Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT SESSION

ASMA BRONKIALE EKSASERBASI SERANGAN


SEDANG-BERAT
Instalasi Gawat Darurat

Disusun Oleh :
Verra Anindya Sistha Rossellyn, dr

Dokter Pendamping :
Hj. Sumarmi, dr.

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi


masalah di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan
dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta
orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang
per tahun.1 Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data
yang serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun
terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma
pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat
darurat setiap tahunnya. 2
Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga
mencatat 225.000 orang meninggal karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, penyakit asma ditemukan sebesar
4% dari 222.000.000 total populasi nasional. Sementara itu, menurut RISKESDAS
tahun 2013, asma merupakan penyakit tidak menular (PTM) nomor satu di
Indonesia. Melihat epidemiologi asma saat ini, tenaga kesehatan perlu mempelajari
lebih dalam lagi tentang penyakit ini sesuai panduan terbaru.3
BAB 2
ILUSTRASI KASUS

2.1 IDENTITAS
Nama : Ny. W
Usia : 48 th
Tanggal lahir : 10-10-1970
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Alamat : Ciporang
No. RM : xx-xx-58-59
Tanggal masuk : 14 Januari 2019, pukul 11.00 WIB
Unit : Instalasi Gawat Darurat

2.2 ANAMNESIS
I. Keluhan Utama
Sesak nafas 3 jam SMRS

II. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD 45 Kuningan diantar oleh keluarganya dengan
keluhan sesak nafas tiba-tiba yang dirasakan sejak 3 jam SMRS. Sesak dirasakan
terus-menerus, menetap, semakin lama semakin memberat dan tidak mengalami
perbaikan dengan istirahat, dan sesak tidak terdengarbunyi mengi. Sesak dikatakan
lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien merasakan sesak nafas lebih berat
dalam keadaan berbaring. Pasien juga mengeluhkan dada terasa berat saat
serangan sesak datang. Pasien kesulitan berbicara dan hanya bisa berbicara
sepenggal kata. Lemas dijumpai.
Sebelum sesak nafas, pasien mengeluhkan batuk pilek yang dialami 2 hari
SMRS hingga sekarang. Batuk yang dirasakan berdahak, namun terkadang dahak
dirasakan susah untuk dikeluarkan. Dahak berwarna putih dan tidak terdapat
darah. Demam disangkal. Menggigil disangkal. Mual muntah disangkal. Nyeri
dada disangkal. Sering berkeringat ketika malam hari disangkal. Sesak disertai
kaki bengkak disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Pasien sering mengeluhkan batuk pilek apabila pasien terpapar terhadap udara
dingin, debu atau saat pasien kecapean, kemudian keluhan dilanjutkan dengan
munculnya sesak. Keluhan sesak ini sudah dialami beberapa kali sebelumnya sejak
pasien masih kecil, namun tidak pernah seberat ini.

III. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat penyakit asma (+), pasien mengalami serangan asma ± 2-3 kali
dalam sebulan, dan <1x dalam seminggu. Riwayat dermatitis atopi (-),
rinitis alergi (-).
 Riwayat DM (-), Hipertensi (-), Jantung (-), Stroke (-)

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


Terdapat keluhan yang sama pada anggota keluarga (Ibu) dengan gejala yang
sama dengan pasien.

V. Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan obat pengontrol asma Seretide setiap hari.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 160 cm
IMT : 27,34
Status Gizi : Obesitas

b. Tanda Vital
TD : 130/80 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 32x/menit
Suhu : 36,5oC
SaO2 : 95%

c. Pemeriksaan Sistem

Kepala :Normocefali, warna rambut hitam, penyebaran


rambut merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-), RC
(+/+), Ø 2mm=2mm
Hidung : Deviasi septum (-), Sekret (-/-), pernafasan cuping
hidung (-)
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, sekret (-/-), serumen
(-/-)
Mulut : Oral hygiene baik, oral trush -, gigi palsu -, faring
hiperemis -, tonsil T1/T1, Hipersalivasi (-), sianosis
(-)
Leher : Trakea di tengah, tiroid tidak teraba, JVP tidak
meningkat, pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
Toraks
Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula
sinistra
o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS linea midclavicula sinistra
o Perkusi
 Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
 Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
 Pinggang jantung : ICS II parasternalis sinistra.
o Auskultasi : BJ S1-S2 reguler normal, gallop (-), murmur (-)

Paru
o Inspeksi : Gerakan dada kanan dan kiri simetris saat statis
dan dinamis, penggunaan otot bantu pernafasan
(+), retraksi dada sedang (+)
o Palpasi : Massa (-) , pelebaran sela iga (-), vokal fremitus
sama di kedua lapang
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesikular (+/+), wheezing (+/+) ekspirasi ±
insiprasi pada kedua lapangan paru, ronki (-/-).

Abdomen
o Inspeksi : Datar, spider navy (-)
o Palpasi : Supel pada seluruh kuadran abdomen, nyeri tekan
epigastritum (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
teraba membesar.
o Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
o Auskultasi : Bising usus (+)

Ekstremitas : akral hangat (+), CRT < 2 detik, edema (-/-),

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium (14/01/2019)
Parameter Hasil Nilai rujukan
Darah Rutin
Hemoglobin 14,6 11,7-15,5
Hematokrit 43,8% 33-45
Leukosit 9,680 5.000-10.000
Trombosit 437.000 150.000-440.000
Eritrosit 4,30 3.80-5.20
Fungsi Hati
SGOT 27 <34
SGPT 35 <40
Fungsi Ginjal
Ureum Darah 25 20-40
Creatinin Darah 0,9 0,6-1,5
Diabetes
Gula Darah Sewaktu 120 70-140
Elektrolit Darah
Natrium 139 135-147
Kalium 4,2 3,1-5,1
Klorida 103 95-108

2.5 RESUME
Seorang Perempuan, 48 tahun datang ke IGD RSUD 45 diantar oleh
keluarganya dengan keluhan sesak nafas tiba-tiba yang dirasakan sejak 3 jam
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus, menetap, semakin lama semakin memberat
dan tidak mengalami perbaikan dengan istirahat, dan sesak tidak terdengar bunyi
mengi. Sesak dikatakan lebih baik bila dalam keadaan duduk dan pasien
merasakan sesak nafas lebih berat dalam keadaan berbaring. Pasien juga
mengeluhkan dada terasa berat saat serangan sesak datang. Pasien kesulitan
berbicara dan hanya bisa berbicara sepenggal kata. Lemas dijumpai. Sejak 2 hari
SMRS pasien mengeluhkan batuk pilek, berdahak dan berwarna putih. Riwayat
batuk pilek jika terpapar udara dingin, debu dan kecapean kemudian dilanjutkan
dengan munculnya sesak (+). Keluhan sebelumnya tidak pernah seberat ini.
Dari hasil pemeriksaan fisik, dijumpai adanya obesitas, takipneu, saturasi
oksigen 95%, penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi dada sedang, dan
terdengar suara wheezing ekspiratori ± inspiratori pada kedua lapangan paru. Tidak
dijumpai adanya sianosis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, semua dalam batas
normal.

2.6 DIAGNOSIS KERJA

- Asma bronkiale eksaserbasi serangan sedang-berat

2.7 PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
- Posisi semi fowler
- Edukasi pasien
b. Medikamentosa
- O2 masker nrm 4-6 liter/menit
- IVFD Ringer Lactat per 24 jam
- Nebulisasi Ventolin (bisa diulang tiap 20 menit, maksimal 3 kali)
- Nebulisasi Fluticasone Propionate (Flexotide)
- Injeksi Metilprednisolon 3x125 mg
- Terapi pemeliharaan
o Nebulisasi Ventolin tiap 6 jam
o Nebulisasi Flexotide tiap 8 jam

2.8 PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

2.9 FOLLOW UP

Tanggal Hasil Asesmen Pasien dan Pemberian Instruksi Dokter


Pelayanan
15 Januari S : Sesak (+) , lemas (+) Advice dr. Uun, Sp.P
2019 - O2 2-4 lpm nasal
O: Kesadaran : CM kanul
TD : 110/80 - IVFD RL /24 jam
HR : 92 x/menit - Metilprednisolon 3 x
RR : 28 x/menit 125 mg IV
Suhu : 36,6o C - Nebu ventolin /6 jam
SaO2 : 96% - Nebu flexotide /8
Paru: penggunaan otot bantu nafas jam
(<), retrasi sedang (<), wheezing (+/+)

A: Asma bronkial eksaserbasi serangan


ringan-berat

P: - Visit dr. Sp.P


16 Januari S : Sesak (<) , lemas (<) dr. Uun, Sp.P
2019 - O2 2-4 lpm nasal
O: Kesadaran : CM kanul
TD : 120/80 - IVFD RL /24 jam
HR : 88 x/menit - Metilprednisolon 3 x
RR : 24 x/menit 62,5 mg IV
Suhu : 36,5 Co
- Nebu ventolin /8 jam
SaO2 : 97% - Nebu flexotide /12
Paru: penggunaan otot bantu nafas (- jam
), retraksi (-) wheezing (-)

A: Asma bronkial eksaserbasi serangan


sedang-berat

P: - Visit dr. Sp.P

17 Januari S : Sesak (-) , lemas (-) Obat pulang dr. Uun,


2019 Sp.P
O: Kesadaran : CM - Meptin 3x50 mcg
TD : 120/80 tab PO
HR : 88 x/menit - MP 3x4 mg tab PO
RR : 20 x/menit - Seretide (untuk
Suhu : 36,5o C kontroler)
SaO2 : 98%
Paru: penggunaan otot bantu nafas (-
), retrasksi (-), wheezing (-)

A: Asma bronkial eksaserbasi serangan


sedang-berat

P: - Rawat jalan

Pasien pulang pukul 13.00 WIB


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan


nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, bersamaan dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang
bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya
olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral
pernapasan.4
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi)
asma yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang
signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan
hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan
dengan inflamasi jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada,
walapun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan
terapi. 4

3.2 Klasifikasi

Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.


Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe
asma. Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010;
Wenzel, 2012): 4,5,6
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis
alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien
tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas
eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap
terapi kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya
dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel
inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid
inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama kali
pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis
kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang
sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik

3.3 Faktor Risiko

Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor


genetik dan lingkungan:

1. Faktor genetik
a. Hiperaktivitas
b. Atopi atau alergi bronkus
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
d. Jenis kelamin
e. Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur, dll)
b. Alergen diluar ruangan (tepung sari, debu, dll)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (aspirin, NSAID, b-bloker, dll)
e. Ekspresi emosi berlebih
f. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
g. Polusi udara di luar dan didalam rumah
h. Exercised induced asthma , mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktifitas tertentu
i. Perubahahan cuaca

3.4 Patogenesis

1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi
dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari
perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper
(Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M. tuberkulosis,
measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan antibiotik. Ketiadaan
kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap. Sehingga
keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi
IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu
kucing.7
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2 dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4.
Sitokin ini dihasilkan oleh plasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasenta berhubungan dengan perubahan nutrisi
sehingga tidak terbentuk Th1, ini merupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40 tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi antara alergen dan polusi
udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi akan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan kecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.8
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil.
Setelah seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat
ke target sel. Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan
sel-sel tersebut di atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam
perkembangan, recruitment dan aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF),
kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES).9
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi
dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel
dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi
antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan
tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan
leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke
sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami
migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis
(Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel
di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili
immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion molecule
(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.10
Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke
saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti
RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag
inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil
teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein
granul untuk menciderai saluran napas. Survival eosinofil diperlama oleh
IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran napas yang
persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang proses inflamasi saluran
napas dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas

Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi


yang dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau
tanpa asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan
mengapa lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma
masih belum diketahui secara pasti.
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi
penting baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat
degranulasi sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah.
Sedangkan efek fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang
dimediasi oleh sel mast terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah,
akan menyebabkan obstruksi. Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas
bawah lebih berat dalam merespons inflamasi dibanding saluran napas atas.
Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga
perannya pada saluran napas atas dan bawah berbeda. Akibatnya efek
antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi daripada asma.9
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil
sirkulasi melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh
permukaan sel. Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang
aktivasi sel dengan melepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin dan kinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis
dan asma melalui pengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan
pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada reseptor otot polos.9
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.
Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan
rinorea. Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi
bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan
mengi.11 Gejala rinitis maupun asma yang timbul akibat terlepasnya
mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.

Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit


Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi
antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah,
respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat
diawali dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel
Th2CD4, selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-
CSF. Interleukin 5 dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi
eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor,
enzim elastase dan metaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά,
eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa
dan hiperreaktivitas bronkus.12
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid,
sitokin dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan
kemokin mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat. Untuk
lebih jelasnya peran dari masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil
dapat dilihat dalam gambar 6.
Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada
saluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian
respons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan
oleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas
dan peningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis
alergi dan asma dapat timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin
dari sel mast, limfosit T, sel epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot
polos. Kerusakan jaringan baik pada rinitis maupun asma dimediasi oleh
eosinophil.13
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan
mediator yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien
mempunyai banyak cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan
patofisiologi asma dan rinitis. Salah satunya adalah mempunyai
kemampuan menyebabkan atau meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus, permeabilitas pembuluh darah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting dalam menghasikan
leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien
pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada
penderita rinitis dan asma.9
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah
masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama
dan berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat
meningkatkan proses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi
matriks dan rangkaian utama saluran napas atas dan bawah adalah sama.
Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi pada endotel
maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene.9
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan
menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk
mendefinisikan secara pasti apakah airway remodelling merupakan proses
fisiologis, farmakologis atau anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada
proses remodeling asma alergi tetapi bukan merupakan proses analog pada
rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari perbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator lipid dan growth factor
dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus, menyebabkan
fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik yang
mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan
syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan
mediator lipid.14
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan
angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesis protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan
oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin
tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast.14
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor
(FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofil menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi
sel epitel, sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά.14
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan
paru adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan
lingkungan. Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi,
mediator dan sitokin tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses
inflamasi. Terdapat waktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan
epitel yang lebih lama pada saluran napas bawah dibanding atas setelah
terpajan antigen.9
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal
epithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma
lebih sering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah
menghasilkan zat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator
lipid, endotelin dan sitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal
tersebut tidak terjadi pada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran
napas bawah yang lebih besar daripada atas akan menyebabkan durasi
inflamasi yang lebih lama.9
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos
saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses
autokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat
terdapat perbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas
dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2
(PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun
bronkodilatasi.9
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan
alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan
mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang
menghasilkan efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru.23 Jadi
dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal
tipe dan peran sel efektor dan mediator dalam patogenesis rinitis alergi dan
asma. Hal tersebut akan menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal
tanda dan gejala rinitis alergi dan asma.9
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons
terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek
langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap
berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel
yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu
menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel
(sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin
(antagonisme).15
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering
pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang
menimbulkan berbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan
efek yang sama). Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan
menunjukkan hasil nyata karena ada kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat
sitokin dapat dilihat pada gambar 8.16
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang
lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur
ekspresi reseptor sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin
terjadi melalui ikatan dengan reseptornya pada membran sel sasaran.
Respons seluler terhadap kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi
gen terhadap sel sasaran yang menimbulkan ekspresi fungsi baru dan
kadang proliferasi sel sasaran.15
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan
growth factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh
komponen jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.
Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai.16
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α)
dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal
growth factor.

3.5 Diagnosis

1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara
ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis
asma:4
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa


seseorang menderita penyakit asma:4
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan
parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma4


Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru yang Makin besar variasi/ makin sering, makin
besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat FEV1
udara rendah (normal >0.75 – 0.80 pada dewasa
sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru setelah Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
terapi anti-inflamasi selama 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15% (mannitol
pada dewasa) atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200 ml
kunjungan-kunjungan ke Anak: variasi FEV1 >12%
dokter (kurang reliable)

2. Riwayat penyakit dahulu dan Keluarga


Adanya riwayat rinitis alergika atau eksema atau riwayat keluarga
yang mengalami asma atau alergi, meningkatkan kemungkinan bahwa
gejala respiratori tersebut adalah asma. Namun, kriteria tersebut tidaklah
terlalu spesifik untuk asma dan tidak terlihat pada semua jenis asma. Pasien
dengan rinitis alergi dan dermatitis atopi harus ditanyakan mengenai gejala
respiratorinya.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aliran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas,
trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing inspiratorik
bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal.4
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory
flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan
tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika
dilakukan perubahan ukuran atau alat.4
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio
FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio
FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak,
dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan hambatan aliran
udara.4
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu
dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari
sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau
PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti
200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari
ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali asma
misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan atau
penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat
diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal
saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka kemungkinannya
kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV
dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan bronkodilator.4
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan
nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan
histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini
cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa
terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik,
displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien
yang tidak mengonsumsi ICS dapat mengeksklusi asma, akan tetapi
hasil positif tidak selalu menandakan bahwa penyakit tersebut adalah
asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan.4
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat
atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran serum
IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di lingkungan
sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika dikerjakan secara
standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari skin prick test tapi
lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif,
hal ini tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis
yang cermat.4
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan
belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun
pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika
terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan
respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan.4
3.6 Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus

1. Pasien hanya dengan gejala batuk


Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang
diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome sering
disebut dengan ‘postnasal drip’, sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien
dengan cough variant asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak,
mungkin gejala tersebut terkait dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering
terjadi pada anak-anak dan memberat saat malam hari dengan fungsi paru
normal. Untuk pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru. Penyakit
cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada pasien
yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan tetapi fungsi
paru dan responsitivitas jalan nafas normal.4
2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan diperberat
oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan kerja, kadang
paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya
mendahului asma beberapa tahun sebelumnya, dan paparan yang berlanjut
terkait dengan prognosis yang lebih buruk. 4
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat
pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan
tentang apakah keluhan membaik jika pasien saat tidak bekerja. Pertanyaan
tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti
tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada aspek
sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan ke dokter spesialis penting,
dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh dari tempat kerja perlu dilakukan.
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru,
biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma,
misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan
pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan.4
4. Wanita Hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan
objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk
melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller
sampai selesai persalinan.4
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang
tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak
nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas.
Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan
mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat
saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan
ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, ditambah dengna
pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan
brain natriuretic polypeptide (BNP) dan pemeriksaan fungsi jantung dengan
ekokardiografi juga dapat membantu. Pada orang tua dengan riwayat merokok
atau paparan bahan bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome
(ACOS) perlu disingkikan.4
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang
berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling
bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global
Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD)
mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan terhadap
faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator <0.7.
Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml) dapat ditemukan dalam
PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma. Riwayat
penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian
diagnosis membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait
dengan prognosis yang lebih buruk. 4
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu
dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan
tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma
tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan
percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis controller. Jika diagnosis
tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan
yang lebih tinggi.4
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala
respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien
obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis dengan
pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas.4
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian
gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan
berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang membedakannya
dengan infeksi kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan infeksi parasite atau
jamur. Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu
diperiksa sebelum diberikan terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan
bersamaan dengan pemberian 1 minggu kortikosteroid oral. 4

3.7 Diagnosis Banding

Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya: 4
1. Usia 6-11 tahun
 Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
 Inhalasi benda asing
 Bronkiektasis
 Diskinesia silier primer
 Penyakit jantung kongenital
 Displasia bronkopulmoner
 Kistik fibrosis
2. Usia 12-39 tahun
 Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
 Disfungsi pita suara
 Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
 Bronkiektasis
 Kistik fibrosis
 Penyakit jantung kongenital
 Defisiensi alfa-1 antitripsin
 Inhalasi benda asing
3. Usia 40 tahun ke atas
 Disfungsi pita suara
 Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
 PPOK
 Bronkiektasis
 Gagal jantung
 Batuk terkait obat
 Penyakit parenkim paru
 Embolisme pulmonary
 Obstruksi saluran nafas sentral

3.8 Penilaian Asma

Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma


(pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi
terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat
berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk
memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai.
Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko
untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.

Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma4


A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontr
pasien memiliki : Penuh Sebagian
ol
1. Gejala asma
Ya (1 poin)
harian lebih dari
Tidak ( 0
dua kali dalam 1
poin)
minggu
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari Tidak ( 0
karena asma poin)
Tidak terdapat Terdapat
3. Penggunaaan obat Terdapat 1-
satupun 3-4
pelega untuk 2 kriteria
Ya (1 poin) kriteria kriteria
mengatasi gejala*
Tidak ( 0
lebih dari dari dua
poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin

B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk


• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala
• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan
penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang
sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat
dimodifikasi: Bila
• Asma yang tidak terkontrol terdapat 1
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat atau lebih
jika >1x200 dosis canister/month) faktor
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, risiko maka
kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang risiko
tidak tepat eksaserbasi
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi akan
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor meningkat
• Paparan: merokok, paparan allergen walaupun
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan gejala asma
• Eosinophilia sputum atau darah terkontrol
• Kehamilan
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir

Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap


• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau
darah
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi
dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat

3.9 Tatalaksana

1. Nonfarmakologis (GINA, 2016)


 Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
 Aktivitas fisik
 Penghindaran paparan alergen kerja
 Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
 Penghindaran alergen dalam ruangan
 Latihan bernafas
 Diet sehat dan Penurunan Berat badan
 Vaksinasi
 Bronkial termoplasti
 Kontrol stress emosional
 Imunoterapi alergen
 Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
 Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis4
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol
b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk
meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi,
atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.
Tabel 5. Obat Reliever asma
Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan β-agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenalin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan santin
Teofilin Sirup, tablet

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai


dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan
eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi secara
optimal.
3. Terapi pemeliharaan asma awal4
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus
dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti
klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan
fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan
sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam
waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi
paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien
yang telah mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial

Tabel 6. Dosis Inhaled Corticosteroid Asthma

Dewasa dan remaja (12 tahun keatas)


Obat Dosis harian (mcg)
Rendah Sedang Tinggi
Beclometasone dipropionate (CFC) 2000-500 >500-1000 >1000
Beclometasone dipropionate (HFA) 100-200 >200-400 >400
Budesonide (DPI) 200-400 >400-800 >800
Ciclesonide (HFA) 80-160 > 160-320 >320
Fluticasone furoate (DPI) 100 n.a. 200
Fluticasone propionate (HFA) 100-250 >250-500 >500
Mometasone furoate 110-22- >220-440 >440
Triamcinolone acetonide 400-1000 >1000-2000 >2000
Anak-anak usia 6-11 tahun
Beclometasone dipropionate (CFC) 100-200 >200-400 >400
Beclometasone dipropionate (HFA) 50-100 >100-200 >200
Budesonide (DPI) 100-200 >200-400 >400
Budesonide (nebules) 250-500 >500-1000 >1000
Ciclesonide 80 >80-160 >160
Fluticasone furoate (DPI) n.a n.a n.a
Fluticasone propionate (DPI) 100-200 >200-400 >400
Fluticasone propionate (HFA) 100-200 >200-500 >500
Mometasone furoate 110 >220-<440 >440
Triamcinolone acetonide 400-800 >800-1200 >1200
4. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen4
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan
rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1)
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi
anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan
asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan
ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi akibat metode ini
antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
b. Vaksinasi4
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma,
dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial4
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma
yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang
memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama
lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D4
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons kortikosteroid.
Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan
secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan
eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi

3.10 Asma Eksaserbasi Akut

Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma
eksaserbasi akut: 4
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi
paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis
pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut”
sering digunakan, tapi pengertiannya berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali,
dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko
kematian akibat asma:
 Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan
intubasi dan ventilasi
 Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12
bulan terakhir
 Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
 Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
 Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih
dari 1 canister/bulan
 Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
 Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
 Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis,
melalui tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan
tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit.
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat
asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.
 Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana
mengganti obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral,
dan akses ke perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
 Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk
pergi ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
 Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF
(pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya :
 Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat
sesak nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi
paru, sambal memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan
terapi oksigen
 Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid
sistemik jika diperlukan
 Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan
MDI atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan
pemberian oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan
tiap 1 jam
 Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
 Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
 Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
 Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status
klinis, fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan
kemampuan untuk mengendalikan asma di rumah
 Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis
dari terapi controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai
penggunaan sebutuhnya.
 Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan
Pertama4
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut
(IGD) 4
Tabel 8. Tatalaksana pengobatan asma eksaserbasi
Ringan dan Sedang Berat
 Short acting beta2-agonist  Short acting beta2-agonist
 Pertimbangkan Ipratropium bromide  Ipratropium bromide
 Kontrol O2 untuk menjaga saturasi  Kontrol O2 untuk menjaga
93-95% saturasi 93-95% (anak-anak 94-
 Kortikosteroid oral 98%)
 Kortikosteroid oral atau IV
 Pertimbangkan magnesium IV
 Pertimbangkan dosis tinggi ICS

Parameterklinis, Ringan Sedang Berat Ancaman henti


fungsi faal paru, nafas
laboratorium
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi: Bayi: Bayi:
Menangis keras -Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
-Kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk bertopang
duduk lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya iritabel Biasanya iritabel Bingung
iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi ± stetoskop
Inspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradok
respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, ditambah Dangkal/hilan
retraksi ditambah retraksi nafas cupis g
interkostal suprasternal hidung
Frekuensi Takipneu Takipneu Takipneu Bradipneu
nafas
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradiakrdi
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
paradoksus tanda
kelelahan otot
respiratorik
SaO2 >95% 91-95% <91%
PaO2 Normal >60 mmhg <60 mmhg
PaCO2 <45 mmhg <45 mmhg >45 mmhg
PEFR atau
FEV1 >60% 40-60% <40%
Pra bronko >80% 60-80% <60% respon <2
Pasca bronko jam

Tatalaksana di IGD
Oxygen
Oksigen yang digunakan adalah dalam bentuk nasal kanul atau masker, saturasi
yang harus dicapai adalah 93-95% untuk dewasa dan 94-98% untuk anak-anak usia
6-11 tahun. Pada eksaserbasi yang berat, kontrol laju oksigen dengan menggunakan
oksimetri untuk menjaga agar saturasi tetap 93-95%.

Inhaled short-acting beta2-agonist


Pemberian inhaled SABA harus diberikan pada pasien dengan gejala asma akut.
Pemberian yang paling murah dan efisien adalah dengan menggunakan pMDI
dengan spacer (evidence A). namun hal ini kurang kuat untuk asma derajat berat
dan asma yang mengancam nyawa. Pemberian inhaled SABA bisa menggunakan
nebulisasi.

Epinefrin (untuk anafilaksis)


Pemberian epinferin secara intramuskular diindikasikan untuk asma terkait
anafilaksis dan angioedema. Epinefrin tidak digunakan secara rutin pada asma
eksaserbasi.

Kortikosteorid sistemik
Kortikosteroid sistemik mempercepat resolusi dari eksaserbasi dan mencegah
terjadinya relaps, dan harus diberikan kepada semua asma kecuali derajat ringan.
Jika memungkinkan, kortikosteroid harus diberikan pada pasien dalam 1 jam
kejadian.
 Rute pemberian: pemberian oral sama efektifnya dengan pemberian IV.
Pemberian oral lebih dipilih karena lebi cepat, tidak invasif dan tidak mahal.
Untuk anak-anak, pemberian sediaan cairan lebih dipilih dibandingkan
tablet. OCS setidaknya butuh waktu minimal 4 jam untuk menghasilkan
perbaikan klinis. Pemberian IV bisa diberikan pada pasien yang terlalu
sesak dan sulit untuk menelan, atau pada pasien muntah, atau pasien yang
membutuhkan intubasi.
 Dosis : prednisolon 50 mg (single dose), atau hydrokortison 200 mg dalam
dosis terbagi. Untuk anak-anak, dosis OCS berkisar 1-2 mg/kg maksimal 40
mg/hari
 Duration : pemberian diberikan sekitar 5-7 hari pada orang dewasa. Dan 3-
5 hari untuk anak-anak

Kortikosteroid Inhalasi
Pada kasus gawat darurat, pemberian inhalasi kortikosteroid bisa diberikan pada
pasien yang tidak mendapatkan kortikosteroid sistemik.
Treatment lain
Ipratropium bromide
Pada asma eksaserbasi derajat sedang-berat, pemberian SABA dengan
ipratropium (antikolinergik) menyebabkan penrunan perawatan rumah sakit
dan memberikan perbaikan klinis pada PEF dan FEV1, dibandingkan hanya
dengan SABA saja. Pada anak yang dirawat karena asma akut, tidak ada efek
yang terlihat dari penambahan ipratropium ke SABA.

Aminophylline dan theophylline


Pemberian aminofilin dan teofilin secara intravena seharusnya tidak diberikan
pada tatalaksana eksaserbasi asma, karena kurangnya manfaat serta
keamanannya. Penggunaan aminofilin IV dihubungkan dengan keparahan dan
efek samping yang fatal, terutama pada pasien yang sudah mendapatkan terapi
sustained-release theophylline. Pada asma eksaserbasi yang dialami oleh orang
dewasa, penambahan terapi aminofilin tidak memberikan perbaikan
dibandingkan dengan pemberian SABA saja.

Magnesium
Pemberian magnesium sulfat IV tidak dianjurkan digunakan secara rutin pada
asma eksaserbasi, namun pemberian 2 g secara infus selama 20 menit dapat
menurunkan angka perawatan rumahsakit pasien, termasuk pada orang dewasa
dengan FEV1 <25-30%; dewasa dan anak-anak yang gagal respon terhadap
inisial treatment dan memiliki hipoksemia yang persisten; dan anak-anak
dengan FEV1 yang gagal mencapai 60% setelah 1 jam terapi. Namun pada
penelitian lain, pemberian magnesium sulfas tidak menunjukan manfaat pada
asma derata berat.

Antibiotik (tidak direkomendasikan)


Pemberian antibiotik tidak dianjurkan kecuali jika terdapat tanda-tanda infeksi
(demam, sputum purulen, atau hasil radiologi yang menunjukan pneumonia).
Pemberian kortikosteroid secara agresif harus diberikan sebelum antibiotik.
6. Rancanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi: 4
 Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi selanjutnya
 Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko
untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-
4 minggu
 Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan
BAB 4
ANALISIS KASUS

Asma adalah penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan inflamasi


jalan nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernafasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan
intensitas, bersamaan dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi. Asma
eksaserbasi akut adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi
paru dari keadaan pasien sebelumnya. Pada kasus ini, pasien datang dengan keluhan
sesak nafas tiba-tiba yang dirasakan 3 jam SMRS. Sesak dirasakan terus-menerus,
menetap, semakin lama semakin memberat, tidak mengalami perbaikan dengan
istirahat, namun tidak terdengar bunyi mengi. Pasien lebih nyaman dalam posisi
duduk. Pasien mengeluhkan dada terasa berat saat serangan sesak datang. Pasien
kesulitan berbicara dan hanya bisa berbicara sepenggal kata. Lemas dijumpai.
Keluhan ini merupakan keluhan yang dirasakan paling berat dibandingkan
sebelumnya. Dan terjadi setelah terdapat pencetus berupa batuk pilek yang dialami
sejak dua hari SMRS.
Faktor risiko terjadinya asma eksaserbasi adalah sesuai dengan didalam
tabel berikut ini:
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat dimodifikasi:
 Asma yang tidak terkontrol
 Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat jika >1x200
dosis canister/bulan)
 Penggunaan ICS yang tidak memadai: tidak mendapat ICS, kepatuhan
yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat
 Rendahnya FEV1, terutama jika <60% prediksi
 Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor
 Paparan: merokok, paparan allergen
 Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
 Eosinophilia sputum dan darah
 Kehamilan
 Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
 ≥ 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir
Bila terdapat 1 atau lebih faktor risiko maka risiko eksaserbasi akan
meningkat walaupun gejala asma terkontrol

Pada pasien ini, terdapat faktor risiko berupa: (1) Paparan alergen. Pasien
sering mengalami batuk pilek apabila pasien terkena debu, cuaca yang dingin, atau
polusi udara. Dan jika pasien mengalami batuk pilek, biasanya akan diikuti dengan
sesak nafas. Faktor pencetus tersering dari terjadinya serangan adalah infeksi virus
atau alergen. Dan pada pasien ini kemungkinan faktor pencetus timbulnya serangan
asma adalah alergen. (2) ko-morbiditas, berupa obesitas dengan Indeks Masa Tubuh
(IMT) yaitu 27,34. Obesitas memiliki hubungan dengan terjadinya asma. Obesitas
menyebabkan terjadinya banyak mekanisme terhadap fisiologi paru yaitu
penginkatan kadar adipokines seperti interleukin (IL)-6, eotaxin, tumor necrosis
factor (TNF)-a, transforming griwth factor (TGF)-ß1, leptin dan adiponektin.
Terdapatnya polimorfisme genetik, pengaruh hormon seks tertentu, dan pola diet
pada penderita obesitas dibuktikan memiliki pengaruh terhadap asma. Terhadap
mekanisme paru obesitas dapat menurunkan sistem komplians paru, volume paru,
dan diameter saluran nafas perifer. Berbagai adipokines memicu respon inflamasi
sistemik yang berimplikasi terhadap inflamasi saluran napas, polimorfisme genetik
menyebabkan beberapa gen menghubungkan antara obesitas dan asma serta
sebaliknya. Pola diet pada pasien obesitas cenderung tinggi lemak dan rendah
antioksidan dan kadar vitamin yang dapat menyebabkan peningkatan gejala asma,
penurunan fungsi imunitas dan fungsi paru. Sehingga, penting untuk digarisbawahi
bahwa edukasi terhadap diet harus diberikan kepada pasien obesitas yang memiliki
asma.
Derajat serangan asma pada kasus ini, tergolong asma eksaserbasi serangan
ringan-sedang, seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini:
Parameter Ringan Sedang Berat Ancaman
klinis, fungsi henti nafas
faal paru,
laboratorium
Sesak Berjalan Berbicara Istirahat
(breathless) Bayi: Bayi: Bayi:
Menangis keras -Tangis pendek Tidak mau
dan lemah makan/minum
-Kesulitan
menetek/makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin iritabel Biasanya Biasanya Bingung
iritabel iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
hanya pada sepanjang terdengar tanpa terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi ± stetoskop
Inspirasi
Penggunaan Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
otot bantu paradok
respiratorik torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/hila
retraksi ditambah ditambah nafas ng
interkostal retraksi cupis hidung
suprasternal
Frekuensi nafas Takipneu Takipneu Takipneu Bradipneu
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Bradiakrdi
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,
paradoksus tanda
kelelahan
otot
respiratorik
SaO2 >95% 91-95% <91%
PaO2 Normal >60 mmhg <60 mmhg
PaCO2 <45 mmhg <45 mmhg >45 mmhg
PEFR atau
FEV1 >60% 40-60% <40%
Pra bronko >80% 60-80% <60% respon
Pasca bronko <2 jam

Namun pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan uji faal paru, dimana
seharusnya terdapat penurunan PEF/FEV1. Pengukuran ini merupakan indikator
yang lebih dipercaya dibandingkan dengan derajat gejala. Pasien juga tidak
dilakukan pemeriksaan AGDA yaitu PaO2 dan PaCO2. Biasanya pada awal
serangan, untuk mengkompensasi keadaan hipoksia terjadi hiperventilasi sehingga
kadar paCO2 akan turun serta terjadi alkalosis respiratorik. Selanjutnya pada
obstruksi jalan nafas yang berat, akan terjadi kelelahan otot nafas dan hipoventilasi
alveolar yang berakibat terjadinya hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Karena itu
jika dijumpai kadar paCO2 yang cenderung naik walau nilainya masih dalam
rentang normal, harus diwaspadai sebagai tanda kelelahan dan ancaman gagal
nafas. Selain itu dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan
produksi laktat oleh otot nafas. Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan
vasokntriksi pulmonal, namun jarang menyebabkan cor pulmonale. Hipoksia dan
vasokntriksi dapat merusak sel alveoli sehingga produksi surfaktan berkuang atau
tidak ada, sehingga meningkatkan risiko terjadinya ateletaksis.
Terapi tatalaksana eksaserbasi berdasarkan dari GINA 2018 meliputi: (1)
Oksigen, oksigen diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen berada pada
nilai 93-95%, baik pada derajat apapun. Penggunaan masker diberikan pada kondisi
eksaserbasi derajat berat, (2) SABA, penggunaan SABA boleh secara nebulisasi
atau dengan menggunaan MDI+spacer¸ namun yang lebih efektif dan efisien adalah
dengan menggunaan MDI spacer, pada beberapa literatur, ada yang mengatakan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan MDI spacer ataupun
nebulisasi. Namun ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa terdapat
penurunan angka rawat rumah sakit jika menggunakan nebulisasi. Salah satu
contoh penggunaan SABA adalah ventolin yang mengandung salbutamol. (3)
Kortikosteroid, kortikosteroid sistemik dapat digunakan untuk semua derajat asma,
kecuali asma dengan derajat ringan. Baik secara oral maupun IV, semua tergantung
kondisi pasien, apabila pasien masih bisa makan, maka obat dapat diberikan secara
oral. Selain itu, pemberian oral juga tidak invasif dan tidak mahal. Pemberian IV
diberikan apabila pasien terlalu sesak dan tidak bisa menelan, muntah, atau jika
pasien membutuhakn ventilasi/intubasi. . pada pasien ini diberikan terapi berupa:
1. O2 masker nrm 4-6 lpm
2. IVFD Ringer lactat /24 jam
3. Nebulisasi ventolin + Flexotide (bisa diulang tiap 20 menit,
maksimal 3 kali)
4. Injeksi metilprednisolon 3x125 mg
5. Terapi pemeliharaan
a. Nebulisasi ventolin per 6jam
b. Nebulisasi flexotide per 8 jam
BAB 5
KESIMPULAN

Asma adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai. Pentingnya


mengetahui penyakit ini serta tatalaskana yang tepat dapat membantu pasien untuk
mengatasi penyakitnya. Dan pencegahan juga diperlukan untuk mencegah dari
terjadinya serangan asama
REFERENSI

1. Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma


Management Reference. Available at: www.ginasthma.org
2. Rengganis, Indri. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial dalam
Majalah Kedokteran Indonesia volum:58. pp. 444-51
3. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
4. Global Initiative for Asthma (GINA). 2018. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org
5. Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm
Med;10:44-50.
6. Moore, W.C. 2010.. Identification of asthma phenotypes using cluster
analysis in the Severe Asthma Research Program. Am J Respir Crit Care
Med. 181:315-23.
7. Alfven, T. 2006. A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in
children related to farming and anthroposophic lifestyle – the PARSIFAL
study. Allergy 2006; 61: 414–21.
8. Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced.
Allergy; 63: 251–4.
9. Alan, R. 1999. Immunobiology of Asthma and Rhinitis : Pathogenic Factors
and Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87
10. Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344:
350-62.
11. Peter, H. 1998. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis
for treatment. BMJ; 316: 758-61.
12. Jay, W.H. 2000. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of
asthma. J Clinic Invest; 105: 1331-2.
13. Kroegel C. 1998. Pulmonary immune cells in health and disease: the
eosinophil leukocyte. Eur Respir J; 7: 519–43.
14. Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir
Crit Care Med; 167: 199-204.
15. Karnen, G.B. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI.
16. Kips, J. 2001. Cytokines in asthma. Eur Respir J; 18: 24–33.

Anda mungkin juga menyukai