yaitu time-dependence dan efek persisten minimal, dengan
tujuan terapi memaksimalkan durasi paparan (Kemenkes RI 2011).
Kelebihan cefazolin dibandingkan dengan sefalosporin generasi pertama yang
lain, seperti cefalexin, cefalotin, cefapirin, dan cefadroxil adalah cefazolin lebih
lipofil sehingga penetrasi pada tulang lebih baik. Oleh karena itu, cefazolin lebih
disarankan sebagai antibiotik pada bedah orthopaedi (Harvey 2012).
Antibiotik didesain untuk mencapai konsentrasi efektif antibiotik dalam
jaringan pada waktu insisi dan dipertahankan dalam periode tertentu, yaitu mulai dari
insisi hingga kulit dijahit kembali. Jika antibiotik diberikan terlalu cepat, maka kadar
antibiotik akan sub optimal atau bahkan tidak ada saat dibutuhkan proteksi. Waktu
pemberian antibiotic profilaksis sebelum pembedahan memiliki efektivitas optimal
karena pemberian setelah kulit dijahit tidak efektif. Saat tidak ada infeksi prior (yaitu
saat operasi bersih dan bersih terkontaminasi) maka dipilih dosis tunggal. Saat infeksi
sudah terjadi (operasi kotor seperti fraktur terbuka) pemberian antibiotik lebih dari
sehari dan bukan murni profilaksis. Sefalosporin parenteral umum digunakan untuk
profilaksis bedah dan diberikan melalui bolus atau IV, 15-60 menit sebelum prosedur
bedah (Cunha 2015). Jika terdapat indikasi pendarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung lebih dari 3 jam, maka dapat diberikan dosis ulangan (Kemenkes
2011).

2. Fraktur terbuka
Perawatan umum adalah pertimbangan pertama: obati pasien, tidak hanya
patah tulang. Perawatan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan splintag untuk menahannya hingga bersatu; sedangkan
gerakan dan fungsi sendi harus dilayani terlebih dahulu.
Dua masalah eksistensial harus diatasi. Yang pertama adalah bagaimana
menahan patah tulang secara adekuat dan tetap memungkinkan pasien untuk
menggunakan anggota tubuh secara memadai; ini adalah konflik (Tahan versus
Pindah) yang dicari oleh ahli bedah untuk diselesaikan secepat mungkin (misalnya
dengan fiksasi internal). Namun, ahli bedah juga ingin menghindari risiko yang tidak
perlu - ini adalah konflik kedua (Kecepatan versus Keamanan). Konflik ganda ini
melambangkan empat faktor yang mendominasi manajemen fraktur (istilah
'fracturequartet' tampaknya tepat). Fakta bahwa fraktur tertutup (dan tidak terbuka)
bukanlah alasan untuk berpuas diri. Faktor terpenting dalam menentukan
kecenderungan alami untuk sembuh adalah keadaan jaringan lunak di sekitarnya dan
suplai darah lokal. Fraktur energi rendah (atau kecepatan rendah) hanya
menyebabkan kerusakan jaringan lunak sedang; Fraktur berenergi tinggi (kecepatan
tinggi) menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang parah, tidak peduli apakah
fraktur terbuka atau tertutup (Solomon’s 2018).

3. Klasifikasi yang membantu dari cedera tertutup:


Tingkat 0 : fraktur sederhana dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih parah dengan jaringan lunak dalam yang memar dan
bengkak.
Tingkat 3 : cedera parah dengan kerusakan jaringan lunak yang ditandai dan
sindrom kompartemen yang terancam. Tingkat cedera yang lebih parah kemungkinan
besar membutuhkan beberapa bentuk fiksasi mekanis; stabilitas skeletal yang baik
membantu pemulihan jaringan lunak (Solomon’s 2018)

4. Reduksi
Meskipun pengobatan umum dan resusitasi harus selalu diutamakan, tidak
boleh ada penundaan yang tidak perlu dalam menangani fraktur; pembengkakan
bagian lunak selama 12 jam pertama membuat pengurangan semakin sulit. Namun,
ada beberapa situasi di mana reduksi tidak diperlukan:
a. Bila ada sedikit atau tidak ada perpindahan;
b. Ketika perpindahan tidak menjadi masalah pada awalnya (misalnya pada fraktur
tulang selangka)
c. Ketika reduksi tidak mungkin berhasil (misalnya fraktur kompresi vertebra).
Reduksi harus bertujuan untuk posisi yang memadai dan keselarasan normal dari
fragmen tulang. Semakin besar area permukaan kontak antara fragmen, semakin
mungkin penyembuhan terjadi. Celah antara fragmentends adalah penyebab umum
penundaan union atau non-union. Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen-
fragmen tersebut sejajar dengan benar, beberapa permukaan rekahan yang
tumpang tindih diperbolehkan. Pengecualiannya adalah fraktur yang melibatkan
permukaan artikular; hal ini harus dikurangi sedekat mungkin dengan
kesempurnaan karena setiap penyimpangan akan menyebabkan distribusi beban
yang tidak normal antara permukaan dan mempengaruhi perubahan degeneratif
pada tulang rawan artikular (Solomon’s 2018).

5. Reduksi Tertutup
Dengan anestesi dan relaksasi otot yang sesuai, fraktur dikurangi dengan
manuver tiga kali lipat:
a. Bagian distal ekstremitas ditarik ke garis tulang;
b. Saat fragmen terlepas, mereka direposisi (dengan membalik arah gaya semula jika
ini dapat disimpulkan) dan
c. Penyelarasan disesuaikan di setiap bidang. Ini paling efektif jika perios teum dan
otot di satu sisi fraktur tetap utuh; tali jaringan lunak mencegah reduksi berlebihan
dan menstabilkan fraktur setelah dikurangi (Solomon’s 2018).

6. Reduksi Terbuka
Reduksi operatif fraktur di bawah penglihatan langsung ditunjukkan:
a. Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan dalam mengontrol fragmen atau
karena jaringan lunak berada di antara keduanya;
b. Ketika ada fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat atau
c. Untuk fraktur traksi (avulsi) di mana fragmen-fragmen tersebut dipisahkan.
Sebagai aturan, bagaimanapun, reduksi terbuka hanyalah langkah pertama untuk
fiksasi internal (Solomon’s 2018).

7. Traksi
Traksi diterapkan ke ekstremitas distal fraktur, untuk memberikan tarikan
terus menerus pada sumbu panjang tulang, dengan gaya berlawanan ke arah yang
berlawanan (untuk mencegah pasien terseret di sepanjang ranjang). Hal ini terutama
berguna untuk fraktur poros yang miring atau spiral dan mudah bergeser oleh
kontraksi otot. Traksi dapat menarik sepanjang tulang lurus dan menahannya hingga
panjang tetapi untuk mempertahankan pengurangan yang akurat kadang-kadang sulit.
Sementara pasien dapat menggerakkan sendi dan melatih otot.Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan hati-hati saat memasangkan traksi.traksi meliputi:

a. Traksi oleh gravitasi : Ini hanya berlaku untuk cedera kaki bagian atas. Jadi,
dengan pergelangan tangan yang digantung, berat lengan memberikan traksi terus
menerus ke numerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama dengan fraktur
melintang, pelat U dari plester dapat dibalut pada atau, lebih baik, selongsong
plastik yang dapat dilepas dari ketiak hingga tepat di atas siku dipegang dengan
Velcro.
b. Traksi kulit : Traksi kulit akan menopang tarikan nomore lebih dari 4 atau 5 kg.
Holland strapping atau one-way-stretch Elastoplast ditempelkan pada kulit yang
dicukur dan dipegang dengan perban. Malleoli dilindungi oleh jaringan Gamgee,
dan tali atau pita digunakan untuk traksi.
c. Traksi rangka : Sebuah kawat atau pin kaku dimasukkan - biasanya di belakang
tuberkulum tibialis untuk cedera pinggul, paha, dan lutut, atau melalui kalkaneum
untuk fraktur tibialis - dan tali diikatkan padanya untuk digunakan traksi. Baik
dengan traksi kulit atau rangka, fraktur dikurangi dan ditahan dengan salah satu
dari tiga cara, traksi tetap, traksi seimbang atau kombinasi keduanya (Solomon
2018).

f. Komplikasi
a. Gangguan peredaran darah Pada anak-anak, khususnya, pita traksi dan perban
melingkar dapat membatasi sirkulasi. Untuk alasan ini 'tiang gantungan', di mana
kaki digantung dari balok di atas kepala, tidak boleh digunakan untuk anak-anak
dengan berat di atas 12 kg.
b. Cedera saraf Pada orang tua, tarikan kaki dapat menyebabkan cedera saraf
peroneum dan menyebabkan kaki terjatuh, ekstremitas harus diperiksa berulang
kali untuk melihat bahwa ia tidak berguling ke rotasi eksternal selama traksi.
c. Infeksi situs pin Situs pin harus dijaga kebersihannya dan harus diperiksa setiap
hari (Solomon 2018).

2. Antibiotik

a. Definisi
Antibiotik adalah obat yang berasal dari seluruh atau bagian tertentu
mikroorganisme dan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Antibiotik tidak
efektif untuk melawan virus. Antibiotik selain membunuh mikroorganisme atau
menghentikan reproduksi bakteri juga membantu sistem pertahanan alami tubuh
untuk mengeleminasi bakteri tersebut (Fernadez 2013).

b. Jenis antibotik
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun
struktur kimianya.
1. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar yaitu:
(Katzung 2012)
a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan
sebagian besar bakteri, yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan
derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja, yang termasuk golongan ini adalah penisilin,
streptomisin, neomisin, basitrasin.

2. Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat
berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu (Nelwan, 2010) :
a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan cara
memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel.
Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin,
karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti
vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
b. Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik
dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan
menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang aktivitasnya
menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida,
tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
c. Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan
bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena
hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat obat yang
memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin,
kolistin
d. Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti
sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi
harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat), dan glutamat.
Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat
menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk
senyawa-senyawa antimikroba.
e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti
metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam
deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA
girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan
terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.

3. Berdasarkan struktur kimianya antibiotic dibagi menjadi :


a. Golongan Beta-Laktam : penisilin, ampicillin
b. golongan aminoglikosida : gentamicin, streptomicin
c. golongan tetrasiklin : tetrasiklin, oksitetrasiklin
d. golongan makrolida : tolosin, tilmikosin
e. golongan peptida : basitrasin, kolistin
f. golongan poliester : salinomisin, monensin
g. golongan kloramfenikol : kloramfenikol, tiamfenikol ( Katzung 2012)

c. Mekanisme Resistensi antibiotik


Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu
atau lebih mekanisme berikut:
1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika. Misalnya
Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang
merusa obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-
negatif.
2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun
dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya
resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya
(atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak
sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh
obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak
membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan
asam folat yang telah dibentuk. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang
tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi
oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri
yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas
yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz 2005).

Beberapa penyebab dari krisis resistensi antibiotik adalah (Ventola 2015):


1. Pemakaian yang berlebihan
Di banyak negara, antibiotik tidak terregulasi dan dapat dibeli tanpa resep.
Kekurangan regulasi tersebut menyebabkan antibiotik sangat mudah dibeli,
berjumlah banyak, harganya murah, sehingga dapat menyebabkan pemakaian yang
berlebihan. Pembelian yang dapat dilakukan secara online juga semakin
memudahkan akses pembelian antibiotik di negara yang telah memiliki regulasi.
2. Peresepan yang tidak sesuai
Peresepan antibiotik yang tidak sesuai memiliki manfaat terapeutik yang masih
dipertanyakan dan dapat menyebabkan pasien berpotensi untuk mengalami
komplikasi dari terapi antibiotik.
3. Penggunaan pada agrikultural yang luas
Dalam negara yang telah dan sedang berkembang, antibiotik digunakan secara luas
sebagai suplemen pertumbuhan dalam perternakan. Antibiotik yang digunakan
dalam peternakan dicerna oleh manusia saat memakan makanan. Perpindahan
bakteri yang resisten dari hewan ternak ke manusia pertama kali dicatat lebih dari
35 tahun yang lalu ketika nilai yang tinggi dari resistensi antibiotik ditemukan di
flora usus peternak dan hewan ternak.
4. Tersedianya antibiotik baru yang sedikit
Perkembangan dari antibiotik yang baru oleh industri farmasi yang selama ini
menjadi salah satu strategi efektif dalam memerangi bakteri yang resisten pada
dasarnya menjadi semakin lambat karena hambatan ekonomi dan regulasi.
Pengembangan antibiotik dianggap tidak lagi menjadi suatu investasi yang bijak
secara ekonomi dalam bidang industri farmasi karena antibiotik bekerja untuk
waktu yang relatif singkat dan sering sebagai bentuk kuratif, antibiotik tidak
membuat banyak keuntungan seperti obat-obatan untuk penyakit kronis, seperti
diabetes, asma, dan gangguan psikiatri.

5. Pembatas regulasi
Meskipun ada beberapa perusahaan yang optimis terhadap perjuangan dalam
menemukan antibiotik yang baru, mendapatkan persetujuan regulasi sering menjadi
hambatan. Kesulitan dalam mengejar persetujuan regulasi yang telah dicatat meliputi:
birokrasi, tidak adanya kejelasan, perbedaan persyaratan uji coba klinis antar negara,
perubahan peraturan regulasi dan perizinan, dan jalur komunikasi yang tidak efektif.
Perubahan standar untuk uji coba klinis yang dilakukan oleh Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat selama dua dekade terakhir telah membuat uji
klinis antibiotik menjadi sangat menantang. (O’Neill 2014).
Penelitian awal, melihat hanya dari dampak dari resistensi antibiotik
menunjukkan bahwa resistensi yang terus meningkat hingga tahun 2050 dapat
menyebabkan kematian 10 juta orang setiap tahun dan penurunan Produk Domestik
Bruto hingga 2% sampai 3,5% (O’Neill 2014).

3. ATC/ DDD (Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification /


Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification)

Untuk memperoleh data yang baku dan dapat diperbandingkan dengan data di
tempat lain, maka badan kesehatan dunia ( WHO) menganjurkan klasifikasi
penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)
Classification dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik dengan Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) Classification ( DDD) / 100 patient-days.
Defined daily dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata atibiotik yang
digunakan pada orang dewasa untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini
bahwa DDD adalah unit baku pengukuran, bukan mencermikan dosis harian yang
sebenarnya diberikan kepada pasien ( prescribed daily doses atau DDD). Dosis untuk
masing-masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien tersebut ( berat
badan, dll). Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam kelompok menurut
sistem organ tubuh, menurut sifat kimiawi, dan menurut fungsinya dalam
farmakoterapi. Terdapat lima tingkat klasifikasi, yaitu :
1. Tingkat pertama : kelompok anatomi ( misalnya : untuk saluran pencernaan dan
metabolisme )
2. Tingkat kedua : kelompok terapi dan farmakologi obat
3. Tingkat ketiga : subkelompok farmakologi
4. Tingkat keempat : subkelompok kimiawi oabt
5. Tingkat kelima : substansi kimiawi obat

Contoh :
J : anti infeksi untuk penggunaan sistemik (Tingkat pertama : kelompok anatomi )
JO1 : antibakteri untuk penggunaan sistemik (Tingkat kedua : kelompok
terapi/farmakologi)
JO1C : beta lactam antibacterial, penicilins (Tingkat ketiga : kelompok farmakologi)
J01C A : pensilin berspektrum luas (Tingkat keempat : subkelompok kimiawi obat)
J01C A01 : ampisilin (Tingkat kelima : substansi kimiawi obat)
J01C A04 : amoksilin (Tingkat kelima : substansi kimiawi obat)

a. Penghitungan DDD
Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh WHO
berdasarkan dosis pemeliharaan rata-rata, untuk indikasi utama pada orang dewasa
BB 70 kg (Kemenkes 2015).
Untuk mempermudah perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan
piranti lunak ABC calc yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO).
Kuantitas penggunaan antibiotika dapat dinyatakan dalam DDD 100 patient-days.
Cara perhitungan:
1. Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotika
2. Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length Of Stay atau
LOS semua pasien)
3. Hitung jumlah dosis antibiotika (gram) selama dirawat

Hitung DDD 100 patient-days:

( jumlah gramantibiotik yang digunakan oleh pasien) 100


DDD 100 patient −days= x
standar DDD WHO dalam gram (total LOS )
4. Gyssens
Kualitas penggunaan antibiotik dinilai dengan metode Gyssens menggunakan
data yang terdapat pada Rekam Pemberian Antibiotika (RPA), catatan medik pasien
dan kondisi klinis pasien. Berikut ini adalah langkah yang sebaiknya dilakukan dalam
melakukan penilaian kualitas penggunaan antibiotika :
a. Untuk melakukan penilaian, dibutuhkan data diagnosis, keadaan klinis pasien, hasil
kultur, jenis dan regimen antibiotika yang diberikan.
b. Untuk setiap data pasien, dilakukan penilaian sesuai alur.
c. Hasil penilaian dikategorikan sebagai berikut :
1. Kategori 0 = penggunaan antibiotika tepat
2. Kategori I = penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
3. Kategori IIA = penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
4. Kategori IIB = penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
5. Kategori IIC = penggunaan antibiotika tidak tepat cara atau rute pemberian
6. Kategori IIIA = penggunaan antibiotika terlalu lama
7. Kategori IIIB = penggunaan antibiotika terlalu singkat
8. Kategori IVA = ada antibiotika lain yang lebih efektif
9. Kategori IVB = ada antibiotika lain yang kurang toksik atau lebih aman
10. Kategori IVC = ada antibiotika lain yang lebih murah
11. Kategori IVD = ada antibiotika lain yang spektrum anti bakterinya lebih sempit
12. Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
13. Kategori VI = data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi
(kemenkes 2015).
Gambar 3 : Alur Penilaian Kualitatif Penggunaan Antibiotika menggunakan Gyssen
(Gyssens 2005)
j. Kerangka Berpikir

Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien


paska operasi fraktur

Kuantitas penggunaan antibiotik Kualitas penggunaan antibiotik

Metode Gyssens (kriteria gyssens terdiri


Metode DDD (Defined Daily Dose)
dari 0-VI)

ka
Lembar perhitungan DDD
a. Jenis antibiotik yag digunakan

b. Indikasi penggunaan antibiotik


Jumlah antibiotik dalam skala rasio
c. Lama pemberian

d. Rute pemberian

e. Dosis yang diberikan

f. Tipe terapi

Rasional Tidak rasional


(kategori 0) (kategori I-IV)
Gambar : Kerangka Berpikir

BAB III
METODOLOGI

A. Tempat dan Jadwal Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat. Waktu penelitian tahun
2019-2020

2. Jadwal Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan Bulan Desember – Januari 2021

Tabel 1. Rencana jadwal penelitian


No Uraian kegiatan Bulan ke I Bulan ke II Bulan ke III Bulan ke IV Bulan V
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Telaah pustaka X X X X
2 Konsultasi X X X X
3 Penyusunan proposal X X X X X X X X X X X X
4 Seminar proposal X X
5 Penelitian X X X X
6 Pengumpulan data X X
7 Pengolahan data X X
8 Penulisan skripsi X
9 Ujian

B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat. Penelitian
bersifat retrospektif yaitu mengambil data dari data yang sudah ada yaitu data rekam
medik tahun 2019-2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah pasien dewasa fraktur di RSAL
Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.
2. Sampel penelitian
Sampel peneltian ini adalah pasien paska operasi fraktur yang mempunyai
riwayat rekam medik yang menggunakan antibiotik di RSAL Mintohardjo Jakarta
Pusat tahun 2019-2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi.
Besar sampel dihitung sebagai berikut (Lemeshow 1997) :

Z 2 x P (1−P)
n¿
d2
Keterangan :
n : Jumlah sampel
Z : skor Z pada kepercayaan 95 % = 1.96
P : maksimal estimasi = 0.5
d : alpha (0.10) atau sampling error = 10%

( 1,96 ) x 0,5 ( 1−0,5 )


( 0,1)

Hasil perhitungan sampel didapatkan sampel sebesar 97 sampel.

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi


1. Kriteria Inklusi
a. Pasien paska operasi fraktur yang melakukan operasi selama tahun 2019-2020
b. Pasien paska operasi fraktur yang menggunakan antibiotik
c. Pasien paska operasi fraktur tanpa adanya penyakit komorbid lainya(Diabetes,
penyakit infeksi lainnya, pasien dengan immunocompromised).
2. Kriteria Ekslusi
a. pasien paska operasi yang mengalami perburukan klinis yang membutuhkan
perawatan intensif (ICU)
b. Pasien pulang paksa yang menolak melakukan perawat di Rumah sakit, meninggal
atau pindah rumah sakit.

E. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara ukur kategori Skala ukur Analisis


Jenis Macam obat Mencatat dari Nominal Cefazolin Deskriptive
antibiotik antinikroba penggunaan Ceftriaxone ATC
yang obat dalam Cefotaxim Gyssen
diberikan rekam medik Meropenem
pasca operasi Dll
Jumlah Rejimen dan Mencatat dari Rasio Ceftriaxone Deskriptive
antibiotik dosis obat penggunaan 1000 mg (2x1 DDD
antimikroba obat dalam selama 5 hari) Gyssen
yang rekam medik
diberikan
paska operasi

F. Cara penilaian ATC/DDD dan Gyssen


a. Penilaian ATC/DDD
Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk setiap pasien :

jumlah konsumsi antibiotik dalam gram


Jumlah konsumsi antibiotik (dalam DDD)=
DDD antibiotik dalam gram
DDD Total DDD
patient days=
100 Total jumlah hari pasien

b. Penilaian Gyssen
Data diperoleh dari rekam medik penggunaan antibiotik pasien dan untuk melihat
perjalanan penyakit, setiap kasus dipelajari dengan melihat gejala klinis dan melihat
hasil laboratorium apakah sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yang tercatat
pada Lembar Pengumpulan Data (LPD). Penilaian dengan menggunakan alur metode
Gyssen untuk menentukan kategori kualitas penggunaan antibiotik yang digunakan.
Kategori hasil penilaian (Gyssen Flowchart)
a. Kategori 0 : penggunaan antibiotik tepat / rasional

b. Kategori I : penggunaan antibiotik tidak tepat waktu

c. Kategori IIA : penggunaan antibiotik tidak tepat dosis

d. Kategori IIB : penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian

e. Kategori IIC : penggunaan antibiotik tidak tepat rute / cara pemberian

f. Kategori IIIA : penggunaan antibiotik terlalu lama

g. Kategori IIIB : penggunaan antibiotik terlalu singkat

h. Kategori IVA : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
efektif

i. Kategori IVB : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
aman
j. Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
murah
k. Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain dengan
spektrum lebih sempit
l. Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik
m. Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan antibiotik tidak dapat
dinilai (Kemenkes 2015).

G. Pengumpulan Data
1. Peneliti mengambil data no rekam medik di ruangan kamar operasi pasien dewasa
fraktur selama tahun 2019-2020.
2. No rekam medik di bawa ke ruangan rekam medik untuk mengambil data, Data
yang diambil meliputi :
a. Nama, tanggal lahir, jenis kelamin
b. Riwayat penyakit
c. Nama antibiotik
d. Indikasi
e. Dosis
f. Cara pemberian
g. Data laboratorium
h. Data diagnosis
2. Mencatat semua data yang diperlukan pada lembar pengumpulan data
3. Analisis data untuk melihat kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada
pasien dewasa fraktur di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.
4. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan Microsoft Exel.

H. Analisis Data
Pada penelitian ini digunakan analisa deskriptif untuk memperoleh gambaran
dari hasil penelitian pada tiap variable. Data dianalisa dengan menggunakan medote
ATC/DDD Data yang telah yang ditetapkan oleh WHO. Hasil menunjukkan
penggunaan antibiotik dalam satuan DDD/100 pasien-hari sedangkan evaluasi
kualitatif penggunaan antibiotik dianalisa dengan menggunakan alur kriteria Gyssens
yang dibagi dalam beberapa kategori mulai dari kategori 0 sampai kategori VI.
Gunakan sefalosporin generasi I – II untuk pengobatan pasien bedah. Pada kasus
tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol.
Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan
Karbapenem, dan golongan kuinolon untuk pembedahan. Antibiotik sefalosporin
generasi I, antibiotik yang efektif terhadap gram-positif dan memilki aktifitas sedang
terhadap gram-negatif. Antibiotik sefalosporin generasi II memiliki aktivitas
antibiotik gram-negatif yang lebih tinggi daripada generasi I (Kemenkes 2011). Hasil
menunjukkan persentase ketepatan atau tidaknya pemberian antibiotik. Data
dikumpulkan diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Penyajian data
ditampilkan dalam bentuk tabel.
I. Pola Penelitian

RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat

Mengambil data pasien di


Mengambil no rekam
ruang rekam medik yang
medik pasien post operasi
telah memenuhi kriteria
fraktur di ruang operasi
inklusi meliputi :

a. Nama, usia, jenis kelamin


b. Riwayat penyakit
Mencatat data yang
c. Nama antibiotik
diperlukan pada
lembar d. Indikasi
pengumpulan data e. Dosis
f. Cara pemberian
g. Data laboratorium
h. Data diagnosis

Menghitung hasil
penelitian dengan
menggunakan metode
ATC/DDD, dan Gyssen

Pengolahan data
Microsoft Exel

Gambar 6 : Pola Penelitian

Daftar Pustaka

Anderson, A., Miller A. D., Bookstaver P. B., 2011, Antimicrobial prophylaxis in


open lower extremity fractures, Journal of Open Access Emergency Medicine,
3:7-11.
Amin Zl. 2014. Pemilihan Antibiotic Rasional. Medicinus Vol 27 No 03, Desember
2014.
Asrizal. 2014. Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra . Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
Cunha, Burke A. MD, MCAP. 2015. Antibiotic Essentials. New Delhi: Jaypee
Brothers Medical Publisher
Deck, Daniel H PharmD dan Winston, Lisa G. 2012. Beta-Lactam & Other Cell Wall
& Membrane Active Antibiotics. Dalam: Katzung. Basic & Clinical
Pharmacology. McGraw-Hill
Fajryati. 2017. Gambaran Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah
Tulang Fraktur Terbuka Ekstremitas Bawah Di Rsud Dokter Soedarso
Pontianak
Fernandez. 2013. Studi Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Di Kabupaten
Manggarai dan Manggarai Barat – NTT. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Universitas Surabaya Vol.2 No.2
Gyssens, I.C., et al. (2005). Optimizing antimicrobial therapy. A method for
antimicrobial drug use evaluation. Journal of Antimicrobial Chemotherapy
Hansen, Jhon, T Lembert Davit R 2015, Netter’s Clinical Anatomy Eds 1 USA :
ELSEVIER
Harvey, Richard A., Clark, Michelle A., Finkel, R., Rey, Jose A., dan Whalen, Karen.
2012. Cell Wall Inhibitor. Dalam: Lippincott’s Illustrated Reviews :
Pharmacology 5th Edition. Lippincott William & Wilkins, a Wolters Kluwer
business
Helmi N Z. 2013. Buku ajar gangguan muskuloskeletal. Salemba medika
Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical
pharmacology. Third edition. Norwalk: Appleton and Lange.
Katzung , G., B, Master B., S. Trevor J., A. 2012. Basic and Clinical Pharmacology.
12 th edition.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik No. 2406/MENKES/PER/XII/2011.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba Di Rumah Sakit
Lüllmann, H., H. Mohr, L. Hein and D. Bieger. 2000. Color Atlas of Pharmacology
2nd ed, 266-280.
Lemeshow, S, Hosmer, D.W., Klar, J & Lwanga, S.K. (1997). Besar sampel dalam
penelitian kesehatan. Jogjakarta: Gajamada university press.
Nelwan RHH. 2010. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam :
Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing. Cetakan kedua :2896-2900.
O’Neill, Jim. 2014. The Review on Antimicrobial Resistance: Tackling a crisis for the
health and wealth of nations. United Kingdom.
Petri Jr., William A., 2011. Penicillins, Cephalosporinsm and Other β- Lactam
Antibiotics, in Gilman, A.G., 2011. Goodman & Gilman’sThe
Pharmacological Basis of Therapeutics 12th Edition. McGraw-Hill
Permana T R. 2014. Penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien fraktur terbuka
( open fracture )
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES
/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika
Pohan HT. 2005. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Komunitas. Dalam :
Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia :50-55.

Purwadianto A. 2000. Kedaruratan medik. Pedoman penatalaksaan praktis. Edisi


revisi.
Rahmawan R. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Fungsional
Pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di Rsud Depok.
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo: hal.
193.
Utami, ER. 2011. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Malang: Fakultas
Sains dan Tekhnologi UIN Maliki.
Solomon’s L. 2018. Apley’s system of orthopaedics and fractures. Ninth edition.
Suryoputri W M. Utami D E. Lestari D P. 2018. Evaluasi Penggunaan Antibiotik di
Bangsal Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
ActaPharmaciae Indonesia. 6(1) 20-28
Ventola, C. Lee. 2015. The Antibiotic Resistance Crisis Part 1: Causes and Threats.
PubMed Vol. 40 No. 4.
LAMPIRAN

Contoh cara perhitungan ATC/DDD:


Pasien 1 : mendapat amoksisilin dosis per-tablet 500mg dengan aturan pakai 2x
sehari selama 4 hari. Jumlah pemakaian pada pasien 1 adalah: [(500x2)x4] = 4000mg
= 4g
Pasien 2 : mendapat terapi amoksisilin dosis per-tablet 250mg dengan aturan
pemakaian 3x sehari selama 5 hari. Jumlah pemakaian pada pasien 2 adalah:
[(250x3)x5] = 3750mg = 3,75g, dan seterusnya sampai dengan pasien ke-n dengan
jumlah pemakaian sebanyak gram.
Jumlah total pemakaian antibiotika amoksisilin adalah:
Jumlah gram pemakaian pasien 1 + jumlah gram pemakaian pasien 2 +...........+
jumlah gram pemakaian pasien ke-n = X gram

Hitung LOS total selama periode Januari –Juni 2013.


Contoh :
Pasien 1 dirawat selama 3 hari.
Pasien 2 dirawat selama 7 hari, dan seterusnya sampai dengan pasien ke-n dirawat
dengan lama rawat selama n hari.
Jumlah total LOS adalah:
Lama rawat pasien 1 + lama rawat pasien 2 +...........+ lama rawat pasien ke-n = X
hari.

Hitung nilai DDD 100/patient-days untuk masing-masing jenis antibiotika atau


kombinasi antibiotika dengan menggunakan rumus seperti yang tertera pada definisi
operasional. Untuk mengetahui nilai standar DDD WHO dalam gram (per-
antibiotika/per-kombinasi antibiotika) yang digunakan, dapat dilihat pada program
ABC Calc. Pada program ABC Calc tersedia kolom yang mencantum kan nilai
standar DDD WHO dari masing-masing antibiotika yang disajikan berdasarkan rute
pemberian.

Berikut contoh salah satu perhitungan DDD/100 patient-days untuk antibiotik:

Diketahui : Total penggunaan amoksisilin= 7,5 g Total LOS = 54 hari Nilai standar
DDD WHO= 1 Nilai DDD 100 patient-days Untuk total nilai DDD 100/patient-days
per-golongan antibiotika dihitung dengan menjumlahkan masing-masing total nilai
DDD pada masing-masing antibiotika yang terdapat dalam satu golongan
Contoh :
Total nilai DDD 100/patient-days antibiotika golongan penisilin :
Ampisilin = 10,30
Amoksisilin = 1,36
Diklosasilin = 2,53
Sultamisilin = 4,53
Total nilai DDD 100 patient-days antibiotika golongan penisilin adalah:
10,30 + 1,36 + 2,53 + 4,53 = 18,72 DDD

Data Laboratorium
No Mrs Krs U Jk Tb/ Diagnosis Antibiotik Dosis Rute Tgl Tgl Jam Suhu Tgl Hb Leu Cr
Bb Mulai Stop Lab
1
2
3
4
5
6
7
8
9
ds
t
Contoh Lembar Pengumpulan Data Penelitian

Anda mungkin juga menyukai