Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Acne vulgaris adalah penyakit kulit yang terkait dengan peradangan pada unit
pilosebaceous yang terutama biasanya ditemukan pada remaja. Klinis Fitur jerawat
termasuk komedo, papula, pustula, dan nodul. Meskipun jerawat cenderung
membatasi diri, kelainan kulit ini dapat menyebabkan potensi pembentukan bekas
luka atrophic dan hipertrofik yang dapat mengurangi kualitas hidup pasien dan
menyebabkan gangguan psikologis. Data dari rawat jalan rumah sakit kunjungan
dari Divisi dermatologi kosmetik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
menunjukkan bahwa di 2014 Ada 1.525 kasus jerawat baru. Ini adalah kedua
penyakit yang paling umum dari Dermatovenereology Departemen rawat jalan.

Patogenesis jerawat merupakan gabungan proses multifaktorial yang berasal


dari hiperproliferasi folikel, hipersekresi sebum, kolonisasi bakteri, dan peradangan.
Propionibacterium acnes diduga menjadi agen kausatif yang paling penting dari
lesi jerawat. Tapi sekarang dianggap sebagai salah satu dari beberapa saling
berhubungan faktor dalam fenomena patofisiologi. Peran P. acnes di
comedogenesis belum sepenuhnya dipahami. Hal ini diasumsikan bahwa P. acnes
dapat berperan dalam comedogenesis dengan mensekresi lipase yang hydrolyzes
trigliserida dari sebum ke asam lemak bebas dan produk gliserol, yang cenderung
komedogenic. Bakteri gram positif anaerobe P. acnes mendiami kulit dan
sebaceous folikel. P. acnes melepas enzim (misalnya: lipase, protease) yang
bertanggung jawab untuk terkait peradangan acne vulgaris dan pembentukan
mediator inflamasi. Genetik, ras, hormon, dan lingkungan faktor seperti iklim, suhu,
kelembaban, kosmetik, konsumsi makanan dan obat-obatan, stres juga dapat
mempengaruhi patogenesis. Perkembangan jerawat dapat diakibatkan dari
perubahan endokrin dibawa oleh onset pubertas dan peningkatan hormon
androgenik.

1
Spesies utama mikroba yang terlibat dalam patogenesis jerawat adalah P. acnes
(bakteri anaerobik), Staphylococcus SP. (bakteri aerobik), dan Pityrosporum SP.
antibiotik memiliki peran penting dalam pengobatan jerawat karena dapat menekan
bakteri kegiatan dan memberikan efek anti-inflamasi. Antibiotik dapat digunakan
dalam persiapan topikal dan sistemik. Antibiotik oral hanya digunakan pada
moderat-jerawat parah dan diberikan untuk 6 – 8 minggu dengan maksimum 12 –
18 minggu, dan dikombinasikan dengan antibiotik topikal pada jerawat ringan-
parah. Pedoman praktek klinis rumah sakit Cipto Mangunkusumo di 2012
merekomendasikan penggunaan 50 – 100 mg doxycycline dua kali sehari, 50 – 100
mg minocycline dua kali per hari, atau 150 – 300 mg Klindamisin 2 – 3 kali per
hari. Ini mungkin merupakan baris pertama antibiotik oral untuk mengobati jerawat
moderat dan parah. Cotrimoxazole, Eritromisin, dan Trimethoprim diberikan
sebagai alternatif antibiotik oral. Asosiasi dermatologi Indonesia direkomendasikan
dengan baik 500 mg Tetrasiklin dua kali per hari, 50 – 100 doxycycline mg dua kali
per hari, 50 – 100 mg minocycline dua kali per hari, atau 150-300 mg Klindamisin
2 – 3 kali per hari sebagai obat pilihan dalam pengobatan jerawat. Pedoman jerawat
dari rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan Asosiasi dermatologi Indonesia
berbasis tentang pembaruan dari Aliansi Global untuk meningkatkan hasilnya.

Eritromisin dan Klindamisin dianggap aman untuk digunakan pada wanita


hamil. Baru-baru ini, penggunaan antibiotik dalam terapi jerawat mengalami
masalah karena meningkatnya prevalensi strain bakteri resisten antibiotik. Eskalasi
resistensi antibiotik di P. Acnes memiliki dampak global. Eady dkk.
mengungkapkan 73 kasus resistensi di Propionibacterium SP. untuk Eritromisin
(47,94%) dan Tetrasiklin (20,55%) di Perancis, Jerman, Jepang, Australia, Amerika
Serikat, dan Inggris. Studi pertama untuk memberikan data pada resistensi bakteri
dalam jerawat dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Antibiotik kerentanan tes dalam studi mereka dilakukan menggunakan


metode difusi disk, yang tidak direkomendasikan oleh klinik dan laboratorium
Standards Institute (CLSI) untuk pengujian anaerobik bakteri. Spesies
Staphylococcus juga terlibat dalam patogenesis jerawat. Belum ada penelitian pada

2
kerentanan Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus aureus untuk
antibiotik di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang P. acnes, S. epidermidis, dan
S. aureus serta kerentanan mereka terhadap antibiotik. Hasil studi ini mungkin
berguna dalam keputusan memilih obat yang tepat untuk pengobatan jerawat.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari Tugas Pengenalan Profesi adalah
1. Apa pengertian dari acne vulgaris?
2. Apa saja faktor resiko dari acne vulgaris?
3. Apa saja klasifikasi dari acne vulgaris?
4. Apa saja manifestasi klinis dari acne vulgaris?
5. Bagaimana tatalaksana pada acne vulgaris?
1.3 Tujuan
Tujuan dari Tugas Pengenalan Profesi adalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari acne vulgaris.
2. Untuk mengetahui faktor Resiko dari acne vulgaris.
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari acne vulgaris.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari acne ulgaris.
5. Untuk mengetahui tatalaksana pada acne vulgaris.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari Tugas Pengenalan Profesi pada blok sistem sensoris dan
integumentum
1. Bagi pembaca
Dapat menjadikan Tugas Pengenalan Profesi ini sebagai bahan referensi
bacaan selanjutnya.
2. Bagi penulis
Dapat menjadikan Tugas Pengenalan Profesi ini sebagai pengalaman dan
pelajaran yang akan dilaksanakan dihari kemudian.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Kulit beserta turunannya, meliputi rambut, kuku, kelenjar sebasea, kelenjar


keringat, dan kelenjar mamma disebut juga integumen. Fungsi spesifik kulit
terutama tergantung sifat epidermis. Epitel pada epidermis ini merupakan
pembungkus utuh seluruh permukaan tubuh dan ada kekhususan setempat bagi
terbentuknya turunan kulit, yaitu rambut, kuku, dan kelenjar-kelenjar (Paulsen F &
Waschke J, 2012).

Kulit Sebagai Organ

Kulit merupakan organ yang tersusun dari 4 jaringan dasar:

1. Kulit mempunyai berbagai jenis epitel, terutama epitel berlapis gepeng


dengan lapisan tanduk. Penbuluh darah pada dermisnya dilapisi oleh endotel.
Kelenjar-kelenjar kulit merupakan kelenjar epitelial.
2. Terdapat beberapa jenis jaringan ikat, seperti serat-serat kolagen dan elastin,
dan sel-sel lemak pada dermis.
3. Jaringan otot dapat ditemukan pada dermis. Contoh, jaringan otot polos,
yaitu otot penegak rambut (m. arrector pili) dan pada dinding pembuluh
darah, sedangkan jaringan otot bercorak terdapat pada otot-otot ekspresi
wajah.
4. Jaringan saraf sebagai reseptor sensoris yang dapat ditemukan pada kulit
berupa ujung saraf bebas dan berbagai badan akhir saraf. Contoh : badan
Meissner dan badan Pacini (Paulsen F & Waschke J, 2012).

4
Gambar 2.1. Anatomi Kulit (Paulsen F & Waschke J, 2012).

Gambar 2.2. Lapisan-lapisan dan apendiks kulit (Paulsen F & Waschke J, 2012).

5
Gambar 2.3. Struktur histologi kulit (V. P. Eroschenko, 2014).

Struktur Kulit

Kulit terdiri atas 2 lapisan utama yaitu epidermis dan dermis. Epidermis
merupa-kan jaringan epitel yang berasal dari ektoderm, sedangkan dermis berupa
jaringan ikat agak padat yang berasal dari mesoderm. Di bawah dermis terdapat
selapis jaringan ikat longgar yaitu hipo-dermis, yang pada beberapa tempat
terutama terdiri dari jaringan lemak (Paulsen F & Waschke J, 2012).

Epidermis

Epidermis merupakan lapisan paling luar kulit dan terdiri atas epitel berlapis
gepeng dengan lapisan tanduk. Epidermis hanya terdiri dari jaringan epitel, tidak
mempunyai pembuluh darah maupun limfe oleh karenaitu semua nutrien dan
oksigen diperoleh dari kapiler pada lapisan dermis.Epitel berlapis gepeng pada
epidermis ini tersusun oleh banyak lapis sel yang disebut keratinosit. Sel-sel ini
secara tetap diperbarui melalui mitosis sel-sel dalam lapis basal yang secara
berangsur digeser ke permukaan epitel. Selama perjalanan-nya, sel-sel ini
berdiferensiasi, membesar, dan mengumpulkan filamen keratin dalam
sitoplasmanya. Mendekati permukaan, sel-sel ini mati dan secara tetap dilepaskan
(terkelupas). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan adalah 20 sampai
30 hari. Modifikasi struktur selama perjalanan ini disebut sitomorfosis dari sel-sel
6
epider-mis. Bentuknya yang berubah pada tingkat berbeda dalam epitel
memungkinkan pembagian dalam potongan histologik tegak lurus terhadap
permukaan kulit. Epidermis terdiri atas 5 lapisan yaitu, dari dalam ke luar, stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum (Paulsen F & Waschke J, 2012).

Stratum Basal (Lapis basal & Lapis benih)

Lapisan ini terletak paling dalam dan terdiri atas satu lapis sel yang tersusun
berderet-deret di atas membran basal dan melekat pada dermis di bawahnya. Sel-
selnya kuboid atau silindris. Intinya besar, jika dibanding ukuran selnya, dan
sitoplasmanya basofilik. Pada lapisan ini biasanya terlihat gambaran mitotik sel,
proliferasi selnya berfungsi untuk regenerasi epitel. Sel-sel pada lapisan ini
bermigrasi ke arah permukaan untuk memasok sel-sel pada lapisan yang lebih
superfisial. Pergerakan ini dipercepat oleh adalah luka, dan regenerasinya dalam
keadaan normal cepat (V. P. Eroschenko, 2014).

Stratum Spinosum (Lapis Taju)

Lapisan ini terdiri atas beberapa lapis sel yang besar-besar berbentuk
poligonal dengan inti lonjong. Sitoplasmanya kebiruan. Bila dilakukan pengamatan
dengan pembesaran obyektif 45x, maka pada dinding sel yang berbatasan dengan
sel di sebelahnya akan terlihat taju-taju yang seolah-olah menghubungkan sel yang
satu dengan yang lainnya. Pada taju inilah terletak desmosom yang melekatkan sel-
sel satu sama lain pada lapisan ini. Semakin ke atas bentuk sel semakin gepeng (V.
P. Eroschenko, 2014).

Stratum Granulosum (Lapis Berbutir)

Lapisan ini terdiri atas 2-4 lapis sel gepeng yang mengandung banyak
granula basofilik yang disebut granula kerato-hialin, yang dengan mikroskop
elektron ternyata merupakan partikel amorf tanpa membran tetapi dikelilingi
ribosom. Mikro-filamen melekat pada permukaan granula (V. P. Eroschenko, 2014).

7
Stratum Lusidum (Lapis Bening)

Lapisan ini dibentuk oleh 2-3 lapisan sel gepeng yang tembus cahaya, dan
agak eosinofilik. Tak ada inti maupun organelpada sel-sel lapisan ini. Walaupun
ada sedikit desmosom, tetapi pada lapisan ini adhesi kurang sehingga pada sajian
seringkali tampak garis celah yang memisahkan stratum korneum dari lapisan lain
di bawahnya (V. P. Eroschenko, 2014).

Stratum Korneum (Lapis Tanduk)

Lapisan ini terdiri atas banyak lapisan sel-sel mati, pipih dan tidak berinti
serta sitoplasmanya digantikan oleh keratin. Sel-sel yang paling permukaan
merupa-kan sisik zat tanduk yang terdehidrasi yang selalu terkelupas (V. P.
Eroschenko, 2014).

Sel-Sel Epidermis

Terdapat empat jenis sel epidermis, yaitu: keratinosit, melanosit, sel


Langerhans, dan sel Merkel (V. P. Eroschenko, 2014).

Keratinosit

Keratinosit merupakan sel terbanyak (85-95%), berasal dari ektoderm


permukaan. Merupakan sel epitel yang mengalami keratinisasi, menghasilkan
lapisan kedap air dan perisai pelidung tubuh. Proses keratinisasi berlangsung 2-3
minggu mulai dari proliferasi mitosis, diferensiasi, kematian sel, dan pengelupasan
(deskuamasi). Pada tahap akhir diferensiasi terjadi proses penuaan seldiikuti
penebalan membran sel, kehilangan inti organel lainnya. Keratinosit merupakan sel
induk bagi sel epitel di atasnya dan derivat kulit lain (V. P. Eroschenko, 2014).

Melanosit

Melanosit meliputi 7-10% sel epidermis, merupakan sel kecil dengan


cabang dendritik panjang tipis dan berakhir pada keratinosit di stratum basal dan
spinosum. Terletak di antara sel pada stratum basal, folikel rambut dan sedikit
dalam dermis. Dengan pewarnaan rutin sulit dikenali. Dengan reagen DOPA (3,4-

8
dihidroksi-fenilalanin), melanosit akan terlihat hitam. Pembentukan melanin terjadi
dalam melanosom, salah satu organel sel melanosit yang mengandung asam amino
tirosin dan enzim tirosinase. Melalui serentetan reaksi, tirosin akan diubah menjadi
melanin yang berfungsi sebagai tirai penahan radiasi ultraviolet yang berbahaya (V.
P. Eroschenko, 2014).

Sel Langerhans

Sel Langerhans merupakan sel dendritik yang bentuknya ireguler,


ditemukan terutama di antara keratinosit dalam stratum spinosum. Tidak berwarna
baik dengan HE. Sel ini berperan dalam respon imun kulit, merupakan sel
pembawa-antigen yang merangsang reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada kulit
(V. P. Eroschenko, 2014).

Sel Merkel

Jumlah sel jenis ini paling sedikit, berasal dari krista neuralis dan ditemukan
pada lapisan basal kulit tebal, folikel rambut, dan membran mukosa mulut.
Merupakan sel besar dengan cabang sitoplasma pendek. Serat saraf tak bermielin
menembus membran basal, melebar seperti cakram dan berakhir pada bagian bawah
sel Merkel. Kemungkinan badan Merkel ini merupakan mekano-reseptor atau
reseptor rasa sentuh (V. P. Eroschenko, 2014).

Dermis

Dermis terdiri atas stratum papilaris dan stratum retikularis, batas antara
kedua lapisan tidak tegas, serat antaranya saling menjalin (V. P. Eroschenko, 2014).

Stratum Papilaris

Lapisan ini tersusun lebih longgar, ditandai oleh adanya papila dermis yang
jumlahnya bervariasi antara 50 – 250/mm2. Jumlahnya terbanyak dan lebih dalam
pada daerah di mana tekanan paling besar, seperti pada telapak kaki. Sebagian besar
papila mengandung pembuluh-pembuluh kapiler yang memberi nutrisi pada epitel
di atasnya. Papila lainnya mengandung badan akhir saraf sensoris yaitu badan

9
Meissner. Tepat di bawah epidermis serat-serat kolagen tersusun rapat (V. P.
Eroschenko, 2014).

Stratum Retikularis

Lapisan ini lebih tebal dan dalam. Berkas-berkas kolagen kasar dan
sejumlah kecil serat elastin membentuk jalinan yang padat ireguler. Pada bagian
lebih dalam, jalinan lebih terbuka, rongga-rongga di antaranya terisi jaringan lemak,
kelenjar keringat dan sebasea, serta folikel rambut. Serat otot polos juga ditemukan
pada tempat-tempat tertentu, seperti folikel rambut, skrotum, preputium, dan puting
payudara. Pada kulit wajah dan leher, serat otot skelet menyusupi jaringan ikat pada
dermis. Otot-otot ini berperan untuk ekspresi wajah. Lapisan retikular menyatu
dengan hipodermis/fasia superfisialis di bawahnya yaitu jaringan ikat longgar yang
banyak mengandung sel lemak (V. P. Eroschenko, 2014).

Sel-Sel Dermis

Jumlah sel dalam dermis relatif sedikit. Sel-sel dermis merupakan sel-sel
jaringan ikat seperti fibroblas, sel lemak, sedikit makrofag dan sel mast (V. P.
Eroschenko, 2014).

Hipodermis

Sebuah lapisan subkutan di bawah retikularis dermis disebut hipodermis. Ia


berupa jaringan ikat lebih longgar dengan serat kolagen halus terorientasi terutama
sejajar terhadap permukaan kulit, dengan beberapa di antaranya menyatu dengan
yang dari dermis. Pada daerah tertentu, seperti punggung tangan, lapis ini
meungkinkan gerakan kulit di atas struktur di bawahnya. Di daerah lain, serat-serat
yang masuk ke dermis lebih banyak dan kulit relatif sukar digerakkan. Sel-sel lemak
lebih banyak daripada dalam dermis. Jumlahnya tergantung jenis kelamin dan
keadaan gizinya. Lemak subkutan cenderung mengumpul di daerah tertentu. Tidak
ada atau sedikit lemak ditemukan dalam jaringan subkutan kelopak mata atau penis,
namun di abdomen, paha, dan bokong, dapat mencapai ketebalan 3 cm atau lebih.
Lapisan lemak ini disebut pannikulus adiposus (V. P. Eroschenko, 2014).

10
Warna kulit

Warna kulit ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: pigmen melanin berwarna
coklat dalam stratum basal, derajat oksigenasi darah dan keadaan pembuluh darah
dalam dermis yang memberi warna merah serta pigmen empedu dan karoten dalam
lemak subkutan yang memberi warna kekuningan. Perbedaan warna kulit tidak
berhubungan dengan jumlah melanosit tetapi disebabkan oleh jumlah granul-granul
melanin yang ditemukan dalam keratinosit (V. P. Eroschenko, 2014).

PENYEMBUHAN LUKA KULIT

Penyembuhan luka adalah suatu proses dinamik kompleks yang


menghasilkan pemulihan terhadap kontinuitas anatomik dan fungsi jaringan setelah
terjadi perlukaan. Penyembuhan luka dibagi dalam tiga tahap yang saling
berhubungan dan tumpang tindih dalam waktu terjadinya, yaitu: 1) peradangan; 2)
pembentukan jaringan (proliferasi); dan 3) remodelingjaringan.Salah satu tujuan
utama tubuh pada proses perbaikan luka kulit ialah mengembalikan fungsi kulit
sebagai sawar fungsional. Reepitelisasi luka kulit dimulai 24 jam setelah luka
melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi bebas jaringan melintasi defek dan dari
struktur folikel rambut yang masih tersisa pada dasar luka partial thickness. Sel-sel
epitel berubah bentuk baik secara internal dan eksternal untuk memudahkan
pergerakan. Metamorfosis selular ini meliputi retraksi tonofilamen intrasel, disolusi
desmosom intersel dan hemi-desmosom membran basal, serta pembentukan
filamen aktin sitoplasma perifer. Sel-sel epidermis pada tepi luka cenderung
kehilangan polaritas apiko-basal dan menjulurkan pseudopodia dari tepi basolateral
bebas ke dalam luka.Pola pasti dari migrasi epidermis yang mengalami regenerasi
ini belum diketahui, tetapi kemungkinan berupa migrasi sel tunggal melintasi
permukaan luka dengan mekanisme “lompat-katak” (leap-frogging) atau “jejak-
traktor” (tractor tread) (V. P. Eroschenko, 2014).

RAMBUT

Batang rambut merupakan struktur keratin keras yang dihasilkan oleh


bangunan epitelial berbentuk kantung yaitu folikel rambut. Pada ujung basal folikel
11
melebar melingkari papila pili terdiri atas jaringan ikat, pembuluh darah dan saraf
yang penting bagi kelangsungan hidup folikel rambut; bagian yang melebar disebut
bulbus pili. Sel-sel terdalam pada bulbus, yang meliputi papila pili menghasilkan
batang rambut yang akan muncul ke permukaan kulit. Sel-sel yang membungkus
bulbus merupakan lanjutan sel-sel stratum basal dan spinosum epidermis kulit. Sel-
sel tersebut terus-menerus mengalami mitosis dan meng-hasilkan berbagai
selubung selular bagi rambut. Sel-sel papila memiliki sifat induktif terhadap
aktivitas folikel, dan nutrien dari kapilernya adalah esensial untuk fungsi normalnya.
Sel-sel epitel yang membungkus papila dapat disamakan dengan sel-sel stratum
basal pada epidermis, dan mereka membentuk matriks rambut. Pada dasarnya
proliferasinya berfungsi menumbuhkan rambut (Paulsen F & Waschke J, 2012).

Folikel Rambut

Folikel rambut dikelilingi pema-datan komponen fibrosa dermis. Di antara


komponen tersebut dengan epitel folikel terdapat membran vitrea non-seluler, yang
merupakan membran basal sangat tebal dari lapis luar epitel folikel, yang disebut
sarung akar rambut luar. Pada bagian bulbus pili, sarung akar rambut luar ini hanya
setebal satu sel sesuai stratum basal epidermis. Mendekati permukaan kulit,
tebalnya beberapa lapis sel dan memiliki strata menyerupai epidermis kulit tipis.
Lapis-lapis konsentris berikut dari folikel adalah sarung akar rambut dalam, yang
memiliki tiga komponen: (1) lapis Henle, selapis sel gepeng yang melekat erat pada
sel-sel paling dalam dari sarung akar rambut luar, (2) lapis Huxley, terdiri atas dua
atau tiga baris sel-sel gepeng, (3) kutikula sarung akar rambut dalam, terdiri atas
sel-sel pipih mirip sisik tersusun mirip genteng dengan tepi bebasnya mengarah ke
bawah. Pada permulaan perkembangan semua sel pada folikel aktif bermitosis akan
tetapikemudian setelah folikel terdiferensiasi sempurna hanya sel-sel bagian bawah
bulbus, yaitu sel matriks, yang tetap aktif bermitosis. Sel-sel tersebutlah yang akan
mengisi berbagai bagian rambut, yaitu medula, korteks, dan kutikula (V. P.
Eroschenko, 2014).

12
Medula rambut

Medula rambut terletak paling tengah, biasanya terlihat lebih terang daripada
bagian lain. Sel-selnya berbentuk poli-gobal, tersusun jarang satu sama lain. Di
dalam sitoplasmanya dapat terlihat sedikit pigmen melanin. Perlu diperhatikan
bahwa tidak semua rambut mempunyai medula (V. P. Eroschenko, 2014).

Korteks Rambut

Korteks rambut merupakan bagian terbesar rambut, mengandung beberapa


lapisan konsentris yang terdiri atas sel panjang terkeratinisasi. Melanin biasanya
terjepit di antara dan di dalam sel-sel ini, sehingga mewarnai rambut (V. P.
Eroschenko, 2014).

Kutikula Rambut

Kutikula rambut merupakan bagian paling luar akar dan batang rambut
mengandung sel-sel paling tipis, mirip sisik, dengan ujung bebas ke arah ujung
distal. Sel-sel yang menyusun kutikula rambut sangat pipih, saling berselisip, dan
berhimpitan dengan sel-sel kutikula sarung akar rambut dalam, sehingga sulit
dibedakan satu sama lain (V. P. Eroschenko, 2014).

Pertumbuhan Rambut

Pertumbuhan dan pergantian rambut terjadi secara siklis, tidak kontinu.


Periode tumbuh dan istirahatnya tergantung tempat-nya pada tubuh. Rambut kepala
mempu-nyai siklus pertumbuhan sepanjang 2-3 tahun sebelum memasuki masa
istirahat selama 3-4 bulan. Pada bagian tubuh lainnyamisalnya bulu mata, siklus
pertumbuhan jauh lebih singkat 1-2 bulan diikuti masa istirahat 3-4 bulan. Folikel
rambut biasanya berada dalam tahap yang berbeda-beda, sehingga pergantian
rambut terjadi tanpa disadari. Hormon kelamin laki-laki (androgen) dari testis dan
korteks adrenal mempunyai pengaruh langsung pada pertumbuhan rambut pada
wajah, aksila, dan pubis. Anak lelaki yang dikebiri sebelum pubertas tak memiliki
pertumbuhan rambut yang normal seperti yang terdapat pada laki-laki, sedangkan
kekerapan mencukur dan memotong rambut tidak mempunyai pengaruh yang jelas

13
pada pertumbuhan rambut. Apabila folikel berhenti tumbuh, rambut berhenti
tumbuh, terputus dari bulbus dan akhirnya rontok. Diduga kebotakan diakibatkan
oleh adanya testosteron (hormon kelamin laki-laki). Kebotakan bersifat herediter
dan predisposisi genetik ini baru timbul bila terdapat hormon kelamin laki-laki;
terbukti pada sida-sida (laki-laki yang dikebiri) meskipun mempunyai gen
kebotakan tidak akan terjadi kebotakan (V. P. Eroschenko, 2014).

Warna Rambut

Warna rambut disebabkan oleh adanya pigmen melanin yang dibentuk oleh
melanosit pada bulbus pili. Adanya ber-bagai macam warna asli rambut disebabkan
oleh perbedaan jumlah melanin dan perbedaan jenis melanin, yaitu eumelanin
(pigmen coklat-kehitaman) dan pheomela-nin (pigmen merah hingga kuning).
Timbulnya uban disebabkan oleh duafaktor: 1) melanosom pada bulbus kehi-langan
kemampuan menyintesis tirosinase, enzim penting untuk sintesis melanin; 2)
batang dan bulbus rambut mengandunglebih banyak vakuola udara sehingga
granula melanin jadi tersebar (V. P. Eroschenko, 2014).

KELENJAR SEBASEA

Kelenjar sebasea atau kelenjar rambut merupakan kelenjar holokrin yang


terdapat pada seluruh kulit yang berambut. Hampir semua kelenjar sebasea
bermuara ke dalam folikel rambut kecuali yang terdapat pada puting susu, kelopak
mata, glans penis, klitoris, dan labium minus. Kelenjar sebasea yang berhubungan
dengan folikel rambut biasanya terdapat pada sisi yang sama dengan otot penegak
rambut (m. arrector pili) (Paulsen F & Waschke J, 2012).

KELENJAR KERINGAT

Kelenjar keringat ada dua jenis, yaitu kelenjar keringat merokrin dan apokrin,
yang berbeda cara sekresinya. Kelenjar merokrin bergetah encer (banyak
mengandung air), terdapat di seluruh permukaan tubuh kecuali daerah yang
berkuku; fungsinya menggetahkan keringat yang berguna untuk ikut mengatur suhu
tubuh. Kelenjar apokrin hanya terdapat pada kulit daerah tertentu, misalnya areola
mamma, ketiak, sekitar dubur, kelopak mata, dan labium mayus. Kelenjar ini
14
bergetah kental dan baru berfungsi setelah pubertas. Kelenjar bergetah lilin seperti
kelenjar serumen dan kelenjar Moll juga tergolong kelenjar ini. Baik kelenjar
merokrin maupun apokrin dilengkapi dengan sel mioepitel (Paulsen F & Waschke
J, 2012).

2.2 Acne Vulgaris


2.2.1 Pengertian Acne Vulgaris
Acne Vulgaris (AV) adalah penyakit peradangan menahun unit
pilosebasea, dengan gambaran klinis biasanya polimorfik yang terdiri atas
berbagai kelainan kulit berupa: komedo, papul, pustul, nodul, dan jaringan
parut. Penderita biasanya mengeluh akibat erupsi kulit pada pada tempat-
tempat predileksi, yakni muka, bahu, leher, dada, punggung bagian atas dan
lengan bagian atas oleh karena kelenjar sebasea pada daerah yang aktif.
Acne vulgaris merupakan penyakit yang kompleks (multifaktorial) dengan
elemen patogenesis yaitu hiperproliferasi folikuler epidermal, produksi
sebum yang berlebihan, inflamasi dan adanya aktifitas P.acne. Penyebab
acne antara lain penggunaan kosmetik, khususnya di kalangan wanita..
Acne sering menjadi tanda pertama pubertas dan dapat terjadi satu tahun
sebelum menarkhe atau haid pertama. Onset acne vulgaris pada perempuan
lebih awal daripada laki-laki karena masa pubertas perempuan umumnya
lebih dulu dari pada laki-laki. (Ramdani R, Sibero H. T, 2015)
2.2.2 Etiologi
Etiologi acne vulgaris belum diketahui secara pasti. Secara garis besar
terdapat empat faktor yang berperan dalam patogenesis acne vulgaris
sebagai berikut.
1. Peningkatan produksi sebum
Acne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu
kelenjar sebasea membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak
dari sebelumnya. Terdapat korelasi antara keparahan acne dengan
produksi sebum. Pertumbuhan kelenjar sebasea dan produksi sebum
berada di bawah pengaruh hormon androgen. Pada penderita acne
terdapat peningkatan konversi hormon androgen yang normal
15
beredar dalam darah (testoteron) ke bentuk metabolit yang lebih
aktif (5>alfa dehidrotestoteron).
Hormon ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan
akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum.
Meningkatnya produksi sebum pada penderita acne disebabkan oleh
respon organ akhir yang berlebihan (end-organ hyperresponse) pada
kelenjar sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan unsur komedogenik dan
inflamatogenik sebagai penyebab terjadinya acne. Terbukti bahwa
pada kebanyakan penderita, lesi acne hanya ditemukan di beberapa
tempat yang kaya akan kelenjar sebasea.
2. Keratinisasi folikel
Keratinisasi pada saluran pilosebasea disebabkan olah
adanya penumpukan korneosit dalam saluran pilosebasea. Hal ini
dapat disebabkan oleh bertambahnya produksi korneosit pada
saluran pilosebasea, pelepasan korneosit yang tidak adekuat, atau
dari kombinasi kedua faktor. Bertambahnya produksi korneosit dari
sel keratinosit merupakan salah satu sifat komedo. Terdapat
hubungan terbalik antara sekresi sebum dan konsentrasi asam
linoleik dalam sebum.
Dinding komedo lebih mudah ditembus bahan–bahan yang
dapat menimbulkan peradangan. Walaupun asam linoleik
merupakan unsur penting dalam seramaid-1, lemak lain mungkin
juga berpengaruh pada patogenesis acne. Kadar sterol bebas juga
menurun pada komedo sehingga terjadi keseimbangan antara
kolesterol bebas dengan kolesterol sulfat, sehingga adhesi korneosit
pada akroinfundibulum bertambah dan terjadi retensi hiperkeratosis
folikel.

16
3. Kolonisasi Saluran Pilosebasea dengan Propionibacterium
acnes
Terdapat tiga macam mikroba yang terlibat pada patogenesis
acne adalah Corynebacterium Acnes (Proprioni bacterium Acnes),
Staphylococcus epidermidis dan Pityrosporum ovale (Malassezia
furfur). Adanya seborea pada pubertas biasanya disertai dengan
kenaikan jumlah Corynebactirium Acnes, tetapi tidak ada hubungan
antara jumlah bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran
pilosebasea dengan derajat hebatnya acne. Dari ketiga macam
bakteri ini bukanlah penyebab primer pada proses patologis acne.
Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada mikroorganisme yang
hidup sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme mungkin
memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada
lamanya masing– masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam di
dalam folikel (resident bacteria) mengadakan eksaserbasi
tergantung pada lingkungan mikro dalam folikel tersebut.
Menurut hipotesis Saint-Leger, squalene yang dihasilkan
oleh kelanjar sebasea dioksidasi di dalam folikel dan hasil oksidasi
ini menjadi penyebab terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam
folikel berkurang dan akhirnya terjadi kolonisasi Corynebacterium
Acnes. Bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan
dalam folikel akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi
skualen sehingga oksigen dan tingginya jumlah bakteri ini dapat
menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini dapat menerangkan
bahwa acne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel sedangkan
folikel yang lain tetap normal
4. Inflamasi
Faktor yang menimbulkan peradangan pada acne belum
diketahui dengan pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan
produk yang dihasilkan oleh Corynebacterium Acnes, seperti lipase,
hialuronidase, protease, lesitinase, dan neuramidase, memegang
17
peranan penting pada proses peradangan. Faktor kemotatik yang
berberat molekul rendah (tidak memerlukan komplemen untuk
bekerja aktif) bila keluar dari folikel dapat menarik leukosit nukleus
polimorfonuklear (PMN) dan limfosit. Bila masuk ke dalam folikel
PMN dapat mencerna Corynebacterium Acnes dan mengeluarkan
enzim hidrolitik yang bisa menyebabkan kerusakan dari folikel
pilosebasea. Limfosit dapat merupakan pencetus terbentuknya
sitokin.
Bahan keratin yang sukar larut yang terdapat di dalam sel
tanduk serta lemak dari kelenjar sebasea dapat menyebabkan reaksi
non spesifik yang disertai oleh mekrofag dan sel–sel raksasa. Pada
fase permulaan peradangan yang ditimbulkan oleh Corynebacterium
Acnes, juga terjadi aktivasi jalur komplemen klasik dan alternatif
(classical and alternative complement pathways). Respon pejamu
terhadap mediator juga amat penting. Selain itu antibodi terhadap
Corynebacterium Acnes juga meningkat pada penderita acne yang
berat (Tahir, 2010).
2.2.3 Epidemiologi

Prevalensi penderita acne vulgaris 80 – 85% pada remaja dengan


puncak insidens usia 15 – 18 tahun, 12% pada wanita usia > 25 tahun dan
3% pada usia 35 – 44 tahun. Acne vulgaris yang berat terlihat pada laki-laki
dan perokok. Catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia
menunjukkan terdapat 60% penderita acne vulgaris pada tahun 2006 dan
80% pada tahun 2007. Insiden jerawat 80-100% pada usia dewasa muda,
yaitu 14-17 tahun pada wanita, dan 16-19 tahun pada pria. Pada umumnya
banyak remaja yang bermasalah dengan jerawat, bagi mereka jerawat
merupakan siksaan psikis (Ramdani R, Sibero H. T, 2015).

Pada umumnya acne vulgaris terdapat pada masa remaja, meskipun


kadang-kadang dapat menetap sampai dekade ketiga atau bahkan pada usia
yang lebih lanjut. Pada wanita, acne vulgaris berkembang lebih awal

18
daripada pria, yaitu pada saat premenarke. Lesi awal acne vulgaris dapat
terlihat pada usia 8-9 tahun dan kurang lebih 50-60% penderita acne
menyatakan acne muncul pada usia remaja. Puncak insiden pada wanita
dijumpai pada usia 14-17 tahun sedangkan pada pria antara usia 16- 19
tahun. Hampir 85% anak SMA yang berusia antara 15-18 tahun, baik laki-
laki maupun perempuan menderita acne dengan berbagai derajat keparahan.
4 Meskipun begitu, acne tetap menjadi masalah kesehatan yang umum,
psikologis bagi masyarakat, terutama mereka yang peduli akan penampilan
(Ramdani R, Sibero H. T, 2015).

2.2.4 Faktor Resiko


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya acne adalah:
1. Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap
kemungkinan seseorang menderita acne. Penelitian di Jerman
menunjukkan bahwa acne terjadi pada 45% remaja yang salah
satu atau kedua orang tuanya menderita acne, dan hanya 8% bila
ke dua orang tuanya tidak menderita acne. (Ayudianti &
Indramaya, 2010)
2. Kebersihan wajah.
Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi
kejadian acne vulgaris pada remaja.
3. Faktor ras.
Warga Amerika yang berkulit putih lebih banyak menderita
acne dibandingkan dengan ras yang berkulit hitam dan acne
yang diderita lebih berat dibandingkan dengan orang Jepang.
4. Hormonal
Hormonal dan keringat yang berlebih dapat mempengaruhi
keparahan dari acne. Beberapa faktor fisiologis seperti
menstruasi dapat mempengaruhi timbulnya atau memperparah
acne. Rata-rata 60-70% wanita yang mengalami masalah acne
menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan
19
menetap sampai seminggu setelah menstruasi dan lesi acne
menjadi lebih aktif rata-rata satu minggu sebelum menstruasi
yang disebabkan oleh hormon progesteron. Hormon estrogen
dalam kadar tertentu dapat menghambat pertumbuhan acne
karena hormon tersebut dapat menurunkan kadar gonadotropin
yang berasal dari kelenjar hipofisis dan hormon Gonadotropin
mempunyai efek menurunkan produksi sebum sehingga dapat
menghambat pertumbuhan acne vulgaris.
5. Diet.
Tidak ditemukan adanya hubungan antara acne dengan
asupan total kalori dan jenis makanan, karena hal tersebut tidak
dapat menimbulkan acne tetapi mengkonsumsi coklat dan
makanan berlemak secara berlebihan dapat memperparah
terjadinya acne vulgaris.
6. Iklim.
Cuaca yang panas dan lembab dapat memperparah acne.
Hidrasi pada stratum koreneum epidermis dapat merangsang
terjadinya acne dan pajanan sinar matahari yang berlebihan
dapat memperburuk acne.
7. Lingkungan
Acne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di
daerah industri dan pertambangan dibandingkan dengan di
pedesaan.
8. Stres.
Acne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres
emosional.
2.2.5 Klasifikasi
Klasifikasi derajat acne vulgaris yaitu dibagi menjadi derajat ringan,
sedang, berat, dan sangat berat. Yang dinilai dalam klasifikasi antara lain
dari jumlah komedo, jumlah pustul, jumlah kista, inflamasi, dan jaringan
parutnya (Movita T,2013).
20
Tabel 1 : Klasifikasi Derajat Acne Vulgaris Berdasarkan Jumlah dan
Tipe Lesi
Derajat Komedo Papul Nodul, Inflamasi Jaringan
dan Kista, dan Parut
Pustul sinus
Ringan <10 <10 - - -
Sedang <20 10-50 - + +
Berat 20-50 50-100 <5 ++ ++
Sangat Berat >50 >100 >5 +++ +++
Sumber : (Movita T,2013)

Keterangan: (-) tidak ditemukan, (+) ada, (++) cukup banyak, (+++) banyak.

Pembagian klasifikasi acne vulgaris berdasarkan jumlah dan tipe lesi dapat
dipakai dalam menentukan penegakan diagnosis dan pemberian tatalaksana
bagi penderita acne. Dalam pemberian tatalaksana acne didasarkan kepada
derajat keparahan dari acne vulgaris itu sendiri, yaitu terdiri dari derajat ringan,
sedang, dan berat (Movita T,2013).

Gambar 2.2.5.1. Derajat Keparahan Acne Vulgaris (Fulton J, 2009).

21
Keterangan :

1. Acne Vulgaris grade I, dengan gambaran komedo terbuka yang multiple.


2. Acne Vulgaris grade II, komedo tertutup.
3. Acne Vulgaris grade III, papulopustules.
4. Acne Vulgaris grade IV, gabungan komedo terbuka yang multiple,
komedo tertutup, papulopustul dan kista.
(Fulton J, 2009).
2.2.6 Manifestasi Klinis
Manifetasi klinis acne vulgaris adalah komedo, yang mungkin tertutup
(whitehead) atau terbuka (blackhead). Komedo tertutup muncul sebagai
papula putih kerikil 1 - 2 mm, yang ditekankan saat kulit diregangkan.
Mereka adalah prekursor lesi peradangan pada acne vulgaris. Isi komedo
tertutup tidak mudah diungkapkan. Komedo terbuka, yang jarang
menyebabkan lesi jerawat peradangan, memiliki lubang folikel yang besar
dan diisi dengan debris yang mudah teroksidasi, gelap, berminyak. Komedo
biasanya disertai dengan lesi peradangan: papula, pustula, atau nodul
(Calvin O, 2015)..
Lesi paling awal yang terlihat pada masa remaja umumnya adalah
komedo ringan atau noninflamasi pada dahi. Selanjutnya, lesi peradangan
yang lebih khas terjadi pada pipi, hidung, dan dagu. Lokasi yang paling
umum untuk jerawat adalah wajah, tetapi keterlibatan dada dan punggung
juga sering terjadi. Sebagian besar penyakit tetap ringan dan tidak
menyebabkan jaringan parut. Sejumlah kecil pasien mengembangkan kista
dan nodul inflamasi yang besar, yang dapat mengering dan menyebabkan
jaringan parut yang signifikan (Calvin O, 2015).
2.2.7 Patofisiologi
Patogenesis terjadinya acne vulgaris yang pasti belum diketahui, namun
ada berbagai faktor yang berkaitan dengan patogenesis acne seperti:
perubahan pola keratinisasi, produksi sebum yang meningkat, peningkatan
hormon androgen, terjadinya stress psikis, faktor lain yaitu usia, ras, familial,
makanan, cuaca (Ramdani R, 2015).
22
Mekanisme pembentukan acne vulgaris sebagai berikut: Pertama,
stimulasi produksi kelenjar sebaseus yang menyebabkan hiperseborrea
biasanya dimulai pada pubertas. Kedua, pembentukkan komedo yang
berhubungan dengan anomali proliferasi keratinosit, adhesi dan diferensiasi
pada infrainfudibulum folikel pilosebaseus; ketiga, pembentukkan lesi
inflamasi dimana yang berperan adalah bakteri anaerob yaitu P.acne.
Pada hiperproliferasi folikular epidermal salah satu yang berperan
yaitu interleukin 1 (IL-1). Penelitian pada keratinosit folikular manusia
memperlihatkan hiperproliferasi dan pembentukkan mikrokomedo setelah
IL-1 ditambahkan. Reseptor antagonis IL-1 menghambat pembentukkan
mikrokomedo. Beberapa sitokin terlibat dalam proses inflamasi tetapi hanya
empat yang berperan pada acne vulgaris, yaitu IL-1α, interferon-gamma
(IFN-γ), transforming growth factor alpha (TGF- γ) dan IL-4. IL-1α
berperan penting menyebabkan pembentukkan komedo dan menstimulasi
imunitas spesifik. Interleukin-1 alfa mempunyai konsentrasi tinggi 1000
kali lebih tinggi di keratinosit interfolikular, komedo terbuka dan kelenjar
sebaseus. Penelitian terbaru secara in vitro pada folikel acne tampak sitokin
seperti IL-1 memodulasi kornifikasi epidermis dan terlibat dalam
menginduksi inflamasi komedo (Ramdani R, 2015).
Androgen berperan penting pada patogenesis acne tersebut. Acne
mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan
dehidroepi androsteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita acne
memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan
dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita acne
masih dalam batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar
sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga merangsang
proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akro infundibulum.
Hiperproliferasi epidermis folikular juga diduga akibat penurunan asam
linoleat kulit dan peningkatan aktivitas interleukin 1 alfa. Epitel folikel
rambut bagian atas, yaitu infundibulum,menjadi hiperkeratotik dan kohesi
keratinosit bertambah, sehingga terjadi sumbatan pada muara folikel rambut.
23
Selanjutnya di dalam folikel rambut tersebut terjadi akumulasi keratin,
sebum, dan bakteri, dan menyebabkan dilatasi folikel rambut bagian atas,
membentuk mikrokomedo. Mikrokomedo yang berisi keratin, sebum, dan
bakteri, akan membesar dan ruptur. Selanjutnya, isi mikrokomedo yang
keluar akan menimbulkan respons inflamasi. Akan tetapi, terdapat bukti
bahwa inflamasi dermis telah terjadi mendahului pembentukan komedo
(Ramdani R, 2015).
P.acnes merupakan bakteri positif gram dan anaerob yang
merupakan flora normal kelenjar pilo sebasea. Remaja dengan acne
memiliki konsentrasi P.acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa acne,
tetapi tidak terdapat korelasi antara jumlah P. acnes dengan berat acne.
Peranan P.acnes pada patogenesis acne adalah memecah trigliserida, salah
satu komponen sebum menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi
kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi. Selain itu, antibodi terhadap
antigen dinding sel P. acnes meningkatkan respons inflamasi melalui
aktivasi komplemen (Ramdani R, 2015).
Enzim 5-alfa reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi
dihidrotestosteron (DHT), memiliki aktivitas tinggi pada kulit yang mudah
berjerawat, misalnya pada wajah, dada, dan punggung. Pada
hiperandrogenisme, selain jerawat, sering disertai oleh seborea, alopesia,
hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan
sindrom metabolik, gangguan psikologis, dan virilisasi. Penyebab utama
hiperandrogenisme adalah sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian
syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS,yaitu sebanyak 70%, juga
menderita acne. Meskipun demikian, sebagian besar acne pada perempuan
dewasa tidak berkaitan dengan gangguan endokrin. Penyebab utama acne
pada kelompok ini adalah perubahan respons reseptor androgen kulit
terhadap perubahan hormon fisiologis siklus haid. Sebagian besar
perempuan mengalami peningkatan jumlah acne pada masa premenstrual
atau sebelum haid (Ramdani R, 2015).

24
2.2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan AV (Acne Vulgaris) bisa bervariasi.Salah satu tujuan


primer terapi akcne jangka panjang adalah menjaga duktus pilosebaseus
tetap terbuka dan menghindari iritasi kulit.Terapi nonfamakologis dapat
berupa perawatan kulit wajah, memilih kosmetik yang nonkomedogenik,
dan menghindari pemencetan lesi secara non-higienis.Sedangkan terapi
farmakologis acne vulgaris dilakukan sesuai derajat keparahannya dan
dapat dibagi menjadi terapi topikal dan sistemik (Movita T, 2013).

Terapi topikal merupakan standar penanganan acne derajat ringan


sampai sedang. Pemilihan bentuk sediaan topikal yang tepat akan
menurunkan efek samping dan meningkatkan kepatuhan pasien serta
memberi hasil yang lebih baik. Secara umum, prinsip terapi topikal pada
acne vulgaris dikaitkan dengan tiga hal, yaitu: etio-patogenesis, tipe lesi dan
derajat keparahan, serta keadaan kulit penderita. Obat berbentuk gel, sabun,
dan solusio menimbulkan kering pada kulit dan baik digunakan pada kulit
berminyak. Bentuk lotion, krim, dan salep baik digunakan pada kulit kering
tetapi mudah mengiritasi kulit. Terapi topikal ini pada umumnya
membutuhkan waktu enam sampai delapan minggu untuk melihat efek
kerjanya (Movita T, 2013).
Bahan topikal untuk terapi acne sangat beragam. Bahan aktif yang
sering digunakan adalah retinoid, benzoil peroksida, asam salisilat, sulfur,
asam azaleat, Alpha Hydroxy Acid (AHAs), dan beberapa antibiotik, seperti
eritromisin, klindamisin, tetrasiklin, dan metronidazol.10Asam azaleat
dengan konsentrasi krim 20% atau gel 15% memiliki efek antimikroba dan
komedolitik.13Benzoil peroksida merupakan bakteriostatik poten dan
komedolitik ringan yang memiliki efek samping kekeringan atau iritasi kulit
terutama pada konsentrasi tinggi (Movita T, 2013).
Retinoid topikal yang merupakan derivat vitamin A bekerja
menormalkan proses proliferasi, mencegah penyumbatan folikuler, serta
menurunkan pelepasan sitokin proinflamasi. Terdapat tiga jenis retinoid

25
topikal, yaitu tretinoin, adapalen, dan tazaroten. Tretinoin adalah yang
sering dipakai sebagai terapi standar acne vulgaris dan dapat berupa krim,
gel, maupun cairan.Retinoid dapat menyebabkan penipisan stratum
korneum dan lapisan luar epidermis terutama pada kulit yang rentan
fototrauma. Penderita disarankan menggunakan tabir surya jika terpapar
sinar matahari lama sehingga efek penipisan epidermis pada penggunaan
retinoid dapat dihindari (Movita T, 2013).
Antibiotik topikal selain bekerja secara langsung menghambat
kolonisasi P. acnes, juga diduga berkaitan dengan efek antiinflamasi pada
komedogenesis. Antibiotik topikal yang banyak digunakan adalah
eritromisin dan klindamisin. Eritromisin dan klindamisin memiliki efek
yang hampir sama, yaitu bekerja menghambat sintesis protein bakteri dan
sebagai anti-inflamasi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih obat antibiotik ini dikarenakan meningkatnya resistensi terhadap
antibiotik yangsering digunakan. Maka dari itu, terapi kombinasi lebih
dipilih untuk mengurangi resistensi. Biasanya terapi topikal kombinasi yang
digunakan dan paling efektif pada penderita acne vulgaris derajat ringan
sampai sedang adalah benzoil peroksida dengan antibiotik topikal (Movita
T, 2013).
Terapi sistemik, termasuk antibiotik oral, retinoid oral, dan terapi
hormonal menjadi pilihan terapi acne vulgaris pada keadaan terapi topikal
sudah tidak responsif atau pada derajat keparahan akne sedang hingga berat.
Terapi oral isotretinoin sejauh ini masih menjadi terapi yang paling
efektif.Obat ini langsung bekerja pada keempat patogenesis utama acne
vulgaris. Isotretinoin paling efektif untuk akne jenis nodulokistik dan dapat
mencegah jaringan parut. Namun, obat ini dapat menimbulkan kekambuhan
jika obat dihentikan dengan pemeliharaan kebersihan yang kurang serta
bersifat teratogenik (Movita T, 2013).
Tetrasiklin merupakan lini pertama terapi antibiotik oral pada acne,
tetapi penggunaannya harus tetap dibatasi dan tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi dikarenakan alasan resistensi. Respon antibiotik oral biasanya
26
terlihat setelah terapi selama enam minggu. Penggunaan terapi kombinasi,
sekali lagi, lebih disarankan, misalnya pemberian terapi retinoid topikal
dengan antibiotik oral bisa mempercepat respon penyembuhan (Movita T,
2013).

Agen hormonal ternyata juga efektif sebagai terapi lini kedua pada
wanita dengan acne tanpa melihat adanya kelainan hormonal.Terapi
hormonal yang dipakai terutama adalah kontrasepsi oral kombinasi yang
mengandung estrogen dan progestin. Komponen estrogen menurunkan
produksi testosteron dan hormon androgen lain. Beberapa kandungan
progestin dapat memperparah kejadian akne. Progestin yang dipilih adalah
yang mengandung norgestimat, desogestrel, atau drosiperon untuk
mengurangi efek tersebut. Penggunaan terapi hormonal ini perlu dilihat dari
segi kebutuhan pasien dan indikasinya karena bisa menimbulkan efek
samping, seperti hiperkalemia, menstruasi yang tidak teratur, dll. Akan lebih
efektif jika dikombinasikan dengan terapi topikal atau antibiotik oral
(Movita T, 2013).

Selain terapi farmakologis di atas, terapi optikal dengan menggunakan


laser atau gelombang cahaya tertentu juga dapat menjadi pilihan terapi acne
vulgaris. Terapi cahaya seperti Photodynamic Therapy (PDT) menjadi
alternatif bagi pasien yang meninginkan penyembuhantopikal yang cepat
kerjanya, tanpa efek samping yang serius, dan tidak menyebabkan resistensi
antibiotik. Photodynamic Therapy bekerja pada prekusor porfirin topikal
yang dihasilkan oleh P. acnes, seperti 5-aminolaevulinic acid (ALA) atau
metil aminolevulinat (MAL). Pada red light ALA-PDT menyebabkan
destruksi kelenjar sebaseus dan remisi akne jangka panjang, sedangkan pada
MAL-PDT efektif sebagai antibiotik dan antiinflamasi (Movita T, 2013).

Patogenesis acne yang kompleks membuat terapi acne sangat


beragam.Beberapa terapi akne diberikan secara kombinasi dengan terapi
lainnya untuk memaksimalkan penyembuhan akne vulgaris.Berikut ini

27
algoritma terapi akne vulgaris dapat dilihat pada tabel 2 : Algoritma Terapi
acne vulgaris.

TABEL 2 : Algoritma Terapi Acne Vulgaris

Sumber : (Movita T,2013)

2.2.9 Diagnosis
Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit,
tetapi pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun
komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan
diagnosis acne vulgaris (Wolff dan Johnson, 2009).
Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul dan kista pada
daerah–daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak.
Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi
untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya
hyperandrogenism (Wolff dan Johnson, 2009).
2.2.10 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan dalam diagnosis jerawat.


Pemeriksaan laboratorium dilakukan pada pasien acne jika dicurigai adanya
hiperandrogenisme. Pada pasien dengan tanda virilisasi perlu pemeriksaan
28
lengkap dari level testosterone seperti testosteron bebas, DHEA-S, hormon
luteinizing, dan follicle-stimulating hormone (FSH) (Raw, J, 2016).

Kultur dari lesi kulit dapat menyingkirkan kemungkinan folikulitis gram


negatif, dilakukan jika pasien tidak merespon pengobatan atau perbaikan
tidak dapat dipertahankan (Raw, J, 2016).

Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan


indikasi untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya
hiperandrogenisme. Meskipun androgen berperan penting, sebagian besar
penderita acne tanpa gejala hiperandrogenisme memiliki kadar androgen
serum normal, dan derajat berat acne tidak berkorelasi dengan kadar
androgen serum. Diduga bahwa androgen hanya sebagai faktor pemicu acne.
Secara klinis, acne lebih ditentukan oleh produksi androgen lokal di kulit
yang berlebihan dan atau reseptor androgen yang banyak serta sangat
responsif (Kurokawa I, 2009).

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan


histopatologi, pemeriksaan mikrobiologi untuk pemeriksaan terhadap
mikroorganisme misalnya propionibacterium acne dan juga dilakukan
analisis komposisi asam lemak di kulit (Kurokawa I, 2009).
2.2.11 Komplikasi
Adapun komplikasi yang disebabkan oleh acne vulgaris sebagai berikut :
1. Hiperpigmentasi post inflammatory
2. Jaringan parut permanen.
3. Acne vulgaris mungkin juga menimbulkan dampak psikologis pada
banyak pasien. Diperkirakan bahwa 30% -50% remaja mengalami
gangguan kejiwaan akibat jerawat
4. Edema pada wajah
5. Keloid
(Zaenglein, Andrea L, 2012)

29
Meski acne tidak mengancam nyawa dan bersifat self-limiting,
namun acne dapat menyebabkan dampak dan komplikasi yang
cukup bermakna. Acne mempengaruhi penampilan dan dapat
bertahan lama yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis
penderita apalagi kebanyakan terjadi pada remaja atau dewasa muda
yang sedang dalam keadaan emosional yang sangat sensitif.
Kemudian komplikasinya berupa bekas luka yang dapat menetap
seumur hidup juga sangat berdampak (Gabriella Fabbrocini, 2010).

Terjadinya bekas luka didasari oleh proses penyembuhan luka yang


terdiri atas inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan
remodelling matriks. Terutama bekas luka berhubungan dengan
keseimbangan antara matrix metalloproteinase (MMP) dengan
inhibitor MMP di jaringan. Terdapat dua jenis bekas luka, yaitu bekas
luka atrofik serta bekas lukahipertrofik dan keloid. Bekas luka akibat
acne yang bersifat atrofik lebih sering terjadi (Gabriella Fabbrocini,
2010).

30
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Nama Kegiatan


Tugas Pengenalan Profesi dengan judul “Identifikasi Penyakit Kulit 3 (Acne
Vulgaris) di Masyarakat”.

3.2 Lokasi Pelaksanaan


Tugas Pengenalan Profesi Blok XVI akan dilaksanakan di Masyarakat.

3.3 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Tempat :
Waktu :

3.4 Subjek Tugas Mandiri


Subjek tugas mandiri pada Tugas Pengenalan Profesi Blok XVI adalah
“Identifikasi Penyakit Kulit 3 (Acne Vulgaris) di Masyarakat.

3.5 Alat dan Bahan


1. Kamera
2. Alat tulis
3. Quisioner (berisi pertanyaan wawancara)

3.8 Langkah Kerja


1 Konsultasi kepada pembimbing
2 Membuat dan mengajukan proposal kepada pembimbing
3 Meminta surat persetujuan izin pelaksanaan TPP yang ditandatangani
pembimbing
4 Meminta surat pengantar TPP ketempat atau lokasi pada bagian akademik,
berdasarkan bukti surat persetujuan pembimbing
5 Melaksanakan TPP
31
6 Mencatat hasil TPP
7 Membuat laporan TPP dan meminta tanda tangan pembimbing untuk
persetujuan pelaksanaan pleno TPP

32
DAFTAR PUSTAKA

Ayudianti, P. & Indramaya, D.M., 2010. (Retrospective Study : Factors Aggravating


Acne Vulgaris). Faktor Pencetus Akne Vulgaris, 26/No. 1, pp.41–47.

Christine, C. 2016. Guidelines of Care for Acne Vulgaris Management. The


American Academy of Dermatology.

Calvin O. McCall dan Thomas J. Lawley. 2015. Eczema, Psoriasis, Cutaneous


Infections, Acne, and Other Common Skin Disorders. In : Harrison's Principles
of Internal Medicine. 19th Edition. United Statesof America: McGraw-hill.

Fulton, J., 2009. Acne Vulgaris. eMedicine Articles. Available from :


http://emedicine.medscape.com/article/1069804

Gabriella Fabbrocini, M.C. Annunziata, V. D’Arco, dkk. Acne Scars: Pathogenesis,


Classification and Treatment. Dermatology Research and Practice. 2010.

Irma Bernadette S Sitohang, Sjarif M. Wasiatmadja. Acne Vulgaris. In: Djuanda A,


Mochtar H, Aisah S (eds.). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi ke-7.
Jakaarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. P288-291.

James, William D..2012. Chapter 13. Acne: Andrews Diseases Of The Skin Clinical
Dermatology. 11th edition. USA: Elsevier’s Rights. P234.

Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang x, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al.
New developments in our understanding of acne pathogenesis and treatment.
Eperimental Dermatology. 2009; 18:821-32.

Movita T. Acne Vulgaris. Contunuing Medical Education-202. 2013; 40(3).

Paulsen F & Waschke J. 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 1, Ed. 23, Hal.
36-41. Jakarta. EGC.

Ramdani R, Sibero H. T. 2015. TREATMENT FOR ACNE VULGARIS. Jurnal


Majority. Volume 4 Nomor 2. FK Lampung.
33
Raw, J. (2016, may 20). Acne Vulgaris. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1069804-overview.

Sitohang, I.B.S., Fathan, H., Effendi.,Wahid, M. 2019. Medical Journal of


Indonesia Clinical Research The susceptibility of pathogens associated with
acne vulgaris to antibiotics. Department of Dermatovenereology, Faculty of
Medicine, Universitas Indonesia, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta,
Indonesia..

Tahir, M.(2010) Patogenesis of acne Vulgaris. Journal of Pakistan Association of


Dermatologists ;10 :93-97.

V. P. Eroschenko. 2014. ATLAS HISTOLOGI diFiore: dengan Korelasi Fungsional,


Ed. 12, Hal.261-281. Jakarta: EGC.

Wolff K, Johnson RA.2009. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis Of Clinical


Dermatology. 6thed. United States of America: The McGraw-Hill
Companies.pp.20-33.

Zaenglein, Andrea L.2012. Chapter 80. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions:
Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. 8thedition. New York:
McGrawHill. P897-912.

Zaenglein, et al. (2016, 02 17). Guidelines of Care for the Management of Acne
Vulgaris: Journal of the American academy of
dermatology.http://dx.doi.org/10.1016/j.jaad .2015.12.037

34

Anda mungkin juga menyukai