Anda di halaman 1dari 92

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT

SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

DOSEN PENGAMPU: DEWI PUSPARIANDA, SST., MPH

DISUSUN OLEH:

SRI MURSALINA (PO7220119 1621)

HILDA APRIYANTI (PO7220119 1603)

DELLA PUSPA MELANIA (PO7220119 1592)

DEVI APRIANI (PO7220119 1595)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGPINANG

PRODI D III KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2021


KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan

hidayah-Nya makalah Asuhan Keperawatan ini dapat di selesaikan. Makalah

Asuhan Keperawatan ini sendiri di buat guna memenuhi salah satu tugas kuliah

dari dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II dengan judul “ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PENYAKIY SLE (SYSTEMIC LUPUS

ERYTHEMATOSUS)”.

Di dalam penulisan makalah ini, penyusun mendapat banyak bantuan dari

pihak lain karena itu kritik serta saran dari para pembaca sangat di perlukan demi

kemajuan pada pembuatan makalah berikutnya. Semoga Allah SWT dapat

memberikan balasan yang setimpal atas bimbingan dan bantuan yang telah di

berikan kepada penulis. Akhirnya penyusun mengharapakan semoga makalah

Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tanjungpinang, 05 Febuari 2021

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..............................................................................................1

1.2 Tujuan............................................................................................................3

1.3 Manfaat..........................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Integumen............................................................4

2.2 Reaksi Autoimun..........................................................................................11

2.3 Reaksi Hipersensitivitas...............................................................................19

2.4 Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus Erythematosus)................................35

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan......................................................................74

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................................85

3.2 Saran............................................................................................................85

DAFTAR ISI

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 LATAR BELAKANG

Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini

adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa

latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam

bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit

kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan

anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama “Lupus”.

Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan

kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia

terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100

ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk

menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika kekebalan

tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan

dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius, lebih

dari 5 juta orang dalam usia produktif diseluruh dunia telah terdiagnosis

menyandang lupus atau SLE (Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit

auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan

target organ atau system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit

1000 wajah.

1
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per

100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS

ciptomangunkusumo Jakarta, dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991

sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5

juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari

100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki dan perempuan. 90% kasus

SLE menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun

selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.

Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus

biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah pnderita lupus dan

sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak

menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ

tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan

berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari. Semua itu merupakan

sebagian dari gejala penyakit lupus.

Factor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah factor

lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis- jenis obat dan

virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum

pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat berpergian, penderita memakai sun

block atau sun screen (Pelindung kulit dari sengatan sinar matahari) pada bagian

kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit

autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang

ditimbulkan.

2
3
1. 2 TUJUAN

1) Tujuan Umum

Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus.

2) Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus

b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus

c. Mengetahui tentang anfis system imunitas

d. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus

e. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus

f. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus

g. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus

h. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus

i. Mengetahui konsep asuhan keperawatan systemic lupus

erythematosus

1. 3 MANFAAT

Dapat mengetahui secara umum atau konsep dasar dan Asuhan

Keperawatan pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 ANATOMI FISIOLOGI SISTEM INTEGUMEN

A. Pengertian

Kulit adalah organ terbesar dari tubuh yang merupakan 16 % dari total

berat tubuh dengan luas permukaan 1,8 m2. Kulit memiliki beberapa

fungsi yang paling penting sebagai penghalang fisik terhadap lingkungan,

memungkinkan dan membatasi aliran air, elektrolit dan berbagai zat yang

masuk atau keluar, memberikan perlindungan terhadap mikroorganisme,

radiasi ultraviolet, zat toksik dan gangguan mekanik. Ada tiga lapisan

struktural pada kulit yaitu epidermis, dermis dan subkutis. Rambut, kuku,

sebaceous, keringat dan kelenjar apokrin dianggap sebagai turunan dari

kulit. Kulit adalah organ yang dinamis dalam keadaan dan perubahan

yang konstan, seperti sel-sel luar terus mati dan digantikan oleh sel-sel

dalam yang bergerak ke permukaan. Meskipun secara struktural konsisten

di seluruh tubuh, ketebalan kulit bervariasi sesuai anatomi dan usia

indvidu (James et al.,2006).

5
Gambar 2. 1 Struktur dan anatomi kulit (James et al.,2006)

Gambar 2. 2 Struktur kulit terperinci dari (A)

epidermis ditunjukkan dengan lapisan stratum dan

(B) komposisi seluler dan dermis ditunjukkan, (C)

Dermal Fibroblast (Meenaski et al.,2017)

1. Epidermis

6
Epidermis adalah epitel squamosa, sel-sel

utama epidermis adalah keratinosit yang

mensisntesis protein keratin. Ketebalan

epidermis bervriasi dari 0,05 mm pada kelopak

mata dan 0,8 ± 1,5 mm pada telapak kaki dan

telapak tangan. Lapisan epidermis dari bawah ke

atasa permukaan terdiri menjadi empat lapisan

yaitu:

a. Stratum basal (lapisan sel basal atau

germinativum)

Stratum basal merupakan lapisan

paling dalam dari epidermis yang

terletak berdekatan dengan dermis. Sel

basal adalah bagian kulit yang

memproduksi pigmen (melanin)

melanosit. Melanin terakumulasi dalam

melanosom yang ditransfer ke

keratinosit. Pigmen melanin memberikan

perlindungan terhadap radiasi ultraviolet

(UV); paparan kronis terhadap cahaya

meningkatkan rasio melanosit ke

keratinosit sehingga lebih banyak

ditemukan di kulit wajah dibandingkan

7
dengan punggung dan jumlah yang lebih

besar pada lengan luar dibandingkan

dengan lengan dalam. Jumlah melanosit

pada bagian tubuh sama pada warna kulit

putih dan hitam tetapi distribusi dan laju

prouksi melanin yang berbeda.

b. Stratum spinosum (lapisan sel

spinous atau prickle)

Saat sel basal berproduksi dan

menjadi dewasa, bergerak menuju

lapisan luar kulit, awalnya membantuk

stratum spinosum. Terdiri dari sel

langerhans yaitu sel dendritik, sel-sel

aktif secara imunologis yang berasal dari

sumsum tulang dan memegang peranan

penting dalam reaksi kekebalan pada

kulit.

c. Stratum granulosum (lapisan sel

granular)

Melanjutkan transisi untuk

meratakan permukaan sel, sel kehilangan

8
nukleus dan sitoplasma tampak granular

pada tingkat ini.

d. Stratum corneum (lapisan tanduk)

Hasil akhir dari maturasi keratinosit

ditemukan di stratum korneum yang

terdiri dari lapisan-lapisan yang

berbentuk heksagonal. Setiap korneosit

dikelilingi oleh selubung protein dan

dilapisi dengan keratin penahan protein

air. Pergerakan sel epidermis ke lapisan

ini biasanya memakan waktu sekitar 28

hari dan dikenal sebagai waktu transit

epidermis.

2. Penghubung Dermoepidermal/

Membran dasar

Dermoepidermal merupakan struktur

kompleks yang terdiri dari dua lapisan.

Strukturnya sangat tidak beraturan dengan

papilla dermal dari papiler dermis

diproyeksikan ke permukaan kulit. Tanda-tanda

visual penuaan akan mulai nampak pada

lapisan ini.

9
3. Dermis

Dermis terdiri dari blast yang menghasilkan

kolagen, elastin dan struktural proteoglikan.

Berasal dari sel mast dan makrofag yang

imunokompeten. Elastin mempertahankan

elastisitas normal dan fleksibilitas sementara

proteoglikan memberikan viskositas dan

hidrasi. Ketebalan dermis bervariasi antara 0,6

mm pada kelopak mata hingga 3 mm bagian

belakang telapak tangan dan kaki. Dermis

terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler

tipis dan lapisan recticular yang lebih tebal.

4. Subkutan

Lapisan ini terdiri dari jaringan ikat longgar

dan lemak yang bisa mencapai 3 cm di area

perut.

5. Pembuluh darah dan limfatik

Dermis menerima suplai darah yang kaya.

Pembuluh darah mengalir ke jaringan vena

mid-dermal dan subkutan.Dilatasi atau

penyempitan loop kapiler ini memainkan

peranan langsung dalam termoregulasi kulit.

10
B. Fungsi Kulit

1. Perlindungan

Perlindungan dan perbaikan yang dilakukan terutama oleh

keratinosit sementara perlindungan UV oleh melanosit. lapisan

subkutan melindungi organ tubuh yang lebih dalam. Gesekan pada

kulit dengan benda tumpul dapat menyebabkan respons garis putih

yang terutama disebabkan oleh penyempitan kapiler. Pelepasan

histamin yang bertindak sebagai vasodilator sebagai respons lokal

terhadap cedera.

2. Warna kulit diberikan oleh melanosit yang mengandung

melanin.

3. Pengaturan suhu dan ekskresi produk limbah

Kelenjar keringat menghasilkan keringat yang mengandung

urea dan air dan berperan dalam pengaturan suhu. untuk

memfasilitasi kehilangan panas pada suhu panas, pembuluh darah

di kulit membesar dan kelenjar keringat menjadi aktif. sebagai

alternatif, pada suhu dingin pembuluh darah kulit mengerut untuk

menghemat panas dan tubuh membakar lemak yang disimpan

dalam jaringan adiposa.

4. Lubricant

Lubricant kulit disediakan oleh kelenjar sebaceous yang

menghasilkan zat berminyak yang dikenal sebagai sebum.

11
penyumbatan dan infeksi pada kelenjar ini dapat menyebabkan

kondisi seperti jerawat.

5. Imunitas

Sel langerhans di kulit adalah sel dendritik yang mengambil

antigen mikroba di kulit untuk berubah menjadi sel penyaji

antigen dan memberikan kekebalan dengan berinteraksi dengan sel

T.

6. Penyimpanan

Kulit adalah organ yang dapat menyimpan dengan cepat untuk

cadangan. Hal ini biasanya terdapat pada lapisan subkutan.

7. Sensasi

Terjadi melalui struktur khusus yang dikenal sebagai

mechanoreceptors.

8. Sintesis vitamin D

Kulit adalah sumber yang kaya 7-dehydrocholesterol dan di

bawah pengaruh sinar UV diubah menjadi vitamin D

(cholecalciferol) yang dicerna terutama dari makanan seperti susu

dan produk susu.

9. Estetika

12
Kulit dapat dilihat sebagai mode dari komunikasi atau daya

tarik.

10. Penyerapan

Kulit memiliki kemampuan menyerap oksigen dan air. obat-

obatan tertentu seperti steroid topikal yang dioleskan dapat diserap

melalui permukaan kulit.

2. 2 REAKSI AUTOIMUN

A. Definisi

Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan dalam

tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Reaksi

autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan

sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang

dibentuk disebut autoantibody.

B. Teori- Teori Autoimun

1. Teori Sequestered antigen atau hidden antigen

Sequestered antigen atau hidden antigen adalah antigen yang

karena sawar anatomic tak pernah berhubungan dengan sistem

imun. Misalnya antigen sperma, lensa mata dan saraf pusat. Bila

sawar rusak dapat timbul penyakit autoimun.

2. Teori Defisiensi imun

13
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena

adanya gangguan system limfoid. Penyakit autoimmune sering

ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun. Misalnya pada usia

lanjut

3. Determinan antigen baru

Pembentukan autoantibodi dapat dicetuskan oleh karena

timbul determinan antigen barupada protein normal. Contohnya

autoantibodi yang timbul akibat hal tersebut adalah faktor

rematoid. Faktor rematoid di bentuk dalam determinan antigen

yang terdapat pada imunoglobulin.

4. Reaksi Silang dengan Mikroorganisme

Kerusakan jantung pada demam rematik anak , diduga terjadi

akibat produksi antigen yang bereaksi silang dengan miocard

penderita

5. Virus sebagai pencetus Autoimunitas

Virus yang terutama menginfeksi sistem limfoid dapat

mempengaruhi mekanisme kontrol imunologik sehingga terjadi

autoimunitas.

6. Autoantibody dibentuk Sekunder akibat Kerusakan jaringan

Autoantibody terhadap jantung ditemukan pada jantung infark.

Pada umumnya kadar autoantibody dapat dibentuk pola terhadap

14
antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung.Pada

tuberculosis Dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan

luas pada berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody

terhadap antigen jarinagan dalam kadar gula yang rendah.

C. Etiologi

Senyawa yang ada di badan dan normalnya dibatasi di area tertentu

(dan disembunyikan dari sistim kekebalan tubuh) kemudian dilepaskan

pada aliran darah. Misalnya: pukulan kemata bisa membuat cairan bola

mata dilepas pada aliran darah. Cairan merangsang system kekebalan

tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing, dan menyerangnya.

i Senyawa normal ditubuh berubah, misalnya oleh virus, obat,

sinar matahari atau radiasi. Sel tubuh yang diserang oleh tubuh

atau bakteri akan merangsang kekebalan tubuh untuk

menyerangnya.

ii Senyawa asing yang menyerupai senyawa alami tubuh

mungkin memasuki tubuh. Sistim kekebalan tubuh yang

kurang hati – hati dapat mengakibatkan senyawa mirip tubuh

sebagai sasaran. Misalnya: Bakteri penyebab penyakit

kerongkongan mempunyai beberapa anti gen,yang mirip

denagan ati gen sel jantung manusia.

15
iii Sel yang mengontrol produksi anti bodi misalnya limfosit B,

mungkinn rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang

menyerang beberapa sel badan.

iv Keturunan mungkin terlibat dalam beberapa kerancauan

autoimun. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeksi

virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan

berkembang.

D. Gejala

Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi gejala

berfariasi bergantung pada gangguan dari bagian badan yang diserang.

Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu dari jaringan

tubuh diseluruh tubuh misalnya pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit.

Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa

sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal,

kerusakan pernapasan, penumpukan cairan, bahkan menyebabkan

kematian.

E. Macam Gangguan Autoimun

1. Anemia hemolitik autoimun

Jaringan yang terkena adalah Sel darah merah dan

konsekwensinya adalah Anemia (berkurangnya jumlah sel darah

merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit

16
kepala ringan. Limpa mungkin membesar. Anemia bisa hebat dan

bahkan fatal.

2. Bullous Pemphigoid

Jaringan yang terkena adalah Kulit dan konsekwensinya

adalah Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang

pemphigoid merah, terbentuk di kulit. Gatal biasa. Dengan

pengobatan, prognosis baik.

3. Sindrom Goodpasture

Jaringan yang terkena adalah Paru-paru dan ginjal dan

konsekwensinya adalah Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk

darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang.

Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-

paru atau ginjal hebat terjadi.

4. Penyakit Graves

Jaringan yang terkena adalah Kelenjar tiroid dan

konsekwensinya adalah Kelenjar gondok dirangsang dan

membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid

(hyperthyroidism). Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat,

tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasa.

Dengan pengobatan, prognosis baik.

5. Tiroiditis Hashimoto

17
Jaringan yang terkena adalah Kelenjar tiroid dan

konsekwensinya adalah Kelenjar gondok meradang dan rusak,

menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism).

Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke

dingin, dan mengantuk. Pengobatan seumur hidup dengan hormon

thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.

6. Multiple Sclerosis

Jaringan yang terkana adalah Otak dan spinal cord dan

konsekwensinya adalah Seluruh sel syaraf yang terkena rusak.

Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti

biasanya. Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal,

kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan

sukar menahan hajat. Gejala berubah-ubah tentang waktu dan

mungkin datang dan pergi. Prognosis berubah-ubah.

7. Myasthenia Gravis

Jaringan yang terkena adalah Koneksi antara saraf dan otot

(neuromuscular junction) dan konsekwensinya adalah Otot,

teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan

mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola

progresivitas bervariasi secara luas. Obat biasanya bisa

mengontrol gejala.

8. Pemphigus

18
Jaringan yang terkena adalah Kulit dan konsekwensinya

adalah Leupuh besar terbentuk di kulit. Gangguan bisa

mengancam hidup.

9. Pernicious

Jaringan yang terkena adalah anemia dan konsekwensinya

adalah Sel tertentu disepanjang perut Kerusakan pada sel

sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12.

(Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan

sel syaraf). Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan

kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan. Syaraf bisa rusak,

menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi. Tanpa

pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya

menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan

hajat. Risiko kanker perut bertambah. Juga, dengan pengobatan,

prognosis baik.

10. Rheumatoid Arthritis

Jaringan yang terkena adalah Sendi atau jaringan lain seperti

jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung konsekwensinya

adalah Banyak gejala mungkin terjadi. Termasuk demam,

kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk

sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak,

rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit. Progonosis bervariasi

19
11. Systemic lupus

Jaringan yang terkena adalah Erythematosus (lupus) dan

konsekwensinya adalah sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung,

otak dan sel darah Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi

cacat. Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-

headedness, dan yang dipunyai ginjal, paruparu, atau jantung

mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa

sakit dada, mungkin terjadi. Bercak mungkin timbul. Ramalan

berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa

menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang

kekacauan.

12. Diabetes mellitus tipe 1

Jaringan yang terkena adalah Sel beta dari pankreas (yang

Memproduksi insulin) dan konsekwensinya adalah Gejala

mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan

selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka

panjang. Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan,

sekalipun perusakan sel pancreas berhenti, karena tidak cukup sel

pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup.

Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek

kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.

13. Vasculitis

20
jaringan yang terkena adalah Pembuluh darah dan

konsekwensinya adalah Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh

darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal,

paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam.

Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat

badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala,

kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan

ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi.

Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan

rusak. Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan.

2. 3 REAKSI HIPERSENSITIVITAS

A. Definisi

Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat,

pada reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan

menyebabkan respons fisiologis yang tidak menguntungkan (Behrman,

2000).

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral

maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi

berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan

suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas

(Indonesia Children, 2009).

21
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi

dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda

asing.

B. Reaksi Hipersensitivitas

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi

menjadi 4 tipe, yaitu tipe

1. Hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang

bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani

kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated

(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi

yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs

adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi

suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat

mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu

mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

a. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang biasa

disebut dengan reaksi anafilaksis merupakan reaksi

yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan

alergen. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam

tubuh akan menimbulkan respon imun dengan

22
dibentuknya Ig E. Reaksi ini terjadi secara cepat (secara

khusus hanya dalam bilangan menit). Antigen bereaksi

dengan antibodi IgE yang terikat ke permukaan sel

mast, menyebabkan pelepasan mediator yang

dikandungnya diantaranya histamin, eosinophil

chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan

neutrophil chemoctatic factor (NCF). Urutan kejadian

reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

i Fase Sensitasi

Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan

IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada

permukaan sel mastosit dan basofil.

ii Fase Aktivasi

Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan

antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya

yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

iii Fase Efektor Waktu terjadi respon yang

kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-

bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi

farmakologik. Histamin dibentuk dari asam

amino histidin dengan perantaraan enzim

histidine dekarboksilase. Setelah

23
dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah

secara enzimatik serta berada dalam jumlah

kecil dalam cairan jaringan dan plasma.

Kadar normal dalam plasma adalah kurang

dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat

sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi

dengan alergen. Gejala yang timbul akibat

histamin dapat terjadi dalam beberapa menit

berupa rangsangan terhadap reseptor saraf

iritan, kontraksi otot polos, serta

peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh

bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal,

hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang

diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan

kontraksi otot polos bronkus yang

menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit

adalah reaksi gatal berupa wheal and flare,

dan pada saluran cerna adalah hipersekresi

asam lambung, kejang usus, dan diare.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera

sesudah tubuh terpajan dengan allergen

24
iv biasanya adalah asma bronchial, alergi,

anafilaksis, diare, dan dermatitis.

b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi

karena dibentuknya antibody jenis IgG atau IgM

terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.

Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik

dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau

antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung

dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan

diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel

mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi

dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II

ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi

transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan

kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.

Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut:

i Fagositosis sel melalui proses apsonik

adherence atau immune adherence

ii Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K

(Killer cell) Lisis sel karena bekerjanya

seluruh sistem komplemen. Contoh reaksi

hipersensitivitas tipe II

25
iii Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia

dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB

dan O. Selanjutnya diketahui bahwa

golongan A mengandung antibodi (anti B

berupa Ig M) yang mengaglutinasikan

eritrosit golongan B, darah golongan B

mengandung antibody (anti A berupa Ig M)

yang mengaglutinasikan eritrosit golongan

A, golongan darh AB tidak mengandung

antibodi terhadap antigen tersebut dan

golongan darh O mengandung antibodi (Ig

M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan

eritrosit golongan A dan B. Antibodi

tersebut disebut isohemaglutinin. Aglutinin

tersebut timbul secara alamiah tanpa

sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling

sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada

ketidakcocokan transfusi darah golongan

ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu

reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi

panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria,

syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat

26
pula terjadi akibat membrane sel yang

menimbun dan efek toksik dan kompleks

haem yang lepas.

iv Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi

inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi

baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang

inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika

anak yang dikandung oleh ibu Rh-

menpunyai darah Rh+ maka anak akan

melepas sebagian eritrositnya ke dalam

sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang

sudah disensitasi yang akan membentuk anti

Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan

anak yang dikandung kemudian. Hal ini

karena IgG dapat melewati plasenta. IgG

yang diikat antigen Rh pada permukaan

eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan

aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi

Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi

dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya

terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan

bayi lahir kuning, Transfusi untuk

27
mengganti darah sering diperlukan dalam

usaha menyelamatkan bayi.

v Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum

diketahui, beberapa orang membentuk Ig

terhadap sel darah merah sendiri. Melalui

fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,

terjadi anemia yang progresif. Antibodi

yang dibentuk berupa aglutinin panas atau

dingin, tergantung dari suhu yang

dibutuhkan untuk aglutinasi.

vi Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan

diikat pada permukaan eritrosit yang

menimbulkan pembentukan Ig dan

kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat

mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk

terhadapnya akan menghancurkan trombosit

dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol

dapat mengikat sel darah putih, phenacetin

dan chloropromazin mengikat sel darah

merah.

vii Sindrom Goodpasture

28
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan

antibodi yang bereaksi dengan membrane

basal glomerulus dan paru. Antibodi

tersebut mengendap di ginjal dan paru yang

menunjukkan endapan linier yang terlihat

pada imunoflouresen. Ciri sindrom ini

glomerulonefritis proliferatif yang difus dan

peredaran paru. Perjalanannya sering fatal.

Dalam penanggulangannya telah dicoba

dengan pemberian steroid, imunosupresan,

plasmaferisis, nefektomi yang disusul

dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini

merupakan penyakit auroimun yang

membentuk antibodi terhadap membrane

basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah

mengalami infeksi streptococ.

viii Myasthenia gravis Penyakit dengan

kelemahan otot yang disebabkan gangguan

transmisi neuromuskuler, sebagian

disebabkan oleh autoantibodi terhadap

reseptor astilkoli.

ix Pempigus

29
Penyakit autoimun yang disertai antibodi

tehadap desmosom diantara keratinosit yang

menimbulkan pelepasan epidermis dan

gelembung-gelembung.

c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun

adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-

antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/

dinding pembuluh darah dan mengaktifkan

komplemen. Antibodi yang bisa digunakan

sejenis IgM atau IgGs sedangkan komplemen

yang diaktifkan kemudian melepas faktor

kemotatik makrofag. Penyebab reaksi

hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi,

terdiri dari:

i Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba,

dimana tempat kompleks mengendap

adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

ii Autoimunitas

Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri,

dimana tempat kompleks mengendap

adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

30
iii Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh

adalah antigen lingkungan. Dimana

tempat kompleks yang mengendap adalah

paru. Reaksi hipersensitivitas tipe III

sebagai bentuk penggabungan bentuk

antigen dan antibodi dalam tubuh akan

mengakibatkan reaksi peradangan akut.

Jika komplemen diikat, anafilaktoksin

akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan

C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan

pelepasan histamin serta perubahan

permeabilitas pembuluh darah.

Faktorfaktor kemotaktik juga dihasilkan,

ini akan menyebabkan pemasukan

leukosit-leukosit PMN yang mulai

menfagositosis kompleks-kompleks

imun. Deretan reaksi diatas juga

mengakibatkan pelepasan zat-zat

ekstraselular yang berasal dari granula-

granula polimorf yakni berupa enzim-

enzim proteolitik (termasuk kolagenase

dan protein-protein netral), enzim-enzim

31
pembentukan kinin protein-protein

polikationik yang meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah melalui

mekanisme mastolitik atau histamin

bebas. Hal ini akan merusak jaringan

setempat dan memperkuat reaksi

peradangan yang ditimbulkan. Kerusakan

lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi

lisis dimana C567 yang telah diaktifkan

menyerang sel-sel disekitarnya dan

mengikat C89. Dalam keadaan tertentu,

trombosit akan menggumpal dengan dua

konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang

menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan

juga membentuk mikrotrombi yang dapat

mengakibatkan iskemia setempat.

Kompleks antigen- antibodi dapat

mengaktifkan beberapa sistem imun

sebagai berikut:

a) Aktivasi komplemen

1) Melepaskan anafilaktoksin

(C3a,C5a) yang merangsang

32
mastosit untuk melepas

histamine

2) Melepas faktor kemotaktik

(C3a,C5a,C5-6-7)

mengerahkan polimorf yang

melepas enzim proteolitik dan

enzim polikationik

d. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi

hipersensitivitas lambat, cell mediatif

immunity (CMI), Delayed Type

Hypersensitivity (DTH) atau reaksi

tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam

setelah tubuh terpajan dengan antigen.

Reaksi terjadi karena sel T yang sudah

disensitasi tersebut, sel T dengan

reseptor spesifik pada permukaannya

akan dirangsang oleh antigen yang

sesuai dan mengeluarkan zat disebut

limfokin. Limfosit yang terangsang

mengalami transformasi menjadi besar

seperti limfoblas yang mampu merusak

sel target yang mempunyai reseptor di

33
permukaannya sehingga dapat terjadi

kerusakan jaringan. Antigen yang dapat

mencetuskan reaksi tersebut dapat

berupa jaringan asing (seperti reaksi

allograft), mikroorganisme intra seluler

(virus, mikrobakteri, dll). Protein atau

bahan kimia yang dapat menembus kulit

dan bergabung dengan protein yang

berfungsi sebagai carrier. Selain itu,

bagian dari sel limfosit T dapat

dirangsang oleh antigen yang terdapat di

permukaan sel di dalam tubuh yang telah

berubah karena adanya infeksi oleh

kuman atau virus, sehingga sel limfosit

ini menjadi ganas terhadap sel yang

mengandung antigen itu (sel target).

Kerusakan sel atau jaringan yang

disebabkan oleh mekanisme ini

ditemukan pada beberapa penyakit

infeksi kuman (tuberculosis, lepra),

infeksi oleh virus (variola, morbilli,

herpes), infeksi jamur (candidiasis,

histoplasmosis) dan infeksi oleh

34
protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).

Antigen ini mungkin berhubungan atau

telah diolah oleh sel makrofag

danbereaksi dengan reseptor di

permukaan sel limfosit yang pernah

berkontak dengan antigen yang sama dan

beredar sebagai sel memori. Setelah

berkontak dengan antigen, sel itu

berubah menjadi blast cell dan

mengalami mitosis sambil mengeluarkan

zat-zat sebagai berikut:

1) Macrophage inhibition factor

(MIF)

Zat ini dapat mengalami

migrasi sel makrofag in vitro

serta mengubah morfologi

dan sifat sel itu menjadi

sangat aktif. Zat ayng

menyebabkan perubahan ini

adalah Macrophage

Activation Factor (MAF),

sehingga sel makrofag

tersebut menjadi lebih efektif

35
untuk mematikan kuman

yang telah difagositosis

olehnya. Hal yang serupa

terjadi pada sel tumor dimana

sel makrofag dirangsang oleh

zat yang dinamakan Spesific

Macrophage Arming Factor

(SMAF).

2) Monocyte chemotactic factor

Sel monosit akan bergerak ke

arah dimana terdapat

konsentrasi tinggi dari zat itu.

3) Skin reactive factor

Meninggikan permeabilitas

pembuluh darah yang

menyebabkan eksudasi sel

leukosit.

4) Faktor lain

Terdapat pula faktor yang

merangsang mitosis pada sel

limfosit netral yang bersifat

sitotoksik terhadap beberapa

sel. Untuk tipe IV diperlukan

36
masa sensitasi selama 1 – 2

minggu, yaitu untuk

meningkatkan jumlah klon

sel T yang spesifik untuk

antigen tertentu. Antigen

tersebut harus dipresentasikan

terlebih dahulu oleh APC.

Kontak yang berulang akan

menimbulkan rentetan reaksi

yang menimbulkan kelainan

khas dari CMI.

2. 4 KONSEP DASAR SLE (SYSTEMISC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

A. Pengertian

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan

multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan

imunologi dan berbagai manifestasi klinis (Krishnamurthy, 2011).

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik

(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang

penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).

Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun

pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang

37
jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang

inti sel (Matt,2003).

B. Etiologi

Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa

factor yang terlibat seperti factor genetic,obatobatan,hormonal dan

lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh

kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan

tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat

menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan

dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun

sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan

gangguan mendasar dalam pemeliharaan selftolerance bersama aktifitas

sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor:

a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B

b. Hiperaktivitas sel T helper

c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE

1. Factor genetic

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal

sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan.

Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh

studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar

38
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,

risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada

individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali

lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok

gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major

Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human

Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.

Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen

merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan

SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan

berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa

defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko

lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian

National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan

untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan

pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti

berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang

diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan

jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.

2. Faktor Imunologi

a. Antigen

39
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC

(Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen

kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang

berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada

struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi

normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor

yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali

perintah dari sel T.

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel

T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu

limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan

memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit

mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi

imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

c. Kelainan antibody

Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi

pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak,

idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk

memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya

peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih

mudah mengendap di jaringan.

40
3. Factor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang

bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor

lingkungan tersebut terdiri dari:

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan

dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari

Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan

Clebsiella.

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,

sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE

dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel

pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga

terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui

peredaran pembuluh darah.

c. Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang

sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini

dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu Ketika

seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan

41
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem

autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.

d. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.

Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus

dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa

metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai

faktor resiko terjadinya SLE.

e. Factor farmakologi

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu

dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).

Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya

kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid

Musai (2010).

C. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas

a. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh

Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh

untuk menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari

lingkungan, yang asing bagi tubuh kita.

b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

42
Gambar 2.1

Organ imunitas

Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

meliputi organ-organ penghasil sel-sel pertahanan tubuh.

Organorgan tersebut adalah sumsum tulang, kelenjar timus,

limpa, dan tonsil.

a) Sumsum tulang

Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel

penting bagi tubuh. Di dalam sumsum tulang dihasilkan

berbagai jenis sel yang berperan dalam pertahanan tubuh.

Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan

dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam

43
penggumpalan darah, dan sebagian lagi berperan dalam

penguraian senyawa.

b) Kelenjar timus

Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas

jantung dan paru-paru. Dalam system limfatik, kelenjar timus

merupakan organ yang penting, terutama pada bayi yang baru

lahir karena organ tersebut mengatur perkembangan limpa

dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan

mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang

penting. Menurut pengamatan biologis,kelenjar timus tampak

seperti organ biasa tanpa suatu fungsi khusus. Meskipun

demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki fungsi yang

teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk

dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer

informasi. Informasi ini berguna untuk mengenali

karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini, limfosit dilatih

untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram

untuk membentuk antibody melawan mikroorganisme

spesifik. Terakhir, limfosit yang bermuatan informasi itu

meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian, ketika

limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel

yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan

membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing.

44
c) Limpa

Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan

terletak di sisi kiri bagian atas abdomen, di antara rusuk

terbawah serta lambung. Di dalam limpa terdapat pembuluh

limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah

menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan

benda-benda asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit

dan antibody. Limfosit yang telah dibuat limpa akan

mengikuti aliran darah.

Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag (sel

pembersih). Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah

merah atau sel-sel darah lainnya yang rusak dan tua, serta

bahan- bahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di dalam

limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel

darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin (pigmen

empedu)

d) Tonsil

45
Gambar 2.2

Tonsil

Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan

penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada

yang terletak di dekat dasar lidah, di bagian kiri dan kanan

pangkal tenggorok (disebut amandel) serta di rongga hidung

(disebut polip). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh

terhadap infeksi (sebagai penghasil limfosit) yang dapat

tersebar dari hidung, mulut dan tenggorok. Tonsil dapat

meradang jika sedang “bertempur” melawan bibit penyakit.

c. Mekanisme system pertahanan tubuh

System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system

pertahanan tubuh nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik

a) Pertahanan tubuh nonspesifik

Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal

masuknya segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh,

yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh (penyakit) tanpa

membedakan jenis zat atau bahan asing tersebut. Contoh zat-zat

asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang berbahaya

bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara

lain pertahanan fisik (kulit dan selaput lendir), kimiawi (enzim

dan keasaman lambung), mekanis (gerakan usus dan rambut

46
getar selaput lendir), fagositosis (penelanan kuman atau zat

asing oleh sel darah putih), serta zat komplemen yang berfungsi

pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing.

Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan

eksternal dan pertahanan internal. Pertahanan eksternal

merupakan pertahanan tubuh sebelum mikroorganisme atau zat

asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan internal merupakan

pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh setelah

mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh.

i Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal

Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi

kulit dan lapisan mukosa berbagai organ.

a Kulit

Gambar 2.3

Mekanisme interferon melawan virus

47
Pertahanan tubuh terhadap infeksi

Ketika suatu bagian kulit terluka dan dua

kapiler pecah. Fungsi kulit bagi pertahanan

tubuh adalah ibarat banteng pertahanan

yang kuat dalam peperangan. Di samping

berfungsi melindungi tubuh dari panas,

dingin, dan sinar matahari, kulit juga

memiliki kemampuan untuk melindungi

tubuh dari mikroorganisme yang

merugikan. Fungsi perlindungan utama kulit

diwujudkan lewat lapisan sel mati yang

merupakan bagian terluar kulit. Setiap sel

baru yang dihasilkan oleh pembelahan sel

bergerak dari bagian dalam kulit menuju ke

permukaan luar.

Selain itu, sel-sel kulit juga mampu

menghasilkan suatu protein kuat yang

disebut keratin. Senyawa keratin

mempunyai struktur yang sangat kuat dank

eras sehingga kulit didekomposisi oleh

berbagai mikroorganisme pathogen.

Keratain tersebut terdapat pada sel-sel mati

yang selalu lepas dari permukaan kulit dan

48
digantikan oleh sel-sel berkeratin yang baru.

Sel-sel baru yang berasal dari bawah

menggantikan sel=sel yang sudah using

sehingga membentuk penghalang yang

tidak dapat tembus.

Di samping memberikan

perlindungan secara fisik, kulit juga

member perlindungan secara kimia. Kulit

menghasilkan keringat dan minyak yang

memberikan suasana asam pada kulit. Hal

itu dapat mencegah tumbuhnya

mikroorganisme pathogen pada kulit.

Keringat menyediakan zat makanan bagi

bakteri dan jamur tertentu yang hidup

sebagai mikroflora normal pada kulit dan

menghasilkan bahan-bahan sisa bersifat

asam, seperti asam laktat, yang membantu

menurunkan tingkat pH (keasaman) kulit.

Media bersifat asam di permukaan kulit ini

menciptakan lingkungan yang tidak

bersahabat bagi mikroorganisme berbahaya.

Bagaimana jika kulit terluka? kulit yang

terluka merupakan salah satu jalan

49
masuknya mikroba asing ke dalam tubuh.

Meskipun demikian, kulit juga memiliki

respons untuk segera memperbaiki jaringan

kulit yang terluka secara cepat. Ketika

terjadi luka, sel-sel pertahanan tubuh akan

segera bergerak ke daerah luka untuk

menerangi mikroba asing serta membuang

sisasisa jaringan yang sudah rusak.

Kemudian, sejumlah sel pertahanan lainnya

akan memproduksi benang-benang fibrin,

yaitu suatu protein yang berfungsi untuk

menutup kembali luka.

b Membran Mukosa

Semua saluran tubuh yang memiliki kontak

langsung dengan lingkungan luar, seperti

saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran

ekresi, ataupun saluran reproduksi selalu

memiliki organ-organ yang dilapisi oleh lapisan

mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada

berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting

dalam mencegah masuknya berbagai mikroba

asing yang berbahaya. Berikut ini adalah

50
beberapa contoh pertahanan yang dilakukan

lapisan mukosa.

Saluran pencernaan merupakan salah satu

pintu gerbang masuknya berbagai mikroba

asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam

tubuh bersama dengan makanan yang kita

makan. Mikroba yang masuk bersama makanan

dan sampai di lambung akan mendapat

“kejutan” yang berupa asam klorida (HCI) atau

asam lambung yang di hasilkan oleh lapisan

mukosa lambung. Asam lambung menyebabkan

sebagian besar mikroba asing yang masuk ke

lambung tidak dapat bertahan hidup. Sebagian

mikroba asing tersebut mungkin berhasil

selamat dari pengaruh asam lambung karena

mereka tidak terpapar langsung oleh asam

lambung atau karena mereka mempunyai daya

tahan terhadap asam lambung. Meskipun

begitu, mikroba yang lolos itu akan segera

menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus

halus.

Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran

respirasi, misalnya trakea, juga merupakan

51
pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan

mukosa pada trakea menghasilkan mucus yang

berupa cairan kental yang berguna untuk

menjerat mikroba asing ataupun partikel asing

lainnya yang masuk bersama udara pernafasan.

Di samping itu, pada lapisan mukosa trakea

terdapat sel-sel epitel bersilia yang dapat

bergerak untuk mengeluarkan mukus yang

sudah membawa mikroba agar tidak menuju

paru-paru.

Pada mata terdapat kelenjar penghasil air

mata yang banyak mengandung enzim lisozim.

Enzim ini dapat merusak dinding sel bakteri

sehingga bakteri tidak dapat masuk menginfeksi

mata.

Di samping menyediakan pertahanan fisik

dan kimiawi, pada kulit dan lapisan mukosa

juga terdapat mikroorganisme yang secara

alami menempati bagian tertentu tubuh kita.

Mikroorganisme ini di kenal denganistilah

mikroflora normal. Mereka tidak

membahayakan tubuh kita, justru secara tidak

langsung menguntungkan karena turut

52
membantu system pertahanan tubuh kita.

Banyak mikroorganisme lain yang tidak

merugikan yang hidup dalam tubuh manusia.

Mikroorganisme tersebut memberikan

dukungan bagi system pertahanan tubuh dengan

cara mencegah mikroba asing berdiam dan

berkembang biak di dalam tubuh karena

masuknya mikroba asing tersebut merupakan

ancaman bagi mikroflora normal tubuh.

ii Pertahanan Nonspesifik Internal

Tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing

dapat di tahan oleh kulit ataupun lapisan mukosa

sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam tubuh.

Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu

dengan pertahanan tubuh nonspesifik internal yang

terdiri dari atas aksi fagositosis, respon peradangan,

sel natural killer (NK), dan senyawa anti mikroba.

a) Fagosistosis

Fagosistosis merupakan mekanisme

penelanan benda asing, terutama mikroba, oleh

sel-sel tertentu. Khususnya sel-sel darah putih

(Ingat lagi pelajaran tentang system sirkulasi).

53
Berbagai sel yang dapat melakukan fagositosis,

antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan

eosinofil.

b) Respon Peradangan

Pernahkah salah satu bagian tubuh anda

terluka dan pada bagian yang terluka tersebut

terjadi pembengkakan yang berwarna

kemerahan? Itulah yang di sebut dengan

peradangan (inflamasi). Peradangan adalah

tanggapan atau respon cepat setempat terhadap

krusakan jaringan yang di sebabkan oleh teriris,

tergigih, tersengat, ataupun infeksi

mikroorganisme. Tanda-tanda suatu bagian

tubuh mengalami peradangan, antara lain

berwarna kemerahan, terasa nyeri, panas, dan

membengkak. Mengapa respons peradangan

juga merupakan salah satu bentuk pertahanan

tubuh dan bagaimanakah terjadinya peristiwa

peradangan tersebut?

Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi

mikroba akan menyebabkan pembuluh darah

arteriola prakapiler mengalami dilatasi

54
(pelebaran serta peningkatan permeabilitas)dan

pembuluh venula pascakapiler menyempit. Hal

itu akan meningkatkan aliran darah pada pada

daerah yanh terluka sehingga bagian tersebut

meningkat suhunya dan berwarna kemerahan.

Sementara itu, pembekakan (udema) pada

bagian yang meradangdisebabkan oleh

meningkatnya cairan yang keluar dari jaringan

akibat peningkatan permeabilitas kapiler darah.

Pelebaran dan peningkatan pemeabilitas

pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia

histamin. Sember utama histamine adalah sel-

sel mast (sel-sel besar pada jaringan ikat) dan

basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama

dengan keeping-keping darah melekat pada

pembuluh darah yang rusak.

Pelebaran diameter dan pemeabilitas

pembuluh darah akan meningkatkan laju aliran

darah dan unsureunsur pembekuan darah

(keeping- keping darah) ke darah yang

mengalami luka atau infeksi. Pembekuan darah

tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba

penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian

55
tubuh yang lain. Kerusakan jaringan juga

mengirimkan senyawa kimia kemokin yang

berfungsi memanggil sel-sel fagosis untuk

segera dating ke daerah yang terluka tersebut.

Pada respons peradangan, fagosist yang

pertama kali berperan adalah neutrofil dan

diikuti monosit yang berubah menjadi

makrofag. Neurofil akan memangsa mikroba

pathogen. Neurofil dapat mendeteksi kehadiran

mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin.

Opsosin adalah anti bodi lain yang di bentuk

dalam aliran darah atau protein komplemen

khusus yang di aktifkan oleh kehadiran

mikroba. Begitu opsonin melekat pada mikroba,

mikroba tersebut di telan dan di cerna oleh

neurofil. Sementara itu, disamping memangsa

mikroba pathogen, makrofag juga berfungsi

membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan

sisasisa neurofil yang mati.

c) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami)

Sel natural killer(Sel NK) adalah suatu

limfosit granular yang berespons terhadap

56
mikroba intra seluler dengan dengan cara

membunuh sel yang terinfeksi dan

memproduksi sitokin untuk memgaktivasi

makrofag. Sel NK menyerang sel-sel parasit

dengan cara mengeluarka senyawa penghancur

yang disebut profin. Sel NK dapat melisiskan

dan membunuh sel-sel kanker serta virus

sebelum kekebalan adaptis diaktivkan.

d) Senyawa Antimikroba

Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki

kemampuan menghasilkan senyawa, khususnya

protein yang berfungsi sebagai pertahanan

tubuh nonspesifik. Cara kerja protein

antimikroba ini terutama adalah untuk

menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk

atau atau untuk menghambat agar mikroba

asing tersebut tidak dapat berproduksi. Protein

antimikroba yang berperan dalam pertahanan

non spesifik ini adalah protein komplemen dan

interferon.

e) Protein Komplemen

57
Protein komplemen merupakan agen

antimikroba yang terdiri atas sekitar 20 protein

serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati

dan beredar di dalam pembuluh darah dalam

keadaan tidak aktif. Adanya infeksi mikroba

akan mengaktifkan protein pertama dan

selanjutnya akan mengaktifkan protein kedua,

demikian seterusnya, melalui serangkaian

reaksi yang berurutan. Protein komplemen yang

telah aktif akan bekerja secara sistematis

untuk melisiskan berbagai mikroba

penginfeksi.

f) Interferon

Interferon merupakan senyawa kimia yang

dihasilkan oleh makrofag sebagai respon

adanya erangan virus yang masuk ke dalam

tubuh. Interferon merupakan senyawa antivirus

yang bekerja menghancurkan virus dengan cara

menghambat perbanyakan virus dalam selsel

tubuh.

58
Gambar 2.4

Mekanisme interferon melawan virus

b) Pertahanan tubuh spesifik

Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan

tubuh nonspesifik akan berhadapan dengan pertahanan tubuh

yang lebih canggih, yaitu pertahanan tubuh spesifik. Pada

pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan dapat merespon

keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang

abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik

dikenal juga dengan nama system kekebalan.

Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan

tubuh spesifik, disebut antibody, yang dilakukan oleh limfosit.

Limfosit merupakan sel utama dalam system kekebalan.

Limfosit dapat ditemukan di dalam sumsum tulang., pusat

limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian. Limfosit

memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakit-

59
penyakit menular yang utama, seperti aids, kanke, rabies, dan

TBC. Bahkan, pilek tidak lain adalah perang yang dikobarkan

limfosit untuk mengusir virus flu dari tubuh.

Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan

antibody yang dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam

limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T, keduanya mengalami

pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi kehadiran

antigen spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda (walaupun

saling bergantung)

Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca (stem cells) di

dalam sumsum tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B

(berasak dari kata Bone Marrow / sumsum tulang), jika

diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “pabrik

senjata“ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody

yang nantinya akan digunakan untuk menyerang musuh.

Jumlah limfosit B atau sel B adalah 25% dari jumlah total

limfosit tubuh.

Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit

bermigrasi ke kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit

tersebut akan membelah diri dan mengalami pematangan.

Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini dinamakan

limfosit T (dari timus). Limfosit T disebut juga sel T.

60
jumlahnya mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh.

Sel T berfungsi sebagai bagian dari system pengawasan

kekebalan.

Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka

setelah diaktifkan oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah

diaktifkan oleh antigen, sel T dibedakan menjadi 3 macam,

yaitu

i Sel T sitotoksik (cytotoxic T cell)

sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang

memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang

dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.

ii Sel T penolong (helper T cell)

sel T yang membantu sel B mengenali dan

menghasilkan antibody untuk melawan antigen,

memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan

yang sesuai, serta mengaktifkan makrofag.

iii Sel T penekan (suppressor T cell)

sel T yang menekan produksi antibody sel B dan

aktivitas sel T sitotoksik serta sel T penolong untuk

mengakhiri reaksi kekebalan (Pujiyanto, 2014).

D. Patofisologi

61
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang

menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan

imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor

genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang

biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya

matahari, stress, infeksi). Obat-obat tertentu seperti hidralazin,

prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat

dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi

akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan

kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi

antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut

berulang kembali.

Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini

menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu:

a Sel T dan sel B menjadi otoreaktif

b Pembentukan sitokin yang berlebihan

c Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu:

1. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen

dikompleks imun maupun sitokin dalam tubuh

2. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

62
3. Hilangnya toleransi imun: sel T mengenali molekul

tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri

molekuler

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody

di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya

antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun.

Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang

akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

E. Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul

mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.

Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun

diikuti oleh gejala terkenanya system imun.

Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya

mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau

didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari,

infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai

gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang,

kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol

ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

a) Gejala Muskuloskeletal

63
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala

musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering

terkena ialah sendi interfalangeal proksimal, peradangan tangan,

metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, selain

pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.

Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,

konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid.

Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan

ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan

steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah

kaput femoris.

b) Gejala integument

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada

85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada

SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris.

Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam

mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-

kupu (butterfly rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada

hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan

ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena

sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena

hipersensitivitas. lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit

subakut yang khas berbentuk anular.

64
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,

hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak

eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya

penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan

berbentuk sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang

berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak

perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu

bentuk vaskutitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi

mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang

terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan

antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa

bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis.

Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi.

Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan

biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit

mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak

mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada

sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda.

c) Kardiovaskuler

65
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai

berat (efusi kerikard), iskemia miokard dan endokarditis

verukosa (libman sacks)

d) Paru

Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada

yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp dalam cairan

pleura) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang

adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat

ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur,

tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.

e) Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi

papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku

serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan

dan berlanjut nekrosis.

f) Darah

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus.

Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang

bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit

berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor

pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang

berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

66
F. Pathway

67
G. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang

lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik

mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan

kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1

terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga

berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody

antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya

mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic

a) Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada

penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah

pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil

pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan

adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,

atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)

meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin

positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin

terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil

pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan

adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin,

68
dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah

merah pada urin

b) Anti ds DNA

Batas normal : 70 – 200 iu/mL

Negatif : < 70 iu/mL

Positif : > 200 iu/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita

denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan

penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik

untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat

ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan

lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan

sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan

pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada

penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis.

Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang

tenang.

Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari

antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody

anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA

(anti ds-DNA) dan yang menyerang single stranded

DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitive dan

69
spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun

yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit

autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi

merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan

penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi

system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya

inflamasi baik local maupun sistemik (Pagana and

Pagana,2002).

c) Antinuklear antibodies (ANA)

Harga normal: nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit

autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody

protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana

cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE, hasil yang

positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak

spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan

dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit

tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak

lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.

Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ

terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data

klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil tes

70
positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain

untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut

menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-

Sm), antiRNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA

(Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,2002).

H. Pentalaksanaan

Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan

Reumatologi Indonesia (2011).

a Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang

sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan

agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu

diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik

yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah

dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit

dari paparan sinar matahari secara langsung,

memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya

pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,

displidemia atau terjadinya osteoporosis.

b Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi

yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat

71
yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan

modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-

lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).

c Terapi Medikasi

Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade

terakhir ini. Terapi gen adalah cara yang efisien dan

menguntungkan dengan memberikan imunomodulator

dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau

rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi

(anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti

TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar untuk

menemukan lebih banyak perawatan effective, jika

memungkinkan dengan efek samping yang rendah.

Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut

adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada

penyakit lupus erythematosus:

1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid)

merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan

gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara

hati-hati karena sering menimbulkan efek samping

peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal.

Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan

72
resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat

juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam

kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi

ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012).

2. Kortikosteroid

Syamsi dhuha (2012) menyatakan bahwa

penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci

utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan

dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun

kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis

terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis

yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang

umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan

penatalaksanaan osteoprotektif seperti pemeriksaan serial

kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang

efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon

tidak lagi digunakan untuk pencegahan atau pengobatan

osteoporosis karena meningkatkan risiko kanker payudara

dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan

selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus

ditunda selama enam bulan setelah penghentian

bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi

merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama

73
pada mereka yang juga mengkonsumsi obat

imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk

hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek

buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada

meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid

dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan

gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih

rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis

(nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan

tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid

oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena.

Meskipun memiliki banyak efek samping, obat

kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan

penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena

itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.

Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan

yang baik.

3. Antimalaria

Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering

digunakan dibanding kloroquin karena risiko efek

samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada

mata berhubungan baik dengan dosis harian dan

kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut

74
sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa

ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini

kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian

terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus

lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini

memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol,

efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko

cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada

kehamilan.

75
2. 5 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

a) Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

a Nyeri

b Gatal-gatal

2. Riwayat kesehatan dahulu

a Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah

b Riwayat pemakaian obat-obatan hidralazin,

prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll

c Riwayat terinfeksi virus

d Terekspos bahan kimia

3. Riwayat kesehatan keluarga

a Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun

b Riwayat keluarga dengan infeksi berulang

4. Riwayat kesehatan sekarang Pasien mengatakan:

a Nyeri sendi karena gerakan

b Kekakuan pada sendi

c Kesemutan pada tangan dan kaki

d Sakit kepala

e Demam

f Merasa letih, lemah

76
g Limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup,

waktu senggang,pekerjaan

h Keputusasaan dan ketidakberdayaan

i Kesulitan untuk makan

j Nausea, vomitus

k Sesak nafas

l Nyeri dada

m Ancaman pada konsep diri, citra diri

b) Pemeriksaan Fisik

1. Aktivitas dan latihan

a Keterbatasan rentang gerak

b Deformitas

c Kontraktur

2. Nyeri dan kenyamanan

a Pembengkakan sendi

b Nyeri tekan

c Perubahan gaya berjalan/pincang

d Gerak otot melindungi yang sakit

3. Kardiovaskuler

a Fenomena raynoud

b Hipertensi

c Edeme

d Pericardial friction rub

77
e Aritmia

f Murmur

g Nutrisi dan metabolic

h Lesi pada mulut

i Penurunan berat badan

4. Pola eliminasi

a Peningkatan pengeluaran urin

b Konstipasi /diare

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya

napas (kelemahan otot pernapasan)

2. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan

aliran arteri atau vena

3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan

kontraktilitas jantung

4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

(inflamasi).

5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor

mekanis (gesekan)

6. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan

struktur tubuh

7. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan

pertahan tubuh sekunder (imunosupresi)

78
C. PERENCANAAN KEPERAWATAN

DX NOC NIC RASIONAL


1. Tujuan: Pola nafas kembali efektif 1. Monitor kecepatan, ritme, 1. Untuk mengetahui keadekuatan

Kriteria Hasil: kedalaman,dan usaha pasien saat pernapasan

1. Frekuensi, irama, kedalaman bernafas 2. Mengetahui adanya sumbatan

pernapasan dalam batas normal 2. Monitor suara nafas klien pada jalan nafas

2. Tidak menggunakan otot-otot 3. Posisikan pasien semi fowler 3. Untuk memaksimalkan potensial

bantu pernapasan 4. Beritahu pasien tentang pengobatan: ventilasi

3. Tanda Tanda vital dalam indikasi, dosis, frekuensi, dan 4. Informasi ini dapat membantu pasien

rentang normal (tekanan darah, kemungkinan efek samping. dalam mengonsumsi obat dengan

nadi, pernafasan) (TD 120- 5. Berikan pemberian oksigen bila aman dan benar

90/90-60 mmHg, nadi 80-100 perlu 5. Meningkatkan ventilasi dan asupan

x/menit, RR: 18-24 x/menit, oksigen

suhu 36,5 – 37,5


2. Tujuan: Perfusi jaringan perifer 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. 1. Sirkulasi perifer dapat

79
efektif Nadi perifer,edema,pengisian menunjukkan tingkat keparahan

Kriteria Hasil: kapiler,warna,suhu) penyakit

1. Waktu pengisian kapiler < 3 2. Monitor laboratorium (Hb, hmt) 2. Milai laboratorium dapat

detik Hindari penekanan dan menunjukkan komposisi darah

2. Tekanan sistol dan diastol pemasangan tourniquet pada daerah 3. Dapat memperparah kondisi tubuh

dalam rentang yang yang cedera klien

diharapkan Monitor panas,nyeri,atau bengkak 4. Mengetahui kondisi terkini klien

3. Tingkat kesadaran membaik pada ekstremitas 5. Untuk mengetahui tingkat

3. Monitor perubahan kulit keparahan penyakit

4. Kolaborasi pemberian anti platelet 6. Meminimalkan adanya bekuan

atau anti perdarahan dalam darah


3. Tujuan: Curah jantung mengalami 1. Monitor adanya dyspnea, takipneu 1. Data dasar dalam menentukan

peningkatan dan ortpneu intervensi lebih lanjut

Kriteria Hasil: 2. Monitor tekanan darah,nadi, 2. Mengetahui kondisi umum klien

1. Menunjukkan curah jantung dan repirasi klien 3. Mengetahui bunyi jantung klien

80
yang memuaskan dibuktikan 3. Monitor bunyi jantung 4. Mengetahui manifestasi fruekensi

oleh efektifitas pompa 4. Monitor fruekensi dan irama dan irama pernapsan

jantung, status sirkulasi, pernapasan 5. Mengejan dapat memperparah

perfusi jaringan, dan status 5. Kolaborasi pemberian laksatif penurunan curah jantung

2. TTV, Tidak ada edema paru, 6. Monitor adanya sianosi pada klien 6. Untuk mengetehui tingkat

perifer, dan asites. 7. Monitor jumlah dan irama jantung keparahan penyakit

7. Untuk mengetahui apabila ada

perubahan pada irama jantung


4. Tujuan: Nyeri dapat berkurang 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk mengetahui tingkat nyeri

Kriteria Hasil: komprehensif yang meliputi pasien

1. Ekspresi wajah klien tidak lokasi,karakteristik,onset atau 2. Untuk mengetahui tingkat ketidak

menunjukkan ketegangan, durasi,frekuensi,kualitas,intensitas nyamanan yang diirasakan oleh

klien tidak gelisah,klien dapat atau beratnya nyeri dan factor pasien

beristirahat, klien tidak pencetus. 3. Agar klien mampu menggunakan

mengalami kesulitan dalam 2. Observasi reaksi ketidaknyamanan teknik nonfarmakologi dalam

81
berkonsentrasi. secara nonverbal memanajemen nyeri yang dirasakan

3. Ajarkan cara penggunaan terapi 4. Pemberian HE dapat

non farmakologi (distraksi, mengurangi tingkat kecemasan dan

relaksasi) membantu klien dalam membentuk

4. Berikan informasi tentang nyeri mekanisme koping terhadap rasa

termasuk penyebab nyeri,berapa nyeri

lama nyeri akan hilang, antisipasi 5. Pemberian analgetik dapat

terhadap ketidaknyamanan dari mengurangi rasa nyeri pasien

prosedur

5. Kolaborasi pemberian analgetik


5. Tujuan: 1. Monitor kulit akan adanya 1. Dengan memonitoring area kulit

Mencegah terjadinya kerusakan pada kemerahan yang merah dan memonitor

kulit dan jaringan didalamnya 2. Monitor tanda dan gejala infeksi terjadinya kerusakan pada kulit

Kriteria Hasil: pada area insisi 2. Dapat menentukan intervensi

1. Tidak terdapat tekanan, tidak 3. Lakukan perawatan kulit secara selanjutnya sebelum terjadinya

82
menunjukkan adanya aseptic 2 kali sehari infeksi

kelainan pada persendian 4. Berikan pendidikan kesehatan 3. Untuk meningkatkan proses

kepada klien dan keluarganya penyembuhan lesi kulit serta

tentang pentingnya menjaga mencegah terjadinys infeksi

kebersihan kulit sekitar luka guna sekunder

mempercepat penyembuhan dan 4. Meningkatkan pengetahuan pasien

ajarkan teknik perawatannya dan keluarganya mengenai

5. Kolaborasi pemberian NSAID dan pentingnya menjaga kebersihan

kortikosteroid. kulit serta supaya pasien lebih

kooperatif

5. Mempercepat penyembuhan
6. Tujuan: Gangguan citra tubuh klien 1. Monitor frekuensi kalimat yang 1. Untuk mengetahui seberapa besar

teratasi mengkritik diri sendiri klien mampu menerima keadaan

Kriteria Hasil: 2. Bantu klien untuk mengenali dirinya

1. Citra tubuh positif, tindakan yang akan meningkatkan 2. Untuk meningkatkan percaya diri

83
Mendeskripisikan secara penampilannya klien

faktual perubahan fungsi 3. Anjurkan kontak mata dalam 3. Agar klien lebih percaya diri

tubuh. berkomunikasi dengan orang lain 4. Mekanisme evaluasi dari persepsi

2. Mempertahankan interaksi 4. Gunakan gambaran mengenai citra diri

sosial gambaran diri


7. Tujuan: Pasien dapat terhindar dari 1. Monitor tanda dan gejala infeksi

resiko infeksi local dan sistemik 1. Untuk mengetahui apabila terjadi

Kriteria Hasil: 2. Anjurkan meningkatkan asupan infeksi dan untuk menentukan

1. Integritas kulit klien normal, nutrisi intervensi selanjutnya

temperature kulit klien 3. Jelaskan tanda dan gejala infeksi 2. Membantu proses penyemuhan

normal, tidak ada lesi pada 4. Berikan perawatan kulit pada area luka/lesi pada klien

kulit yang terjadi lesi 3. Agar klien mengetahui tanda

5. Berikan penjelasan kepada gejala infeksi

klien dan keluarga mengenai tanda 4. Agar tidak memperparah lesi

dan gejala dari infeksi 5. Agar keluarga pasien mengetahui

84
6. Kolaborasi pemberian antibiotic tanda dan gejala dari infeksi

6. Pemberian antibiotic untuk

mencegah timbulnya infeksi

85
D. IMPLEMENTASI

Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah di

rencanakan.

E. EVALUASI

Evaluasi yang dicapai sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang

diharapkan.

86
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan

penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan

imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen,

pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi

kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki

sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang

beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE

adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis penyakit

SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan

beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan

tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan

untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B

dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi.

3.2 SARAN

1. Perawat atau tenaga medis lain yang memberikan asuhan keperawatan

pada pasien dengan penyakit SLE, setiap petugas medis di harapkan

saling berkolaborasi.

2. Rumah sakit di harapkan memiliki dan memberikan fasilitas yang

memadai untuk menangani pasien dengan keluhan tersebut

87
DAFTAR PUSTAKA

BUKU SDKI 2018

BUKU SIKI 2019

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3,

Jakarta:EGC..

Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta:

EGC.

Christopher-Stine, L. 2006.SystemicLupus Erythematosus A.D.A.M. Medical

Encyclopedia.Departement of Medicine, JohnHopkins University,

Baltimore.

Disease Education Sites. 2006. If You Suffer From Lupus Science HasUncovered

Real Hope so YouCan Reclaim Your Health Now Disease education

article.Diunduh pada tanggal 1 Desember 2008 dari

situs:www.diseaseeducation.com/diseases/Lupus.php

Matt. 2003. Systemic lupus erythematosus. A Patien’s Giude to Systemic

lupuserythematosus. Diunduh padatanggal 1 Desember 2008

darisitus:http://www.eorthopod.com/public/patient_education/6590/system

ic_lupus_erythematosus.ht ml

NANDA NIC NOC 2015

Price & Wilson.2003.Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol

2.Edisi 6.Jakarta:EGC.
Rahman, Anisur and David A. Isenberg.2008,Systemic LupusErythematosus

Review Article:Mechanism of Disease.The NewEngland Journal of

Medicine.Volume 358:929-939. February28, 2008. Downloaded

fromwww.nejm.org by EVI ROVIATIon December 17, 2008

Roviati Evi. 2012. SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE): KELAINAN

AUTOIMUN BAWAAN YANG LANGKA DAN MEKANISME

BIOKIMIAWINYA. JURNAL SCIENTIAE EDUCATIA VOLUME

EDISI 2

Sierra, X. 2008. The History of LupusErithematosus. Terrassa,Barcelona Spain.

Diunduhpadatanggal 1 Desember 2008

darisitus:www.chez.com/sfhd/ecrits/hist le1.htm

Wikipedia, the Free Encyclopedia.2008. Systemic LupusErythematosus. Diunduh

padatanggal 1 Desember 2008

darisitushttp://en.wikipedia.org/wiki/Systemic_lupus_erythematosus

Qimindra, FR. 2008.Lupus, penyakit seribu wajah Artikel, diunduhpada tanggal 1

Desember 2008 dari situs:http://konsultasikesehatan.net

/index.php/2008/03/25/lupus-si-penyakit-seribu-wajah/

Anda mungkin juga menyukai