Anda di halaman 1dari 17

TEORI PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON DAN TAHAP-TAHAP

PERKEMBANGAN SERTA KRITIKANNYA BERDASARKAN


PSIKOLOGI ISLAM

Disusun oleh Kelompok 1:


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Vicky Oktaryanto
Tria Noveinia
Indah Amelia
Arin D.M
Sasmi Akta
Suci Asmara
Umi

Dosen Pembimbing

: Eko Oktapiya Hadinata, S.Psi.I., MA,Si

Mata Kuliah

: Psikologi Kepribadian I

Jurusan

: Psikologi Islam

Fakultas

: Ushuluddin dan Pemikiran Islam

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


RADEN FATAH PALEMBANG
2016

DAFTAR ISI
Daftar isi..............................................................................................................................iiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan.............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikososial menurut Erik Erikson.........................................................5
B. Tahap Tahap Perkembangan.................................................................................7
C. Kritikan Menurut Psikologi Islam...........................................................................8
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN...................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi kebanyakan anak, paling tidak di tahun-tahun awal, tumbuh berarti menjadi
lebih besar, lebih kuat, dan lebih terkoordinasi. Tumbuh juga dapat menjadi saat saat yang
menakutkan, mengecewakan, menggairahkan, dan membingungkan.
Anak-anak prasekolah sangat aktif. Keterampilan motorik-kasar (otot-otot besar)
mereka meningkat tajam selama umur dua hingga lima tahun. Antara umur itu, otot-otot anak
prasekolah tumbuh lebih kuat, keseimbangan mereka meningkat, pusat gravitasi mereka
pindah lebih rendah, sehingga mereka dapat lari, melompat, memanjat, dan meloncat. Bagi
anak-anak kecil, seperti halnya bagi banyak remaja dan orang dewasa, kegiatan fisik dapat
menjadi tujuan kegiatan itu sendiri. Oleh karena mereka tidak selalu dapat memutuskan
kapan harus berhenti, anak-anak prasekolah mungkin membutuhkan saat-saat istirahat yang
dijadwalkan setelah periode menguras tenaga (Daercey & Travers, 2006)
Namun, selama tahun-tahun sekolah dasar, perkembangan fisik terjadi terus-menerus
dengan kecepatan agak tetap untuk kebanyakan anak. Mereka menjadi lebih tinggi, lebih
lentur, dan lebih kuat, sehingga mereka lebih mampu menguasai berbagai olahraga dan
permainan. Sepanjang sekolah dasar, banyak anak perempuan yang tubuhnya cenderung
sama besar atau lebih besar dibanding anak laki-laki di kelasnya. Diskrepansi ukuran anak
perempuan mungkin merasakan konflik tentang itu dan, sebagai akibatnya, kurang
mengembangkan kemmapuan fisik mereka.
Setelah melewati tahap sekolah dasar, akan ada masa yang menandai dimulainya
kematangan seksual;Pubertas. Pubertas merupakan serangkaian perubahan yang melibatkan
hampir setiap bagian tubuh. Perubahan-perubahan fisik masa remaja memiliki efek-efek
signifikan pada identitas sosial mereka. Para psikolog sangat tertarik dengan perbedaan
akademik, sosial, dan emosional yang mereka temukan diantara para remaja yang matang
dini dan mereka yang terlambat matang. Faktanya, remaja lebih banyak mengalami krisis
perkembangan seperti bulimia (binge eating) dan anorexia nervosa (self-starvation), untuk
itulah diperlukan suatu pemahaman khusus mengenai perkembangan psikososial manusia.
Ilmu psikososial mendeskripsikan hubungan antara kebutuhan emosional individu dengan
lingkungan sosialnya. Teori psikososial yang dikenala secara luas adalah milik Erik Erikson,
yang menkankan tentang kemunculan self, pencarian identitas, hubungan individu dengan
orang lain, dan peran budaya di sepanjang kehidupan.

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Teori Psikososial menurut Erik Erikson
Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori
perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori
kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa
kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori
tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah
perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita
dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan
memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah
alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Menurut Erikson perkembangan psikologis dihasilkan dari interaksi antara proses-proses
maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan-kekuatan
sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang seperti ini, teori
Erikson menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi dibandingkan
teori Freud. Selain perbedaan ini, teori Erikson membahas perkembangan psikologis di
sepanjang usia manusia, dan bukan hanya tahun-tahun antara masa bayi dan masa remaja.
Seperti Freud, Erikson juga meneliti akibat yang dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman
usia dini terhadap masa-masa berikutnya, akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan
menyelidiki perubahan kualitatif yang terjadi selama pertengahan umur dan tahun-tahun akhir
kehiduaan.
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori
yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson
mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap
perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh
Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran
manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap
lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa

pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh


Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian.
Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi
karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang
sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh
sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak
menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan
kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara
kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Pusat dari
teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan
setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam
kehidupan setiap manusia.
Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian yang
lebih kepada ego dari pada id dan superego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun
mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubungannya dengan tahap perkembangan dan
peran sosial terhadap pembentukan ego. Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan
dalam dan kekuatan lingkungan sosial. Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif
(otonomi) membantu diri menangani dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan
inisiatif sebagai bentuk dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan
masak melalui pengalaman sosial dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat rentan ego,
defense yang irasional, efek trauma-anxieO-guilt yang langgeng, dan dampak lingkungan
yang membatasi dan tidak peduli terhadap individu. Namun menurutnya ego memiliki sifat
adaptif, kreatif, dan otonom (adaptable, creative, dan autonomy). Dia memandang lingkungan
bukan semata-mata menghambat dan menghukum (Freud), tetapi juga mendorong dan
membantu individu. Ego menjadi mampu terkadang dengan sedikit bantuan dari terapis
menangani masalah secara efektif.
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada
psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan
dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan,
serta integritas. Ego semacam itu disebut juga ego-kreatif, ego yang dapat menemukan
pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemui

hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi
antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego bukan budak tetapi
justru menjadi tuan/pengatur id, superego dan dunia luar. Jadi, ego di samping basil proses
faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan
historik. Ego yang sempurna, digambarkan Erikson memiliki tiga dimensi, faktualitas,
universalitas, dan aktualitas:
Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat diverifikasi dengan
metoda kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data basil interaksi dengan
lingkungan.
Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality) yang
menggabungkan hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan
prinsip realita dari Freud.
Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat
hubungan untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus
mengembangkan cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, yang lebih efektif,
prospektif, dan progresif.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan mensintesa
pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan
datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling behubungan, yakni body ego (mengacu
ke pangalaman orang dengan tubuh/fisiknya sendiri), ego ideal (gambaran mengenai
bagaimana seharusnya diri, sesuatu yang bersifat ideal), dan ego identity (gambaran
mengenai diri dalam berbagai peran sosial). Ketiga aspek itu umumnya berkembang sangat
cepat pada masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada
semua tahap kehidupan.
Teori Ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori
perkembangan seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang
khas, berkat pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik.
Bagi organisme, untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya,
lingkungan harus memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari
Freud yang bersifat biologis juga bersifat epigenesis, artinya psikoseksual untuk berkembang

membutuhkan stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah
lingkungan sosial.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian penting dari
perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam
bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi makan
merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar jelas manifestasi
biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi
bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi
interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak
dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu
menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan
mengantisipasi interaksi interpersonal dengan kecemasan, karena masa lalu hubungan
interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa sakit
Kepercaayaan dasar berkembang menjadi karakteristik ego yang mandiri, bebas dari
dorongan drives darimana dia berasal. Hal yang sama terjadi pada fungsi ego seperti persepsi,
pemecahan masalah, dan identias ego, beroperasi independen dari drive yang melahirkan
mereka. Ciri khas psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut:
Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh
sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah
suai yang neurotik.
Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep
epigenetik kepribadian.
Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang
taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran
sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan
dasar kepercayaan bebas dari Id, membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem
kerja id.
Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan
diri dengan realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan
masa yang akan datang.

B. Tahap Perkembangan Hidup Manusia


Apakah perkembangan psikososial itu? Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia
dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah
salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya
bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari
teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego
adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita
dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan
memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah
alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial. Ericson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan)
tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini
bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas
pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan
kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu
akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil
dengan perasaan tidak selaras. Dalam setiap tingkat, Erikson percaya setiap orang akan
mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson
berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau
kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan Tingkat pertama teori perkembangan psikososial
Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar
dalam hidup. Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan
pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak. Jika anak berhasil membangun
kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten,
tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri
pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan
ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.

Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)


Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun Tingkat ke dua dari teori perkembangan
psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada
perkembangan besar dari pengendalian diri. Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan
penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson
cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh
seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian. Kejadiankejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan
makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati
tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa
tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun. Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan
kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya.
Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut
perilaku aktif dan bertujuan. Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan
kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan
prakarsa. Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah,
perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat
muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas. Erikson
yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
Terjadi pada usia 6 s/d pubertas. Melalui interaksi sosial, anak mulai
mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka. Anak
yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan
percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya. Anak yang menerima sedikit atau tidak sama
sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan
kemampuannya untuk berhasil. Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka
untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru. Ketika beralih ke masa pertengahan
dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan
dan keterampilan intelektual. Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar

adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun Selama remaja ia
mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya. Anak dihadapkan dengan
penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam
kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru
dan status sebagai orang dewasa pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran
khusus. Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif
untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai. Jika suatu identitas remaja
ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan
masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela. Namun bagi
mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri,
perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak
yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung
terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun) Erikson percaya tahap ini
penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen
dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang
komit dan aman. Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk
mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang
memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin
suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi. Jika
mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan
orang.

Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)


Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun). Selama masa ini,
mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga. Mereka
yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia
dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas. Mereka yang gagal melalui tahap
ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun) Selama fase ini cenderung
melakukan cerminan diri terhadap masa lalu. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan
merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa
kepahitan hidup dan putus asa Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat
mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai
kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.

C. Kritikan menurut Psikologi Islam


Para psikolog memandang kepribadian sebagai struktur dan proses psikologis yang tetap,
yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan
respons individu terhadap lingkungan tempat hidup.1 Dalam masa pertumbuhannya,
kepribadian bersifat dinamis, berubah-ubah dikarenakan pengaruh lingkungan, pengalaman
hidup, ataupun pendidikan. Kepribadian tidak terjadi secara serta merta, tetapi terbentuk
melalui proses kehidupan yang panjang. Dengan demikian, apakah kepribadian seseorang itu
baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktorfaktor yang mempengaruhi dalam perjalanan kehidupan seseorang tersebut.2
Pergulatan Psikologis
Dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan dan sifat-sifat malaikat yang
terkadang timbul pergulatan antara dua aspek kepribadian manusia tersebut. Adakalanya,
manusia tertarik oleh kebutuhan dan syahwat tubuhnya, dan adakalanya ia tertarik oleh
kebutuhan spiritualnya.
Al-Quran mengisyaratkan pergulatan psikologis yang dialami oleh manusia, yakni antara
kecenderungan pada kesenangan-kesenangan jasmani dan kecenderungan pada godaangodaan kehidupan duniawi. Jadi, sangat alamiah bahwa pembawaan manusia tersebut
terkandung adanya pergulatan antara kebaikan dan keburukan, antara keutamaan dan
kehinaan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi pergulatan antara aspek material dan aspek
spiritual pada manusia tersebut dibutuhkan solusi yang baik, yakni dengan menciptakan
keselarasan di antara keduanya.
Disamping itu, Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa manusia berpotensi positif dan negatif.
Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat daripada potensi negatifnya. Hanya saja
daya tarik keburukan lebih kuat dibanding daya tarik kebaikan.3

1 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, hlm. 359.


2 Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm.
186.
3 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hlm. 378.

Potensi positif dan negatif manusia ini banyak diungkap oleh Al-Quran. Di antaranya ada
dua ayat yang menyebutkan potensi positif manusia, yaitu Surah at-Tin [95] ayat 5 (manusia
diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya) dan Surah al-Isra [7] ayat 70
(manusia dimuliakan oleh Allah dibandingkan dengan kebanyakan makhlik-makhluk yang
lain). Di samping itu, banyak juga ayat Al-Quran yang mencela manusia dan memberikan
cap negatif terhadap manusia. Di antaranya adalah manusia amat aniaya serta mengingkari
nikmat (Q.S. Ibrahim [14]: 34), manusia sangat banyak membantah (Q.S. al-Kahfi [18]: 54),
dan manusia bersifat keluh kesah lagi kikir (Q.S. al-Maarij [70]: 19).4
Sebenarnya, dua potensi manusia yang saling bertolak belakang ini diakibatkan oleh
perseteruan di antara tiga macam nafsu, yaitu nafsu ammarah bi as-suu (jiwa yang selalu
menyuruh kepada keburukan), lihat Surah Yusuf [12] ayat 53; nafsu lawwamah (jiwa yang
amat mencela), lihat Surah al-Qiyamah [75] ayat 1-2; dan nafsu muthmainnah (jiwa yang
tenteram), lihat Surah al-Fajr [89] ayat 27-30.5 Konsepsi dari ketiga nafsu tersebut merupakan
beberapa kondisi yang berbeda yang menjadi sifat suatu jiwa di tengah-tengah pergulatan
psikologis antara aspek material dan aspek spiritual. 6
Pola-pola Kepribadian Menurut Al-Quran
Kepribadian merupakan keniscayaan, suatu bagian dalam (interior) dari diri kita yang
masih perlu digali dan ditemukan agar sampai kepada keyakinan siapakah diri kita yang
sesungguhnya. Dalam Al-Quran Allah telah menerangkan model kepribadian manusia yang
memiliki keistimewaan dibanding model kepribadian lainnya. Di antaranya adalah Surah alBaqarah [2] ayat 1-20. Rangkaian ayat ini menggambarkan tiga model kepribadian manusia,
yakni kepribadian orang beriman, kepribadian orang kafir, dan kepribadian orang munafik.7
Berikut ini adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari masing-masing tipe kepribadian berdasarkan
apa yang dijelaskan dalam rangkaian ayat tersebut.
4 Ibid., hlm. 372.
5 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, hlm. 373-374
6 Ibid., 377.
7 Ibid., hlm. 381-382.

a. Kepribadian Orang Beriman (Muminun)


Dikatakan beriman bila ia percaya pada rukun iman yang terdiri atas iman kepada Allah swt.,
iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya,
percaya pada Hari Akhir, dan percaya pada ketentuan Allah (qadar/takdir). Rasa percaya yang
kuat terhadap rukun iman tersebut akan membentuk nilai-nilai yang melandasi seluruh
aktivitasnya. Dengan nilai-nilai itu, setiap individu seyogianya memiliki kepribadian yang
lurus atau kepribadian yang sehat. Orang yang memiliki kepribadian lurus dan sehat ini
memiliki ciri-ciri antara lain:

Akan bersikap moderat dalam segala aspek kehidupan,


Rendah hati di hadapan Allah dan juga terhadap sesama manusia,
Senang menuntut ilmu,
Sabar,
Jujur, dan lain-lain.8

Gambaran manusia mukmin dengan segenap ciri yang terdapat dalam Al-Quran ini
merupakan gambaran manusia paripurna (insan kamil) dalam kehidupan ini, dalam batas
yang mungkin dicapai oleh manusia. Allah menghendaki kita untuk dapat berusaha
mewujudkannya dalam diri kita. Rasulullah saw. telah membina generasi pertama kaum
mukminin atas dasar ciri-ciri tersebut. Beliau berhasil mengubah kepribadian mereka secara
total serta membentuk mereka sebagai mukmin sejati yang mampu mengubah wajah sejarah
dengan kekuatan pribadi dan kemuliaan akhlak mereka.9 Singkatnya, kepribadian orang
beriman dapat menjadi teladan bagi orang lain.
b. Kepribadian Orang Kafir (Kafirun)
Ciri-ciri orang kafir yang diungkapkan dalam Al-Quran antara lain:

Suka putus asa,


Tidak menikmati kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupannya,
Tidak percaya pada rukun iman yang selama ini menjadi pedoman keyakinan umat
Islam,

8 Rani Anggraeni Dewi, Kepribadian (Psikologi Al-Quran), dalam


http://www.pusakahati. com, 28 Desember 2009.
9 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran, hlm. 384.

Mereka tidak mau mendengar dan berpikir tentang kebenaran yang diyakini kaum

Muslim,
Mereka sering tidak setia pada janji, bersikap sombong, suka dengki, cenderung

memusuhi orang-orang beriman,


Mereka suka kehidupan hedonis, kehidupan yang serba berlandaskan hal-hal yang
bersifat material. Tujuan hidup mereka hanya kesuksesan duniawi, sehingga sering

kali berakibat ketidakseimbangan pada kepribadian,


Mereka pun tertutup pada pengetahuan ketauhidan, dan lain-lain.

Ciri-ciri orang kafir sebagaimana yang tergambar dalam Al-Quran tersebut menyebabkan
mereka kehilangan keseimbangan kepribadian, yang akibatnya mereka mengalami
penyimpangan ke arah pemuasan syahwat serta kesenangan lahiriah dan duniawi. Hal ini
membuat mereka kehilangan satu tujuan tertentu dalam kehidupan, yaitu beribadah kepada
Allah dan mengharap rida-Nya untuk mengharap magfirah serta pahala-Nya di dunia dan
akhirat.10
c. Kepribadian Orang Munafik (Munafiqun)
Munafik adalah segolongan orang yang berkepribadian sangat lemah dan bimbang. Di antara
sifat atau watak orang munafik yang tergambar dalam Al-Quran antara lain:

Mereka lupa dan menuhankan sesuatu atau seseorang selain Allah swt.,
Dalam berbicara mereka suka berdusta,
Mereka menutup pendengaran, penglihatan, dan perasaannya dari kebenaran,
Orang-orang munafik ialah kelompok manusia dengan kepribadian yang lemah,

peragu, dan tidak mempunyai sikap yang tegas dalam masalah keimanan.
Mereka bersifat hipokrit, yakni sombong, angkuh, dan cepat berputus asa.

Ciri kepribadian orang munafik yang paling mendasar adalah kebimbangannya antara
keimanan dan kekafiran serta ketidakmampuannya membuat sikap yang tegas dan jelas
berkaitan dengan keyakinan bertauhid.
Dengan demikian, umat Islam sangat beruntung mendapatkan rujukan yang paling benar
tentang kepribadian dibanding teori-teori lainnya, terutama diyakini rujukan tersebut adalah
wahyu dari Allah swt. yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., manusia teladan
kekasih Allah. Oleh karena itu pula, Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. ke muka
bumi untuk memainkan peran sebagai model insan kamil bagi umat manusia. Kepribadian
10 Ibid., hlm. 387-389.

dalam kehidupan sehari-hari mengandung sifat-sifat manusiawi kita, alam pikiran, emosi,
bagian interior kita yang berkembang melalui interaksi indra-indra fisik dengan lingkungan.
Namun lebih dalam lagi, kepribadian sesungguhnya merupakan produk kondisi jiwa (nafs)
kita yang saling berhubungan. Atau, dapat dikatakan pula bahwa kepribadian seseorang
berbanding lurus dengan kondisi jiwanya (nafs). 11
Berangkat dari teori kepribadian di atas, maka kita dapat membagi kepribadian manusia
menjadi dua macam, yaitu:

1. Kepribadian kemanusiaan (basyariyyah)


Kepribadian kemanusiaan di sini mencakup kepribadian individu dan kepribadian ummah.
Kepribadian individu di antaranya melliputi ciri khas seseorang dalam bentuk sikap, tingkah
laku, dan intelektual yang dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan
orang lain. Dalam pandangan Islam, manusia memang mempunyai potensi yang berbeda (alfarq al-fardiyyah) yang meliputi aspek fisik dan psikis. Selanjutnya, kepribadian ummah
meliputi ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang
meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya,
mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan identitas
tersebut dari pengaruh luar, baik ideologi maupun lainnya yang dapat memberikan dampak
negatif.12
2. Kepribadian samawi (kewahyuan)
Yaitu, corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci Al-Quran,
sebagaimana termaktub dalam firman Allah sebagai berikut.

.

Dan, bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
11 Rani Anggraeni Dewi, Kepribadian (Psikologi Al-Quran).
12 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem
Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 263.

kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Q.S. alAnam [6]: 153)
Itulah beberapa gambaran mengenai psikologi dan kepribadian manusia dalam Al-Quran.
Tentu gambaran di atas belum sepenuhnya berhasil meng-cover keseluruhan maksud AlQuran mengenai manusia dengan segala kepribadiannya yang sangat kompleks. Sebab,
begitu luasnya aspek kepribadian manusia sehingga usaha untuk mengungkap hakikat
manusia merupakan pekerjaan yang sukar.
Walaupun demikian, paling tidak penjelasan di atas dapat memberikan gambaran bahwa
manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan, yaitu potensi baik dan potensi buruk.
Dua potensi ini lantas memilah manusia ke dalam tiga kategori, yaitu mukmin, kafir, dan
munafik. Pembinaan kepribadian manusia lewat pendidikan yang baik akan menuntun
manusia agar bisa memperkokoh potensi baiknya sehingga ia bisa memaksimalkan tugas
utamanya untuk beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Sebaliknya, pembinaan kepribadian manusia yang kurang maksimal akan memerosokkan
manusia ke dalam derajat yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang. 13

13 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hlm. 365.

Anda mungkin juga menyukai