Disusun Oleh :
Agil Saputra 18/433601/PKU/17514
Bambang Sudono 18/433607/PKU/17520
Herlin Lidya 18/433619/PKU/17532
Hersinta Retno Martani 18/433620/PKU/17533
MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Gigitan binantang berbisa merupakan suatu bahaya yang banyak mengancam pada
pekerja yang ada dipertanian seperti petani, pekerja perkebunan dan pekerja luar lainnya yang
memiliki dampak kematian dan kesakitan yang besar (Ahmed et al., 2008). Diperkirakan
lebih dari 5 juta orang penduduk setiap tahunnya mengalami gigitan ular dan 100.000
diantaranya meninggalkan gejala sisa yang parah dan lainnya mengalami kematian (WHO,
2019a).
Kasus gigitan binatang berbisa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan kasus
lainnya adalah gigitan ular. Kasus gigitan ular berbisa terjadi hampir diseluruh belahan dunia
khususnya Afrika, Asia dan Amerika Selatan serta paling banyak terjadi pada daerah
pedesaan. (Bhaumik, Jagadesh, & Lassi, 2018). Penanganan terhadap kasus gigitan ular
berbisa masih banyak dilakukan diluar perawatan medis dan kurang menjadi perhatian dari
masyarakat, sementara itu penderita gigitan ular berbisa membutuhkan pertolongan yang
tepat yaitu dengan anti venom untuk mengurangi angka kesakitan dan kematiannya (Williams
et al., 2011).
Gigitan ular berbisa merupakan cedera yang dapat mengancam jiwa dan membutuhkan
perawatan yang intensif serta membutuhkan pengobatan dan diagnosis yang tepat.
Pertolongan pertama yang pernah direkomendasikan seperti memasang torniquets, memberi
sayatan serta melakukan hisapan saat ini sudah tidak dianjurkan (Hifumi et al., 2015). Oleh
karena itu tenaga kesehatan harus meningkatkan pengetahuan serta metode penanganan
gigitan binatang berbisa supaya dapat memberikan pertolongan yang tepat kepada pasien
(WHO, 2016). Disamping itu juga diperlukan pendekatan multi sektoral yang terpadu untuk
mengurangai dampak cedera, kecatatan maupun kematian yang dapat ditimbulkan oleh
gigitan ular berbisa (WHO, 2019b).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Envenoming gigitan ular adalah penyakit yang berpotensi mengancam jiwa yang
biasanya dihasilkan dari injeksi campuran racun yang berbeda ("racun") setelah gigitan
ular berbisa. Envenoming juga dapat disebabkan oleh racun yang disemprotkan ke mata
oleh spesies ular tertentu yang memiliki kemampuan meludahkan racun sebagai cara
melakukan pertahanan (WHO, 2019b).
B. Etiologi
Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya termasuk ular berbisa. Ular
berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular laut), Elapidae
(contohnya cobra, king kobra) dan Viperidae (ular viper, Crotalidae). Kasus gigitan ular
berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae. Ular jenis Crotalidae
disebut juga Viperidae atau pit vipers karena kepala berbentuk triangular, pupil matanya
elips, serta terdapat lubang antara hidung dan mata. Lubang tersebut pada jenis pit viper
berfungsi sebagai organ sensoris terhadap panas. Pit viper mudah dikenal dari taringnya
yang cukup panjang, sekitar 3-4 cm. Jenis ular berbisa dari famili Elapidae misalnya
coral snake mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan pupil bulat dan taring lebih kecil
sekitar 1-3 mm. Coral snake mudah diidentifikasi karena warnanya terang, misalnya
belang hitam dan merah atau kuning (Niasari & Latief, 2016).
C. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Secara mikroskop
elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah
sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular (Niasari & Latief, 2016)..
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim
protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A
menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat
menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi
KID (Niasari & Latief, 2016)..
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan
fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili
Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran
vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak
hampir pada semua sistem organ. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae
terutama bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di dalam
tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh
(Niasari & Latief, 2016).
D. Komplikasi snake bite
Jenis ular yang menggigit akan berpengaruh dengan jenis komplikasi yang akan
terjadi. Ular jenis viper akan lebih menyebabkan koagulopati dibandingkan dengan ular
jenis elapids yang lebih menyebabkan komplikasi pada syaraf.
1. Komplikasi hematologi (Berling & Isbister, 2015)
Komplikasi yang paling sering terjadi karena gigitan ular adalah masalah
hematologi, spesifiknya koagulopati. Adapun tipe koagulopati karena gigitan ular
disebut juga Venom-induced consumption coagulopathy (VICC). VICC adalah
kondisi koagulopati yang disebabkan oleh terlalu banyaknya faktor pembekuan
darah yang tersirkulasi di suatu tempat disebabkan karena racun prokoagulan yang
terdapat pada bisa ular. Kondisi tersebut menyebabkan di sisi lainnya, faktor
koagulan tidak tersirkulasi dengan baik dan menyebabkan adanya perdarahan.
Durasi dari VICC tergantung dengan tipe dari bisa ular dan pemberian antibisa.
Umumnya, gejala VICC akan membaik 24-48 jam setelah pemberian antidotum.
Diagnosis dari VICC dapat ditegakkan dengan beberapa bukti seperti riwayat
tergigit ular dan adanya koagulopati. Koagulopati dapat dikonfirmasi dengan melihat
INR, PTT dan APTT, peningkatan D-dimer.
Bisa ular mempengaruhi hemostasis dalam beberapa cara. Enzim prokoagulan
mengaktifkan koagulasi intravaskular, menghasilkan konsumsi koagulopati dan
darah yang tidak dapat dikoagulasi. Procoagulan dari spesies Colubridae,
Australasian Elapidae, Echis, dan Daboia mengaktifkan protrombin, sedangkan
racun Daboia russelii dan D. siamensis mengaktifkan faktor V dan X. Enzim yang
mirip thrombin dalam racun pit-viper memiliki aksi langsung pada fibrinogen.
Beberapa racun menyebabkan defibrinogenasi dengan mengaktifkan sistem
fibrinolitik endogen (plasmin). Aktivitas antikoagulan disebabkan oleh racun
fosfolipase. Aktivasi atau penghambatan trombosit mengakibatkan trombositopenia
pada korban spesies Trimeresurus dan Viridovipera, Calloselasma rhodostoma,
Deinagkistrodon acutus, dan Daboia siamensis. Oleh karena itu pasien yang tergigit
ular rentan mengalami perdarahan khususnya pada pasien yang juga mengalami
trauma, atau pasien yang memiliki riwayat hipertensi Pendarahan sistemik yang
berpotensi mematikan secara spontan disebabkan oleh racun hemoragin (WHO,
2016).
.
2. Intrahospital
Secara umum terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan pada saat pasien
sudah berada di rumah sakit, meliputi: (Ooi & Manning, 2016)
a. Antibisa / antidotum
Antibisa telah terbukti dapat mengikat racun dan menetralkan efek toxic.
Namun, pengikatan dan penetralan racun hanya dapat mencegah VICC sebelum
berkembang semakin parah sehingga harus diberikan segera. Pemberian antibisa
lebih dari 6 jam setelah pasien tergigit ular menunjukkan bahwa perbaikan
kondisi VICC tidak dapat dilakukan secara optimal (Fry, 2018). Pemberian
antibisa dapat membantu pada komplikasi yang berhubungan dengan sistem
syaraf, namun tidak terlalu memiliki efek yang baik pada VICC.
b. Pemberian Fresh Frozen Plasma
Pemberian antibisa dan FFP telah terbukti dapat memperbaiki nilai PT dan
INR, sehingga dapat mengontrol perdarahan. Pemberian FFP dan menjaga
pasien agar tidak mengalami trauma merupakan cara yang paling tepat untuk
mencegah pendarahan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Ilustrasi Kasus
Tn.A 37 tahun masuk rumah sakit tgl 10 Oktober 2019, sebelumnya penderita pada
pukul 12.30 WIB digigit ular di tungkai kiri, dibawa ke RSUD X jam 13.00 WIB.
Penderita mengeluh: sesak nafas, terasa panas, nyeri, badan kaku semua dan kaki
bengkak. Nyeri kepala (-), mual dan muntah (-). Px TTV di IGD: Suhu: 36,9°C, TD :
130/80, N : 78/menit, RR : 34 x/menit.
1. Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Umur : 37 tahun
Alamat : Yogyakarta
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SMP
Klien datang ke IGD pada tanggal 10 Oktober 2019 jam 13.00 WIB, dengan di bawa
oleh tetangganya, klien mengatakan tungkai kirinya digigit ular, setelah itu klien
merasakan sesak nafas, terasa panas, nyeri, badan kaku semua dan kaki bengkak,
tampak kebiruan. dan tiba-tiba terjatuh. Di rumah kaki klien sudah diikat dengan
menggunakan kain diatas luka gigitan ular tersebut. Lalu klien langsung dibawa ke
RS. Hasil pemeriksaan TTV : Suhu: 36,9°C, TD : 130/80, N : 78/menit, RR :
34 x/menit. GCS E3V3M5 di IGD terpasang infus NaCl 0,9 % 30 Tpm. Kesehatan
Dahulu : Klien sebelumnya tidak menderita sakit apapun.
Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyaki t menular atau
menurun
B. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular akibat toksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
5. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
C. Intervensi
1. Diagnosa 1 :
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular akibat toksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Tidak terjadi gagal nafas. Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan
dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi :
a. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.
b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
c. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
d. Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, sungkup sederhana
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
f. Pantau AGD
Rasional: Mengetahui keseimbangan asam basa, tekanan Oksigen, tekanan
Karbondioksiada dalam darah.
g. Observasi warna kulit dan adanya sianosis
Rasional: Terjadi kematian jaringan akibat hipoksemia berat
h. Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
Rasional: Terjadi gagal nafas akibat tidak berfungsinya otot-otot pernafasan
i. Batasi pengunjung klien
Rasional: Untuk mengimobilisasi pasien dan mengurangi aktifitas yang
mempengaruhi pernafasan
2. Diagnosa 2 :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh
tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
3. Diagnosa 3 :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
a. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
e. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
f. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
4. Diagnosa 4 :
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
5. Diagnosa 5 :
Kesimpulan
Gigitan ular merupakan salah satu kondisi yang harus ditangani segera. Penggunaan
tourniquet sebagai pertolongan pertama telah digantikan dengan imobilisasi area yang telah
tergigit. Perawat harus sangat berhati-hati untuk mengobservasi kondisi pasien dan menjaga
agar pasien tetap tenang sehingga persebaran racun dalam tubuh tidak semakin cepat.
Pemantauan tanda-tanda vital secara berkelanjutan diperlukan untuk memonitor apabila ada
penurunan kondisi. Selain itu, pemberian antibisa harus diberikan segera agar outcome-nya
pun dapat baik. Hal tersebut untuk mencegah komplikasi yang paling lebih lanjut seperti
masalah hematologi dan neurologis. Sebaiknya perawat terus mengikuti update terbaru
mengenai penanganan pertama pada saat pasien mengalami gigitan ular.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S., Ahmed, M., Nadeem, A., Mahajan, J., Choudhary, A., & Pal, J. (2008).
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. Journal of Emergencies,
Trauma and Shock, 1(2), 97. https://doi.org/10.4103/0974-2700.43190
Berling, I., & Isbister, G. K. (2015). Hematologic effects and complications of snake
envenoming. Transfusion Medicine Reviews, 29(2), 82–89.
https://doi.org/10.1016/j.tmrv.2014.09.005
Bhaumik, S., Jagadesh, S., & Lassi, Z. (2018). Quality of WHO guidelines on snakebite: The
neglect continues. BMJ Global Health, 3(2), 2–3. https://doi.org/10.1136/bmjgh-2018-
000783
Del Brutto, O. H. (2013). Neurological effects of venomous bites and stings. Snakes, spiders,
and scorpions. Handbook of Clinical Neurology (1st ed., Vol. 114). © 2013, Elsevier
B.V. All rights reserved. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-53490-3.00028-5
Fry, B. G. (2018). Snakebite : When the Human Touch Becomes a Bad Touch. Toxins,
10(170), 1–24. https://doi.org/10.3390/toxins10040170
Hifumi, T., Sakai, A., Kondo, Y., Yamamoto, A., Morine, N., Ato, M., … Kuroda, Y. (2015).
Venomous snake bites: Clinical diagnosis and treatment. Journal of Intensive Care, 3(1),
1–9. https://doi.org/10.1186/s40560-015-0081-8
Ooi, S., & Manning, P. (2016). Guide to The Essentials in Emergency Medicine. Singapore:
Mc Graw Hill.
Parker-Cote, J., & Meggs, W. (2018). First Aid and Pre-Hospital Management of Venomous
Snakebites. Tropical Medicine and Infectious Disease, 3(2), 45.
https://doi.org/10.3390/tropicalmed3020045
Pediatri, S., Vol, S., Niasari, N., & Latief, A. (2003). Gigitan Ular Berbisa. (3).
WHO. (2016). Guidelines for the Management of snakebite. American Family Physician,
second edi. https://doi.org/10.15511/tjtfp.18.00125
WHO. (2019a). Snakebite: WHO targets 50% reduction in deaths and disabilities. Retrieved
October 24, 2019, from https://www.who.int/news-room/detail/06-05-2019-snakebite-
who-targets-50-reduction-in-deaths-and-disabilities
WHO. (2019b). What is snakebite envenoming? Retrieved October 24, 2019, from
https://www.who.int/snakebites/disease/en/
Williams, D. J., Gutiérrez, J. M., Calvete, J. J., Wüster, W., Ratanabanangkoon, K., Paiva, O.,
… Warrell, D. A. (2011). Ending the drought: New strategies for improving the flow of
affordable, effective antivenoms in Asia and Africa. Journal of Proteomics, 74(9),
1735–1767. https://doi.org/10.1016/j.jprot.2011.05.027