PENDAHULUAN
Acne vulgaris adalah penyakit kulit yang terkait dengan peradangan pada unit
pilosebaceous yang terutama biasanya ditemukan pada remaja. Klinis Fitur jerawat
termasuk komedo, papula, pustula, dan nodul. Meskipun jerawat cenderung
membatasi diri, kelainan kulit ini dapat menyebabkan potensi pembentukan bekas
luka atrophic dan hipertrofik yang dapat mengurangi kualitas hidup pasien dan
menyebabkan gangguan psikologis. Data dari rawat jalan rumah sakit kunjungan
dari Divisi dermatologi kosmetik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan bahwa di 2014 Ada 1.525 kasus jerawat baru. Ini adalah kedua
penyakit yang paling umum dari Dermatovenereology Departemen rawat jalan.
1
Spesies utama mikroba yang terlibat dalam patogenesis jerawat adalah P. acnes
(bakteri anaerobik), Staphylococcus SP. (bakteri aerobik), dan Pityrosporum SP.
antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan jerawat karena dapat menekan
bakteri kegiatan dan memberikan efek anti-inflamasi. Antibiotik dapat digunakan
dalam persiapan topikal dan sistemik. Antibiotik oral hanya digunakan pada
moderat-jerawat parah dan diberikan untuk 6 – 8 minggu dengan maksimum 12 –
18 minggu, dan dikombinasikan dengan antibiotik topikal pada jerawat ringan-
parah. Pedoman praktek klinis rumah sakit Cipto Mangunkusumo di 2012
merekomendasikan penggunaan 50 – 100 mg doxycycline dua kali sehari, 50 – 100
mg minocycline dua kali per hari, atau 150 – 300 mg Klindamisin 2 – 3 kali per
hari. Ini mungkin merupakan baris pertama antibiotik oral untuk mengobati jerawat
moderat dan parah. Cotrimoxazole, Eritromisin, dan Trimethoprim diberikan
sebagai alternatif antibiotik oral. Asosiasi dermatologi Indonesia direkomendasikan
dengan baik 500 mg Tetrasiklin dua kali per hari, 50 – 100 doxycycline mg dua kali
per hari, 50 – 100 mg minocycline dua kali per hari, atau 150-300 mg Klindamisin
2 – 3 kali per hari sebagai obat pilihan dalam pengobatan jerawat. Pedoman jerawat
dari rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi dermatologi Indonesia
berbasis tentang pembaruan dari Aliansi Global untuk meningkatkan hasilnya.
2
kerentanan Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus untuk
antibiotik di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang P. acnes, S. epidermidis, dan
S. aureus serta kerentanan mereka terhadap antibiotik. Hasil studi ini mungkin
berguna dalam keputusan memilih obat yang tepat untuk pengobatan jerawat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2.1. Anatomi Kulit (Paulsen F & Waschke J, 2012).
Gambar 2.2. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit (Paulsen F & Waschke J, 2012).
5
Gambar 2.3. Struktur histologi kulit (V. P. Eroschenko, 2014).
Struktur Kulit
Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis
merupa-kan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa
jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat
selapis jaringan ikat longgar yaitu hipo-dermis, yang pada beberapa tempat
terutama terdiri dari jaringan lemak (Paulsen F & Waschke J, 2012).
Epidermis
Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limfe oleh karenaitu semua nutrien dan
oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis.Epitel berlapis gepeng pada
epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini
secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara
berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanan-nya, sel-sel ini
berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam
sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan
(terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai
30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel
6
epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap
permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum (Paulsen F & Waschke J, 2012).
Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun
berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-
selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan
sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel,
proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini
bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih
superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam
keadaan normal cepat (V. P. Eroschenko, 2014).
Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk
poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan
dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan
sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang
satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-
sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng (V.
P. Eroschenko, 2014).
Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak
granula basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop
elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi
ribosom. Mikro-filamen melekat pada permukaan granula (V. P. Eroschenko, 2014).
7
Stratum Lusidum (Lapis Bening)
Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan
agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organelpada sel-sel lapisan ini. Walaupun
ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian
seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain
di bawahnya (V. P. Eroschenko, 2014).
Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti
serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan
merupa-kan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas (V. P.
Eroschenko, 2014).
Sel-Sel Epidermis
Keratinosit
Melanosit
8
dihidroksi-fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi
dalam melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino
tirosin dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi
melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya (V.
P. Eroschenko, 2014).
Sel Langerhans
Sel Merkel
Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan
pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut.
Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin
menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah
sel Merkel. Kemungkinan badan Merkel ini merupakan mekano-reseptor atau
reseptor rasa sentuh (V. P. Eroschenko, 2014).
Dermis
Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara
kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin (V. P. Eroschenko, 2014).
Stratum Papilaris
Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang
jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam
pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar
papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel
di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan
9
Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat (V. P.
Eroschenko, 2014).
Stratum Retikularis
Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan
sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian
lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak,
kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan
pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting
payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada
dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu
dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang
banyak mengandung sel lemak (V. P. Eroschenko, 2014).
Sel-Sel Dermis
Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel
jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast (V. P.
Eroschenko, 2014).
Hipodermis
10
Warna kulit
Warna kulit ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pigmen melanin berwarna
coklat dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan pembuluh darah
dalam dermis yang memberi warna merah serta pigmen empedu dan karoten dalam
lemak subkutan yang memberi warna kekuningan. Perbedaan warna kulit tidak
berhubungan dengan jumlah melanosit tetapi disebabkan oleh jumlah granul-granul
melanin yang ditemukan dalam keratinosit (V. P. Eroschenko, 2014).
RAMBUT
Folikel Rambut
12
Medula rambut
Medula rambut terletak paling tengah, biasanya terlihat lebih terang daripada
bagian lain. Sel-selnya berbentuk poli-gobal, tersusun jarang satu sama lain. Di
dalam sitoplasmanya dapat terlihat sedikit pigmen melanin. Perlu diperhatikan
bahwa tidak semua rambut mempunyai medula (V. P. Eroschenko, 2014).
Korteks Rambut
Kutikula Rambut
Kutikula rambut merupakan bagian paling luar akar dan batang rambut
mengandung sel-sel paling tipis, mirip sisik, dengan ujung bebas ke arah ujung
distal. Sel-sel yang menyusun kutikula rambut sangat pipih, saling berselisip, dan
berhimpitan dengan sel-sel kutikula sarung akar rambut dalam, sehingga sulit
dibedakan satu sama lain (V. P. Eroschenko, 2014).
Pertumbuhan Rambut
13
pada pertumbuhan rambut. Apabila folikel berhenti tumbuh, rambut berhenti
tumbuh, terputus dari bulbus dan akhirnya rontok. Diduga kebotakan diakibatkan
oleh adanya testosteron (hormon kelamin laki-laki). Kebotakan bersifat herediter
dan predisposisi genetik ini baru timbul bila terdapat hormon kelamin laki-laki;
terbukti pada sida-sida (laki-laki yang dikebiri) meskipun mempunyai gen
kebotakan tidak akan terjadi kebotakan (V. P. Eroschenko, 2014).
Warna Rambut
Warna rambut disebabkan oleh adanya pigmen melanin yang dibentuk oleh
melanosit pada bulbus pili. Adanya ber-bagai macam warna asli rambut disebabkan
oleh perbedaan jumlah melanin dan perbedaan jenis melanin, yaitu eumelanin
(pigmen coklat-kehitaman) dan pheomela-nin (pigmen merah hingga kuning).
Timbulnya uban disebabkan oleh duafaktor: 1) melanosom pada bulbus kehi-langan
kemampuan menyintesis tirosinase, enzim penting untuk sintesis melanin; 2)
batang dan bulbus rambut mengandunglebih banyak vakuola udara sehingga
granula melanin jadi tersebar (V. P. Eroschenko, 2014).
KELENJAR SEBASEA
KELENJAR KERINGAT
Kelenjar keringat ada dua jenis, yaitu kelenjar keringat merokrin dan apokrin,
yang berbeda cara sekresinya. Kelenjar merokrin bergetah encer (banyak
mengandung air), terdapat di seluruh permukaan tubuh kecuali daerah yang
berkuku; fungsinya menggetahkan keringat yang berguna untuk ikut mengatur suhu
tubuh. Kelenjar apokrin hanya terdapat pada kulit daerah tertentu, misalnya areola
mamma, ketiak, sekitar dubur, kelopak mata, dan labium mayus. Kelenjar ini
14
bergetah kental dan baru berfungsi setelah pubertas. Kelenjar bergetah lilin seperti
kelenjar serumen dan kelenjar Moll juga tergolong kelenjar ini. Baik kelenjar
merokrin maupun apokrin dilengkapi dengan sel mioepitel (Paulsen F & Waschke
J, 2012).
16
3. Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium
acnes
Terdapat tiga macam mikroba yang terlibat pada patogenesis
acne adalah Corynebacterium Acnes (Proprioni bacterium Acnes),
Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale (Malassezia
furfur). Adanya seborea pada pubertas biasanya disertai dengan
kenaikan jumlah Corynebactirium Acnes, tetapi tidak ada hubungan
antara jumlah bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran
pilosebasea dengan derajat hebatnya acne. Dari ketiga macam
bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis acne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang
hidup sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin
memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada
lamanya masing– masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam di
dalam folikel (resident bacteria) mengadakan eksaserbasi
tergantung pada lingkungan mikro dalam folikel tersebut.
Menurut hipotesis Saint-Leger, squalene yang dihasilkan
oleh kelanjar sebasea dioksidasi di dalam folikel dan hasil oksidasi
ini menjadi penyebab terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam
folikel berkurang dan akhirnya terjadi kolonisasi Corynebacterium
Acnes. Bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan
dalam folikel akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi
skualen sehingga oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini dapat
menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat menerangkan
bahwa acne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel sedangkan
folikel yang lain tetap normal
4. Inflamasi
Faktor yang menimbulkan peradangan pada acne belum
diketahui dengan pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan
produk yang dihasilkan oleh Corynebacterium Acnes, seperti lipase,
hialuronidase, protease, lesitinase, dan neuramidase, memegang
17
peranan penting pada proses peradangan. Faktor kemotatik yang
berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen untuk
bekerja aktif) bila keluar dari folikel dapat menarik leukosit nukleus
polimorfonuklear (PMN) dan limfosit. Bila masuk ke dalam folikel
PMN dapat mencerna Corynebacterium Acnes dan mengeluarkan
enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel
pilosebasea. Limfosit dapat merupakan pencetus terbentuknya
sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut yang terdapat di dalam sel
tanduk serta lemak dari kelenjar sebasea dapat menyebabkan reaksi
non spesifik yang disertai oleh mekrofag dan sel–sel raksasa. Pada
fase permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh Corynebacterium
Acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif
(classical and alternative complement pathways). Respon pejamu
terhadap mediator juga amat penting. Selain itu antibodi terhadap
Corynebacterium Acnes juga meningkat pada penderita acne yang
berat (Tahir, 2010).
2.2.3 Epidemiologi
18
daripada pria, yaitu pada saat premenarke. Lesi awal acne vulgaris dapat
terlihat pada usia 8-9 tahun dan kurang lebih 50-60% penderita acne
menyatakan acne muncul pada usia remaja. Puncak insiden pada wanita
dijumpai pada usia 14-17 tahun sedangkan pada pria antara usia 16- 19
tahun. Hampir 85% anak SMA yang berusia antara 15-18 tahun, baik laki-
laki maupun perempuan menderita acne dengan berbagai derajat keparahan.
4 Meskipun begitu, acne tetap menjadi masalah kesehatan yang umum,
psikologis bagi masyarakat, terutama mereka yang peduli akan penampilan
(Ramdani R, Sibero H. T, 2015).
Keterangan: (-) tidak ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak.
Pembagian klasifikasi acne vulgaris berdasarkan jumlah dan tipe lesi dapat
dipakai dalam menentukan penegakan diagnosis dan pemberian tatalaksana
bagi penderita acne. Dalam pemberian tatalaksana acne didasarkan kepada
derajat keparahan dari acne vulgaris itu sendiri, yaitu terdiri dari derajat ringan,
sedang, dan berat (Movita T,2013).
21
Keterangan :
24
2.2.8 Tatalaksana
25
topikal, yaitu tretinoin, adapalen, dan tazaroten. Tretinoin adalah yang
sering dipakai sebagai terapi standar acne vulgaris dan dapat berupa krim,
gel, maupun cairan.Retinoid dapat menyebabkan penipisan stratum
korneum dan lapisan luar epidermis terutama pada kulit yang rentan
fototrauma. Penderita disarankan menggunakan tabir surya jika terpapar
sinar matahari lama sehingga efek penipisan epidermis pada penggunaan
retinoid dapat dihindari (Movita T, 2013).
Antibiotik topikal selain bekerja secara langsung menghambat
kolonisasi P. acnes, juga diduga berkaitan dengan efek antiinflamasi pada
komedogenesis. Antibiotik topikal yang banyak digunakan adalah
eritromisin dan klindamisin. Eritromisin dan klindamisin memiliki efek
yang hampir sama, yaitu bekerja menghambat sintesis protein bakteri dan
sebagai anti-inflamasi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih obat antibiotik ini dikarenakan meningkatnya resistensi terhadap
antibiotik yangsering digunakan. Maka dari itu, terapi kombinasi lebih
dipilih untuk mengurangi resistensi. Biasanya terapi topikal kombinasi yang
digunakan dan paling efektif pada penderita acne vulgaris derajat ringan
sampai sedang adalah benzoil peroksida dengan antibiotik topikal (Movita
T, 2013).
Terapi sistemik, termasuk antibiotik oral, retinoid oral, dan terapi
hormonal menjadi pilihan terapi acne vulgaris pada keadaan terapi topikal
sudah tidak responsif atau pada derajat keparahan akne sedang hingga berat.
Terapi oral isotretinoin sejauh ini masih menjadi terapi yang paling
efektif.Obat ini langsung bekerja pada keempat patogenesis utama acne
vulgaris. Isotretinoin paling efektif untuk akne jenis nodulokistik dan dapat
mencegah jaringan parut. Namun, obat ini dapat menimbulkan kekambuhan
jika obat dihentikan dengan pemeliharaan kebersihan yang kurang serta
bersifat teratogenik (Movita T, 2013).
Tetrasiklin merupakan lini pertama terapi antibiotik oral pada acne,
tetapi penggunaannya harus tetap dibatasi dan tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi dikarenakan alasan resistensi. Respon antibiotik oral biasanya
26
terlihat setelah terapi selama enam minggu. Penggunaan terapi kombinasi,
sekali lagi, lebih disarankan, misalnya pemberian terapi retinoid topikal
dengan antibiotik oral bisa mempercepat respon penyembuhan (Movita T,
2013).
Agen hormonal ternyata juga efektif sebagai terapi lini kedua pada
wanita dengan acne tanpa melihat adanya kelainan hormonal.Terapi
hormonal yang dipakai terutama adalah kontrasepsi oral kombinasi yang
mengandung estrogen dan progestin. Komponen estrogen menurunkan
produksi testosteron dan hormon androgen lain. Beberapa kandungan
progestin dapat memperparah kejadian akne. Progestin yang dipilih adalah
yang mengandung norgestimat, desogestrel, atau drosiperon untuk
mengurangi efek tersebut. Penggunaan terapi hormonal ini perlu dilihat dari
segi kebutuhan pasien dan indikasinya karena bisa menimbulkan efek
samping, seperti hiperkalemia, menstruasi yang tidak teratur, dll. Akan lebih
efektif jika dikombinasikan dengan terapi topikal atau antibiotik oral
(Movita T, 2013).
27
algoritma terapi akne vulgaris dapat dilihat pada tabel 2 : Algoritma Terapi
acne vulgaris.
2.2.9 Diagnosis
Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit,
tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun
komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan
diagnosis acne vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009).
Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul dan kista pada
daerah–daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak.
Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi
untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya
hyperandrogenism (Wolff dan Johnson, 2009).
2.2.10 Pemeriksaan Penunjang
29
Meski acne tidak mengancam nyawa dan bersifat self-limiting,
namun acne dapat menyebabkan dampak dan komplikasi yang
cukup bermakna. Acne mempengaruhi penampilan dan dapat
bertahan lama yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis
penderita apalagi kebanyakan terjadi pada remaja atau dewasa muda
yang sedang dalam keadaan emosional yang sangat sensitif.
Kemudian komplikasinya berupa bekas luka yang dapat menetap
seumur hidup juga sangat berdampak (Gabriella Fabbrocini, 2010).
30
BAB III
METODE PELAKSANAAN
32
DAFTAR PUSTAKA
James, William D..2012. Chapter 13. Acne: Andrews Diseases Of The Skin Clinical
Dermatology. 11th edition. USA: Elsevier’s Rights. P234.
Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang x, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al.
New developments in our understanding of acne pathogenesis and treatment.
Eperimental Dermatology. 2009; 18:821-32.
Paulsen F & Waschke J. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Ed. 23, Hal.
36-41. Jakarta. EGC.
Zaenglein, Andrea L.2012. Chapter 80. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions:
Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. 8thedition. New York:
McGrawHill. P897-912.
Zaenglein, et al. (2016, 02 17). Guidelines of Care for the Management of Acne
Vulgaris: Journal of the American academy of
dermatology.http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad .2015.12.037
34