Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

MARJOLIN ULCER

Oleh

Dosen Pembimbing

dr. Sp.B

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


KEPANITRAAN KLINIK MADYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIDYA KUSUMA
2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat serta salam
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya. Syukur
Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Marjolin Ulcer”.
Dalam penyelesaian referat ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada dr., Sp.B.
Juga kepada seluruh tenaga medis maupun non-medis dan seluruh teman-teman dokter
muda di atas dukungan serta doanya.
Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga referat
ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Malang, 29 Agustus 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar..........................................................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................................3

Bab I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................4

1.3 Tujuan ................................................................................................................................4

1.4 Manfaat ..............................................................................................................................5

Bab II. Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi..................................................................................................................................6

2.2 Epidemiologi.........................................................................................................................6

2.3 Eriologi..................................................................................................................................6

2.4 Patofisiologi..........................................................................................................................7

2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................................................8

2.6 Diagnosa Banding.................................................................................................................11

2.7 Pemeriksaan Penunjang........................................................................................................11

2.8 Penatalaksanaan....................................................................................................................12

2.9 Komplikasi............................................................................................................................15

2.10 Pencegahan..........................................................................................................................16

2.11 Prognosis.............................................................................................................................17

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................18

3.2 Saran...................................................................................................................................18

Daftar Pustaka........................................................................................................................19

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kulit merupakan organ tipis yang luas. Tebal kulit bervariasi antara 0,5-1,5 mm
bergantung pada letak, umur, gizi, jenis kelamin dan suku. Kulit yang tipis terdapat di
kelopak mata, penis, labium minor, dan bagian dalam lengan atas, sedangkan kulit yang lebih
tebal terdapat di telapak tangan, telapak kaki, punggung dan bokong. Kulit telapak tangan dan
kaki tidak mengandung kelenjar sebasea dan rambut. Pada orang dewasa, luas permukaan
2
kulit sekitar 1,5-2 m (Sjamsuhidajat, 2010).
Sebagai penutup, kulit melindungi tubuh dari trauma mekanis, radiasi, kimiawi dan
dari kuman infeksius. Asam laktat dalam keringat dan asam amino hasil perubahan
keratinisasi mempertahankan pH permukaan kulit antara 4-6 yang akan menghambat
pertumbuhan bakteri. Namun beberapa jenis streptokokus dan stafilokokus masih dapat hidup
komensal di lapisan keratin, muara rambut dan kelenjat sebaseus (Sjamsuhidajat,
2010).Kulit juga berfungsi sebagai pengindera raba karena mengandung ujung saraf sensoris
di dermis. Fungsi pengaturan suhu tubuh didapat dari adanya dua lapis pleksus pembuluh
darah dermis yang alirannya diatur oleh persarafan otonom. Persarafan otonom ini juga
mengatur fungsi kelenjar keringat. Penguapan keringat akan mendinginkan kulit
(Sjamsuhidajat, 2010).
Penyakit tumor kulit dewasa ini cenderung mengalami peningkatan jumlahnya terutama
di Amerika, Australia dan Inggris. Berdasarkan beberapa penelitian, orang kulit putih yang
lebih banyak menderita kanker kulit. Hal tersebut diprediksikan sebagai akibat seringnya
terkena (banyak terpajan) cahaya matahari. Di Indonesia penderita kanker kulit terbilang
sangat sedikit dibandingkan ke-3 negara tersebut, namun demikian kanker kulit perlu
dipahami karena selain menyebabkan kecacatan (merusak penampilan) juga pada stadium
lanjut dapat berakibat fatal bagi penderitanya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dan etiologi dari Ulkus Marjolin?
2. Bagaimana patofisiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosa, dan tatalaksana dari
Ulkus Marjolin?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan etiologi dari Ulkus Marjolin

4
2. Mengetahui dan memahami patofisiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosa, dan
tatalaksana dari Ulkus Marjolin
1.4 Manfaat
1. Manfaat teoritis
Penulis diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang
definisi, etiologi, penegakan diagnosa, dan tatalaksana dari Ulkus Marjolin.
2. Manfaat praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinis dalam menangani
pasien Ulkus Marjolin.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Luka Bakar


2.2 Definisi Luka Bakar Luka bakar
Luka bakar merupakan kerusakan pada kulit yang disebabkan oleh berbagai sumber
non-mekanik seperti zat kimia, listrik, panas, sinar matahari atau radiasi nuklir (Murray &
Hospenthal, 2008). Luka bakar adalah sebuah trauma hasil dari terpapar zat kimia, api, radiasi
atau karena aliran listrik. Perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh manusia
menimbulkan efek-efek secara fisiologis, bahkan pada beberapa kasus mengakibatkan
kerusakan pada jaringan secara irreversible. Tingkat keparahan luka bakar bervariasi dari
kehilangan bagian kecil dari lapisan kulit paling luar sampai dengan yang parah melibatkan
seluruh sistem tubuh. Perawatan luka bakar juga bervariasi dari mulai yang sederhana sampai
dengan cara pendekatan invasive, multi system dan inter disiplin pada lingkungan yang
aseptik di sebuah unit luka bakar (LeMone, Burke, & Bauldoff, 2016).
2.3 Klasifikasi Luka Bakar
Berdasarkan kedalaman luka bakar Menurut (Rahayuningsih, 2012)
1. Luka bakar derajat I (super facial partial-thickness) Luka bakar derajat pertama adalah
setiap luka bakar yang di dalam proses penyembuhan tidak meninggalkan jaringan
parut. Luka bakar derajat pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna
kemerahan, terdapat gelembung-gelembung yang ditutupi oleh daerah putih, epidermis
yang tidak mengandung pembuluh darah dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah
serta hiperemis. Luka bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis dan
biasanya sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai
eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas setempat. Luka derajat
pertama akan sembuh tanpa bekas
2. Luka bakar derajat II (Deep Partial-Thickness) Kerusakan yang terjadi pada epidermis
dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh
dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit
normal, nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi. Luka bakar derajat II ada dua
Menurut (Rahayuningsih, 2012) : a. Derajat II dangkal (superficial)kerusakan yang
mengenai bagian superficial dari dermis, apendises kulit seperti folikel rambut,
kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka sembuh dalam waktu 10-14 hari
b. Derajat II dalam (deep) Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh.
6
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa. Biasanya
penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III (Full Thickness) Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis
dan lapisan yang lebih dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit berwarna abu-abu atau coklat,
kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar karena koagulasi protein pada
lapisan epidermis dan dermis, tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama karena tidak
ada proses epitelisasi spontan (Rahayuningsih, 2012). Berdasarkan kedalaman luka,
luka bakar dapat diklasifikasikan sebagai derajat 1 sampai IV yang uraiannya seperti
pada Tabel 2.1

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang
dewasa digunakan rumus “rule of nine” yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang, dan bokong, ekstermitas atas kanan atau kiri, paha kanan atau kiri, tungkai dan
kaki kanan atau kiri mewakili luas 9%, dan sisanya telapak tangan dan genetalia
mewakili luas 1%. Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif kepala
anak lebih besar. Dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10- 15-20 untuk anak. Pada
anak-anak, kepala dan leher mewakili luas 15%, badan depan dan belakang masing-
masing mewakili luas 20%, ekstremitas atas masing-masing mewakili luas 10%, dan
ekstremitas bawah masingmasing mewakili luas 15% (Sjamsuhidajat, 2013)

7
2.4 Fase Luka Bakar
 Fase akut Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini,
seorang penderita akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life threatening.
Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas),
breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak
hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat
terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca
trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada fase akut
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi
syok (terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O dan tingkat kebutuhan respirasi
sel dan jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan
hiperdinamik yang masih ditingkahi dengan problema instabilitas sirkulasi (Barbara,
2010).
 Fase sub akut Berlangsung setelah fase syok teratasi yang berlangsung sampai 21 hari.
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-System Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan
masalah yang bermula dari kerusakan jaringan akibat kontak dengan sumber panas.
Luka yang terjadi penyebab proses inflamasi dan infeksi, masalah penutupan luka
dengan titik perhatian pada luka terbuka atau tidak dilapisi epitel luas dan atau pada
struktur atau organ-organ fungsional (Barbara, 2010).
 Fase lanjut Fase lanjut akan berlangsung sekitar 8-12 bulan hingga terjadinya maturasi
parut akibat luka bakar dan pemulihan fungsi organorgan fungsional. Masalah yang

8
muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan
pigmentasi, deformitas dan kontraktur (Barbara, 2010).
2.5 Komplikasi Luka Bakar
Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari ketidakmampuan
tubuh saat proses penyembuhan luka (Notoatmodjo, 2010)
 Infeksi luka bakar Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering
terjadi. Sistem integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam melawan
infeksi. Kulit yang rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap
patogen di udara seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi akibat
penggunaan tabung 13 dan kateter. Kateter urin dapat menyebabkan infeksi traktus
urinarius, sedangkan tabung pernapasan dapat memicu infeksi traktus respirasi seperti
pneumonia.
 Terganggunya suplai darah atau sirkulasi Penderita dengan kerusakan pembuluh darah
yang berat dapat menyebabkan kondisi hipovolemik atau rendahnya volume darah.
Selain itu, trauma luka bakar berat lebih rentan mengalami sumbatan darah (blood
clot) pada ekstremitas. Hal ini akibat lamanya waktu tirah baring pada pasien luka
bakar. Tirah baring mampu mengganggu sirkulasi darah normal, sehingga
mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian akan membentuk sumbatan
darah.
 Komplikasi jangka panjang Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik
dan psikologis. Pada luka bakar derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi
secara berat dan menetap seumur hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di area
sendi. Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami penyembuhan berkontraksi atau
tertarik bersama. Akibarnya, pasien memiliki gerak terbatas pada area luka. Selain itu,
pasien dengan trauma luka bakar berat dapat mengalami tekanan stress pasca trauma
atau post traumatic stress disorder (PTSD). Depresi dan ansietas merupakan gejala
yang sering ditemukan pada penderita.

2.6 Definisi Ulkus Marjolin


Karsinoma sel skuamosa adalah neoplasma maligna yang berasal dari keratinosit
suprabasal epidermis. Neoplasma ini merupakan jenis neoplasma non melanoma kedua
terbanyak setelah karsinoma sel basal. Karsinoma ini meningkat insidensinya di daerah
yang lebih banyak paparan sinar matahari bahkan mencapai 200-300 kasus tiap 100.000
penduduk di Australia. Ulkus marjolin adalah salah satu faktor predisposisi untuk
terjasinya karsinoma sel skuamosa (Kowel, DKK., 2005).
9
Ulkus marjolin adalah lesi maligna yang berasal dari jaringan parut akibat trauma
bakar, osteomielitis kronik, inflamasi kronik atau fistula kronik. Tipe ulkus ini jarang
terjadi, biasanya tumbuh progresif pada luka yang tidak sembuh, disertai trauma kronik
dan terutama parut luka bakar. Ulkus marjolin sering berkembang menjadi karsinoma sel
skuamosa meskipun memerlukan waktu yang cukup lama (Kowel, DKK., 2005).

2.7 Epidemiologi
Secara lokasi geografis, ulkus marjolin pada umumnya lebih sering ditemukan pada
laki-laki dibandingkan perempuan (Hahn, DKK., 1990). Di Nigeria, rasio laki-laki
banding perempuan 1.4: 1 (Achebe & akpuaka, 1987). Di korea dan india 3:1 (Hahn,
DKK., 1990).
Ulkus Marjolin mempengaruhi pasien dengan usia yang lebih muda. Hal ini juga
muncul pada masa transisi semakin lebih pendek. Semakin muda usia, semakin pendek
masa transisi. Telah tencatat bahwa ulkus Marjolin mempengaruhi orang Nigeria dari
kelompok usia yang lebih muda dan menunjukkan waktu transisi pendek (Achebe &
akpuaka, 1987).
Waktu transisi cukup bervariasi, berkisar antara empat minggu untuk satu tahun
dengan rata-rata empat bulan (Aydogdu, DKK., 2005). Perawatan yang tidak tepat bisa
mengiritasi ulkus dimana bisa mempersingkat waktu transisi.

2.8 Etiologi
Etiologi penyakit ini tidak cukup jelas, namun diyakini karena multifaktorial. Iritasi
kronis dan induksi unit epidermal terus berproliferasi mengikuti penyembuhan yang
lambat dan ketidakstabilan bekas luka (Treves & Pack, 1930).
Meskipun pola yang biasa diulang siklus penyembuhan dan pemecahannya, transformasi
ganas juga terjadi pada luka yang tidak pernah sembuh (Lawrance, 1952). Faktor lain adalah
mengurangi vaskularisasi dan depigmentasi bekas luka. Jaringan parut yang relatif avascular
dapat bertindak sebagai situs imunologis istimewa yang memungkinkan tumor untuk
melawan pertahanan tubuh terhadap sel asing (Simmons & Erwars, 2000). Kulit yang kaya
vaskularisasi bertanggung jawab terhadap insidensi yang relatif rendah pada ulkus marjolin.
Ulkus Marjolin cukup agresif pada pasien dengan human immunodeficiency virus
(Rahimizadeh, DKK., 1997). Sinar ultraviolet juga berperan dalam etiologi kanker sel
skuamosa. Ulkus Marjolin banyak ditemukan pada bagian yang sering terkena sinar
matahari (Aydogdu, DKK., 2005). Penyebab utama dari kerusakan akibat sinar matahari
adalah radiasi ultraviolet pada panjang gelombang antara 320 nm dan 290 nm (UVB). Pada

10
pemeriksaan histologis ditemukan kulit yang rusak, keratinosit dan vacuola dikenal sebagai
sel kulit yang terbakar. Juga ditemukan penurunan jumlah sel Langerhans dan efek
imunosupresif umum (Scarlet, 2003).
Sel Langerhans memegang peranan penting dalam penyajian antigen tumor terkait dan
dalam imunosurveilans kulit terhadap neoplasma baru (Grabbe, 1992). Perubahan pada gen
supresor tumor p53 berperan dalam etiologi tersebut. Gen tersebut berfungsi terutama untuk
menjaga terhadap kerusakan DNA dapat diperbaiki oleh sinyal untuk apoptosis kritis
bermutasi, sel-sel prakanker pada berbagai jaringan dan organ, terutama sel endotel (Kerr,
DKK., 1994). Jika bermutasi atau hilang, perbaikan DNA yang sesuai atau apoptosis tidak
terjadi sebagai siklus sel, dan sel anak bermutasi selanjutnya dipilih untuk ekspansi klonal.
Mutasi gen telah banyak ditemukan dalam berbagai sel kanker manusia. Secara khusus,
studi terbaru menunjukkan bahwa p53 kelainan gen ada dalam persentase yang besar dari
karsinoma sel skuamosa kulit manusia. Kelainan diinduksi oleh radiasi ultraviolet (Brash,
DKK., 1991). Sebagian besar kelainan gen p53, mungkin 90%, adalah mutasi missense yang
menghasilkan sebuah produk protein abnormal atau dipotong dari gen yang biasanya
menghasilkan lebih dari ekspresi protein p53 non fungsional. 30 Studi kasus, ditemukan gen
dalam tumor pasien dengan ulkus Marjolin. 31 Hal ini mungkin menjadi alasan untuk
agresinya. Telah dicatat sebelumnya bahwa luka bakar karena sinarmatahari menyebabkan
penurunan populasi sel Langerhans dari kulit yang terkena (Scarlet, 2003).

2.9 Patogenesis
Ulkus marjolin muncul karena pasca luka bakar atau luka trauma yang tidak sembuh-
sembuh (Nancarrow, 1893). Luka yang tidak sembuh-sembuh > 3 bln patut dicurigai, terlebih
jika luka menebal. Terlihatnya dasar tulang dan sedikitnya jaringan lunak (Achebe &
akpuaka, 1987). secara klinis, ada dua jenis ulkus Marjolin, yaitu :
 flat, indurated, infiltrasi karsinoma, colitis
 bentuk papiler exophytic yang jarang dan umumnya kurang parah (Aydogdu,
DKK.,2005).
lesi exophytic memiliki prognosis yang lebih baik dari diferensiasi buruk, ulserasi dan
infiltrasi. Biasanya tepi lesi ulserasi yang membalik keluar dan memiliki sedikit jaringan
granulasi. Ulkus Marjolin sering disertai rasa sakit (Nancarrow, 1893). Terkadang tidak
adanya tanda-tanda klinis peradangan lainnya seperti rasa panas dan eritema, meningkatnya
rasa sakit dan perdarahan mungkin menunjukkan tumor telah lolos dari batas-batas bekas
luka. Pendarahan dari lesi primer berhubungan dengan penyakit berulang (Aydogdu, DKK.,
2005).
11
Adenopati juga dapat hadir, mengikuti infeksi pada ulkus atau metastasis kelenjar
getah bening. Pada tahap akhir bisa melibatkan gangguan tulang dengan fraktur
patologis. (Achebe & akpuaka, 1987).
Teori Mekanisme yang memungkinkan
Toxin theory Racun yang dilepaskan dari jaringan yang
rusak menyebabkan mutasi dan kerusakan
seluler
Chronic irritation theory Iritasi kronis berulang pada epitelisasi
berulang berkontribusi pada inisiasi
neoplastik.
Traumatic epithelial elements implantation Implantasi dari epitel ke dalam dermis
theory
menyebabkan reaksi respons benda asing
dan proses regeneratif yang tidak teratur
Co-carcinogen theory Bahan kimia atau trauma seperti luka bakar
mengaktifkan yang sudah ada sebelumnya
Seperti sel-sel neoplastik yang tidak aktif
menjadi proliferasi
Initiation and promotion Ada 2 proses yang mengubah sel normal
theory
menjadi ganas. Pada fase inisiasi, sel normal
menjadi sel neoplastik dorman yang dapat
dirangsang menjadi sel neoplastik oleh ko-
karsinogen seperti infeksi, pada fase
promosi. Teori ini tumpang tindih dengan
teori co-karsinogen.
Immunologic privileged site theory Jaringan parut luka bakar secara efektif
menghilangkan limfatik ke daerah yang
terluka, mencegah imunosurveilans normal
dan dengan demikian memungkinkan
pertumbuhan neoplastik. Tumor ini awalnya
tumbuh lambat, tetapi dengan cepat
membanjiri sistem kekebalan tubuh,
bermetastasis dan dengan cepat berakibat
fatal, begitu mereka menembus penghalang
bekas luka.
Heredity theory HLA DR4 dikaitkan dengan perkembangan
12
kanker dan kelainan gen p53 telah
ditunjukkan pada pasien dengan ulkus
Marjolin. Lebih lanjut, mutasi di daerah
fungsi apoptosis yang menjadi predisposisi
degenerasi maligna pada bekas luka telah
ditunjukkan pada bekas luka bakar ulkus
Marjolin.
Ultraviolet rays theory Teori sinar ultraviolet - Sinar UV
menyebabkan pengurangan Langerhans
populasi sel yang mengarah pada
pengurangan pengawasan imun kulit
terhadap perkembangan keganasan dan juga
menyebabkan perubahan gen supresor tumor
p53.
Environmental and genetic Upaya untuk menjelaskan terjadinya ulkus
interaction theory
Marjolin 'Akut'

2.10 Diagnosis
 Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien (autoanamnesis) atau dengan
keluarga yang mengetahu yang mengetahui perjalanan penyakit pasien (alloanamne
pasien (alloanamnesis). Dapat dilakukan dapat dilakukan anamnesis baik secara baik
secara autoanamnesis maupun alloanamnesis.
Yang perlu ditanyakan dalam anamnesis pasien-pasien dengan ulkus marjolin antara
lain:
a. Kmrtupakan eluhan utama  
b. Riwayat penyakit sekarang, meliputi:
o Onset dan Kronologis kejadian Awal terjadinya luka merupakan tanda bahwa
luka tersebut adalah luka akut atau kronis. Luka kronik terjadi apabila dalam 3
bulan luka tersebut tidak sembuh. Bagaimana awalnya luka tersebut bisa
muncul. Luka tersebut dapat merupakan akibat dari luka yang terjadi spontan
maupun luka kronik  yang mengalami komplikasi. Sehingga perlu ditanyakan
apakah sebelumnya pada lokasi yang sama pernah terjadi luka. Jenis luka yang
tidak sembuh secara sempurna dapat menyebabkan gangguan dikemudian hari.

13
Luka yang terdapat pada bagian tubuh posterior perlu dicurigai adanya ulkus
akibat tekanan atau akibat yang lain.
o Lokasi nyeri : Lokasi terjadinya ulkus berpengaruh terhadap diagnosis. Lokasi
berhubungan dengan lokasi predileksi dari tubuh. Misalnya lokasi di bahu
belakang dan daerah  pantat  pantat dan punggung punggung adalah daerah
predileksi predileksi dari ulkus decubitus.. Bokong, siku, lutut dan lutut dan
kaki adalah predileksi dari kaki adalah predileksi dari ulkus diabetikum.
Sementara lokasi yang awalnya terdapat luka pada daerah yang saat ini terjadi
ulkus bisa mengarah ke ulkus marjolin. Selain itu lokasi juga berpengaruh pada
terjadinya komplikasi akibat ulkus tersebut. Imobilisasi terjadi pada pesien
dengan ulkus yang luas dan menyeluruh sehingga nyeri untuk bergerak. Ulkus
pada permukaan  permukaan yang mendekati mendekati organ vicera atau
syaraf dapat juga  berpengaruh pada organ di bawahnya
o Gejala sistemik yang muncul pada pasien yang mengalami luka dapat dapat
menandakan adanya infeksi. Adanya infeksi ditandai dengan  panas tubuh yang
tinggi serta timbul pus pada daerah yang terinfeksi. terinfeksi. Selain itu
penyakit degenerative seperti diabetes dan kanker juga dapat menimbulkan
ulkus di bagian tubuh.
 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Didapatkan suatu lesi yang tumbuh eksofitik, endofitik, infiltratif, tumbuh
progresif, mudah berdarah terdapat ulkus dengan bau yang khas, tepi luka
menggulung, jaringan parut disertai indurasi dan elevasi diberbagai tempat, terdapat
jaringan granulasi yang berlebihan, Bagian tengah lesi menampakkan gambaran ulkus
dangkal dengan daerah-daerah erosi, krusta serta pus, yang rapuh dan mudah berdarah
Palpasi : nyeri lokal dan nyeri tekan, perdarahan saat kontak (Pekarek et al, 2011)

14
2.11 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu Biopsi merupakan
pemeriksaan baku emas untuk mengetahui adanya sel-sel ganas. Beberapa
peneliti merekomendasikan biopsi diambil pada lebih dari satu bagian di daerah
lesi, misalnya bagian tengah dan tepi. Makin besar ukuran lesi, makin banyak
jumlah daerah yang dibiopsi. Yang paling sering ditemukan adalah Karsinoma sel
kemudian karsinoma sel basal, melanoma, dan sarcoma

2.12 Penatalaksanaan
Saat ini belum ada konsensus tentang protokol pengelolaan Marjolin ulcers.
Hal ini cukup sulit karena tumor bersifat agresif (Aydogdu, DKK., 2005). kesempatan
terbaik untuk penyembuhan adalah eksisi lokal yang luas sedini mungkin dengan
harapan bisa bersifat kuratif (Paredes, 1998).
Jenis tindakan tergantung dari ukuran lesi, lokasi anatomi, kedalaman
invasi, gradasi histopatologi dan riwayat terapi. Prinsip terapi yaitu eksisi radikal
untuk lesi primer dan rekonstruksi penutupan defek dengan baik. Penutupan defek
dapat dengan cara penutupan primer, tandur kulit atau pembuatan flap. Untuk lesi
operabel dianjurkan untuk eksisi luas dengan safety margin 1 – 2 cm. Bila radikalitas
tidak tercapai, diberikan radioterapi adjuvant.
Untuk lesi di daerah cantus, nasolabial fold, peri orbital dan peri aurikular,
dianjurkan untuk Mohs micrographic surgery (MMS), bila tidak memungkinkan maka
dilakukan eksisi luas. Untuk lesi di kepala dan leher yang menginfiltrasi tulang atau
kartilago dan belum bermetastasis jauh, dapat diberikan radioterapi
Untuk lesi di penis, vulva dan anus, tindakan utama adalah eksisi luas,
radioterapi tidak memberikan respon yang baik. Untuk kasus inoperabel dapat
diberikan radioterapi preoperatif dilanjutkan dengan eksisi luas atau MMS. Untuk
15
kasus rekurens sebaiknya dilakukan MMS atau eksisi luas. Bila terdapat metastasis ke
kgb regional, dilakukan diseksi kgb, yaitu diseksi inguinal superfisial, diseksi aksila
sampai level II atau diseksi leher modifikasi radikal.
Biopsi kelenjar getah bening telah terbukti memberikan hasil 83% dan
dianjurkan untuk mendeteksi enyebaran sistemik (Paredes, 1998). Pada lesi akhir,
dianjurkan terapi dengan menggabungkan operasi, kemoterapi dan radioterapi yang
dianjurkan (Aydogdu,DKK., 2005). Hal ini mungkin dalam bentuk adjuvant ataupun
neo adjuvant dengan kemoterapi agen therapy termasuk 5-fluorouracil, Metotreksat,
Bleomycin dan Cisplatinum. Terapi agresif diperlukan terutama pada lesi di kulit
kepala (Chintamani,2004).
Radioterapi dan kemoterapi juga dianjurkan sebagai terapi ajuvan dengan
kombinasi Metotreksat, Bleomycin dan Cisplatinum (chintamani, 2004). Radioterapi
dan kemoterapi menggunakan 5 - fluorouracil juga telah dicoba untuk pasien yang
menolak dilakukan operasi (Aydogdu, DKK., 2005).
Indikasi untuk terapi radiasi diantaranya :
1. pasien dengan metastasis kelenjar getah bening yang bisa dioperasi
2. pasien dengan lesi kelas tinggi dengan kelenjar getah bening positif setelah diseksi
kelenjar getah bening regional
3. pasien dengan diameter tumor lebih besar dari 10 cm, dengan kelenjar getah
bening positif setelah diseksi kelenjar getah bening regional,
4. pasien dengan lesi kelas tinggi, dengan diameter tumor lebih besar dari 10 cm dan
tidak ada kelenjar getah bening positif setelah diseksi getah bening regional,
5. pasien dengan lesi pada kepala dan leher, dengan kelenjar getah bening positif
setelah diseksi kelenjar getah bening regional (Ozek, DKK., 2001).
Kombinasi gen p53 terapi sistemik dan radiasi menghasilkan regresi
tumor lengkap dan penghambatan kekambuhan bahkan 6 bulan setelah akhir semua
pengobatan. Hasil ini menunjukkan bahwa terapi gen p53, bila digunakan dengan
radioterapi konvensional, dapat memberikan cara baru dan lebih efektif untuk
pengobatan kanker. Amputasi diperlukan untuk kasus-kasus yang terlambat dengan
keterlibatan tulang terutama dengan adanya fraktur patologis (Hahn, DKK., 1990).
2.13 Pencegahan
Pencegahan utama adalah perawatan yang memadai dari bekas luka,
terutama yang rentan terhadap trauma dan ketidakstabilan. Seringkali eksisi dan
cangkok kulit adalah andalan pengobatan untuk bekas luka tapi kasus transformasi
ganas pada luka sebelumnya dipotong dan dicangkokkan. Pengobatan yang
16
digunakan dalam isolasi iterutama di ulkus terbentuk di kontraktur sendi lebih
mobile, yang rentan terhadap tekanan berulang. dianjurkan pada semua jenis luka
yang tidak sembuh-sembuh sampai 12 minggu, harus dipotong sampai batas jaringan
sehat dan diperiksa secara mikroskopis (Wong , DKK., 2003).
2.14 Prognosis
Tumor pada awalnya terbatas pada bekas luka. Pada tahap ini
pertumbuhan lambat dan dapat disembuhkan secara total. Setelah fase istirahat dari
bekas luka, metastasises terjadi dengan cepat melalui kelenjar regional (Bostwick &
Pendergrast, 1976). Karsinoma sel skuamosa akibat ulkus Marjolin memiliki
kecenderungan lebih besar untuk metastasis dari pada karsinoma sel skuamosa yang
timbul karena kulit rusak terpapar matahari setelah fase istirahat dari bekas luka.
Tingkat metastasis mencapai 60% dimana lesi predisposisi adalah ulkus tekanan, dan
34 % karena luka bakar. Meskipun kelenjar getah bening regional adalah situs yang
paling sering metastasis , hati, paru, otak, ginjal dan metastasis jauh lainnya juga
terjadi (Aydogdu, DKK., 2005).

Variable Better Poorer


Latency to malignancy Less than 5 years More than 5 years
Clinical Tumor location Head, neck, upper Lower limbs, trunk

Tumor source Post-burn, chronic Pressure sore

Tumor diameter Smaller than 2 cm 2 cm or more


Tumor type Exophytic Infiltrative
Metastases None Present
Tumor recurrence None Present
Histological Degree of Well differentiated Moderately-well and

differentiation poorly differentiated


Peritumoral T Heavy Scarce or absent

Depth of dermal Superficial to reticular Reticular dermis or

invasion dermis deeper


Vertical tumor Less than 4 mm thick 4 mm thick or more

thickness

17
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Marjolin’s ulcer adalah keganasan pada kulit yang sebelumnya terluka dan
mengalami inflamasi kronis. Keluhan utama pasien biasanya luka yang tak kunjung
sembuh selama lebih dari 3 bulan. Biopsi sebagai pemeriksaan yang baku emas
disarankan untuk setiap kasus yang dicurigai. Tatalaksana yang direkomendasikan
adalah eksisi lokal dan skin graft. Untuk kasus Marjolin’s ulcer kambuhan, radioterapi
dapat dipertimbangkan.

3.2 Saran
Penulis diharapkan selalu menambah pengetahuan tentang Marjolin Ulcers
karena referat ini hanya membahas sebagian kecil dari Marjolin Ulcers. Sehingga
diharapkan pembaca mampu membaca sumber-sumber yang lebih terbaru dan
terpercaya untuk menambah pengetahuan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Achebe JU, Akpuaka FC. Scar cancer in Nigeria: A retrospective study and review of
literature.West Afr J Med, 1987 Jan, vol6, 1: 67-70
2. Aydogdu, E., Yildirim, S., Akoz, T. (2005). Is surgery an effective and adequate
treatment in advanced Marjolin's ulcer? Burns. 31(4):421-431.
3. Barbara, K . 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan Praktik
edisi VII Volume I. Jakarta : EGC.
4. Bostwick J, Pendergrast JW. (1976). Marjolin’s ulcer: an immunologically privileged
tumor? Plast Reconstr Surg. 57:66–9.
5. Brash, D.E., Rudolph, J.A., Simon, J.A, DKK. (1991). A role for sunlight in skin
cancer: UVinduced p53 mutations in squamous cell carcinoma. Proc Natl Acad Sci
USA. 88:124-8
6. Chintamani., Shankar, M., Singhal, V., Singh, J.P., Bansal, A., Saxena, S. (2004).
Squamous cell carcinoma developing in the scar of Fournier's gangrene Case report.
BMC Cancer. 27;4(1):16.
7. Grabbe, S., Bruvers, S., Granstein, R.D. (1992). Effects of immunomodulatory
cytokines on the presentation of tumor associated antigens by epidermal Langerhans
cells. J Invest Dermatol. 99: 66-8
8. Hahn, S.B., Kim, D.J., Jeon, C.H. (1990). Clinical study of Marjolin’s ulcer. Yonsei
Med J.31(3), 234-241
9. Kerr, J.F.R., Winterford, C.M., Harmon, B.V. (1994). Apoptosis, its significance in
cancer and cancer therapy. Cancer. 73:2013
10. Kowel,V.A., Chiswell, B. K. (2005). Burn Scar Neoplasm: a literature review and
statistical analysis burns. 31, 403-413
11. Lawrance, R.E.A. (1952). Carcinoma arising in burn scars. Surg. Gynecol. Obstet. 95:
579-588.
12. LeMone, Burke, & Bauldoff, (2016). Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa.
Jakarta: EGC
13. Murray C & Hospenthal DR. Burn Wound Infections. 2008. Diakses tanggal 10
November 2022. Tersedia dari : http://emedicine.medscape.com/article/213595-
overview.
14. Nancarrow, J.D. (1893). Cicatricial Cancer in the South-West of England: A Regional
Plastic Surgery Unit's Experience over a 20-year Period. Br. J. Surg. 70: 205-208

19
15. Nthumba, P.M. (2010). Marjolin's ulcers: theories, prognostic factors and their
peculiarities in spina bifida patients World Journal of Surgical Oncology 8:108
16. Ozek, C., Cankayalı, R., Bilkay, U., Cagdas, A. (2001). Marjolin’s ulcers arising in
burn scars. J Burn Care Rehabil. 22:384–9
17. Paredes, F. (1998). Marjolin ulcer Acta Med Port. 11(2), 185-187
18. Pekarek B, Buck S, Osher L. A Comprehensive Review on Marjolin's Ulcers:
Diagnosis and Treatment. J Am Col Certif Wound Spec. 2011 Sep;3(3):60-4. doi:
10.1016/j.jcws.2012.04.001. PMID: 24525526; PMCID: PMC3601857.
19. Rahayuningsih, T., 2012, Penatalaksanaan Luka Bakar (Combustio),Jurnal Profesi
Volume 08/Februari-September 2012
20. Rahimizadeh, A., Shelton, R., Weinberg, H., Sadick N. (1997). The development of a
Marjolin's cancer in a human immunodeficiency virus-positive hemophilic man and
review of the literature. Dermatol Surg. 23 (7):560-563
21. Sabin, S.R., Goldstein, G., Rosenthal, H.G., Haynes, K.K. (2004) Aggressive
squamous cell carcinoma originating as a Marjolin's ulcer. Dermatol Surg. 30: 229-
230
22. Scarlett, W.L. (2003). Ultraviolet Radiation: Sun Exposure, Tanning Beds, and
Vitamin D Levels. What You Need to Know and How to Decrease the Risk of Skin
Cancer. JAOA:103(8): 371-5
23. Simmons, M.A., Edwars, J.M. (2000). Marjolin’s ulcer precenting in yhe neck.J
laringol otol 114: 980-982
24. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong.
Sistem Organ dan Tindak Bedahnya (1). 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2017
25. Sjamsuhidajat,DKK. (2006). Buku Ajar Ilmu Bedah (3th ed). Jakarta : EGC
26. Treves, N., Pack,G.T. (1930). The depelopment of cancer in burn scars.51:749-782
27. Wasitaatmadja,S.M. (2006). Faal Kulit. dalam Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S
(eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (3th ed). Jakarta: FKUI
28. Wong ,A., Johns, M.M., Teknos, T.N. (2003). Marjolin’s ulcer arising in a previously
grafted burn of the scalp. Otolaryngol Head Neck Surg. 128(6): 915-916

20

Anda mungkin juga menyukai