Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

TINJAUAN TEORI

1.1 Konsep Dasar Ileus Obstruktif


Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik adalah keadaan dimana isi
lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya
sumbatan/hambatan mekanik yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu
segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut (Guyton, 2005).
Ileus obstruktif adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan
penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus
(Sabara, 2007).

1.2 Etiologi
Menurut etiologinya, maka ileus obstruktif dibagi menjadi 3 :
1.2.1 Lesi ekstrinsik (ekstraluminal) yaitu yang disebabkan oleh adhesi
(postoperative), hernia (inguinal, femoral, umbilical), neoplasma
(karsinoma), dan abses intraabdominal.
1.2.2 Lesi intrinsik yaitu di dalam dinding usus, biasanya terjadi karena
kelainan kongenital (malrotasi), inflamasi (Chrons disease,
diverticulitis), neoplasma, traumatik, dan intususepsi.
1.2.3 Obstruksi menutup (intaluminal) yaitu penyebabnya dapat berada di
dalam usus, misalnya benda asing, batu empedu.
Penyebab terjadinya ileus obstruksi pada usus halus antara lain (Manif,
2008):
1. Hernia inkarserata
Usus masuk dan ter jepit di dalam pintu hernia. Pada anak dapat dikelola
secara konservatif dengan posisi tidur Trendelenburg. Namun, jika percobaan
reduksi gaya berat ini tidak berhasil dalam waktu 8 jam, harus diadakan
herniotomi segera.

a) Non hernia inkarserata, antara lain :


(a) Adhesi atau perlekatan usus
Di mana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus. Dapat berupa
perlengketan mungkin dalam bentuk tunggal maupun multiple, bisa setempat atau
luas. Umunya berasal dari rangsangan peritoneum akibat peritonitis setempat atau
umum. Ileus karena adhesi biasanya tidak disertai strangulasi.
(b) Invaginasi
Disebut juga intususepsi, sering ditemukan pada anak dan agak jarang pada
orang muda dan dewasa. Invaginasi pada anak sering bersifat idiopatik karena
tidak diketahui penyebabnya. Invaginasi umumnya berupa intususepsi ileosekal
yang masuk naik kekolon ascendens dan mungkin terus sampai keluar dar i
rektum. Hal ini dapat mengakibatkan nekrosis iskemik pada bagian usus yang
masuk dengan komplikasi perforasi dan peritonitis. Diagnosis invaginasi dapat
diduga atas pemeriksaan fisik, dandipastikan dengan pemeriksaan Rontgen
dengan pemberian enema barium.
(c) Askariasis
Cacing askaris hidup di usus halus bagian yeyunum, biasanya jumlahnya
puluhan hingga ratusan ekor. Obstruksi bisa terjadi di mana-mana di usus halus,
tetapi biasanya di ileum terminal yang merupakan tempat lumen paling sempit.
Obstruksi umumnya disebabkan oleh suatu gumpalan padat terdiri atas sisa
makanan dan puluhan ekor cacing yang mati atau hampir mati akibat pemberian
obat cacing. Segmen usus yang penuh dengan cacing berisiko tinggi untuk
mengalami volvulus, strangulasi, dan perforasi.
(d) Volvulus
Merupakan suatu keadaan di mana terjadi pemuntiran usus yang abnormal
dari segmen usus sepanjang aksis longitudinal usus sendiri, maupun pemuntiran
terhadap aksis radiimesenterii sehingga pasase makanan terganggu. Pada usus
halus agak jarang ditemukan kasusnya. Kebanyakan volvulus didapat di bagian
ileum dan mudah mengalami strangulasi. Gambaran klinisnya berupa gambaran
ileus obstruksi tinggi dengan atau tanpa gejala dan tanda strangulasi.
(e) Tumor
Tumor usus halus agak jarang menyebabkan obstruksi usus, kecuali jika ia
menimbulkan invaginasi. Proses keganasan, terutama karsinoma ovarium dan
karsinoma kolon, dapat menyebabkan obstruksi usus. Hal ini terutama disebabkan
oleh kumpulan metastasis di peritoneum atau di mesenterium yang menekan usus.
(f) Batu empedu yang masuk ke ileus.
Inflamasi yang berat dari kantong empedu menyebabkan fistul dari saluran
empedu keduodenum atau usus halus yang menyeb abkan batu empedu masuk ke
traktus gastrointestinal. Batu empedu yang besar dapat terjepit di usus halus,
umumnya pada bagian ileum terminal atau katup ileocaecal yang menyebabkan
obstruksi. Penyebab obstruksi kolon yang paling sering ialah karsinoma, terutama
pada daerah rektosigmoid dan kolon kiri distal.
1.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan
menjadi, antara lain:
1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster
sampai ileumterminal).
2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum
terminal sampairectum).
Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan stadiumnya,
antara lain :
1. Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian
sehingga makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi
sedikit.
2. Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi/ sumbatan yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah),
antara lain karena atresia usus dan neoplasma
3. Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren. Seperti hernia strangulasi, intususepsi,
adhesi, dan volvulus. (Manif, 2008)
4. Patofisiologi
Predisposisi sistemik, meliputi: sepsis, obat-obatan, gangguan elektrolit dan metabolik, infarkmiokard, pneumonia, trauma, biller dan ginjal kolik, cedera kepala dan pr
Predisposisi pascaoperatif bedah abdominal

Obstruksi menjadi tempat perkembangan bakteri sehingga terjadi akumulasi ga


Tersumbatnya lumen usus
Akumulasi gas dan cairan di dalam lumen (70% dari gas yang tertela

Ileus obstruktif

Ketidakmampuan
Respons
absorpsi
psikologis
air misinterpretasi
Hilangnya
perawatan
kemampuan
dan pengobatan
intestinal dalam pasase
Responsmaterial
lokal saraf
feses
terhadap inflamasi
Gangguan gastroint

Penurunan intake cairan Distensi Abdomen Mual, muntah, kembung


Kecemasan pemenuhan informasi Konstipasi
Nyeri
Risiko ketidakseimbangan cairan Asupan nutrisi tidak a

Kehilangan cairan dan elektrolit nutrisi kurang


Ketidakseimbangan
Penurunan volume cairanRisiko tinggi syok hipovolemik
(Muttaqin, 2011)
Risiko Ketidakseimbangan cairan elektrolit
1.4 Manifestasi Klinis
a) Nyeri tekan pada abdomen.
b) Muntah.
c) Konstipasi (sulit BAB).
d) Distensi abdomen.
e) BAB darah dan lendir tapi tidak ada feces dan flatus
1.5 Pemeriksaan Penunjang
a) HB (hemoglobin), PCV (volume sel yang ditempati sel darah merah) :
meningkat akibat dehidrasi
b) Leukosit : normal atau sedikit meningkat ureum + elektrolit, ureum meningkat,
Na+ dan Cl- rendah.
c) Rontgen toraks : diafragma meninggi akibat distensi abdomen
Usus halus (lengkung sentral, distribusi nonanatomis, bayangan valvula
connives melintasi seluruh lebar usus) atau obstruksi besar (distribusi
perifer/bayangan haustra tidak terlihat di seluruh lebar usus)
Mencari penyebab (pola khas dari volvulus, hernia, dll)
d) Enema kontras tunggal (pemeriksaan radiografi menggunakan suspensi barium
sulfat sebagai media kontras pada usus besar) : untuk melihat tempat dan
penyebab.
e) Foto polos Abdomen
Untuk mendeteksi adanya dilatasi gas berlebihan dari usus kecil dan usus
besar
Berisikan peleburan udara halus atau usus besar dengan gambaran anak
tangga dan air fluid level.
Penggunaan kontras dikontraindikasikan adanya perforasi-peritonitis.
Barium enema diindikasikan untuk invaginasi.

f) Endoscopy, disarankan pada kecurigaan volvulus.


1.6 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengansendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan
oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit.
(Sjamsuhidajat, 2003).
1.6.1 Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan
mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan
juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Setelah
keadaanoptimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial atau
karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif (Sari, 2005;
Sjamsuhidajat, 2003).
1.6.2 Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah pembedahan
sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :-Strangulasi- Obstruksi lengkap-
Hernia inkarserata-Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan
pemasangan NGT, infus,oksigen dan kateter) (Sari, 2005; Sjamsuhidajat, 2003).
1.6.3 Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit.Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori
yang cukup. Perlu diingat bahwa pasca bedah usus pasien masih dalam keadaan
paralitik (Sari, 2005; Sjamsuhidajat, 2003).

1.7 Komplikasi
1. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.

2. Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada organ intra
abdomen.

3. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan
cepat.

4. Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.


(Brunner and Suddarth, 2001, hal 1122).
1.8 Asuhan Keperawatan Teori
1.1.8 Pengkajian
1) Identitas
5. Nama, umur, alamat, pekerjaan, status perkawinan (Umumnya terjadi pada
semua umur, terutama dewasa laki laki maupun perempuan)
2) Keluhan Utama
6. Nyeri pada perut
3) Riwayat Penyakit Sekarang
7. Mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan,
dikaji dengan menggunakan pendekatan PQRST;
8. P : Apa yang menyebabkan timbulnya keluhan.
9. Q :Bagaiman keluhan dirasakan oleh klien, apakah hilang, timbul atau
terus-menerus.
10. R : Di daerah mana gejala dirasakan
11. S : Seberapa keparahan yang dirasakan klien dengan memakai skala
numeric 1 s/d 10.
12. T :Kapan keluhan timbul, sekaligus factor yang memperberat dan
memperingan keluhan.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
13. Biasanya klien sebelumnya menderita penyakit hernia,
divertikulum.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
14. Ada keluarga dengan riwayat atresia illeum dan yeyenum.
6) Activity Daily Life
a. Nutrisi
15. Nutrisi terganggu karena adanya mual dan muntah
a. Eliminasi
16. Klien mengalami konstipasi dan tidak bisa flatus karena peristaltik
usus menurun/ berhenti.
a. Istirahat
17. Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan muntah.
18.
19.
a. Aktivitas
20. Badan lemah dan klien dianjurkan untuk istirahat dengan tirah
baring sehingga terjadi keterbatasan aktivitas.
a. Personal Hygiene
21. Klien tidak mampu merawat dirinya.
a. Pemeriksaan fisik
7. Keadaan umum:
22. Lemah, kesadaran menurun sampai syok hipovolemia suhu
0
meningkat (39 C), pernapasan meningkat(24x/mnt), nadi
meningkat(110x/mnt) tekanan darah(130/90 mmHg)
8. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
23. Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan. Pengkajian terhadap
terjadinya takipnoe, pernapasan dangkal.
B2 (Blood)
24. Pengkajian terhadap sirkulasi klien seperti terjadinya takikardia
dan kelainan fungsi jantung.
B3 (Brain)
25. Mengkaji tingkat kesadaran pasien, setelah sebelumnya diperlukan
pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah klien berada dalam keadaan
compos mentis, somnolen atau koma. Selain itu fungsi sensorik juga
perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan
pengecapan.
B4 (Bladder)
26. Pengukuran volume output urin dilakukan dalam hubungannya
dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor ada
tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.
B5 (Bowel)
27. Mengkaji distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan,
penurunan atau tidak ada bising usus. Nyeri abdomen sekitar epigastrium
dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.
Burney. Berat badan sebagai indikator untuk menentukan pemberian
obat.
B6 (Bone)
28. Hal yang perlu diperhatikan adalahada tidaknya kesulitan dalam
bergerak, sakit pada tulang / sendi, feel pada kedua ekstremitas untuk
mengetahui tingkat perfusi perifer, serta dengan pemeriksaan Capillary
Refill Time.

1.8.2 Diagnosa Keperawatan


29. Adapun diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien
dengan ileus obstruksi adalah sebagai berikut : (Doenges, M.E. 2001 dan Wong
D.L)
1. Nyeri b/d distensi abdomen dan adanya selang Nasogastrik tube/ usus.
2. Kekurangan volume cairan b/d output berlebihan, mual dan muntah
3.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrisi.
4.Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
b/d kurangnya pemanjanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi,
tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.
1.8.3 Rencana Keperawatan
30. Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi. Beberapa komponen yang perlu
diperhatikan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan meliputi menentukan
prioritas, menentukan kriteria hasil, menentukan rencana tindakan dan
dokumentasi (Nursalam, 2001, hal 52) Adapun renana tindakan dari diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien dengan obstruksi usus antara lain:
1. Nyeri b/d distensi abdomen dan adanya selang Nasogastrik tube/ usus.
31. Tujuan: Nyeri hilang/terkontrol, menunjukkan rileks.
32. Kriteria hasil :
Nyeri berkurang sampai hilang.
Ekspresi wajah rileks.
TTV dalam batas normal.
Skala nyeri 3-0.

33. Intervensi:

a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10) dan faktor
pemberat/penghilang.

34. Rasional: Nyeri distensi abdomen, dan mual. Membiarkan pasien


rentang ketidaknyamanannya sendiri membantu mengidentifikasi intervensi
yang tepat dan mengevaluasi keefektifan analgesia.

b. Pantau tanda-tanda vital.


35. Rasional: Respon autonomik meliputi perubahan pada TD, nadi
dan pernafasan, yang berhubungan dengan keluhan/penghilangan energi.
Abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lanjut.

c. Memberikan tindakan kenyamanan. Mis: gosokan punggung, pembebatan


insisi selama perubahan posisi dan latihan batuk/bernafas; lingkungan tenang.
Anjurkan penggunaan bimbingan imajinasi, tehnik relaksasi. Berikan
aktivitas hiburan.

36. Rasional: Memberikan dukungan (fisik, emosional), menurunkan


tegangan otot, meningkatkan relaksasi, mengfokuskan ulang perhatian,
meningkatkan rasa kontrol dan kemampuan koping.

d. Palpasi kandung kemih terhadap distensi bila berkemih ditunda. Tingkatkan


privasi dan gunakan tindakan keperawatan untuk meningkatkan relaksasi bila
bila pasien berupaya untuk berkemih. Tempatkan pada posisi semi-fowler
atau berdiri sesuai kebutuhan.

37. Rasional: Faktor psikologis dan nyeri dapat meningkatkan


tegangan otot. Posisi tegak meningkatkan tekanan intra-abdomen, yang
dapat membantu dalam berkemih.
38.
39.
40.
41. Kolaborasi :
e. Berikan analgesik, narkotik, sesuai indikasi.

42. Rasional: Mengontrol/mengurangi nyeri untuk meningkatkan


istirahat dan meningkatkan kerjasama dengan aturan terapeutik.

f. Kateterisasi sesuai kebutuhan.

43. Rasional: Kateterisasi tunggal/multifel dapat digunakan untuk


mengosongkan kandung kemih sampai fungsinya kembali.
44. 2. Kekurangan volume cairan b/d output berlebihan, mual dan
muntah.

45. Tujuan: Volume cairan seimbang.

46. Kriteria hasil :

47. Klien mendapat cairan yang cukup untuk mengganti cairan


yang hilang.

48. Klien menunjukkan tanda-tanda hidrasi yang adekuat.

49. Intervensi:

1) Pantau tanda-tanda vital dengan sering, perhatikan peningkatan nadi,


perubahan TD, takipnea, dan ketakutan. Periksa balutan dan luka
dengan sering selama 24 jam pertama terhadap tanda-tanda darah merah
terang atau bengkak insisi berlebihan.

50. Rasional: Tanda-tanda awal hemoragi usus atau pembentukan


hematoma, yang dapat menyebabkan syok hipovolemik.

2) Palpasi nadi perifer, evaluasi pengisian kapiler, turgor kulit dan status
membran mukosa.

51. Rasional: Memberi informasi tentang volume sirkulasi umum dan


tingkat hidrasi.

3) Perhatikan adanya edema.

52. Rasional: Edema dapat terjadi kerena perpindahan cairan


berkenaan dengan penurunan kadar albumin serum/protein.

4) Pantau masukan dan haluaran, perhatikan haluaran urine, berat jenis,.


Kalkulasi keseimbangan 24 jam, dan timbang berat badan setiap hari.
53. Rasional: Indikator langsung dari hidrasi/perfusi organ dan fungsi.
Memberikan pedoman untuk penggantian cairan.

5) Perhatikan adanya/ukur distensi abdomen.

54. Rasional: Perpindahan cairan dari ruang vaskuler menurunkan


volume sirkulasi dan merusak perfusi ginjal.

6) Observasi/catat kuantitas, jumlah dan karakter drainase NGT. tes pH


sesuai indikasi. Anjurkan dan bantu dengan perubahan posisi sering.

55. Rasional: Haluaran cairan berlebihan dapat menyebabkan


ketidakseimbangan eletrolit dan alkalosis metabolik dengan
kehilangan lanjut kalium oleh ginjal yang berupaya untuk
mengkompensasi. Hiperasiditas, ditunjukkan oleh pH < 5, menunjukkan
pasien beresiko ulkus stres. Pengubahan posisi mencegah pembentukan
magenstrase di lambung, yang dapat menyalurkan cairan gastrik dan
udara melalui selang NGT ke dalam duodenum.

56. Kolaborasi:

7) Pertahankan potensi penghisap NGT/usus.

57. Rasional: Meningkatkan dekompresi usus untuk menurunkan


distensi/tekanan di garis jahitan dan menurunkan mual/muntah, yang
dapat menyertai anastesia,manipulasi usus atau kondisi yang
sebelumnya ada, mis: kanker.

58. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d


gangguan absorbsi nutrisi.

59. Tujuan: Berat badan stabil dan nutrisi teratasi.

60. Kriteria hasil :

61. Tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.


62. Berat badan stabil.

63. Pasien tidak mengalami mual muntah.

64. Intervensi:

i. Tinjau faktor-faktor individual yang mempengaruhi kemampuan untuk


mencerna makanan, mis: status puasa, mual, ileus paralitik setelah selang
dilepas.

65. Rasional: Mempengaruhi pilihan intervensi.

ii. Auskultasi bising usus; palpasi abdomen; catat pasase flatus.

66. Rasional: Menentukan kembalinya peristaltik (biasanya dalam 2-4


hari).

iii. Identifikasi kesukaan/ketidaksukaan diet dari pasien. Anjurkan pilihan


makanan tinggi protein dan vitamin C.

67. Rasional: Meningkatkan kerjasama pasien dengan aturan diet.


Protein/vitamin C adalah kontributor utuma untuk pemeliharaan jaringan
dan perbaikan. Malnutrisi adalah fator dalam menurunkan pertahanan
terhadap infeksi.

iv. Observasi terhadap terjadinya diare; makanan bau busuk dan berminyak.

68. Rasional: Sindrom malabsorbsi dapat terjadi setelah pembedahan


usus halus, memerlukan evaluasi lanjut dan perubahan diet, mis: diet rendah
serat.

69. Kolaborasi :

v. Berikan obat-obatan sesuai indikasi: Antimetik, mis: proklorperazin


(Compazine). Antasida dan inhibitor histamin, mis: simetidin (tagamet).
70. Rasional: Mencegah muntah. Menetralkan atau menurunkan
pembentukan asam untuk mencegah erosi mukosa dan kemungkinan
ulserasi.

71. 4. Kurang pengetahuan tentang kondisi/situasi, prognosi dan


kebutuhan pengobatan b/d kurangnya
pemanjanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi,
tidak mengenal sumber informasi, keterbatasan kognitif.

72. Tujuan: Menyatakan paham terhadap proses penyakitnya.

73. Kriteria hasil :

74. Klien dan keluarga mengetahui penyakit yang diderita

75. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar

76. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses pengobatan

77. Intervensi:

1) Diskusikan pentingnya masukan cairan adekuat dan kebutuhan diet.

78. Rasional: Meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi


usus.

2) Tinjau ulang perawatan selang gastrostomi bila pasien dipulangkan dengan


alat ini.

79. Rasional: Meningkatkan kemandirian dan meningkatkan


kemampuan perawatan diri.

3) Tinjau perawatan kulit disekitar selang.

80. Rasional: Membantu mencegah kerusakan kulit dan menurunkan


resiko infeksi.
4) Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medis, mis demam
menetap, bengkak, eritema, atau terbukanya tepi luka, perubahan karakteristik
drainase.

81. Rasional: Pengenalan dini dari komplikasi dan intervensi segera


dapat mencegah progresi situasi serius dan mengancam hidup.

5) Tinjau ulang keterbatasan/pembatasan aktivitas, mis: tidak mengangkat benda


berat selama 6-8 minggu dan menghindari latihan dan olahraga keras.

82. Rasional: Menurunkan resiko pembentukan hernia.

83.

84.

85.

86.

87.

88.

89.

90.

91.

92.

93.

94.

95.
96. 1.2 Konsep Laparatomi
97. Laparatomy merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan
suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen (Sjamsurihidayat
dan Jong, 1997). Ditambahkan pula bahwa laparatomi merupakan teknik sayatan
yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif
dan obgyn. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan tenik
insisi laparatomi ini adalah herniotomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi,
hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dfan
fistuloktomi. Sedangkan tindkan bedah obgyn yang sering dilakukan dengan
tindakan laoparatomi adalah berbagai jenis operasi pada uterus, operasi pada tuba
fallopi, dan operasi ovarium, yang meliputi hissterektomi, baik histerektomi total,
radikal, eksenterasi pelvic, salpingooferektomi bilateral.
98.
99. 1.2.1 Tujuan
100. Prosedur ini dapat direkomendasikan pada pasien yang mengalami
nyeri abdomen yang tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mengalami
trauma abdomen.
Laparatomy eksplorasi digunakan untuk mengetahui sumber nyeri atau akibat
trauma dan perbaikan bila diindikasikan.
101.
102. 1.2.2 Jenis Pembedahan
103. Ada 4 cara insisi pembedahan yang dilakukan, antara lain (Yunichrist,
2008):
a) Midline incision
104. Metode insisi yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan,
eksplorasi dapat lebih luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong
ligamen dan saraf. Namun demikian, kerugian jenis insis ini adalah terjadinya
hernia cikatrialis. Indikasinya pada eksplorasi gaster, pankreas, hepar, dan lien
serta di bawah umbilikus untuk eksplorasi ginekologis, rektosigmoid, dan organ
dalam pelvis.
b) Paramedian
105. yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5
cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis
operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah,
serta plenoktomi. Paramedian insicion memiliki keuntungan antara lain :
merupakan bentuk insisi anatomis dan fisiologis, tidak memotong ligamen dan
saraf, dan insisi mudah diperluas ke arah atas dan bawah
c) Transverse upper abdomen incision
106.yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan
splenektomy.
d) Transverse lower abdomen incision
107. yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas anterior
spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy.
108.
109. 1.2.3 Indikasi
110. 1.Trauma abdomen (tumpul atau tajam)
111. Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur
yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul
atau yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).
112. 2.Peritonitis
113. Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membrane serosa rongga
abdomen.
114. 3. Sumbatan pada usus halus dan besar (Obstruksi)
115. Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus
biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.
116. 4. Apendisitis mengacu pada radang apendiks
117. 5. Tumor abdomen
118. 6. Pancreatitis (inflammation of the pancreas)
119. 7. Abscesses (a localized area of infection)
120. 8. Adhesions (bands of scar tissue that form after trauma or surgery)
121. 9. Diverticulitis (inflammation of sac-like structures in the walls of the
intestines)
122. 10.Intestinal perforation
123. 11. Ectopic pregnancy (pregnancy occurring outside of the uterus)
124. 12. Foreign bodies (e.g., a bullet in a gunshot victim)
125. 13. Internal bleeding
126.
127. 2.9 POST OP LAPARATOMI
128. 2.9.1 Defenisi
129. Post op atau Post operatif Laparatomi merupakan tahapan setelah proses
pembedahan pada area abdomen (laparatomi) dilakukan. Dalam Perry dan Potter
(2005) dipaparkan bahwa tindakan post operatif dilakukan dalam 2 tahap yaitu
periode pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase post operatif.
Proses pemulihan tersebut membutuhkan perawatan post laparatomi. Perawatan
post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang di berikan kepadaklien
yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen.

2.9.2 Tujuan perawatan post laparatomi

1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.

2. Mempercepat penyembuhan.

3. Mengembalikan fungsi klien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.

4. Mempertahankan konsep diri klien.

5. Mempersiapkan klien pulang.


130.
131. 2.9.3 Manifestasi Klinis
132. Manifestasi yang biasa timbul pada pasien post laparatomy diantaranya :
1. Nyeri tekan pada area sekitar insisi pembedahan
2. Dapat terjadi peningkatan respirasi, tekanan darah, dan nadi.
3. Kelemahan
4. Mual, muntah, anoreksia
5. Konstipas
133. 2.9.4Komplikasi
1. Syok
134. Digambarkan sebagai tidak memadainya oksigenasi selular yang
disertai dengan ketidakmampuan untuk mengekspresikan produk metabolisme.
2. Hemorrhagi
135.Manifestasi Klinis Hemorrhagi : Gelisah, , terus bergerak, merasa haus,
kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernafasan cepat dan dalam,
bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
3. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
136.Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan
otak.
4. Buruknya integriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
137.Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus,
mikroorganisme; gram positif. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan
dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari
batuk dan muntah.

138.

139.

140.

141.

142.

143.

144.
145.

146.

147.

148.

149.

150.

151.

152.

153.

154.

155.

156.

157. DAFTAR PUSTAKA

158. Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana


Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan pasien. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.

159. Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan


Klien Dengan Gangguan System
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta :
Salemba Medika.
160. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar :
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
161.

Anda mungkin juga menyukai