Anda di halaman 1dari 14

GIGITAN ULAR & SABU (Serum Anti Bisa Ular)

11 Votes

PENDAHULUAN

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara
yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan
pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia
saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang
terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular
berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering
terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan
masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan
terhadap gigitan ular berbisa.
Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular
dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki
sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa
untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau
intramuskular.
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan
ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang
mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak
di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas
satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein,
yang memiliki aktivitas enzimatik.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies,
ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu
atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi. Ular
berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular
sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas
korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus).
Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam
famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan
tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular
king kobra (Ophiophagus hannah).
Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang
atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili
pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk
mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang
hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli),
ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus
albolabris).

Bagaimanakah Gigitan Ular Dapat Terjadi?


Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan,
pawang ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika
orang tidak mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular
secara tidak sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular
memasuki rumah untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus.

Bagaimana Mengenali Ular Berbisa?


Tidak ada cara sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa. Beberapa spesies ular
tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular
berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang
dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala
segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.
Ciri-ciri ular tidak berbisa:
1. Bentuk kepala segiempat panjang
2. Gigi taring kecil
3. Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan
Ciri-ciri ular berbisa:
1. Bentuk kepala segitiga
2. Dua gigi taring besar di rahang atas
3. Bekas gigitan: dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Gambar 1. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular
berbisa dengan bekas taring
Sifat Bisa, Gejala, dan Tanda Gigitan Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh
darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak;
dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa padakorbannya.
Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat
menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala
menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai
spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban.
Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks),
nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang,
melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili
Viperidae).

GEJALA KLINIS :
Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala sistemik pada semua gigitan ular.
Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (kulit kegelapan karena
darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Gejala sistemik: hipotensi, otot melemah, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi
(ludah bertambah banyak), muntah, nyeri kepala, pandangan kabur
Gigitan Elapidae
(misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral
snakes, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit: muncul gejala sistemik.
b. 10 jam: paralisis urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
bicara, susah menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut.
Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
Gigitan Viperidae/Crotalidae
(ular: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo):
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak di
dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiidae
(misalnya: ular laut):
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria yang
ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis), ginjal rusak,
henti jantung.
Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae
(misalnya: ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal: ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae antivenin.
2. Anemia, hipotensi, trombositopeni.
Rasa nyeri pada gigitan ular mungkin ditimbulkan dari amin biogenik, seperti histamin
dan 5-hidroksitriptamin, yang ditemukan pada Viperidae.
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu
terjadi edem (pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan 5P: pain (nyeri), pallor
(muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan otot), pulselesness
(denyutan).

Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular


Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular
sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri
atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah
untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan
menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta
mengawasi gejala dini yang membahayakan. Kemudian segera bawa korban ke
tempat perawatan medis.
Metode pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas;
imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara
mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran
darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan
Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman
dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah
peningkatan penyerapan bisa.
3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai
pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga
menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan
tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan
kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.

Gambar 2. Imobilisasi bagian tubuh menggunakan perban.


b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan
lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang
tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan
jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak
dianjurkan karena dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan; penatalaksanaan sirkulasi;
penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa
hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi
yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat
rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah mendapatkan toksoid
maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular.
f. Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut cepat mati/panik.
g. Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar terdiri atas protein,
maka sifatnya adalah antigenik sehingga dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia,
antibisa bersifat polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa
ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat kerusakan jaringan
lokal yang luas.
Cara pemberian SABU :

Penatalaksanaan Sebelum dibawa ke rumah sakit:


1. Diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan
2. Bila belum tersedia antibisa, ikatlah 2 ujung yang terkena gigitan. Tindakan ini
kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit paskagigitan.
Setelah dibawa ke rumah sakit:
Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular) polivalen 1 ml berisi:
1. 10-50 LD50 bisa Ankystrodon
2. 25-50 LD50 bisa Bungarus
3. 25-50 LD50 bisa Naya sputarix
4. Fenol 0,25% v/v.
Teknik Pemberian:
2 vial @ 5 ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9 % atau Dextrose 5% dengan kecepatan
40-80 tetes per menit. Maksimal 100 ml (20 vial).
Daftar Pustaka:
Guidelines for the Clinical Management of Snakes bites in the South-East
Asia
Region, World Health Organization, 2005.
Pedoman Pertolongan Keracunan untuk Puskesmas, Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 2002.
Snake Venom: The Pain and Potential of Poison, The Cold Blooded News Vol. 28,
Number 3, March, 2001.

Penulis : Ali Khomaeni S.Ked


Editor : dr. Edward Pandu W, Fadel Maulana

Diperkirakan 15 persen dari 3000 spesies ular yang ditemukan di seluruh dunia dianggap
berbahaya bagi manusia. Dalam tiga tahun terakhir, American Association of Poison Control
Centers telah melaporkan rata-rata terdapat 6000 kasus gigitan ular (snake bites) per tahun nya,
dan 2000 kasus diantaranya disebabkan oleh ular berbisa.

Untuk Indonesia, tidak terdapat data reliabel yang tersedia untuk mengetahui angka mortalitas
dan morbiditas gigitan ular. Gigitan ular dan kematian dilaporkan pada beberapa pulau,
misalnya Komodo, namun kurang dari 20 kematian dicatat setiap tahunnya.
Terkena bisa ular dan kematian yang disebabkan gigitan ular, merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama pada pedalaman tropis. Masyarakat pada daerah ini mengalami
mortalitas dan morbiditas yang tinggi karena akses yang buruk menuju sarana kesehatan.

Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari
rahang atasnya. Taring taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau
alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila
manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskular.

Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa ialah bentuk kepala ular berbisa biasanya elips
atau segitiga sedangkan ular berbisa bulat. Gigi taring ular berbisa berupa dua taring besar
sementara gigi ular tidak berbisa hanya berupa gigi-gigi yang cenderung berukuran sama, itulah
mengapa luka gigitan ular berbisa berciri dua titik luka tembus yang dihasilkan oleh kedua
taringnya dan luka gigitan ular tidak berbisa berupa luka yang berbaris membentuk huruf U.
Warna ular berbisa cenderung lebih gelap seperti coklat sampai hitam sedangkan warna ular
tidak berbisa cenderung berwarna terang hingga berwarna-warni.

Gejala dan tanda gigitan ular berdasarkan jenis ularnya :

A. Elapidae (misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral
snake, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada
kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak.
3. Setelah digigit ular
15 menit : muncul gejala sistemik
10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara,
susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur,
parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

B. Viporidae/Crotalidae (misalnya : ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)


1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan
yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam.
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.

C. Hydropiridae (misalnya : ular laut)


1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan urin
berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.

Langkah langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular:

A. Di lapangan
1. Lakukan penilaian awal terhadap Airway, Breathing, dan Circulation, lakukan
penatalaksanaan jika terdapat masalah pada Airway, Breathing, dan Circulation.
2. Pastikan apakah ular yang menggigit korban termasuk golongan ular berbisa.
3. Imobilisasi daerah yang tergigit kemudian letakkan lebih rendah dari jantung. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan pemasangan bidai.
4. Insisi daerah sekitar gigitan dengan tujuan mengeluarkan bisa ular yang masih tersisa di
sekitar bekas gigitan.

B. Di rumah sakit
1. Pemberian cairan intravena berupa RL, NaCl, plasma atau transfusi
2. Penyuntikan serum anti bisa ular intravena/intra arteri, dapat diulangi sesuai keparahan
gigitan dan gejala klinis.
3. Pemberian fibrinogen
4. Pemberian kortikosteroid
5. Pemberian adrenalin 0,5 mg (1:1000) IM dan hidrokortison 100 mg IV, bila ada tanda tanda
laringospasme, urtikaria, hipotensiPemberian antibiotik spektrum luas dan vaksinasi tetanus

Sumber : Barry S. Gold, Richard C. Dart, and Robert A. Barish. Review Article: Current Concepts
Bites of Venomous Snakes. 2002; World Health Organisation. Guidelines for The Clinical
Management of Snake Bite in The South East Asia Region. 2005; Kasturiratne A, Wickremasinghe
A R, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, Premaratna R, Savioli L, Lalloo DG, de Silva
H . The Global Burden of Snakebite: a Literature Analysis and Modelling Based on Regional
Estimates of Envenoming and Deaths. 2008; Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan
Pengawasan Obat dan Makanan. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. 2012;
Joe Alcock. Snakebite. 2014; Dominique Mosbergen. huffingtonpost.com.2014.

Pemerintah dinilai masih mengabaikan pendataan kasus gigitan ular berbisa di Indonesia. Itu
menyebabkan angka kasus yang tercatat di lembaga pemerintah amat rendah. Kondisi itu
menunjukkan penanganan kasus gigitan ular belum jadi prioritas.

Data Badan Pengawas Obat dan Makanan 1998-2000 mencatat, kasus gigitan ular se-Indonesia
180 kasus atau 90 kasus per tahun. "Itu tak mungkin. Dalam setahun, 2015-2016, ada 148 kasus
hanya di IGD (Instalasi Gawat Darurat) Rumah Sakit Umum Daerah Koesna di Bondowoso, Jawa
Timur," kata dokter Tri Maharani, yang kini Kepala IGD RS Paru Dungus, Madiun, Jawa Timur,
Senin (24/10/2016), di Bogor, Jawa Barat.

Ia mengungkapkan hal itu di sela simposium internasional terkait keragaman spesies vertebrata
Asia. Kegiatan itu diprakarsai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bekerja sama dengan The
Japan Society for Promotion of Science dan The Kyoto University Museum, Universitas Kyoto,
Jepang.

Dengan memakai angka 150 kasus per kota atau kabupaten, Tri memperkirakan, kasus gigitan
ular secara nasional 135.000 kasus. Itu jadi perhatian karena mendekati penyakit-penyakit yang
kini jadi prioritas pengurangan. Misalnya, jumlah orang dengan HIV di Indonesia hingga 2015
mencapai 191.073 jiwa.

Tri yang juga dokter ahli gigitan ular itu memaparkan, ia menyebarkan borang ke puskesmas dan
rumah sakit untuk menghimpun data kasus gigitan ular agar mendapat angka kasus riil. Namun,
itu terhambat karena tidak melalui dinas kesehatan. Jadi, pendataan seharusnya dilakukan
Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan.

Anti bisa

Di sisi lain, karena belum jadi prioritas, riset serum anti bisa ular (SABU) di Indonesia tak
berkembang. SABU yang ada ialah SABU polivalen (untuk mengobati gigitan lebih dari satu ular)
produksi Biofarma, untuk gigitan ular kobra Jawa (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus),
dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Harganya Rp 500.000 per ampul, dan satu pasien
biasanya menghabiskan 2 ampul.

Padahal, banyak kasus gigitan selain jenis ular itu. Di Indonesia barat, ular hijau (Trimeresurus
albolabris) termasuk penyebab kasus gigitan utama. Jadi, penanganan kasus itu memakai serum
monovalen Green Pit Viper Antivenin yang diimpor. Jika diimpor dari Malaysia, harganya sekitar
Rp 3,2 juta per ampul.

Di Indonesia timur, khususnya Papua, jenis ular penggigit berbeda jauh karena berkerabat dengan
jenis ular di Australia. Bahkan, menurut peneliti herpetologi LIPI, Amir Hamidy, 90 persen dari
semua jenis ular di Papua berbisa, tak seperti di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan yang hanya 5
persennya berbisa.

Menurut Tri, ada 7 jenis ular berbisa di Papua yang biasa menyerang warga, hampir semuanya
neurotoksin (menyerang sel saraf). Karena SABU impor dari Australia, harganya Rp 65 juta per
ampul, padahal satu korban butuh 3-4 ampul. Untuk itu, perlu riset atau kolaborasi dengan
produsen. (JOG)
Ilha da Queimada Grande, Pulau Penuh Ular di Brasil
Ilha da Queimada Grande di Brasil disebut-sebut sebagai pulau paling mematikan di dunia karena
populasi ularnya yang terlampau tinggi.
Ilha da
Queimada Grande (Prefeitura Municipal de Itanhaem/Wikimedia Commons)
Dari air terjun Iguazu hingga Taman Nasional Lenis Maranhenses, ada banyak tempat indah di
Brasil. Ilha da Queimada Grande, sebuah pulau yang terletak sekitar 90 mil dari kota Sao Paulo,
sekilas tampak seperti salah satu tempat indah di negara itu. Hampir semua penduduk Brasil
mengetahui pulau tersebut, tapi kebanyakan dari mereka tak pernah bermimpi untuk pergi
kesana. Sebab, pulau itu dihuni oleh sekitar 2.000-4.000 golden lancehead viper (Bothrops
insularis), salah satu jenis ular paling mematikan di dunia.
Racun ular ini dapat membunuh manusia dalam waktu kurang dari satu jam. Banyak legenda lokal
menceritakan nasib mengerikan yang menunggu siapa pun yang berani berjalan ke pantai Pulau
Ular tersebut. Sebuah rumor yang beredar luas mengisahkan seorang nelayan malang yang
mendarat di pulau tersebut untuk mencari pisang. Sehari kemudian, ia ditemukan tewas di perahu,
dengan banyak gigitan ular di tubuhnya. Dari tahun 1909 hingga 1920-an, beberapa orang pernah
tinggal di pulau tersebut, untuk membangun mercusuar. Namun menurut kisah lokal lain, penjaga
percusuar terakhir dan seluruh keluarganya tewas ketika sekelompok ular merayap masuk ke
dalam rumah melalui jendela.
Meskipun ada beberapa orang yang mengklaim bahwa ular-ular tersebut ditempatkan di pulau itu
oleh bajak laut untuk melindungi emas mereka, kenyataannya populasi ular yang padat di pulau
itu sudah berkembang selama ribuan tahun tanpa campur tangan manusia. Sekitar 11.000 tahun
lalu, permukaan air laut naik cukup tinggi sehingga mengisolasi llha da Queimada Grande dari
daratan Brasil. Itu menyebabkan spesies ular yang hidup di pulaudiduga sebagai ular jararaca
mengalami evolusi dengan cara berbeda dengan saudara-saudara mereka di daratan utama.
Ular-ular yang terdampar di Queimada Grande tidak memiliki predator di atas permukaan tanah,
sehingga mereka dapat bereproduksi dengan cepat. Tapi, mereka juga tidak memiliki mangsa di
permukaan tanah. Untuk menemukan makanan, mereka memangsa burung migran yang
mengunjungi pulau selama penerbangan panjang.
Seringkali, ular-ular itu mengintai mangsanya, menggigit, dan menunggu hingga racun bekerja
sebelum menelusuri jejak mangsa kembali. Tetapi ular jenis golden lancehead viper tidak mampu
menelusuri mangsa yang sudah ia gigit. Jadi kemudian mereka mengembangkan racun yang
efisien, sekitar tiga atau lima kali lebih kuat dibanding ular-ular lainnya sehingga dapat membunuh
sebagian besar mangsa termasuk manusia dalam waktu singkat.
Karena bahaya, pemerintah Brasil mengontrol secara ketat kunjungan ke Queimada Grande.
Bahkan tanpa larangan pemerintah sekalipun, Ilha da Queimada Grande mungkin tidak akan
menjadi tujuan wisata top, sebab konsentrasi ular di pulau itu terlalu tinggi. Peneliti
memperkirakan bahwa ada satu sampai lima ular dalam setiap satu meter persegi di beberapa
titik di pulau itu. Satu gigitan dari golden lancehead viper bisa membunuh manusia dalam waktu
kurang dari satu jam. Bisa ular tersebut dapat menyebabkan gagal ginjal, nekrosis jaringan otot,
pendarahan otak dan pendarahan usus.
Pemerintah Brasil mengharuskan dokter hadir pada setiap kunjungan yang resmi secara hukum.
Angkatan Laut Brasil tidak pernah berhenti di pulau tersebut untuk pemeliharaan mercusuar
tahunan, yang sejak tahun 1920-an telah disetel menjadi otomatis. Pulau ini juga merupakan
laboratorium penting bagi ahli biologi dan peneliti. Mereka diberi izin khusus mengunjungi pulau
tersebut untuk mempelajari golden lancehead viper.
Sekitar 90 persen kasus gigitan ular di Brasil berasal dari ular dari genus Bothrop. Ahli biologi
berharap dengan mempelajari golden lancehead viper dan evolusinya, mereka dapat memahami
genus Bothrop secara keseluruhan dan mengobati secara efektif kecelakaan yang berhubungan
dengan ular di seluruh Brasil.
Beberapa ilmuwan juga berpikir bahwa bisa ular bisa menjadi alat yang berguna dalam obat-
obatan.
Dalam sebuah wawancara dengan Vice, Marcelo Duarte, seorang ilmuwan Butantan Institute
Brasil yang mempelajari reptil berbisa untuk keperluan farmasi, mengungkapkan kegunaan golden
lancehead viper di bidang medis.
Bisa dari golden lancehead viper menunjukkan tanda-tanda menjanjikan dalam membantu
pengobatan penyakit jantung, sirkulasi dan pembekuan darah. Bisa ular dari spesies lain juga
telah menunjukkan potensi sebagai obat anti kanker.
Karena tingginya permintaan pasar gelap oleh para ilmuwan dan kolektor hewan, penyelundup
satwa liar kerap kali mengunjungi pulau tersebut. Mereka menangkap ular dan menjualnya
melalui jalur ilegal. Seekor golden lancehead viper bisa dijual seharga 10.000-30.000 dolar AS.
Degradasi habitat dan penyakit juga turut andil terhadap kerusakan populasi ular di pulau
tersebut. Selama 15 tahun terakhir, populasi ular di sana telah menyusut hingga hampir 50
persen. golden lancehead viper saat ini masuk ke dalam daftar merah hewan terancam punah
IUCN
Ilha da Queimada Grande memang kerap dijuluki sebagai Pulau Ular. Menempati area seluas
430.000 meter persegi, pulau ini berada di lepas pantai yang hampir 93 mil jauhnya dari pusat
kota Sao Paulo, Brasil.

Pulau ini tak tersentuh oleh manusia karena para peneliti memperkirakan bahwa di pulau itu hidup
antara satu sampai lima ular per meter persegi. Ular-ular itu hidup makmur karena ada banyak
burung migran yang menggunakan pulau itu sebagai tempat istirahat.

Ilha da Queimada Grande telah dikenal luas sebagai rumah bagi ribuan spesies endemik
Bothrops, golden lancehead viper (Bothrops insularis), yang merupakan salah satu ular paling
berbisa di dunia. Ular jenis ini bertanggung jawab atas 90 persen kematian yang terkait dengan
gigitan ular di Brasil. Ular ini dapat tumbuh lebih dari setengah meter, dan mereka memiliki racun
yang sangat berbahaya, yang dapat melelehkan daging di sekitar gigitan mereka.

Sebagaimana dilansir atlasobscura.com, Angkatan Laut Brasil melarang keras siapa pun untuk
mendarat di pulau itu. Penduduk yang tinggal di kota-kota pesisir dekat Queimada Grande juga
kerap menceritakan dua kisah mengerikan tentang kasus kematian di pulau ini.
Kisah pertama menceritakan tentang seorang nelayan yang tanpa sadar mengembara ke pulau itu
untuk memetik pisang. Dia tidak sengaja digigit oleh ular di pulau itu, dan berhasil kembali ke
kapal, di mana dia kemudian meninggal akibat racun ular tersebut. Dia ditemukan beberapa saat
kemudian di dek kapalnya yang telah digenangi darah.

Kisah lain menceritakan tentang seorang operator mercusuar dan keluarganya yang tewas digigit
ular. Suatu malam, beberapa ular masuk melalui jendela dan menyerang operator mercusuar itu,
istrinya, dan tiga anaknya. Mereka berusaha melarikan diri ke arah kapal, tetapi mereka kembali
digigit oleh ular-ular yang bergelayut di cabang pohon.
Golden lancehead viper (Bothrops insularis)/Photo by MichaelMostert

Marcelo Duarte, seorang ahli biologi yang telah mengunjungi Pulau Ular itu lebih dari dua puluh
kali, mengatakan bahwa apa yang telah dikatakan oleh penduduk setempat - 1-5 ular per meter
persegi - adalah berlebihan. Menurut Marcelo, kemungkinan rasionya adalah satu ular per meter
persegi. Meski begitu, Ilha da Queimada Grande tetap bukan tempat yang aman untuk
dikunjungi. [des

Anda mungkin juga menyukai