Anda di halaman 1dari 29

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal

Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between the activeness in
participating at students organization and interpersonal competence on
college students. Subjects were students from Tarumanagara University (N =
156). A questionnaire was used to collect the data. The data were analyzed
through Pearsons correlation test. The result shows that there is a positive
and significant correlation between the activeness in participating at students
organization and interpersonal competence on college students.
Keywords: interpersonal competence, college student, organization

Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia
senantiasa memiliki kebutuhan dasar untuk mengembangkan hubungan interpersonal
yang hangat dengan sesama manusia (Baron & Byrne, 2004; Thalib, 1999). Untuk
dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang
memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi
(Lukman, 2000). Kecakapan ini dikenal juga dengan istilah kompetensi interpersonal.
Menurut Buhrmester (1996), kompetensi interpersonal merupakan kecakapan
atau kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina, dan
memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orangtua,
teman dekat, dan pasangan. Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang
merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan yang efektif dengan orang lain
dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi
hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kurangnya kompetensi interpersonal tersebut
dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dan terganggunya
kehidupan sosial seseorang.
Keberadaan kompetensi interpersonal dalam kehidupan sehari-hari sangat
diperlukan oleh setiap individu, tidak terkecuali oleh mahasiswa. Menurut Nashori

71

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

(2000), kompetensi interpersonal mahasiswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.


Salah satu faktor yang turut mempengaruhi kompetensi interpersonal mahasiswa
adalah aktivitas dan partisipasi sosial yang dijalaninya. Keikutsertaan mahasiswa pada
berbagai kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain serta kebiasaan
untuk hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab akan menjadikan
kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi berkembang (Mahoney & Cairns, 1997;
Mahoney, Cairns, & Farmer, 2003).
Nashori (2000) berpendapat bahwa mahasiswa dapat memanfaatkan berbagai
bentuk kegiatan organisasi kemahasiswaan yang tersedia di kampus untuk
membiasakan dirinya hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab
dengan orang lain. Kesempatan untuk mengembangkan pergaulan yang akrab dengan
orang lain dapat diperoleh salah satunya dengan cara aktif dalam organisasi
kemahasiswaan.
Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung senang
melibatkan diri dalam pelaksanaan berbagai acara maupun kegiatan yang diadakan
oleh organisasi kemahasiswaan tempatnya bergabung, misalnya dengan cara menjadi
panitia maupun pengurus organisasi (Priambodo, 2000). Dalam menjalankan tugasnya
sebagai panitia maupun pengurus organisasi, mahasiswa seringkali dihadapkan pada
situasi kerja sama dengan orang lain. Dalam situasi kerja sama, mahasiswa harus
mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang yang berada dalam lingkungan kerja
sama tersebut. Selain itu, mahasiswa juga harus mampu untuk mengatasi berbagai
konflik antarpribadi yang mungkin muncul dalam situasi kerja sama tersebut.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan untuk mengatasi konflik antarpribadi ini
dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa di dalam organisasi
kemahasiswaan (Nashori, 2000). Lebih lanjut, keaktifan di dalam organisasi
kemahasiswaan dapat menjadikan kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi
tumbuh dan berkembang.
Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik ditandai
dengan berkembangnya kemampuan untuk berinisiatif dalam memulai hubungan
interpersonal, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif,
kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk
mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester,

72

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Furman, Wittenberg, & Reis, 1988). Melalui berbagai pengalaman yang diperoleh
mahasiswa

seiring

dengan

keaktifannya

dalam

organisasi

kemahasiswaan,

kemampuan-kemampuan tersebut dapat semakin dikembangkan.


Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, terlihat
adanya

fenomena

hubungan

positif

antara

keaktifan

mengikuti

organisasi

kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Dalam pengertian,


semakin tinggi tingkat keaktifan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan,
semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Dengan bermaksud menguji
fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk mengungkapkan keberadaan
hubungan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi
interpersonal pada mahasiswa.

Organisasi Kemahasiswaan
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999,
organisasi kemahasiswaan adalah suatu wadah yang dibentuk untuk melaksanakan
peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan
mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi. Berikutnya,
organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi juga dipahami sebagai wahana dan
sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan
kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan
tinggi (Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 1). Ada dua tujuan
pendidikan tinggi. Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat
yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (Surat Keputusan
Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 2).
Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998 pasal 1 ayat
5 dijelaskan pula bahwa kegiatan organisasi kemahasiswaan meliputi penalaran dan
keilmuan, minat dan kegemaran, serta upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan
bakti sosial bagi masyarakat. Organisasi kemahasiswaan tersebut diselenggarakan

73

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan
keleluasaan yang lebih besar kepada mahasiswa (Surat Keputusan Mendikbud No.
155/U/1998, pasal 2).
Menurut Joesoef (1978), organisasi kemahasiswaan merupakan wadah yang
diharapkan mampu menampung seluruh kegiatan kemahasiswaan dan juga merupakan
sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir atau bernalar secara teratur di luar
perkuliahan formal, kemampuan berorganisasi, dan menumbuhkan kepemimpinan.
Selanjutnya Joesoef (1978) menambahkan bahwa dibentuknya organisasi atau
lembaga kemahasiswaan ini bertujuan untuk membantu mahasiswa mewujudkan
kekuatan penalaran yang secara potensial dimilikinya, kelak apabila mahasiswa
menerjunkan dirinya ke masyarakat setelah ia menyelesaikan studinya di perguruan
tinggi.
Sementara itu menurut Launa (2000), pengertian organisasi kemahasiswaan
tidak jauh berbeda dengan pengertian organisasi pada umumnya. Menurut Launa
(2000), organisasi kemahasiswaan kampus merupakan suatu wadah atau organisasi
yang bergerak di bidang kemahasiswaan, yang di dalamnya dilengkapi dengan
perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur, mekanisme, fungsi,
prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi mengarahkan seluruh
potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau cita-cita akhir yang ingin
dicapainya.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai
organisasi kemahasiswaan, dapat disimpulkan bahwa organisasi kemahasiswaan
adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah integritas
kepribadian, perluasan wawasan, peningkatan kecendekiawanan, serta peningkatan
kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan mahasiswa dalam
kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi, yang di dalam pelaksanaannya
dilengkapi dengan perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur,
mekanisme, fungsi, prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi
mengarahkan seluruh potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau
cita-cita akhir yang ingin dicapainya

74

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Ciri-ciri Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan


Menurut Priambodo (2000) dan Sarwono (1978), terdapat beberapa ciri yang
melekat dalam diri mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Salah satu
cirinya yaitu senang menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan.
Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan hampir selalu ingin terlibat
dalam kepengurusan harian maupun kepanitiaan berbagai kegiatan dan acara yang
diadakan organisasinya. Mereka bersedia untuk terlibat aktif mendorong pelaksanaan
berbagai kegiatan dalam organisasi tempatnya bergabung (Priambodo, 2000;
Sarwono, 1978).
Ciri selanjutnya yaitu cenderung sering duduk-duduk dan berbincang-bincang
di ruangan atau kantor organisasi kemahasiswaan yang diikuti. Mahasiswa-mahasiswa
yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung lebih banyak meluangkan
waktunya untuk berkumpul di ruangan atau kantor organisasi sambil duduk-duduk
dan berbincang-bincang dengan sesama anggota organisasi lainnya mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan organisasi yang diikuti maupun mengenai isu-isu yang beredar
di lingkungan luar atau masyarakat (Priambodo, 2000).
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Sarwono (1978), yang
mengemukakan bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan
cenderung lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal-hal yang sifatnya nonakademis. Mereka lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk berkumpul dan
berdiskusi tentang berbagai hal yang menyangkut keorganisasian dibandingkan untuk
memikirkan tugas-tugas perkuliahan.
Lebih lanjut, Priambodo (2000) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif
dalam organisasi kemahasiswaan, khususnya yang memegang jabatan sebagai
pemimpin, cenderung mempunyai wawasan yang luas tentang perkembangan dunia
luar maupun tentang hal-hal yang terjadi di seputar kampus. Di samping memiliki
wawasan yang luas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga
cenderung memandang segala sesuatu secara kritis (Sarwono, 1978). Mereka
cenderung lebih peka dan lebih kritis terhadap perkembangan kejadian-kejadian di
lingkungan luar, misalnya perkembangan keadaan politik di dalam maupun luar
negeri (Priambodo, 2000).

75

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Melengkapi beberapa ciri yang telah dikemukakan sebelumnya, Sarwono


(1978) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan
juga cenderung memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan
pendapat secara efektif, serta memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dan
mengambil resiko dalam bertindak.

Kompetensi Interpersonal
Kompetensi interpersonal adalah kecakapan yang memampukan individu
untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Pengertian
yang serupa juga dikemukakan oleh Darmawan (2002) dan Thalib (1999), yaitu:
kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk bergaul atau menjalin hubungan
dengan orang lain secara pribadi di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah,
tempat kerja, dan organisasi sosial lainnya.
Buhrmester

(1996)

mengemukakan

bahwa

kompetensi

interpersonal

merupakan kemampuan-kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun,


membina, dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan
dengan orang tua, teman dekat, dan pasangan. Kurangnya kemampuan tersebut dapat
mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial seseorang, misalnya menjadi pemalu,
menarik diri, memisahkan diri dari orang lain, dan memutuskan hubungan
(Buhrmester, 1996).
Lebih lanjut, kompetensi interpersonal juga dipahami sebagai kemampuan
individu untuk melakukan hubungan antarpribadi yang efektif dan untuk menuntun ke
arah tujuan komunikasi secara berhasil (Muhammady, 2001; Nashori, 2000). Menurut
Nashori (2000), individu yang mampu melakukan komunikasi interpersonal secara
efektif dapat disebut memiliki kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal
dalam konteks ini memuat berbagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang
diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif, yaitu suatu bentuk interaksi
yang dikarakteristikkan ketika seseorang dapat memahami orang lain dan orang lain
juga dapat memahaminya (Sperling & Berman, 1994; Zulkarnain, Lubis, & Asmara,
1997).
Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis
tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan

76

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

interpersonal yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan


mengenai konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan mengenai perilaku nonverbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan interaksi yang
tengah berlangsung dan dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan
kemampuan-kemampuan lainnya (De Vito, 1997). Dalam hal ini seorang individu
mampu untuk mengatur apakah hal yang akan dikomunikasikan itu layak untuk
dikomunikasikan pada orang tertentu dan di lingkungan tertentu atau tidak
(Muhammady, 2001; Nashori, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai
kompetensi interpersonal, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal adalah
kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun, membina, dan
memelihara hubungan interpersonal, agar dapat diperoleh kualitas hubungan
interpersonal

yang

memuaskan,

efektif,

dan

optimal.

Adanya

kompetensi

interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin
hubungan dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi, terutama yang berkaitan
dengan kesulitan dalam bergaul, seperti sikap cemas dan pemalu ketika berhubungan
dengan orang lain, perilaku menarik diri, dan sebagainya.
Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) menyatakan bahwa secara
umum kompetensi interpersonal terdiri dari lima komponen kemampuan antara lain
(a) kemampuan untuk berinisiatif, (b) kemampuan untuk membuka diri atau selfdisclosure, (c) kemampuan untuk bersikap asertif, (d) kemampuan untuk memberikan
dukungan emosional, dan (e) kemampuan untuk mengatasi konflik.

Mahasiswa
Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar di perguruan tinggi dan
merupakan bagian dari sivitas akademika (Kansil, Soepardi, & Kansil, 1998). Pada
umumnya, mahasiswa berusia antara 18-30 tahun. Dalam kerangka psikologi
perkembangan, usia mahasiswa merupakan fase peralihan antara fase remaja akhir
menuju dewasa awal (Pudjiwati, 1998). Pada masa remaja akhir, individu dituntut
untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa, baik secara sosial,
material, intelektual, profesional, dan okupasional (Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).

77

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Persiapan memasuki kehidupan dewasa, seperti persiapan berumah tangga, memasuki


kehidupan sosial dan menjadi bagian dari masyarakat, serta mendapatkan pekerjaan,
merupakan karakteristik utama dalam fase ini. Semuanya itu menuntut adanya
kematangan perkembangan pribadi. Namun transisi dalam fase ini tidak selamanya
berjalan mulus, adakalanya mengalami hambatan yang jika tidak diatasi akan
menimbulkan

kekecewaan

atau

bahkan

kegagalan

dalam

perkembangan

kepribadiannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004).

Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa


Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai
mahasiswa, dapat diketahui bahwa memasuki usia mahasiswa, yang merupakan fase
peralihan antara fase remaja akhir menuju dewasa awal, seorang individu dituntut
untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa. Salah satunya
adalah mempersiapkan diri secara sosial. Mempersiapkan diri untuk memasuki
kehidupan sosial yang lebih luas serta menjadi bagian dari masyarakat umum
merupakan bagian dari tugas perkembangan yang harus dijalani mahasiswa
(Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).
Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas
sebenarnya telah dimulai sejak seseorang memasuki periode remaja. Memasuki
periode remaja, seseorang mulai mengurangi intensitasnya untuk berinteraksi dengan
orang tua dan mulai menuju ke arah teman sebaya untuk membina hubungan yang
lebih akrab (Buhrmester, 1996). Pada periode ini, kebutuhan dan keinginan untuk
dapat berkomunikasi dan memperoleh teman yang banyak juga semakin meningkat.
Remaja mulai membentuk kelompok sahabat yang memiliki minat, kesukaan, dan
nilai-nilai yang sama serta banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan yang
melibatkan

banyak

orang

dan

menginginkan

kedekatan

emosional

dalam

kelompoknya (Mastuti, 2001).


Selanjutnya seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan sosial
seseorang juga mengalami perubahan. Apabila pada perioda remaja, seseorang
cenderung lebih banyak berinteraksi dengan teman yang sebaya, maka memasuki
perioda atau usia mahasiswa, seseorang cenderung memperluas hubungan sosialnya.
Hubungan sosial pada mahasiswa tidak hanya berorientasi pada teman sebaya,

78

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

melainkan sudah dikembangkan pada lingkungan sosial yang lebih luas, misalnya
dosen dan masyarakat secara umum (Sarwono, 2003). Dalam hal ini, mahasiswa
diharapkan mampu mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan
orang lain dan mampu mencapai tanggung jawab sosial dengan cara melibatkan diri
pada kegiatan-kegiatan sosial, baik di kampus, di kantor, maupun di lingkungan
umum (Pudjiwati, 1998).
Guna mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain
dan mencapai tanggung jawab sosial tersebut, mahasiswa membutuhkan unsur-unsur
keterampilan yang bersifat antarpribadi atau kompetensi interpersonal. Kompetensi
interpersonal pada mahasiswa merupakan seperangkat kemampuan dan kecakapan
yang sangat diperlukan mahasiswa guna membangun, membina, dan memelihara
hubungan interpersonal dengan orang lain, agar dapat diperoleh kualitas hubungan
interpersonal yang efektif, memuaskan, dan optimal (Buhrmester, 1996). Kompetensi
interpersonal pada mahasiswa meliputi kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan
untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk
memberikan dukungan emosional, serta kemampuan untuk mengatasi konflik yang
mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester et al., 1988). Adanya
kompetensi interpersonal ini akan memampukan mahasiswa untuk bergaul dan
berhubungan dengan orang lain secara efektif (Thalib, 1999).
Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik dapat
mengemukakan pandangan atau gagasannya secara jelas tanpa menyakiti orang lain.
Mereka juga biasanya mudah mendapatkan teman, mampu berkomunikasi secara
efektif dan memberikan informasi selama berkomunikasi tanpa perasaan tegang atau
perasaan tidak enak lainnya. Bahkan, mahasiswa yang memiliki kompetensi
interpersonal yang baik akan mampu pula mengemukakan ide-idenya secara
meyakinkan kepada orang lain dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi
dalam situasi interpersonal dengan efektif (Thalib, 1999).
Lebih lanjut, Thalib (1999) berpendapat bahwa kompetensi interpersonal yang
dimiliki

mahasiswa

akan

mempengaruhi

kemampuannya

untuk

melakukan

penyesuaian diri di lingkungan kampus. Di lingkungan kampus, seorang mahasiswa


dituntut untuk dapat membina hubungan interpersonal dan melakukan penyesuaian
diri. Tuntutan agar mahasiswa dapat menyesuaikan diri dan dapat membina hubungan

79

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

dengan individu lain hanya dapat terwujud apabila mahasiswa memiliki kompetensi
interpersonal yang cukup. Dengan adanya kompetensi interpersonal, mahasiswa akan
dapat menyesuaikan diri dengan cepat di lingkungan kampus dan dapat terhindar dari
isolasi sosial (Buhrmester, 1996).
Mengingat begitu pentingnya manfaat kompetensi interpersonal bagi
mahasiswa, saat ini banyak bermunculan kegiatan organisasi kemahasiswaan di
lingkungan kampus, yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan kompetensi
interpersonal pada mahasiswa. Melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan,
mahasiswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan banyak
orang serta untuk mengasah keterampilan bersosialisasi dan komunikasi. Selain itu,
mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang
dari beragam tipe kepribadian. Lebih lanjut, kemampuan mahasiswa untuk
menyelesaikan konflik maupun untuk bersikap asertif juga dapat terlatih seiring
dengan keterlibatan mereka pada kegiatan organisasi kemahasiswaan (Nashori, 2000).
Dengan

demikian,

berdasarkan

penjelasan

yang

telah

dikemukakan

sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal pada mahasiswa


merupakan hal yang sangat penting guna membangun, membina, dan memelihara
hubungan interpersonal yang memuaskan dan membahagiakan dengan orang lain.
Adanya kompetensi interpersonal ini akan memberikan sejumlah manfaat bagi
mahasiswa, diantaranya mudah mendapatkan teman, mampu melakukan komunikasi
yang efektif, mampu menyampaikan perasaan dan pendapat secara proporsional,
mampu menyelesaikan konflik, serta mampu menyesuaikan diri di lingkungan baru
dengan baik. Lebih lanjut, kompetensi interpersonal ini dapat lebih mudah
dikembangkan seiring dengan keterlibatan mahasiswa pada kegiatan-kegiatan sosial
baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan umum.
Mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan individu-individu lain
dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
Hal ini tentunya semakin memperkaya pengalaman mereka yang terlibat aktif dalam
organisasi kemahasiswaan dalam menghadapi individu-individu dengan berbagai
karakter kepribadian. Dengan perkataan lain, mahasiswa yang aktif mengikuti
organisasi kemahasiswaan lebih terlatih secara sosial dan lebih kompeten dalam

80

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

menghadapi berbagai situasi interpersonal dibandingkan dengan mahasiswa yang


jarang atau bahkan tidak pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan.
Dalam organisasi kemahasiswaan yang mengharuskan mahasiswa untuk
berinteraksi secara langsung dengan individu-individu lain, mahasiswa dilatih untuk
memiliki sikap inisiatif, asertif, terbuka, dan empati. Melalui kegiatan organisasi
kemahasiswaan ini, mahasiswa didorong untuk menjadi pribadi yang aktif dalam
berinteraksi dengan individu lain. Selanjutnya, keikutsertaan mahasiswa pada
berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan juga akan mengembangkan keterampilan
mereka dalam menyelesaikan konflik, baik yang terjadi dalam tubuh organisasi
maupun konflik antarpribadi. Lebih lanjut melalui berbagai pengalaman di dalam
organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat memperoleh kesempatan yang lebih
besar

untuk

mengasah

kepekaan

dan

keterampilan

bersosialisasi

maupun

berkomunikasi serta dapat mempelajari cara-cara untuk mengembangkan jaringan


sosial, baik di dalam maupun di luar kampus, cara-cara untuk beradaptasi dengan
lingkungan sosial, dan cara-cara untuk memelihara hubungan interpersonal yang
hangat dengan orang lain. Selain itu melalui kegiatan kemahasiswaan, mahasiswa
juga dibiasakan untuk hidup bersama, bekerja sama, dan mengembangkan pergaulan
yang akrab dengan individu lain. Pengalaman-pengalaman seperti ini tentunya akan
meningkatkan kompetensi interpersonal mahasiswa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa umumnya mahasiswa yang aktif
dalam berbagai organisasi kemahasiswaan akan memiliki kompetensi interpersonal
yang lebih baik dibandingkan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi
kemahasiswaan. Mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan
memiliki pengalaman dan kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dan
untuk memperluas jaringan pertemanan dengan individu lain. Hal ini akan membuat
keterampilan sosial mahasiswa semakin terasah dan semakin kompeten dalam
mengatasi situasi interpersonal sehingga mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk
menyesuaikan diri dan membina hubungan interpersonal yang hangat ketika
berhadapan dengan individu lain. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
sebelumnya, peneliti mengajukan hipotesis penelitian, yaitu: terdapat hubungan
positif antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi
interpersonal pada mahasiswa.

81

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

METODE PENELITIAN
Subjek
Subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 156 orang,
teridiri dari 100 (64,1%) laki-laki, dan 56 (35,9%) perempuan. Berdasarkan data yang
diperoleh mengenai usia, diketahui bahwa usia minimum subjek penelitian adalah 18
tahun dan usia maksimumnya adalah 25 tahun, dengan usia rata-rata subjek penelitian
adalah 21,08 tahun dengan standar deviasi sebesar 1,36. Selanjutnya berdasarkan data
yang diperoleh mengenai golongan usia, diketahui bahwa subjek penelitian yang
berada di periode remaja akhir atau yang berusia antara 18 - 21 tahun berjumlah 99
orang (63,5%) dan subjek penelitian yang berada di periode dewasa awal atau yang
berusia antara 22 25 tahun berjumlah 57 orang (36,5%).

Pengukuran
Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari
sejumlah butir pernyataan. Kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian terdiri
dari empat bagian. Bagian pertama berupa pengantar yang terdiri dari salam pembuka
dari peneliti, tujuan penelitian, keterangan bahwa identitas akan dirahasiakan,
petunjuk pengisian, dan ucapan terima kasih atas kesediaan subjek untuk bekerja
sama sebagai penutup. Selanjutnya, bagian kedua berupa surat persetujuan yang
menyatakan kesediaan subjek untuk dilibatkan dalam penelitian. Kemudian, bagian
ketiga berupa data kontrol yang terdiri dari usia, jenis kelamin, fakultas/jurusan,
semester/angkatan, IPK, organisasi kemahasiswaan yang dikuti, jabatan dalam
organisasi kemahasiswaan, lamanya bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.
Terakhir, berupa skala pengukuran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan
dan skala kompetensi interpersonal.

Pengukuran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan.

Variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan diukur dengan


menggunakan alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang dibuat
oleh peneliti dengan mengacu pada ciri-ciri mahasiswa aktivis yang dikemukakan
oleh Sarwono (1978) dan Priambodo (2000).

82

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Semakin tinggi skor total keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan,


maka semakin tinggi pula kecenderungan subjek untuk melibatkan diri secara aktif
dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Keterlibatan tersebut antara lain ditandai
dengan tingkah laku seperti: (1) sering melibatkan diri menjadi ketua organisasi, ketua
panitia, koordinator, maupun anggota panitia dalam berbagai kegiatan kampus; (2)
mengenal dan dikenal oleh berbagai lembaga dan pihak yang ada di lingkungan
kampus; (3) selalu menyempatkan diri untuk datang ke sekretariat organisasi; (4)
sering memberikan arahan maupun pandangan kepada teman-teman mengenai kondisi
sosial yang diharapkan; (5) sering menanggapi permasalahan sosial yang ada secara
lisan maupun tulisan; (6) sering berkomunikasi, berdiskusi, dan berkoordinasi dengan
teman mengenai urusan organisasi; (7) sering mengemukakan pendapat dalam suatu
forum pertemuan maupun rapat organisasi; (8) sering menggunakan sebagian besar
waktu yang dimiliki untuk mengurus kegiatan organisasi; (9) memiliki lebih banyak
informasi mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar; (10) sering
mendiskusikan dan memberikan ide-ide untuk mengembangkan organisasi; (11)
memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan kewajiban perkuliahan; (12)
sering memberikan kontribusi atau bantuan yang bersifat materi maupun non-material
(waktu, tenaga, dan pemikiran) kepada organisasi; (13) serta cenderung menyukai
tantangan dan pengalaman baru. Alat ukur keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan yang terdiri dari 36 butir memiliki koefisien konsistensi reliabilitas
internal sebesar 0,943.

Pengukuran Kompetensi Interpersonal

Variabel kompetensi interpersonal diukur dengan menggunakan alat ukur


kompetensi interpersonal yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori
kompetensi interpersonal yang dikemukakan oleh Buhrmester et al. (1988). Semakin
tinggi skor yang diperoleh pada alat ukur kompetensi interpersonal, maka semakin
subjek memiliki kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun,
membina, dan memelihara hubungan interpersonal. Dengan perkataan lain, semakin
tinggi skor yang diperoleh per dimensi, maka semakin subjek memiliki kemampuan
untuk berinisiatif; semakin subjek memiliki kemampuan untuk membuka diri;
semakin subjek memiliki kemampuan untuk bersikap asertif; semakin subjek

83

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan emosional; dan semakin subjek


memiliki kemampuan untuk mengatasi konflik. Demikian pula sebaliknya.
Pengujian reliabilitas yang dilakukan pada alat ukur kompetensi interpersonal,
dimensi kemampuan untuk berinisiatif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach
sebesar 0,683. Dimensi ini memuat 6 butir pernyataan, yang terdiri dari 3 butir
pernyataan positif dan 3 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir
pernyataan tersebut adalah: Ketika saya sedang menghadiri suatu acara atau pesta,
saya senang mengajak orang yang saya temui berkenalan lebih dulu (butir
pernyataan positif); dan Sulit bagi saya untuk memulai pembicaraan dengan orang
yang baru saya kenal (butir pernyataan negatif).
Pengujian reliabilitas pada alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi
kemampuan untuk membuka diri menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar
0,545. Dimensi ini memuat 8 butir pernyataan, yang terdiri dari 4 butir pernyataan
positif dan 4 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut
adalah: Saya berani mengemukakan hal-hal yang bersifat pribadi ketika sedang
berbicara dengan orang yang baru saya kenal (butir pernyataan positif); dan Saya
merasa enggan apabila harus menceritakan masalah dan kehidupan pribadi saya
kepada orang lain (butir pernyataan negatif).
Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan
untuk bersikap asertif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,646.
Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir pernyataan positif
dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah:
Pada saat saya merasa tidak sepaham dengan pendapat orang lain, saya akan
berterus terang (butir pernyataan positif); dan Saya merasa agak sungkan apabila
harus menolak permintaan orang lain (butir pernyataan negatif).
Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan
untuk memberikan dukungan emosional menghasilkan koefisien Alpha Cronbach
sebesar 0,799. Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir
pernyataan positif dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir
pernyataan tersebut adalah: Pada saat seseorang menceritakan masalahnya kepada
saya, saya dapat ikut merasakan kesedihan dan kegelisahan yang dialami oleh orang

84

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

tersebut (butir pernyataan positif); dan Kadang-kadang saya cenderung acuh tak
acuh dengan perasaan orang lain (butir pernyataan negatif).
Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan
untuk mengatasi konflik menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,643.
Dimensi ini memuat 10 butir pernyataan, yang terdiri dari 5 butir pernyataan positif
dan 5 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah:
Dalam setiap situasi masalah yang pernah saya alami, saya selalu berhasil
menemukan pilihan atau jalan keluar yang akan menguntungkan saya dan orang lain
(butir pernyataan positif); dan Kadang saya kurang memahami apa yang harus
saya lakukan apabila timbul masalah antara saya dan orang lain (butir pernyataan
negatif).
Prosedur
Peneliti melakukan proses pengambilan data dari tanggal 1-14 September
2005. Tempat pengambilan data adalah di lingkungan Universitas Tarumanagara yang
terletak di wilayah Jakarta Barat. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara
menyebarkan kuesioner lengkap yang terdiri dari kata pengantar, surat persetujuan,
data diri subjek atau data kontrol, alat ukur keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan, dan alat ukur kompetensi interpersonal kepada subjek penelitian,
yaitu mahasiswa Universitas Tarumanagara yang aktif mengikuti kegiatan organisasi
kemahasiswaan sekurang-kurangnya selama satu tahun terakhir.
Dalam proses pengambilan data di lapangan, peneliti dibantu oleh beberapa
orang rekan peneliti yang sebelumnya telah diberikan penjelasan singkat (briefing)
oleh peneliti mengenai garis besar penelitian, instruksi, alat ukur, dan hal-hal lain
yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan data. Selanjutnya bersama dengan
rekan yang telah diberikan penjelasan singkat (briefing), peneliti mendatangi subjek
penelitian di setiap fakultas dan di setiap ruangan organisasi kemahasiswaan tingkat
fakultas maupun tingkat universitas, meminta kesediaan waktu selama 30 menit untuk
mengisi kuesioner yang tersedia, memberikan instruksi singkat dan petunjuk
pengisian kuesioner, serta membagikan kuesioner kepada subjek penelitian.
Selanjutnya

setelah

selesai

memberikan

instruksi

singkat,

peneliti

membagikan kuesioner kepada masing-masing subjek penelitian. Diperkirakan subjek

85

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

memerlukan waktu lebih kurang 30 menit untuk mengisi kuesioner tersebut sampai
selesai. Kemudian setelah subjek mengembalikan kuesioner yang sudah terisi, peneliti
tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta memberikan
souvenir kepada subjek yang telah membantu peneliti.
Jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti adalah 244 buah.
Namun, setelah dilakukan screening ternyata hanya 156 buah kuesioner yang datanya
valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian.

HASIL PENELITIAN

Analisis data penelitian yang akan dibahas meliputi gambaran mengenai


keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal subjek
penelitian; uji korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan
kompetensi interpersonal; serta analisis data tambahan. Metode statistik yang
digunakan untuk analisis data adalah metode deskriptif dan inferensial, yang
dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.

Gambaran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan


Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh
subjek penelitian untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan
adalah 1,37, sedangkan skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk
variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan adalah 5,69. Sementara itu,
hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan adalah 3,39 dengan standar deviasi sebesar 0,94. Apabila
dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban mulai
dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan berada di bawah titik tengah alat ukur atau cenderung rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa subjek cenderung kurang melibatkan diri dalam kegiatankegiatan yang diadakan oleh organisasi kampus serta jarang memberikan kontribusi
berupa waktu, tenaga, dan pemikiran bagi organisasi.

86

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Gambaran Kompetensi Interpersonal


Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh
subjek penelitian untuk variabel kompetensi interpersonal adalah 2,60, sedangkan
skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel kompetensi
interpersonal adalah 5,11. Sementara itu, hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk
variabel kompetensi interpersonal adalah 3,74 dengan standar deviasi sebesar 0,46.
Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban
mulai dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata kompetensi interpersonal berada
di atas titik tengah alat ukur atau cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
subjek cenderung mampu untuk memulai suatu interaksi dengan orang lain, untuk
membuka diri, untuk bersikap asertif, untuk memberikan dukungan emosional, dan
untuk mengatasi konflik dengan baik.

Tabel 1.
Gambaran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal
Variabel
M
SD
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan
3,39
0,94
Kompetensi Interpersonal (Secara Umum)
3,74
0,46
- Dimensi Kemampuan untuk Berinisiatif
3,59
0,80
- Dimensi Kemampuan untuk Membuka Diri
3,39
0,69
- Dimensi Kemampuan untuk Bersikap Asertif
3,88
0,64
- Dimensi Kemampuan untuk Memberikan Dukungan Emosional
4,09
0,61
- Dimensi Kemampuan untuk Mengatasi Konflik
3,72
0,62

Uji Korelasi antara Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan dan


Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa
Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan
kompetensi interpersonal dilakukan dengan menggunakan perhitungan korelasi
Pearson. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa r(238) = 0,379 dan p < 0,01. Nilai ini
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel
keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan variabel kompetensi interpersonal.
Hal ini berarti, semakin tinggi keaktifan subjek dalam mengikuti organisasi
kemahasiswaan maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya.

87

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Analisis Data Tambahan


Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis terhadap beberapa data
tambahan. Hasil analisis terhadap data tambahan ini dapat digunakan untuk
melengkapi hasil analisis sebelumnya. Metode yang digunakan dalam analisis data
tambahan ini adalah metode inferensial berupa independent sample t-test dan one way
anova serta metode deskriptif berupa perhitungan frekuensi dan persentase, yang
dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan


mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek laki-laki adalah 3,74 (SD = 0,86)
dan pada subjek perempuan adalah 3,06 (SD = 0,90). Selanjutnya berdasarkan hasil
analisis dengan independent sample t-test, diketahui bahwa t(238) = 5,905 dan p <
0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang
signifikan antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari rata-rata skornya,
nampak bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat keaktifan yang
secara signifikan lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada
perempuan.
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Asal Fakultas

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan


mengikuti organisasi kemahasiswaan yang paling tinggi ada pada subjek yang berasal
dari Fakultas Teknik, yaitu: 3,77 (SD = 0,85). Rata-rata skor keaktifan mengikuti
organisasi kemahasiswaan yang paling rendah ada pada subjek yang berasal dari
Fakultas Kedokteran adalah 3,05 (SD = 0,87). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis
dengan one way anova, diketahui bahwa F(6, 233) = 4,394 dan p < 0,01. Artinya, ada
perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara
subjek berdasarkan asal Fakultas.

88

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.


Tabel 2.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan asal fakultas.
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan
Fakultas
Rata-rata
SD
Ekonomi
3,61
0,92
Hukum
3,59
0,99
Teknik
3,77
0,85
Kedokteran
3,05
0,87
Psikologi
3,07
0,93
Seni Rupa dan Desain
3,23
0,76
Teknologi Informasi
3,71
1,28
**. Signifikan pada level 0,01

F
4,394**

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Semester

Dari rata-rata skor tingkat keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan,


nampak bahwa subjek yang berada di semester 11 dan 13 tergolong memiliki tingkat
keaktifan yang paling tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada
subjek yang berada di semester 3, semester 5, semester 7, dan semester 9. Keterangan
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan hasil analisis dengan one way
anova, diketahui bahwa F(5, 234) = 2,893 dan p < 0,05. Artinya, ada perbedaan
keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan semester.

Tabel 3.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan semester.
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan
Semester
Rata-rata
SD
3
3,05
0,81
5
3,54
0,81
7
3,33
0,98
9
3,28
0,97
11
4,27
0,52
13
4,07
2,28
*. Signifikan pada level 0,05

F
2,893*

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang memiliki
nilai IPK di bawah 2.00 memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti
organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang memiliki nilai IPK di atas 2.00.
Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan hasil analisis
dengan one way anova, diketahui bahwa F(3, 236) = 3,512 dan p < 0,05. Artinya, ada

89

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara


subjek yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00 dan subjek yang memiliki nilai IPK di
atas 2.00.

Tabel 4.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaani berdasarkan golongan IPK.
Golongan IPK
< 2.00
2.00 2.75
2.76 3.50
3.51 4.00
*. Signifikan pada level 0,05

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan


Rata-rata
SD
4,04
0,47
3,52
0,98
3,16
0,88
3,51
0,70

F
3,512*

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Status Keikutsertaan dalam


Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan


mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang ikut serta dalam kegiatan
organisasi kemahasiswaan adalah 3,84 (SD = 0,78), sedangkan rata-rata skor
keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang tidak ikut serta
dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan adalah 2,56 (SD = 0,59). Sementara itu
berdasarkan hasil analisis dengan independent sample t-test, diketahui bahwa t(238) =
-14,220 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang ikut serta dan yang tidak ikut serta
dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.
Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang ikut serta
dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan memiliki tingkat keaktifan yang lebih
tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang tidak ikut
serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Hal ini sekaligus membuktikan
bahwa alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki
kemampuan untuk membedakan tingkat keaktifan antara kelompok subjek yang ikut
serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan dengan kelompok subjek yang tidak
ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dengan perkataan lain, alat ukur
keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki discriminant validity
yang baik. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.

90

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Tabel 5.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan status keikutsertaan dalam
organisasi kemahasiswaan.
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan
Status Keikutsertaan
t
Rata-rata
SD
Ikut Serta
3,84
0,78
-14,220**
Tidak Ikut Serta
2,56
0,59
**. Signifikan pada level 0,01
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi
Kemahasiswaan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan


mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai
ketua organisasi adalah 2,56 (SD = 0,50). Rata-rata skor keaktifan mengikuti
organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus
organisasi adalah 3,93 (SD = 0,64). Rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai anggota biasa adalah
3,33 (SD = 0,91).
Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui
bahwa F(2, 153) = 32,955 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti
organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang menduduki jabatan
sebagai ketua organisasi, pengurus organisasi, dan anggota biasa. Apabila dilihat dari
rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus
organisasi memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi
kemahasiswaan daripada subjek yang menduduki jabatan sebagai ketua organisasi dan
anggota biasa. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan jabatan dalam
organisasi kemahasiswaan.
Jabatan
Ketua Organisasi
Pengurus Organisasi
Anggota Biasa
**. Signifikan pada level 0,01

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan


Rata-rata
SD
2,56
0,50
3,93
0,64
3,33
0,91

F
32,955**

91

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Lama Bergabung

Apabila

dilihat

dari

rata-rata

skor

keaktifan

mengikuti

organisasi

kemahasiswaan, nampak bahwa subjek yang telah bergabung selama 4 tahun


memiliki tingkat keaktifan yang cenderung paling tinggi dalam mengikuti organisasi
kemahasiswaan dibandingkan dengan subjek yang telah bergabung selama kurang
atau lebih dari 4 tahun. Berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui
bahwa F(8, 147) = 2,781 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti
organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan lamanya bergabung.
Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7.
Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan lama bergabung.
Lama Bergabung
Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan
F
(dalam tahun)
Rata-rata
SD
1
3,46
0,76
2,781**
1,5
3,60
0,89
2
3,50
0,91
2,5
3,84
0,96
3
4,21
0,83
3,5
3,52
0,84
4
4,26
0,53
4,5
4,13
0,28
5
2,60
0,00
**. Signifikan pada level 0,01
Gambaran Alasan Subjek Penelitian Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ada 2 alasan utama
yang diungkapkan oleh subjek sehingga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.
Dua alasan utama subjek tersebut adalah untuk mengembangkan hubungan sosial dan
menambah teman dan untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru.
Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8.
Gambaran alasan subjek penelitian bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.
Alasan Bergabung
Frekuensi
Persentase
Untuk mengembangkan hubungan sosial dan menambah teman
65
41,7
Untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru
33
21,2
Untuk menyalurkan aspirasi, bakat, minat secara lebih terarah
27
17,3
Untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal
16
10,3
Lain-lain
11
5,9
Untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari orang lain
4
2,6

92

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Gambaran Manfaat yang Didapatkan Subjek Penelitian dengan Mengikuti Organisasi


Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan tiga manfaat utama yang
dirasakan oleh subjek yang bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.

Ketiga

manfaat tersebut, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk memperluas pergaulan dan
memperoleh banyak teman; (2) adanya kesempatan untuk mempelajari dan
menambah pengalaman mengenai organisasi; (3) adanya kesempatan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru. Gambaran selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9.
Gambaran manfaat yang didapatkan subjek penelitian dengan mengikuti organisasi
kemahasiswaan.
Manfaat
Frekuensi
Persentase
Dapat memperluas pergaulan dan memperoleh banyak teman
35
22,4
Dapat mempelajari dan menambah pengalaman mengenai organisasi
34
21,8
Dapat menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru
32
20,5
Dapat membentuk kepribadian menjadi lebih matang dan dewasa
21
13,5
Dapat belajar bekerja sama dalam kelompok atau tim
12
7,7
Dapat melatih diri untuk bertanggung jawab dengan pekerjaan atau tugas
15
9,6
Dapat berprestasi di bidang yang diminati
1
0,6
Dapat melatih kemampuan memimpin
1
0,6
Dapat mematangkan kerohanian
1
0,6
Dapat dengan bebas menggunakan fasilitas kampus
1
0,6
Dapat membantu teman-teman mahasiswa
1
0,6
Dapat mengembangkan bakat dan talenta
1
0,6
Dapat menjaga kebugaran tubuh
1
0,6
Gambaran Dampak Negatif yang Dirasakan Subjek Penelitian Selama Mengikuti Organisasi
Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan ada 2 hal yang dirasakan
sebagai dampak negatif oleh subjek selama mengikuti organisasi kemahasiswaan.
Pertama, adalah kesulitan untuk membagi waktu antara kuliah dan kegiatan
berorganisasi. Kedua, adalah timbulnya kelelahan atau terkurasnya energi fisik.
Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 10.

93

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Tabel 10.
Gambaran dampak negatif yang dirasakan subjek penelitian selama mengikuti
kemahasiswaan.
Dampak Negatif
Kesulitan membagi waktu antara kuliah dan organisasi
Cukup melelahkan, menguras energi dan stamina
Sering dinilai sebagai orang yang sombong, sok berkuasa, dan sok eksklusif
Kurang fokus pada pelajaran sehingga nilai menurun
Hubungan dengan orang lain menjadi agak kurang harmonis

organisasi
f
59
56
5
18
18

%
37,8
35,9
3,2
11,5
11,5

PEMBAHASAN

Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan


kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi
interpersonal pada mahasiswa. Ini berarti, semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam
mengikuti organisasi kemahasiswaan, maka semakin tinggi pula kompetensi
interpersonalnya.
Hal ini dapat dipahami mengingat mahasiswa yang aktif dalam organisasi
kemahasiswaan cenderung memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dalam
bertindak, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat
secara efektif, serta memiliki kepekaan terhadap kejadian-kejadian yang berkembang
di lingkungan sosial (Priambodo, 2000; Sarwono, 1978). Karakteristik-karakteristik
tersebut dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa dalam organisasi
kemahasiswaan. Berkembangnya karakteristik-karakteristik tersebut berhubungan erat
dengan kompetensi interpersonal mahasiswa yang ditandai dengan kemampuan untuk
berinisiatif, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif,
kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk
mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Nashori, 2000).
Berikut ini adalah beberapa penjelasan mengenai hal tersebut.
Pengalaman aktif dalam organisasi kemahasiswaan melatih diri mahasiswa
yang tergabung di dalamnya untuk lebih berani berprakarsa dalam bertindak.
Keberanian untuk mengambil tindakan ini dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri
mahasiswa. Dalam situasi interpersonal, keberanian untuk berprakarsa dalam

94

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

mengambil tindakan dan rasa percaya diri ini menuntun mahasiswa pada kemampuan
untuk berinisiatif dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.
Selanjutnya, aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga memberikan
kesempatan bagi mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk berinteraksi dan
berhadapan dengan orang lain dengan berbagai tipe kepribadian. Sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Nashori (2000), pengalaman berhadapan dengan orang lain
dengan beragam tipe kepribadian akan membiasakan mahasiswa pada kemampuan
untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara efektif. Dalam situasi
interpersonal, kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat ini
menuntun mahasiswa pada kemampuan untuk membuka diri, untuk bersikap asertif,
dan untuk mengatasi konflik interpersonal.
Selain kedua hal di atas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi
kemahasiswaan juga memiliki kepekaan terhadap berbagai kejadian yang berkembang
di lingkungan sosial (Priambodo, 2000). Menurut Buhrmester et al. (dikutip oleh
Nashori, 2000), kepekaan ini dapat menumbuhkan perasaan empati terhadap sesama.
Dalam membina hubungan interpersonal, kemampuan untuk berempati terhadap
sesama sangat dibutuhkan, karena adanya perasaan empati ini memberikan
kemampuan pada mahasiswa untuk memberikan dukungan emosional terhadap
sesamanya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa berbagai pengalaman dan
keterampilan yang diperoleh mahasiswa seiring dengan keaktifannya dalam organisasi
kemahasiswaan dapat menumbuhkan kemampuan mereka untuk menjalin hubungan
interpersonal yang memuaskan. Hal ini cukup menjelaskan mengapa mahasiswa yang
aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung memiliki kompetensi interpersonal
yang baik.
Namun, perlu dipahami juga bahwa kompetensi interpersonal mahasiswa tidak
hanya dapat dikembangkan melalui organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus.
Selain organisasi kemahasiswaan di kampus, masih terdapat beberapa bentuk
organisasi lain di luar kampus yang dapat diikuti oleh mahasiswa dalam rangka
mengembangkan kompetensi interpersonalnya.
Berikutnya hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari
semester dalam perkuliahan, nampak bahwa mahasiswa yang berasal dari semester 11

95

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

dan 13 (angkatan 99 & 00) memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam
mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada mahasiswa yang berasal dari semester
lainnya (angkatan 04, angkatan 03, angkatan 02, & angkatan 01). Hal tersebut
diperkirakan disebabkan oleh lebih banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh
mahasiswa yang berasal dari angkatan 99 mengingat kesibukan akademik yang tidak
lagi padat. Banyaknya waktu luang yang dimiliki memberikan kesempatan bagi
mahasiswa untuk lebih mengaktifkan dirinya dalam organisasi kemahasiswaan.
Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari
golongan IPK, nampak bahwa mahasiswa yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00
memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi
kemahasiswaan daripada mahasiswa yang memiliki nilai IPK di atas 2.00. Nilai IPK
yang berada di bawah rata-rata ini diperkirakan disebabkan karena ketidakmampuan
mahasiswa untuk membagi waktu antara kegiatan kuliah dan kesibukan berorganisasi
sehingga berdampak pada menurunnya nilai prestasi akademik. Kesibukan mahasiswa
dalam mengurus berbagai hal yang menyangkut keorganisasian kadangkala membuat
mereka harus mengesampingkan kegiatan kuliahnya dan tanpa mereka sadari prestasi
akademik pun menjadi menurun.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa


terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi
kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Hal ini berarti,
semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan,
semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah
keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan, semakin rendah
pula kompetensi interpersonalnya.

96

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Social psychology: Understanding human


interaction (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon.
Buhrmester, D. (1996). Need fulfillment, interpersonal competence, and the
developmental context of early adolescent friendship. In W. M. Bukowski, A.
F. Newcomb, & W. W. Hartup (Eds.), The company they keep: Friendship in
childhood and adolescence (pp. 158185). New York: Cambridge University
Press.
Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M. T., & Reis, H. T. (1988). Five domains
of interpersonal competence in peer relationships. Journal of Personality and
Social Psychology, 55(6), 9911008.
Damayanti, M. G. E., Prihanto, F.X. S., & Lasmono, H. K. (1995). Hubungan antara
kualitas komunikasi dalam keluarga dan self-disclosure dengan kepuasan
hidup pada remaja delingkuen di lembaga permasyarakatan kelas IIA
Tangerang. Jurnal Anima, 10(38), 3548.
Darmawan, A. (2002). Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan
keterlibatan kerja pada tenaga perawat. Jurnal Psikodinamik, 4(2), 103112.
De Vito, J. A. (1997). The interpersonal communication book (8th ed.). New York:
Harper Collins.
Huang, Y., & Chang, S. (2004, July). Academic and cocurricular involvement: Their
relationship and the best combinations for student growth. Retrieved May 18,
2005, from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752
Joesoef, D. (1978). Normalisasi kehidupan kampus dan bentuk penataan kembali
kehidupan kampus. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Juriana. (2000). Kesesuaian antara konsep diri nyata dan ideal dengan kemampuan
manajemen diri pada mahasiswa pelaku organisasi. Psikologika, 5(9), 6575.
Kansil, C. S. T., Soepardi, R. B. (1998). Sistem pendidikan tinggi. Jakarta: UPT
Penerbitan Universitas Tarumanagara.
Launa. (2000, Desember). Gerakan intelektual dan aksi massa mahasiswa: Refleksi
dan prospeksi peran politik mahasiswa era orde baru. Widya, 183, 4957.

97

Jurnal Phronesis
Juni 2006 Vol. 8, No. 1, 71-99

Lukman, M. (2000). Kemandirian anak asuh di panti asuhan yatim Islam ditinjau dari
konsep diri dan kompetensi interpersonal. Jurnal Psikologika, 5(10), 5774.
Mahoney, J. L., & Cairns, R. B. (1997). Do extracurricular activities protect against
early school dropout? Developmental Psychology, 33(2), 241253.
Mahoney, J. L., Cairns, R. B., & Farmer, T. W. (2003). Promoting interpersonal
competence and educational success through extracurricular activity
participation. Journal of Educational Psychology, 95(2), 409418.
Mastuti, E. (2001). Studi korelasi antara rasa percaya (trust) dan ketertarikan
(attraction) dengan kecenderungan pengungkapan diri (self-disclosure) dalam
hubungan interpersonal. Jurnal Insan, 3(1), 5059.
Muhammady, F. F. (2001). Kompetensi komunikasi antarbudaya dalam proses
interaksi kaum pedagang: Studi kasus pada proses interaksi kaum pedagang
etnis Padang dan etnis Sunda di Pasar Mayestik Jakarta Selatan. Tesis tidak
diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.
Nashori, F. (2000). Hubungan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal
mahasiswa. Jurnal Anima, 16(1), 3240.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development (9th ed.).
New York: McGraw-Hill.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan
Tinggi.
Priambodo, A. (2000). Sikap politik, pengaruh kelompok, dan partisipasi politik di
kalangan mahasiswa: Studi deskriptif pada mahasiswa Universitas Indonesia.
Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.
Pudjiwati. (1998, April). Peranan penasehat akademik dalam upaya pendewasaan
mahasiswa. Widya, 151, 5155.
Sarwono, S. W. (1978). Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan
protes mahasiswa: Suatu studi psikologi sosial. Tesis tidak diterbitkan,
Universitas Indonesia, Depok.
Sarwono, S. W. (2003). Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sperling, M. B., & Berman, W. H. (Eds.). (1994). Attachment in adults: Clinical and
developmental perspectives. New York: The Guillford Press.

98

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal


Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi.
Thalib, S. B. (1999). Hubungan percaya diri dan harga diri dengan kemampuan
bergaul mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3), 247256.
Zulkarnain, I., Lubis, S., & Asmara, S. (1997). Konsep diri dan efektivitas komunikasi
antarpribadi. Laporan Penelitian tidak diterbitkan, Universitas Sumatera
Utara.

99

Anda mungkin juga menyukai