Anda di halaman 1dari 71

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar


45.000 kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.
Selama 3 tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers
melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan
gigitan ular berbisa. Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan
biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang
tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. Pada umumnya korban gigitan
ular adalah laki-laki dengan usia 17 tahun, seringkali dalam kondisi mabuk,
sedang melakukan aktifitas berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain
dengan ular. Waktu gigitan biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih
sering terjadi pada ekstremitas (Ranawaka, 2013)..
Di India, ular disembah dan di beberapa daerah do’a khusus dilakukan.
Gigitan ular berkontribusi pada masalah kesehatan di India, sebesar 81.000
envenomation dan 11.000 kematian setiap tahunnya. Dilaporkan bahwa sekitar 10
% dari kematian gigitan ular adalah salah satu korban yang dating ke rumah sakit
dan 90 % mati di luar (Treatment Guidelines for Snakebite- 2008). Gigitan ular
diklasifikasikan oleh WHO sebagai penyakit tropis yang terabaikan dari
kepentingan global. Kasturiratneet al. (2008) memperkirakan bahwa setiap tahun
sedikitnya 1,2 juta gigitan ular, 421.000 envenoming, dan 20.000 terjadi kematian
karena gigitan ular di seluruh dunia.
Selain ular, scorpion juga banyak ditemukan seagai venom bite. Jumlah
tahunan kasus sengatan kalajengking melebihi 1,23 juta, dimana lebih dari 32.250
dapat fatal. Selama tahun 60-an dan 70-an, tingkat kasus kematian hingga 30%
yang dilaporkan dari Kokan region. Sejak munculnya vasodilator prazosin,
kaptopril Nifedipine, sodium nitroprusside, hidrazin, kalajengking antivenom,
dan manajemen perawatan intensif kematian turun menjadi <2-4% Kejadian

1
nyata, morbiditas dan kematian yang langka, karena sebagian besar korban tidak
mencari pengobatan medis atau struktur kesehatan umum dan lebih memilih
pengobatan tradisional. Scorpion juga merupakan envenomation. Scorpion
umumnya ditemukan dalam panas lingkungan, meskipun beberapa spesies juga
terjadi pada hutan. Semua spesies aktif di malam hari, siang hari bersembunyi di
bawah batu, kayu atau kulit pohon. Resiko sengatan kalajengking lebih tinggi di
daerah pedesaan (Himmatrao, 2012).

2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Snake Bite


2.1.1 Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan
atau manusia.
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu
taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung
saluran bisa(seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan
jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya.. Bila manusia tergigit, bisa
biasanya disuntikkan secara subcutan atau intramuskuler.
Efek toksin bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia dan defisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang
terjadi.

2.1.2 Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar
45.000 kasus, namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.
Selama 3 tahun terakhir, the American Association of Poison Control Centers
melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitan ular, 2000 diantaranya merupakan
gigitan ular berbisa. Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15 kasus dan
biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjut usia, dan pada kasus yang
tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular. `
Pada umumnya korban gigitan ular adalah laki laki dengan usia antara
17 sampai tahun, seringkali dalam kondisi mabuk, sedang melakukan aktifitas
berkebun, atau sedang menangkap bahkan bermain dengan ular. Waktu gigitan
biasanya terjadi pada malam hari dan gigitan lebih sering terjadi pada ekstremitas.
Malik dkk, pada tahun 1992 melakukan penelitian terhadap korban gigitan ular,

3
mendapatkan tempat gigitan pada tungkai atau kaki (83,3%) dan lengan atau
tangan (17,7%). Terdapat 3000 spesies ular, 200 spesies diantaranya ular berbisa.
Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu, Hydrophidae (ular
laut), Elapidae (contohnya cobra) dan Viperidae (Crotalidae) termasuk ular
berbisa. Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh gigitan ular dari famili
Crotalidae (Niasari, 2003).

2.2.2 Bisa Ular


Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada system pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang ter,pdifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjarkhusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsure bisa
ular yang memiliki efek klinis:
1) Enzim Prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah
namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari
ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan
mengaktivasi pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh system
fibrinolitik tubuh. Antara30 menit setela gigitan, tingkat factor pembekuan
darah menjadi sangat rendah, sehingga darah tidak dapat membeku.
2) Haemorrhagins(zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang
meliputi pembuluh darah dan menyebakan perdarahan sistemik spontan
(spontaneous systemic haemorrhage).
3) Racun sitolitik atau nekrotik-mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipeptida dan factor lainnya yang meningkatkan

4
permeabilitas membrane sel dan menyebabkan pembengkakan setempat.
Racun ini juga dapat menghancurkan membrane sel dan jaringan.
4) Phospholipase A2 haemolitik and myolitik-enzim ini dapat menghancurkan
membrane sel,endotel,otot lurik,syaraf serta sel darah merah.
5) Phospholipase A2 Neurotoxin pre-synaptik(Elapidae dan beberapa
Viperidae)merupakan phospholipase A2 yang merusak ujung syaraf, pada
awalnya melepaskan transmitter asetilkolin lalu meningkatkan
pelepasannya.
6) Post-synaptic neurotoxins (Elapidae)-polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium.
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
Hialuronidase,ATP-ase,5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase,RNA-ase,DNA-ase. Enzi mini menyebabkan destruksi
jaringan local, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamine sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase
merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.

Sifat Bisa Ular


Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan system
pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi system saraf
dan otak, dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yangbekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan mengfhancurkan stroma lecethine(dinding sel darah merah),
sehingga sel darah merah hancur dan larut(hemolysis) dan keluar
menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung,tenggorokan.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf(neurotoksik)

5
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf
tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan
hitam(nekrotik). Penyebaran selanjutnya mempengaruhi susunan saraf
pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh melalui
pembuluh limfe.

Morfologi

Figure 1: Venom apparatus of an eastern Russell’s viper (Daboia siamensis)

Figure 2a: Short, permanently erect, front fangs of a typical elapid (Sri Lankan
cobra - Naja naja) (Copyright DA Warrell)

6
Figure 2b: Long, hinged, front fangs of a typical viper (Thailand Russell’s viper
Daboia siamensis). A reserve fang is seen immediately behind the active fang.
(Copyright DA Warrell)

Figure 2c: Rear fangs of a dangerously venomous Colubrid snake, the red-necked
keelback (Rhabdophis subminiatus) (Copyright DA Warrell)

2.3.3 Classification of venomous snakes: Medically important species in South-


East Asia Region countries (WHO 2010)
Ada tiga keluarga dari ular berbisa di Asia Tenggara , Elapidae ,
Viperidae dan Colubridae
1) Elapidae : bagian depan memiliki ( proteroglyph ) taring (Gambar 2a ) .
Keluarga ini termasuk ular kobra, king cobra, kraits, ular karang , Ular Australasia
dan ular laut. Elapidae relatif panjang, tipis , ular seragam berwarna dengan skala
simetris halus besar ( piring ) di atas ( dorsum ) kepala . Tidak ada skala loreal

7
antara preocular yang dan skala hidung. Beberapa terutama ular kobra, menaikkan
bagian depan mereka. tubuh dari tanah dan menyebar dan meratakan leher untuk
membentuk kerudung (Gambar 3-8 ). Beberapa spesies ular kobra bisa meludah
racun mereka untuk satu meter atau lebih terhadap mata musuh yang dirasakan .
Ular laut berbisa telah diratakan ekor dayung - seperti sisik ventral dan mereka
sangat berkurang dalam ukuran atau hilang (Gambar 20-24)

a) Some of the Elapidae inhabiting SEARO countries (References to reports of


bites by these species are given in parenthesis): Cobra(genus Naja):
a b

c d

Figure 3: Common spectacled cobra (Naja naja): (a) and (b) Sri Lanka, (c) India
(Copyright DA Warrell), (d) Nepal (Theakston et al., 1990)

8
Figure 4: North Indian or Oxus cobra (Naja oxiana)(Copyright DA Warrell,
1995)

b c

Figure 5: Monocellate cobras (Naja kaouthia) (Copyright DA Warrell) (a)


specimen from India (b) specimen from Thailand (c) specimen from Thailand
showing single “eye” marking on back of hood (Copyright (Fig. 5a-c) (Reid
1964; Warrell 1986; Viravan et al., 1992).

9
Figure 5d: Andaman cobra Naja sagittifera juvenile specimen

a b

Figure 6: Indo-Chinese spitting cobra (Naja siamensis) specimens from Thailand


(Copyright DA Warrell) (a) Brown-coloured specimen (b) Black and white
specimen with illdefined spectacle marking on hood.
Spitting cobras: N. siamensis (Fig. 6) (Warrell 1986; Wüster et al., 1997), N.
sumatrana (Fig. 7), N. sputatrix, N. mandalayensis etc

a b

10
Figure 7: Sumatran spitting cobra (Naja sumatrana) (Copyright DA Warrell)
(a) black phase (b) golden phase

a b

11
Figure 8: King cobra or hamadryad (Ophiophagus hannah) (Copyright DA
Warrell)
(a) The famous king cobra dance in Yangon, Myanmar
(b) Specimen from Thailand more than 3.5 metres in total length
(c) (d) (e) Dorsal and lateral views of head of Thai (c,d) and Indian
(e) specimens showing the two large occipital scales (arrows) which distinguish
this species from cobras (Naja)
King cobra: Ophiophagus hannah (Fig. 8) (Tin-Myint et al., 1991)

b) Kraits (genus Bungarus):

a b

Figure 9: Common krait (Bungarus caeruleus) (Copyright DA Warrell)


(a) Sri Lankan specimen showing narrow white dorsal bands
(b) Indian specimen showing pure white ventrals
Common krait B. caeruleus (Fig. 9) (Theakston et al., 1990; Ariaratnam et al.,
2009)

12
a b

Figure 10: Malayan krait (Bungarus candidus) Thai specimen (Copyright DA


Warrell)
(a) Showing dorsal black saddle-shaped markings
(b) Showing pure white ventrals

Figure 11: Chinese krait (Bungarus multicinctus) (Copyright DA Warrell)


Chinese krait B. multicinctus (Fig. 11) (Tun-Pe et al., 1997; Ha-Tran-Hung et al.,
2009; Ha-Tran-Hung et al., 2010)

Figure 12: Greater black krait (Bungarus niger) Nepal (Copyright F. Tillack)
Greater black krait B. niger (Fig. 12) (Faiz et al., 2010)

13
a b

Figure 13: Banded krait (Bungarus fasciatus) Thai specimens. Banded krait B.
fasciatus (Fig. 13) (Tun-Pe et al., 1997)
(a) Showing black and yellow bands
(b) Showing circumferential black bands and blunt-tipped tail (scale in cms).

Figure 14: Red-headed krait (Bungarus flaviceps) Thai specimen (Copyright DA


Warrell Red-headed krait B. flaviceps (Fig. 14), Wall’s krait B. walli

14
Figure 15: Spotted coral snake (Calliophis maculiceps) Thai specimen
(Copyright DA Warrell) Spotted coral snake Calliophis maculiceps (Fig. 15)
(Warrell, 1995).

c) Australasian elapids
a b

Figure 16a and b: Death adder (Acanthophis laevis)


(Copyright DA Warrell) (a) Specimen from West Papua, Indonesia
(b) Specimen from Seram, Indonesia
Death adders (Genus Acanthophis): A. laevis (Fig. 16a) and A. rugosus (Lalloo et
al., 1996) New Guinea small-eyed snake Micropechis ikaheka (Fig. 16b) (Warrell
et al., 1996)

Figure 16c: New Guinea small-eyed snake (Micropechis ikaheka). Specimen


from Arso, West Papua, Indonesia 1.69 m in total lengthesponsible for a case of
envenoming (see Warrell et al., 1996).

15
Figure 17: Papuan taipan (Oxuyuranus scutellatus canni) SaiBai Island,
Torres Strait Islands (Copyright DA Warrell)
Papuan Taipan Oxyuranus scutellatus canni (Fig. 17) (Lalloo et al., 1995)

Figure 18: Papuan black snake (Pseudechis papuanus) SaiBai Island,


Torres Strait Islands (Copyright DA Warrell)

Figure 19: Eastern brown snake (Pseudechis textilis) Brown snakes (Genus
Pseudonaja) (Fig. 19) (White, 1995)

16
Figure 20: Beaked sea snake (Enhydrina schistosa) Bunapas Mission, Ramu
River, Papua New Guinea (scale in cms) (Copyright DA Warrell)

Figure 21a: Blue spotted sea snake (Hydrophis cyanocinctus) (Copyright DA


Warrell)

Figure 21b: Banded sea snake (Hydrophis fasciatus atriceps) (Copyright DA


Warrell)

17
Figure 21c: Flattened paddle-like tail of sea snakes: Hydrophis cyanocinctus
(above); Lapemis curtus (below) (Copyright DA Warrell)

Figure 22: Hardwick’s sea snake (Lapemis curtus) showing tiny fangs (arrow)
(Copyright DA Warrell)

Figure 23: Yellow-bellied sea snake (Pelamis platurus) (FitzSimons Snake Park)

18
a b

Figure 24: Sea krait (Laticauda colubrina) (Copyright DA Warrell) Madang,


Papua New Guinea
(a) Showing blue and banded pattern and amphibious behaviour
(b) Showing fangs

Sea snakes (Reid 1975, 1979; Reid and Lim 1957; Warrell 1994): important
species include Enhydrina schistosa (Fig. 20), Hydrophis sp. (Fig. 21), Lapemis
curtus (Fig. 22), Pelamis platurus (Fig. 23) and Laticauda colubrina (Fig. 24).

2) Viperidae relative punya taring panjang (solenoglyph) yang biasanya dilipat


antara rahang atas, ketika serangan ular mereka bereaksi (Fig. 2b). Ada dua family
tipe vipers (Viperinae) dan pit vipers (Crotalinae). Crotalinae punya organ khusus,
pit organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas yang terletak antara lubang
hidung dan mata (Fig. 25).

19
Figure 25: Head of a typical pit viper – dark green pit viper (Cryptelytrops
macrops) showing the pit organ situated between the nostril and the eye (arrow)
(Fig. 25) (Hutton et al., 1990; Warrell 1990)

Some of the Viperidae inhabiting South-East Asia Region countries


Typical vipers (sub-family Viperinae):
Figure 26: Western Russell’s viper (Daboia russelii)
(Copyright DA Warrell)
(a) Specimen from southern India
(b) Specimen from Sri Lanka

a b

Russell’s vipers, Western, Daboia russelii (Fig. 26) (Phillips et al., 1988; Warrell
1989; Gawarammana et al., 2009); and Eastern, D. siamensis (Fig. 27) (Myint-
Lwin et al., 1985; Tun-Pe et al., 1987; Than-Than et al., 1987; Than-Than et al.,
1988; Warrell 1989; Than-Than et al., 1989; Thein-Than et al., 1991; Tin-Nu-Swe
et al., 1993; Belt et al., 1997)

a b

20
c d

Figure 27: Eastern Russell’s vipers (Daboia siamensis) (Copyright DA Warrell)


(a) Specimen from Myanmar; (b) Specimen from Thailand
(c) Specimen from East Java, Indonesia; (d) Specimen from Flores, Indonesia

a b

Figure 28: Saw-scaled vipers (Echis carinatus) (Copyright DA Warrell)


(a) Echis carinatus carinatus Specimen from southern India
(b) Echis carinatus carinatus Specimen from Sri Lanka
(c) Echis carinatus sochureki
Saw-scaled or carpet vipers Echis carinatus (Fig. 28) (Bhat 1974; Warrell and
Arnett 1976; Kochar et al., 2007)

21
Figure 28b: Levantine or blunt-nosed viper (Macrovipera lebetina) Levantine or
blunt-nosed viper Macrovipera lebetina (Fig. 28b) (Sharma et al., 2008)

a) Pit vipers (sub-family Crotalinae):

a b

Figure 29: Malayan pit viper (Calloselasma rhodostoma) Thai specimen


(a) Showing characteristic posture and triangular dorsal markings (scale
in cms) (b) Showing supralabial markings.
Malayan pit viper Calloselasma rhodostoma (Fig. 29) (Reid et al., 1963a; Reid et
al., 1963b; Reid 1968; Warrell et al., 1986)

22
Figure 30a: Mount Kinabalu pit viper (Garthia chaseni) (Copyright Prof RS
Thorpe)

a b

c d

Figure 30b-e: Hump-nosed viper (Hypnale hypnale)


(Copyright DA Warrell)
(a) Specimen from Sri Lanka
(b) Specimen from Sri Lanka showing long fangs
(c) Specimen from south western India
(d) Specimen from south western India showing upturned snout
Hump-nosed viper Hypnale hypnale (Fig. 30a-d) (Joseph et al., 2007; Ariaratnam
et al.,2008) Green pit vipers, bamboo vipers, palm vipers and habus (formerly all
genus Trimeresurus)

23
a b

Figure 31: White-lipped green pit viper (Cryptelytrops albolabris) Thai specimen
(Copyright DA Warrell)
(a) Showing colouring and distinctive brown-topped tail
(b) Showing details of the head: note smooth temporal scales
White-lipped green pit viper Cryptelytrops albolabris (Fig. 31) (Hutton et al.,
1990; Rojnuckarin et al., 2006).

a b

Figure 32: Spot-tailed green pit viper (Cryptelytrops erythrurus) Specimen from
near Yangon, Myanmar (Copyright DA Warrell)
(a) Showing colouring and brown spotted tail
(b) Showing details of head; note keeled temporal scales.
Spot-tailed green pit viper Cryptelytrops erythrurus (Fig. 32) (Warrell 1995);
Kanchanaburi pit viper Cryptelytrops kanburiensis (Warrell et al., 1992)

24
a b

Figure 33a,b: Mangrove pit viper (Cryptelytrops purpureomaculatus)


(Copyright DA Warrell)
(a) Specimen from Kanchanaburi, Thailand
(b) Specimen from upper Myanmar

Mangrove pit viper Cryptelytrops purpureomaculatus (Fig. 33a-b) (Warrell


1995)

Figure 33c: Beautiful pit viper (Cryptelytrops venustus) specimen from Thung
Song, Thailand (Copyright DA Warrell) Beautiful pit viper Cryptelytrops
venustus (Fig. 33c)

25
Figure 34a: Mamushi or Fu-she (Gloydius brevicaudus) from China (Copyright
DA Warrell). Mamushis (Genus Gloydius): G. brevicaudus (Fig. 34a) (Warrell
1995)

Figure 34b: Hagen’s pit viper (Parias hageni) Trang, Thailand (Copyright DA
Warrell)
Hagen’s pit viper Parias hageni (Fig. 34c)

Figure 35a: Pope’s pit viper (Popeia popeiorum) Thailand (Copyright DA


Warrell) Pope’s pit viper Popeia popeiorum (Fig. 35a)

26
Figure 35b: Chinese habu (Protobothrops mucrosquamatus) Specimen from
China (Copyright DA Warrell) Chinese

Figure 36: Indian bamboo viper (Trimeresurus gramineus) (Copyright DA


Warrell) Indian bamboo viper Trimeresurus gramineus (Fig. 36)

27
Figure 37: Palm viper (Trimeresurus puniceus) Specimen from Cilacap, West
Java, Indonesia (Copyright DA Warrell) Palm viper Trimeresurus puniceus (Fig.
37)

Figure 38a: Sri Lankan pit viper (Trimeresurus trigonocephalus) (Copyright DA


Warrell)
Sri Lankan viper Trimeresurus trigonocephalus (Fig. 38a) (Warrell 1995)

Figure 38b: Wagler’s (temple) pit viper (Tropidolaemus wagleri) specimens in


the snake temple, Penang, Malaysia (Copyright DA Warrell) Wagler’s (temple)
pit viper Tropidolaemus wagleri (Fig. 38b) (Reid 1968)

28
Figure 37: Palm viper (Trimeresurus puniceus) Specimen from Cilacap, West
Java, Indonesia (Copyright DA Warrell) Palm viper Trimeresurus puniceus (Fig.
37)

Figure 38a: Sri Lankan pit viper (Trimeresurus trigonocephalus) (Copyright DA


Warrell) .Sri Lankan viper Trimeresurus trigonocephalus (Fig. 38a) (Warrell
1995)

Figure 38b: Wagler’s (temple) pit viper (Tropidolaemus wagleri) specimens in


the snake temple, Penang, Malaysia (Copyright DA Warrell) Wagler’s (temple)
pit viper Tropidolaemus wagleri (Fig. 38b) (Reid 1968)

29
Figure 38c: Banded temple viper (Tropidolaemus semiannulatus) Borneo Banded
temple viper Tropidolaemus subannulatus (Fig. 38c)

Figure 39a: Chinese bamboo viper (Viridovipera stejnegeri) Specimen from


China (Chinese bamboo viper Viridovipera stejnegeri (Fig. 39) (Warrell 1995)

30
Figure 39b: Reticulated python (Python reticularis) containing the body of a
farmer it had swallowed at Palu, Sulawesi, Indonesia (Copyright Excel Sawuwu)

Ular berbisa yang penting lainnya adalah Rhabdophis subminiatus (Fig. 2c)
dan Yamakagashi R. tigrinus (Warrell 1995), terutama Pyton besar. Di Indonesia
telah dilaporkan menyerang dan bahkan menelan banyak orang, biasanya petani
(Fig. 39b).

2.2.4 Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.
Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan
usia ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperature.
Secara mikroskop electron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein
yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh
darah, sehingga menyebabkan kerusakan membrane plasma. Komponen
peptide bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh
korban. Bradikinin, serotonin dan histamine adalah sebagai hasil reaksi yang
terjadi akibat bisa ular.
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase
menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri,
hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat
yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan
berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi
hidrolisis dari membrane sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan
kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID.
Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen,
gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas.
Bisa ular dari family Crotalide/Viperidae bersifat sitolitik yang
menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran vascular dan terjadi koagulopati.
Komponen dari bisa ular jenis ini mempunyai dampak hamper pada semua
system organ. Bisa ular dari family Elapidae dan Hydrophidae terutama

31
bersifat sangat neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang
memblok neurotransmitter pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular
di dalam tubuh, tergantung dari dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam
jaringan tubuh.

a. Transmisi Neuromuskular dan Blok Neuromuskular


Pada tingkat pra - sinaptik, terminal akson saraf motorik bertanggung jawab
untuk sintesis, kemasan, transportasi, dan pelepasan dari neurotransmitter
asetilkolin (Ach). Pelepasan Ach dalam merespon sebuah saraf masuk Potensi
dipicu dengan pembukaan saluran kalsium tegangan-gated dan masuknya ion
kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler memicu konsentrasi pembentukan
komplek fusi terdiri dari SNARE (Soluble N - ethylmalemide - sensitive -
factor Attachment Receptor) protein, yang memungkinkan fusi Ach ke
membrane terminal saraf dan pelepasan ACh. Nicotinic reseptor asetilkolin
(nAChRs) pada saraf terminal (preautoreceptors saraf synaptic memfasilitasi
pelepasan meningkatnya kuantitas ACh, dengan memobilisasi vesikel Ach dari
kolam cadangan untuk kolam releasable, dalam merespon tinggi stimulasi
frekuensi melalui sistem umpan balik positif. Interferensi dengan transmisi
neuromuskuler pada pre -sinaptik dapat terjadi pada saluran kalsium (mis. ,
Lambert Eaton myasthenic syndrome), snare protein mis, botulisme), kalium
chanel (mis. , neuromyotonia) , atau di nAChRs saraf Ach yang dilepaskan dari
terminal saraf berdifusi dengan cepat di seluruh celah sinaptik . Degradasi ACh
pada celah sinaptik oleh asetil cholinesterase (AChE ) diperlukan untuk
penghentian aksinya. Pada tingkat pasca - sinaptik, ACh mengikat nAChRs.
Pada membran post- synaptic . nAChRs adalah saluran ligand - gated ion, dan
aktivasi mereka dengan Ach menyebabkan masuknya natrium dan kalsium
kation, disertai dengan penghabisan ion kalium melalui saluran kalium, dan
menghasilkan potensial end - plate. Jika memadai Ach melepaskan potensi end
-plate disebarkan melalui pembukaan saluran natrium di sepanjang zona
perijunctional dan otot membran dan memulai pelepasan kalsium dan kontraksi
otot. Blok neuromuskular pada tingkat pasca - sinaptik diklasifikasikan

32
menjadi non - depolarisasi dan depolarisasi. Depolarisasi memblokir
neuromuscular agen ( NMBAs ) ( seperti suxametho -nium ) mengikat otot post
- synaptic nAChRs otot ,dan menghasilkan blok non - kompetitif. Depolarisasi
NMBAs awalnya memproduksi terlalu banyak depolarisasi, yang dapat dilihat
sebagai fasikulasi otot. NMBAs Non – depolarisasi ( seperti curare dan
turunannya tubocurarine, Pancuronium, atracurium), dalam kontras, kompetitif
Ach mengikat nAChRs otot pasca - sinaptik , dan menghasilkan blokade , oleh
karena itu, dapat dibalik dengan AChEIs ( seperti edrophonium, neostigmin ,
merupakan pyridostigmine) yang bertindak dengan meningkatkan Ach .
nAChR memiliki memiliki dua ligan, dan keduanya harus bersamaan diduduki
oleh Ach agar reseptor menjadi aktif . pendudukan satu molekul dari NMBA
akan secara efektif memblokir reseptor. non-depolarisasi NMBAs ,
bagaimanapun , telah terbukti menghasilkan efek pre - sinaptik dengan
mengikat pra – sinaptik neuron nAChRs. Depolarisasi NMBAs hanya
menghasilkan ion dalam amplitudo kedutan , tetapi tidak menghasilkan tetanik.
Non - depolarisasi juga menghasilkan kedutan dan potensial pasca tetani
sehingga menghasilkan frekuensi tinggi. NMBAs diketahui merusak NMJ
transmisi dengan beberapa efek tambahan pada nAChRs ,tanpa mengikat
reseptor . ini termasuk perubahan dinamika reseptor, Desensitisasi , dan saluran
blokade.

33
Figure 1. Sites of action of snake neurotoxins and other substances on the
neuromuscular junction. Scematic representation of the neuromuscular junction
showing different sites of action of snake neurotoxine, other toxins and
pharmacological substances, and sites of involvement in disease states(examples
indicated where relevant). 1. Synaptic vesicular proteins: Snake toxins: beta-
bungarotoxin (Bungarus spp.), taipoxin (O. scutellatus); Other toxins: botulinum
toxin, tetanus neurotoxin. 2. Voltage-gated calcium channel: Snake toxins:
calciseptine (Dendroaspis spp.), beta- bungaratoxin (Bungarus spp.); Other toxins:

34
omega-conotoxin (marine snail, Conus spp.); Disease states: Lambert-Eaton
myaesthenic syndrome. 3. Pre-synaptic membrane: Snake toxins: phospholipase
A2 toxins. 4. Pre-synaptic ACh receptor: Snake toxins: candoxin (Bungarus
candidus); Other toxins: curare; Pharmacological substances: non-depolarising
blocking drugs (atracurium). 5. Voltage-gated potassium channels: Snake toxins:
dendrotoxins (Dendroaspis spp.); Disease states: neuromyotonia, Isaacs’
syndrome; Pharmacological substances: magnesium sulphate, aminoglycosides. 6.
Acetylcholine: Lysis by exogenous acetylcholinesterase in snake venom: cobra
venom (Naja spp.). 7. Acetylcholinesterase: Inhibitors of endogenous AChE in
snake venom: fasiculins (Dendroaspis spp.). 8. Post-synaptic ACh receptors:
Snake toxins: alpha-bungaratoxin (Bungarus spp.), candoxin (B. candidus),
azemiopsin (A. feae), waglerin (T. wagleri ); Other toxins: alpha-conotoxin
(marine snail, Conus spp.); Disease states: myasthenia gravis; Pharmacological
substances: depolarising blocking agents (e.g., succinylcholine), non-depolarising
blocking drugs (e.g., atracurium). 9. Voltage-gated sodium channels: Snake
toxins: crotamine (Crotalus spp.); Other toxins: pompilidotoxin (wasps), delta-
conotoxin (Conus spp.), tetradotoxin (pufferfish).

b. Neurotoksin pra – synaptic (beta - neurotoksin kebanyakan neurotoksik


fosfolipase A2, mengikat PLA2s ) ke terminal saraf motorik , yang menyebabkan
penipisan sinaptik Ach, gangguan pelepasan ACh , dan kemudian, degenerasi
terminal saraf motorik. Mereka menghasilkan neuromuskuler
blok yang terjadi dalam tiga fase : depresi segera Ach, diikuti dengan periode
pelepasan ACh, dan kemudian penghambatan lengkap NMJ transmisi. Efek pada
transmisi neuromuscular berkembang mengikuti periode laten 20-60 menit].
Mengikat racun pra sinaptik ke terminal saraf ireversibel. Pemulihan klinis lambat
karena tergantung pada regenerasi saraf terminal dan pembentukan persimpangan
neuromuskular baru. Oleh karena itu , pasien dengan gagal pernapasan mungkin
perlu dukungan pernafasan untuk jangka waktu lebih lama sebelum pernapasan
spontan dapat dianjutkan. pengobatan dengan antivenom atau AChEIs tidak
mungkin efektif dalam pra – sinaptik Toksisitas, dan pemulihan lengkap dan
tertunda efek lebih mungkin. Racun pra - sinaptik yang terbaik diilustrasikan oleh
beta-bungarotoxin (Bungarus spp) . Dixon dan Harris (1999) Mereka
menunjukkan bahwa beta -bungarotoxin menghasilkan toksisitas pra - sinaptik
ditandai dengan penipisan vesikel sinaptik , perusakan saraf motorik terminal ,

35
dan degenerasi aksonal diikuti oleh reinnervasi. Prasarnpun et al (2004, 2005)
menunjukkan bahwa beta -bungarotoxin diproduksi masuknya kalsium melalui
saluran kalsium dan meningkatkan pelepasan ACh melalui mekanisme kompleks
yang menyebabkan menipisnya sinaptik vesikel. Mereka mampu menunjukkan
korelasi antara perubahan patologis dan kegagalan transmisi neuromuskuler
disebabkan oleh beta - bungarotoxin. Otot tikus diinokulasi dengan beta -
bungarotoxin lumpuh dalam waktu 3 jam . ini berhubungan dengan hilangnya
vesikel sinaptik , kerusakan mitokondria , upregulation transien saluran tegangan
sodium, dan pengurangan immunoreactivity protein(synaptophysin , SNAP - 25 ,
dan Syntaxin ).Antara 3 dan 6 jam setelah inokulasi , terminal saraf menunjukkan
bukti degenerasi. Pada 12 jam , semua serat otot yang denervated . Reinnervasi
dimulai pada 3 hari dengan regenerasi terminal saraf , pengembalian fungsi
neuromuskuler dalam beberapa otot ,dan peningkatan progresif immunoreactivity
protein snare . Kendali pemulihan terjadi pada 7 hari. Harris et al . ( 2000)
menunjukkan bahwa taipoxin (dari taipan , Oxyuranus spp . ) dan notexin ( dari
ular harimau Australia , scutatus Notechis) Memiliki efek yang mirip dengan beta
- bungarotoxin. Mereka menyarankan bahwa semua PLA2s aktif pra - synaptically
menghasilkan efek yang sama. Mereka telah menunjukkan bahwa PLA2s dari bisa
ular neurotoksin menghasilkan efek yang sama tapi kompleks pada pre – synaptic
terminal saraf. Ini termasuk masuk ke terminal saraf setelah mengikat reseptor
spesifik pada membran pra-sinapsis, perubahan morfologi seperti terminal saraf
menggembung, perubahan mitokondria morfologi dan permeabilitas, peningkatan
sitosol kadar kalsium, perubahan dalam ekspresi, peningkatan fusi vesikel dan
pelepasan neurotransmitter.

c. Snake Venom dan neuromuskular Block


Bisa ular tidak mengandung racun tunggal yang homogen , tetapi adalah
koktail kompleks enzim, polipeptida, non – enzimatik protein, nukleotida, dan zat
lainnya, banyak yang mungkin memiliki sifat neurotoksik yang berbeda (Tabel 2).
Penelitian dari Chang dan lain-lain dari Cina (atau sebelumnya Formosa) cobra
(Naja atra) (1966, 1972) memperlihatkan kompleksitas beberapa tindakan

36
neurotoksin yang berbeda dalam racun yang sama . Mereka menunjukkan bahwa
efek blocking utama neuromuskuler disebabkan cobrotoxin, yang menghasilkan
curare - seperti non -depolarisasi, kompetitif pasca - blok sinaptik, yang antagonis
oleh neostigmin. Itu tidak ada efek pada konduksi saraf. Namun, racun juga berisi
cardiotoxin, yang mengganggu konduksi aksonal dan menghasilkan depolarisasi
otot. Karakterisasi racun baru terus menambah banyak keragaman ular, dan
berbagai jenis racun sekarang diketahui mengandung racun pra - dan pasca -
synaptically aktif. Misalnya , racun pasca - sinaptik (DNTx - I- Daboia neurotoxin
1) telah diisolasi dari racun viper Russell (russelii Daboia). Venom dari kraits
(Bungarus spp) terdiri dari beberapa berbagai jenis neurotoksin . Selain alpha -
bungaro - toksin (blok post- synaptic) dan beta - bungarotoxin (pre – sinaptik
blok) sudah dijelaskan , juga mengandung kappa – bungarotoxin yang mengikat
ke nAChR saraf di tingkat pasca - sinaptik di sinapsis kolinergik sentral dalam
ganglia otonom. Data eksperimen pada fisiologis, patologis, dan ultra- perubahan
struktural karena neurotoksin ular yang berasal dari penelitian pada model
binatang, in vitro persiapan saraf - otot, atau persiapan nAChRs. Namun, data
laboratorium tersebut tidak mungkin akurat mencerminkan pengaruh dari bisa ular
pada manusia. Sekarang diketahui bahwa efek dari envenoming dapat bervariasi
tergantung pada digigit spesies, dan ini mungkin karena preferensi mangsa ular.
Misalnya, candoxin dari Krait Malayan atau biru (B.candidus), Yang ditemukan
terutama pada tikus dan reptile.

d. Bagaimana mengidentifikasi ular berbisa


Tidak ada aturan sederhana untuk mengidentifikasi bisa ular . Beberapa ular
berbahaya telah berevolusi untuk terlihat hampir identik dengan
yang berbisa, Contohnya adalah berbagai jenis Lycodon, Dryocalamus dan
Cercaspis yang meniru penampilan kraits B. candidus, B. caeruleus
dan B. ceylonicus ; dan Boiga multomaculata yang meniru Daboia siamensis .
Namun, beberapa ular berbisa yang paling terkenal dapat diakui
oleh mereka ukuran, bentuk, warna, pola tanda, perilaku dan suara
mereka ketika mereka merasa terancam. Misalnya, perilaku defensif

37
dari kobra yang terkenal (Gambar 3-8 ) : mereka, menyebar, desisan
dan membuat serangan berulang terhadap agresor . Warnanya dapat bervariasi
banyak. Namun, beberapa pola , seperti putih besar, annular gelap berbingkai
(cincin) tempat ular beludak Russell (Gambar 26 , 27 ) atau bolak hitam dan
kuning band keliling dari Krait banded (Gambar 13) yang khas.
desisan ular berbisa Russell dan serak kisi dari viper yang mengidentifikasi suara .

e. Kuantitas racun disuntikkan pada gigitan


" Gigitan kering" Ini sangat bervariasi , tergantung pada spesies dan ukuran
ular itu, efisiensi mekanik gigitan , apakah satu atau dua taring menembus
kulit dan apakah ada pemogokan berulang . Entah karena mekanik inefisiensi atau
kontrol ular racun debit , proporsi gigitan ular berbisa tidak mengakibatkan injeksi
racun yang cukup untuk menyebabkan efek klinis . Sekitar 50 % dari gigitan ular
beludak pit oleh Malayan dan Russell ular berbisa , 30 % dari gigitan ular kobra
dan 5 % -10 % dari gigitan ular beludak oleh gergaji skala tidak mengakibatkan
gejala atau tanda-tanda envenoming . Ular tidak knalpot toko mereka dari racun ,
bahkan setelah beberapa serangan , dan mereka tidak kurang berbisa setelah
makan mangsanya (Tun - Pe et al . , 1991) . Meskipun ular besar cenderung
menyuntikkan lebih banyak racun daripada spesimen yang lebih kecil dari spesies
yang sama , racun yang lebih kecil , ular beludak muda mungkin lebih kaya
beberapa komponen yang berbahaya , seperti yang mempengaruhi hemostasis .
Rekomendasi : Bites ular kecil tidak boleh diabaikan atau diberhentikan . Mereka
harus diambil sama serius sebagai gigitan oleh besar ular dari spesies yang sama .

f. Kematian akibat gigitan ular


Beberapa upaya telah dilakukan untuk menguji faktor-faktor yang
bertanggung jawab atas kematian dalam kasus-kasus gigitan oleh spesies
diidentifikasi ular . Dalam sebuah penelitian terhadap 46 kasus diidentifikasi ular -
gigitan di Thailand , tiga spesies yang menyebabkan sebagian besar kematian
adalah Krait Malayan ( Bungarus candidus), Malayan pit viper (Calloselasma
rhodostoma) dan kobra ( Naja spesies) (Looareesuwan et al , 1988) . factor

38
diidentifikasi sebagai kontribusi terhadap hasil yang fatal termasuk masalah
dengan antivenom gunakan (dosis yang tidak memadai atau penggunaan
antivenom monospecific dari tidak pantas spesifisitas), tertunda perawatan rumah
sakit akibat kunjungan yang terlalu lama untuk dukun dan masalah dengan
transportasi , kematian dalam perjalanan ke rumah sakit , tidak memadai ventilasi
buatan atau kegagalan untuk mencoba pengobatan tersebut, Kegagalan untuk
mengobati hipovolemia pada pasien syok , obstruksi jalan napas , rumit infeksi ,
dan kegagalan untuk mengamati pasien erat setelah mereka dirawat di rumah sakit
. Waktu antara ular - gigitan dan kematian Meski kematian yang sangat cepat
setelah ular – gigitan jarang dilaporkan ( misalnya konon " beberapa menit "
setelah gigitan oleh raja kobra Ophiophagus hannah ) , jelas dari penelitian
terhadap serangkaian besar kematian ular - gigitan yang berjam-jam biasanya
berlalu antara gigitan dan kematian dalam kasus elapid envenoming , dan
beberapa hari dalam kasus viper envenoming ( Reid 1968; Warrell 1995) .

g. Gigitan ular di berbagai negara SEA Region


Untuk setiap negara anggota SEA Region , beberapa informasi mengenai
perkiraan kejadian ular - gigitan diberikan berdasarkan laporan yang diterbitkan
dan tidak diterbitkan . Spesies ular yang paling penting dari sudut pandang
kedokteran diberikan dalam kotak , menurut definisi berikut ( WHO , 2010) :

KATEGORI 1 : tertinggi pentingnya medis : ular berbisa Highly yang umum atau
luas dan menyebabkan banyak ular - gigitan , sehingga di tingkat tinggi
morbiditas , kecacatan atau kematian

KATEGORI 2 : pentingnya medis Sekunder : ular berbisa Highly


mampu menyebabkan morbiditas , kecacatan atau kematian , tetapi ( a) yang tepat
Data epidemiologis atau klinis yang kurang atau ( b ) lebih jarang terlibat
karena perilaku , preferensi habitat mereka atau kejadian di daerah terpencil
untuk populasi manusia yang besar. Bangladesh : Pada 1988-1989 , sebuah
penelitian menemukan catatan dari 764 gigitan dan 168 kematian ( 22 % kasus

39
kematian), dimana 34 % adalah kobra ( Naja naja , N. kaouthia) gigitan ,
membawa kasus kematian 40 % . Sebanyak 8 000 gigitan per tahun di Bangladesh
diperkirakan ( Sarkar et al . , 1999) . Sebuah survei pos menyarankan 4,3
bites/100 000/year , meningkat menjadi 7 per 100 000 di daerah seperti
Chittagong Division , dengan kematian kasus keseluruhan 20 % ( Huq et al,
1995). Empat puluh lima persen dari korban dikatakan petani dan 23 % ibu rumah
tangga . Kebanyakan pasien diobati oleh dukun ( ozhas ) dan 20 % dari yang fatal
kasus tidak menerima perawatan medis konvensional ( Ali Reza Khan . Indo –
Asian News Service , Dhaka 12 Oktober 2001 ) . Dalam satu studi lima tahun dari
336 kasus ular - gigitan di Mymensingh Medical College Hospital , 70 % dari
kasus yang berusia 11-30 tahun dan 75 % adalah laki-laki ( Bhuiyan , WHO, New
Delhi , 1981, tidak dipublikasikan ) . Selama banjir dari Juli-Agustus 2007, ada 76
kasus ular menggigit dengan 13 kematian . Kraits bertanggung jawab untuk
banyak gigitan dan kematian dan pentingnya Krait hitam besar ( Bungarus niger )
baru-baru ini muncul , sebuah spesies yang sebelumnya tidak dilaporkan dari
Bangladesh . lain medis kraits penting termasuk B. caeruleus dan B. walli
(sebelumnya B. sindanus walli ) . Ular beludak pit hijau Cryptelytrops (
Trimeresurus) erythrurus menyebabkan banyak gigitan dan beberapa morbiditas
tetapi hanya sedikit jika ada korban jiwa . Russell viper ( Daboia russelii )
sebelumnya dianggap sebagai spesies yang penting dalam sekarang tampaknya
dibatasi ke wilayah barat sedikit dan tidak ada gigitan telah dilaporkan di yearts
terakhir. A survei terbaru yang didanai oleh pemerintah dan Bank Dunia ,
mengungkapkan bahwa ada adalah sekitar 700 000 gigitan ular / tahun di
Bangladesh dengan 6 000 kematian.Hanya 3 % dari korban gigitan menghadiri
rumah sakit atau mencari bantuan dari seorang yang terlatih
dokter, 6 % mencari bantuan dari dokter desa dan sebagian besar penggunaan sisa
dukun . Sekitar 75 % dari korban gigitan ular - menerima beberapa jenis
pengobatan dalam waktu dua jam setelah digigit . Kejadian ular - gigitan puncak
adalah selama Mei - Oktober. Itu tertinggi di Barisal ( 2 667/100 000/year ) dan
terendah di Sylhet ( 321/100 000/year ) . Di Dhaka , kejadian adalah 440/100
000/year.

40
.
Kategori1:
Elapidae :Bungarus caeruleus, Bungarus niger, Bungarus
walli ; Naja kaouthia ;Viperidae : Cryptelytrops erythrurus

Kategori2:
Elapidae : , Welang , Bungarus lividus ; Naja naja ; Hannah Ophiophagus ;
Viperidae : Cryptelytrops purpureomaculatus , Cryptelytrops septentrionalis ;
Daboia russelii ( di barat ) Bhutan : Pada tahun 2000 , 2 085 gigitan dan sengatan
dilaporkan . empat elapid spesies telah dilaporkan dari daerah dataran rendah
Bhutan ( kurang dari 500 meter di atas permukaan laut berarti ) : kobra ( Naja naja
) , king cobra ( Ophiophagus hannah ) dan dua spesies Krait ( Bungarus niger dan
B. fasciatus ) . lain spesies berbisa seperti N. kaouthia , Sinomicrurus macclellandi
, Daboia russelii ( " Bhutan Hills " menurut MA Smith 1943) , dan beberapa ular
beludak pit mungkin terjadi di sana juga . Tidak ada informasi yang
dipublikasikan di gigitan ular di Bhutan tapi ada dikatakan banyak gigitan
menyebabkan nyeri lokal dan pembengkakan dan ada minimal dua kematian
dalam satu tahun . antivenom diimpor dari India ( 200 botol setiap tahun ).

Kategori 1: Elapidae: Bungarus niger ; Naja naja


Kategori 2: Elapidae: Welang ; Hannah Ophiophagus ; Viperidae :
Cryptelytrops erythrurus ; russelii Daboia

Indonesia : Meskipun kurang dari 20 kematian ular - gigitan terdaftar


setiap tahun di kepulauan yang luas ini , beberapa ribu kematian yang diduga
erjadi . Spesies yang bertanggung jawab untuk sebagian besar gigitan meliputi
Cryptelytrops ( Trimeresurus ) albolabris , Bungarus candidus , meludah kobra (
Naja sumatrana dan N. sputatrix ) , Calloselasma rhodostoma ( Jawa ) , Daboia
siamensis ( Jawa , Komodo , Flores dan Lomblen ) dan penambah kematian (
Acanthophis spp..) (Papua Barat) . itu produser antivenom nasional BioFarma
memproduksi antivenom trivalemelawan Naja sputatrix , Welang dan

41
Calloselasma rhodostoma, kasus gigitan B. fasciatus dikenal tetapi kematian
akibat B. candidus ( Jawa ) , D. siamensis ( Jawa , Flores , Komodo ) dan
Acanthophis ( Papua Barat ) memiliki dilaporkan . Indonesia ( Sumatera , Jawa ,
Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil tapi Barat Wallace line yaitu
tidak termasuk Papua Barat dan Kepulauan Maluku)

Kategori 1 :
Elapidae : Bungarus candidus ( Sumatera dan Jawa ) ,Naja sputatrix ( Jawa dan
Kepulauan Sunda Kecil ) , Naja sumatrana ( Sumatera dan Kalimantan )
Viperidae : Calloselasma rhodostoma ( Jawa ) , Cryptelytrops albolabris ;
Siamensis Daboia (sebelumnya D. s . limitis dan D. s . sublimitis )

Konsekuensi dari gigitan ular


Korban gigitan ular mungkin menderita salah satu atau semua hal berikut :
(1) envenoming lokal terbatas pada bagian tubuh yang memiliki digigit . Efek ini
dapat melemahkan , kadang-kadang secara permanen.

(2) envenoming sistemik yang melibatkan organ dan jaringan jauh daribagian
tubuh yang telah digigit . Efek ini dapat mengancam jiwadan melemahkan ,
kadang-kadang secara permanen

(3) Pengaruh kecemasan diminta oleh pengalaman menakutkan menjadi digigit


dan dengan keyakinan berlebihan tentang potensi dan kecepatan aksi racun ular .
Gejala-gejala ini dapat menyesatkan bagi tenaga medis.

(4) Pengaruh pertolongan pertama dan perawatan pra - rumah sakit lain yang
mungkin menyebabkan menyesatkan fitur klinis . Ini dapat melemahkan dan
bahkan jarang mengancam jiwa .

(3) dan (4) dapat berkembang pada pasien yang beracun dan pada mereka
yang tidak beracun ( gigitan ular tidak berbisa atau oleh berbisa ular yang gagal

42
untuk menyuntikkan racun ) atau yang tidak sebenarnya digigit ular
sama sekali tapi oleh hewan pengerat atau kadal atau bahkan tertusuk duri .

2.2.5 Gejala dan tanda-tanda gigitan ular

Ketika racun belum disuntikkan Beberapa orang yang digigit ular atau
mencurigai atau membayangkan bahwa mereka memiliki digigit , mungkin
mengembangkan gejala-gejala dan tanda-tanda cukup mencolok bahkan ketika
tidak ada racun telah disuntikkan. Ini hasil dari sebuah ketakutan yang bisa
dimengerti dari konsekuensi dari gigitan berbisa nyata. Orang cemas dapat over-
bernapas sehingga mereka mengembangkan kesemutan dari ekstremitas ,
kekakuan atau tetani tangan dan kaki dan pusing mereka . Orang lain mungkin
mengembangkan vasovagal kejutan setelah gigitan atau diduga gigitan - pusing
dan runtuh dengan perlambatan mendalamjantung . Orang lain mungkin menjadi
sangat gelisah dan tidak rasional dan dapatmengembangkan berbagai gejala
menyesatkan . Tekanan darah dan denyut nadidapat meningkatkan dan mungkin
ada berkeringat dan gemetar . Sumber lainejala dan tanda-tanda tidak disebabkan
oleh ular adalah pertolongan pertama dan tradisionalPerawatan ( Harris et al,
2010). Band konstriksi atau torniket dapat menyebabkannyeri , pembengkakan
dan kemacetan yang menunjukkan envenoming lokal . tertelan herbalobat dapat
menyebabkan muntah . Berangsur-angsur dari sari-sari tumbuhan iritan ke
dalammata dapat menyebabkan konjungtivitis . Insuflasi paksa minyak ke dalam
pernapasan saluran dapat menyebabkan pneumonia aspirasi , bronkospasme ,
gendang telingapecahdan pneumothorax . Sayatan, kauterisasi , perendaman
dalam panas cair danpemanasan di atas api dapat mengakibatkan cedera parah.
Gejala awal dan tanda-tanda Setelah rasa sakit langsung penetrasi mekanik
kulit oleh taring ular , mungkin ada peningkatan nyeri lokal ( terbakar , meledak ,
berdenyut )di lokasi gigitan , pembengkakan lokal yang secara bertahap meluas
proksimal ekstremitas digigit dan lembut , pembesaran menyakitkan kelenjar
getah bening regional menguras tempat gigitan ( di selangkangan - femoral atau
inguinal , berikut gigitan di ekstremitas bawah ; di siku - gigitan epitrochlear -

43
atau di ketiak berikut di ekstremitas atas ) . Namun, gigitan oleh kraits , ular laut
dan ular kobra Filipina mungkin hampir tanpa rasa sakit dan dapat menyebabkan
pembengkakan lokal diabaikan . seseorang yang tidur bahkan mungkin tidak
bangun ketika digigit Krait dan ada mungkin tidak ada fang tanda terdeteksi atau
tanda-tanda envenoming lokal . Pola klinis dari envenoming ular di Asia Tenggara
wilayahGejala dan tanda-tanda bervariasi sesuai dengan jenis ular yang
bertanggung jawab untuk gigitan dan jumlah racun disuntikkan . Kadang-kadang
identitas ular menggigit dapat dikonfirmasi dengan memeriksa ular mati .
Mungkin diduga kuat dari deskripsi pasien atau keadaan dari menggigit atau dari
pengetahuan tentang efek klinis dari racun spesies itu.
Informasi ini akan memungkinkan dokter untuk memilih antivenom yang tepat ,
mengantisipasi kemungkinan komplikasi dan , karena itu , mengambil tindakan
yang tepat . Jika spesies menggigit tidak diketahui , pasien harus diperhatikan
dengan seksama untuk memungkinkan pengakuan pola muncul gejala , tanda dan
hasil tes laboratorium ( " sindrom klinis " )

a. Local symptoms and signs in the bitten part:


fang marks (Fig. 40a)
local pain
local bleeding (Fig. 40b)
bruising (Fig. 40c)
lymphangitis (raised red lines tracking up the bitten limb)
lymph node enlargement
inflammation (swelling, redness, heat)
blistering (Fig. 40c, 40d, 41)
local infection, abscess formation
necrosis (Fig. 42)

b. Generalized (systemic) symptoms and signs


General
Nausea, vomiting, malaise, abdominal pain, weakness, drowsi ness,

44
prostration.

Cardiovascular (Viperidae)
Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension,
cardiac arrhythmias, pulmonary oedema, conjunctival oedema (chemosis)
(Fig. 43)

a b

45
d

Figure 40: Local signs of envenoming (Copyright DA Warrell)


(a) Fang marks 2.5 cm apart inflicted by a large Russell’s viper in Sri Lanka
(b) Persistent local bleeding from fang marks 40 minutes after a bite by a
Malayan pit viper
(c) Swelling, blistering and bruising following a bite by a Malayan pit viper
(d) Blistering with early necrosis at the site of a monocellate cobra bite.

Figure 41: Blistering and early tissue necrosis following a bite by an Indo-
Chinese spitting cobra (Naja siamensis) in south Viet Nam (Copyright DA
Warrell)

46
49

Figure 42: Tissue necrosis requiring surgical debridement


(Copyright DA Warrell)
(a) Following a bite by an Indian cobra
(b) Following a bite by a Malayan pit viper

Figure 43: Bilateral conjunctival oedema (chemosis) after a bite by a Myanmar


Russell’s viper (Copyright DA Warrell)

1) Perdarahan dan pembekuan gangguan (Viperidae)


Perdarahan dari luka traumatis baru-baru ini (termasuk pendarahan
berkepanjangan dari fang tanda (Gambar 40b, venipunctures dll) dan dari lama
sebagian-sembuh luka Perdarahan sistemik spontan - dari gusi (Gambar 44),
epistaksis, perdarahan ke dalam air mata, perdarahan intrakranial (meningisme
dari perdarahan subarachnoid, lateralisasi tanda-tanda dan / atau koma dari
perdarahan cerebral - Gambar. 45), hemoptisis (Gambar 46),

47
hematemesis), perdarahan rektum atau melena, hematuria, vagina
perdarahan, ante-partum perdarahan pada wanita hamil, perdarahan ke mukosa
(misalnya konjungtiva -. Gambar 47), kulit (petechiae, purpura,
pendarahan diskoid - Gambar. 48 dan ekimosis) dan retina.

Figure 44: Bleeding from gingival sulci in a patient bitten by a Malayan pit viper
(Copyright DA Warrell

Figure 45: Fatal cerebral haemorrhage in a victim of Russell’s viper bite in


Myanmar (Copyright Dr U Hla Mon)

48
Figure 46: Haemoptysis from a tuberculous lung cavity in a patient bitten by a
Malayan pit viper (Copyright DA Warrell)

Figure 47: Subconjunctival haemorrhages in a patient bitten by a Myanmar


Russell’s viper (Copyright DA Warrell)

49
Figure 48: Cutaneous discoid haemorrhages in a patient bitten by a Malayan pit
viper in Viet Nam (Copyright DA Warrell)

2) Trombosis arteri serebral (barat Russell viper Daboia russelii)


Stroke trombotik, dikonfirmasi dengan angiografi atau pencitraan, dilaporkan
jarang setelah envenoming oleh D. russelii di Sri Lanka (Gawarammana et al.,
2009).Neurologis (Elapidae, viper Russell) Mengantuk, parestesia, kelainan rasa
dan bau, "berat" kelopak mata, ptosis (Gambar 49a, 49b), oftalmoplegia eksternal
(Gambar 50), kelumpuhan wajah otot dan otot-otot lain dipersarafi oleh saraf
kranial, suara sengau atau aphonia, regurgitasi melalui hidung, kesulitan menelan
sekresi, pernapasan dan flaccid paralysis umum.
a b

50
Figure 49: Bilateral ptosis (Copyright DA Warrell)
(a) in a patient bitten by a common krait in Sri Lanka
(b) in a patient bitten by a Russell’s viper in Sri Lanka

Figure 50: External ophthalmoplegia in a patient bitten by a Russell’s viper in Sri


Lanka. The patient is attempting to look to his right. The eyes must be held open
because of the bilateral ptosis (Copyright DA Warrell)

3) Gejala dan tanda-tanda cobra-meludah


ophthalmia (cedera mata dari meludah kobra) Jika "meludah" racun
memasuki mata, ada segera dan terus-menerus pembakaran intens, sakit
menyengat, diikuti dengan penyiraman berlimpah dari mata dengan produksi
debit keputihan, konjungtiva padat, kejang dan bengkak pada kelopak mata,
fotofobia, mengaburkan visi dan kebutaan sementara (Gambar 51). Ulserasi
kornea, jaringan parut kornea permanen dan sekunder endophthalmitis diakui
komplikasi Afrika meludah racun kobra namun belum dijelaskan di Asia.

51
Figure 55: Bilateral conjunctivitis in a patient who had venom spat into both eyes
by an Indo-Chinese spitting cobra (Naja siamensis) (Copyright DA Warrell)

2.2.6 Manifestasi klinis


Gigitan oleh Viperidae/ Crotalidae seringkali menimbulkan gejala pada
tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa
menit, bisa akan menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis.
Pada kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik
berupa mual, muntah, kelemahan otot, gatal sekitar wajah dan kejang. Pasien
jarang mengalami syok, edem generalisata atau aritmia jantung, tetapi perdarahan
sering terjadi. Boyer LV dkk, melaporkan bahwa dari 38 korban gigitan ular
Viperidae, 29 (76%) mengalami koagulopati, dengan 20 (53%) terdapat beberapa
kelainan komponen koagulopati (misalnya hipofibrinogenemia dan
trombositopenia). Gigitan akibat Elapidae biasanya tidak menimbulkan nyeri
hebat. Namun demikian tidak adanya gejala lokal atau minimal, tidak berarti
gejala yang lebih serius tidak akan terjadi. Gejala yang serius lebih jarang terjadi
dan biasanya gejala berkembang dalam 12 jam. Bisa yang bersifat neurotoksik,
mempunyai dapat sangat cepat dalam beberapa jam, mulai dari perasaan
mengantuk sampai kelumpuhan nervus kranialis, kelemahan otot dan kematian
karena gagal napas. Pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan
peningkatan jumlah neutrofil, limfopenia, koagulopati dengan PT dan PTT
memanjang, serta penurunan jumlah fibrinogen. Kadar kreatinin kinase serum
normal pada hari pertama dan kedua setelah perawatan. Mioglobin plasma dan
kadar kreatinin mempunyai korelasi yang kuat. Pada pemeriksaan urinalisis dapat
terjadi proteinuria (83%), serta hematuria mikroskopik (50,9%). Hemoglobinuria
dan mioglobinuria umumnya dapat dideteksi dan dapat terjadi leukosituria
(56,4%). Penelitian Ramachandram S dkk,14 pada tahun 1995 mendapatkan kadar
Hb dan leukosit normal pada semua pasien, 3% terjadi trombositopenia (<
75.000/µL). Kadar ureum darah meningkat pada pasien dengan gejala gagal
ginjal. Natrium, kalium, klorida, calsium, serta glukosa darah masih dalam batas
normal pada semua pasien.

52
Hasil EEG abnormal ditemukan pada 96% dan berhubungan dengan
ukuran ular, tetapi tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit di lokasi
gigitan,adanya manifestasi neurologis atau keadaan gagal ginjal. Perubahan EEG
segera terjadi setelah gigitan dan akan kembali normal dalam 1-2 minggu. Pada
pemeriksaan EKG, umumnya terjadi kelainan seperti bradikardia dan inversi
septal gelombang T. Hasil EKG yang abnormal termasuk tanda-tanda utama
gejala gigitan ular berbisa, selain perdarahan, koagulopati dan paralisis.

2.2.7 Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan identifikasi
ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis. Ular yang menggigit
sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian atau seluruh
tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular yang tidak
berbisa atau binatang lain, dari pemeriksaan fisik pada luka gigitan yang
ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang menggigit, manifetasi
klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan diagnosis (Niasari, 2003).
Anamnesis:
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan
tanda baik local dan sistemik.
a. Pada bagian tubuh mana anada terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit
ular(misalnya adanya bekas taring)serta asal dan perluasan tanda
envenomasi local.
b. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama
waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di
rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan
sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular
telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur,
kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits(ular berbisa), bila di
daerah persawahan,kemungkinan oleh ular kobra atau rusel viper(ular

53
berbisa), bila terjadi saat memetik buah ,pit viper hijau(ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra(air
tawar), ular laut.
c. Perlakuan terhadap ular yang menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan
dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil
ditemukan. Sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut
berbisa atau tidak.
d. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis system tubuh yang
terlibat. Gejala gigitan ular yang bisa terjadi di awal adalah muntah.
Pasien yang mengalami trombositopenia atau gangguan pembekuan
darah akan mengalami gangguan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjadi lama.

2.2.8 Laboratorium
a. 20 menit tes seluruh pembekuan darah (20WBCT)
Bagian dari alat – alat harus baru, bersih, kering, kapal kaca (tabung atau botol).
20 menit tes seluruh pembekuan darah (20WBCT) , tempatkan 2 ml sampel darah
vena dalam botol kecil, baru ,bersih, kering. Tinggalkan selama 20 menit pada
suhu kamar. Biarkan selama 20 menit, Amati apakah darah tersebut clotting atau
tidak, kalau darah tersebut clotting berarti normal, bila darah tidak clotting bearti
terjadi hipofibrinogenemia yang disebabkan oleh racun. Jika wadah dibersihkan
dengan deterjen atau tidak terbuat dari kaca,kemungkinan dindingnya tidak
berstimulasi terhadap penggumpalan, oleh karena factor pembekuan 11 dan
testnya akan invalid.

54
b. Konsentrasi hemoglobin atau hematokrit
Beeding dari sayatan dibuat di lokasi gigitan. Darah incoagulable
menunjukkan racun-diinduksi koagulopati. Jumlah trombosit: Ini mungkin akan
menurun dalam korban envenoming oleh ular viper dari australia

c. Jumlah sel darah putih: neutrofil leukositosis awal adalah bukti


envenoming sistemik dari spesies apapun.
Blood film: sel darah merah terfragmentasi ("sel helm", schistocytes) terlihat
ketika ada hemolisis mikroangiopati.

d. Plasma / serum
Mungkin merah muda atau kecoklatan jika ada haemoglobinaemia gross atau
myoglobinaemia.

e. Kelainan biokimia: aminotransferase dan enzim otot (Creatine kinase,


aldolase dll) akan meningkat jika ada otot lokal yang parah kerusakan atau,
terutama, jika ada kerusakan otot umum (ular laut, beberapa Krait, elapid
Australasia dan Sri Lanka dan India Selatan Russell gigitan viper). Disfungsi hati
ringan tercermin dalam sedikit peningkatan lain enzim serum. Bilirubin
meningkat setelah ekstravasasi besar darah. Tingkat nitrogen kalium, kreatinin,
urea atau urea darah dibangkitkan dalam kegagalan ginjal viper, punuk berhidung
gigitan viper Russell dan gigitan ular laut. Awal hiperkalemia mungkin menjadi
terlihat berikut luas rhabdomyolysis di laut ular-gigitan. Bikarbonat akan menjadi
rendah di metabolik asidosis (Mis. Ginjal kegagalan). Hiponatremia adalah
dilaporkan di korban dari Krait gigitan di utara Viet Nam (Bungarus candidus dan
B. multicinctus). Gas darah arteri dan pH dapat menunjukkan bukti kegagalan
pernapasan (Neurotoxic envenoming) Peringatan: tusukan arteri merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan gangguan hemostatik (Viperidae dan beberapa
Australasia Elapidae) Desaturasi: saturasi oksigen arteri dapat dinilai non-invasif
dalam pasien dengan gagal napas atau syok menggunakan oksimeter jari.
Urine Pemeriksaan: Warna urin (pink, merah, coklat, hitam) harus

55
dicatat dan urin harus diuji oleh dipsticks untuk darah atau hemoglobin
atau mioglobin. Dipsticks standar tidak membedakan darah, hemoglobin dan
mioglobin. Hemoglobin dan mioglobin dapat dipisahkan dengan immunoassays
tetapi tidak ada tes mudah atau dapat diandalkan. Mikroskop akan
mengkonfirmasi apakah ada adalah eritrosit dalam urin. Gips sel darah merah
mengindikasikan perdarahan glomerular. Proteinuria masif adalah tanda awal dari
kenaikan umum dalam permeabilitas kapiler di Russell viper envenoming dan
indikator awal cedera ginjal akut.

2.2.9 Terapi
Management of snake-bites in South-East Asia
Stages of management
The following steps or stages are often involved:

Management of snake-bite

First aid treatment


Transport to hospital
Rapid clinical assessment and resuscitation
Detailed clinical assessment and species diagnosis
Investigations/laboratory tests
Antivenom treatment
Observing the response to antivenom
Deciding whether further dose(s) of antivenom are needed
Supportive/ancillary treatment
Treatment of the bitten part
Rehabilitation
Treatment of chronic complications

Serum Anti Bisa Ular


Gunanya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa
ular merupakan serum polivale yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari
plasma kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek
neurotoksk, yang kebanyakan ada di Indonesia.

56
Pengobatan antivenom untuk gigitan ular-pertama kali diperkenalkan oleh
Albert Calmette di Institut Pasteur di Saigon pada tahun 1890 (Bon dan Goyffon
1996). Antivenom ada lah imunoglobulin [biasanya pepsin-halus fragmen Seluruh
IgG] dimurnikan dari plasma kuda, keledai atau keledai (kuda) atau domba yang
telah diimunisasi dengan racun dari satu atau lebih spesies ular. "Spesifik"
antivenom, bahwa antivenom memiliki efek terhadap racun ular yang telah
menggigit pasien sehingga dapat diharapkan mengandung antibodi spesifik yang
akan menetralisir racun tertentu dan mungkin racun erat terkait spesies
(paraspecific netralisasi). Monovalen (monospecific) antivenom menetralkan
racun hanya satu jenis ular. Polivalen (polyspecific) antivenom menetralkan racun
dari beberapa spesies yang berbeda dari ular, biasanya spesies yang paling
penting, dari sudut pandang kedokteran, dalam wilayah geografis tertentu.
Misalnya, antivenom produsen 'India "polyvalent anti-ular racun serum
"dinaikkan pada kuda menggunakan racun dari empat yang paling penting ular
berbisa di India (Indian cobra, Naja naja, Krait Indian, Bungarus caeruleus;
Russell viper, Daboia russelii; saw skala viper, Echis carinatus), meskipun
validitas konsep "empat besar" semakin menantang oleh penemuan bahwa spesies
lainnya juga penting di daerah-daerah tertentu Mis (. Joseph et al, 2007) Hhypnale
di South-West India; Trimeresurus malabaricus di India selatan; Echis carinatus
sochureki di Rajasthan (Kochar et al., 2007).

Kandungan Serum Anti Bisa Ular


Tiap ml dapat menetralisasi:
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinates 25-50 LD50
c. Bisa ular Naya Sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung fenol 0,25% sebagai pengawet

Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular


Penyimpanan serum anti bisa ular pada suhu 20-80 dengan waktu kadaluarsa 2
tahun

57
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti
table di bawah ini:
Derajat Venerasi Luka Nyeri Odem/eritema Tanda sistemik
gigit
0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +,
25cm/12 jam Neurotoksik,mual,pusin
g,shock
III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++, syok, petechie,
ekimosis
IV +++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
ekstremitas ginjal, koma, perdarahan
secara +
menyeluruh

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
a. Derajat 0 dan 1 tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,
jika derajat meningkat maka diberikan SABU
b. Derajat II: 3-4 vial SABU(5-20 cc)
c. Derajat III: 5-15 vial SABU 40-100 cc
d. Derajat IV: Berikan penambahan 6-8 vial SABU

Cara Pemberian Serum Anti Bisa Ular


Pemilihan anti bisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis
yang tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk
peredaran darah dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis
pertama sebanyak 2 vial @ 5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit,lalu diulang setiap 6 jam.

58
Apabila diperlukan (misalnya gejal-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar
daripada dosis dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara
infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena.
Penderita harus di amati selama 24 jam untuk reaksi anafilaksis.

CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
15-30 menit 50%
I Jam 1%

Guide to initial dosage of some antivenoms for treating bites by medically


important snakes in the SEARO region
Latin name English name Manufacturer, Approximate
Antivenom average
initial dose
Acanthophis
species Death adder CSL1 Death Adder or 1-3 vials
Polyvalent Antivenom
Bungarus
caeruleus Common krait Indian manufacturers4 100 ml
Polyvalent
Bungarus
candidus Malayan krait QSMI5 Malayan Krait 50 ml
Antivenin7
Bungarus Chinese krait Shanghai Vaccine & 5 vials
multicinctus Serum Institute

59
NIPM Taipei Naja- 5 vials
Bungarus antivenin
QSMI5, Malayan Pit
Calloselasma Malayan pit viper Viper 100 ml
(Agkistrodon) Antivenin monovalent6
rhodostoma
Cryptelytrops Green pit vipers QSMI5 Green Pit Viper 100 ml
(Trimeresurus) Antivenin6
albolabris, C.
macrops
Western Russell’s
Daboia russelii viper Indian manufacturers4 100 ml
Polyvalent
Daboia Eastern Russell’s Myanmar
siamensis viper Pharmaceutical 80ml
Industry monovalent
QSMI5, Russell’s Viper 50ml
Antivenin monovalent6
Echis carinatus
India saw-scaled viper Indian manufacturers4 50 ml
Polyvalent
Gloydius Chinese Mamushi Shanghai Vaccine & 1 vial
(Agkistrodon) Serum Institute
(brevicaudus) Mamushi antivenom
CSL1Sea Snake
Hydrophiinae Sea snakes Antivenom 1-10 vials
Micropechis New Guinean
ikaheka smalleyed CSL1 Polyvalent ?2 vials
Snake Antivenom
Naja kaouthia Monocellate Thai QSMI5, monovalent7 100 ml

60
cobra
Naja naja, N
oxiana Indian cobras Indian manufacturers4 100 ml
polyvalent
CSL1 Taipan or
Oxyuranus Australian/Papuan Polvalent 1-6+ vials
scutellatus Taipans Antivenom
Pseudonaja Australian brown
species snakes CSL1 Brown Snake or 1-2 vials
Polyvalent Antivenom
Pseudechis Australian black
species snakes CSL1 Black Snake 1-3 vials
Antivenom
Rhabdophis Japanese Japanese Snake
tigrinus, yamakagashi, Institute, 1-2 vials
SE Asian red-
R. subminiatus necked Nitta-gun Yamakagashi
Keelback antivenom

Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang diproduksi dan disetujui oleh FDA,
yaitu antivenom polyvalen crotalidae, antivenon untuk coral snake (Elapidae) dan
antivenon untuk black widow spider. Semua anti bisa ular adalah derivat serum
binatang, tersering berasal dari serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat
secara langsung dan menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar
pada pasien dalam jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe
cepat dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-25%
pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena hipotensi dan bronkospasme. Reaksi
tipe lambat dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan gejala serum sickness seperti
demam, ruam yang difus, urtikaria, artralgia, hematuria dan dapat bertahan dalam
beberapa hari. Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek
samping yang serius jarang terjadi Pemberian anti bisa ular harus dilakukan di

61
rumah sakit yang tersedia alat-alat resusitasi. Penggunaan adrenalin, steroid dan
antihistamin dapat mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti bisa antara 12,5-
30%. Profilaksis yang hanya menggunakan promethazine tidak dapat mencegah
reaksi yang cepat. Anak-anak lebih sering memerlukan jumlah data anti bisa yang
banyak oleh karena kecilnya rasio antara volume tubuh dan bisa ular yang
terdistribusi. Pada tahun 2000 bulan Desember terdapat produk baru yaitu
Crotalinae Polyvalent Immune Fab (ovine) antivenon yang berasal dari serum
domba. Serum ini ternyata lima kali lebih poten dan efektif sebagai antii bisa dan
jarang terdapat komplikasi akibat pemberiannya. Penggunaan serum dianjurkan
diencerkan dalam 250 ml NaCl 0,9% dan pemberiannya lebih dari satu jam
melalui intravena. Untuk pasien yang masih sangat kecil (berat badan kurang dari
10 kg), volume cairan dapat disesuaikan. Jumlah penggunaan anti bisa ular
tergantung derajat beratnya kasus. Kasus dengan derajat none tidak diberikan anti
bisa, untuk kasus dengan derajat minimal diberikan 1-5 vial sedangkan moderate
dan severe lebih dari 15 vial. Antibiotik diberikan secara rutin, karena dapat
terjadi infeksi pada tempat gigitan. Pemberian antibiotik masih kontroversi,
namun Blaylock tahun 1999 dari penelitiannya mendapatkan 18 diantara 20
pasien mempunyai biakan darah positif bakteria gram negatif aerob. Kadang perlu
dilakukan eksisi dan penghisapan bisa pada saat luka dibersihkan. Saat ini masih
diperdebatkan tentang tindakan operasi (fasciotomy) pada pasien gigitan ular
berbisa. Fasciotomy dilakukan bila ada edem yang makin luas dan terjadi
compartment syndrome (keadaan iskemik berat pada tungkai yang mengalami
revaskularisasi dan menimbulkan edem, disebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler dan keadaan hiperemia)

2.2.10 Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang
berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.
Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan
mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu
memerlukan skin graft.

62
2.3 Kalajengking

Kalajengking tergolong artropoda pengganggu kesehatan. Ia menjadi


perhatian manusia karena kemampuannya menimbulkan kesakitan dan ketakutan
akan racun yang dikeluarkan ketika menyengat. Kalajengking juga merupakan
komponen penting di dalam suatu ekosistem, dan merupakan satu di antara
artropoda terstian tertua. Fosilnya ditemukan sejak zaman Paleozoik 430 juta
tahun yang lalu dengan penanpilan yang serupa dengan yang ditemukan saat ini.
Kalajengking merupakan artropoda beracun, kerabat labah-labah, tungau, caplak
dan lain-lain. Kini diketahui 1400 jenis di seluruh dunia. Kalajengking punya
tubuh yang panjang dan ekor beruas yang berujung sebagai penyengat beracun.
Kakinya terdiri atas empat pasang dan sepasang pedipalpi dengan bentuk seperi
pinset di ujung, yang digunakan untuk menangkap mangsa. Kalajengking
mendiami habitat yang luas mulai dari gurun, hingga hutan, gua dan padang
rumput luas, bahkan ditemukan di bawah tumpukan batu salju pada ketinggia di
atas 12000 kaki di pegunungan Himalaya Asia. Contoh jenis kalajengking yang
banyak ditemukan di Asia termasuk Indonesia adalah jenis Heterometrus spinifer
(Asian forest scorpion)

2.3.1 Morfologi
Sebagaimana Arachnida, kalajengking mempunyai mulut yang disebut
khelisera, sepasang pedipalpi, dan empat pasang tungkai. Pedipalpi seperti capit
terutama digunakan untuk menangkap mangsa dan alat pertahanan, tetapi juga
dilengkapi dengan berbagai tipe rambut sensor. Tubuhnya dibagi menjadi dua
bagian yaitu sefalotoraks dan abdomen. Sefalotoraks ditutup oleh karapas atau
pelindung kepala yang biasanya mempunyai sepasang mata median dan 2-5
pasang mata lateral di depan ujung depan. Beberapa kalajengking yang hidup di
guwa dan di liter sekitar permukiman tidak mempunyai mata.

63
Gambar 2.1 Struktur tubuh Kalajengking

2.3.2 Perilaku
Morfologi Kalajengking
Kalajengking tergolong serangga yang aktif di malam hari (nokturnal) dan
siang hari (diurnal). Ia juga merupakan hewan predator pemakan serangga, laba-
laba, kelabang, dan kalajengking lain yang lebih kecil. Kalajengking yang lebih
besar kadang-kadang makan vertebrata seperti kadal, ular dan tikus. Mangsa
terdeteksi oleh kalajengking melalui sensor vibrasi organ pektin. Pedipalpi
mempunyai susunan rambut sensor halus yang merasakan vibrasi dari udara.
Ujung-ujung tungkai mempunyai organ kecil yang dapat mendeteksi vibrasi di
tanah. Kebanyakan kalajengking adalah predator penyerang yang mendeteksi
mangsa ketika ia datang mendekat. Permukaan tungkai, pedipalpi, dan tubuh juga
ditutupi dengan rambut seta yang sensitive terhadap sentuhan langsung. Meskipun
kalajengking dilengkapi dengan venom untuk pertahanan dan mendapat mangsa,
kalajengking sendiri jatuh menjadi mangsa bagi mahluk kalin seperti kelabang,
tarantula, kadal pemakan serangga, ular, unggas (terutama burung hantu), dan

64
mamalia (termasuk kelelawar, bajing dan tikus pemakan serangga). Seperti halnya
predator lainnya, kalajengking cenderung mencari makan di daerah teritori yang
jelas dan terpisah, dan kembali ke tempat yang sama pada setiap malam.
Kalajengking bisa masuk ke dalam komplek perumahan dan gedung ketika daerah
teritorialnya hancur oleh pembangunan, penebangan hutan atau banir dan
sebagainya.

2.3.3 Siklus Hidup


Kalajengking mempunyai ritual perkawinan yang kompleks, jantan menggunakan
pedipalpinya mencengkeram pedipalpi betina. Jantan kemudian membimbing
betina melakukan tarian percumbuan. Detailnya setiap jenis berbeda, dengan
memperlihatkan alat penyengatnya yang panjang pada jantan. Sperma dari jantan
dimasukkan ke dalam struktur yang disebut spermatofor, yang diletakkan oleh
jantan ke atas permukaan yang kelak akan diambil oleh betina. Yang jantan
menyapukan pektin ke atas permukaan tanah untuk mebantu menentukan lokasi
yang sesuai untuk meletakkan spermatofor. Selanjutnya kalajengkin betina akan
menarik sperma ini ke dalam lubang kelamin, yang letaknya dekat ventral
abdomen. Kalajengking mempunyai masa hamil dari beberapa bulan sampai lebih
satu tahun, tergantung jenis, tempat embrio berkembang di dalam ovariuterus atau
dalam divertikula khusus yang bercabang dari ovariuterus. Anak-anak yang
dilahirkan hidup akan anaik ke punggung ibunya. Ibunya membantu mereka
dengan membuatkan kantong melahirkan dengan kaki terlipat untuk menangkap
mereka ketika lahir dan untuk menyediakan mereka menaiki punggung ibunya.
Beberapa jenis kalajengking tidak membentuk kantong lahir. Rata-rata, seekor
betina bisa melahirkan 25-35 ekor anak. Mereka tetap pada punggungnya, sampai
mereka molting untuk pertama kali. Setelah kalajengking muda putih turun dari
punggung betina, moling, kemudian balik lagi ke punggung induk selama 4-5 har
hari sebelum meninggalkan induk, biasanya dalam waktu 1-3 minggu setelah
lahir. Sekali mereka turun, mereka sudah mampu bebas, dan secara periodik
molting untuk mencapai dewasa. Biasanya molting terjadi 5 atau 6 kali selama 2-6
tahun untuk mencapai dewasa. Rata-rata kalajengking kemungkinan hidup 3-5

65
tahun, tetapi beberapa spesies bisa hidup sampai 25 tahun. Beberapa jenis
menunjukkan perilaku sosial, seperti membentuk agregasi selama musim dingin,
menggali koloni dan mencari makan bersama.

2.3.4 Venom atau Racun Kalajengking


Venom kalajengking digunakan untuk menangkap mangsa, proses
pertahanan diri dan untuk proses perkawinan. Semua kalajengking mempunyai
venom dan dapat menyengat, tetapi secara alamiah kalajengking cenderung
bersembunyi atau melarikan diri. Kalajengking dapat mengendalikan aliran
venom, oleh karena itu pada beberapa kasus sengatan tidak mengeluarkan racun
atau hanya menimbulkan keracunan ringan. Racun kalajengking adalah campuran
kompleks dari neurotoksin atau racun syaraf dan bahan lainnya. Setiap jenis
mempunyai campuran unik. Di Amerika Serikat diketahui hanya jenis yang
dianggap berbahaya bagi manusia, yaitu. Centruroides exilicauda dan sekitar 25
jenis lain diketahui menghasilkan racun berpotensi merugikan manusia, tersebar
di seluruh dunia. Adapun kalajengking berbahaya di Afrka Utara dan Timur
Tengah adalah genus Androctonus, Buthus, Hottentotta, Leiurus), Amerika
Selatan (Tityus), India (Mesobuthus), and Mexico (Centruroides). Di beberapa
daerah ini, sengatan kalajengking dapat menyebabkan kematian, tetapi data
realistis tidak tersedia. Beberapa studi menduga angka kematian pada kasus-kasus
di rumah sakit sekitar 4% pada anak-anak yang lebih rentan daripada yang lebih
tua. Bila terjadi kematian akibat sengatan ini umunya disebabkan oleh kegagalan
jantung dan pernafasan beberapa jam setelah kematian. Selama tahun 1980 di
Meksiko terjadi kematian rata-rata 800 orang per tahun. Namun demikian, dalam
20 tahun terakhir di Amerika Serikat tidak ada laporan kematian akibat sengatan
kalajengking, demikian pula di Indonesia tidak pernah terdengar. Abdomen
terdiri atas 12 ruas yang jelas, dengan bagian lima ruas terakhir membentuk ruas
metasoma yang oleh kebanyakan orang menyebutnya ekor. Ujung abdomen
disebut telson, yang bentuknya bulat mengandung kelenjar racun (venom). Alat
penyengat berbentuk lancip tempat mengalirkan venom. Pada bagian ventral,
kalajengking mempunyai sepasang organ sensoris yang bentuknya seperti sisir

66
unik disebut pektin. Pektin ini biasanya lebih besar dan mempunyai gigi lebih
banyak pada yang jantan dan digunakan sebagai sensor terhadap permukaan
tekstur dan vibrasi. Pektin juga bekerja sebagai kemoreseptor (sensor kimia) untuk
mendeteksi feromon (komunikasi kimia).

2.3.5 Proses Toxin


Racun kalajengking bervariasi. Scorpionidae Buthidae spesies racunnya
dapat mengancam kehidupan. Venom disimpan dalam kulit luarnya ke jaringan
subkutan, hampir selesai penyerapan racun sengatan akan terjadi pada 7-8 jam.
70% dari konsentrasi maksimum racun dalam darah dicapai dalam 15 menit dan
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai maksimum konsentrasi darah racun ± 8
menit di eksperimental hewan, setengah hidup intravena disuntikkan racun adalah
antara 4 sampai 7 menit dan mengambil 4,2-13,4 jam untuk eliminasi dari blood.
Scorpions racun adalah koktail rendah dengan berat molekul protein, neurotoksin,
nukleotida, aminoacids, oligopeptida, ardipotoxins, nephrotoxin, racun hemolitik,
phosphodiesterase, fosfolipase A, hyaluroinidase. Acetylcholineesterase,
glikosaminoglikan, histamin, serotonin. 5-hydroxyptamine dan protein yang
menghambat protease, angiotnsinase dan suksinat-dehydrogenese, ribonuklease, 5
- nucleotidase. Beberapa racun dalam satu spesies kalajengking mampu
menghasilkan efek sinergis. Neurotoxins kalajengking sangat mematikan dari
neurotoxin bisa ular. The LD50 beberapa neurotoksin kalajengking telah
dianalisis menjadi 10 kali lipat lebih kuat daripada cyanide. Kalajengking kuning
Leiurus quinquestriatus (LQ) dan Mesobuthus Tamulus telah dilaporkan di antara
spesies kalajengking paling mematikan. Target utama molekul neurotoksin
kalajengking adalah tegangan saluran natrium dan saluran kalium termasuk
kalsium diaktifkan saluran kalium, Neurotoksin kalajengking bertindak terutama
pada sel-sel saraf dan muscles. Iberiotoxin dan tamulotoxin kalajengking
Mesobuthus Tamulus racun adalah satu-satunya inhibitor selektif saluran kalium
dan efek memblokir racun kalajengking pada saluran kalium potensial aksi di
membran sel menjadi berkepanjangan. Natrium dan saluran kalium racun
kalajengking memiliki efek sinergis dalam depolarisasi terus-menerus dari saraf

67
otonom. Stimulasi saraf nitergic memasok otot polos penis dapat mengakibatkan
priapism. Kalajengking hitam Asia milik scorpionidae berkembang di Tenggara-
Asia. inflamasi sitokin terkait dengan racun kalajengking adalah TNF-alpha, IL-1
dan IL-6, baru-baru ini gelatinolitik, caseinlytic dan hyaluronidase dan
metalloproteinase menyebabkan cedera pada kulit, sel darah, jantung dan system
saraf pusat. Dalam korban sengatan kalajengking berkepanjangan terjadi
stimulasi saluran saraf sodium oleh Mesobutus Tamulus. Hasil racun
menyebabkan kelumpuhan saluran sodium neuronal jantung yang dapat
menyebabkan sindrom Brugada.

2.3.6 Manifestasi Klinis

Grade 1: nyeri lokal menyiksa di tempat sengatan sampai dengan dermatom yang
sesuai, edema dengan tempat duduk di lokasi sengatan, tanpa gejala
sistemik.
Grade 2: tanda dan gejala otonom ditandai dengan asetil kolin kelebihan atau
parasimpatis stimulasi dan stimulasi simpatis
Grade 3: ekstremitas dingin, takikardia, hipotensi atau hipertensi dengan edema
paru (tingkat pernapasan> 24 per menit, rales basal atau crackles di
paru-paru).
Kelas 4: takikardia, hipotensi dengan atau tanpa paru edema dengan ekstremitas
hangat (shock hangat).

2.3.7 Pemeriksaan penunjang


a. EKG adalah yang paling penting dan alat diagnostik dan mudah tersedia di
pedesaan. Tidak ada korban dengan keterlibatan sistemik menunjukkan EKG
normal. Segmen RST dan gelombang T yang paling sering terkena. QRS lebar
kompleks, takikardia, dan hemiblok mark depresi segmen ST.

X-ray Dada
Edema paru kardiogenik ditandai dengan unilateral distribusi atau
penampilan batwing edema paru akibat Kegagalan ventrikel kiri dan peningkatan

68
localize simultan di permeabilitas pembuluh darah paru yang disebabkan oleh
racun. sementara distribusi merata dan perifer edema paru-paru dengan udara
bronchograms adalah fitur radiologis edema paru karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah

Laboratorium terjadi Kenaikan jumlah leukosit di kisaran 11.400-41.400 per /


cu / mm dalam waktu satu jam hiperglikemia

2.3.8 Terapi
Pasien dalam antivenom ditambah prazosin kelompok diperlukan secara
signifikan (p <0,001) lebih sedikit dosis prazosin dari prazosin yang
kelompok. Disimpulkan bahwa penambahan kalajengking antivenom untuk
prazosin meningkatkan waktu pemulihan lebih pendek volume maksimum racun
disuntikkan dalam satu sengatan kalajengking merah 1,5 mg, dan masing-masing
ml antivenom mampu menetralkan 1,2 hingga 1,5 mg racun. Vasodilator
hydralazine, isosorbid dinitrat, nifedipine telah dianjurkan untuk pengobatan
sengatan kalajengking, ini menyebabkan refleks takikardia dan meningkatkan
oksigen miokard. Prazosin adalah sebuah phosphodisterase inhibitor, mengurangi
preload. Prazosin 250-500 mikrogram setiap 3 jam interval untuk anak usia 1-16
tahun diberikan prazosin oral. Dalam daerah endemik berbisa kalajengking
menyengat. Kasus membaik dengan dobutamin infus 5-20 mikrogram / kg /
min.51, 64,76 7 dari 11 anak memiliki disfungsi miokard dan syok dekompensasi
selain dobutamin menjawab untuk nitrogliserin (NTG) menetes 0,5 sampai 5
mikrogram / kg / menit oleh meningkatkan disfungsi jantung.

69
DAFTAR PUSTAKA

Warrell, David A. 2010. Guidelines For The Management Of Snake Bites. World
Health Organization

Bawaskar, Himmatrao S&Pramodini Himmatrao Bawaskar. 2012 Scorpion Sting


Update. India :Association of Phsysicians.

Nasim, Muhammad Jawad, dkk. 2013. Combanting Of Scorpion Bite With


Pakistan Medicinal Plants Having Ethno-Botanical Evidence As
Antidote. Pakistan: Polish Pharmaceutical Society.

Ranawaka, Udaya K,dkk. 2013. Neurotoxicity in Snakebite-The Limits of Our


Knowledge: Neglected Topical Disease.

Upik, Kesumawati. Kalajengking. Indonesia: Fakultas Kedokteran Hewan IPB


Bogor: Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.

Niasari, Nia. 2003. Gigitan Ular Berbisa. Vol. 92-93. Pediatri

Joseph John, dkk. 2008. Snake Bite Mimicking brain death. BioMed Central.

Steven A. Seifert. 2009. Abstracts from Venom. J. Med. Toxicology.

Barry, S.dkk. 2002. Bites of Venomous Snakes. England Journal Medicine.

Zirato,J.2011. Antidote Relieves Scorpion Stings.FDA Health Information.


University of Arizona

70
71

Anda mungkin juga menyukai