OLEH
KELOMPOK 9
- Circulation
Pada kasus ini terjadi disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, aritmia, takikardi dan henti
jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering
bersamaan dengan aritmia.
Bila terjadi gangguan seperti diatas dapat diberikan tambahan
cairan parenteral.
2) Penatalaksanaan Medis
- Yang pertama dan paling penting adalah penanganan luka gigitan
untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk lewat
luka gigitan. Cara yang efektif adalah dengan membersihkan luka
dengan sabun atau detergen selama 10 -15 menit kemudian cuci
luka dengan air (sebaiknya air mengalir) . Lalu keringkan dengan
kain dan beri antiseptik seperti betadine atau alkohol 70%. Segera
bawa ke pusat pelayanan kesehatan. Di pusat pelayanan
kesehatan, pencucian luka akan kembali dilakukan. Biasanya
memakai larutan perhidrol 3% (H2O2) yang dicampur dengan
betadine kemudian dibilas dengan larutan fisiologis macam NaCl
0,9%.
- Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan
situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan
situasi).
- Kemudian pencegahan berikutnya adalah proteksi imunologi
dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) terutama pada kasus
yang memiliki resiko untuk tertular rabies. Vaksin diberikan
sebanyak 4 kali yaitu hari ke-0 (2 kali pemberian sekaligus), lalu
hari ke-7 dan hari ke-21. Dosisnya 0,5 ml baik pada anak-anak
maupun dewasa. Pada luka yang lebih berat dimana terdapat lebih
dari satu gigitan dan dalam sebaiknya dikombinasi dengan
pemberian serum anti rabies (SAR) yang disuntikkan di sekitar
luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan intra muskuler.
- Selain itu harus dipertimbangkan pemberian vaksin anti tetanus,
antibiotika untuk pencegahan infeksi dan pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri.
b. Gigitan ular
1) Pertolongan dirumah
Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman kerumah
sakit. Apabila penanganan medis tersedia dalam beberapa jam,
satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi (membuat
tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat
atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae;
hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal. Setelah itu
Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan
cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau
kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.
2) Penatalaksanaan kegawatdaruratan
- A (Airway)
Pada airway perlu diketahui bahwa salah satu sifat dari bisa
ular adalah neurotoksik. Dimana akan berakibat pada saraf
perifer atau sentral, sehingga terjadi paralise otot-lurik.
Lumpuh pada otot muka, bibir, lidah, dan saluran pernapasan,
gangguan pernafasan, kardiovaskuler terganggu dan penurunan
kesadaran. Korban dengan kesulitan bernafas
mungkin membutuhkan endotracheal tube dan
sebuah mesin ventilator untuk menolong korban
bernafas.
- Breathing
Pada breating akan terjadi gangguan pernapasan karena
pada bisa ular akan berdampak pada kelumpuhan otot-otot
saluran pernapasan sehingga pola pernapasan pasien terganggu
dan berikan oksigen
- Circulation
Pada circulation terjadi perdarahan akibat sifat bisa ular
yang bersifat haemolytik. Dimana zat dan enzim yang toksik
dihasilkan bisa akan menyebabkan lisis pada sel darah merah
sehingga terjadi perdarahan. Ditandai dengan luka patukan terus
berdarah, haematom, hematuria, hematemesis dan gagal ginjal,
perdarahan addome, hipotensi. Cairan parenteral dapat
digunakan untuk penatalksanaan hipotensi. Jika
vasopresin digunakan untuk penanganan hipotensi
penggunaan harus dalam jangka pendek.
3) Penatalaksanaan medis
- Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal
atau air steril
- Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban
katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang
dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai
dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah
tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang leih berat.
- Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan;
penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu
dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat
dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan
perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
- Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah
mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
- Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
- Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut
cepat mati/panik.
- Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar
terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga
dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat
polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa
ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat
kerusakan jaringan lokal yang luas.
c. Gigitan serangga
1) Pengobatan gigitan serangga pribadi di rumah
Pengobatan tergantung pada jenis reaksi
yang terjadi. Jika hanya kemerahan dan nyeri
pada bagian yang digigit, cukup menggunakan es
sebagai pengobatan. Bersihkan area yang terkena
gigitan dengan sabun dan air untuk menghilangkan
partikel yang terkontaminasi oleh serangga (seperti
nyamuk). Partikel-partikel dapat mengkontaminasi
lebih lanjut jika luka tidak dibersihkan. Pengobatan
dapat juga menggunakan antihistamin seperti
diphenhidramin (Benadryl) dalam bentuk
krim/salep atau pil. Losion Calamine juga bisa
membantu mengurangi gatal-gatal.
2) Penatalaksanaan kegawatdaruratan
a. Airway :Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan
intubasi
b. Breathing :Berikan pernafasan buatan bila
penderita tidak
bernafas spontan atau pernapasan tidak adekuat.
c. Circulation :Pasang infus bila keadaan
penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
3) penatalaksanaan medis
Terapi biasanya digunakan untuk menghindari
gatal dan mengontrol terjadinya infeksi sekunder
pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan
utama, campuran topikal sederhana seperti menthol,
fenol, atau camphor dalam bentuk lotion atau gel
dapat membantu mengurangi gatal dan juga dapat
diberikan antihistamin oral seperti diphenyhidramin
25 – 50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid
topikal dapat digunakan untuk mengatasi reaksi
hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi
sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik
topikal maupun oral dan juga dapat dikompres
dengan larutan kalium permeganat.
Jika terjadi reaksi berat dengan gejala sistemik,
lakukan pemasangan tourniquet proksimal dari
tempat gigitan dan dapat diberikan pengenceran
epinefrin diberikan secara subkutan dan jika
diperlukan dapat diulang 1 – 2 kali dengan interval
waktu 20 menit. Epinefrin juga dapat diberikan
secara intramuskular jika syok lebih berat. Jika pasien
mengalami hipotensi maka diberikan injeksi
intravena. Untuk gatal dapat diberikan injeksi
antihistamin seperti kloremfenikol 10 mg atau
definhidramin 50 mg. pasien dengan reaksi berat
dapat diberikan kortekosteroid sistemik.
d. Gigitan binatang laut
Pertolongan Pertama Pada Sengatan hewan laut.
Perawatan pada sengatan hewa laut bervariasi
tergantung pada jenis gigitan atau sengatan. Tapi
beberapa aturan umum yang berlaku untuk
penanganan sengatan hewan laut:
1) Jangan biarkan korban latihan, karena hal ini dapat
menyebarkan racun, kecuali dokter memerintahkan.
2) Jangan memberi obat apapun.
3) Air tawar sering memperburuk racun, sehingga bilas
luka hanya dengan air laut.
4) Jika Anda
menghapus sebuah stinger, pakailah sarung tangan.
5) Gunakan handuk untuk menyeka
tentakel liar atau sengatan.
G. Pemeriksaan Penunjang Gigitan Serangga dan Binatang
1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pungsi lumbal : menganalisis cairan
serebrovaskuler
b) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit
dan hematokrit
c) Panel elektrolit
d) Skrining toksik dari serum dan urin
e) GDA
1) Glukosa Darah: Hipoglikemia
merupakan predisposisi kejang (N < 200mq/dl)
2) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi ke
jang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit : K, Na
4) Ketidakseimbangan
elektrolit merupakan predisposisi kejange.
5) Kalium ( N 3,8 – 5,00 meq/dl )
6) Natrium ( N 135 –144 meq/dl)
2) Pemeriksaan Radiologi
a) Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk
membantu menetapkan jenis danfokus dari
kejang.
b) Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang
lebih sensitif dri biasanyauntuk mendeteksi
perbedaan kerapatan jaringan.
c) Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan
bayangan denganmenggunakan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna
untukmemperlihatkan daerah – daerah otak yang
tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian
CT.
d) Pemindaian positron emission tomography
( PET ) : untuk mengevaluasi kejangyang
membandel dan membantu menetapkan lokasi
lesi, perubahan metabolikatau aliran darah dalam
otake. Uji laboratorium
b. Gigitan ular
1) Pemeriksaan Laboratorium :
a) Hemoglobin (Hb): dapat menurun akibat adanya perdarahan
(Normal:13,2 – 17,3 g/dL)
b) Leukosit : dapat meningkat ataupun menurun karena terjadinya
infeksi dalam tubuh (Normal :3,8 – 10,6 g/dL )
c) Trombosit : untuk mengetahui zat pembekuan darah (Normal:
150 – 400 g/dL)
d) Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin
e) Fibrinogen :untuk mengetahui adanya kelainan pembekuan
darah, mengetahui adanya resiko pembekuan darah dan
mengetahui adanya gangguan fungsi hati
f) Uji Faal Hepar : untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
pada faal hati atau sel hati.
g) Pemeriksaan urin untuk mengetahui apakah terjadi hematuria,
glikosuria dan proteinuria
2) Pemeriksaan Radiologi
Radiografi untuk mengetahui apakah terjadi edema pulmoner dan
mencari taring ular yang tertinggal.
3) Elektrocardiogram (EKG) untuk mengetahui apakah terdapat
gangguan pada sistem kerja jantung.
b. Gigitan serangga
Dari gambaran histopatologis pada fase akut
didapatkan adanya edema antara sel-sel epidermis,
spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel
polimorfonuklear. Infiltrat dapat berupa eosinofil,
neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan
pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel
radang akut. Pemeriksaan pembantu lainnya yakni
dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi
peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah.
Dapat juga dilakukan tes tusuk dengan alergen
tersangka.
1. Pengkajian Airway
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi
2. Pengkajian Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating
injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
3. Pengkajian Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. Lihat apakah ada tanda-tanda syok
c. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
d. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
e. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
f. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi
atau hipoksia (capillary refill).
g. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
4. Pengkajian Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bias dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
Selain dengan AVPU, pengkajian disability juga dapat dilakukan
dengan pemeriksaan GCS yang meliputi Eyes, Motorik, dan Verbal
pasien, serta melakukan pemeriksaan pada Pupil pasien.
5. Pengkajian Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika
melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
2) Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder atau Secondary Survey ialah pengkajian yang
dilakukan ketika kondisi pasien telah stabil. Pengkajian sekunder
meliputi: riwayat penyakit pasien atau moment of incident, pengkajian
nyeri (PQRST), pemeriksaan fisik head to toe, pemeriksaan penunjang
dan lain sebagainya.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. Identitas pasien
dan identitas penanggung jawab juga disertakan dalam tahap ini.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu, pasien dengan trauma abdomen akan merasakan nyeri pada
bagian abdomen sehingga diperlukan adanya pengkajian nyeri dengan
format PQRST.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran komposmestis, gelisah, dan lelah.
GCS : Verbal: …. Psikomotor: ….. Mata: …..
Tanda-Tanda Vital : TD ….. Nadi …. Suhu …. RR….
2) Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan
Pengkajian melalui inspeksi dan palpasi pada daerah kepala dan kulit
kepala pasien. Apakah ada luka atau tidak, ada benjolan atau tidak.
b. Mata
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi konjungtiva, pupil dan sklera apakah ada nyeri tekan atau tidak.
c. Hidung
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi bulu hidung dan apakah ada nyeri tekan atau tidak
d. Telinga
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan, apakah
ada benjola atau tidak.
e. Mulut
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kondisi daerah
mulut apakah ada stomatitis, bau mulut, kondisi mukosa bibir, dan lain
sebagainya.
f. Leher dan vertebrae servikalis
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..
g. Thorax
Pada trauma thorax, pemeriksaan fisik yang dilakukan, yaitu:
melakukan Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005). Kemudian lakukan palpasi
seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Setelah itu lakukan perkusi untuk
mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Kemudian
melakukan auskultasi untuk mengetahui suara nafas tambahan (apakah
ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction
rub).
h. Abdomen
Dilakukan pemeriksaan inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi untuk
mengetahui apakah ada gangguan atau tidak pada abdomen
i. Ekstremitas
Periksa ektremitas apakah ada luka atau tidak, apakah ada nyeri tekan
atau tidak, periksa CRT.
3. Analisa Data
Disesuaikan dengan data yang diperoleh dari klien.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
ditandai dengan dyspnea, penggunaan otot bantu pernapasan, pola
napas abnormal, dan pernapasan pursed lip
2. Penurunan curah jantung ditandai dengan perubahan afterload ditandai
dengan dyspnea, tekanan darah menurun, warna kulit pucat, nadi teraba
lemah
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan
pasien mengeluh nyeri, pasien tampak meringis, pasien tampak gelisah,
pola napas berubah, dan frekuensi nadi meningkat
4. Hipertermia berhubungan dengan respon trauma ditandai dengan suhu
tubuh diatas normal, kulih merah, kulit teraba hangat, kejang
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan kerusakan lapisan kulit, nyeri, kemerahan, hematoma
6. Risiko Syok dibuktikan dengan hipotensi
7. Risiko infeksi dibuktikan dengan kerusakan integritas kulit.
C. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo T. 2017. Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta: Gaya Baru
Brunner. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Feby & Yeni. 2018. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gigitan Binatang.
Pati : AKB
Kasihsa, Sondi. 2013. Askep Gadar Gigitan Binatang. Tersedia pada
https://id.scribd.com/doc/172297625/Askep-Gadar-Gigitan-Binatang
diakses pada 13 maret 2020
Lia. 2014. Konsep Kegawatdaruratan Pada Pasien dengan Gigitan Serangga.
Tersedia pada https://id.scribd.com/doc/224790465/Konsep-
Kegawatdaruratan-pada-Pasien-Dengan-Gigitan-Serangga diakses
pada 13 Maret 2020
Ardi. 2015. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Keracunan dan Gigitan
Binatang. Tersedia pada
https://www.academia.edu/36803881/ASUHAN_KEPERAWATAN_
PADA_KLIEN_DENGAN_KERACUNAN_DAN_GIGITAN_BINA
TANG diakses pada 13 Maret 2020
Lynda Juall Carpernito. 2017. Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta; EGC
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indosensia
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI