Anda di halaman 1dari 31

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

Pada Pasien Gigitan Serangga dan Binatang”

OLEH

KELOMPOK 9

Ni Komang Sri Wahyuni (17.321.2687)

Ni Luh Kade Novita Wahyuningrum (17.321.2691)

Ni Putu Eva Pradnyayanti (17.321.2700)

Pande Eka Sukma Karisma (17.321.2706)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2020
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
Pada Pasien Gigitan Serangga dan Binatang

I. Konsep Dasar Penyakit


A. Definisi Gigitan Serangga dan Binatang
Digigit serangga merupakan salah satu bentuk dermatitis kontak iritan,
yaitu reaksi peradangan kulit sebagai respon dari kontak dengan alergen,
dalam hal ini berupa liur, bulu, atau gigitan serangga, atau dalam istilah lain
biasa disebut dermatitis venenata. Gejala yang ditimbulkan dari gigitan atau
sengatan serangga merupakan reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi yang
timbul setelah kulit tubuh kontak dengan serangga atau racun atau alergen
masuk pada kulit akibat gigitan, tusukan.  Jenis reaksi yang ditimbulkan
akibat gigitan serangga tergantung jenis serangga dan macam racun yang
dikeluarkan sebagai alergennya.
Gigitan binatang adalah gigitan atau sengatan yang diakibatkan oleh
gigitan atau sengatan hewan seperti ajning, kera, ular, serangga dan lain-lain.
Gigitan binatang atau sengatan merupakan alat dari binatang tersebut untuk
mempertahankan diri dari lingkungan atau sesuatau yang mengancam jiwa,
gigitang binatang terbagi menjadi dua yanitu gigitan binatang berbisa dan
gigitan binatang tidak berbisa.(Charly, 2018).

B. Etiologi Gigitan Serangga dan Binatang


Berikut ini beberapa penyebab dari gigitan serangga dan binatang, yaitu:
1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
Rabies atau lebih sering dikenal dengan nama anjing
gila merupakan suatu penyakit infeksi akut yang
menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies dan ditularkan dari gigitan hewan
penular rabies.
b. Gigitan serangga dan binatang berbisa
Serangga dan binatang berbisa tidak akan menyerang
kecuali kalau mereka digusar atau diganggu.
Kebanyakan gigitan dan sengatan digunakan untuk
pertahanan. Gigitan serangga untuk melindungi sarang
mereka. Sebuah gigitan atau sengatan dapat
menyuntikkan bisa(racun) yang tersusun dari protein
dansubstansi lain yang mungkin memicu reaksi alergi
kepada penderita. Gigitan serangga juga
mengakibatkan kemerahan dan bengkak di lokasi yang
tersengat.Lebah, tawon, penyengat, si jaket kuning,
dan semut api adalah anggota keluarga Hymenoptera.
Gigitan atau sengatan dari mereka dapat
menyebabkan reaksi yang cukup serius pada orang
yangalergi terhadap mereka. Kematian yang diakibatkan
oleh serangga 3-4 kali lebih sering dari padakematian
yang diakibatkan oleh gigitan ular. Lebah, tawon dan
semut api berbeda-beda dalammenyengat.Ketika lebah
menyengat, dia melepaskan seluruh alat sengatnya dan
sebenarnya ia mati ketikaproses itu terjadi. Seekor
tawon dapat menyengat berkali-kali karena tawon tidak
melepaskanseluruh alat sengatnya setelah ia
menyengat. Semut api menyengatkan bisanya dengan
menggunakan rahangnya dan memutar tubuhnya.
Mereka dapat menyengat bisa berkali-kali.

2. Gigitan binatang laut


a. Tentakel laut
Ubur – ubur, anemon, dan karang semuanya memiliki tentakel.
Kebanyakan sengatan dari ubur – ubur, anemon, dan karang
menyebabkan ruam, dan kadang – kadang lecet. Pasien mungkin juga
mengalami sakit kepala, nyeri dada, nyeri otot, berkeringat, atau
hidung meler.
b. Gurita (octopus) cincin biru
Gurita cincin biru di australia adalah salah satu hewan laut paling
berbahaya. Air liurnya berbisa dan bisa menyebabkan kegagalan
pernafasan dan kelumpuhan.
c. Ikan besar yang berbahaya
Ikan besar seperti hiu dan barakuda dapat menimbulkan luka gigitan
yang cukup besar atau bahkan memotong – motong atau membunuh
manusia.
d. Ikan pari
Ikan pari memiliki duri berbisa di ekornya jika tanpa sengaja
menginjak ikan pari dapat menyebabkan luka.
e. Bulu babi
Bulu babi yang tercakup dalam duri tajam dilapisi dengan racun. Jika
menginjak seekor bulu babi, duri mungkin akan pecah dan menancap
di kaki, menghasilkan luka yang menyakitkan. Jika duri tidak dihapus
sepenuhnya luka dapat menjadi meradang menyebabkan nyeri otot
dan sendi.
f. Ular laut
Sengatan dari ikan laur biasanya jarang terjadi, sifat dari ular laut
yaitu tidak menyerang apabila mereka tidak merasa terganggu atau
terprovokasi.
g. Stones fish
Ikan yang menyamar dengan koral atau lingkungan sekitarnya dapat
menyuntikkan bisa melalui tulang belakang yang keras sehingga dapat
menembus kulit korban.

C. Klasifikasi Gigitan Serangga dan Binatang


1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies, seperti anjing, kucing, kera/monyet,
kelelawar, rakun dan Hewan karnivora lain yang tersangka rabies.
b. Gigitan hewan berbisa, seperti ular.
c. Gigitan serangga
Gigitan serangga bisa diakibatkan oleh Serangga yang menyengat:
Semut, tawon, kalajengking, laba-laba dan serangga yang tidak
menyengat seperti kutu busuk, lalat, nyamuk.
2. Gigitan binatang laut, seperti tentakel laut, gurita (octopus) cincin biru,
Ikan besar yang berbahaya, ikan pari, bulu babi, stones fish, cone shell
(kerang laut).

D. Manifestasi Klinis Gigitan Serangga dan Binatang


1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
Manifestasi klinis yang dapat terjadi pada manusia yang terkena
gigitan dari hewan rabies yaitu:
1) Stadium Prodromal
Gejala-gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri
ditenggorokan selama beberapa hari.
2) Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi
yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.
3) Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan
gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi dan pupil
dilatasi. Bersamaan dengan stadium eksitasi ini penyakit mencapai
puncaknya, yang sangat khas pada stadium ini ialah adanya
macam-macam fobi, yang sangat terkenal diantaranya ialah
hidrofobi. Kontraksi otot-otot Faring dan otot-otot pernapasan
dapat pula ditimbulkan oleh rangsang sensorik seperti meniupkan
udara kemuka penderita atau dengan menjatuhkan sinar kemata
atau dengan menepuk tangan didekat telinga penderita.Pada
stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsa da tahikardi.
Tindak-tanduk penderita tidak rasional kadang-kadang maniakal
disertai dengan saat-saat responsif. Gejala-gejala eksitasi ini dapat
terus berlangsung sampai penderita meninggal, tetapi pada saat
dekat kematian justru lebih sering terjadi otot-otot melemah,
hingga terjadi paresis flaksid otot-otot.
4) Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi
Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,
melainkan paresis otot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang, yang memperlihatkan gejala
paresis otot-otot pernafasan.
b. Gigitan ular
1) Efek lokal : digigit oleh beberapa ular viper atau
beberapa kobra (Naja spp) menimbulkan rasa sakit
dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat
membengkak hebat dan dapat berdarah
danmelepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat
mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2) Perdarahan : Gigitan oleh famili viperidae atau
beberapa elapid Australia dapat menyebabkan
perdarahan organ internal seperti otak atau organ-
organ abdomen. Korban dapat berdarah dariluka
gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka
yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat
menyebabkan syok atau bahkan kematian.
3) Efek sistem saraf : bisa ular elapid dan ular laut
dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular
kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara
cepat menghentikan otot-otot pernafasan,berakibat
kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya,
korban dapat menderita masalahvisual, kesulitan
bicara dan bernafas, dan kesemutan.
4) Kematian otot : bisa dari Russell’s viper (Daboia
russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia
dapat secara langsung menyebabkan kematian otot
di beberapa area tubuh. Debris darisel otot yang
mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapatmenyebabkan gagal
ginjal.
5) Mata : semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat
secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan
sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara
pada mata.
c. Gigitan serangga
Beberapa contoh masalah serius yang diakibatkan
oleh gigitan
atau serangan gigitan serangga didantaranya adalah :
1) Reaksi alergi berat (anaphylaxis). Reaksi ini tergolong
tidak biasa, namun dapat mengancam kahidupan
dan membutuhkan pertolongan darurat. Tanda-
tanda atau gejalanya adalah:
a) Terkejut (shock). Dimana ini bisa terjadi bila sistem
peredaran darah tidak mendapatkan masukan
darah yang cukup untuk organ-organ penting
(vital)
b) Batuk, desahan, sesak nafas, merasa sakit
di dalam mulut atau
kerongkongan/tenggorokan.
c) Bengkak di bibir, lidah, telinga, kelopak mata,
telapak tangan, tapak kaki, dan selaput lendir
(angioedema)
d) Pusing dan kacau
e) Mual, diare, dan nyeri pada perut
f) Rasa gatal dengan bintik-bintik merah dan
bengkak
2) Reaksi kulit yang lebar pada bagian gigitan atau
serangan.
3) Infeksi kulit pada bagian gigitan atau serangan.
4) Infeksi virus. Infeksi nyamuk dapat menyebarkan
virus West Nile kepada seseorang, menyebabkan
inflamasi pada otak (encephalitis).
5) Infeksi parasit. Infeksi nyamuk dapat menyebabkan
menyebarnya malaria.
6) Gigitan serangga juga mengakibatkan kemerahan
dan bengkak di lokasi yang tersengat. Lebah,
tawon, penyengat, si jaket kuning, dan semut
api adalah anggota keluarga Hymenoptera. Gigitan
atau sengatan dari mereka dapat menyebabkan
reaksi yang cukup serius pada orang yang alergi
terhadap mereka. Kematian yang diakibatkan oleh
serangga 3-4 kali lebih sering dari pada kematian
yang diakibatkan oleh gigitan ular. Lebah, tawon dan
semut api berbeda-beda dalam menyengat. Ketika
lebah menyengat, dia melepaskan seluruh alat
sengatnya dan sebenarnya ia mati ketika proses itu
terjadi. Seekor tawon dapat menyengat berkali-kali
karena tawon tidak melepaskan seluruh alat
sengatnya setelah ia menyengat. Semut api
menyengatkan bisanya dengan menggunakan
rahangnya dan memutar tubuhnya. Mereka dapat
menyengat bisa berkali-kali.
2. Gigitan binatang laut
Keadaan yang sering muncul apabila pasien telah tergigit
dengan binatang laut adalah
akan adanya bekas gigitan pada kulit pasien,
rasa gatal di area yang tergigit,kemerahan, suhu tubuh me
ningkat, pasien merasa mual dan bahkan muntah,
sianosis, bengkak,
pasien nampak kebingungan , perdarahan pasien pingsan,
lumpuh, sesak napas, alergi, syok hipovolemik, nyeri
kepala bahakan pasien dapat meninggal apabila tidak
ditangani dengan cepat.

E. Patofisiologi Gigitan Serangga dan Binatang


1. Gigitan binatang darat
a. Gigitan hewan tersangka rabies
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang terdapat pada
air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan infeksi
kepada hewan lainnya atau manusia melaui gigitan dan kadang
melalui jilatan. Secara patogenesis, setelah virus rabies masuk
lewat gigitan, selama 2 minggu virus akan tetap tinggal pada
tempat masuk dan disekitrnya. Setelah masuk ke dalam tubuh,
virus rabies akan menghindari penghancuran oleh sistem imunitas
tubuh melalui pengikatannya pada sistem saraf. Setelah inokulasi,
virus ini memasuki saraf perifer. Masa inkubasi yang panjang
menunjukkan jarak virus pada saraf perifer tersebut dengan sistem
saraf pusat. Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan
memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron,
terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem
limbik, hipotalamus, dan batang otak. Setelah memperbanyak diri
dalam neuron – neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer
dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun
otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh
jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan
seperti kelenjar ludah.
Infeksi rabies pada manusia boleh dikatakan hampir
semuanya akibat gigitan hewan yang mengandung virus dalam
salivanya. Kulit yang utuh tidak dapat terinfeksi oleh rabies akan
tetapi jilatan hewan yang terinfeksi dapat berbahaya jika kulit tidak
utuh atau terluka. Virus juga dapat masuk melalui selaput mukosa
yang utuh, misalnya selaput konjungtiva mata, mulut, anus, alat
genitalia eksterna. Penularan melalui makanan belum pernah
dikonfirmasi sedangkan infeksi melalui inhalasi jarang ditemukan
pada manusia.
b. Gigitan ular
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di
bawah mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring
yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga
20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap
gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir,
derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang
hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang
memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan
dikeluarkan.
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi)
adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai
mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein
enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya.
Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan
destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul
reaksi anafilaksis.
Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu
menyebabkan perbedaan envenomasi. Gigitan copperhead secara
umum terbatas pada destruksi jaringan lokal. Rattlesnake dapat
menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan toksisitas sistemik.
Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian dapat
muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular
sistemik. Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan
potensi kerusakan sistemik dari fungsi system organ. Salah satu
efek adalah perdarahan; koagulopati bukanlah hal yang aneh pada
envenomasi yang hebat. Efek lain, edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru. Mekanisme
pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan.Efek terakhir,
kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan
ventilasi per menit. Efek-efek blokade neuromuskuler berakibat
pada lemahnya ekskursi diafragmatik. Gagal jantung merupakan
akibat dari hipotensi dan asidosis. Myonekrosis meningkatkan
kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.
Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat
berguna untuk membunuh mangsa. Selama envenomasi (gigitan
yang menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular smelewati kelenjar
bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular, dan akhirnya
menuju mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai
substansi dengan efek yang bervariasi. Dalam istilah sederhana,
protein-protein ini dapat dibagi menjadi 4 kategori :
1. Cytotoxin menyebabkan kerusakan jaringan lokal.
2. Hemotoxin, bisa yang menghancurkan eritrosit, atau
mempengaruhi kemampuan darah untuk berkoagulasi,
menyebabkan perdarahan internal.
3. Neurotoxin menyerang sistem syaraf, menyebabkan paralisis
transmisi saraf ke otot dan pada kasus terburuk paralisis
melibatkan otot-otot menelan dan pernafasan.
4. Cardiotoxin berefek buruk langsung pada jantung dan mengarah
pada kegagalan sirkulasi dan syok
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis
jaringan yang luas dan hemolisis. Ular berbisa yang terkenal di
Indonesia adalah ular kobra dan ular welang yang bisanya bersifat
neurotoksik. Gigitan serangga
c. Gigitan atau sengatan serangga
Akan menyebabkan kerusakan kecil pada kulit, lewat gigitan
atau sengatan antigen yang akan masuk langsung direspon oleh
sistem imun tubuh. Racun dari serangga mengandung zat-zat yang
kompleks. Reaksi terhadap antigen tersebut biasanya akan
melepaskan histamin, serotonin, asam formic atau kinin. Lesi yang
timbul disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap antigen yang
dihasilkan melalui gigitan atau sengatan serangga. Reaksi yang
timbul melibatkan mekanisme imun. Reaksi yang timbul dapat
dibagi dalam 2 kelompok : Reaksi immediate dan reaksi delayed.
Reaksi immediate merupakan reaksi yang sering terjadi dan
ditandai dengan reaksi lokal atau reaksi sistemik. Lesi juga timbul
karena adanya toksin yang dihasilkan oleh gigitan atau sengatan
serangga. Nekrosis jaringan yang lebih luas dapat disebabkan
karena trauma endotel yang dimediasi oleh pelepasan neutrofil.
Spingomyelinase D adalah toksin yang berperan dalam timbulnya
reaksi neutrofilik. Enzim Hyaluronidase yang juga ada pada racun
serangga akan merusak lapisan dermis sehingga dapat mempercepat
penyebaran dari racun tersebut. Pada beberapa orang yang sensitif
dengan sengatan serangga dapat timbul terjadinya suatu reaksi
alergi yang dikenal dengan reaksi anafilaktik. Anafilaktik syok
biasanya disebabkan akibat sengatan serangga golongan
Hymenoptera, tapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada
sengatan serangga lainnya.

F. Penatalaksanaan Gigitan Serangga dan Binatang


1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
1) Penatalaksanaan kegawatdaruratan :
- Airway (jalan nafas)
Pada airway yang perlu diperhatikan adalah
memperthankan kepatenan jalan napas, memperhatikan suara
nafas, atau apakah ada retraksi otot pernapasan. Pada kasus
gigitan binatang (rabies) ditemukan kekakuan otot tenggorokan
dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.
Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang
mengatur proses menelan dan pernafasan.
- Breathing
Walaupun terkadang jalan nafas dapat ditangani tapi belum
tentu pola nafasnya sudah teratur. Lihat pergerakan dada klien
dan lakukan auskultasi untuk mendengarkan suara nafas klien.
Pada kasus ini dapat terjadi gagal nafas yang disebabkan oleh
kontraksi otot hebat otot-otot penafasan atau keterlibatan pusat
pernafasan.

- Circulation
Pada kasus ini terjadi disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, aritmia, takikardi dan henti
jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering
bersamaan dengan aritmia.
Bila terjadi gangguan seperti diatas dapat diberikan tambahan
cairan parenteral.
2) Penatalaksanaan Medis
- Yang pertama dan paling penting adalah penanganan luka gigitan
untuk mengurangi atau mematikan virus rabies yang masuk lewat
luka gigitan. Cara yang efektif adalah dengan membersihkan luka
dengan sabun atau detergen selama 10 -15 menit kemudian cuci
luka dengan air (sebaiknya air mengalir) . Lalu keringkan dengan
kain dan beri antiseptik seperti betadine atau alkohol 70%. Segera
bawa ke pusat pelayanan kesehatan. Di pusat pelayanan
kesehatan, pencucian luka akan kembali dilakukan. Biasanya
memakai larutan perhidrol 3% (H2O2) yang dicampur dengan
betadine kemudian dibilas dengan larutan fisiologis macam NaCl
0,9%.
- Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan
situasi. Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan
situasi).
- Kemudian pencegahan berikutnya adalah proteksi imunologi
dengan pemberian vaksin anti rabies (VAR) terutama pada kasus
yang memiliki resiko untuk tertular rabies. Vaksin diberikan
sebanyak 4 kali yaitu hari ke-0 (2 kali pemberian sekaligus), lalu
hari ke-7 dan hari ke-21. Dosisnya 0,5 ml baik pada anak-anak
maupun dewasa. Pada luka yang lebih berat dimana terdapat lebih
dari satu gigitan dan dalam sebaiknya dikombinasi dengan
pemberian serum anti rabies (SAR) yang disuntikkan di sekitar
luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan intra muskuler.
- Selain itu harus dipertimbangkan pemberian vaksin anti tetanus,
antibiotika untuk pencegahan infeksi dan pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri.
b. Gigitan ular
1) Pertolongan dirumah
Pertolongan pertama, jangan menunda pengiriman kerumah
sakit. Apabila penanganan medis tersedia dalam beberapa jam,
satu-satunya tindakan dilapangan adalah immobilisasi (membuat
tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat
atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot,
karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening;
pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae;
hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan
penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal. Setelah itu
Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan
cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau
kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.
2) Penatalaksanaan kegawatdaruratan
- A (Airway)
Pada airway perlu diketahui bahwa salah satu sifat dari bisa
ular adalah neurotoksik. Dimana akan berakibat pada saraf
perifer atau sentral, sehingga terjadi paralise otot-lurik.
Lumpuh pada otot muka, bibir, lidah, dan saluran pernapasan,
gangguan pernafasan, kardiovaskuler terganggu dan penurunan
kesadaran. Korban dengan kesulitan bernafas
mungkin membutuhkan endotracheal tube dan
sebuah mesin ventilator untuk menolong korban
bernafas.
- Breathing
Pada breating akan terjadi gangguan pernapasan karena
pada bisa ular akan berdampak pada kelumpuhan otot-otot
saluran pernapasan sehingga pola pernapasan pasien terganggu
dan berikan oksigen
- Circulation
Pada circulation terjadi perdarahan akibat sifat bisa ular
yang bersifat haemolytik. Dimana zat dan enzim yang toksik
dihasilkan bisa akan menyebabkan lisis pada sel darah merah
sehingga terjadi perdarahan. Ditandai dengan luka patukan terus
berdarah, haematom, hematuria, hematemesis dan gagal ginjal,
perdarahan addome, hipotensi. Cairan parenteral dapat
digunakan untuk penatalksanaan hipotensi. Jika
vasopresin digunakan untuk penanganan hipotensi
penggunaan harus dalam jangka pendek.

3) Penatalaksanaan medis
- Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal
atau air steril
- Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban
katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang
dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai
dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan.
Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang
terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah
tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat
menyebabkan efek sistemik yang leih berat.
- Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan jalan nafas; penatalaksanaan fungsi pernafasan;
penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu
dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat
dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan,
kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan
perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta
kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal.
- Pemberian suntikan antitetanus, atau bila korban pernah
mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
- Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
- Pemberian sedasi atau analgesik untuk menghilangkan rasa takut
cepat mati/panik.
- Pemberian serum antibisa. Karena bisa ular sebagian besar
terdiri atas protein, maka sifatnya adalah antigenik sehingga
dapat dibuat dari serum kuda. Di Indonesia, antibisa bersifat
polivalen, yang mengandung antibodi terhadap beberapa bisa
ular. Serum antibisa ini hanya diindikasikan bila terdapat
kerusakan jaringan lokal yang luas.
c. Gigitan serangga
1) Pengobatan gigitan serangga pribadi di rumah
Pengobatan tergantung pada jenis reaksi
yang terjadi. Jika hanya kemerahan dan nyeri
pada bagian yang digigit, cukup menggunakan es
sebagai pengobatan. Bersihkan area yang terkena
gigitan dengan sabun dan air untuk menghilangkan
partikel yang terkontaminasi oleh serangga (seperti
nyamuk). Partikel-partikel dapat mengkontaminasi
lebih lanjut jika luka tidak dibersihkan. Pengobatan
dapat juga menggunakan antihistamin seperti
diphenhidramin (Benadryl) dalam bentuk
krim/salep atau pil. Losion Calamine juga bisa
membantu mengurangi gatal-gatal.
2) Penatalaksanaan kegawatdaruratan
a. Airway :Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan
intubasi
b. Breathing :Berikan pernafasan buatan bila
penderita tidak
bernafas spontan atau pernapasan tidak adekuat.
c. Circulation :Pasang infus bila keadaan
penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
3) penatalaksanaan medis
Terapi biasanya digunakan untuk menghindari
gatal dan mengontrol terjadinya infeksi sekunder
pada kulit. Gatal biasanya merupakan keluhan
utama, campuran topikal sederhana seperti menthol,
fenol, atau camphor dalam bentuk lotion atau gel
dapat membantu mengurangi gatal dan juga dapat
diberikan antihistamin oral seperti diphenyhidramin
25 – 50 mg untuk mengurangi rasa gatal. Steroid
topikal dapat digunakan untuk mengatasi reaksi
hipersensitifitas dari sengatan atau gigitan. Infeksi
sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik
topikal maupun oral dan juga dapat dikompres
dengan larutan kalium permeganat.
Jika terjadi reaksi berat dengan gejala sistemik,
lakukan pemasangan tourniquet proksimal dari
tempat gigitan dan dapat diberikan pengenceran
epinefrin diberikan secara subkutan dan jika
diperlukan dapat diulang 1 – 2 kali dengan interval
waktu 20 menit. Epinefrin juga dapat diberikan
secara intramuskular jika syok lebih berat. Jika pasien
mengalami hipotensi maka diberikan injeksi
intravena. Untuk gatal dapat diberikan injeksi
antihistamin seperti kloremfenikol 10 mg atau
definhidramin 50 mg. pasien dengan reaksi berat
dapat diberikan kortekosteroid sistemik.
d. Gigitan binatang laut
Pertolongan Pertama Pada Sengatan hewan laut.
Perawatan pada sengatan hewa laut bervariasi
tergantung pada jenis gigitan atau sengatan. Tapi
beberapa aturan umum yang berlaku untuk
penanganan sengatan hewan laut:
1) Jangan biarkan korban latihan, karena hal ini dapat
menyebarkan racun, kecuali dokter memerintahkan.
2) Jangan memberi obat apapun.
3) Air tawar sering memperburuk racun, sehingga bilas
luka hanya dengan air laut.
4) Jika Anda
menghapus sebuah stinger, pakailah sarung tangan.
5) Gunakan handuk untuk menyeka
tentakel liar atau sengatan.
G. Pemeriksaan Penunjang Gigitan Serangga dan Binatang
1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pungsi lumbal : menganalisis cairan
serebrovaskuler 
b) Hitung darah lengkap :  mengevaluasi trombosit
dan hematokrit
c) Panel elektrolit
d) Skrining toksik dari serum dan urin
e) GDA
1) Glukosa Darah: Hipoglikemia
merupakan predisposisi kejang (N < 200mq/dl)
2) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi ke
jang dan merupakan indikasi nepro toksik
akibat dari pemberian obat.
3) Elektrolit : K, Na
4) Ketidakseimbangan
elektrolit merupakan predisposisi kejange.
5) Kalium ( N 3,8 – 5,00 meq/dl )
6) Natrium ( N 135 –144 meq/dl)
2) Pemeriksaan Radiologi
a) Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk
membantu menetapkan jenis danfokus dari
kejang.
b) Pemindaian CT: menggunakan kajian sinar X yang
lebih sensitif dri biasanyauntuk mendeteksi
perbedaan kerapatan jaringan.
c) Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan
bayangan denganmenggunakan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna
untukmemperlihatkan daerah – daerah otak yang
tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian
CT.
d) Pemindaian positron emission tomography
( PET ) : untuk mengevaluasi kejangyang
membandel dan membantu menetapkan lokasi
lesi, perubahan metabolikatau aliran darah dalam
otake. Uji laboratorium
b. Gigitan ular
1) Pemeriksaan Laboratorium :
a) Hemoglobin (Hb): dapat menurun akibat adanya perdarahan
(Normal:13,2 – 17,3 g/dL)
b) Leukosit : dapat meningkat ataupun menurun karena terjadinya
infeksi dalam tubuh (Normal :3,8 – 10,6 g/dL )
c) Trombosit : untuk mengetahui zat pembekuan darah (Normal:
150 – 400 g/dL)
d) Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin
e) Fibrinogen :untuk mengetahui adanya kelainan pembekuan
darah, mengetahui adanya resiko pembekuan darah dan
mengetahui adanya gangguan fungsi hati
f) Uji Faal Hepar : untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan
pada faal hati atau sel hati.
g) Pemeriksaan urin untuk mengetahui apakah terjadi hematuria,
glikosuria dan proteinuria
2) Pemeriksaan Radiologi
Radiografi untuk mengetahui apakah terjadi edema pulmoner dan
mencari taring ular yang tertinggal.
3) Elektrocardiogram (EKG) untuk mengetahui apakah terdapat
gangguan pada sistem kerja jantung.
b. Gigitan serangga
Dari gambaran histopatologis pada fase akut
didapatkan adanya edema antara sel-sel epidermis,
spongiosis, parakeratosis serta sebukan sel
polimorfonuklear. Infiltrat dapat berupa eosinofil,
neutrofil, limfosit dan histiosit. Pada dermis ditemukan
pelebaran ujung pembuluh darah dan sebukan sel
radang akut. Pemeriksaan pembantu lainnya yakni
dengan pemeriksaan laboratorium dimana terjadi
peningkatan jumlah eosinofil dalam pemeriksaan darah.
Dapat juga dilakukan tes tusuk dengan alergen
tersangka. 

H. Komplikasi Gigitan Serangga dan Binatang


1. Gigitan binatang darat
a. Hewan tersangka rabies
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa
peningkatan tekanan intrakranial, kelainan pada hipotalamus berupa
diabetes insipidus (gangguan dalam metabolisme air), sindrom
abnormalitas hormon artidimetik (SAHAD), disfungsi otonomik yang
menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia/hipotermia, aritmia dan
henti jantung. Kejang dapat lokal maupun general dan sering bersamaan
dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodormal sering
terjadi komplikasi berupa hiperventilasi dan alkalosis respiratorik
b. Gigitan ular
1) Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah suatu keadaan akut dimana tubuh
kehilangan cairan tubuh, cairan ini dapat berupa darah, plasma, dan
elektrolit.
2) Edema paru
Edema paru adalah suatu kondisi yang ditandai dengan gejala sulit
bernafas akibat terjadi penumpukan cairan didalam kantong paru –
paru.
3) Kematian
4) Gagal napas
c. Gigitan serangga
1) Folikulitis , peradangan yang terjadi pada folikel
rambut atau tempat rambut tumbuh yang biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri.
2) selulitis adalah infeksi umum pada kulit dan jaringan
lunak di bawah kulit.
3) Limfangitis, peradangan (pembengkakan) pada
pembuluh limfatik.

II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1) Pengkajian Primer
Pengkajian primer atau Primary Survey ialah suatu pengkajian yang
menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi
dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan.
Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain:

1. Pengkajian Airway
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara
lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat
berbicara atau bernafas dengan bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
1) Adanya snoring atau gurgling
2) Stridor atau suara napas tidak normal
3) Agitasi (hipoksia)
4) Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
5) Sianosis
c. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian
atas dan potensial penyebab obstruksi :
1) Muntahan
2) Perdarahan
3) Gigi lepas atau hilang
4) Gigi palsu
5) Trauma wajah
d. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas
pasien terbuka.
e. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada
pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
f. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas
pasien sesuai indikasi :
1) Chin lift/jaw thrust
2) Lakukan suction (jika tersedia)
3) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway,
Laryngeal Mask Airway
4) Lakukan intubasi

2. Pengkajian Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan
pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan
ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien
antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
1) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah
ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating
injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
2) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling
iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk
diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
3) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada
pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
1) Pemberian terapi oksigen
2) Bag-Valve Masker
3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

3. Pengkajian Circulation
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien,
antara lain :
a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
b. Lihat apakah ada tanda-tanda syok
c. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk
digunakan.
d. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung.
e. Palpasi nadi radial jika diperlukan:
1) Menentukan ada atau tidaknya
2) Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
3) Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
4) Regularity
f. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi
atau hipoksia (capillary refill).
g. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

4. Pengkajian Disability
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala
AVPU :
a. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya
mematuhi perintah yang diberikan
b. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara
yang tidak bias dimengerti
c. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai
jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal
untuk merespon)
d. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik
stimulus nyeri maupun stimulus verbal.
Selain dengan AVPU, pengkajian disability juga dapat dilakukan
dengan pemeriksaan GCS yang meliputi Eyes, Motorik, dan Verbal
pasien, serta melakukan pemeriksaan pada Pupil pasien.

5. Pengkajian Exposure
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien.
Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang,
imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika
melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan
pemeriksaan ulang.
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
a. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada
pasien
b. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam
nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada
pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

2) Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder atau Secondary Survey ialah pengkajian yang
dilakukan ketika kondisi pasien telah stabil. Pengkajian sekunder
meliputi: riwayat penyakit pasien atau moment of incident, pengkajian
nyeri (PQRST), pemeriksaan fisik head to toe, pemeriksaan penunjang
dan lain sebagainya.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien
yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat
pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang,
riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. Identitas pasien
dan identitas penanggung jawab juga disertakan dalam tahap ini.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang bisa didapat
dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-
obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,
dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Selain itu, pasien dengan trauma abdomen akan merasakan nyeri pada
bagian abdomen sehingga diperlukan adanya pengkajian nyeri dengan
format PQRST.

2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Kesadaran komposmestis, gelisah, dan lelah.
GCS : Verbal: …. Psikomotor: ….. Mata: …..
Tanda-Tanda Vital : TD ….. Nadi …. Suhu …. RR….

2) Pemeriksaan Fisik
a. Kepala dan
Pengkajian melalui inspeksi dan palpasi pada daerah kepala dan kulit
kepala pasien. Apakah ada luka atau tidak, ada benjolan atau tidak.
b. Mata
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi konjungtiva, pupil dan sklera apakah ada nyeri tekan atau tidak.
c. Hidung
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan,
kondisi bulu hidung dan apakah ada nyeri tekan atau tidak
d. Telinga
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kesimetrisan, apakah
ada benjola atau tidak.
e. Mulut
Pengkajian dengan inspeksi dan palpasi, mengenai kondisi daerah
mulut apakah ada stomatitis, bau mulut, kondisi mukosa bibir, dan lain
sebagainya.
f. Leher dan vertebrae servikalis
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi
trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi
segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi.
Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..

g. Thorax
Pada trauma thorax, pemeriksaan fisik yang dilakukan, yaitu:
melakukan Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005). Kemudian lakukan palpasi
seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Setelah itu lakukan perkusi untuk
mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan. Kemudian
melakukan auskultasi untuk mengetahui suara nafas tambahan (apakah
ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction
rub).

h. Abdomen
Dilakukan pemeriksaan inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi untuk
mengetahui apakah ada gangguan atau tidak pada abdomen
i. Ekstremitas
Periksa ektremitas apakah ada luka atau tidak, apakah ada nyeri tekan
atau tidak, periksa CRT.
3. Analisa Data
Disesuaikan dengan data yang diperoleh dari klien.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
ditandai dengan dyspnea, penggunaan otot bantu pernapasan, pola
napas abnormal, dan pernapasan pursed lip
2. Penurunan curah jantung ditandai dengan perubahan afterload ditandai
dengan dyspnea, tekanan darah menurun, warna kulit pucat, nadi teraba
lemah
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik ditandai dengan
pasien mengeluh nyeri, pasien tampak meringis, pasien tampak gelisah,
pola napas berubah, dan frekuensi nadi meningkat
4. Hipertermia berhubungan dengan respon trauma ditandai dengan suhu
tubuh diatas normal, kulih merah, kulit teraba hangat, kejang
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sirkulasi
ditandai dengan kerusakan lapisan kulit, nyeri, kemerahan, hematoma
6. Risiko Syok dibuktikan dengan hipotensi
7. Risiko infeksi dibuktikan dengan kerusakan integritas kulit.
C. Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo T. 2017. Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta: Gaya Baru
Brunner. 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC
Feby & Yeni. 2018. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gigitan Binatang.
Pati : AKB
Kasihsa, Sondi. 2013. Askep Gadar Gigitan Binatang. Tersedia pada
https://id.scribd.com/doc/172297625/Askep-Gadar-Gigitan-Binatang
diakses pada 13 maret 2020
Lia. 2014. Konsep Kegawatdaruratan Pada Pasien dengan Gigitan Serangga.
Tersedia pada https://id.scribd.com/doc/224790465/Konsep-
Kegawatdaruratan-pada-Pasien-Dengan-Gigitan-Serangga diakses
pada 13 Maret 2020
Ardi. 2015. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Keracunan dan Gigitan
Binatang. Tersedia pada
https://www.academia.edu/36803881/ASUHAN_KEPERAWATAN_
PADA_KLIEN_DENGAN_KERACUNAN_DAN_GIGITAN_BINA
TANG diakses pada 13 Maret 2020
Lynda Juall Carpernito. 2017. Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi
Keperawatan. Jakarta; EGC
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indosensia
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
edisi 1. Jakarta Selatan; DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai