Oleh
Safira Virgi Amalia Far-Far
1504015346
Telah disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui:
Ketua Program Studi Farmasi
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi kuantitas serta kualitas penggunaan antibiotik pda pasien
pasca operasi fraktur di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Sebagai bahan acuan dan sumber ilmu pengetahuan untuk penelitian lain terkait
dengan penggunaan antibiotik pada pasien paska operasi
b. Dapat mengetahui penggunaan antibiotik yang tepat pada pasien paska operasi
fraktur.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi para tenaga kesehatan di
lingkungan RSAL Mintohardjo jakarta pusat dalam menngunakan antibiotik pada
pasien paska operasi fraktur.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai sarana dalam meningkatkan wawasan dan
pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Fraktur
a. Definisi
Fraktur merupkan istilah dari hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik. Kekuatan, sudut dan tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan
lunak di sekitar tulang yang akan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur
tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Helmi 2013).
b. Etiologi
Penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang yang mengalami patah
secara sepontan. Pukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan
pada kulit diatasnya.
2. Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,
misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. Fraktur
yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
3. Fraktur Patologik dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut:
a. Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
b. Infeksi seperti osteomyelitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri. Rakhitis
merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Dalam hal ini
kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
1. Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
dan progresif.
2. Infeksi seperti osteomyelitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau dapat
timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri
3. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D yang
mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh defisiensi
diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbs Vitamin D atau
oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.(Hansen 2015)
c. Klasifikasi Fraktur
secara umum keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Fraktur tertutup (closed fracture)
Fraktur tertutup adalah fraktur di mana kulit tidak ditembus oleh fragmen
tulang sehingga lokasi fraktur tidak tercemar oleh lingkungan atau tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar
2. Fraktur terbuka (open fraktur)
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar
melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk dari dalam atau dari luar.
3. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya mal-union, delayed union, non-union, serta infeksi tulang (Helmi 2013).
d. Gejala Klinis
1. Riwayat trauma
2. Nyeri lokal dan makin bertambah bersama gerakan
3. Hilangnya fungsi anggota gerak dan persendian yang terdekat
4. Terdapat perubahan bentuk (deformitas)
5. Nyeri tekan, nyweri ketok, dan nyeri sumbu, krepitasi tidak perlu selalu dibuktikan
6. Gerakan-gerakan abnormal
7. Pemeriksaan keadaan neurovaskuler di bagian distal dari garis fraktur
8. Bila berdasarkan pengamatan klinis diduga terdapat fraktur, maka perlakukanlah
sebagai fraktur sampai terbukti lain (Purwadianto 2000).
e. Penatalaksanaan Fraktur
2. Fraktur terbuka
Perawatan umum adalah pertimbangan pertama: obati pasien, tidak hanya
patah tulang. Perawatan fraktur terdiri dari manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti dengan splintag untuk menahannya hingga bersatu; sedangkan
gerakan dan fungsi sendi harus dilayani terlebih dahulu.
Dua masalah eksistensial harus diatasi. Yang pertama adalah bagaimana
menahan patah tulang secara adekuat dan tetap memungkinkan pasien untuk
menggunakan anggota tubuh secara memadai; ini adalah konflik (Tahan versus
Pindah) yang dicari oleh ahli bedah untuk diselesaikan secepat mungkin (misalnya
dengan fiksasi internal). Namun, ahli bedah juga ingin menghindari risiko yang tidak
perlu - ini adalah konflik kedua (Kecepatan versus Keamanan). Konflik ganda ini
melambangkan empat faktor yang mendominasi manajemen fraktur (istilah
'fracturequartet' tampaknya tepat). Fakta bahwa fraktur tertutup (dan tidak terbuka)
bukanlah alasan untuk berpuas diri. Faktor terpenting dalam menentukan
kecenderungan alami untuk sembuh adalah keadaan jaringan lunak di sekitarnya dan
suplai darah lokal. Fraktur energi rendah (atau kecepatan rendah) hanya
menyebabkan kerusakan jaringan lunak sedang; Fraktur berenergi tinggi (kecepatan
tinggi) menyebabkan kerusakan jaringan lunak yang parah, tidak peduli apakah
fraktur terbuka atau tertutup (Solomon’s 2018).
4. Reduksi
Meskipun pengobatan umum dan resusitasi harus selalu diutamakan, tidak
boleh ada penundaan yang tidak perlu dalam menangani fraktur; pembengkakan
bagian lunak selama 12 jam pertama membuat pengurangan semakin sulit. Namun,
ada beberapa situasi di mana reduksi tidak diperlukan:
a. Bila ada sedikit atau tidak ada perpindahan;
b. Ketika perpindahan tidak menjadi masalah pada awalnya (misalnya pada fraktur
tulang selangka)
c. Ketika reduksi tidak mungkin berhasil (misalnya fraktur kompresi vertebra).
Reduksi harus bertujuan untuk posisi yang memadai dan keselarasan normal dari
fragmen tulang. Semakin besar area permukaan kontak antara fragmen, semakin
mungkin penyembuhan terjadi. Celah antara fragmentends adalah penyebab umum
penundaan union atau non-union. Di sisi lain, selama ada kontak dan fragmen-
fragmen tersebut sejajar dengan benar, beberapa permukaan rekahan yang
tumpang tindih diperbolehkan. Pengecualiannya adalah fraktur yang melibatkan
permukaan artikular; hal ini harus dikurangi sedekat mungkin dengan
kesempurnaan karena setiap penyimpangan akan menyebabkan distribusi beban
yang tidak normal antara permukaan dan mempengaruhi perubahan degeneratif
pada tulang rawan artikular (Solomon’s 2018).
5. Reduksi Tertutup
Dengan anestesi dan relaksasi otot yang sesuai, fraktur dikurangi dengan
manuver tiga kali lipat:
a. Bagian distal ekstremitas ditarik ke garis tulang;
b. Saat fragmen terlepas, mereka direposisi (dengan membalik arah gaya semula jika
ini dapat disimpulkan) dan
c. Penyelarasan disesuaikan di setiap bidang. Ini paling efektif jika perios teum dan
otot di satu sisi fraktur tetap utuh; tali jaringan lunak mencegah reduksi berlebihan
dan menstabilkan fraktur setelah dikurangi (Solomon’s 2018).
6. Reduksi Terbuka
Reduksi operatif fraktur di bawah penglihatan langsung ditunjukkan:
a. Bila reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan dalam mengontrol fragmen atau
karena jaringan lunak berada di antara keduanya;
b. Ketika ada fragmen artikular besar yang membutuhkan posisi akurat atau
c. Untuk fraktur traksi (avulsi) di mana fragmen-fragmen tersebut dipisahkan.
Sebagai aturan, bagaimanapun, reduksi terbuka hanyalah langkah pertama untuk
fiksasi internal (Solomon’s 2018).
7. Traksi
Traksi diterapkan ke ekstremitas distal fraktur, untuk memberikan tarikan
terus menerus pada sumbu panjang tulang, dengan gaya berlawanan ke arah yang
berlawanan (untuk mencegah pasien terseret di sepanjang ranjang). Hal ini terutama
berguna untuk fraktur poros yang miring atau spiral dan mudah bergeser oleh
kontraksi otot. Traksi dapat menarik sepanjang tulang lurus dan menahannya hingga
panjang tetapi untuk mempertahankan pengurangan yang akurat kadang-kadang sulit.
Sementara pasien dapat menggerakkan sendi dan melatih otot.Traksi cukup aman,
asalkan tidak berlebihan dan hati-hati saat memasangkan traksi.traksi meliputi:
a. Traksi oleh gravitasi : Ini hanya berlaku untuk cedera kaki bagian atas. Jadi,
dengan pergelangan tangan yang digantung, berat lengan memberikan traksi terus
menerus ke numerus. Untuk kenyamanan dan stabilitas, terutama dengan fraktur
melintang, pelat U dari plester dapat dibalut pada atau, lebih baik, selongsong
plastik yang dapat dilepas dari ketiak hingga tepat di atas siku dipegang dengan
Velcro.
b. Traksi kulit : Traksi kulit akan menopang tarikan nomore lebih dari 4 atau 5 kg.
Holland strapping atau one-way-stretch Elastoplast ditempelkan pada kulit yang
dicukur dan dipegang dengan perban. Malleoli dilindungi oleh jaringan Gamgee,
dan tali atau pita digunakan untuk traksi.
c. Traksi rangka : Sebuah kawat atau pin kaku dimasukkan - biasanya di belakang
tuberkulum tibialis untuk cedera pinggul, paha, dan lutut, atau melalui kalkaneum
untuk fraktur tibialis - dan tali diikatkan padanya untuk digunakan traksi. Baik
dengan traksi kulit atau rangka, fraktur dikurangi dan ditahan dengan salah satu
dari tiga cara, traksi tetap, traksi seimbang atau kombinasi keduanya (Solomon
2018).
f. Komplikasi
a. Gangguan peredaran darah Pada anak-anak, khususnya, pita traksi dan perban
melingkar dapat membatasi sirkulasi. Untuk alasan ini 'tiang gantungan', di mana
kaki digantung dari balok di atas kepala, tidak boleh digunakan untuk anak-anak
dengan berat di atas 12 kg.
b. Cedera saraf Pada orang tua, tarikan kaki dapat menyebabkan cedera saraf
peroneum dan menyebabkan kaki terjatuh, ekstremitas harus diperiksa berulang
kali untuk melihat bahwa ia tidak berguling ke rotasi eksternal selama traksi.
c. Infeksi situs pin Situs pin harus dijaga kebersihannya dan harus diperiksa setiap
hari (Solomon 2018).
2. Antibiotik
a. Definisi
Antibiotik adalah obat yang berasal dari seluruh atau bagian tertentu
mikroorganisme dan digunakan untuk mengobati infeksi bakteri. Antibiotik tidak
efektif untuk melawan virus. Antibiotik selain membunuh mikroorganisme atau
menghentikan reproduksi bakteri juga membantu sistem pertahanan alami tubuh
untuk mengeleminasi bakteri tersebut (Fernadez 2013).
b. Jenis antibotik
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan aktivitas, cara kerja maupun
struktur kimianya.
1. Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan besar yaitu:
(Katzung 2012)
a. Antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat menghambat
pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.
Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan
sebagian besar bakteri, yang termasuk golongan ini adalah tetrasiklin dan
derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenem dan lain-lain.
b. Antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya aktif
terhadap beberapa bakteri saja, yang termasuk golongan ini adalah penisilin,
streptomisin, neomisin, basitrasin.
2. Antibiotik memiliki cara kerja yang berbeda beda dalam membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat
berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu (Nelwan, 2010) :
a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri memiliki efek bakterisidal dengan cara
memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel.
Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin,
karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti
vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
b. Inhibitor sintesis protein bakteri memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik
dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan
menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat- obat yang aktivitasnya
menginhibitor sintesis protein bakteri seperti aminoglikosida, makrolida,
tetrasiklin, streptogamin, klindamisin, oksazolidinon, kloramfenikol.
c. Mengubah permeabilitas membran sel memiliki efek bakteriostatik dan
bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena
hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat obat yang
memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin,
kolistin
d. Menghambat sintesa folat mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti
sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi
harus membuat asam folat dari PABA (asam para amino benzoat), dan glutamat.
Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat
menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk
senyawa-senyawa antimikroba.
e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti
metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam
deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA
girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan
terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.
5. Pembatas regulasi
Meskipun ada beberapa perusahaan yang optimis terhadap perjuangan dalam
menemukan antibiotik yang baru, mendapatkan persetujuan regulasi sering menjadi
hambatan. Kesulitan dalam mengejar persetujuan regulasi yang telah dicatat meliputi:
birokrasi, tidak adanya kejelasan, perbedaan persyaratan uji coba klinis antar negara,
perubahan peraturan regulasi dan perizinan, dan jalur komunikasi yang tidak efektif.
Perubahan standar untuk uji coba klinis yang dilakukan oleh Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat selama dua dekade terakhir telah membuat uji
klinis antibiotik menjadi sangat menantang. (O’Neill 2014).
Penelitian awal, melihat hanya dari dampak dari resistensi antibiotik
menunjukkan bahwa resistensi yang terus meningkat hingga tahun 2050 dapat
menyebabkan kematian 10 juta orang setiap tahun dan penurunan Produk Domestik
Bruto hingga 2% sampai 3,5% (O’Neill 2014).
Untuk memperoleh data yang baku dan dapat diperbandingkan dengan data di
tempat lain, maka badan kesehatan dunia ( WHO) menganjurkan klasifikasi
penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)
Classification dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik dengan Anatomical
Therapeutic Chemical (ATC) Classification ( DDD) / 100 patient-days.
Defined daily dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata atibiotik yang
digunakan pada orang dewasa untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini
bahwa DDD adalah unit baku pengukuran, bukan mencermikan dosis harian yang
sebenarnya diberikan kepada pasien ( prescribed daily doses atau DDD). Dosis untuk
masing-masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien tersebut ( berat
badan, dll). Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam kelompok menurut
sistem organ tubuh, menurut sifat kimiawi, dan menurut fungsinya dalam
farmakoterapi. Terdapat lima tingkat klasifikasi, yaitu :
1. Tingkat pertama : kelompok anatomi ( misalnya : untuk saluran pencernaan dan
metabolisme )
2. Tingkat kedua : kelompok terapi dan farmakologi obat
3. Tingkat ketiga : subkelompok farmakologi
4. Tingkat keempat : subkelompok kimiawi oabt
5. Tingkat kelima : substansi kimiawi obat
Contoh :
J : anti infeksi untuk penggunaan sistemik (Tingkat pertama : kelompok anatomi )
JO1 : antibakteri untuk penggunaan sistemik (Tingkat kedua : kelompok
terapi/farmakologi)
JO1C : beta lactam antibacterial, penicilins (Tingkat ketiga : kelompok farmakologi)
J01C A : pensilin berspektrum luas (Tingkat keempat : subkelompok kimiawi obat)
J01C A01 : ampisilin (Tingkat kelima : substansi kimiawi obat)
J01C A04 : amoksilin (Tingkat kelima : substansi kimiawi obat)
a. Penghitungan DDD
Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh WHO
berdasarkan dosis pemeliharaan rata-rata, untuk indikasi utama pada orang dewasa
BB 70 kg (Kemenkes 2015).
Untuk mempermudah perhitungan dapat dilakukan dengan menggunakan
piranti lunak ABC calc yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO).
Kuantitas penggunaan antibiotika dapat dinyatakan dalam DDD 100 patient-days.
Cara perhitungan:
1. Kumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotika
2. Kumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length Of Stay atau
LOS semua pasien)
3. Hitung jumlah dosis antibiotika (gram) selama dirawat
ka
Lembar perhitungan DDD
a. Jenis antibiotik yag digunakan
d. Rute pemberian
f. Tipe terapi
BAB III
METODOLOGI
2. Jadwal Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan Bulan Desember – Januari 2021
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat. Penelitian
bersifat retrospektif yaitu mengambil data dari data yang sudah ada yaitu data rekam
medik tahun 2019-2020.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah pasien dewasa fraktur di RSAL
Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.
2. Sampel penelitian
Sampel peneltian ini adalah pasien paska operasi fraktur yang mempunyai
riwayat rekam medik yang menggunakan antibiotik di RSAL Mintohardjo Jakarta
Pusat tahun 2019-2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi.
Besar sampel dihitung sebagai berikut (Lemeshow 1997) :
Z 2 x P (1−P)
n¿
d2
Keterangan :
n : Jumlah sampel
Z : skor Z pada kepercayaan 95 % = 1.96
P : maksimal estimasi = 0.5
d : alpha (0.10) atau sampling error = 10%
E. Definisi Operasional
b. Penilaian Gyssen
Data diperoleh dari rekam medik penggunaan antibiotik pasien dan untuk melihat
perjalanan penyakit, setiap kasus dipelajari dengan melihat gejala klinis dan melihat
hasil laboratorium apakah sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yang tercatat
pada Lembar Pengumpulan Data (LPD). Penilaian dengan menggunakan alur metode
Gyssen untuk menentukan kategori kualitas penggunaan antibiotik yang digunakan.
Kategori hasil penilaian (Gyssen Flowchart)
a. Kategori 0 : penggunaan antibiotik tepat / rasional
h. Kategori IVA : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
efektif
i. Kategori IVB : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
aman
j. Kategori IV C : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain yang lebih
murah
k. Kategori IV D : tidak tepat pilihan antibiotik karena ada antibiotik lain dengan
spektrum lebih sempit
l. Kategori V : tidak ada indikasi pemberian antibiotik
m. Kategori VI : data tidak lengkap sehingga penggunaan antibiotik tidak dapat
dinilai (Kemenkes 2015).
G. Pengumpulan Data
1. Peneliti mengambil data no rekam medik di ruangan kamar operasi pasien dewasa
fraktur selama tahun 2019-2020.
2. No rekam medik di bawa ke ruangan rekam medik untuk mengambil data, Data
yang diambil meliputi :
a. Nama, tanggal lahir, jenis kelamin
b. Riwayat penyakit
c. Nama antibiotik
d. Indikasi
e. Dosis
f. Cara pemberian
g. Data laboratorium
h. Data diagnosis
2. Mencatat semua data yang diperlukan pada lembar pengumpulan data
3. Analisis data untuk melihat kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada
pasien dewasa fraktur di RSAL Mintohardjo Jakarta Pusat tahun 2019-2020.
4. Data yang diperoleh akan diolah menggunakan Microsoft Exel.
H. Analisis Data
Pada penelitian ini digunakan analisa deskriptif untuk memperoleh gambaran
dari hasil penelitian pada tiap variable. Data dianalisa dengan menggunakan medote
ATC/DDD Data yang telah yang ditetapkan oleh WHO. Hasil menunjukkan
penggunaan antibiotik dalam satuan DDD/100 pasien-hari sedangkan evaluasi
kualitatif penggunaan antibiotik dianalisa dengan menggunakan alur kriteria Gyssens
yang dibagi dalam beberapa kategori mulai dari kategori 0 sampai kategori VI.
Gunakan sefalosporin generasi I – II untuk pengobatan pasien bedah. Pada kasus
tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol.
Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan
Karbapenem, dan golongan kuinolon untuk pembedahan. Antibiotik sefalosporin
generasi I, antibiotik yang efektif terhadap gram-positif dan memilki aktifitas sedang
terhadap gram-negatif. Antibiotik sefalosporin generasi II memiliki aktivitas
antibiotik gram-negatif yang lebih tinggi daripada generasi I (Kemenkes 2011). Hasil
menunjukkan persentase ketepatan atau tidaknya pemberian antibiotik. Data
dikumpulkan diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2010. Penyajian data
ditampilkan dalam bentuk tabel.
I. Pola Penelitian
Menghitung hasil
penelitian dengan
menggunakan metode
ATC/DDD, dan Gyssen
Pengolahan data
Microsoft Exel
Daftar Pustaka
Diketahui : Total penggunaan amoksisilin= 7,5 g Total LOS = 54 hari Nilai standar
DDD WHO= 1 Nilai DDD 100 patient-days Untuk total nilai DDD 100/patient-days
per-golongan antibiotika dihitung dengan menjumlahkan masing-masing total nilai
DDD pada masing-masing antibiotika yang terdapat dalam satu golongan
Contoh :
Total nilai DDD 100/patient-days antibiotika golongan penisilin :
Ampisilin = 10,30
Amoksisilin = 1,36
Diklosasilin = 2,53
Sultamisilin = 4,53
Total nilai DDD 100 patient-days antibiotika golongan penisilin adalah:
10,30 + 1,36 + 2,53 + 4,53 = 18,72 DDD
Data Laboratorium
No Mrs Krs U Jk Tb/ Diagnosis Antibiotik Dosis Rute Tgl Tgl Jam Suhu Tgl Hb Leu Cr
Bb Mulai Stop Lab
1
2
3
4
5
6
7
8
9
ds
t
Contoh Lembar Pengumpulan Data Penelitian