Disusun Oleh :
Verra Anindya Sistha Rossellyn, dr
Dokter Pendamping :
Hj. Sumarmi, dr.
2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. W
Usia : 48 th
Tanggal lahir : 10-10-1970
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Ciporang
No. RM : xx-xx-58-59
Tanggal masuk : 14 Januari 2019, pukul 11.00 WIB
Unit : Instalasi Gawat Darurat
2.2 ANAMNESIS
I. Keluhan Utama
Sesak nafas 3 jam SMRS
V. Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan obat pengontrol asma Seretide setiap hari.
b. Tanda Vital
TD : 130/80 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 32x/menit
Suhu : 36,5oC
SaO2 : 95%
c. Pemeriksaan Sistem
Paru
o Inspeksi : Gerakan dada kanan dan kiri simetris saat statis
dan dinamis, penggunaan otot bantu pernafasan
(+), retraksi dada sedang (+)
o Palpasi : Massa (-) , pelebaran sela iga (-), vokal fremitus
sama di kedua lapang
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesikular (+/+), wheezing (+/+) ekspirasi ±
insiprasi pada kedua lapangan paru, ronki (-/-).
Abdomen
o Inspeksi : Datar, spider navy (-)
o Palpasi : Supel pada seluruh kuadran abdomen, nyeri tekan
epigastritum (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar.
o Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
o Auskultasi : Bising usus (+)
2.5 RESUME
Seorang Perempuan, 48 tahun datang ke IGD RSUD 45 diantar oleh
keluarganya dengan keluhan sesak nafas tiba-tiba yang dirasakan sejak 3 jam
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus, menetap, semakin lama semakin memberat
dan tidak mengalami perbaikan dengan istirahat, dan sesak tidak terdengar bunyi
mengi. Sesak dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien
merasakan sesak nafas lebih berat dalam keadaan berbaring. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berat saat serangan sesak datang. Pasien kesulitan
berbicara dan hanya bisa berbicara sepenggal kata. Lemas dijumpai. Sejak 2 hari
SMRS pasien mengeluhkan batuk pilek, berdahak dan berwarna putih. Riwayat
batuk pilek jika terpapar udara dingin, debu dan kecapean kemudian dilanjutkan
dengan munculnya sesak (+). Keluhan sebelumnya tidak pernah seberat ini.
Dari hasil pemeriksaan fisik, dijumpai adanya obesitas, takipneu, saturasi
oksigen 95%, penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dada sedang, dan
terdengar suara wheezing ekspiratori ± inspiratori pada kedua lapangan paru. Tidak
dijumpai adanya sianosis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, semua dalam batas
normal.
2.7 PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Posisi semi fowler
- Edukasi pasien
b. Medikamentosa
- O2 masker nrm 4-6 liter/menit
- IVFD Ringer Lactat per 24 jam
- Nebulisasi Ventolin (bisa diulang tiap 20 menit, maksimal 3 kali)
- Nebulisasi Fluticasone Propionate (Flexotide)
- Injeksi Metilprednisolon 3x125 mg
- Terapi pemeliharaan
o Nebulisasi Ventolin tiap 6 jam
o Nebulisasi Flexotide tiap 8 jam
2.8 PROGNOSIS
2.9 FOLLOW UP
P: - Rawat jalan
3.1 Definisi
3.2 Klasifikasi
1. Faktor genetik
a. Hiperaktivitas
b. Atopi atau alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur, dll)
b. Alergen diluar ruangan (tepung sari, debu, dll)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (aspirin, NSAID, b-bloker, dll)
e. Ekspresi emosi berlebih
f. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
g. Polusi udara di luar dan didalam rumah
h. Exercised induced asthma , mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
i. Perubahahan cuaca
3.4 Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi
dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari
perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper
(Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis,
measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga
keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi
IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu
kucing.7
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4.
Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi
sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi
udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.8
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil.
Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat
ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan
sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam
perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES).9
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi
dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel
dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi
antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan
tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan
leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke
sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami
migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis
(Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel
di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili
immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion molecule
(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.10
Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke
saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti
RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag
inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil
teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein
granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh
IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang
persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran
napas dapat dilihat pada gambar di bawah.
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada
saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian
respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan
oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas
dan peningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis
alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin
dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot
polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh
eosinophil.13
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan
mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien
mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan
patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai
kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan
leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien
pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada
penderita rinitis dan asma.9
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah
masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama
dan berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat
meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi
matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama.
Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel
maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene.9
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan
menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk
mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses
fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada
proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada
rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor
dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan
fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang
mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan
syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan
mediator lipid.14
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan
angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan
oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin
tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast.14
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor
(FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi
sel epitel, sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά.14
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan
paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan
lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi,
mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses
inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan
epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah
terpajan antigen.9
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal
epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma
lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah
menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator
lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal
tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran
napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi
inflamasi yang lebih lama.9
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos
saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses
autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat
terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas
dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2
(PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun
bronkodilatasi.9
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan
alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan
mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang
menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi
dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal
tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan
asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal
tanda dan gejala rinitis alergi dan asma.9
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons
terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek
langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap
berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel
yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu
menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel
(sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin
(antagonisme).15
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering
pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang
menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan
efek yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan
menunjukkan hasil nyata karena ada kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat
sitokin dapat dilihat pada gambar 8.16
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang
lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur
ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin
terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran.
Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi
gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan
kadang proliferasi sel sasaran.15
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan
growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh
komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.
Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai.16
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α)
dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal
growth factor.
3.5 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara
ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis
asma:4
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya: 4
1. Usia 6-11 tahun
Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
Inhalasi benda asing
Bronkiektasis
Diskinesia silier primer
Penyakit jantung kongenital
Displasia bronkopulmoner
Kistik fibrosis
2. Usia 12-39 tahun
Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
Disfungsi pita suara
Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
Bronkiektasis
Kistik fibrosis
Penyakit jantung kongenital
Defisiensi alfa-1 antitripsin
Inhalasi benda asing
3. Usia 40 tahun ke atas
Disfungsi pita suara
Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
PPOK
Bronkiektasis
Gagal jantung
Batuk terkait obat
Penyakit parenkim paru
Embolisme pulmonary
Obstruksi saluran nafas sentral
3.9 Tatalaksana
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma
eksaserbasi akut: 4
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi
paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis
pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut”
sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali,
dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko
kematian akibat asma:
Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan
intubasi dan ventilasi
Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12
bulan terakhir
Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih
dari 1 canister/bulan
Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis,
melalui tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan
tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit.
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat
asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.
Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral,
dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
(pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya :
Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat
sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi
paru, sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan
terapi oksigen
Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid
sistemik jika diperlukan
Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan
pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan
tiap 1 jam
Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status
klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan
kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah
Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis
dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai
penggunaan sebutuhnya.
Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan
Pertama4
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut
(IGD) 4
Tabel 8. Tatalaksana pengobatan asma eksaserbasi
Ringan dan Sedang Berat
Short acting beta2-agonist Short acting beta2-agonist
Pertimbangkan Ipratropium bromide Ipratropium bromide
Kontrol O2 untuk menjaga saturasi Kontrol O2 untuk menjaga
93-95% saturasi 93-95% (anak-anak 94-
Kortikosteroid oral 98%)
Kortikosteroid oral atau IV
Pertimbangkan magnesium IV
Pertimbangkan dosis tinggi ICS
Tatalaksana di IGD
Oxygen
Oksigen yang digunakan adalah dalam bentuk nasal kanul atau masker, saturasi
yang harus dicapai adalah 93-95% untuk dewasa dan 94-98% untuk anak-anak usia
6-11 tahun. Pada eksaserbasi yang berat, kontrol laju oksigen dengan menggunakan
oksimetri untuk menjaga agar saturasi tetap 93-95%.
Kortikosteorid sistemik
Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi dari eksaserbasi dan mencegah
terjadinya relaps, dan harus diberikan kepada semua asma kecuali derajat ringan.
Jika memungkinkan, kortikosteroid harus diberikan pada pasien dalam 1 jam
kejadian.
Rute pemberian: pemberian oral sama efektifnya dengan pemberian IV.
Pemberian oral lebih dipilih karena lebi cepat, tidak invasif dan tidak mahal.
Untuk anak-anak, pemberian sediaan cairan lebih dipilih dibandingkan
tablet. OCS setidaknya butuh waktu minimal 4 jam untuk menghasilkan
perbaikan klinis. Pemberian IV bisa diberikan pada pasien yang terlalu
sesak dan sulit untuk menelan, atau pada pasien muntah, atau pasien yang
membutuhkan intubasi.
Dosis : prednisolon 50 mg (single dose), atau hydrokortison 200 mg dalam
dosis terbagi. Untuk anak-anak, dosis OCS berkisar 1-2 mg/kg maksimal 40
mg/hari
Duration : pemberian diberikan sekitar 5-7 hari pada orang dewasa. Dan 3-
5 hari untuk anak-anak
Kortikosteroid Inhalasi
Pada kasus gawat darurat, pemberian inhalasi kortikosteroid bisa diberikan pada
pasien yang tidak mendapatkan kortikosteroid sistemik.
Treatment lain
Ipratropium bromide
Pada asma eksaserbasi derajat sedang-berat, pemberian SABA dengan
ipratropium (antikolinergik) menyebabkan penrunan perawatan rumah sakit
dan memberikan perbaikan klinis pada PEF dan FEV1, dibandingkan hanya
dengan SABA saja. Pada anak yang dirawat karena asma akut, tidak ada efek
yang terlihat dari penambahan ipratropium ke SABA.
Magnesium
Pemberian magnesium sulfat IV tidak dianjurkan digunakan secara rutin pada
asma eksaserbasi, namun pemberian 2 g secara infus selama 20 menit dapat
menurunkan angka perawatan rumahsakit pasien, termasuk pada orang dewasa
dengan FEV1 <25-30%; dewasa dan anak-anak yang gagal respon terhadap
inisial treatment dan memiliki hipoksemia yang persisten; dan anak-anak
dengan FEV1 yang gagal mencapai 60% setelah 1 jam terapi. Namun pada
penelitian lain, pemberian magnesium sulfas tidak menunjukan manfaat pada
asma derata berat.
Pada pasien ini, terdapat faktor risiko berupa: (1) Paparan alergen. Pasien
sering mengalami batuk pilek apabila pasien terkena debu, cuaca yang dingin, atau
polusi udara. Dan jika pasien mengalami batuk pilek, biasanya akan diikuti dengan
sesak nafas. Faktor pencetus tersering dari terjadinya serangan adalah infeksi virus
atau alergen. Dan pada pasien ini kemungkinan faktor pencetus timbulnya serangan
asma adalah alergen. (2) ko-morbiditas, berupa obesitas dengan Indeks Masa Tubuh
(IMT) yaitu 27,34. Obesitas memiliki hubungan dengan terjadinya asma. Obesitas
menyebabkan terjadinya banyak mekanisme terhadap fisiologi paru yaitu
penginkatan kadar adipokines seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis
factor (TNF)-a, transforming griwth factor (TGF)-ß1, leptin dan adiponektin.
Terdapatnya polimorfisme genetik, pengaruh hormon seks tertentu, dan pola diet
pada penderita obesitas dibuktikan memiliki pengaruh terhadap asma. Terhadap
mekanisme paru obesitas dapat menurunkan sistem komplians paru, volume paru,
dan diameter saluran nafas perifer. Berbagai adipokines memicu respon inflamasi
sistemik yang berimplikasi terhadap inflamasi saluran napas, polimorfisme genetik
menyebabkan beberapa gen menghubungkan antara obesitas dan asma serta
sebaliknya. Pola diet pada pasien obesitas cenderung tinggi lemak dan rendah
antioksidan dan kadar vitamin yang dapat menyebabkan peningkatan gejala asma,
penurunan fungsi imunitas dan fungsi paru. Sehingga, penting untuk digarisbawahi
bahwa edukasi terhadap diet harus diberikan kepada pasien obesitas yang memiliki
asma.
Derajat serangan asma pada kasus ini, tergolong asma eksaserbasi serangan
ringan-sedang, seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini:
Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman
klinis, fungsi henti nafas
faal paru,
laboratorium
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi: Bayi: Bayi:
Menangis keras -Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
-Kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin iritabel Biasanya Biasanya Bingung
iritabel iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi ± stetoskop
Inspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradok
respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hila
retraksi ditambah ditambah nafas ng
interkostal retraksi cupis hidung
suprasternal
Frekuensi nafas Takipneu Takipneu Takipneu Bradipneu
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradiakrdi
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
paradoksus tanda
kelelahan
otot
respiratorik
SaO2 >95% 91-95% <91%
PaO2 Normal >60 mmhg <60 mmhg
PaCO2 <45 mmhg <45 mmhg >45 mmhg
PEFR atau
FEV1 >60% 40-60% <40%
Pra bronko >80% 60-80% <60% respon
Pasca bronko <2 jam
Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan uji faal paru, dimana
seharusnya terdapat penurunan PEF/FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dipercaya dibandingkan dengan derajat gejala. Pasien juga tidak
dilakukan pemeriksaan AGDA yaitu PaO2 dan PaCO2. Biasanya pada awal
serangan, untuk mengkompensasi keadaan hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga
kadar paCO2 akan turun serta terjadi alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada
obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi
alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu
jika dijumpai kadar paCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam
rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal
nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokntriksi pulmonal, namun jarang menyebabkan cor pulmonale. Hipoksia dan
vasokntriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkuang atau
tidak ada, sehingga meningkatkan risiko terjadinya ateletaksis.
Terapi tatalaksana eksaserbasi berdasarkan dari GINA 2018 meliputi: (1)
Oksigen, oksigen diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen berada pada
nilai 93-95%, baik pada derajat apapun. Penggunaan masker diberikan pada kondisi
eksaserbasi derajat berat, (2) SABA, penggunaan SABA boleh secara nebulisasi
atau dengan menggunaan MDI+spacer¸ namun yang lebih efektif dan efisien adalah
dengan menggunaan MDI spacer, pada beberapa literatur, ada yang mengatakan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan MDI spacer ataupun
nebulisasi. Namun ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terdapat
penurunan angka rawat rumah sakit jika menggunakan nebulisasi. Salah satu
contoh penggunaan SABA adalah ventolin yang mengandung salbutamol. (3)
Kortikosteroid, kortikosteroid sistemik dapat digunakan untuk semua derajat asma,
kecuali asma dengan derajat ringan. Baik secara oral maupun IV, semua tergantung
kondisi pasien, apabila pasien masih bisa makan, maka obat dapat diberikan secara
oral. Selain itu, pemberian oral juga tidak invasif dan tidak mahal. Pemberian IV
diberikan apabila pasien terlalu sesak dan tidak bisa menelan, muntah, atau jika
pasien membutuhakn ventilasi/intubasi. . pada pasien ini diberikan terapi berupa:
1. O2 masker nrm 4-6 lpm
2. IVFD Ringer lactat /24 jam
3. Nebulisasi ventolin + Flexotide (bisa diulang tiap 20 menit,
maksimal 3 kali)
4. Injeksi metilprednisolon 3x125 mg
5. Terapi pemeliharaan
a. Nebulisasi ventolin per 6jam
b. Nebulisasi flexotide per 8 jam
BAB 5
KESIMPULAN