PENDAHULUAN
1
nyata, morbiditas dan kematian yang langka, karena sebagian besar korban tidak
mencari pengobatan medis atau struktur kesehatan umum dan lebih memilih
pengobatan tradisional. Scorpion juga merupakan envenomation. Scorpion
umumnya ditemukan dalam panas lingkungan, meskipun beberapa spesies juga
terjadi pada hutan. Semua spesies aktif di malam hari, siang hari bersembunyi di
bawah batu, kayu atau kulit pohon. Resiko sengatan kalajengking lebih tinggi di
daerah pedesaan (Himmatrao, 2012).
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar
45.000 kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.
Selama 3 tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers
melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan
gigitan ular berbisa. Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan
biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang
tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. `
Pada umumnya korban gigitan ular adalah laki laki dengan usia antara
17 sampai tahun, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas
berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular. Waktu gigitan
biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas.
Malik dkk, pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular,
3
mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau
tangan (17,7%). Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya ular berbisa.
Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular
laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae) termasuk ular
berbisa. Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili
Crotalidae (Niasari, 2003).
4
permeabilitas membrane sel dan menyebabkan pembengkakan setempat.
Racun ini juga dapat menghancurkan membrane sel dan jaringan.
4) Phospholipase A2 haemolitik and myolitik-enzim ini dapat menghancurkan
membrane sel,endotel,otot lurik,syaraf serta sel darah merah.
5) Phospholipase A2 Neurotoxin pre-synaptik(Elapidae dan beberapa
Viperidae)merupakan phospholipase A2 yang merusak ujung syaraf, pada
awalnya melepaskan transmitter asetilkolin lalu meningkatkan
pelepasannya.
6) Post-synaptic neurotoxins (Elapidae)-polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
Hialuronidase,ATP-ase,5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase,RNA-ase,DNA-ase. Enzi mini menyebabkan destruksi
jaringan local, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamine sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase
merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.
5
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf
tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan
hitam(nekrotik). Penyebaran selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh melalui
pembuluh limfe.
Morfologi
Figure 2a: Short, permanently erect, front fangs of a typical elapid (Sri Lankan
cobra - Naja naja) (Copyright DA Warrell)
6
Figure 2b: Long, hinged, front fangs of a typical viper (Thailand Russell’s viper
Daboia siamensis). A reserve fang is seen immediately behind the active fang.
(Copyright DA Warrell)
Figure 2c: Rear fangs of a dangerously venomous Colubrid snake, the red-necked
keelback (Rhabdophis subminiatus) (Copyright DA Warrell)
7
antara preocular yang dan skala hidung. Beberapa terutama ular kobra, menaikkan
bagian depan mereka. tubuh dari tanah dan menyebar dan meratakan leher untuk
membentuk kerudung (Gambar 3-8 ). Beberapa spesies ular kobra bisa meludah
racun mereka untuk satu meter atau lebih terhadap mata musuh yang dirasakan .
Ular laut berbisa telah diratakan ekor dayung - seperti sisik ventral dan mereka
sangat berkurang dalam ukuran atau hilang (Gambar 20-24)
c d
Figure 3: Common spectacled cobra (Naja naja): (a) and (b) Sri Lanka, (c) India
(Copyright DA Warrell), (d) Nepal (Theakston et al., 1990)
8
Figure 4: North Indian or Oxus cobra (Naja oxiana)(Copyright DA Warrell,
1995)
b c
9
Figure 5d: Andaman cobra Naja sagittifera juvenile specimen
a b
a b
10
Figure 7: Sumatran spitting cobra (Naja sumatrana) (Copyright DA Warrell)
(a) black phase (b) golden phase
a b
11
Figure 8: King cobra or hamadryad (Ophiophagus hannah) (Copyright DA
Warrell)
(a) The famous king cobra dance in Yangon, Myanmar
(b) Specimen from Thailand more than 3.5 metres in total length
(c) (d) (e) Dorsal and lateral views of head of Thai (c,d) and Indian
(e) specimens showing the two large occipital scales (arrows) which distinguish
this species from cobras (Naja)
King cobra: Ophiophagus hannah (Fig. 8) (Tin-Myint et al., 1991)
a b
12
a b
Figure 12: Greater black krait (Bungarus niger) Nepal (Copyright F. Tillack)
Greater black krait B. niger (Fig. 12) (Faiz et al., 2010)
13
a b
Figure 13: Banded krait (Bungarus fasciatus) Thai specimens. Banded krait B.
fasciatus (Fig. 13) (Tun-Pe et al., 1997)
(a) Showing black and yellow bands
(b) Showing circumferential black bands and blunt-tipped tail (scale in cms).
14
Figure 15: Spotted coral snake (Calliophis maculiceps) Thai specimen
(Copyright DA Warrell) Spotted coral snake Calliophis maculiceps (Fig. 15)
(Warrell, 1995).
c) Australasian elapids
a b
15
Figure 17: Papuan taipan (Oxuyuranus scutellatus canni) SaiBai Island,
Torres Strait Islands (Copyright DA Warrell)
Papuan Taipan Oxyuranus scutellatus canni (Fig. 17) (Lalloo et al., 1995)
Figure 19: Eastern brown snake (Pseudechis textilis) Brown snakes (Genus
Pseudonaja) (Fig. 19) (White, 1995)
16
Figure 20: Beaked sea snake (Enhydrina schistosa) Bunapas Mission, Ramu
River, Papua New Guinea (scale in cms) (Copyright DA Warrell)
17
Figure 21c: Flattened paddle-like tail of sea snakes: Hydrophis cyanocinctus
(above); Lapemis curtus (below) (Copyright DA Warrell)
Figure 22: Hardwick’s sea snake (Lapemis curtus) showing tiny fangs (arrow)
(Copyright DA Warrell)
Figure 23: Yellow-bellied sea snake (Pelamis platurus) (FitzSimons Snake Park)
18
a b
Sea snakes (Reid 1975, 1979; Reid and Lim 1957; Warrell 1994): important
species include Enhydrina schistosa (Fig. 20), Hydrophis sp. (Fig. 21), Lapemis
curtus (Fig. 22), Pelamis platurus (Fig. 23) and Laticauda colubrina (Fig. 24).
19
Figure 25: Head of a typical pit viper – dark green pit viper (Cryptelytrops
macrops) showing the pit organ situated between the nostril and the eye (arrow)
(Fig. 25) (Hutton et al., 1990; Warrell 1990)
a b
Russell’s vipers, Western, Daboia russelii (Fig. 26) (Phillips et al., 1988; Warrell
1989; Gawarammana et al., 2009); and Eastern, D. siamensis (Fig. 27) (Myint-
Lwin et al., 1985; Tun-Pe et al., 1987; Than-Than et al., 1987; Than-Than et al.,
1988; Warrell 1989; Than-Than et al., 1989; Thein-Than et al., 1991; Tin-Nu-Swe
et al., 1993; Belt et al., 1997)
a b
20
c d
a b
21
Figure 28b: Levantine or blunt-nosed viper (Macrovipera lebetina) Levantine or
blunt-nosed viper Macrovipera lebetina (Fig. 28b) (Sharma et al., 2008)
a b
22
Figure 30a: Mount Kinabalu pit viper (Garthia chaseni) (Copyright Prof RS
Thorpe)
a b
c d
23
a b
Figure 31: White-lipped green pit viper (Cryptelytrops albolabris) Thai specimen
(Copyright DA Warrell)
(a) Showing colouring and distinctive brown-topped tail
(b) Showing details of the head: note smooth temporal scales
White-lipped green pit viper Cryptelytrops albolabris (Fig. 31) (Hutton et al.,
1990; Rojnuckarin et al., 2006).
a b
Figure 32: Spot-tailed green pit viper (Cryptelytrops erythrurus) Specimen from
near Yangon, Myanmar (Copyright DA Warrell)
(a) Showing colouring and brown spotted tail
(b) Showing details of head; note keeled temporal scales.
Spot-tailed green pit viper Cryptelytrops erythrurus (Fig. 32) (Warrell 1995);
Kanchanaburi pit viper Cryptelytrops kanburiensis (Warrell et al., 1992)
24
a b
Figure 33c: Beautiful pit viper (Cryptelytrops venustus) specimen from Thung
Song, Thailand (Copyright DA Warrell) Beautiful pit viper Cryptelytrops
venustus (Fig. 33c)
25
Figure 34a: Mamushi or Fu-she (Gloydius brevicaudus) from China (Copyright
DA Warrell). Mamushis (Genus Gloydius): G. brevicaudus (Fig. 34a) (Warrell
1995)
Figure 34b: Hagen’s pit viper (Parias hageni) Trang, Thailand (Copyright DA
Warrell)
Hagen’s pit viper Parias hageni (Fig. 34c)
26
Figure 35b: Chinese habu (Protobothrops mucrosquamatus) Specimen from
China (Copyright DA Warrell) Chinese
27
Figure 37: Palm viper (Trimeresurus puniceus) Specimen from Cilacap, West
Java, Indonesia (Copyright DA Warrell) Palm viper Trimeresurus puniceus (Fig.
37)
28
Figure 37: Palm viper (Trimeresurus puniceus) Specimen from Cilacap, West
Java, Indonesia (Copyright DA Warrell) Palm viper Trimeresurus puniceus (Fig.
37)
29
Figure 38c: Banded temple viper (Tropidolaemus semiannulatus) Borneo Banded
temple viper Tropidolaemus subannulatus (Fig. 38c)
30
Figure 39b: Reticulated python (Python reticularis) containing the body of a
farmer it had swallowed at Palu, Sulawesi, Indonesia (Copyright Excel Sawuwu)
Ular berbisa yang penting lainnya adalah Rhabdophis subminiatus (Fig. 2c)
dan Yamakagashi R. tigrinus (Warrell 1995), terutama Pyton besar. Di Indonesia
telah dilaporkan menyerang dan bahkan menelan banyak orang, biasanya petani
(Fig. 39b).
2.2.4 Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan
usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperature.
Secara mikroskop electron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh
darah, sehingga menyebabkan kerusakan membrane plasma. Komponen
peptide bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh
korban. Bradikinin, serotonin dan histamine adalah sebagai hasil reaksi yang
terjadi akibat bisa ular.
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase
menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri,
hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat
yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan
berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi
hidrolisis dari membrane sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan
kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID.
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen,
gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.
Bisa ular dari family Crotalide/Viperidae bersifat sitolitik yang
menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vascular dan terjadi koagulopati.
Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hamper pada semua
system organ. Bisa ular dari family Elapidae dan Hydrophidae terutama
31
bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmitter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular
di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam
jaringan tubuh.
32
menjadi non - depolarisasi dan depolarisasi. Depolarisasi memblokir
neuromuscular agen ( NMBAs ) ( seperti suxametho -nium ) mengikat otot post
- synaptic nAChRs otot ,dan menghasilkan blok non - kompetitif. Depolarisasi
NMBAs awalnya memproduksi terlalu banyak depolarisasi, yang dapat dilihat
sebagai fasikulasi otot. NMBAs Non – depolarisasi ( seperti curare dan
turunannya tubocurarine, Pancuronium, atracurium), dalam kontras, kompetitif
Ach mengikat nAChRs otot pasca - sinaptik , dan menghasilkan blokade , oleh
karena itu, dapat dibalik dengan AChEIs ( seperti edrophonium, neostigmin ,
merupakan pyridostigmine) yang bertindak dengan meningkatkan Ach .
nAChR memiliki memiliki dua ligan, dan keduanya harus bersamaan diduduki
oleh Ach agar reseptor menjadi aktif . pendudukan satu molekul dari NMBA
akan secara efektif memblokir reseptor. non-depolarisasi NMBAs ,
bagaimanapun , telah terbukti menghasilkan efek pre - sinaptik dengan
mengikat pra – sinaptik neuron nAChRs. Depolarisasi NMBAs hanya
menghasilkan ion dalam amplitudo kedutan , tetapi tidak menghasilkan tetanik.
Non - depolarisasi juga menghasilkan kedutan dan potensial pasca tetani
sehingga menghasilkan frekuensi tinggi. NMBAs diketahui merusak NMJ
transmisi dengan beberapa efek tambahan pada nAChRs ,tanpa mengikat
reseptor . ini termasuk perubahan dinamika reseptor, Desensitisasi , dan saluran
blokade.
33
Figure 1. Sites of action of snake neurotoxins and other substances on the
neuromuscular junction. Scematic representation of the neuromuscular junction
showing different sites of action of snake neurotoxine, other toxins and
pharmacological substances, and sites of involvement in disease states(examples
indicated where relevant). 1. Synaptic vesicular proteins: Snake toxins: beta-
bungarotoxin (Bungarus spp.), taipoxin (O. scutellatus); Other toxins: botulinum
toxin, tetanus neurotoxin. 2. Voltage-gated calcium channel: Snake toxins:
calciseptine (Dendroaspis spp.), beta- bungaratoxin (Bungarus spp.); Other toxins:
34
omega-conotoxin (marine snail, Conus spp.); Disease states: Lambert-Eaton
myaesthenic syndrome. 3. Pre-synaptic membrane: Snake toxins: phospholipase
A2 toxins. 4. Pre-synaptic ACh receptor: Snake toxins: candoxin (Bungarus
candidus); Other toxins: curare; Pharmacological substances: non-depolarising
blocking drugs (atracurium). 5. Voltage-gated potassium channels: Snake toxins:
dendrotoxins (Dendroaspis spp.); Disease states: neuromyotonia, Isaacs’
syndrome; Pharmacological substances: magnesium sulphate, aminoglycosides. 6.
Acetylcholine: Lysis by exogenous acetylcholinesterase in snake venom: cobra
venom (Naja spp.). 7. Acetylcholinesterase: Inhibitors of endogenous AChE in
snake venom: fasiculins (Dendroaspis spp.). 8. Post-synaptic ACh receptors:
Snake toxins: alpha-bungaratoxin (Bungarus spp.), candoxin (B. candidus),
azemiopsin (A. feae), waglerin (T. wagleri ); Other toxins: alpha-conotoxin
(marine snail, Conus spp.); Disease states: myasthenia gravis; Pharmacological
substances: depolarising blocking agents (e.g., succinylcholine), non-depolarising
blocking drugs (e.g., atracurium). 9. Voltage-gated sodium channels: Snake
toxins: crotamine (Crotalus spp.); Other toxins: pompilidotoxin (wasps), delta-
conotoxin (Conus spp.), tetradotoxin (pufferfish).
35
dan degenerasi aksonal diikuti oleh reinnervasi. Prasarnpun et al (2004, 2005)
menunjukkan bahwa beta -bungarotoxin diproduksi masuknya kalsium melalui
saluran kalsium dan meningkatkan pelepasan ACh melalui mekanisme kompleks
yang menyebabkan menipisnya sinaptik vesikel. Mereka mampu menunjukkan
korelasi antara perubahan patologis dan kegagalan transmisi neuromuskuler
disebabkan oleh beta - bungarotoxin. Otot tikus diinokulasi dengan beta -
bungarotoxin lumpuh dalam waktu 3 jam . ini berhubungan dengan hilangnya
vesikel sinaptik , kerusakan mitokondria , upregulation transien saluran tegangan
sodium, dan pengurangan immunoreactivity protein(synaptophysin , SNAP - 25 ,
dan Syntaxin ).Antara 3 dan 6 jam setelah inokulasi , terminal saraf menunjukkan
bukti degenerasi. Pada 12 jam , semua serat otot yang denervated . Reinnervasi
dimulai pada 3 hari dengan regenerasi terminal saraf , pengembalian fungsi
neuromuskuler dalam beberapa otot ,dan peningkatan progresif immunoreactivity
protein snare . Kendali pemulihan terjadi pada 7 hari. Harris et al . ( 2000)
menunjukkan bahwa taipoxin (dari taipan , Oxyuranus spp . ) dan notexin ( dari
ular harimau Australia , scutatus Notechis) Memiliki efek yang mirip dengan beta
- bungarotoxin. Mereka menyarankan bahwa semua PLA2s aktif pra - synaptically
menghasilkan efek yang sama. Mereka telah menunjukkan bahwa PLA2s dari bisa
ular neurotoksin menghasilkan efek yang sama tapi kompleks pada pre – synaptic
terminal saraf. Ini termasuk masuk ke terminal saraf setelah mengikat reseptor
spesifik pada membran pra-sinapsis, perubahan morfologi seperti terminal saraf
menggembung, perubahan mitokondria morfologi dan permeabilitas, peningkatan
sitosol kadar kalsium, perubahan dalam ekspresi, peningkatan fusi vesikel dan
pelepasan neurotransmitter.
36
neurotoksin yang berbeda dalam racun yang sama . Mereka menunjukkan bahwa
efek blocking utama neuromuskuler disebabkan cobrotoxin, yang menghasilkan
curare - seperti non -depolarisasi, kompetitif pasca - blok sinaptik, yang antagonis
oleh neostigmin. Itu tidak ada efek pada konduksi saraf. Namun, racun juga berisi
cardiotoxin, yang mengganggu konduksi aksonal dan menghasilkan depolarisasi
otot. Karakterisasi racun baru terus menambah banyak keragaman ular, dan
berbagai jenis racun sekarang diketahui mengandung racun pra - dan pasca -
synaptically aktif. Misalnya , racun pasca - sinaptik (DNTx - I- Daboia neurotoxin
1) telah diisolasi dari racun viper Russell (russelii Daboia). Venom dari kraits
(Bungarus spp) terdiri dari beberapa berbagai jenis neurotoksin . Selain alpha -
bungaro - toksin (blok post- synaptic) dan beta - bungarotoxin (pre – sinaptik
blok) sudah dijelaskan , juga mengandung kappa – bungarotoxin yang mengikat
ke nAChR saraf di tingkat pasca - sinaptik di sinapsis kolinergik sentral dalam
ganglia otonom. Data eksperimen pada fisiologis, patologis, dan ultra- perubahan
struktural karena neurotoksin ular yang berasal dari penelitian pada model
binatang, in vitro persiapan saraf - otot, atau persiapan nAChRs. Namun, data
laboratorium tersebut tidak mungkin akurat mencerminkan pengaruh dari bisa ular
pada manusia. Sekarang diketahui bahwa efek dari envenoming dapat bervariasi
tergantung pada digigit spesies, dan ini mungkin karena preferensi mangsa ular.
Misalnya, candoxin dari Krait Malayan atau biru (B.candidus), Yang ditemukan
terutama pada tikus dan reptile.
37
dari kobra yang terkenal (Gambar 3-8 ) : mereka, menyebar, desisan
dan membuat serangan berulang terhadap agresor . Warnanya dapat bervariasi
banyak. Namun, beberapa pola , seperti putih besar, annular gelap berbingkai
(cincin) tempat ular beludak Russell (Gambar 26 , 27 ) atau bolak hitam dan
kuning band keliling dari Krait banded (Gambar 13) yang khas.
desisan ular berbisa Russell dan serak kisi dari viper yang mengidentifikasi suara .
38
diidentifikasi sebagai kontribusi terhadap hasil yang fatal termasuk masalah
dengan antivenom gunakan (dosis yang tidak memadai atau penggunaan
antivenom monospecific dari tidak pantas spesifisitas), tertunda perawatan rumah
sakit akibat kunjungan yang terlalu lama untuk dukun dan masalah dengan
transportasi , kematian dalam perjalanan ke rumah sakit , tidak memadai ventilasi
buatan atau kegagalan untuk mencoba pengobatan tersebut, Kegagalan untuk
mengobati hipovolemia pada pasien syok , obstruksi jalan napas , rumit infeksi ,
dan kegagalan untuk mengamati pasien erat setelah mereka dirawat di rumah sakit
. Waktu antara ular - gigitan dan kematian Meski kematian yang sangat cepat
setelah ular – gigitan jarang dilaporkan ( misalnya konon " beberapa menit "
setelah gigitan oleh raja kobra Ophiophagus hannah ) , jelas dari penelitian
terhadap serangkaian besar kematian ular - gigitan yang berjam-jam biasanya
berlalu antara gigitan dan kematian dalam kasus elapid envenoming , dan
beberapa hari dalam kasus viper envenoming ( Reid 1968; Warrell 1995) .
KATEGORI 1 : tertinggi pentingnya medis : ular berbisa Highly yang umum atau
luas dan menyebabkan banyak ular - gigitan , sehingga di tingkat tinggi
morbiditas , kecacatan atau kematian
39
kematian), dimana 34 % adalah kobra ( Naja naja , N. kaouthia) gigitan ,
membawa kasus kematian 40 % . Sebanyak 8 000 gigitan per tahun di Bangladesh
diperkirakan ( Sarkar et al . , 1999) . Sebuah survei pos menyarankan 4,3
bites/100 000/year , meningkat menjadi 7 per 100 000 di daerah seperti
Chittagong Division , dengan kematian kasus keseluruhan 20 % ( Huq et al,
1995). Empat puluh lima persen dari korban dikatakan petani dan 23 % ibu rumah
tangga . Kebanyakan pasien diobati oleh dukun ( ozhas ) dan 20 % dari yang fatal
kasus tidak menerima perawatan medis konvensional ( Ali Reza Khan . Indo –
Asian News Service , Dhaka 12 Oktober 2001 ) . Dalam satu studi lima tahun dari
336 kasus ular - gigitan di Mymensingh Medical College Hospital , 70 % dari
kasus yang berusia 11-30 tahun dan 75 % adalah laki-laki ( Bhuiyan , WHO, New
Delhi , 1981, tidak dipublikasikan ) . Selama banjir dari Juli-Agustus 2007, ada 76
kasus ular menggigit dengan 13 kematian . Kraits bertanggung jawab untuk
banyak gigitan dan kematian dan pentingnya Krait hitam besar ( Bungarus niger )
baru-baru ini muncul , sebuah spesies yang sebelumnya tidak dilaporkan dari
Bangladesh . lain medis kraits penting termasuk B. caeruleus dan B. walli
(sebelumnya B. sindanus walli ) . Ular beludak pit hijau Cryptelytrops (
Trimeresurus) erythrurus menyebabkan banyak gigitan dan beberapa morbiditas
tetapi hanya sedikit jika ada korban jiwa . Russell viper ( Daboia russelii )
sebelumnya dianggap sebagai spesies yang penting dalam sekarang tampaknya
dibatasi ke wilayah barat sedikit dan tidak ada gigitan telah dilaporkan di yearts
terakhir. A survei terbaru yang didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia ,
mengungkapkan bahwa ada adalah sekitar 700 000 gigitan ular / tahun di
Bangladesh dengan 6 000 kematian.Hanya 3 % dari korban gigitan menghadiri
rumah sakit atau mencari bantuan dari seorang yang terlatih
dokter, 6 % mencari bantuan dari dokter desa dan sebagian besar penggunaan sisa
dukun . Sekitar 75 % dari korban gigitan ular - menerima beberapa jenis
pengobatan dalam waktu dua jam setelah digigit . Kejadian ular - gigitan puncak
adalah selama Mei - Oktober. Itu tertinggi di Barisal ( 2 667/100 000/year ) dan
terendah di Sylhet ( 321/100 000/year ) . Di Dhaka , kejadian adalah 440/100
000/year.
40
.
Kategori1:
Elapidae :Bungarus caeruleus, Bungarus niger, Bungarus
walli ; Naja kaouthia ;Viperidae : Cryptelytrops erythrurus
Kategori2:
Elapidae : , Welang , Bungarus lividus ; Naja naja ; Hannah Ophiophagus ;
Viperidae : Cryptelytrops purpureomaculatus , Cryptelytrops septentrionalis ;
Daboia russelii ( di barat ) Bhutan : Pada tahun 2000 , 2 085 gigitan dan sengatan
dilaporkan . empat elapid spesies telah dilaporkan dari daerah dataran rendah
Bhutan ( kurang dari 500 meter di atas permukaan laut berarti ) : kobra ( Naja naja
) , king cobra ( Ophiophagus hannah ) dan dua spesies Krait ( Bungarus niger dan
B. fasciatus ) . lain spesies berbisa seperti N. kaouthia , Sinomicrurus macclellandi
, Daboia russelii ( " Bhutan Hills " menurut MA Smith 1943) , dan beberapa ular
beludak pit mungkin terjadi di sana juga . Tidak ada informasi yang
dipublikasikan di gigitan ular di Bhutan tapi ada dikatakan banyak gigitan
menyebabkan nyeri lokal dan pembengkakan dan ada minimal dua kematian
dalam satu tahun . antivenom diimpor dari India ( 200 botol setiap tahun ).
41
Calloselasma rhodostoma, kasus gigitan B. fasciatus dikenal tetapi kematian
akibat B. candidus ( Jawa ) , D. siamensis ( Jawa , Flores , Komodo ) dan
Acanthophis ( Papua Barat ) memiliki dilaporkan . Indonesia ( Sumatera , Jawa ,
Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil tapi Barat Wallace line yaitu
tidak termasuk Papua Barat dan Kepulauan Maluku)
Kategori 1 :
Elapidae : Bungarus candidus ( Sumatera dan Jawa ) ,Naja sputatrix ( Jawa dan
Kepulauan Sunda Kecil ) , Naja sumatrana ( Sumatera dan Kalimantan )
Viperidae : Calloselasma rhodostoma ( Jawa ) , Cryptelytrops albolabris ;
Siamensis Daboia (sebelumnya D. s . limitis dan D. s . sublimitis )
(2) envenoming sistemik yang melibatkan organ dan jaringan jauh daribagian
tubuh yang telah digigit . Efek ini dapat mengancam jiwadan melemahkan ,
kadang-kadang secara permanen
(4) Pengaruh pertolongan pertama dan perawatan pra - rumah sakit lain yang
mungkin menyebabkan menyesatkan fitur klinis . Ini dapat melemahkan dan
bahkan jarang mengancam jiwa .
(3) dan (4) dapat berkembang pada pasien yang beracun dan pada mereka
yang tidak beracun ( gigitan ular tidak berbisa atau oleh berbisa ular yang gagal
42
untuk menyuntikkan racun ) atau yang tidak sebenarnya digigit ular
sama sekali tapi oleh hewan pengerat atau kadal atau bahkan tertusuk duri .
Ketika racun belum disuntikkan Beberapa orang yang digigit ular atau
mencurigai atau membayangkan bahwa mereka memiliki digigit , mungkin
mengembangkan gejala-gejala dan tanda-tanda cukup mencolok bahkan ketika
tidak ada racun telah disuntikkan. Ini hasil dari sebuah ketakutan yang bisa
dimengerti dari konsekuensi dari gigitan berbisa nyata. Orang cemas dapat over-
bernapas sehingga mereka mengembangkan kesemutan dari ekstremitas ,
kekakuan atau tetani tangan dan kaki dan pusing mereka . Orang lain mungkin
mengembangkan vasovagal kejutan setelah gigitan atau diduga gigitan - pusing
dan runtuh dengan perlambatan mendalamjantung . Orang lain mungkin menjadi
sangat gelisah dan tidak rasional dan dapatmengembangkan berbagai gejala
menyesatkan . Tekanan darah dan denyut nadidapat meningkatkan dan mungkin
ada berkeringat dan gemetar . Sumber lainejala dan tanda-tanda tidak disebabkan
oleh ular adalah pertolongan pertama dan tradisionalPerawatan ( Harris et al,
2010). Band konstriksi atau torniket dapat menyebabkannyeri , pembengkakan
dan kemacetan yang menunjukkan envenoming lokal . tertelan herbalobat dapat
menyebabkan muntah . Berangsur-angsur dari sari-sari tumbuhan iritan ke
dalammata dapat menyebabkan konjungtivitis . Insuflasi paksa minyak ke dalam
pernapasan saluran dapat menyebabkan pneumonia aspirasi , bronkospasme ,
gendang telingapecahdan pneumothorax . Sayatan, kauterisasi , perendaman
dalam panas cair danpemanasan di atas api dapat mengakibatkan cedera parah.
Gejala awal dan tanda-tanda Setelah rasa sakit langsung penetrasi mekanik
kulit oleh taring ular , mungkin ada peningkatan nyeri lokal ( terbakar , meledak ,
berdenyut )di lokasi gigitan , pembengkakan lokal yang secara bertahap meluas
proksimal ekstremitas digigit dan lembut , pembesaran menyakitkan kelenjar
getah bening regional menguras tempat gigitan ( di selangkangan - femoral atau
inguinal , berikut gigitan di ekstremitas bawah ; di siku - gigitan epitrochlear -
43
atau di ketiak berikut di ekstremitas atas ) . Namun, gigitan oleh kraits , ular laut
dan ular kobra Filipina mungkin hampir tanpa rasa sakit dan dapat menyebabkan
pembengkakan lokal diabaikan . seseorang yang tidur bahkan mungkin tidak
bangun ketika digigit Krait dan ada mungkin tidak ada fang tanda terdeteksi atau
tanda-tanda envenoming lokal . Pola klinis dari envenoming ular di Asia Tenggara
wilayahGejala dan tanda-tanda bervariasi sesuai dengan jenis ular yang
bertanggung jawab untuk gigitan dan jumlah racun disuntikkan . Kadang-kadang
identitas ular menggigit dapat dikonfirmasi dengan memeriksa ular mati .
Mungkin diduga kuat dari deskripsi pasien atau keadaan dari menggigit atau dari
pengetahuan tentang efek klinis dari racun spesies itu.
Informasi ini akan memungkinkan dokter untuk memilih antivenom yang tepat ,
mengantisipasi kemungkinan komplikasi dan , karena itu , mengambil tindakan
yang tepat . Jika spesies menggigit tidak diketahui , pasien harus diperhatikan
dengan seksama untuk memungkinkan pengakuan pola muncul gejala , tanda dan
hasil tes laboratorium ( " sindrom klinis " )
44
prostration.
Cardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension,
cardiac arrhythmias, pulmonary oedema, conjunctival oedema (chemosis)
(Fig. 43)
a b
45
d
Figure 41: Blistering and early tissue necrosis following a bite by an Indo-
Chinese spitting cobra (Naja siamensis) in south Viet Nam (Copyright DA
Warrell)
46
49
47
hematemesis), perdarahan rektum atau melena, hematuria, vagina
perdarahan, ante-partum perdarahan pada wanita hamil, perdarahan ke mukosa
(misalnya konjungtiva -. Gambar 47), kulit (petechiae, purpura,
pendarahan diskoid - Gambar. 48 dan ekimosis) dan retina.
Figure 44: Bleeding from gingival sulci in a patient bitten by a Malayan pit viper
(Copyright DA Warrell
48
Figure 46: Haemoptysis from a tuberculous lung cavity in a patient bitten by a
Malayan pit viper (Copyright DA Warrell)
49
Figure 48: Cutaneous discoid haemorrhages in a patient bitten by a Malayan pit
viper in Viet Nam (Copyright DA Warrell)
50
Figure 49: Bilateral ptosis (Copyright DA Warrell)
(a) in a patient bitten by a common krait in Sri Lanka
(b) in a patient bitten by a Russell’s viper in Sri Lanka
51
Figure 55: Bilateral conjunctivitis in a patient who had venom spat into both eyes
by an Indo-Chinese spitting cobra (Naja siamensis) (Copyright DA Warrell)
52
Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan
ukuran ular, tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di lokasi
gigitan,adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal. Perubahan EEG
segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2 minggu. Pada
pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan seperti bradikardia dan inversi
septal gelombang T. Hasil EKG yang abnormal termasuk tanda-tanda utama
gejala gigitan ular berbisa, selain perdarahan, koagulopati dan paralisis.
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi
ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit
sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh
tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak
berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang
ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi
klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis (Niasari, 2003).
Anamnesis:
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan
tanda baik local dan sistemik.
a. Pada bagian tubuh mana anada terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit
ular(misalnya adanya bekas taring)serta asal dan perluasan tanda
envenomasi local.
b. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama
waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di
rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan
sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular
telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur,
kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits(ular berbisa), bila di
daerah persawahan,kemungkinan oleh ular kobra atau rusel viper(ular
53
berbisa), bila terjadi saat memetik buah ,pit viper hijau(ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra(air
tawar), ular laut.
c. Perlakuan terhadap ular yang menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan
dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil
ditemukan. Sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut
berbisa atau tidak.
d. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis system tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang bisa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau gangguan pembekuan
darah akan mengalami gangguan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjadi lama.
2.2.8 Laboratorium
a. 20 menit tes seluruh pembekuan darah (20WBCT)
Bagian dari alat – alat harus baru, bersih, kering, kapal kaca (tabung atau botol).
20 menit tes seluruh pembekuan darah (20WBCT) , tempatkan 2 ml sampel darah
vena dalam botol kecil, baru ,bersih, kering. Tinggalkan selama 20 menit pada
suhu kamar. Biarkan selama 20 menit, Amati apakah darah tersebut clotting atau
tidak, kalau darah tersebut clotting berarti normal, bila darah tidak clotting bearti
terjadi hipofibrinogenemia yang disebabkan oleh racun. Jika wadah dibersihkan
dengan deterjen atau tidak terbuat dari kaca,kemungkinan dindingnya tidak
berstimulasi terhadap penggumpalan, oleh karena factor pembekuan 11 dan
testnya akan invalid.
54
b. Konsentrasi hemoglobin atau hematokrit
Beeding dari sayatan dibuat di lokasi gigitan. Darah incoagulable
menunjukkan racun-diinduksi koagulopati. Jumlah trombosit: Ini mungkin akan
menurun dalam korban envenoming oleh ular viper dari australia
d. Plasma / serum
Mungkin merah muda atau kecoklatan jika ada haemoglobinaemia gross atau
myoglobinaemia.
55
dicatat dan urin harus diuji oleh dipsticks untuk darah atau hemoglobin
atau mioglobin. Dipsticks standar tidak membedakan darah, hemoglobin dan
mioglobin. Hemoglobin dan mioglobin dapat dipisahkan dengan immunoassays
tetapi tidak ada tes mudah atau dapat diandalkan. Mikroskop akan
mengkonfirmasi apakah ada adalah eritrosit dalam urin. Gips sel darah merah
mengindikasikan perdarahan glomerular. Proteinuria masif adalah tanda awal dari
kenaikan umum dalam permeabilitas kapiler di Russell viper envenoming dan
indikator awal cedera ginjal akut.
2.2.9 Terapi
Management of snake-bites in South-East Asia
Stages of management
The following steps or stages are often involved:
Management of snake-bite
56
Pengobatan antivenom untuk gigitan ular-pertama kali diperkenalkan oleh
Albert Calmette di Institut Pasteur di Saigon pada tahun 1890 (Bon dan Goyffon
1996). Antivenom ada lah imunoglobulin [biasanya pepsin-halus fragmen Seluruh
IgG] dimurnikan dari plasma kuda, keledai atau keledai (kuda) atau domba yang
telah diimunisasi dengan racun dari satu atau lebih spesies ular. "Spesifik"
antivenom, bahwa antivenom memiliki efek terhadap racun ular yang telah
menggigit pasien sehingga dapat diharapkan mengandung antibodi spesifik yang
akan menetralisir racun tertentu dan mungkin racun erat terkait spesies
(paraspecific netralisasi). Monovalen (monospecific) antivenom menetralkan
racun hanya satu jenis ular. Polivalen (polyspecific) antivenom menetralkan racun
dari beberapa spesies yang berbeda dari ular, biasanya spesies yang paling
penting, dari sudut pandang kedokteran, dalam wilayah geografis tertentu.
Misalnya, antivenom produsen 'India "polyvalent anti-ular racun serum
"dinaikkan pada kuda menggunakan racun dari empat yang paling penting ular
berbisa di India (Indian cobra, Naja naja, Krait Indian, Bungarus caeruleus;
Russell viper, Daboia russelii; saw skala viper, Echis carinatus), meskipun
validitas konsep "empat besar" semakin menantang oleh penemuan bahwa spesies
lainnya juga penting di daerah-daerah tertentu Mis (. Joseph et al, 2007) Hhypnale
di South-West India; Trimeresurus malabaricus di India selatan; Echis carinatus
sochureki di Rajasthan (Kochar et al., 2007).
57
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti
table di bawah ini:
Derajat Venerasi Luka Nyeri Odem/eritema Tanda sistemik
gigit
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +,
25cm/12 jam Neurotoksik,mual,pusin
g,shock
III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++, syok, petechie,
ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma, perdarahan
secara +
menyeluruh
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
a. Derajat 0 dan 1 tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
b. Derajat II: 3-4 vial SABU(5-20 cc)
c. Derajat III: 5-15 vial SABU 40-100 cc
d. Derajat IV: Berikan penambahan 6-8 vial SABU
58
Apabila diperlukan (misalnya gejal-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar
daripada dosis dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara
infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena.
Penderita harus di amati selama 24 jam untuk reaksi anafilaksis.
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
I Jam 1%
59
NIPM Taipei Naja- 5 vials
Bungarus antivenin
QSMI5, Malayan Pit
Calloselasma Malayan pit viper Viper 100 ml
(Agkistrodon) Antivenin monovalent6
rhodostoma
Cryptelytrops Green pit vipers QSMI5 Green Pit Viper 100 ml
(Trimeresurus) Antivenin6
albolabris, C.
macrops
Western Russell’s
Daboia russelii viper Indian manufacturers4 100 ml
Polyvalent
Daboia Eastern Russell’s Myanmar
siamensis viper Pharmaceutical 80ml
Industry monovalent
QSMI5, Russell’s Viper 50ml
Antivenin monovalent6
Echis carinatus
India saw-scaled viper Indian manufacturers4 50 ml
Polyvalent
Gloydius Chinese Mamushi Shanghai Vaccine & 1 vial
(Agkistrodon) Serum Institute
(brevicaudus) Mamushi antivenom
CSL1Sea Snake
Hydrophiinae Sea snakes Antivenom 1-10 vials
Micropechis New Guinean
ikaheka smalleyed CSL1 Polyvalent ?2 vials
Snake Antivenom
Naja kaouthia Monocellate Thai QSMI5, monovalent7 100 ml
60
cobra
Naja naja, N
oxiana Indian cobras Indian manufacturers4 100 ml
polyvalent
CSL1 Taipan or
Oxyuranus Australian/Papuan Polvalent 1-6+ vials
scutellatus Taipans Antivenom
Pseudonaja Australian brown
species snakes CSL1 Brown Snake or 1-2 vials
Polyvalent Antivenom
Pseudechis Australian black
species snakes CSL1 Black Snake 1-3 vials
Antivenom
Rhabdophis Japanese Japanese Snake
tigrinus, yamakagashi, Institute, 1-2 vials
SE Asian red-
R. subminiatus necked Nitta-gun Yamakagashi
Keelback antivenom
Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang diproduksi dan disetujui oleh FDA,
yaitu antivenom polyvalen crotalidae, antivenon untuk coral snake (Elapidae) dan
antivenon untuk black widow spider. Semua anti bisa ular adalah derivat serum
binatang, tersering berasal dari serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat
secara langsung dan menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar
pada pasien dalam jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe
cepat dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-25%
pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi
tipe lambat dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan gejala serum sickness seperti
demam, ruam yang difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam
beberapa hari. Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek
samping yang serius jarang terjadi Pemberian anti bisa ular harus dilakukan di
61
rumah sakit yang tersedia alat-alat resusitasi. Penggunaan adrenalin, steroid dan
antihistamin dapat mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-
30%. Profilaksis yang hanya menggunakan promethazine tidak dapat mencegah
reaksi yang cepat. Anak-anak lebih sering memerlukan jumlah data anti bisa yang
banyak oleh karena kecilnya rasio antara volume tubuh dan bisa ular yang
terdistribusi. Pada tahun 2000 bulan Desember terdapat produk baru yaitu
Crotalinae Polyvalent Immune Fab (ovine) antivenon yang berasal dari serum
domba. Serum ini ternyata lima kali lebih poten dan efektif sebagai antii bisa dan
jarang terdapat komplikasi akibat pemberiannya. Penggunaan serum dianjurkan
diencerkan dalam 250 ml NaCl 0,9% dan pemberiannya lebih dari satu jam
melalui intravena. Untuk pasien yang masih sangat kecil (berat badan kurang dari
10 kg), volume cairan dapat disesuaikan. Jumlah penggunaan anti bisa ular
tergantung derajat beratnya kasus. Kasus dengan derajat none tidak diberikan anti
bisa, untuk kasus dengan derajat minimal diberikan 1-5 vial sedangkan moderate
dan severe lebih dari 15 vial. Antibiotik diberikan secara rutin, karena dapat
terjadi infeksi pada tempat gigitan. Pemberian antibiotik masih kontroversi,
namun Blaylock tahun 1999 dari penelitiannya mendapatkan 18 diantara 20
pasien mempunyai biakan darah positif bakteria gram negatif aerob. Kadang perlu
dilakukan eksisi dan penghisapan bisa pada saat luka dibersihkan. Saat ini masih
diperdebatkan tentang tindakan operasi (fasciotomy) pada pasien gigitan ular
berbisa. Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang makin luas dan terjadi
compartment syndrome (keadaan iskemik berat pada tungkai yang mengalami
revaskularisasi dan menimbulkan edem, disebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan keadaan hiperemia)
2.2.10 Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.
62
2.3 Kalajengking
2.3.1 Morfologi
Sebagaimana Arachnida, kalajengking mempunyai mulut yang disebut
khelisera, sepasang pedipalpi, dan empat pasang tungkai. Pedipalpi seperti capit
terutama digunakan untuk menangkap mangsa dan alat pertahanan, tetapi juga
dilengkapi dengan berbagai tipe rambut sensor. Tubuhnya dibagi menjadi dua
bagian yaitu sefalotoraks dan abdomen. Sefalotoraks ditutup oleh karapas atau
pelindung kepala yang biasanya mempunyai sepasang mata median dan 2-5
pasang mata lateral di depan ujung depan. Beberapa kalajengking yang hidup di
guwa dan di liter sekitar permukiman tidak mempunyai mata.
63
Gambar 2.1 Struktur tubuh Kalajengking
2.3.2 Perilaku
Morfologi Kalajengking
Kalajengking tergolong serangga yang aktif di malam hari (nokturnal) dan
siang hari (diurnal). Ia juga merupakan hewan predator pemakan serangga, laba-
laba, kelabang, dan kalajengking lain yang lebih kecil. Kalajengking yang lebih
besar kadang-kadang makan vertebrata seperti kadal, ular dan tikus. Mangsa
terdeteksi oleh kalajengking melalui sensor vibrasi organ pektin. Pedipalpi
mempunyai susunan rambut sensor halus yang merasakan vibrasi dari udara.
Ujung-ujung tungkai mempunyai organ kecil yang dapat mendeteksi vibrasi di
tanah. Kebanyakan kalajengking adalah predator penyerang yang mendeteksi
mangsa ketika ia datang mendekat. Permukaan tungkai, pedipalpi, dan tubuh juga
ditutupi dengan rambut seta yang sensitive terhadap sentuhan langsung. Meskipun
kalajengking dilengkapi dengan venom untuk pertahanan dan mendapat mangsa,
kalajengking sendiri jatuh menjadi mangsa bagi mahluk kalin seperti kelabang,
tarantula, kadal pemakan serangga, ular, unggas (terutama burung hantu), dan
64
mamalia (termasuk kelelawar, bajing dan tikus pemakan serangga). Seperti halnya
predator lainnya, kalajengking cenderung mencari makan di daerah teritori yang
jelas dan terpisah, dan kembali ke tempat yang sama pada setiap malam.
Kalajengking bisa masuk ke dalam komplek perumahan dan gedung ketika daerah
teritorialnya hancur oleh pembangunan, penebangan hutan atau banir dan
sebagainya.
65
tahun, tetapi beberapa spesies bisa hidup sampai 25 tahun. Beberapa jenis
menunjukkan perilaku sosial, seperti membentuk agregasi selama musim dingin,
menggali koloni dan mencari makan bersama.
66
unik disebut pektin. Pektin ini biasanya lebih besar dan mempunyai gigi lebih
banyak pada yang jantan dan digunakan sebagai sensor terhadap permukaan
tekstur dan vibrasi. Pektin juga bekerja sebagai kemoreseptor (sensor kimia) untuk
mendeteksi feromon (komunikasi kimia).
67
otonom. Stimulasi saraf nitergic memasok otot polos penis dapat mengakibatkan
priapism. Kalajengking hitam Asia milik scorpionidae berkembang di Tenggara-
Asia. inflamasi sitokin terkait dengan racun kalajengking adalah TNF-alpha, IL-1
dan IL-6, baru-baru ini gelatinolitik, caseinlytic dan hyaluronidase dan
metalloproteinase menyebabkan cedera pada kulit, sel darah, jantung dan system
saraf pusat. Dalam korban sengatan kalajengking berkepanjangan terjadi
stimulasi saluran saraf sodium oleh Mesobutus Tamulus. Hasil racun
menyebabkan kelumpuhan saluran sodium neuronal jantung yang dapat
menyebabkan sindrom Brugada.
Grade 1: nyeri lokal menyiksa di tempat sengatan sampai dengan dermatom yang
sesuai, edema dengan tempat duduk di lokasi sengatan, tanpa gejala
sistemik.
Grade 2: tanda dan gejala otonom ditandai dengan asetil kolin kelebihan atau
parasimpatis stimulasi dan stimulasi simpatis
Grade 3: ekstremitas dingin, takikardia, hipotensi atau hipertensi dengan edema
paru (tingkat pernapasan> 24 per menit, rales basal atau crackles di
paru-paru).
Kelas 4: takikardia, hipotensi dengan atau tanpa paru edema dengan ekstremitas
hangat (shock hangat).
X-ray Dada
Edema paru kardiogenik ditandai dengan unilateral distribusi atau
penampilan batwing edema paru akibat Kegagalan ventrikel kiri dan peningkatan
68
localize simultan di permeabilitas pembuluh darah paru yang disebabkan oleh
racun. sementara distribusi merata dan perifer edema paru-paru dengan udara
bronchograms adalah fitur radiologis edema paru karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah
2.3.8 Terapi
Pasien dalam antivenom ditambah prazosin kelompok diperlukan secara
signifikan (p <0,001) lebih sedikit dosis prazosin dari prazosin yang
kelompok. Disimpulkan bahwa penambahan kalajengking antivenom untuk
prazosin meningkatkan waktu pemulihan lebih pendek volume maksimum racun
disuntikkan dalam satu sengatan kalajengking merah 1,5 mg, dan masing-masing
ml antivenom mampu menetralkan 1,2 hingga 1,5 mg racun. Vasodilator
hydralazine, isosorbid dinitrat, nifedipine telah dianjurkan untuk pengobatan
sengatan kalajengking, ini menyebabkan refleks takikardia dan meningkatkan
oksigen miokard. Prazosin adalah sebuah phosphodisterase inhibitor, mengurangi
preload. Prazosin 250-500 mikrogram setiap 3 jam interval untuk anak usia 1-16
tahun diberikan prazosin oral. Dalam daerah endemik berbisa kalajengking
menyengat. Kasus membaik dengan dobutamin infus 5-20 mikrogram / kg /
min.51, 64,76 7 dari 11 anak memiliki disfungsi miokard dan syok dekompensasi
selain dobutamin menjawab untuk nitrogliserin (NTG) menetes 0,5 sampai 5
mikrogram / kg / menit oleh meningkatkan disfungsi jantung.
69
DAFTAR PUSTAKA
Warrell, David A. 2010. Guidelines For The Management Of Snake Bites. World
Health Organization
Joseph John, dkk. 2008. Snake Bite Mimicking brain death. BioMed Central.
70
71