Anda di halaman 1dari 13

TEORI CANNON FIGHT OR FLIGHT: RESPONSSE TO STRESS

Disusun oleh :
Dita Nabila Fauziah 111811133030
Teresna Seinseillah 111811133031
Gabriella Theri C.S. 111811133046
Grace Amortia 111811133053
Azizah Ayu S. 111811133113
Romadoni Kun Annisa 111811133122
Nathania Angelica M. 111811133133
Meiko Fairuzia A. 111811133134
Alfitra Damastuti 111811133139
Namira Salsabila A. 111811133143
Gardenia Luthfia 111811133174
Desak Madya Ratri H. 111811133192

PENGELOLAAN STRES A-1


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
BAB I
PENJELASAN TEORI DAN KONSEP STRESS

Walter Bradford Cannon merupakan salah satu pioneer dari penelitian tentang stres.
Cannon memiliki minat dalam mempelajari emosi dan fungsi psikologis manusia juga
ditambah keterampilan dan kompetensinya sebagai ahli fisiologi yang terkenal, ia
menghubungkan konsep mind and body, memberi kontribusi signifikan terhadap seluruh
bidang pengobatan psikosomatis (Spielberger dalam (Quick & Spielberger, 1994). Cannon
juga dikenal dengan konsep fight or flight: responsse to stress yang ia ciptakan pada tahun
1914. Fight or flight responsse adalah mekanisme yang terlibat adanya keinginan fisiologis
tubuh untuk bertahan atau untuk lari dari ancaman, reaksi tubuh terhadap stres akut ini
disebut “reaksi stres” (Seaward, 1999).

Pada tahun 1910, Cannon mulai mendalami studi mengenai medula adrenal dan
sistem saraf simpatik. Selain mempelajari fisiologi medula adrenal, ia juga memperluas
fokusnya pada rangsangan psikologis dan respons emosional yang sering dikaitkan dengan
pelepasan saraf simpatik dan sekresi medula adrenal. Dari studi tersebut, Cannon menemukan
adanya hubungan antara sekresi epinefrin (adrenalin) dari medula adrenal dan peningkatan
glukosa. Adrenalin yang dilepaskan sebagai respons terhadap stress mempengaruhi kekuatan
otot dan memobilisasi kadar gula untuk menjaga pasokan darah ke otot (McCarty, 2016).
Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas
neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam responss fight or flight
(Subramaniam, 2015).

Responss stres pada manusia sebenarnya sudah dicirikan, baik secara fisiologis
maupun secara perilaku, sebagai fight or flight. Dalam lingkungan modern seperti saat ini,
seseorang akan dihadapkan pada berbagai kondisi stres. Pada umumnya diakui bahwa
keadaan stres membangkitkan perasaan cemas atau marah, dengan aktivasi bersamaan dari
sistem saraf otonom, memberikan dorongan internal yang penting untuk memotivasi reaksi
fight or flight (Spielberger, 1979). Stres dapat menyebabkan perubahan kadar serum dari
banyak hormon termasuk glukokortikoid, katekolamin, hormon pertumbuhan dan prolaktin.
Beberapa dari perubahan ini diperlukan untuk respons fight or flight yang digunakan untuk
melindungi diri sendiri. Suatu pengamatan menunjukkan bahwa respons fight disebabkan
oleh kemarahan atau agresi yang dimaksud untuk mempertahankan batas teritorial atau
menyerang stresor yang berukuran lebih kecil. Sebaliknya, responss flight disebabkan oleh
rasa takut. Dalam banyak kasus, respons flight tidak hanya melarikan diri, tetapi juga
bersembunyi dan menarik diri (Seaward, 1999). Menurut (Seaward, 1999) sebenarnya tubuh
manusia dapat mempersiapkan dirinya untuk melakukan kedua respons tersebut secara
bersamaan. Dalam hal evolusi, mekanisme ini tentu menguntungkan bagi kelangsungan hidup
makhluk hidup.

Fight or flight sebagai reaksi terhadap stres/stress reactivity, secara garis besar
mencakup meningkatnya ketegangan otot, detak jantung, volume dan output stroke,
meningkatkan tekanan darah, rangsangan saraf, penyimpanan sodium, berkurangnya saliva,
meningkatkan produksi keringat, serum glukosa, asam hidrolik di perut, urinase, dan
perubahan kecepatan respirasi/pernapasan serta perubahan gelombang otak. Semakin lama
dan bervariasi reaksi fisiologis, individu semakin berpotensi mengalami efek illness dari
stress reactivity tersebut (Lianasari, 2009).

Selain itu, Walter Cannon juga menyebutkan bahwa reaksi tubuh berupa fight or
flight response disebabkan karena respons fisiologis mempersiapkan seseorang untuk
menghadapi ataupun untuk menghindari situasi mengancam yang terjadi. Fight or flight
responsse ini membuat individu tersebut dapat merespons dengan cepat situasi-situasi
mengancam yang terjadi. Tidak hanya itu, Seyle (dalam Sarafino; (Fatimah, 2012)) juga
menggali tentang hal ini, dirinya mempelajari akibat yang akan diperoleh individu apabila
stressor terus menerus muncul. Setelah mempelajari hal ini, dirinya memunculkan suatu
istilah yaitu General Adaptation Syndrom atau dapat disingkat menjadi GAS. Istilah tersebut
terdiri dari suatu tahapan reaksi fisiologis terhadap stresor yang ada atau yang dihadapi
individu .
BAB II
MEKANISME TERJADINYA STRES

Stress Model Response pertama dikembangkan oleh Hans Selye. Pada tahun 1950,
Selye mengganti definisi stres menjadi respons seseorang terhadap stimulus yang diberikan.
Selye juga menyebutkan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh secara spesifik
terhadap penyebab stres yang mempengaruhi keadaan seseorang. (Gaol, 2016). Selye
kemudian memperkenalkan sebuah model stres yang disebut General Adaptation Syndrome
atau disingkat dengan GAS untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana tubuh memberikan
respons terhadap sumber stres. (Rice, 2011 dalam Gaol, 2016). Berdasarkan GAS ada tiga
tahapan stres respons yaitu (1) alarm, (2) resistance, dan (3) exhaustion.
Tahap pertama GAS adalah alarm atau tanda bahaya. Pada tahap ini, stresor
mengganggu homeostasis yang menyebabkan semua fungsi tubuh dari sistem saraf otonom
meningkat secara drastis yang memberi kita kekuatan fisik untuk melindungi diri kita sendiri
dari serangan, atau untuk memobilisasi kekuatan internal. Dalam keadaan normal, fase reaksi
alarm tidak akan berlangsung lama, dalam beberapa kasus mungkin hanya beberapa detik,
dalam kasus lain lebih lama. (Crevecoeur, 2016). Ketika alarm muncul, tubuh akan menerima
rangsangan dan secara alami akan mengaktifkan reaksi flight-or-fight karena adanya kondisi
yang berpotensi mengancam kondisi tubuh (Lyon, 2012 dalam Gaol, 2016). Tubuh akan
memberikan reaksi seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala, disfagia atau
kesulitan menelan, kram, dan lain sebagainya (Rice, 2011 dalam Gaol, 2016).
Tahap kedua GAS adalah ressistance atau perlawanan. Tahap ini akan berlangsung
jika pada tahap selanjutnya tidak kunjung berakhir atau terjadi terus menerus yang dapat
menyebabkan kekuatan fisik dikerahkan untuk melanjutkan kerusakan karena rangsangan
yang membahayakan (Lyon, 2012 dalam Gaol, 2016). Jika fase ini terus terjadi dalam jangka
waktu yang lama tanpa periode relaksasi, penderita akan menjadi rentan terhadap kelelahan,
kehilangan konsentrasi, mudah tersinggung dan lesu. Pada tingkat respons yang paling
mendasar, tubuh akan berkelahi (fight) atau melarikan diri (flight) dengan cara tertentu dalam
upaya untuk melawan konsekuensi yang dirasa negatif dari stresor. (Crevecoeur, 2016).
Selama proses perlawanan di tahap ini ada kemungkinan akan timbul penyakit seperti radang
sendi, kanker, dan hipertensi (Lyon, 2012 dalam Gaol, 2016). Masalah yang terjadi pada fase
ini jika gabungan antara reaksi biologis, psikologis dan sosial tidak dapat menangani
ancaman secara efektif akan membawanya ke fase selanjutnya yaitu exhaustion.
Tahap terakhir dari GAS adalah exhaustion atau kelelahan. Kondisi ini akan muncul
dikarenakan tubuh sudah tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan terhadap sumber stres
atau dapat dikatakan tubuh sudah menyerah menghadapi serangan yang mengancam (Gaol,
2016). Jika lingkungan stresor kronis dan berlebihan tanpa adanya kesempatan untuk pulih
atau berhasil beradaptasi, tubuh akan mulai menunjukkan tanda-tanda kegagalan beradaptasi
yang ditandai dengan sistem mulai rusak dan menjadi lebih rentan terhadap berbagai gejala
biopsikososial (Crevecoeur, 2016). Jika hal ini terjadi maka ada kemungkinan akan
menyebabkan kematian.
Setelah sebelumnya dijelaskan mengenai bagaimana reaktivitas stres berdasarkan
general adaptation syndrome, pada bagian ini akan dijelaskan secara lebih detail tentang
bagaimana mekanisme respons fight, flight, or freeze yang dipengaruhi dan memengaruhi
kondisi fisiologis dalam tubuh. Ketika tubuh menerima respons stres, maka organ tubuh yang
bereaksi paling awal adalah hipotalamus yang terdapat dalam sistem saraf pusat yang
memegang kendali atas pengaktifan corticotropin releasing hormone (CRH) dan sistem saraf
simpatik (Subramaniam, V., 2015). CRH akan menstimulasi penghasilan kortisol dan
norepinefrin, sedangkan sistem saraf simpatik akan bekerja dan mengaktifkan sekresi yang
menghasilkan hormon adrenalin yang dipersepsikan tubuh sebagai aktivasi mode bertahan
(defense) dalam tubuh (Samra, J., 2019). Aktivasi dari kombinasi berbagai hormon di atas
inilah yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana tubuh memberikan respons
(fight/flight/freeze) terhadap stress. Ketika tubuh sedang berada pada mode defense, tubuh
akan memicu berbagai respons fisiologis lainnya. Hal ini dapat ditandai dengan peningkatan
pada tekanan darah (hipertensi) dan detak jantung, gangguan saluran pencernaan
(gastrointestinal), peningkatan kecenderungan penyakit kardiovaskular, chronic fatigue
syndrome, peningkatan pada kemungkinan luka fisik dan kecelakaan, sakit kepala,
ketegangan otot, gangguan pernapasan, hingga penurunan atau kerusakan sistem imun
(Subramaniam, V., 2015). Ketika stres mereda karena stresor menghilang, maka sistem saraf
perifer akan menghasilkan feedback negatif pada tubuh sehingga berakibat pada penghentian
produksi kortisol dan penyeimbangan sistem saraf simpatovagal melalui homeostasis antara
sistem saraf parasimpatik dan simpatik (Gasperin D. et al, 2009). Proses tersebutlah yang
memengaruhi bagaimana proses normalisasi kondisi tubuh pasca melewati masa stres.
Faktor Penyebab Stres (Stressors)

Situasi, keadaan, bahkan sebuah rangsangan dapat dianggap sebagai ancaman atau
bisa disebut dengan pemicu meningkatnya stres. Stres sering kali merupakan akibat dari stres
yang direspons dengan cepat—muncul tanpa diduga. Ada juga stress kronis yang harus
mendapat perhatian lebih karena akan berdampak pada kondisi tubuh dalam jangka panjang
(Seaward, 1997).
Bentuk stressor sendiri tidak hanya berupa ancaman terhadap keselamatan fisik yang
bisa membuat kita mengambil tindakan impulsif. Ada jenis stresor di mana kita tidak akan
mengambil tindakan secepat itu karena dirasa tidak memungkinkan untuk dilakukan. Stresor
yang dimaksud adalah stresor simbolik. Gambaran stresor simbolik bisa saat atasan
membebani pekerjaan yang terlalu sulit, namun kita bisa merespons stresor tersebut dengan
cara menentang (fight) atasan kita atau bahkan bisa menjadi lebih parah jika kita menghindari
(flight) dan tidak menyelesaikan tugas tersebut (Lianasari, 2009). Penelitian-penelitian telah
dilakukan untuk menentukan sifat stres, Giradano, Everly, dan Dusek (1993, dalam Seaward
(1997) mengkategorikan sifat stres menjadi 3, yaitu

1. Pengaruh Bioecological
Faktor biologis dan ekologis dapat memicu respons stres yang di antaranya
berada di luar kendali individu. Hal tersebut merupakan pengaruh eksternal, seperti
sinar matahari, tarikan gravitasi, dan medan elektromagnetik yang memengaruhi ritme
biologis individu. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap tiga kategori ritme,
yaitu (1) ritme sirkadian, yaitu fluktuasi fungsi fisiologis yang periodenya selama 24
jam. (2) ritme ultradian, terjadinya fluktuasi dalam jangka waktu kurang dari 24 jam,
(3) irama infradian, yaitu perubahan yang terjadi dalam periode lebih dari 24 jam,
misalnya menstruasi (Seaward, 1997).
Contoh pengaruh bioekologis adalah gangguan afektif musiman (SAD), yaitu
suatu kondisi di mana banyak orang yang tinggal di dekat lingkaran Arktik menjadi
depresi karena kekurangan sinar matahari dalam jangka waktu yang lama. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh fenomena alam yang berada di luar kendali kita. Perubahan
teknologi juga termasuk dalam kategori bioekologis, seperti contoh jet lag akibat
penerbangan yang melalui beberapa zona waktu. Tanpa disadari pula, beberapa
tambahan makanan sintetis dapat memicu pelepasan hormon stres ke seluruh tubuh.
Faktor bioekologis ini dipengaruhi secara positif oleh perubahan gaya hidup
(kebiasaan makan atau olahraga (Seaward, 1997).

2. Pengarah Psychointrapersonal
Saat ini, faktor psychointrapersonal dipercaya sebagai stresor dengan
persentase terbesar. Faktor psychointrapersonal adalah persepsi-persepsi terhadap
stimulus yang diciptakan oleh pikiran individu itu sendiri melalui proses mental.
Faktor ini melibatkan pikiran-pikiran, nilai-nilai, kepercayaan, sikap, dan persepsi
yang digunakan untuk melindungi identitas atau ego kita. Ketika hal-hal yang terlibat
tersebut sedang disinggung ataupun ditantang, ego akan merasa terancam sehingga
memunculkan respons berupa stres. Faktor psychointrapersonal ini merefleksikan
keunikan konstruk kepribadian individu. contoh fenomena terkait faktor ini yang
sering terjadi adalah ketika individu mempersepsikan bahwa ada kesenjangan yang
signifikan antara ideal-self dan real-self nya, tak jarang fenomena ini dianggap sebuah
stresor yang membuat individu mengalami stress (Seaward, 1997).

3. Pengaruh Sosial
Telah lama ini, faktor sosial sering dikaji untuk menjelaskan keadaan individu
yang belum mampu melakukan coping yang baik terhadap tekanan disekitarnya. Isu
terkenal terkait faktor ini adalah keramaian. Beberapa studi dilakukan pada berbagai
spesies, menunjukkan bahwa hewan-hewan yang terlihat sehat namun tinggal dalam
habitat yang sangat padat atau ramai akan punah, walaupun telah tersedia banyak
makanan dan air di kawasan tersebut. Sehingga, kebutuhan akan ruang pribadi adalah
hal yang umum dalam dunia hewan. Begitupun dengan manusia, akan mulai merasa
frustasi ketika berada di tempat publik yang sangat ramai, kemacetan lalu lintas,
antrian yang panjang, atau pada situasi apapun selama privasi individu merasa
terganggu. Selain itu, beberapa contoh stresor lain yang tergolong dalam faktor sosial
antara lain, permasalahan finansial, beradaptasi ke tempat baru, perkembangan
teknologi, pelanggaran hak asasi manusia, status sosial dan ekonomi yang rendah, dan
lain-lain (Seaward, 1997).
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup individu juga dapat
digolongkan ke dalam stresor yang berasal pengaruh sosial, seperti pernikahan,
mendapat pekerjaan baru, dan sebagainya. Selain itu, menurut hipotesis Richard
Lazarus, akumulasi dari acute stressors dalam kehidupan sehari-hari seperti lupa
meletakkan kunci mobil, bertemu kemacetan setiap hari, dan stresor-stresor sederhana
lainnya dapat mempengaruhi kesehatan individu, bahkan setara dengan kondisi ketika
pasangan seorang individu meninggal dunia (Seaward, 1997).
BAB III
PENERAPAN DAN CONTOH KASUS

3.1 Penerapan Teori Fight or Flight


Orang-orang yang dikejar anjing akan berlari lebih cepat daripada ketika
mereka lari jogging saat pagi. Atau ada juga banyak atlet membicarakan tentang
‘energinya dipompa’ atau ‘adrenalinku seperti mengaliri tubuhku’ agar mereka bisa
meraih performa terbaik mereka (Aldwin, 2007).
Seperti Cannon buktikan pada awal tahun 1915 bahwa ketika ada beberapa
kucing yang diperlihatkan anjing menggonggong, hormon stres atau efinefrin atau
adrenalin akan keluar dan mengalir ke peredaran darah kucing-kucing tersebut
(Aldwin, 2007). Hormon adrenalin kemudian menstimulasi SNS (Symphatetic
Nervous System) untuk mengaktifkan reaksi fight-or-flight. Ketika anjing yang
menggonggong disingkirkan,saraf parasimpatetik mengembalikan tubuh ke keadaan
homeostatis dengan menurunkan tekanan darah, degup jantung, dan pernapasan.
Contoh lain adalah ketika kita melihat ada mobil yang melaju dengan
kecepatan tinggi dan akan menabrak kita, secara cepat kita dapat menghindar dari
mobil tersebut. Sinyal yang dikirim dari amigdala ke hipotalamus berjalan sangat
cepat bahkan sebelum sampai ke pusat otak sehingga kita tidak mampu sepenuhnya
memahami apa yang terjadi, tetapi kita dapat menghindar.
Ketika kita mendaki tebing pada kegiatan hiking, kemudian tiba-tiba kita
menginjak batu atau pijakan yang salah, menyebabkan tubuh kita sedikit oleng dan
hampir jatuh namun kita bisa mempertahankan posisi kita kembali. Pastinya jantung
kita akan berdegup cepat, atau mungkin kita juga berteriak, mengeluarkan keringat
dingin, dan respons fisiologis lainnya. Situasi tersebut merupakan contoh lain dari
respons fight-or-flight.
Contoh selanjutnya adalah ancaman yang tidak selalu akurat atau hanya dalam
bayangan saja. Ketika seseorang memilih fobia tertentu, misalnya fobia akan
ketinggian dan dia berada dalam kondisi di mana harus naik ke sebuah gedung
pencakar langit untuk menghadiri pertemuan penting. Tubuhnya akan bersiaga tinggi
sebab detak jantung dan laju pernapasan yang meningkat. Serangan panik akan dapat
terjadi jika responss-responss ini bertambah parah.
Hal serupa terjadi jika seseorang mengalami trauma. Contohnya, seseorang
pernah mengalami kecelakaan mobil hebat dan menyebabkannya trauma akan mobil.
Ketika ia mendengar klakson mobil dan teringat kejadian yang menimpanya, maka
orang tersebut dapat mengeluarkan responss stres.

3.2 Contoh Kasus


Lila, wanita berumur 28 tahun, merupakan anak pertama dari 5 bersaudara. Ia
bercerita bahwa keluarganya berantakan karena ayahnya menjadi seorang pecandu
narkoba dan sering melakukan kekerasan verbal maupun fisik kepada dirinya serta
anggota keluarganya yang lain. Kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya cukup serius
sehingga ibunya harus dilarikan ke rumah sakit karena pembuluh darah di matanya
pecah. Pada suatu ketika, akhirnya Lila memutuskan untuk melapor ke polisi atas
kasus KDRT yang dialaminya. Namun, laporan tersebut belum mendapatkan respons
yang cukup bagus dari pihak kepolisian, hingga ia memutuskan untuk melaporkan
ayahnya ke BNN, tetapi hasilnya tetap nihil. Lila pun frustasi karena ia tidak tidak
menemukan tempat untuk berlindung. Akhirnya ia memutuskan untuk kabur dari
rumah membawa ibu beserta para adiknya, hingga pada suatu hari ayahnya datang
secara tiba - tiba ke kantor dimana ia bekerja dan memaksanya untuk masuk kedalam
mobil untuk dibawa pulang ke rumah. Pada saat itu, Lila tidak dapat melarikan diri
dan berakhir terkurung di rumah Ayahnya. Ia mengkhawatirkan keselamatan ibu dan
para adiknya dan memutuskan untuk kabur. Lila berhasil meloloskan diri dan
berusaha untuk menghilangkan jejak agar ayahnya tidak dapat menemuinya.

Berdasarkan kasus diatas, terdapat sumber stresor yang memicu Lila yaitu
pada saat ayahnya menjadi pecandu narkoba dan melakukan kekerasan secara verbal
kepadanya dan anggota keluarganya yang lain. Pada saat menghadapi stresor tersebut,
pada awalnya Lila menerapkan perilaku fight dengan cara melaporkan perlakuan
ayahnya atas kasus KDRT kepada polisi dan BNN, namun tidak mendapatkan hasil
apapun. Setelah beberapa lama dan merasa frustasi, Lila kemudian menerapkan flight
di mana ia membawa ibu beserta para adiknya untuk kabur dari rumah. Pada saat
Ayah Lila menjemput secara tiba - tiba ke kantor dan membawa Lila ke rumahnya
secara paksa, ia masih belum menerapkan fight dengan ayahnya dan masih pasrah
untuk dipaksa pulang ke rumah. Ketika berada di rumah, Lila merasa khawatir akan
keselamatan ibu dan adiknya, sehingga kembali menerapkan flight dengan kabur dari
rumah ayah untuk menemui ibu dan para adiknya dengan berbagai cara untuk
menghilangkan jejaknya dari sang ayah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Aldwin, C. M. (2007). Stress, Coping, and Development. New York: The Guilford Press.

Cherry, K. (2019, August 19). How the Fight or Flight Responsse Works. Retrieved
September 22, 2020, from The American Institute of Stress:
https://www.stress.org/how-the-fight-or-flight-responsse-works#:~:text=Phobias
%20are%20good%20examples%20of,skyscraper%20to%20attend%20a%20meeting.

Crevecoeur, G., 2016. [online] researchgate. Available at:


<https://www.researchgate.net/publication/305609884_A_system_approach_to_the_
General_Adaptation_Syndrome> [Accessed 23 September 2020].

Fatimah, S. (2012). Hubungan antara tingkat stress dengan motivasi berprestasi siswa
semester II (dua) dan IV (empat) Jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Undergraduate thesis,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim .

Gasperin, D., Netuveli, G., Dias-da-Costa, J.S., & Pattussi, M.P. (2009). Effect of
psychological stress on blood pressure increase: a meta-analysis of cohort studies

Lianasari, D. (2009). Sumber stres karyawan lini depan perbankan: studi kasus PT Bank
Rakyat Indonesia (PERSERO) TBK kantor cabang jakarta-pasar minggu dan depok.
10-31.

Lumban Gaol, N., 2016. Teori Stres: Stimulus, Responss, dan Transaksional. Buletin
Psikologi, 24(1), p.1.

McCarty, R. (2016). The Fight-or-Flight Responsse: A Cornerstone of Stress Research. In


Stress: Concepts, Cognition, Emotion, and Behavior. Nashville: Elsevier Inc.

Nunez, K. (2020, February 21). Fight, Flight, Freeze: What This Responsse Means. Retrieved
September 22, 2020, from Healthline: https://www.healthline.com/health/mental-
health/fight-flight-freeze
Quick, J. C., & Spielberger, C. (1994). Walter Bradford Cannon: Pioneer of stress research.
International Journal of Stress Management, I(2), 141-143.

Reetu, K., & Ranabir, S. (2011). Stress and hormones. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism, 18-22.

Seaward, B. L. (1997). Managing stress: principles and strategies for health and wellbeing
(2nd ed.). Canada: Jones and Bartllet.

Samra, J. (2019). How the Fight, Flight & Freeze Responsse Works

Spielberger, C. (1979). Understanding stress and anxiety. London: Harper & Row Publishers.

Subramaniam, V. (2015). Hubungan Antara Stress dan Tekanan Darah Tinggi pada
Mahasiswa

Understanding the stress responsse. (2020, July 6). Retrieved September 22, 2020, from
Harvard Health Publishing: https://www.health.harvard.edu/staying-
healthy/understanding-the-stress-responsse

Taylor, S., Klein, L., Lewis, B., Gruenewald, T., Gurung, R., & Updegraff, J. (2000).
Biobehavioral response to stress in females: Tend-and-befriend, not fight-or-flight.
Psychological Review, X(3), 411-429.

Anda mungkin juga menyukai