Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

PENYAKIT KULIT DENGAN GAMBARAN KLINIS


MOUSY ODOR DAN PENATALAKSAANNYA

Disusun oleh:

Laras Hanum Istiningtias

030.12.147

Pembimbing:

dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

PERIODE 23 SEPTEMBER 2019 – 26 OKTOBER 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul

“PENYAKIT KULIT DENGAN GAMBARAN KLINIS MOUSY ODOR


DAN PENATALAKSAANNYA”

Disusun oleh:

Laras Hanum Istiningtias

030.12.147

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD Kardinah Tegal

Periode 23 September 2019 – 26 Oktober 2019

Tegal, Oktober 2019


Pembimbing

dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian Penyakit
Kulit dan Kelamin Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di RSUD Kardinah Tegal.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama:

1. dr. Dody Suhartono, Sp.KK, MH selaku pembimbing dalam penyusunan makalah ini.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya mengharapkan kritik
dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut memperbaiki makalah ini agar dapat
bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat luas.

Tegal, Oktober 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………….……….1
KATAPENGANTAR……………………………………………………….………………...2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………............5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………7
2.1 Anatomi Kulit………………………………………………………………………..7
2.2 Fisiologi Kulit………………………………………………………………………..7
2.3 Histologi Kulit……………………………………………………………………….7
2.4 Tinea Favosa…………………………………………………………………………13
2.4.1 Definisi………………………………………………………………………...13
2.4.2 Etiologi ……………………………………………………………………….13
2.4.3 Epidemiologi ………………………………………………………………….17
2.4.4 Patofisiologi…………………………………………………………………...18
2.4.5 Gejala Klinis…………………………………………………………………...19
2.4.6 Penegakkan diagnosis……………………………………………………….....19
2.4.7 Tatalaksana…………………………………………………………………….19
2.4.8 Prognosis……………………………………………………………………….20
2.4.9 Pencegahan…………………………………………………………………….20
2.5 Dermatitis Atopik……………………………………………………………………21
2.5.1 Definisi…………………………………………………………………………21
2.5.2 Etiologi…………………………………………………………………............21
2.5.3 Epidemiologi …………………………………………………………………..22
2.5.4 Etiopatogenesis…………………………………………………………………22
2.5.5 Gejala Klinis……………………………………………………………………26
2.5.6 Penegakkan diagnosis…………………………………………………………..28
3
2.5.7 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………31
2.5.8 Tatalaksana………………………………………………………………………32
2.5.9 Prognosis…………………………………………………………………………38
2.6 Pemfigus vulgaris………………………………………………………………………..38
2.6.1 Definisi…………………………………………………………………………....38
2.6.2 Etiologi…………………………………………………………………………....39
2.6.3 Epidemiologi………………………………………………………………..…….39
2.6.4 Patofisiologi……………………………………………………………..….…….39
2.6.5 Gejala Klinis………………………………………………………..……………..40
2.6.6 Penegakkan diagnosis…………………………………………..…………………41
2.6.7 Tatalaksana…………………………………………………..…………………….42
2.6.8 Prognosis………………………………………………..…………………………44

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………..46

4
BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi. Pertahanan


pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan tubuh. Kulit termasuk
lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan basal bersifat sebagai barier yang
penting, mencegah mikroorganisme dan agen perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan
yang lebih dalam. Kulit merupakan barier penting untuk mencegah mikroorganisme dan agen
perusak lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam. Kelainan kulit berupa infeksi maupun
non infeksi yang terjadi dapat langsung disebabkan mikroorganisme pada kulit, penyebaran
toksin spesifik yang dihasilkan mikroorganisme, atau penyakit sistemik berdasarkan proses
imunologik maupun genetik.
Penyakit infeksi kulit merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi tidak saja di
indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Ada beberapa jenis bakteri dan jamur patogen yang
mampu bereproduksi untuk menginfeksi manusia. Infeksi tersebut dapat menyebabkan berbagai
manifestasi di kulit, salah satunya adalah Mousy Odor yaitu gejala yang timbul disertai dengan
bau seperti tikus. Penyakit infeksi pada kulit dengan gejala tersebut yaitu Tinea Favosa.1
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur
dapat ditemukan hampir di semua tempat.
Tinea Favosa merupakan salah satu infeksi jamur kronis pada kulit yang terutama
disebabkan oleh Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum dan Microsporum gypseum.
Penyakit tersebut ditandai oleh scutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada kulit
kepala. Infeksi jamur pada kulit dan kuku merupakan penyakit dengan jumlah dan penyebaran
yang paling besar dari seluruh mikosis. Prevalensi dari infeksi mikotik superfisial terus
meningkat hingga menyerang lebih dari 20-25% dari populasi manusia di seluruh dunia.
Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6%.1
Mousy Odor tidak hanya ditimbulkan oleh penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi
saja, faktor genetik dan autoimun juga dapat berperan dalam timbulnya manifestasi klinis
tersebut. Phenylketonuria (PKU) atau juga bisa disebut Phenylalanine Hydroxylase Deficiency

5
merupakan kelainan autosom resesif yang menyebabkan peningkatan kadar enzim fenilalanin di
dalam tubuh. Keadaan tersebut dapat bermanifestasi pada kulit berupa dermatitis yang disertai
dengan timbulnya Mousy Odor yaitu bau seperti tikus.2
Frekuensi PKU bervariasi berdasarkan populasi. Prevalensi pada populasi umum di
Amerika Serikat adalah sekitar 4 kasus per 100.000 orang, dan insidensinya adalah 350 kasus per
juta kelahiran hidup.2
Kelainan autoimun juga dapat berperan dalam timbulnya manifestasi Mousy Odor pada
kulit. Pemfigus Vulgaris merupakan kelainan autoimun intraepithelial yang menyerang kulit dan
membran mukosa. Salah satu manifestasi klinis dari pemphigus vulgaris yaitu terdapatnya Mousy
Odor atau bau seperti tikus.3
Di Amerika Serikat pemfigus vulgaris jarang terjadi. Pemphigus vulgaris telah dilaporkan
terjadi di seluruh dunia. Kejadian pemfigus vulgaris bervariasi dari 0,5-3,2 kasus per 100.000
populasi. Insiden di Inggris adalah 0,68 kasus per 100.000 orang per tahun.3
Maka dari itu, dengan mengetahui manifestasi klinis pada penyakit kulit berupa Mousy
Odor, diharapkan dapat menegakkan diagnosis dengan tepat sehingga penatalaksanaan bisa
ditentukan dengan sebaik-baiknya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah organ tubuh yang paling luar dan organ terbesar tubuh manusia. Luas
kulit orang dewasa 1,5 meter persegi. Kulit merupakan organ yang vital dan bervariasi
mengikuti keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras dan juga bergantung lokasi bagian
tubuh tertentu. Warna kulit pun beragam mulai dari kulit yang terang (fairskin), pirang
dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam
kecoklatan pada genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut,
tipis dan tebal. Kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebral, bibir dan
preputium. Kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan orang dewasa.
Sedangkan kulit yang tipis terdapat pada wajah, kulit yang lembut terpada pada leher dan
badan, serta yang berambut kasar terdapat pada kepala.4

Gambar 1. Anatomi kulit

7
Kulit terbagi menjadi tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan
lapisan subkutis. Lapisan epidermis terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basal. Stratum korneum adalah
lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati,
tidak beriniti dan protoplasma telah berubah menjadi keratin. Stratum lusidum terdapat
langsung dibawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan
protoplasma yang ebrubah menjadi protein yang disbeut eleidin. Lapisan tersebut tampak
lebih jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis
sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti diantaranya. Stratum
spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk polygonal yang besarnya
berbeda-beda karena adanya proses mitosis. Stratum basal terdiri atas sel-sel berbentul
kubus yang tersusun vertikal. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling
bawah. Selain itu, sel ini akan membentuk melanin yang mengandung butir pigmen
(melanosomes).4-5
Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen
seluler dan folikel rambut. Secara garis besar lapisan dermis dibagi menjadi dua bagian,
yaitu pars papilare dan pars retikulare. Pars papilare merupakan bagian yang menonjol ke
epidermis, berisi serabut saraf dan pembuluh darah. Pars retikulare merupakan bagian di
bawahnya yang menonjol kea rah subkutan. Bagian ini terdiri atas serabut-serabut
penunjang seperti serabut kolagen, elastin dan retikulin. Lapisan subkutis adalah lanjutan
dermis, terdiri atas jaringan ikat berisi sel-sel lemak di dalamnya. Lapisan sel-sel lemak
ini disebut penikulus adiposa sebagai cadangan makanan.4-5

2.2 Fisiologi Kulit


Kulit pada manusia mempunyai fungsi yang sangat penting selain menjalin
kelangsungan hidup secara umum, yaitu:6

1. Proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau
mekanis, misalnya terhadap gesekan, tarikan, gangguan kimiawi yang dapat
menimbulkan iritasi (lisol, karbol, dan asam kuat). Gangguan panas misalnya radiasi,

8
sinar ultraviolet, gangguan infeksi dari luar misalnya bakteri dan jamur. Karena adanya
bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit dan serabut–serabut jaringan penunjang berperan
sebagai pelindung terhadap gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi
kulit terhadap sinar matahari dengan mengadakan tanning (pengobatan dengan asam
asetil). Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi karena sifat stratum korneum yang
impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air. Di samping itu terdapat lapisan
keasaman kulit yang melindungi kontak zat kimia dengan kulit. Lapisan keasaman kulit
terbentuk dari hasil ekskresi keringat dan sebum yang menyebabkan keasaman kulit
antara pH 5- 6,5. Ini merupakan perlindungan terhadap infeksi jamur dan sel–sel kulit
yang telah mati melepaskan diri secara teratur.

2. Absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi cairan
yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitu juga yang larut dalam
lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut
mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi tebal
tipisnya kulit, hidrasi, kelembapan dan metabolisme. Penyerapan dapat berlangsung
melalui celah di antara sel, menembus sel–sel epidermis, atau melalui saluran kelenjar
dan yang lebih banyak melalui sel–sel epidermis.

3. Ekskresi
Kelenjar–kelenjar kulit mengeluarkan zat–zat yang tidak berguna lagi atau zat sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Sebum yang
diproduksi oleh kulit berguna untuk melindungi kulit karena lapisan sebum (bahan
berminyak yang melindungi kulit) ini menahan air yang berlebihan sehingga kulit tidak
menjadi kering. Produksi kelenjar lemak dan keringat menyebabkan keasaman pada
kulit.

4. Persepsi
Kulit mengandung ujung–ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis. Respons
terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis,
terhadap dingin diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis. Badan

9
taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula pada
Merkel Ranvier yang terletak di epidermis, sedangkan tekanan diperankan oleh badan
Paccini di epidermis. Serabut saraf sensorik lebih banyak jumlahnya di daerah yang
erotik.

5. Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)


Suhu tubuh tetap stabil meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal ini
karena adanya penyesuaian antara panas yang dihasilkan oleh pusat pengatur panas,
medulla oblongata. Suhu normal dalam tubuh yaitu suhu visceral 36-37,5 derajat untuk
suhu kulit lebih rendah. Pengendalian persarafan dan vasomotorik dari arterial kutan ada
dua cara yaitu vasodilatasi (kapiler melebar, kulit menjadi panas dan kelebihan panas
dipancarkan ke kelenjar keringat sehingga terjadi penguapan cairan pada permukaan
tubuh) dan vasokonstriksi (pembuluh darah mengerut, kulit menjadi pucat dan dingin,
hilangnya keringat dibatasi, dan panas suhu tubuh tidak dikeluarkan).

6. Pembentukan Pigmen
Sel pembentukan pigmen (melanosit) terletak pada lapisan basal dan sel ini
berasal dari rigi saraf. Melanosit membentuk warna kulit. Pigmen disebar ke epidermis
melalui tangan– tangan dendrit sedangkan lapisan di bawahnya dibawa oleh melanofag.
Warna kulit tidak selamanya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan juga oleh tebal
dan tipisnya kulit, reduksi Hb, dan karoten.

7. Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan. Sel basal yang
lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuk menjadi sel spinosum. Makin ke atas sel
ini semakin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Semakin lama intinya
menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini berlangsung
terus menerus seumur hidup. Keratinosit melalui proses sintasis dan degenerasi menjadi
lapisan tanduk yang berlangsung kira–kira 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit
terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.

10
8. Pembentukan Vitamin D
Dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari.
Tetapi kebutuhan vitamin D tidak cukup dengan hanya dari proses tersebut. Pemberian
vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.

2.3 Histologi Kulit


Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu : keratinosit, melanosit, sel Langerhans
dan sel Merkel. Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm
permukaandan merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan lapisan
kedap air, dan perisai pelindung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2 -3 minggu
mulai dari proliferasi, mitosis, diferensiasi, kematian sel dan pengelupasan (deskuamasi).
Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan sel diikuti penebalan membran sel,
kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel induk bagi sel epitel diatasnya
dan derivate kulit lain. Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis merupakan sel kecil
dengan cabang dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan
stratum spinosum. Terletak diantara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit
dalam dermis. Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali, namun dengan reagen DOPA (3,4-
dihidroksi-fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi
dalam melanosome, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino
tirosin dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi
melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet berbahaya.7
Sel Langerhans merupakan sel dendritic yang berbentuk ireguler, ditemukan
terutama diantara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna baik dengan
pewarnaan HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel pembawa
antigen yang merangsang rekasi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit. Selain itu,
jumlah sel Merkel merupakan jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan
ditemukan pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut dan membrane mukosa mulut
yang merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin
menembus membrane basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah sel
Merkel. Badan Merkel ini dapat sebagai mekanoreseptor atau reseptor rasa raba.7

11
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara kedua
lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin. Stratum papilaris ini tersusun lebih
longgar, ditandai oleh adanya papilla dermis yang jumlahnya bervariasi antara 50-
250/mm². Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam pada daerah yang memiliki tekanan
paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar papilla mengandung pembuluh-
pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel di atasnya. Papilla lainnya
mengandung bahan aktif saraf sensorik, yaitu badan Meissner. Tepat di bawah epidermis
serat-serat kolagen tersusun rapat. Sedangkan pada stratum retikularis ini lebih tebal dan
dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan
yang padat ireguler. Pada bagian lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di
antaranya terisi jaringan lemak, kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut, serat
otot polos juga ditemukan pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum,
preputium dan putting payudara (areola mammae). Pada kulit wajah dan leher, serat otos
skelet menyusupi jaringan ikat pada dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah.
Lapisan reticular menyatu dengan hipodermis atau fasia superficialis di bawahnya, yaitu
jaringan ikat longgar yang banyak mengandung sel lemak.7

Jumlah sel dalam dermis relative sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel jaringan ikat
seperti fibroblast, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast. Hipodermis merupakan
sebuah lapisan subkutan di bawahnta retikularis dermis yang berupa jaringan ikat lebih
longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama sejajar terhadap permukaan
kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan yang dari dermis. Pada daerah
tertentu, seperti punggung tangan, lapisan ini memingkinkan gerakan kulit di atas struktur
di bawahnya. Sedangkan pada daerah lainnya, serat yang masuk ke dermis lebih banyak
dan kulit relatif sulit digerakkan. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah
tertentu dan tidak ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak
mata atau penis, abdomen, paha dan bokong.7

12
2.4 Tinea Favosa
2.4.1 Definisi
Tinea favus merupakan infeksi kronis dermatofita pada kepala, kulit yang tidak
berambut dan kuku yang ditandai dengan krusta kering dan tebal dalam folikel
rambut yang menyebabkan terjadinya alopesia jaringan parut.8 Tinea favus ini
umumnya diderita sebelum dewasa hingga berlaanjut sampai dewasa dan
berhubungan dengan malnutrisi dan gizi buruk.8

Gambar 1. Penderita Tinea favus

Sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

2.4.2 Etiologi
Tinea flavus disebabkan oleh T. schoenleinii, flavus jarang disebabkan oleh
T.violaceom, T.mentagrophytes, M . gypseum. Meskipun penularan vertikal dapat
terjadi, tatapi tingkat serangan sangat bervariasi. Sebagian besar bukti menujukan
flavus bukan penyakit menular.8

13
 T.Schoenleinii.

Gambar 2. (a) Bentuk koloni jamur tinea Flavus. (b) morfologi jamur tinea flavus.
Sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

a. Koloni :
 berbentuk timbunan atau lipatan keputihan.

b. Gambaran mikroskopiknya :

o berbentuk tanduk rusa


o banyak klamidokonidia

Gambar 3. Morfologi Tinea flavus yang disebabkan oleh T. Schoenleinii

sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

14
 Microsporum gypseum

(a) (b)

Gambar 4. (a) Bentuk koloni jamur Tinea flavus (b) morfologi jamur tinea flavus.

sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

a. Koloni :
 Berbentuk datar dan granuler
 pigmen coklat

b. Gambaran mikroskopik :
 Terdapat beberapa mikrokonidia dan sejumlah makrokoni dan berdinding tipis
tanpa knob.

15
Gambar 5. Morflogi Tinea flavus yang disebabkan oleh Microsporum gypseum

sumber gambar pdf :BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

 T. violaceom

(b) (b)

Gambar 6. (a) Bentuk koloni Tinea flavus (b) morfologi kultur Tinea flavus

Sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

a. Koloni :
 Seperti lilin dan bertumpuk
 Warna merah keunguan.

16
b. Gambaran mikroskopik :
 Hifa irreguler dengan klamikonidia di antaranya
 Pada SDA tidak terdapat mikrokonidia atau makrokonidia.

Gambar 7. morfologi Tinea flavus yang disebabkan oleh T.violaceom

Sumber : BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3

2.4.3 Epidemiologi
a. Frekuensi
- Amerika Serikat
Favus jarang terjadi di Amerika Serikat, meskipun fokus telah dijelaskan dalam
dekade terakhir di daerah pedesaan di West Virginia, New York, Kentucky, dan
Arkansas. Favus sering terlihat di wilayah geografis di mana gaya hidup
berhubungan dengan kekurangan gizi, pengabaian, dan kemiskinan.8

- Internasional
Fokus dari favus telah dilihat seluruh dunia, termasuk Polandia, Selatan dan Afrika
Utara, Pakistan, Britania Raya, Australia, Amerika Selatan (Brasil), Kanada
(Quebec), dan Timur Tengah.8

b. Mortalitas / Morbiditas
Alopesia jaringan parut permanen dengan sering mengikuti favus, yang
merupakan infeksi menodai kronis.8

17
c. Ras
Favus tidak menunjukkan preferensi ras atau etnis.8

d. Seks
Kedua wanita dan pria dapat dipengaruhi sama, namun beberapa laporan
dominasi sedikit pasien wanita dengan favus.8

e. Usia
Favus muncul pada anak dan orang dewasa.Favus biasanya diperoleh selama
masa kecil atau masa remaja dan biasanya berlanjut sampai dewasa.8

2.4.4 Patofisiologi
Favus adalah infeksi dermatofita dangkal biasanya disebabkan oleh T
schoenleinii. Pada kebanyakan pasien, favus adalah bentuk parah dari tinea capitis,
namun dapat terjadi meskipun jarang sebagai onikomikosis, tinea barbae, atau tinea
corporis.8

Favus adalah 1 dari 3 pola utama infeksi rambut (ectothrix, endothrix, favus).
Biasanya, rambut tidak seperti yang terinfeksi berat seperti dalam trichophytosis
disebabkan oleh Trichophyton tonsurans. Rambut dapat tumbuh dan sering pada
rambut panjang dapat diamati pada keadaan penyakit. Fitur yang paling karakteristik
adalah pembentukan ruang udara antara hifa dalam rambut yang terinfeksi. Ruang
udara ini (udara terowongan) bentuk sebagai akibat dari otolisis hifa. Arthroconidia
jarang terlihat dalam rambut. Rambut yang terinfeksi seperti yang biasa disebut favus
jenis rambut. Pada pasien, antibodi terhadap jamur penyebab ditemukan oleh
aglutinasi arang dan uji imunodifusi, namun peran yang tepat dari antibodi tidak
jelas.8

18
2.4.5 Gejala Klinis
Tinea favus biasanya dimulai pada kulit kepala, sering di masa kecil, dan
berlangsung selama bertahun-tahun sebagai sedap dipandang, plak berkulit. Menurut
berat ringannya penyakit, 3 tahap utama dijelaskan.9
- Tahap pertama: Hanya eritema kulit kepala terlihat, terutama di sekitar folikel.
Rambut tidak longgar atau rusak.
- Tahap kedua: Pembentukan scutula terlihat dengan awal kerontokan rambut.
- Tahap Ketiga: Tahap paling parah melibatkan daerah yang luas dari kulit kepala
(setidaknya sepertiga); rambut rontok luas, atrofi, dan hasilnya jaringan parut.
Pembentukan scutula baru di pinggiran plak adalah umum.

Para scutulum, kerak cangkir berbentuk kuning yang mengelilingi rambut


menembus pusat dan berbau tikus (mousy odor) adalah khas. Scutula membentuk
plak padat, masing-masing terdiri dari miselia dan puing-puing epidermis.
Seringkali, infeksi bakteri sekunder terjadi pada plak. Penghapusan Plak
meninggalkan basis eritematosa lembab. Massa padat kerak kuning mungkin soliter
atau banyak dan pada pasien yang terkena dampak parah, melibatkan seluruh kulit
kepala. Bau tikus (mousy odor) biasanya hadir. Kulit berbulu mungkin menunjukkan
krusta kuning serupa. Pada kulit berbulu, favus adalah letusan papulovesikular dan
papulosquamous dimana scutula khas mungkin jelas. Sebagai sebuah onikomikosis,
favosa tinea menyerupai bentuk-bentuk tinea unguium. Selain favus scutular khas
pada kulit kepala, manifestasi atipikal beberapa favus telah dijelaskan.9

2.4.6 Penegakkan diagnosis


Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, diagnosa
dapat ditegakkan dengan menemukan miselium “air bubles” dengan bentuknya yang
tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu wood akan terlihat flouresensi hijau
pudar “dull green”.9

2.4.7 Tatalaksana
Prinsip pengobatan Tinea favus sama dengan prinsip pengobatan Tinea
capitis yaitu pengobatan pada anak biasanya diberikan peroral dengan griseofulvin
19
10-25 mg/ kg berat badan perhari selama 6 minggu. Dosis pada orang dewasa
adalah 500 mg perhari selama 6 minggu. Griseovulfin “fine particle” diminum
bersama minuman yang berlemak seperti susu. Penggunaan anti jamur topikal
dapat mengurangi penularan pada orang yang ada disekitarnya. Selain anti jamur
pada bentuk kerion kortikosteroid, pemberian prednison 20mg perhari selama 5
hari dapat mempercepat resolusi dan menghindarkan terjadi reaksi. Untuk
menghilangkan skutula dan debris hiegenie dapat dijaga dengan baik.9

2.4.8 Prognosis

Meskipun favus tidak sangat menular, beberapa anggota keluarga mungkin


terpengaruh, dan semua harus diobati secara bersamaan. Hasil pengobatan tergantung
pada tahap di mana penyakit tersebut ditangkap. Penyakit jangka panjang yang parah
dapat menyebabkan alopecia jaringan parut yang ireversibel. Obat tradisional Cina
yang berasal dari tumbuhan untuk favus mungkin bernilai dan layak dikembangkan
sebagai obat modern. Pada kebanyakan pasien, favus melibatkan rambut; oleh karena
itu, penyakit ini membutuhkan perawatan sistemik. Agen topikal tambahan, seperti
sampo ketoconazole 2%.10

2.4.9 Pencegahan

Orang meningkatkan risiko mendapatkan infeksi jamur ketika kulit mereka


tetap basah untuk waktu yang lama. Jamur tumbuh dengan cepat di area yang hangat
dan lembab. Pakaian, ubin kamar mandi, dan kolam renang adalah tempat umum
bagi jamur untuk tumbuh.8

Cara pencegahan Tinea Favus : 8


- Mandilah dua kali sehari. Cuci pangkal paha Anda dengan bersih, pastikan benar-
benar kering setiap kali selesai mandi. Pengeringan mungkin adalah hal paling
penting. Banyak orang mengenakan pakaian ketika pangkal paha belum cukup
kering. Selangkangan basah adalah tempat ideal bagi jamur untuk berkembang
biak.

20
- Ganti pakaian setiap hari. Jamur dapat berkembang biak dalam bentuk serpihan
kulit di pakaian kotor.
- Jangan berbagi handuk dengan orang lain. Cucilah handuk dengan sering.
- Jauhkan handuk Anda sendiri ketika Anda memiliki infeksi kulit jamur untuk
mengurangi kesempatan menularkan jamur ke orang lain.
- Jangan berjalan tanpa alas kaki di gym, kamar mandi, loker, kolam renang, atau
kamar hotel. Jamur yang menyebabkan kaki atlet mungkin ada di lantai. Untuk
melindungi kaki Anda, pakailah sandal kamar mandi atau sandal jepit.
- Bila Anda berisiko tinggi terkena kaki atlet, taburkan bubuk anti-jamur pada kaki
Anda dan di dalam sepatu.
- Jangan memakai sepatu orang lain.
- Cuci kaki Anda setiap hari dengan sabun, dan benar-benar keringkan kaki Anda.
- Kenakan kaus kaki yang terbuat dari kain yang cepat kering atau menjaga
kelembaban kulit. Jangan lupa untuk mengganti kaus kaki Anda setiap hari, dan
cepat mengganti jika kaus kaki basah.

2.5 Dermatitis Atopik


2.5.1 Definisi
Peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan
mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah (fase infantil) dan bagian fleksural
ekstremitas (pada fase anak).11 Dermatitis atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar
50% menghilang pada saat remaja, kadang dapat menetap, atau bahkan baru mulai muncul
saat dewasa. Istilah “atopy” telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal
kata “atopos” (out of place) yang berarti berbeda; dan yang dimaksud adalah penyakit kulit
yang tidak biasa, baik lokasi kulit yang terkena, maupun perjalanan penyakitnya.11

2.5.2 Etiologi
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor internal
dan eksternal. Faktor internal dalah faktor predisposisi genetik (melibatkan banyak gen)
yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada sistem imun, khususnya
hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba. Faktor psikologis dapat

21
berupa penyebab atau dampak dermatitis atopik. Dermatitis atopik meliputi perubahan
sistem imun (imunopatologik), alergen dan antigen, predisposisi genetik, mekanisme
pruritus dan faktor psikologis. Faktor higiene akhir-akhir ini diduga merupakan salah satu
faktor resiko dermatitis atopik dalam keluarga.11

2.5.3 Epidemiologi
Dermatitis Atopik dapat menyerang berbagai usia, mulai dari bayi, anak-anak, hingga
dewasa. Prevalensi dermatitis atopik di Indonesia meningkat pada akhir dekade meliputi 10-
20% pada bayi dan anak, 1-3% pada dewasa dan pada tahun 2012 pasien Dermatitis Atopik
berumur 13-14 tahun sebanyak 1,1% (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia
PERDOSKI, 2014). Dermatitis atopik lebih banyak terjadi pada laki-laki karena onset
penyakit yang lama.12

2.5.4 Etiopatogenesis
Respons Imun Pada Kulit
Sitokin TH2 dan TH1 berperan dalam patogenesis peradangan kulit dermatitis atopik.
Jumlah TH2 lebih banyak pada penderita atopi, sebaliknya TH1 menurun. Pada kulit 'normal'
(tidak ada kelainan kulitnya) penderita dermatitis atopik bila dibandingkan dengan kulit normal
orang yang bukan penderita dermatitis atopik, ditemukan lebih banyak sel-sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi bukan IL-5, IL-12, atau IFN-y. Pada lesi akut
dan kronis bila dibandingkan dengan kulit normal atau kulit yang tidak ada lesinya penderita
dermatitis atopik menunjukkan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA
IL-4, IL-5, dan IL-13. Tetapi pada lesi akut tidak banyak mengandung sel yang mengekspresikan
mRA IFN-y atau IL-12. Lesi kronis dermatitis atopik mengandung sangat sedikit sel yang
mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13, tetapi jumlah sel yang mengekpresikan mRNA IL-5,
GM-CSF,IL-12, dan IFN-y, meningkat bila dibandingkan dengan yang akut. Peningkatan IL-12
pada lesi kronis dermatitis atopik berperan dalam perkembangan TH1.13
Sel T yang teraktivasi di kulit juga akan menginduksi apoptosis keratinosit, sehingga ter-
jadi spongiosis. Proses ini diperantarai oleh IFN-y yang dilepaskan sel T teraktivasi dan mening-
katkan Fas dalam keratinosit.13
Berbagai kemokin ditemukan pada lesi kulit dermatitis atopik yang dapat menarik sel-sel,
misalnya eosinofil, limfosit T, dan monosit, masuk ke dalam kulit.13

22
Pada dermatitis atopik kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup lebih
lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-SCF mempertahankan
hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil. Produksi TNF-a dan IFN-y pada
dermatitis atopik. memicu kronisitas dan keparahan dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada
keritinosit epidermal akan meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T
cell expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-a dan sitokin
proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat timbulnya peradangan di kulit
dermatitis atopik.13
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang diproduksi oleh
makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1. Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi
pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya
diinduksi oleh IL-12, IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan
deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe TH2, sehingga
ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basophil pada dermatitis atopik akan merangsang
perkembangan sel TH2.13
Sel mononuklear penderita dermatitis atopik meningkatkan aktivitas enzim cyclic-
adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE), yang akan meningkatkan
sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi IgE dan IL-4 secara in vitro dapat
diturunkan oleh penghambat PDE (PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga
meningkat; kedua produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.13
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita dermatitis atopik adalah abnormal, dapat secara
langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif dapat mengaktivasi sel TH
menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE meningkat;sel ini mampu mempresentasikan
alergen tungau debu rumah (D. pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah
menangkap allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga jumlah sel TH2
bertambah banyak.13
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu FceRII, FceRII
(CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai afinitas kuat untuk mengikat IgE.
IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan
penderita alergi saluran napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi

23
ekzematosa dermatitis atopik tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan kadar IgE
dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi (FceRI) juga ditemukan pada
permukaan sel mas dan monosit.13
Kadar seramid pada kulit penderita dermatitis atopik berkurang sehingga kehilangan air
(transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini mempercepat
absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa sensitisasi epikutan terhadap
alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara,
maka kulit yang terganggu fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif.13

Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi penderita dermatitis
atopik menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat. IFN-y menghambat sintesis
IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4 pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di
darah tepi meningkat dan memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13
merupakan sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson Cε sehingga terjadi pembentukan
IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi permukaan pembuluh darah,
misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan
fungsi sel TH1.13
Sel monosit di darah tepi penderita dermatitis atopik diaktivasi, mempunyai insidens
apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4. Hambatan apoptosis
ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh monosit yang beredar pada dermatitis
atopik.13
Perubahan sistemik pada dermatitis atopik adalah sebagai berikut:13
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap makanan, aeroalergen,
mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.

24
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan IL-10 dan PGE21.

Berbagai Faktor Pemicu


Dermatitis atopik dibagi menjadi 2 tipe: (1) bentuk murni - tidak disertai keterlibatan
saluran pernafasan, dan (2) bentuk campuran - disertai gejala pada saluran pernafasan dan
terdapatnya sensitisasi IgE polivalen terhadap alergen hirup dan alergen makanan.13
Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu (a) tipe intrinsik – tidak tedeteksi adanya sensitasi
IgE spesifik dan tidak terdapatya peningkatan IgE total serum, dan (b) tipe ekstrinsik – terdapat
bukti sensitisasi terhadap alergen hirup dan alergen makanan pada uji kulit atau pada serum.13
Dermatitis atopik merupakan sindrom multifaktorial; berbagai faktor berkaitan dengan
fenotip penyakit sehingga perlu dicermati berbagai fakto risiko, yaitu:13
1. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi diturunkan secara
autosomal dominan; 75% anak akan mengalami alergi bila kedua orang tua mempunyai
riwayat alergi, dibandingkan dengan 50% anak bila hanya 1 orang tua mempunyai yang
riwayat alergi, meskipun demikian faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas
berkembangnya penyakit.
2. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih tinggi dibandingkan
dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat diterangkan dengan teori higiene.
3. Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik dengan banyaknya
jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat pula diterangkan dengan teori higiene, yaitu
terjadi infeksi pada anggota muda keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang
lebih tua
4. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk mendapat
dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena perkembangan penyakit berhubungan
dengan alergen lingkunagan dan status ibu (misanya perokok)
5. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan meningkatkan angka
kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi umumnya terjadi terhadap alergen
makanan, terutama susu sapi, telur, kacang-kacangan dan gandum

25
6. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian
pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, water
hardeness, asap roklok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada
kelemban, penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan, dan detergen yang tidak dibilas
dengan sempurna.

2.5.5 Gejala Klinis


Kulit penderita Dermatitis Atopik umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Jari tangan teraba dingin. Penderita
dermatitis atopik cenderung tipe astenik, dengan inteligensia di atas rata-rata, sering merasa
cemas, egois, frustrasi, agresif, atau merasa tertekan.13
Gejala utama Dermatitis Atopik adalah (pruritus), dapat hilang timbul sepanjang hari,
tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga
timbul bermacam-macam kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,
eksudasi, dan krusta.13
Dermatitis Atopik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu: Dermatitis Atopik infantil
(terjadi pada usia 2 bulan sampai 2 tahun; Dermatitis Atopik anak (2 sampai 10 tahun); dan
Dermatitis Atopik pada remaja dan dewasa.13

Dermatitis Atopik infantil (usia 2 bulan sampai 2 tahun)


Dermatitis Atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan, biasanya setelah
usia 2 bulan. Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena
gatal digosok, pecah, eksudatif, dan akhirnya terbentuk krusta. Lesi kemudian meluas ke tempat
lain yaitu ke skalp, leher, pergelangan tangan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak,
lesi ditemukan di lutut. Biasanya anak mulai menggaruk setelah berumur 2 bulan. Rasa gatal
yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada
umumnya lesi Dermatitis Atopik infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat
mengalami infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan, walaupun jarang, dapat terjadi
eritroderma. Lambat laun lesi menjadi kronis dan residif.13
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita sembuh
setelah usia 2 tahun, mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi berlanjut menjadi bentuk anak.

26
Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya
menyebabkan kambuh penyakitnya.13
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi masih ada silang
pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara dramatis membaik setelah makanan
tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula yang mendapatkan tidak ada perbedaan.13

Dermatitis Atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun)


Dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil, atau timbul sendiri (de novo). Lesi lebih
kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan sedikit skuama. Letak
kelainan kulit di lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher,
jarang di muka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk; dapat terjadi erosi,
likenifikasi, mungkin juga mengalami infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menebal dan
perubahan lainnya yang menyebabkan gatal, sehingga terjadi lingkaran setan “siklus gatal-
garuk”. Rangsangan menggaruk sering di luar kendali. Penderita sensitif terhadap, wol, bulu
kucing dan anjing, juga bulu ayam, burung dan sejenisnya.13
Dermatitis Atopik berat yang melebihi 50% permukaan tubuh dapat memperlambat
pertumbuhan.13

Dermatitis Atopik pada remaja dan dewasa


Lesi kulit Dermatitis Atopik pada bentuk ini dapat berupa plak papular-eritematosa dan
berskuama, atau plak likenifikasi yang gatal. Pada Dermatitis Atopik remaja lokalisasi lesi di
lipat siku, lipat lutut, dan samping leher, dahi, dan sekitar mata. Pada Dermatitis Atopik dewasa,
distribusi lesi kurang karakteristik, sering mengenai tangan dan pergelangan tangan, dapat pula
ditemukan setempat, misalnya di bibir (kering, pecah, bersisik), vulva, puting susu, atau skalp.
Kadang erupsi meluas, dan paling parah di lipatan, mengalami likenifikasi. Lesi kering, agak
menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit
skuama, dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun terjadi
hiperpigmentasi.13
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada orang dewasa sering
mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami stres. Mungkin karena stres dapat
menurunkan ambang rangsang gatal. Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat,

27
sehingga rasa gatal timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya Dermatitis Atopik
remaja atau dewasa berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh)
setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil terus berlangsung
sampai tua. Kulit penderita Dermatitis Atopik yang telah sembuh mudah gatal dan cepat
meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.13
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira 70% suatu saat
dapat mengalaminya. Dermatitis Atopik pada tangan dapat mengenai punggung maupun telapak
tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak. Dermatitis Atopik di tangan biasa timbul pada
wanita muda setelah melahirkan anak pertama, ketika sering terpajan sabun dan air sebagai
pemicunya.13
Berbagai kelainan dapat menyertai Dermatitis Atopik, misalnya: hipedinearis palmaris,
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie Morgan,
penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak subkapsular anterior, lidah
geografik, liken spinulosus, dan keratokonus (bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita
D.A. cenderung mudah mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau
sengatan serangga.13

2.5.6 Penegakkan diagnosis


Diagnosis Dermatitis Atopik didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka
yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh Williams (1994).13

Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya

28
Kriteria minor

Gambar 1. Kriteria Minor

- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
29
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
Diagnosis Dermatitis Atopik harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:13


Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis1.

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman
klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan
eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor
umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap
diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja
Inggris (UK working party) yang dikoordinasi oleh William memperbaiki dan meyederhanakan
kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis Dermatitis Atopik
yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras,
dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat
diagnosis.13

Pedoman diagnosis Dermatitis Atopik yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:13
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa
anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:

30
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan
pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada
keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota
badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).

Gambar 1. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik

2.5.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat dipergunakan untuk menegakkan
diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya
kenaikkan kadar IgE dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan
imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat.13

31
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut akan
terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya
selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita
yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi
kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini
disebut dermatografisme putih.13

3. Percobaan asetil kolin


Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan hyperemia pada
orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat
kepucatan selama satu jam.13

4. Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopik eritema akan berkurang
dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak
eritema bertambah pada kulit orang normal.13

2.5.8 Tatalaksana
Kulit penderita dermatitis atopik cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh
karena itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat
dan memicu siklus “gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan kimia,
pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai sabun hendaknya
yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH netral. Pakaian baru sebaiknya
dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk membersihkan formaldehid atau bahan kimia
tambahan. Mencuci pakaian dengan deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat
bersifat iritan. Kalau selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya
digunakan pada kolam renang. Stres psikik juga dapat menyebabkan eksaserbasi dermatitis
atopik.13
Dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar, misalnya terlalu sering
dimandikan, menggosok terlalu kuat, pakaian terlalu tebal, ketat atau kotor, kebersihan kurang
terutama di daerah popok, infeksi local, iritasi oleh kencing atau feses, bahkan juga medicated

32
baby oil. Pada bayi penting diperhatikan kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera
diganti, bila basah atau kotor.13
Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak
memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan (misalnya wol,
atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap tertutup pakaian untuk
menghindari pajanan iritan atau trauma garukan. Mandi dengan pembersih yang mengandung
pelembab, hindari pembersih antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi.13

PENGOBATAN TOPIKAL
- Hidrasi kulit.
Kulit penderita dermatitis atopik.kering dan fungsi sawarnya berkurang, mudah retak se-
hingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen. Pada kulit
yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim hidrofilik urea 10%; dapat pula
ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung asam
laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih
aktif. Setelah mandi kulit dilap, kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien
dipakai beberapa kali sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam.13

- Kortikosteroid topikal.
Pengobatan dermatitis atopic dengan kortikosteroid topikal adalah yang paling sering
digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus waspada karena dapat terjadi
efek samping yang tidak diinginkan.13
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1 %-2.5%.
Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada
muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah. Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai
di daerah genitalia dan intertriginosa, jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya
fluorinated glucocorticoid. Bila aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten,
umumnya 2 kali seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan
kortikosteroid yang potensinya paling rendah.13
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid, misalnya dengan
larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000.13

33
- Imunomodulator topikal
- Takrolimus
Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat diberikan dalam bentuk
salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03% dan 0,1%. Takrolimus
menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam dermatitis atopik.. yaitu: sel Langerhans, sel T,
sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan salep takrolimus, koloni S.
aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali rasa seperti terbakar setempat. Tidak
menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan
kelopak mata.13

- Pimekrolimus
Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu imunomodulator
golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi Streptomyces
hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin dan takrolimus yang
dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya berbeda dalam struktur
kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi aktif bila terikat pada reseptor
sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan
askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma sel T, akan menghambat calcineurin (suatu
molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin
TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 ( IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat
aktivasi sel mas. Askomisin menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam
menghambat fase elisitasi dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak
terganggu bila diberikan secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.13
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%,
mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05% (steroid superpoten),
tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada anak dan dapat dipakai
pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara pemakaian dioleskan 2 kali sehari.13
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun.
Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk memakai

34
pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi menimbulkan
kanker kulit.13

- Preparat ter
Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada kulit. Dipakai pada lesi
kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap hidrofilik, misainya yang
mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau crude coal tar 1 % sampai 5%.13

- Antihistamin
Pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan karena ber-
potensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi topikal krim
doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal tanpa terjadi
sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas akan menimbulkan efek
samping sedatif.13

PENGOBATAN SISTEMIK

- Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam
jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan berselang-seling (alternate), atau diturunkan
bertahap (tapering), kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka
panjang menimbulkan berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan
muncul kembali.13

- Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama
malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu antihistamin yang dipakai ialah yang
mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit
dapat diberikan doksepin hidroklorid yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade
reseptor histamih H1 dan H2, dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada
orang dewasa.13

35
- Anti-infeksi
Pada dermatitis atopic ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang belum
resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang untuk yang sudah
resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin.13
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan sementara
dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau 200 mg 4 kali per
hari selama 10 hari.13

- Interferon
IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel
TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan klinis, karena dapat
menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.13

- Siklosporin
Dermatitis atopik.yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat diberikan
pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek yang dianjurkan
per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif kuat yang terutama
bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein intraselular) menjadi satu
kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. Tetapi,
bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan umumnya penyakitnya akan segera kambuh
lagi. Efek samping yang mungkin timbal yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau
bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal dan hipertensi.13

TERAPI SINAR (phototherapy)


Untuk dermatitis atopic yang berat dan luas dapat digunakan PUVA
(photochemotherapy) seperti yang dipakai pada psoriasis. Terapi UVB, atau Goeckerman dengan
UVB dan ter juga efektif. Kombinasi UVB dan UVA lebih baik daripada hanya UVB. UVA
bekerja pada sel Langerhans dan eosinofil, sedangkan UVB mempunyai efek imunosupresif
dengan cara memblokade fungsi sel Langerhans, dan mengubah produksi sitokin keratinosit.13

36
Algoritma penatatlaksanaan dermatitis atopik.13

Penilaian awal riwayat penyakit, luas dan derajat penyakit


Termasuk penilaian efek psikologis, pengaruh kepada keluarga

Pelembab, edukasi

Mengatasi prurits dan inflamasi Terapi ajuvan


Remisi penyakit akut
(tidak ada tanda dan  Kortikosteroid topikal atau Hindari faktor-
gejala)  Penghambat kalsineurin topikal faktor pencetus
Pimekrolimus 2 kali sehari atau
Takrolimus 2 kali sehari Infeksi bakterial:
antibiotik oral
dan atau topikal

Terapi pemeliharaan Infeks viral:


Untuk penyakit persisen dan atau sering terapi antiviral
kambuh
Intervensi
 Pada tanda dini rekurensi gunakan
psikologis
penghambat kalsineurin topikal untuk
mencegah progresivitas penyakit
antihistamin
Pimekrolimus mengurangi terjadinya flare
 Penggunaan penghambat kalsineurin topikal
jangka waktu lama untuk pemeliharaan
 kortikosteroid topikal secara intermiten

Penyakit berat dan refrakter


 Fototerapi
 Kortiosteriid topikal poten
 Siklosporin
 Metotreksat
 Kortiosteroid oral
 Azatioprin
 Psikoterapi

37
2.5.9 Prognosis
Sulit meramalkan prognosis Dermatitis Atopik pada seseorang. Prognosis lebih buruk
bila kedua orang tuanya menderita Dermatitis Atopik. Ada kecenderungan perbaikan spontan
pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada masa remaja. Sebagian kasus menetap pada
usia di atas 30 tahun. Penyembuhan spontan Dermatitis Atopik yang diderita sejak bayi pernah
dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan.
Sebelumnya juga ada yang melaporkan bahwa 84% Dermatitis Atopik anak berlangsung sampai
masa remaja. Ada pula laporan, Dermatitis Atopik pada anak yang diikuti sejak bayi hingga
remaja, 20% menghilang, dan 65 % berkurang gejalanya. Lebih dari separo Dermatitis Atopik
remaja yang telah diobati kambuh kembali setelah dewasa.13
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik Dermatitis Atopik yaitu:13
- Dermatitis Atopik luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat Dermatitis Atopik pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) Dermatitis Atopik pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen Dermatitis Atopik infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis kontak
iritan akibat kerja di tangan.13

2.6 Pemfigus vulgaris


2.6.1 Definisi
Pemphigus dari kata pemphix (Yunani) berarti melepuh atau gelembung. Pemphigus
ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa bula yang timbul dalam waktu yang lama,
menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula
interepidermal akibat proses akantolisis.14

Pemphigus Vulgaris merupakan penyakit autoimun dengan manifestasi berupa


kondisi lepuhan pada permukaan kulit dan atau mukosa. Hal ini dapat terjadi karena
kerusakan atau hilangnya adhesi intersel akibat autoantibodi IgG, kadang-kadang IgA dan

38
IgM terutama terhadap desmoglein 3, dapat juga pada desmoglein 1, sehingga menyebabkan
pelepasan sel epitel yang dikenal dengan akantolisis.14

2.6.2 Etiologi
Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun kemungkinan yang
relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih sering menyerang pasien yang sudah
menderita penyakit autoimun lainnya (terutama miastenia gravis dan timoma), serta dapat
dipicu karena penggunaan penisilin dan captopril. Kelainan pada kulit yang ditimbulkan
akibat PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas kulit yang ditimbulkan akibat
PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas, sakit, dan biasanya terjadi pada
daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha, wajah, ketiak, kulit kepala, badan, dan
umbilicus.14

2.6.3 Epidemiologi
Pemphigus Vulgaris (PV) merupakan bentuk tersering dijumpai (80% semua kasus
pemphigus). Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan
ras. Angka kejadian PV bervariasi 0,5-3,2 kasus per 100.000 penduduk. Penyakit ini
meningkat pada pasien keturunan Ashkenazi Yahudi dan orang-orang asal Mediterania.4,5
Secara global, insidensi Pemphigus Vulgaris tercatat sebanyak 0,5-3,2 kasus per 100.000
populasi. Kejadian Pemphigus Vulgaris mewakili 70% dari seluruh kasus pemphigus dan
merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di negara-negara timur, seperti india,
malaysia, china, dan timur tengah.14

2.6.4 Patofisiologi
Semua proses pemfigus sifat yang khas yaitu:15
1. Poses akontolisis
2. adanya antibody Ig G terhadap antigen diterminan yang ada pada permukaan
keratinosis yang sedang berdeferensiasi
Sebagian besar pasien, pada mulanya ditemukan dengan testoral yang tampak
sebagai erosi – erosi yang bentuknya ireguler yang terasa nyeri, mudah berdarah dan sembuh
lambat. Bula pada kulit akan membesar, pecah dan meninggalkan daerah daerah erosi yang
lebar serta nyeri disertai dengan pembentukan krusta dan pembesaran cairan. Bau yang

39
menususk dan khas akan memancar dari bula dan yang merembes keluar. Kalau dilakukan
penekanan yang meminimalkan terjadinya pembentukan lepuh/ pengelupasan kulit yang
normal ( tanda nikolsky ). Kulit yang erosi sembuh dengan lambah sehingga akhirnya daerah
tubuh yang terkena sangat luas. Sekunder infeksi disertai dengan terjadinya gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit sering terjadi akibat kehilangan cairan dan protein ketika
bula mengalami ruptur. Hipoalbuminemia sering dijumpai kalau proses penyakit mencakup
daerah permukaan kulit tubuh dan membran mukosa yang luas.

2.6.5 Gejala Klinis


1. Pemfigus Vulgaris15
a. Kulit berlepuh, Ø 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang terkelupas,
erosi
b. Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi
c. Tanda nikolsky ada
d. Kelamin, mukosa mulut 60%
e. Biasanya usia 30-60 tahun
f. Bau specifik (mousy odor)

2. Pemfigus eritematosus15
a. Biasanya pada usia 60-70 tahun
b. Lesi awal : daerah wajah, kulit kepala, punggung, seluruh tubuh berupa bercak,
eritematosa batas tegas ( seperti kupu-kupu pada wajah) , krusta sifatnya kronis
residif
c. Dinding bula kendur, mudah pecah, erosif yang dikelilingi dasar eritematosa, krusta
dan skuama krusta basah, bau khas
d. Tanda nikolsky ada
e. Mukosa mulut terkena

3. Pemfigus bullosa15
a. Biasanya usia 50-70 tahun
b. Dinding bula tegang berisi cairan jernih/ hemoragic diatas kulit yang tampak normal
atau eritema

40
c. Diameter bula bervariasi
d. Lesi mulut / genitalis ( 20 – 40 %)
e. Tidak ada tanda nikolsky

4. Pemfigus vegetans15
a. pada usia lebih muda dibandingkan dengan pemfigus vulgaris
b. lesi awal dimukosa mulut berbulan-bulan
c. lesi kulit : lokasi inter triginose, wajah, kepala, hidung, extremitas, selluruh tubuh
berupa bula kendur, mudah pecah, erosi vegetans, bau amis, hiperpigmentasi
d. tanda nikolsky ada

2.6.6 Penegakkan diagnosis


Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :15

1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :

a. Nikolsky Sign : penekanan datau penggosokan pada lesi menyebabkan terbentuknya lesi,
epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.

b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan  isinya tampak menjauhi tekanan

2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa  tampak sel akantolitik
atau sel tzanck

3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari adanya bula
intraepidemal.

4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik :

Leukositosis, Eosinofilia, Serum protein rendah, Gangguan elektrolit, Anemia

5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Autoantibodi ditemukan pada serum pasien
dengan imonofloresensi indirek dan kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien.
Pemeriksaan dengan ELISA memberikan hasil yang lebih sensitive dan spesifik daripada
imunofloresensi (dapat membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. DIbandingkan

41
dengan imunofolresensi, pemeriksaan ELISA juga memiliki korelasi lebih baik dengan aktivitas
penyakit.

2.6.7 Tatalaksana
1. Pemfigus vulgaris15
a. Umum
- Perbaiki keadaan umum
- Atasi keseimbangan cairan ( input atau output ), elektrolit, tanda-tanda vital
b. Sistemik
- Kortikosteroid : Prednison 60-150 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit
- Tapering off disesuaikan dengan kondisi klinis dan kadar IgG dalam darah sampai
dosis pemeliharaan
- Dapat dikombinasikan kortikosteroid dan sitostatika (Azotlapin 1-3 mg/kg BB )
untuk sparing efek.
- Antibiotika bila ada infeksi sekunder
- KCL 3x500 mg/ hari
- Anabolik ( Anabolene 1x1 tablet/ hari )
c. Topikal
- Eksudatif : kompres
- Darah erosif : - Silver sulfadiazine
- Krim antibiotik bila ada infeksi
- Kortikosteroid lemah untuk lesi yang tidah eksudatif

2.Pemfigus eritematosus15
a. Umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input atau output cairan dan elektrolit

- Diet lunak, TKTP, rendah garam

b. Sistemik

- Kortikosteroid : prednison 60-100 mg/hr ( tergantung berat ringannya penyakit)


- Kombinasi kortikosteroid dan azatioprin (1-2 mg/kg BB)
- Antibiotik : bila terdapat infeksi sekunder

42
- Anbolik ( anabolene 1x1 tb/ hari)

c. Topikal
- Untuk lesi basah : kompres
- Untuk lesi erosif : mupirocin
- Untuk lesi berskuama : kompres hidrokortison 2,5 %, lanalcin 10 %, vaselin albumin
100

3. Pemfigus bulosa15
a. Umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital
- Diet TKTP
- Hindari infeksi sekunder (K/P) infus untuk mengantisipasi gangguan cairan dan
elektrolit
b. Sistemik
- Prednison 40-80 mg/hr, bila tampak perbaikan tapering off
- DDS 200-300 mg/hari
- Dapat diberikan gabungan prednison dengan imunosupresan lain
- MTX 20-30 mg/ minggu interval 12 jam diberikan saat prednison dosis 400 mg
- Azatioprin 50-150 mg/hr setelah 3-4 minggu kemudian dilakukan alternate day
- Anbolik bila ada infeksi sekunder
- CTM 3x1 tablet sehari ( bila gatal)

d. Topikal
- Untuk lesi basah : kompres rivanol
- Untuk lesi erosi kering : kortikosteroid topical
- Antibiotik topical
- Bula besar : aspirasi

43
4. pemfigus vegetans15
a. umum
- Pengawasan keadaan umum, tanda vital, input output cairan dan elektrolit
- Diet lunak, TKTP, rendah garam

e. Sistemik
- Prednison 60-150 mg/hr, tapering off sesuai dengan kondisi klinis sampai dosis
pemeliharaan
- Antibiotik bila ada infeksi sekunder
- Alternate dapseon 100-200 mg/hari
- KCL 2x500 mg (k/p)
- Anabolik (anabolene 1x1 tablet sehari)
f. Topikal
- Betadine gargle untuk kumur
- Bibir kenalog in arabase
- Garamicin krim atau fucidine krim 2xsehari untuk daerah erosif
- Untuk krusta : kompres salep antibiotik
- Mandi PK / 10.000

2.6.8 Prognosis
Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi, tetapi mayoritas

pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi kortikosteroid sendiri telah

dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang yang tidak

mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi

serta gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar

kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat

bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisny akan lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium

awal akan lebih mudah dikontrol daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas

akan meningkat apabila terjadi keterlamabatan terapi.15

44
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis kortikosteroid

maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya penyakit penyerta.

Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia lanjut dan yang disertai penyakit

lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil kasus

pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus.15

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz R.A. Favus. [update] 2019 May 14. [cited 2019 Oct 17. Available from: URL:
https://emedicine.medscape.com/article/1090828-overview.
2. Rush E.T. Phenylketonuria (PKU) . [update] 2018 May 31. [cited 2019 Oct 17. Available
from: URL: https://emedicine.medscape.com/article/947781-overview#a5.
3. Zeina B. Pemphigus Vulgaris. [update] 2018 June 14. [cited 2019 Oct 17. Available
from: URL:https://emedicine.medscape.com/article/1064187-overview#a1.
4. Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2013; 3-8, 23-33, 110-6, 57-63, 380-2.
5. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi 6. Jakarta: EGC,
2012; 98-102.
6. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology, 2nd edition. Asia:
John Wiley and Sons, 2009; 1103-4.
7. Mescher AL. Junqueira’s basic histology text and atlas. 13th edition. USA: McGraw-Hill,
2013; 293-97.
8. Ilkit M. Favus of the scalp: an overview and update. Mycopathologia. 2010;170:143-154.
9. BIKKK_vol 20 no 3_des 2008_Acc_3
10. https://emedicine.medscape.com/article/1090828-treatment
11. Rubel D, Thirumoorthy T, Soebaryo RW, et all. Consensus guidelines for the
management of atopic dermatitis: an Asia-Pasific perspective. Journal of Dermatology
2013;40: 160-71.
12. Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI. (2014). Panduan Diagnosis
dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia.pdf. (January), 59.
13. Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz. Atopic dermatitis (atopic eczeme). In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, et all. Fitzptrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2012. P 165-81.
14. Bascones-martinez A, Munoz-corcuera M, Bascones-iludain C, et all. Oral
Manifestations of Pemphigus Vulgaris : Clinical Presentation Differential Diagnosis and
Management. J Clin Exp Dermatology Res. 2010;1(2):2-5. Accesed ; 23-06-2015.

46
15. Rivera C, Venegas B. Oral pemphigus vulgaris after Chilean earthquake. PanAfrican
Med J [Internet]. 2014;8688: 1-2. Available from : http://www.panafrican-med-
journal.com/content/article/18/219/full/Accesed : 23-06-2915.

47

Anda mungkin juga menyukai