Anda di halaman 1dari 21

Managemen Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Snake Bite

Dosen : Happy Indah K. S. Kep.,Ns. MSC

Disusun Oleh :
Agil Saputra 18/433601/PKU/17514
Bambang Sudono 18/433607/PKU/17520
Herlin Lidya 18/433619/PKU/17532
Hersinta Retno Martani 18/433620/PKU/17533

MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Gigitan binantang berbisa merupakan suatu bahaya yang banyak mengancam pada
pekerja yang ada dipertanian seperti petani, pekerja perkebunan dan pekerja luar lainnya yang
memiliki dampak kematian dan kesakitan yang besar (Ahmed et al., 2008). Diperkirakan
lebih dari 5 juta orang penduduk setiap tahunnya mengalami gigitan ular dan 100.000
diantaranya meninggalkan gejala sisa yang parah dan lainnya mengalami kematian (WHO,
2019a).

Kasus gigitan binatang berbisa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan kasus
lainnya adalah gigitan ular. Kasus gigitan ular berbisa terjadi hampir diseluruh belahan dunia
khususnya Afrika, Asia dan Amerika Selatan serta paling banyak terjadi pada daerah
pedesaan. (Bhaumik, Jagadesh, & Lassi, 2018). Penanganan terhadap kasus gigitan ular
berbisa masih banyak dilakukan diluar perawatan medis dan kurang menjadi perhatian dari
masyarakat, sementara itu penderita gigitan ular berbisa membutuhkan pertolongan yang
tepat yaitu dengan anti venom untuk mengurangi angka kesakitan dan kematiannya (Williams
et al., 2011).

Gigitan ular berbisa merupakan cedera yang dapat mengancam jiwa dan membutuhkan
perawatan yang intensif serta membutuhkan pengobatan dan diagnosis yang tepat.
Pertolongan pertama yang pernah direkomendasikan seperti memasang torniquets, memberi
sayatan serta melakukan hisapan saat ini sudah tidak dianjurkan (Hifumi et al., 2015). Oleh
karena itu tenaga kesehatan harus meningkatkan pengetahuan serta metode penanganan
gigitan binatang berbisa supaya dapat memberikan pertolongan yang tepat kepada pasien
(WHO, 2016). Disamping itu juga diperlukan pendekatan multi sektoral yang terpadu untuk
mengurangai dampak cedera, kecatatan maupun kematian yang dapat ditimbulkan oleh
gigitan ular berbisa (WHO, 2019b).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Envenoming gigitan ular adalah penyakit yang berpotensi mengancam jiwa yang
biasanya dihasilkan dari injeksi campuran racun yang berbeda ("racun") setelah gigitan
ular berbisa. Envenoming juga dapat disebabkan oleh racun yang disemprotkan ke mata
oleh spesies ular tertentu yang memiliki kemampuan meludahkan racun sebagai cara
melakukan pertahanan (WHO, 2019b).
B. Etiologi
Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya termasuk ular berbisa. Ular
berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular laut), Elapidae
(contohnya cobra, king kobra) dan Viperidae (ular viper, Crotalidae). Kasus gigitan ular
berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili Crotalidae. Ular jenis Crotalidae
disebut juga Viperidae atau pit vipers karena kepala berbentuk triangular, pupil matanya
elips, serta terdapat lubang antara hidung dan mata. Lubang tersebut pada jenis pit viper
berfungsi sebagai organ sensoris terhadap panas. Pit viper mudah dikenal dari taringnya
yang cukup panjang, sekitar 3-4 cm. Jenis ular berbisa dari famili Elapidae misalnya
coral snake mempunyai kepala kecil dan bulat, dengan pupil bulat dan taring lebih kecil
sekitar 1-3 mm. Coral snake mudah diidentifikasi karena warnanya terang, misalnya
belang hitam dan merah atau kuning (Niasari & Latief, 2016).
C. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein. Jumlah
bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia ular. Bisa
ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur. Secara mikroskop
elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein yang dapat menimbulkan
kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan
kerusakan membran plasma. Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah
sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular (Niasari & Latief, 2016)..
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim
protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A
menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat
menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi
KID (Niasari & Latief, 2016)..

Kandungan Bisa Ular Jenis Dampak


Polipetida Berikatan dengan reseptor-reseptor yang
ada pada tubuh korban
Enzim Larginine Pelepasan bradikinin sehingga
esterase menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual
dan muntah serta seringkali
menimbulkan keluarnya keringat yang
banyak setelah terjadi gigitan
Enzim protease Menimbulkan berbagai variasi nekrosis
jaringan
Phospholipase A hidrolisis dari membran sel darah merah
Hyaluronidase kerusakan dari jaringan ikat
Amino acid Koagulasi Intravaskular Diseminata
esterase (KID)
Protein Menimbulkan kerusakan pada sel-sel
endotel dinding pembuluh darah,
sehingga menyebabkan kerusakan
membran plasma

Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan
fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili
Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran
vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak
hampir pada semua sistem organ. Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae
terutama bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmiter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di dalam
tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh
(Niasari & Latief, 2016).
D. Komplikasi snake bite
Jenis ular yang menggigit akan berpengaruh dengan jenis komplikasi yang akan
terjadi. Ular jenis viper akan lebih menyebabkan koagulopati dibandingkan dengan ular
jenis elapids yang lebih menyebabkan komplikasi pada syaraf.
1. Komplikasi hematologi (Berling & Isbister, 2015)
Komplikasi yang paling sering terjadi karena gigitan ular adalah masalah
hematologi, spesifiknya koagulopati. Adapun tipe koagulopati karena gigitan ular
disebut juga Venom-induced consumption coagulopathy (VICC). VICC adalah
kondisi koagulopati yang disebabkan oleh terlalu banyaknya faktor pembekuan
darah yang tersirkulasi di suatu tempat disebabkan karena racun prokoagulan yang
terdapat pada bisa ular. Kondisi tersebut menyebabkan di sisi lainnya, faktor
koagulan tidak tersirkulasi dengan baik dan menyebabkan adanya perdarahan.
Durasi dari VICC tergantung dengan tipe dari bisa ular dan pemberian antibisa.
Umumnya, gejala VICC akan membaik 24-48 jam setelah pemberian antidotum.
Diagnosis dari VICC dapat ditegakkan dengan beberapa bukti seperti riwayat
tergigit ular dan adanya koagulopati. Koagulopati dapat dikonfirmasi dengan melihat
INR, PTT dan APTT, peningkatan D-dimer.
Bisa ular mempengaruhi hemostasis dalam beberapa cara. Enzim prokoagulan
mengaktifkan koagulasi intravaskular, menghasilkan konsumsi koagulopati dan
darah yang tidak dapat dikoagulasi. Procoagulan dari spesies Colubridae,
Australasian Elapidae, Echis, dan Daboia mengaktifkan protrombin, sedangkan
racun Daboia russelii dan D. siamensis mengaktifkan faktor V dan X. Enzim yang
mirip thrombin dalam racun pit-viper memiliki aksi langsung pada fibrinogen.
Beberapa racun menyebabkan defibrinogenasi dengan mengaktifkan sistem
fibrinolitik endogen (plasmin). Aktivitas antikoagulan disebabkan oleh racun
fosfolipase. Aktivasi atau penghambatan trombosit mengakibatkan trombositopenia
pada korban spesies Trimeresurus dan Viridovipera, Calloselasma rhodostoma,
Deinagkistrodon acutus, dan Daboia siamensis. Oleh karena itu pasien yang tergigit
ular rentan mengalami perdarahan khususnya pada pasien yang juga mengalami
trauma, atau pasien yang memiliki riwayat hipertensi Pendarahan sistemik yang
berpotensi mematikan secara spontan disebabkan oleh racun hemoragin (WHO,
2016).
.

2. Komplikasi neurologis (Del Brutto, 2013)


Efek racun dari bisa ular dapat menyebabkan neurotoksisitas. Salah satu
komplikasi dari gigitan ular adalah stroke. Umumnya kasus stroke karena gigitan
ular ditemukan di area pedesaan. Stroke tersebut terjadi karena masalah koagulasi
darah yang disebabkan oleh bisa ular. Insidensi stroke yang disebabkan karena
infark hampir sama besarnya dengan stroke yang disebabkan karena pendarahan
(Del Brutto, 2013).
Selain sistem saraf pusat, komplikasi neurologis juga dapat terjadi pada sistem
saraf perifer. Efek alpha dan beta neurotoxin mulai muncul sejak beberapa menit
atau jam dari masuknya bisa. Kondisi tersebut menyebabkan kelemahan otot
dikarenakan blockade pada transmisi sinaps, baik pada level presinaps maupun post-
sinaps. Paling sering, tanda pertama dari paralisis adalah palpebralprosis dan
ophthalmoplegia eksternal karena otot okuler merupakan otot yang rentan untuk
mengalami blockade transmisi tersebut.
Beberapa jam setelah gigitan ular, umumnya otot wajah, vocal cords dan otot
leher akan ikut melemah. Otot selanjutnya yang akan terpengaruh adalah otot
ekstrimitas dengan terjadinya flaccid quadriparesis atau quadriplegia. (Del Brutto,
2013)
3. Keracunan lokal
Pembengkakan dan memar merupakan akibat peningkatan permeabilitas
pembuluh darah yang disebabkan oleh racun endopeptidase, hemoragin
metaloproteinase, racun polipeptida perusak membran, fosfolipase, dan autacoid
endogen yang dilepaskan oleh racun, seperti histamin, 5-HT, dan kinin. Nekrosis
jaringan lokal terjadi sebagai akibat aksi langsung miotoksin dan sitotoksin,
sedangkan iskemia disebabkan oleh adanya trombosis; kompresi pembuluh darah
akibat metode pertolongan pertama seperti tourniquets yang ketat; atau dengan
pembengkakan otot dalam kompartemen fasia. Myotoxins merusak membran plasma
sel otot secara langsung. Sebagian besar adalah PLA2s, baik aktif secara enzimatik
(aspartat-49) atau tidak aktif secara enzimatik (lisin-49) (WHO, 2016)..
4. Hipotensi dan syok
Setelah gigitan ular berbisa, kebocoran plasma atau darah ke anggota tubuh
yang tergigit dan di tempat lain, atau pendarahan gastrointestinal masif, dapat
menyebabkan hipovolemia. Vasodilatasi, terutama pembuluh splanknik, dan efek
langsung pada miokardium dapat berkontribusi terhadap hipotensi. Hipotensi yang
dalam adalah bagian dari sindrom autofarmakologis yang terjadi dalam beberapa
menit setelah gigitan oleh D. siamensis, D. russelii, dan elapid Australasia, yang
disebabkan oleh oligopeptida (ACE inhibitor dan BPP) dan autacoid vasodilatasi.
Dalam beberapa kasus, efek miokard langsung dari racun dapat dilihat dalam
perubahan elektrokardiografi (EKG) dan temuan otopsi dari perdarahan epikardial
atau endokardial dan bukti histopatologis mionekrosis jantung (WHO, 2016).
5. Aktivasi Komplemen
Elapid dan beberapa racun colubroid mengaktifkan komplemen melalui jalur
alternatif "faktor racun kobra", sedangkan beberapa racun viperid mengaktifkan jalur
klasik. Aktivasi komplemen mempengaruhi trombosit, sistem pembekuan darah, dan
mediator humoral lainnya (WHO, 2016).
6. Neurotoksisitas
Polipeptida neurotoksik dan PLA2 dari ular dapat menyebabkan kelumpuhan
dengan menghalangi transmisi di persimpangan neuromuskuler. Pasien dengan
kelumpuhan otot bulbar dapat meninggal karena obstruksi jalan nafas atas atau
aspirasi, tetapi cara kematian yang paling umum setelah neurotoksik adalah
kelumpuhan pernapasan. Dengan memperpanjang aktivitas ACh di persimpangan
neuromuskuler, obat antikolinesterase dapat meningkatkan gejala lumpuh pada
pasien yang digigit ular dengan neurotoksin yang sebagian besar bersifat postinaptik
dalam aksinya (WHO, 2016)..
7. Myotoxicity
Myotoxins PLA dan metaloproteinase pada prinsipnya bertanggung jawab
terhadap mytotoxicity. Substansi ini ada dalam racun pada sebagian besar spesies
ular laut, elapid Australasia terestrial, beberapa spesies krait (Bungarus), dan
Viperidae, seperti ular viper Russell Sri Lanka (D. russelii). Lepas ke aliran darah
mioglobin, enzim otot, asam urat, kalium, dan konstituen otot lainnya merupakan
efek pada neurotoksin presinaptik manusia. Pasien mungkin meninggal karena
kelemahan bulbar dan otot pernapasan, hiperkalemia akut, atau cedera ginjal akut
(WHO, 2016).
8. Cidera ginjal akut
Berbagai perubahan histologis ginjal telah diidentifikasi setelah gigitan ular.
Nekrosis tubular akut adalah yang paling umum, tetapi glomerulonefritis proliferatif,
nefritis interstitial, mesangiolisis toksik dengan aglutinasi trombosit, deposisi fibrin,
perubahan iskemik, dan kerusakan tubular distal menunjukkan racun langsung
nefrotoksisitas yang disebabkan oleh venomote dan nekrosis kortikal ginjal bilateral
dengan kalsifikasi. Antivenom dapat menyebabkan cedera ginjal akibat imun yang
kompleks. Nekrosis tubular akut dapat terjadi akibat hipotensi dan hipovolemia yang
berkepanjangan, DIC, efek toksik langsung dari racun pada tubulus ginjal,
hemoglobinuria, mioglobinuria, dan hiperkalemia. Racun ular berbisa Russell
menghasilkan hipotensi, DIC, nefrotoksisitas langsung, dan, di Sri Lanka dan India,
hemolisis intravaskular dan rhabdomiolisis. Konsentrasi renin aktif plasma yang
tinggi menunjukkan bahwa iskemia ginjal dengan aktivasi sistem renin-angiotensin
terlibat dalam perkembangan gagal ginjal. Kebocoran kapiler albumin dan
glomerulus yang masif namun sementara adalah tanda awal gagal ginjal oliguria.
DIC yang diinduksi oleh racun ular dapat mengakibatkan pengendapan fibrin pada
endotelium vaskular yang telah diaktifkan oleh, misalnya, metalloproteinase,
menghasilkan hemolisis mikroangiopatik (WHO, 2016).
9. Peningkatan permeabilitas kapiler
Racun dari beberapa Viperidae, seperti D. russelii dan D. siamensis, dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah secara umum,
menyebabkan edema paru, efusi serosa, konjungtiva, periorbital, edema wajah dan
retina, pembesaran parotid bilateral, albuminuria, dan hemokonsentrasi. Hal ini
diidentifikasi karena adanya metalloproteases merusak endotelium pembuluh darah
(WHO, 2016).
a. Penanganan snake bite
Penanganan gigitan ular dapat diklasifikasikan menjadi dua, penanganan prehospital
dan penanganan intrahospital. Adapun penjelasan detailnya adalah sebagai berikut;
1. Prehospital
Saat ini penggunaan tourniquet sebagai pertolongan pertama agar bisa ular
tidak menyebar sudah tidak digunakan kembali. Tourniquet dapat menyebabkan
iskemia dan sindrom kompartemen pada ekstrimitas atau bagian tubuh yang
terdampak. Sehingga penanganan pertama pada gigitan ular dapat dilakukan dengan
imobilisasi area yang tergigit dan memberikan splint (Parker-Cote & Meggs, 2018).
Imobilisasi diperlukan karena penyebaran racun pada bisa ular terjadi melalui sistem
limfatik. Pergerakan ekstrimitas atau area yang terkena gigitan dapat memperlancar
aliran limfatik yang ada. Sehingga langkah-langkah yang dapat dilakukan pada
setting prehospital meliputi: (Ooi & Manning, 2016)
a. Menenangkan pasien dan mendorong agar tidak cemas. Pasien yang cemas akan
cenderung banyak bergerak sehingga bisa dapat lebih cepat tersirkulasi dalam
aliran sistemik.
b. Melonggarkan pakaian yang terlalu ketat dan perhiasan yang terlalu ketat
c. Imobilisasi area yang tergigit ular
Sebuah bidai berupa papan kayu dapat dipasangkan ke area yang digigit
oleh ular. Setelah itu, bidai tersebut akan difiksasi dengan bandage pada
beberapa tempat untuk imobilisasi. Pemasangan bandage dimulai dari lokasi
yang tergigit dan meliputi seluruh ekstrimitas pada area tersebut. Pemasangan
bandage dengan tekanan yang sesuai akan memblokade aliran limfatik pada
ekstrimitas namun tetap mempertahankan aliran arteri maupun vena. Splint
sendiri dapat mencegah kontraksi otot yang dapat membuat aliran limfa
berpindah ke aliran sentral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan splint dengan bandage dapat memperlambat perburukan dari
kondisi pasien.
d. Segera mempersiapkan untuk membawa pasien ke pelayanan kesehatan terdekat

2. Intrahospital
Secara umum terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan pada saat pasien
sudah berada di rumah sakit, meliputi: (Ooi & Manning, 2016)

a. Mengarahkan pasien ke area resusitasi. Posisikan pasien secara supinasi dan


imobilisasi area yang tergigit ular
b. Mempertahankan jalan nafas pasien agar tetap paten. Apabila terdapat paralisis
pernafasan, lakukan intubasi.
c. Memberikan oksigen dengan aliran tinggi
d. Memasang IV line dan berikan cairan sesuai yang dibutuhkan
e. Memeriksa level envenomasi dan berikan antivenin sesuai dengan level
envenomasinya. Antivenin akan diberikan pada level envenomasi sedang hingga
sangat berat.
Level envenomasi Dosis antivenin
Minimal Tidak ada nyeri, eritema, edema sebesar Antivenin tidak
2,5-15 cm, tidak ada gejala sistemis diindikasikan
Sedang Nyeri hebat, tenderness, edema 25-40cm, 20-40 ml
eritema, pteki, muntah, demam dan
kelemahan
Berat Nyeri menyebar, edema 40-50cm, ekimosis 50-90ml
dan gejala sistemis
Sangat Pembengkakan hebat, ekimosis, gejala 100-150ml
berat yang menunjukkan masalah di sistem saraf
pusat, gangguan penglihatan, syok dan
kejang

f. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital


g. Melakukan perekaman EKG
h. Melakukan pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap, profil koagulasi
(PTT/APTT), urinalisis, BUN, Creatinin. Pada kasus yang lebih membahayakan
pemeriksaan AGD diperlukan.
i. Apabila pasien datang ke IGD dengan adanya tourniquet, sebelum melepas
tourniquet pastikan IV line sudah terpasang, alat-alat resusitasi dan bedside
monitor telah tersedia.
Selain penanganan secara umum, terdapat penanganan khusus sesuai dengan
gejala yang menyertai, seperti kondisi VICC (Berling & Isbister, 2015). Tujuan
utama dari penanganan VICC adalah pencegahan perdarahan dan komplikasinya.
Hal ini dapat dilakukan dengan menetralkan racun yang sifatnya prekoagulan dan
memperbaiki faktor pembekuan agar terjadinya trauma minor tidak mengakibatkan
perdarahan. Pada pasien dengan perdarahan aktif, penggantian faktor pembekuan
dapat membantu mempercepat pemulihan.

a. Antibisa / antidotum
Antibisa telah terbukti dapat mengikat racun dan menetralkan efek toxic.
Namun, pengikatan dan penetralan racun hanya dapat mencegah VICC sebelum
berkembang semakin parah sehingga harus diberikan segera. Pemberian antibisa
lebih dari 6 jam setelah pasien tergigit ular menunjukkan bahwa perbaikan
kondisi VICC tidak dapat dilakukan secara optimal (Fry, 2018). Pemberian
antibisa dapat membantu pada komplikasi yang berhubungan dengan sistem
syaraf, namun tidak terlalu memiliki efek yang baik pada VICC.
b. Pemberian Fresh Frozen Plasma
Pemberian antibisa dan FFP telah terbukti dapat memperbaiki nilai PT dan
INR, sehingga dapat mengontrol perdarahan. Pemberian FFP dan menjaga
pasien agar tidak mengalami trauma merupakan cara yang paling tepat untuk
mencegah pendarahan
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Ilustrasi Kasus

Tn.A 37 tahun masuk rumah sakit tgl 10 Oktober 2019, sebelumnya penderita pada
pukul 12.30 WIB digigit ular di tungkai kiri, dibawa ke RSUD X jam 13.00 WIB.
Penderita mengeluh: sesak nafas, terasa panas, nyeri, badan kaku semua dan kaki
bengkak. Nyeri kepala (-), mual dan muntah (-). Px TTV di IGD: Suhu: 36,9°C, TD :
130/80, N : 78/menit, RR : 34 x/menit.

1. Identitas Pasien

Nama : Tn.A

Umur : 37 tahun

Alamat : Yogyakarta

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : SMP

Keluhan Utama : Klien mengatakan sesak nafas.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien datang ke IGD pada tanggal 10 Oktober 2019 jam 13.00 WIB, dengan di bawa
oleh tetangganya, klien mengatakan tungkai kirinya digigit ular, setelah itu klien
merasakan sesak nafas, terasa panas, nyeri, badan kaku semua dan kaki bengkak,
tampak kebiruan. dan tiba-tiba terjatuh. Di rumah kaki klien sudah diikat dengan
menggunakan kain diatas luka gigitan ular tersebut. Lalu klien langsung dibawa ke
RS. Hasil pemeriksaan TTV : Suhu: 36,9°C, TD : 130/80, N : 78/menit, RR :
34 x/menit. GCS E3V3M5 di IGD terpasang infus NaCl 0,9 % 30 Tpm. Kesehatan
Dahulu : Klien sebelumnya tidak menderita sakit apapun.

3. Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyaki t menular atau
menurun

4. Pengkajian Primary Survey


a. Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak ada sputum, tidak ada darah.
b. Breathing : klien mengalami sesak nafas, penggunaan otot bantu pernafasan, RR
= 32 x/menit, pengembangan dada simetris, suara nafas vesikuler.
c. Circulation : ada perdarahan di tungkai kiri karena gigitan ular, N = 52x/menit,
akral dingin, CRT >3 detik, sianosis.
d. Disability : kesadaran somnolent (E3V3M5), pupil isokor (2mm).
e. Exposure : terdapat perdarahan pada luka gigitan ular, adanya edema pada luka,
memar.
5. Pengkajian secondary survey
a. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala : meochepal, rambut bersih, tidak beruban.
2) Mata : ishokor (2 mm), reaksi cahaya +, konjungtiva tidak anemis.
3) Hidung : simetris, tidak ada polip, bersih.
4) Telinga : bentuk simetris kanan kiri, tidak terdapat serumen, bersih
5) Mulut : mukosa bibir lembab, simetris.
6) Leher : penggunaan otot bantu pernafasan (sternokleidomastoidius), tidak
ada pembesaran kelenjar tiroid.
7) Dada :
a) Paru-paru : Inspeksi : pengembangan dada simetris, tidak ada jejas
Palpasi : vocal fremitus teraba kanan kiri.
Perkusi : sonor
Auskultasi : Vesikuler, bronchovesikuler, bronchial.
b) Jantung : Inspeksi : ictus kordis tidak tampak
Palpasi : teraba ictus kordis di SIC V dan VI
Perkusi : Pekak
Auskultasi : terdengar bunyi S1 dan S2
c) Abdomen : Inspeksi : simetris, tidak ada luka
Auskultasi : peristaltic usus 6x/menit
Perkusi : Thympani
Palpasi : tidak ada pembesaran hepar, tidak ada massa.
d) Ekstremitas :
Ekstremitas atas : terpasang infus NaCl 0,9 % di tangan dextra, tidak
ada edema
Ekstremitas bawah : Akral dingin, bengkak pada luka gigitan,
kekakuan otot kaki dextra, nyeri pada luka.

B. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular akibat toksin.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka.
5. Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah
sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
C. Intervensi
1. Diagnosa 1 :
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuscular akibat toksin.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Tidak terjadi gagal nafas. Menunjukkan bunyi napas jelas, frekuensi pernapasan
dalam rentang normal, bebas dispnea/sianosis.
Intervensi :
a. Pertahankan jalan napas klien.
Rasional: Meningkatkan ekspansi paru-paru.
b. Pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan.
Rasional: Pernapasan cepat/dangkal terjadi karena hipoksemia, stres, dan
sirkulasi endotoksin.
c. Auskultasi bunyi napas.
Rasional: Kesulitan pernapasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan
indikator dari kongesti pulmonal/edema interstisial, atelektasis.
d. Atur posisi klien dengan nyaman dan atur posisi kepala lebih tinggi.
Rasional: Bersihan pulmonal yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi
ketidakseimbangan ventelasi/perfusi.
e. Berikan O2 melalui cara yang tepat, sungkup sederhana
Rasional: O2 memperbaiki hipoksemia/asidosis. Pelembaban menurunkan
pengeringan saluran pernapasan dan menurunkan viskositas sputum.
f. Pantau AGD
Rasional: Mengetahui keseimbangan asam basa, tekanan Oksigen, tekanan
Karbondioksiada dalam darah.
g. Observasi warna kulit dan adanya sianosis
Rasional: Terjadi kematian jaringan akibat hipoksemia berat
h. Kaji adanya distensi abdomen dan spasme otot
Rasional: Terjadi gagal nafas akibat tidak berfungsinya otot-otot pernafasan
i. Batasi pengunjung klien
Rasional: Untuk mengimobilisasi pasien dan mengurangi aktifitas yang
mempengaruhi pernafasan
2. Diagnosa 2 :
Nyeri akut berhubungan dengan proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh
tubuh rileks, berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur/istirahat dengan tepat.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda vital.
Rasional: Mengetahui keadaan umum klien, untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
b. Kaji karakteristik nyeri.
Rasional: Dapat menentukan pengobatan nyeri yang pas dan mengetahui
penyebab nyeri.
c. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional: Membuat klien merasa nyaman dan tenang.
d. Pertahankan tirah baring selama terjadinya nyeri.
Rasional: Menurunkan spasme otot.
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional: Memblok lintasan nyeri sehingga berkurang dan untuk membantu
penyembuhan luka.
3. Diagnosa 3 :
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme, penyakit,
dehidrasi, efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada
regulasi temperatur, proses infeksi.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal (36-37,5oC), bebas dari kedinginan.
Intervensi:
a. Pantau suhu klien.
Rasional: Suhu 38,9-41,1oC menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
b. Pantau asupan dan haluaran serta berikan minuman yang disukai untuk
mempertahankan keseimbangan antara asupan dan haluaran.
Rasional: Memenuhi kebutuhan cairan klien dan membantu menurunkan suhu
tubuh.
c. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
d. Berikan mandi kompres hangat, hindari penggunaan alkohol.
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, karena alkohol dapat membuat
kulit kering.
e. Berikan selimut pendingin.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam.
f. Berikan Antiperitik sesuai program.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus.
4. Diagnosa 4 :
Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan sistem imun, kegagalan untuk
mengatasi infeksi, jaringan traumatik luka
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu bebas eksudat purulen dan tidak demam.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda infeksi.
Rasional: Sebagai diteksi dini terjadinya infeksi.
b. Lakukan tindakan keperawatan secara aseptik dan anti septik.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang dan mencegah terpajan pada organisme
infeksius.
c. Ingatkan klien untuk tidak memegang luka dan membasahi daerah luka.
Rasional: Mencegah kontaminasi luka.
d. Ajarkan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien.
Rasional: Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resiko infeksi.
e. Periksa luka setiap hari, perhatikan/catat perubahan penampilan, bau luka.
Rasional: Mengidentifikasi adanya penyembuhan (granulasi jaringan) dan
memberikan deteksi dini infeksi luka.
f. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.
Rasional: Untuk menghindari pemajanan kuman.
5. Diagnosa 5 :

Ketakutan/ansietas berhubungan dengan krisis situasi, perawatan di rumah


sakit/prosedur isolasi, mengingat pengalaman trauma, ancaman kematian atau
kecacatan.
Hasil yang diharapkan/kriteria evaluasi pasien akan:
Menyatakan kesadaran perasaan dan menerimanya dengan cara yang sehat,
mengatakan ansietas/ketakutan menurun sampai tingkat dapat ditangani,
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah dengan penggunaan sumber yang
efektif.
Intervensi:

a. Berikan penjelasan dengan sering dan informasi tentang prosedur perawatan.


Rasional: Pengetahuan apa yang diharapkan menurunkan ketakutan dan
ansietas, memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama.
b. Tunjukkan keinginan untuk mendengar dan berbicara pada pasien bila prosedur
bebas dari nyeri.
Rasional: Membantu pasien/orang terdekat untuk mengetahui bahwa dukungan
tersedia dan bahwa pembrian asuhan tertarik pada orang tersebut tidak hanya
merawat luka.
c. Kaji status mental, termasuk suasana hati/afek.
Rasional: Pada awal, pasien dapat menggunakan penyangkalan dan represi
untuk menurunkan dan menyaring informasi keseluruhan. Beberapa pasien
menunjukkan tenang dan status mental waspada, menunjukkan disosiasi
kenyataan, yang juga merupakan mekanisme perlindungan.
d. Dorong pasien untuk bicara tentang luka setiap hari.
Rasional: Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk
membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan.
e. Jelaskan pada pasien apa yang terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka/jujur.
Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang dapat
membantu pasien/orang terdekat menerima realitas dan mulai menerima apa
yang terjadi.
BAB IV

Kesimpulan

Gigitan ular merupakan salah satu kondisi yang harus ditangani segera. Penggunaan
tourniquet sebagai pertolongan pertama telah digantikan dengan imobilisasi area yang telah
tergigit. Perawat harus sangat berhati-hati untuk mengobservasi kondisi pasien dan menjaga
agar pasien tetap tenang sehingga persebaran racun dalam tubuh tidak semakin cepat.
Pemantauan tanda-tanda vital secara berkelanjutan diperlukan untuk memonitor apabila ada
penurunan kondisi. Selain itu, pemberian antibisa harus diberikan segera agar outcome-nya
pun dapat baik. Hal tersebut untuk mencegah komplikasi yang paling lebih lanjut seperti
masalah hematologi dan neurologis. Sebaiknya perawat terus mengikuti update terbaru
mengenai penanganan pertama pada saat pasien mengalami gigitan ular.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S., Ahmed, M., Nadeem, A., Mahajan, J., Choudhary, A., & Pal, J. (2008).
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. Journal of Emergencies,
Trauma and Shock, 1(2), 97. https://doi.org/10.4103/0974-2700.43190

Berling, I., & Isbister, G. K. (2015). Hematologic effects and complications of snake
envenoming. Transfusion Medicine Reviews, 29(2), 82–89.
https://doi.org/10.1016/j.tmrv.2014.09.005

Bhaumik, S., Jagadesh, S., & Lassi, Z. (2018). Quality of WHO guidelines on snakebite: The
neglect continues. BMJ Global Health, 3(2), 2–3. https://doi.org/10.1136/bmjgh-2018-
000783

Del Brutto, O. H. (2013). Neurological effects of venomous bites and stings. Snakes, spiders,
and scorpions. Handbook of Clinical Neurology (1st ed., Vol. 114). © 2013, Elsevier
B.V. All rights reserved. https://doi.org/10.1016/B978-0-444-53490-3.00028-5

Fry, B. G. (2018). Snakebite : When the Human Touch Becomes a Bad Touch. Toxins,
10(170), 1–24. https://doi.org/10.3390/toxins10040170

Hifumi, T., Sakai, A., Kondo, Y., Yamamoto, A., Morine, N., Ato, M., … Kuroda, Y. (2015).
Venomous snake bites: Clinical diagnosis and treatment. Journal of Intensive Care, 3(1),
1–9. https://doi.org/10.1186/s40560-015-0081-8

Ooi, S., & Manning, P. (2016). Guide to The Essentials in Emergency Medicine. Singapore:
Mc Graw Hill.

Parker-Cote, J., & Meggs, W. (2018). First Aid and Pre-Hospital Management of Venomous
Snakebites. Tropical Medicine and Infectious Disease, 3(2), 45.
https://doi.org/10.3390/tropicalmed3020045

Pediatri, S., Vol, S., Niasari, N., & Latief, A. (2003). Gigitan Ular Berbisa. (3).

WHO. (2016). Guidelines for the Management of snakebite. American Family Physician,
second edi. https://doi.org/10.15511/tjtfp.18.00125

WHO. (2019a). Snakebite: WHO targets 50% reduction in deaths and disabilities. Retrieved
October 24, 2019, from https://www.who.int/news-room/detail/06-05-2019-snakebite-
who-targets-50-reduction-in-deaths-and-disabilities

WHO. (2019b). What is snakebite envenoming? Retrieved October 24, 2019, from
https://www.who.int/snakebites/disease/en/

Williams, D. J., Gutiérrez, J. M., Calvete, J. J., Wüster, W., Ratanabanangkoon, K., Paiva, O.,
… Warrell, D. A. (2011). Ending the drought: New strategies for improving the flow of
affordable, effective antivenoms in Asia and Africa. Journal of Proteomics, 74(9),
1735–1767. https://doi.org/10.1016/j.jprot.2011.05.027

Anda mungkin juga menyukai