Konseling
kelompok &
perilaku
antisosial
Pengaruh konseling kelompok terhadap
penurunan perilaku antisosial pada remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Konseling Kelompok & Perilaku Antisosial:
Pengaruh Konseling Kelompok terhadap
Penurunan Perilaku Antisosial pada Remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Latipun
Konseling Kelompok & Perilaku Antisosial:
Pengaruh Konseling Kelompok terhadap Penurunan Perilaku
Antisosial pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak
viii, 100 hlm, tabel, dan ilustrasi.
Latipun
©Psychology Forum
Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Tlogomas 246 Malang 65144
Email: psyforum@umm.ac.id
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar, tanpa ada
halangan berarti. Dalam penelitian ini, saya menyadari bahwa banyak pi-
hak yang membantu saya secara langsung maupun tidak langsung, yang
kesemuanya memberi semangat, menambah pengetahuan, pemahaman dan
kemampuan saya yang sangat berarti bagi terselesainya penelitian ini. Ka-
rena itu saya merasa sangat berhutang budi, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. H. R. Moeljono Notosoedirdjo, dr. DSJ, MPH. sebagai
pembimbing utama, yang memberikan inspirasi, motivasi, dan terus
menerus memberikan bimbingan selama kuliah, termasuk pada kegi-
atan penelitian ini.
2. Prof. Eddy Pranowo Soedibjo, dr. MPH. selaku pembibing yang ba-
nyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan penelitian, sejak
awal penyusunan proposal hingga terselesainya penelitian ini.
3. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan ke-
pada saya untuk menempuh studi di Universitas Airlangga pada pro-
gram studi Ilmu Kesehatan Masyarakat.
4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah me-
nyediakan fasilitas belajar yang sangat dibutuhkan bagi kelancaran
studi, sehingga saya dapat menyelesaikan studi sesuai dengan waktu
yang direncanakan.
5. Prof. H. Soeprapto AS., dr., DPH selaku Ketua Program Studi Il-
mu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga sekaligus tim penilai
proposal penelitian, yang telah memberikan berbagai kemudahan da-
lam pengurusan prosedur penelitian dan telah memberikan masukan-
masukan yang cukup berharga dalam penelitian.
6. Prof. Dr. Rika Subarniati T., dr. SKM. selaku anggota tim pe-
nilai proposal penelitian sekaligus anggota panitia ujian tesis yang
dengan kritis memberikan masukan-masukan berharga bagi kesem-
purnaan penelitian.
7. dr. Windu Purnomo, MS. yang dengan ramah dan sangat terbuka
memberikan bimbingan, khususnya dalam analisis data statistik yang
digunakan dalam penelitian.
i
8. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang memberi kesempat-
an kepada saya untuk melakukan studi lanjut di Program pascasarjana
dan terus mendorong untuk secepatnya menyelesaikan studi.
11. Drs. Ganti Hartono, Bc.IP. Kepala Lapas Anak Blitar, beserta seluruh
staf Lapas Anak yang memberi ijin dan membantu bagi terlaksananya
kegiatan penelitian, dan dengan sangat bijaksana memberikan kelelu-
asaan kepada saya untuk meneliti sesuai dengan yang direncanakan.
12. dr. Husein AR. beserta para dokter Puskesmas Karanglo, Kec. Sana-
nwetan, Kodya Blitar yang bersedia bekerjasama dan membantu kegi-
atan penelitian, khususnya pada kegiatan pemeriksanaan kesehatan.
ii
Madechan, Dra. Sri Wahyuningsih, Dra. Ummi Zahro, dan Dra. En-
dang Purbaningrum beserta teman-teman dari peminatan yang lain,
yang selama penyelesaian studi di Program Pascasarjana ini mem-
bantu saya mempertajam dan memperkuat visi penelitian yang saya
lakukan, melalui diskusi-diksusi formal maupun informal.
17. Istri saya, Titin P.R. yang dengan segenap pengorbanan memberikan
perhatian demi keberhasilan studi saya.
18. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini
yang telah membantu saya secara langsung maupun tidak langsung
bagi kelancaran dan peningkatan kemampuan saya dalam penelitian
ini.
Sekalipun penelitian ini telah selesai, tentunya saya tidak menutup diri un-
tuk terus melakukan perbaikan-perbaikan berhubungan dengan penelitian
ini atau penelitian dan lanjutannya. Karena itu pada kesempatan ini pula
saya sangat mengharapkan masukan-masukan dari semua pihak baik kri-
tik, saran, atau informasi baru yang sangat berguna dan layak dilanjutkan
untuk penelitian atau studi berikutnya.
Maret 1999
Peneliti
LATIPUN
iii
blank page
iv
RINGKASAN
v
usia, lama sekolah, status pembinaan anak, masa pembinaan, waktu telah
dibina di Lapas, dan hubungan dengan orangtua, ternyata konseling kelom-
pok berpengaruh secara bermakna pada perubahan tingkah laku antisosial
remaja di Lapas Anak (F = 5,428 dan p = 0,032).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan konseling kelompok dapat
diterapkan di Lapas Anak sebagai bagian integral dari program pembinaan
terhadap anak didik pemasyarakatan.
vi
ABSTRACT
vii
blank page
viii
Daftar Isi
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Permasalahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.1 Tujuan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.2 Tujuan Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.4 Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5
2 Tinjauan Pustaka 6
2.1 Gangguan Tingkah Laku dan Tingkah Laku Antisosial . . . . 6
2.1.1 Pengertian Gangguan Tingkah Laku . . . . . . . . . . 6
2.1.2 Epidemiologi Gangguan Tingkah Laku . . . . . . . . . 7
2.1.3 Tingkah Laku Antisosial sebagai Simptom Gangguan
Tingkah Laku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
2.1.4 Sifat Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.5 Penyebab Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . 12
2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Tingkah
Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.1.7 Perubahan Gangguan Tingkah laku . . . . . . . . . . 15
2.2 Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.2.1 Pengertian Konseling dan Konseling Kelompok . . . . 16
2.2.2 Tujuan Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
2.2.3 Manfaat Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . 18
2.2.4 Struktur dalam Konseling kelompok . . . . . . . . . . 19
2.2.5 Tahapan Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . 20
2.2.6 Faktor Kuratif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
2.2.7 Peran Konselor, Pendamping Konselor, dan Klien . . . 24
2.3 Peran Konseling Kelompok dalam Perubahan Tingkah laku
Antisosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
ix
DAFTAR ISI
4 Metode Penelitian 33
4.1 Rancangan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
4.3 Populasi dan Sampel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
4.4 Variabel Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
4.5 Instrumen Pengumpulan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
4.6 Organisasi Penyelenggaraan Penelitian . . . . . . . . . . . . . 41
4.7 Prosedur Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4.8 Pengukuran Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 46
4.9 Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49
6 Pembahasan 80
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . 80
6.2 Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82
6.3 Perubahan Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 85
6.4 Keterbatasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89
Referensi 95
x
1 | Pendahuluan
1
Pendahuluan
2
Pendahuluan
pas Anak merupakan lembaga khusus yang menangani anak dan remaja
delinkuen berat dan di kalangan mereka ini prevalensi gangguan tingkah
lakunya sangat tinggi [36]; (2) Remaja yang dibina di Lapas Anak bera-
da pada masa perkembangan sehingga masih memungkinkan untuk dibina
menjadi lebih baik [42]. Ketidakefektifan dalam pembinaan kepada mere-
ka dapat menimbulkan penyesuaian yang lebih buruk bagi remaja; dan (3)
Lapas, termasuk Lapas Anak, mengandung konsep stigma di masyarakat,
sehingga jika dapat membantu mempercepat mengatasi gangguan tingkah
lakunya dan mempersiapkan untuk hidup di masyarakat secara sehat maka
akan sangat membantu bagi proses sosialisasinya.
Mengubah secara drastis gangguan tingkah laku remaja adalah tidak
mudah dilakukan. Untuk mencapai derajat kesehatan jiwanya memerlukan
waktu yang relatif lama. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi
secara bertahap tingkah laku antisosialnya melalui intervensi yang tepat.
Sistem pembinaan di Lapas Anak telah ditetapkan untuk disesuaikan
dengan kebutuhan anak dan mempersiapkan mereka untuk dapat hidup
secara tepat di masyarakat [77,78]. Pembinaannya yang dilakukan melipu-
ti: disiplin, penyuluhan rohani, bimbingan bakat dan keterampilan, bantu-
an hukum, dan pendidikan [54]. Prinsip-perinsip perubahan tingkah laku
[55,72] dengan pengkondisian (learning by conditioning), pemberian konse-
kwensi (learning by consequenses), dan pemberian contoh (modeling) pada
tingkat tertentu telah diterapkan di Lapas Anak itu. Dalam proses pembi-
naan itu sebagian di antara mereka dinilai ada perubahan tingkah lakunya
menjadi lebih prososial, tetapi sebagian yang lain tetap bertingkah laku
antisosial, meskipun tidak dengan tindakan yang menyolok karena sistem
pengawasan yang ketat, misalnya adanya sikap bermusuhan, bertengkar,
dan apatis.
Untuk keperluan perubahan tingkah laku antisosial secara lebih cepat
dan lebih baik hasilnya, diperlukan pendekatan yang lebih spesifik sesuai
dengan karakteristik suatu gangguan tingkah laku. Selain menggunakan
pendekatan perbaikan lingkungan sosial anak, sebagaimana yang berlaku
selama ini, juga dibutuhkan pendekatan yang terapiutik, yaitu pendekatan
yang dapat membebaskan diri dari tekanan-tekanan emosional, sekaligus
belajar tingkah laku baru dengan jalan membantu mereka meningkatkan
pemahaman dan penerimaan terhadap diri dan lingkungannya, serta penyu-
sun harapan, dan rencana-rencana masa depannya yang realistis [28,43,47].
Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu pende-
katan yang terapiutik itu. Dalam proses konseling ini remaja dapat me-
manfaatkan anggota kelompok sebagai sumber belajar tentang tingkah laku
baru, belajar altruisme, melakukan katarsis terhadap segenap pengalaman
3
Pendahuluan
2. Tingkah laku antisosial remaja yang dibina oleh Lapas Anak setelah
mengikuti konseling kelompok.
4
Pendahuluan
5
2 | Tinjauan Pustaka
6
Tinjauan Pustaka
3. menggunakan senjata yang berbahaya secara fisik bagi orang lain (se-
perti: pentungan, botol pecah, pistol, pisau, dll)
4. membunuh seseorang
9. merusak benda atau barang milik orang lain (selain dengan pemba-
karan)
10. merusak dan masuk rumah, bangunan, mobil orang lain tanpa seijin
pemiliknya
13. keluar rumah di tengah malam tanpa seijin orangtua sebelum usia 13
tahun.
7
Tinjauan Pustaka
Karena itu secara pasti angka prevalensi gangguan tingkah laku di suatu
masyarakat tidak dapat ditentukan berdasarkan hasil penelitian di tem-
pat yang lain. Dalam DSM IV [1] dikemukakan bahwa angka prevalensi
gangguan tingkah laku di masyarakat berkisar 2 persen sampai 16 persen.
Dilihat dari status sosial ekonomi, remaja dari keluarga kelas sosial eko-
nomi rendah dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan tingkah laku
dibandingkan dengan remaja dari kelas sosial ekonomi tinggi. Perbadingan-
nya adalah dua kali lebih besar prevalensinya pada remaja dari keluarga
miskin [28,63].
8
Tinjauan Pustaka
9
Tinjauan Pustaka
terekspresi dari luar karena faktor sosial dan budaya. Berbagai tingkah laku
antisosial sebagai gejala dari gangguan tingkah laku ini terinci ditunjukkan
pada Tabel 2.1.
Dalam suatu diagnosis psikiatris ditegaskan bahwa suatu simptom ting-
kah laku antisosial belum tentu menunjukkan dia mengalami gangguan ting-
kah laku. Karena tingkah laku antisosial itu ada yang bersifat primer dan
sekunder. Untuk anak dan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku
maka tingkah laku antisosialnya bersifat primer. Sedangkan tingkah laku
antisosial yang bersifat sekunder adalah tingkah laku yang dilakukan anak
dan remaja yang tidak mengalami gangguan tingkah laku, tetapi karena
faktor retardasi mental, mengalami gangguan organik pada otak, neurosis,
penyesuaian situasional [82]
Pola tingkah laku antisosial yang terjadi pada kanak-kanak berbeda
dengan remaja. Menurut Hoare dan McIntosh, [40] kanak-kanak menun-
jukkan tingkah laku antisosialnya lebih banyak di lingkungan keluarganya,
sementara remaja lebih luas lagi, selain di keluarga juga di sekolah atau ma-
syarakat luas. Hal ini sejalan dengan pandangan Loeber dan koleganya [28]
bahwa pola tingkah laku antisosial itu sebagian cenderung meningkat dan
sebagian menurun sesuai dengan pertambahan usia. Misalnya anak usia be-
lasan tahun menunjukkan penurunan pada tingkah laku penarikan diri dan
agresi secara fisik, sementara ada peningkatan pada sikap negatif kepada
sekolah, bersikap positif terhadap delinkuensi, dan tidak dapat dipercaya.
Sebagai akibat dari tingkah laku antisosialnya, anak dan remaja yang
mengalami gangguan tingkah laku juga mengalami hambatan-hambatan la-
in sebagai akibat sekundernya, misalnya dalam problem sosialnya digam-
barkan bahwa mereka biasanya memiliki berbagai problem dalam bidang:
akademik, hubungan di rumah dan masyarakat, hubungan dengan sebaya-
nya, serta harga diri [1].
10
Tinjauan Pustaka
Sumber:
1. American Psychiatric Association. 1994. DSM IV. Washington DC:
APA
2. Departemen Kesehatan RI. 1993. PPDGJ III, Jakarta: Depkes RI.
3. DeFrancesco, John J. 1995. Conduct Disorder: The Crisis Continous.
New York: APA.
4. Noshpitz, Joseph D. 1997. Hand Book of Child and Adolescent
Psychiatry. Vol. II. New York: John Wiley and Sons, Inc.
11
Tinjauan Pustaka
12
Tinjauan Pustaka
Faktor biologis
Kondisi biologis memiliki kontribusi bagi kesehatan jiwa. Demikian juga de-
ngan tingkah laku antisosial, salah satu penyebabnya adalah karena faktor
biologis, yaitu genetik dan konstitusi.
Penelitian genetika tentang tingkah laku antisosial banyak dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Bohman [10], Crowe [20], dan yang diuraikan
oleh Karlsson [44] tentang genetika mentalitas manusia memberikan keje-
lasan bahwa tingkah laku antisosial dapat diwarisi oleh orangtuanya. Dalam
berbagai penelitian diungkapkan bahwa ada kecenderungan orangtua yang
bertingkah laku antisosial misalnya kriminal dan memiliki sejarah sebagai
delinkuen, anaknya juga mengalami hal yang sama. Dalam hal ini, didu-
ga aspek genetik memiliki peran bagi pembentukan tingkah laku antisosial
[10,16].
Abnormalitas kromosom juga dikaitkan dengan tingkah laku antisosi-
al. Orang dengan kondisi sindroma klinefelter (kromosom XYY) dan dan
sindroma supermale (kromosom XXY) berkecenderungan melakukan pe-
langgaran hukum [62] Temuan terakhir menunjukkan bahwa hanya pada
anak-anak mengalami abnormalitas kromosom dan diikuti gangguan mental
cenderung delinkuen [53,73] Namun jika tingkah laku antisosial ini dikaitk-
an dengan jenis kelamin, tampak bahwa terdapat perbedaan jumlah yang
menyolok antara tingkah antisosial yang dilakukan laki-laki dan perempuan.
Dilaporkan bahwa laki-laki diketahui empat sampai lima kali lebih banyak
melakukan tindakan antisosial dibandingkan perempuan. Temuan lain me-
nyatakan adanya perkembangan rasio tingkah laku antisosial di kalangan
wanita, yaitu adanya kecenderungan meningkatnya angka tingkah laku an-
tisosial anak wanita yang mendekati rasio pada anak laki-laki [15,17,48]
Faktor psikoedukatif
Aspek psikoedukatif disimpulkan juga memiliki pengaruh yang kuat ter-
hadap tingkah laku antisosial. Termasuk aspek psikoedukatif ini adalah:
pengalaman keterlantaran emosional saat kecil, penolakan orangtua, unit
keluarga yang pecah, psikopatologis pada orangtua atau terjadi penyim-
pangan, dan perlakuan orangtua yang salah kepada anak.
13
Tinjauan Pustaka
14
Tinjauan Pustaka
wa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan tingkah laku antisosial itu.
Corlinger menyatakan bahwa tingkah laku antisosial itu terbentuk karena
multifaktoral [17] yang hal ini sejalan dengan pandangan Offord [63] dengan
teorinya tentang interaksi berbagai faktor (the interaction of multiple etio-
logical factor), atau biopsychosocial model sebagaimana yang dikemukakan
oleh Lewis [28]. Dengan demikian satu dengan lainnya saling berinteraksi
sehingga terbentuk tingkah laku antisosial pada individu.
15
Tinjauan Pustaka
16
Tinjauan Pustaka
17
Tinjauan Pustaka
18
Tinjauan Pustaka
Partisipan
Pihak yang terlibat dalam konseling kelompok adalah seorang konselor dan
sejumlah klien yang memiliki masalah yang serupa. Konselor yang me-
nyelenggarakan konseling kelompok dapat seorang atau lebih atau dibantu
oleh pendamping konselor. Sedangkan klien, sebagaimana terapi kelompok
interaktif, beranggota berkisar antara 4 sampai 12 orang. Jumlah klien
ini disesuaikan dengan kemampuan konselor dan pertimbangan efektivitas
proses konseling.
Sifat Kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada suatu saat
dapat menerima anggota baru, dan dikatakan tertutup jika keanggotan-
nya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan
keanggotaan terbuka dan tertutup bergantung kepada keperluan.
Waktu Pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat bergantung kepa-
da kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum kon-
seling kelompok yang bersifat jangka pendek (sort-term group counseling)
membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan, dengan
19
Tinjauan Pustaka
20
Tinjauan Pustaka
21
Tinjauan Pustaka
faktor kuratif ini satu kesatuan yang harus terjadi dalam konseling kelom-
pok. Bagian berikut akan dijelaskan secara singkat faktor-faktor kuratif
tersebut [9,68,83].
Membina harapan
Membina harapan berarti klien merasa optimis terhadap kemajuannya, atau
berpotensial untuk lebih baik melalui konseling kelompok. Dia menyadari
bahwa keadaannya akan lebih baik lagi dan anggota kelompok yang lain
dapat membantunya, dan dia merasa bahwa selama proses konseling ke-
lompok telah dibantu oleh anggota yang lain dan mendapatkan kemajuan-
kemajuan.
Universalitas
Universalitas bermakna klien mengerti bahwa masalah yang dialami tidak
sendirian. Dia beranggapan bahwa semua orang memiliki masalah, dan dia
memiliki perasaan dan keinginan yang sama untuk menghilangkan masa-
lah yang dialaminya. Jadi klien menyadari bahwa dirinya tidak sendirian
dengan perasaan dan problemnya.
Pemberian informasi
Klien mendapatkan informasi dan bimbingan dari konselor dan anggota
kelompok lainnya tentang pemecahan masalahnya atau hal-hal lain yang
bermakna bagi kebaikan dirinya.
Altruisme
Bersamaan dengan keadaannya yang lebih baik dan merasa banyak belajar
dari kegiatan konseling kelompok, terus membantu anggota lain mengatasi
masalahnya. Karena itu dia juga mendorong, memberikan komentar dan
berpendapat atau memberi nasehat kepada anggota yang lainnya. Tukar
pikiran mengenai masalah yang sama untuk membantu anggota kelompok
lainnya. Merasa dibutuhkan dan dapat dimintai bantuan dan menyadari
bahwa dirinya dapat mendukung keperluan anggota lainnya.
22
Tinjauan Pustaka
lainnya, dan dia belajar mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan
orang lain.
Kohesivitas kelompok
Klien merasa memiliki dan diterima oleh anggota kelompok, secara terus
menerus menjalin kontak dengan anggota kelompok, merasa tidak nyaman
jika sendirian.
Katarsis
Klien melepaskan perasaanya yang positif maupun yang negatif kepada
anggota yang lain, yang menyangkut perasaan masa lalunya atau saat ini,
mengekspresikan perasaan seperti marah, cintanya, dan kesedihannya, yang
mungkin sebelumnya kesulitan atau tidak memungkinkan diungkapkan.
23
Tinjauan Pustaka
Faktor-faktor eksistensial
Konselor
Pendamping Konselor
24
Tinjauan Pustaka
Pendamping konselor ini jika ada harus berperan secara tepat. Kesalah-
an peran dapat menghambat proses konseling. Pendamping konselor harus
dapat bekerjasama dengan konselor untuk kepentingan klien.
Klien
Klien adalah anggota kelompok. Anggota kelompok pada dasarnya seba-
gai agen penolong bagi anggota yang lain [68]. Peran anggota kelompok
menurut Prayitno adalah sebagai berikut [69].
25
Tinjauan Pustaka
26
Tinjauan Pustaka
27
Tinjauan Pustaka
28
Tinjauan Pustaka
ling, faktor modeling ini sangat penting dalam upaya pembentukan tingkah
laku baru.
29
Tinjauan Pustaka
2.4 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa gangguan
tingkah laku merupakan salah satu bentuk dari deviasi dari tingkah laku
yang normal. Gangguan tingkah laku ini akan mempengaruhi seseorang,
yaitu secara persisten seseorang akan melakukan tingkah laku yang antiso-
sial, yaitu tingkah laku yang melanggar norma sosial.
Gangguan tingkah laku pada prinsipnya dapat diubah, lebih-lebih indi-
vidu masih berada pada taraf perkembangan. Tentunya perubahan tingkah
laku antisosial selain membutuhkan waktu juga pendekatan yang sangat
kompleks. Langkah yang dapat diambil untuk melakukan perbaikan ter-
hadap individu yang mengalami gangguan tingkah laku adalah melakukan
perubahan atau perbaikan tingkah lakunya, baik yang nampak maupun
yang tidak.
Konseling kelompok merupakan salah satu bentuk intervensi yang secara
langsung menangani individu yang antisosial. Dengan berbagai keunggul-
an yang dimiliki, konseling kelompok diharapkan dapat membantu dalam
perubahan tingkah laku antisosial itu.
30
3 | Kerangka Konseptual
dan Hipotesis Penelitian
31
Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
pembinaan di Lapas (status anak didik, masa pembinaan, dan waktu telah
memperoleh pembinaan), inteligensi, pendidikan, status hubungan dengan
orangtua. Selain itu juga terdapat variabel lain yang mungkin mempenga-
ruhi penurunan tingkah antisosial di antaranya kompleksitas masalah yang
dihadapi individu serta kepribadian dan kondisi pskologis, karena faktor
kemampuan dan waktu yang tersedia, maka variabel ini tidak diteliti. Ke-
rangka konseptual ini dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.1.
32
4 | Metode Penelitian
33
Metode Penelitian
Unit Observasi
Unit observasi dalam penelitian ini adalah individu.
Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang dibina Lapas Anak di
Blitar dengan ciri-ciri sebagai:
8. Beragama Islam;
10. Berada pada lingkungan sosial yang terbatas (close community) de-
ngan aturan (disiplin) yang ketat.
34
Metode Penelitian
Sampel
Jumlah sampel ada dua, yaitu sampel kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Besar anggota sampel pada kedua kelompok adalah sama dan
ditetapkan berdasarkan rumus sampling menurut Higgins dan Kleinbaum
[39]:
Sampel dipilih secara acak sederhana (simple random) [84], dan teknik yang
digunakan adalah undian. Prosedur pengambilan sampelnya adalah (1)
penyusunan daftar unit sampling; (2) pemilihan sampel secara random, dan
(3) Dari besar sampel yang ada dibagi menjadi dua kelompok yaitu untuk
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dengan jumlah anggota sama
banyak. Penentuan anggota kelompok dilakukan secara random.
35
Metode Penelitian
Definisi Operasional
Konseling kelompok
Konseling kelompok merupakan hubungan terapiutik antara konselor dan
beberapa klien untuk membantu memecahkan masalah yang dialami klien
yang dilakukan dengan proses kelompok [18,69]. Konseling kelompok ter-
diri dari seorang konselor dan beberapa klien. Konselor berperan sebagai
pemimpin kelompok dan klien berperan sebagai anggota kelompok. Jumlah
anggota kelompok adalah 7 orang.
Konselor bersama klien membicarakan dan secara bersama bersama-
sama memecahkan berbagai masalah yang dialami anggota, sehingga klien-
klien itu belajar mengubah pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya sendiri
menjadi lebih baik tentang dirinya dan dalam hubungannya dengan orang
lain.
Permasalahan yang dipecahkan berfokus pada tingkah laku antisosial
yang dialami oleh klien sebelum dan selama menjadi anak didik pemasya-
rakatan, dan/atau masalah yang sedang dialami dan menghambat perkem-
bangan tingkah laku sosialnya.
Dalam penelitian ini konseling kelompok dilakukan 12 kali pertemuan
dengan frekwensi dua kali seminggu dan durasinya 90 menit setiap per-
tamuan. Jadi kelompok kelola memperoleh pemaparan kegiatan konseling
kelompok selama 12 kali 90 menit, atau 18 jam.
36
Metode Penelitian
berat terhadap norma sosial yang terdapat pada anak pada usianya [1,22].
Penetapan gangguan tingkah laku remaja ini diukur dengan pedoman wa-
wancara berdasarkan kriteria DSM IV [1].
Tingkah laku antisosial dimaksudkan sebagai bentuk tingkah laku yang me-
musuhi, melawan atau tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial, yang ter-
maifes dalam tindakan atau bersifat laten [21,28]. Tingkah laku antisosial
dalam penelitian ini berupa pikiran, perasaan, dan tindakan antisosial yang
mencakup (1) agresif, (2) impulsif, (3) tidak bertanggung jawab (irrespon-
sibility), (4) tidak berperasaan (affectionless) dan empati, (5) persistensi,
dan (6) ketidakmampuan dalam penyesuaian diri. Tingkah laku antisosial
merupakan skor yang diperoleh dari pengukuran dengan tes proyektif (tes
wartegg dan grafis) dan angket skala penilaian. Skala data tingkah laku
antisosial adalah data interval.
Status sosial
37
Metode Penelitian
Inteligensi
Kesehatan
Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini tidak adanya gangguan atau
riwayat gangguan organik pada otak, yang ditandai subjek tidak pernah
atau sedang menderita : epilepsi, hydrocephalus, trauma otak, radang otak,
atau tumor otak;
Pendidikan
Pendidikan maksudnya lama sekolah atau jenjang kelas yang pernah dicapai
di sekolahnya.
Lingkungan sosial
Status pembinaan
Masa pembinaan
Masa pembinaan merupakan tenggang waktu yang harus dialami atau dija-
lankan sebagai anak didik pemasyarakatan berdasarkan keputusan penga-
dilan atau sampai usia 18 tahun.
Waktu telah dibina merupakan tenggang waktu yang telah dijalankan se-
bagai anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak.
Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini didiskripsikan indi-
kator dan alat ukurnya dapat dilihat di Lampiran 1.
38
Metode Penelitian
Daftar isian
Daftar isian berguna untuk mengumpulkan data awal, yang meliputi nama,
usia, pendidikan, agama, suku bangsa, alamat keluarga, status pembinaan,
masa pembinaan, dan waktu telah dibina di Lapas Anak. Intrumen ini
digunakan untuk menjaring data yang bersifat dokumenter (data sekunder)
Angket
Tes Inteligensi
Pedoman wawancara gangguan tingkah laku yaitu alat penilaian yang meng-
ukur gangguan tingkah laku pada anak dan remaja. Dalam penelitian ini
pedoman wawancara ini disusun oleh psikiater berdasarkan kriteria gang-
guan tingkah laku menurut DSM IV [1]. Pedoman ini digunakan sebagai
alat bantu dalam pemeriksaan psikiatris untuk menentukan subjek yang
mengalami atau tidak mengalami gangguan tingkah laku.
Tes Wartegg dan grafis yaitu tes proyektif untuk mengukur kepribadian dan
tingkah laku yang terkandung di bawah sadar (unconscious) [50]. Dalam
penelitian ini tes Wartegg dan grafis digunakan untuk mengukur tingkah
laku antisosial remaja.
39
Metode Penelitian
Tabel 4.1. Daftar butir-butir skala penilaian yang favorable dan unfavorable
1 Agresivitas 2, 5, 6 1, 14
2 Impulsivitas 10, 11, 12, 16 15
3 Responsibilitas 13, 17, 28, 29 30
4 Afeksi dan empati 18, 19, 22 7, 23
5 Persistensi 8, 9, 24 25, 26
6 Penyesuaian diri 20, 21, 27 3, 4
40
Metode Penelitian
2. Pembantu Penelitian:
41
Metode Penelitian
Studi pendahuluan
Studi pendahuluan untuk tiga keperluan, yaitu uji coba konseling kelompok,
seleksi populasi, dan ujicoba angket skala penilaian.
Uji coba angket skala penilaian. Angket skala penilaian yang disusun
untuk mengukur tingkah laku antisosial dilakukan uji coba untuk mene-
tapkan validitas dan reliabilitasnya [3]. Angket tersebut diuji coba dengan
teknik tes ulang (test-retest) kepada sepuluh remaja binaan Lapas Anak
Blitar pada 18 dan 25 Agustus 1998. Tes pertama dan kedua berselang
satu minggu pada subjek yang sama.
Tes pertama dilakukan untuk mempelajari (1) apakah butir-butir yang
disajikan pada angket itu sudah dipahami oleh responden, dan (2) apakah
butir-butir angket itu telah valid atau tidak. Butir yang pernyataannya sulit
dipahami, atau kurang jelas, atau tidak valid berdasarkan analisis statistik
maka dilakukan perbaikan.
42
Metode Penelitian
Studi Eksperimental
Randomisasi
Berdasarkan hasil studi pendahuluan ini ditentukan besar populasi dan sam-
pel. Langkah berikutnya adalah penentuan sampel penelitian, prosedur
sampling yang digunakan adalah teknik simple random sampling, dengan
cara undian. Sesuai dengan jumlah sampel sebanyak 2 sampel, yaitu ke-
lompok perlakuan dan kelompok kontrol, yang masing-masing sebesar 14
orang.
Randomisasi dilakukan dengan cara : (1) pemilihan sampel sebesar 28
orang yang diundi dari populasi, (2) Dari 28 orang itu dibagi menjadi dua
kelompok sama besar dengan cara diundi lagi, yang masing-masing kelom-
pok sebanyak 14 orang, yaitu untuk kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol.
Pengukuran I (pretest)
Variabel yang diukur pada pengukuran pertama adalah tingkah laku anti-
sosial. Pengukuran dilakukan kepada subjek pada kelompok perlakuan dan
sampel. Pengukuran I dilakukan dengan tes proyektif (Wartegg dan gra-
fis) dan angket skala penilaian. Pengukuran dilakukan pada 14 September
1998, seminggu sebelum konseling kelompok berikan. Petugas pengukur-
an (tester) dan pemberi skor atau penilai (rater) dilakukan oleh petugas
tersendiri yang tidak mengetahui subjek yang tergolong sebagai kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol, atau menggunakan teknik buta ganda (do-
uble blind). Prosedur pemberian skor hasil tes tingkah laku antisosial ini
dijelaskan tersendiri pada nomor 4.8.
43
Metode Penelitian
Pemaparan
Pemaparan dilakukan dalam bentuk konseling kelompok. Pelaksanaannya
dilakukan sebagaimana berikut ini.
44
Metode Penelitian
3. Umpan balik terhadap proses kelompok (5-7 menit). Pada tahap ini :
anggota kelompok merangkum hasil-hasil kelompok, memberikan kes-
45
Metode Penelitian
Pengukuran II (posttest)
Pengukuran kedua yaitu pengukuran tingkah laku antisosial subjek yang
diteliti setelah pemaparan konseling kelompok dilakukan kepada subjek de-
ngan alat ukur dan penilai yang sama dengan pengukuran I. Pengukuran
II ini dilakukan satu minggu setelah pemaparan konseling kelompok bera-
khir, yaitu pada 5 Nopember 1998. Prosedur pengukuran dan pemberian
skor tingkah laku antisosial pada posttest ini sama dengan prosedur pada
pretest.
46
Metode Penelitian
47
Metode Penelitian
Penggabungan skor
Penetapan skor akhir tingkah laku antisosial menggunakan teknik summa-
tion,80 yang menggabungkan hasil pengukuran dengan tes proyektif dan
skala penilaian. Atas penggabungan skor ini maka rentangan skor tingkah
laku antisosial antara 6 - 60. Skor 6 menunjukkan bertingkah laku antiso-
sial sangat rendah, dan 60 menunjukkan bertingkah laku antisosial sangat
tinggi. Tabel 4.2 menjelaskan skor penggabunagnnya.
Tabel 4.2. Penggabungan skor tingkah laku antisosial dari tes projektif dan angket
skala penilaian
Tabel 4.3. Tingkah laku antisosial berdasarkan rentangan skor hasil pengukuran
Pemberi Skor
Penetapan skor tingkah laku antisosial pada pengukuran pertama (pretest)
dan pengukuran kedua (posttest) dilakukan oleh psikolog. Untuk menjaga
48
Metode Penelitian
49
5 | Hasil Penelitian dan
Analisis Hasil Penelitian
50
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Usia
Sampel sejumlah 28 orang yang berusia 15 hingga 17 tahun, dan rata-rata 16
tahun. Separo di antara mereka (50%) berusia 17 tahun, 10 remaja (35,7%)
berusia 16 tahun, dan selebihnya yaitu 4 remaja (14,3) yang berusia 15
tahun.
51
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
No Karakteristik Keterangan
1 Usia 15 - 17 tahun
2 Jenis kelamin Laki-laki
3 Agama Islam
4 Suku bangsa Jawa
5 Pendidikan Minimal kelas III SD
6 Kesehatan otak Sehat
7 Inteligensi Tidak retardasi mental
8 Status sosial keluarga Rendah
9 Kondisi psikiatris Gangguan tingkah laku
10 Status pembinaan Anak : pidana, negara, dan sipil
11 Hubungan sosial Lingkungan sosial yang terbatas dan
dalam pengawasan yang ketat
52
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Inteligensi
Inteligensi anak diukur dengan Standard Progressive Metrics (SPM). Ber-
dasarkan teks SPM itu diketahui tingkatan IQ anak, bahwa dari 28 sub-
jek yang menjadi sampel penelitian terdapat 5 anak (17,9%) berinteligensi
rata-rata (grade III) dan sebegian besar dari mereka berinteligensi bawah
rata-rata (grade IV) yaitu sejumlah 23 anak (82,1%).
Berdasarkan pengelompokan sampel diketahui bahwa pada kelompok
perlakuan terdapat 2 anak (14,3%) berinteligensi rata-rata, dan sejumlah
12 anak (85,7%) berinteligensi bawah rata-rata. Sedangkan pada kelompok
kontrol diperoleh data terdapat 3 anak (21,4%) berinteligensi rata-rata, dan
11 anak (78,6%) berinteligensi bawah tara-rata. Perbandingan proporsi in-
teligensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ditunjukkan pada
TTabel 5.4.
53
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.4. Tingkat inteligensi responden pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol
mereka berurusan dengan polisi atau masuk Lapas Anak, yaitu anak yang
bertempat tinggal bersama kedua orangtuanya, anak yang pisah dengan
salah satu orangtuanya, dan berpisah dengan kedua orangtuanya. Dari segi
pola hubungan dengan orangtua ini, sebagian besar di antara mereka, yaitu
17 anak (60,7%) bertempat tinggal bersama kedua orangtuanya, 8 anak
(28,6%) berpisah dengan kedua orangtuanya, dan 3 anak (10,7%) yang pisah
dengan salah satu orangtuanya.
Pada kelompok perlakuan distribusi pola hubungan dengan keluarganya
diperoleh data terdapat 8 anak (57,1%) dari 14 anak yang hidup bersama
kedua orangtuanya, seorang anak (7,1%) pisah dengan salah satu orangtu-
anya, dan 5 anak (35,7%) yang berpisah dengan kedua orangtuanya.
Pada kelompok kontrol dalam hal pola hubungan dengan keluarganya
ini terdapat 9 anak (64,3%) hidup bersama kedua orangtuanya, 2 anak
(14,3%) yang pisah dengan salah satu orangtuanya, dan 3 anak (28,6%)
berpisah dengan kedua orangtuanya.
Tabel 5.5 menunjukkan perbandingan hubungan anak dengan orangtua-
nya sebelum mereka bertempat tinggal di Lapas Anak Blitar pada kelompok
kelola dan kelompok kontrol.
Tabel 5.5. Hubungan responden dengan orangtua sebelum berstatus sebagai anak
binaan Lapas Anak Blitar
54
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.6. Status pembinaan anak pada kelompok perlakuan dan kelompok kon-
troln
55
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.7. Status pembinaan anak pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
56
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.8. Masa pembinaan responden di Lapas Anak Blitar pada Kelompok per-
lakuan dan kelompok kontrol
dak dapat meninggalkan tugas dinasnya pada jam-jam kerja atau tidak da-
pat mengikuti program secara rutin sebagaimana yang direncanakan dalam
penelitian ini. Karena itu, kegiatan konseling kelompok dipimpin konselor
tanpa ada pendamping terapisnya.
Konseling kelompok beranggota beberapa klien yang dipilih melalui ran-
domisasi sesuai dengan keperluan penelitian. Jumlah sampel yang mempe-
roleh perlakuan, dalam hal ini adalah klien berjumlah 14 anak. Untuk
menanganinya, klien-klien itu dibagi menjadi dua kelompok, yang masing-
masing 7 anak. Jadi terdapat dua kelompok konseling (kelompok A dan
kelompok B) yang semuanya mendapatkan pemaparan dalam frekwensi dan
durasi yang sama, yaitu 12 kali sessi, setiap sessi 90 menit, dua kali seming-
gu. Penentuan anggota kelompok diundi oleh peneliti sebelumnya.
Karena keterbatasan waktu yang diijinkan untuk kegiatan penelitian di
Lapas Anak Blitar ini, yaitu selama 2 bulan (dan boleh menambah waktu
penelitian yang tidak terlalu lama) maka konseling kelompok diselenggarak-
an bergiliran, setelah kelompok A dilanjutkan kelompok B, dengan jadwal
pada sebagaimana Tabel 5.9.
Jam
Hari 09.00-10.30 11.30-13.00
Senin Kelompok A Kelompok B
Kamis Kelompok A Kelompok B
57
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
58
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
59
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
60
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
61
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
62
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
bagian belakang hanya bergurau”, komentar Eyu. “Saya dulu rajin, ka-
rena dipaksa jadinya saya agak malas. Saya mau shalat kalau disuruh,”
tambahnya.
Kalau menurut Khomu bagaimana? “Bagi saya tidak apa-apa sedikit
dipaksa. Kalau tidak dipaksa, anak-anak tidak mau shalat. Memang atu-
rannya demikian, jadi harus diikuti,” kata Khomu.
Baik, apa yang dikemukakan oleh Sam, adalah pengalaman yang tidak
menyenangkan, tetapi apakah tidak mau shalat kalau hal itu tidak me-
nyenangkan, sedangkan Anda sendiri mengakui shalat adalah kewajiban?
Konselor menanyakan kepada Sam berhubungan dengan pengalamannya.
“Ya, saya berusaha,” kata Sam menjawabnya.
Sebagian ungkapan emosional yang dialami Sam itu. Anggota yang lain
juga memperoleh kesempatan yang sama untuk menyatakan pengalaman-
pengalamannya. Seluruh anggota mengungkapkan pengalamannya secara
terbuka dan memperoleh pertanyaan, komentar dan umpan balik dari ang-
gota lainnya.
Konseling kelompok disimpulkan secara bersama-sama konselor dan kli-
en. Akhirnya, konseling kelompok sessi ketiga diakhiri.
63
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
64
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
65
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
66
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
67
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
68
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
69
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
70
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
71
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.10. Tingkatan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol sebelum mengikuti konseling kelompok
72
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.11. Tingkatan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol sesudah mengikuti konseling kelompok
73
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Pada kelompok perlakuan ini pula terdapat seorang remaja (7,1%) yang
mengalami penurunan tingkat antisosial sebanyak 2 tingkat, yaitu dari an-
tisosial sangat tinggi menjadi antisosial rendah. Dari 14 remaja dalam ke-
lompok perlakuan ada 6 remaja (42,9%) yang tidak mengalami perubahan
tingkat antisosialnya, yaitu 3 remaja (21,4%) antisosial tinggi, 1 remaja
(7,1%) antisosial sangat tinggi, dan 1 remaja (7,1%) antisosial rendah.
Pada kelompok kontrol pola perubahan ini juga terjadi sekalipun ada
perbedaan dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Sebagian besar yaitu
9 remaja (64,3%) tidak mengalami perubahan tingkat antisosialnya yang se-
muanya adalah remaja bertingkah laku antisosial tinggi. Terdapat 3 remaja
(21,4%) yang mengalami penurunan antisosial sebanyak satu tingkat yaitu 2
remaja (14,3%) dari antisosial tinggi menjadi antisosial rendah, dan seorang
remaja (7,1%) dari antisosial sangat tinggi menjadi antisosial tinggi. Seba-
liknya, pada kelompok kontrol ini ada 2 remaja (14,3%) yang mengalami
peningkatan antisosialnya dari yang sebelumnya antisosial tinggi menjadi
antisosial sangat tinggi. Pola perubahan tingkat antisosial ini ditunjukkan
pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Pola perubahan tingkat antisosial pada kelompok perlakuan dan ke-
lompok kontrol setelah pemaparan konseling kelompok
74
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.13. Proporsi perubahan pada tingkat antisosial pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol
75
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.14. Perbandingan perubahan intensitas tingkah laku antisosial pada ke-
lompok perlakuan dan kontrol
Sebelum perlakuan
a. Rata-rata 40,357 40,143
b. Simpangan baku 6,059 4,944
Sesudah perlakuan
a. Rata-rata 33,000 38,571
b. Simpangan baku 7,442 6,136
Perubahan
a. Rentangan 2-18 -7-8
b. Rata-rata 7,357 1,000
c. Simpangan baku 5,387 0,428
76
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Gambar 5.1. Arah perubahan intensitas tingkah laku antisosial remaja sebelum
dan sesudah konseling kelompok. Keterangan garis: ——-: Kelompok perlakuan;
.......: Kelompok kontrol
77
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.15. Hasil analisis statistik tentang tingkah laku antisosial sebelum dan
sesudah konseling kelompok
78
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian
Tabel 5.16. Hasil analisis pengaruh berbagai variabel terhadap perubahan tingkah
laku antisosial
79
6 | Pembahasan
80
Pembahasan
81
Pembahasan
hidup tidak bersama dengan kedua orangtuanya, dan 10,7% pisah dengan
salah satu orangtuanya. Dilihat dari segi status sosial orangtua dan hubung-
an anak dengan orangtuanya, dimungkinkan remaja ini tidak memperoleh
pengasuhan dari keluarganya secara memadai, khususnya lagi remaja yang
memang lepas dan tidak hidup bersama dengan kedua orangtuanya.
Kondisi keluarga yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan per-
sonalnya ini membutuhkan intervensi psikososial, sekalipun sebenarnya in-
tervensi yang lebih integratif dan multidimensional sangat penting bagi me-
reka ini [48], Sebagai bentuk penanganan yang tepat dan memungkinkan
dapat melengkapi sistem pembinaan yang ada, konseling kelompok dapat
diberikan kepada mereka, karena dalam sistem pembinaan anak di Lapas
ada kesempatan untuk menyampaikan keluhan [77,78], yang sampai saat ini
belum dikembangkan secara optimal.
82
Pembahasan
83
Pembahasan
84
Pembahasan
85
Pembahasan
wasan yang relatif ketat oleh petugas Lapas, rata-rata derajat antisosialnya
masih terjadi. Ini artinya, pengawasan yang dialami mereka tidak secara
otomatis membuat turunnya intensitas tingkah laku antisosial, dan secara
potensial tetap dipertahankan oleh mereka, hanya saja manifestasi tingkah
laku antisosialnya berbeda dengan ketika mereka berada di lingkungan so-
sial yang terbuka. Berdasarkan observasi yang bersifat sekunder, diperoleh
keterangan bahwa di Lapas Anak ada perkelahian sesama anak didik pema-
syarakatan, penggunaan obat-obat tertentu (misalnya antimo) untuk obat
penenang, merokok secara sembunyi-sembunyi, “narget” uang kepada anak
tahanan, dan minta uang kepada tamu Lapas sekalipun tidak dibenarkan.
Berdasarkan hasil pengukuran, tingkah laku antisosial mereka ini kenyata-
annya juga tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tyrer [76] dan
koleganya yang menyatakan bahwa penderita gangguan psikopatik memili-
ki sifat-sifat agresif, impulsif, tidak berperasaan, tidak bertanggung jawab,
dan labil.
Apakah tingkah laku antisosial ini dapat berubah ? Sejalan dengan ran-
cangan penelitiannya, pretest-posttest control group design, penelitian ini
dilakukan pengukuran sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi
pada kelompok-kelompok sampel. Pengukuran posttest, menunjukkan bah-
wa derajat maupun rata-rata intensitas tingkah laku antisosial remaja pada
kelompok perlakuan terjadi penurunan, yaitu dari derajat tingkah laku an-
tisosial tinggi menjadi rendah, yang intensitasnya semula 40,357 menjadi
33,000 atau rata-rata penurunannya sebesar 7,357. Sedangkan pada kelom-
pok kontrol tidak terjadi penurunan derajat tingkah laku antisosialnya se-
hingga tetap tinggi, meskipun intensitas tingkahlaku antisosialnya menurun
dari semula sebesar 40,143 menjadi 38,571 atau rata-rata penurunannya se-
besar 1,000. Jika dikomparasi pada kedua kelompok sampel tampak bahwa
penurunan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok kelola lebih besar
dibandingkan pada kelompok kontrol. Dengan demikian, meskipun kelom-
pok kontrol juga terjadi penurunan/perubahan tingkah laku antisosialnya,
tetapi penurunan ini tidak sekuat pada kelompok perlakuan.
Kalau dilihat dari rentangan perubahannya, pada kelompok perlakuan
terjadi penurunan intensitas tingkah laku antisosialnya pada rentangan 2
hingga 18 poin (point), sementara pada kelompok kontrol perubahannya
pada rentangan -7 hingga 8. Jika dibandingkan intensitas perubahannya itu,
jelas bahwa perubahan pada kelompok perlakuan bersifat positif, sementara
pada kelompok kontrol tidak selalu positif. Tepat yang dikemukakan oleh
Gabel [28] bahwa terapi untuk anak yang mengalami gangguan tingkah laku
dapat dilakukan dengan psikoterapi kelompok.
Yang perlu memperoleh penegasan di sini adalah faktor apa yang me-
86
Pembahasan
87
Pembahasan
88
Pembahasan
Instrumen pengukuran
Penelitian hasil (out come) konseling dan psikoterapi, idelanya menggu-
nakan alat pengukuran yang komprehensif. Kazdin [47] mengemukakan
dimungkinkan penggunaan alat itu: tes kepribadian, tes prestasi, observasi,
angket (yang diisi: anak yang bersangkutan, orangtua, sahabatnya, pihak
yang mengetahui atau masyarakat luas, dan sebagainya). Semakin leng-
kap instrumen pengukurannya, maka semakin menggambarkan realitas ha-
sil suatu terapi. Penggunaan alat ukur yang komprehesif itu tentu tidak
mungkin dilaksanakan bagi keperluan penelitian ini karena keterbatasan-
keterbatasan dana dan waktu. Namun demikian dalam penelitian ini telah
menggunakan dua interumen pengukuran, yaitu (1) angket skala penilaian,
yang diisi oleh subjek secara langsung dan mengungkap tingkah laku an-
tisosialnnya yang berada pada alam sadarnya, dan (2) tes proyektif yang
mengukur tingkah laku antisosial yang terkandung di dunia bawah sadar.
Penggunaan dua instrumen ini diharap dapat saling melengkapi dan sedikit
mengatasi kekurangan-kekurangan dari masing-masing alat pengukuran.
Masih berhubungan dengan instrumen pengukuran ini, angket skala pe-
nilaian yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah instrumen yang telah
baku. Angket disusun oleh peneliti dan dilakukan uji coba terhadap popu-
lasi yang sangat terbatas untuk mengukur validitasnya. Sekalipun validitas
konstruknya telah diupayakan terpenuhi dan melalui suatu uji coba, vali-
ditas yang dicapai merupakan validitas internal atau validitas item, dan
belum menjamin validitas eksternalnya (external validity).
Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah prediktif, yang berusaha me-
ramalkan akibat suatu perlakuan. Berdasarkan hasil pengukuran seming-
gu setelah intervensi diketahui secara bermakna bahwa konseling kelompok
mempengaruhi intensitas tingkah laku antisosial remaja yang dibina Lapas
Anak. Karena itu penelitian ini bukan suatu penelitian yang bersifat jangka
panjang (longitudinal). Kita tidak mengetahui secara pasti tentang: (1) se-
berapa lama penurunan intensitas tingkah laku antisosial itu dipertahankan
89
Pembahasan
90
Pembahasan
konseling kelompok.
Variabel penelitian
Terdapat sejumlah variabel yang tidak dikontrol dalam penelitian ini, yaitu
(1) dorongan sosial yang diperoleh subjek, yaitu bagaimana pergaulan anak
dengan pembina di Lapas Anak, hubungan mereka dengan guru-guru me-
reka, dan persahabatan mereka di Lapas anak. Kelompok pergaulan dan
hubungan sosial ini prinsipnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang; (2)
kompleksitas gangguan yang dihadapi klien, karena klien dapat mengalami
lebih dari satu gangguan; dan (3) motivasi dan dorongan awal untuk mem-
perbaiki citra dirinya, serta pola kepribadian klien adalah variabel-variabel
yang dimungkinkan akan mempengaruhi percepatan perubahan tingkah la-
ku antisosialnya.
Karena persoalan waktu penelitian dan keterbatasan orang yang dapat
berpartisipasi dalam penelitian ini, serta penggunaan intrumen yang tepat
untuk pengukuran ini, variabel-variabel ini tidak dapat diteliti, sekalipun
telah berusaha mengontrol berbagai variabel yang dimungkinkan mempe-
ngaruhi keberhasilan konseling kelompok.
Tempat penelitian
Penelitian ini diselenggarakan terhadap Anak didik pemasyarakatan di La-
pas Anak. Kita memahami bahwa lingkungan sosial mereka sangat terba-
tas, kegiatan dan perilaku mereka juga terkendali oleh sistem yang berlaku
di Lapas Anak itu. Sekalipun penelitian ini dilakukan secara khusus ter-
hadap anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku, tetapi tidak da-
pat memprediksi terhadap anak-anak yang mengalami gangguan yang sama
yang tidak sedang menjadi anak didik pemasyarakatan. Situasi kehidupan
terakhir anak dan konsekwensi-konsekwensi sosial yang secara riil dialami
jelas mempengaruhi dorongannya untuk melakukan perubahan tingkah la-
kunya.
91
Pembahasan
92
7 | Kesimpulan dan Saran
7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut.
93
Kesimpulan dan Saran
7.2 Saran-saran
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka terdapat beberapa saran dia-
jukan berikut ini.
1. Karena konseling kelompok ternyata dapat mengurangi tingkah laku
antisosial remaja yang dibina di Lapas Anak, maka sebaiknya kon-
seling kelompok dapat diberikan kepada anak didik pemasyarakatan
di Lapas Anak sebagai satu kesatuan dengan sistem pembinaan yang
telah ada.
2. Untuk mengetahui seberapa lama perubahan tingkah laku antisosial
itu dipertahankan, untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan peneli-
tian yang bersifat longitudinal, atau penelitian dengan analisis kecen-
derungan, sekaligus dengan menggunakan alat ukur lain, seperti hasil
observasi atau skala penilaian yang dilakukan oleh pembina Lapas
atau orangtua.
3. Jika program ini diterapkan di Lapas Anak, penyelenggaraannya da-
pat ditingkatkan, misalnya konselor dibantu oleh pendamping (ko)
konselor, untuk meringankan bebannya dalam penyelenggaraan kon-
seling kelompok. Pendamping konselor ini harus menunjukkan kema-
uan kerjasama dengan konselor, mengerti peran yang dilakukan, dan
dapat diterima oleh klien.
4. Penyelenggaraan konseling kelompok dapat mempertimbangkan : ho-
mogenitas tingkat pendidikan dan usia klien, durasi dan frekwensi
pertemuan, serta jumlah klien dalam setiap kelompok sehingga akan
memperlancar proses konseling kelompok dan meningkatkan efekti-
vitasnya. Namun demikian, jika konselor memiliki kemampuan dan
waktu yang cukup, maka heterogenitas dalam hal tingkat pendidikan
klien dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dinamika kelompok.
5. Lapas Anak perlu mengembangkan sistem pembinaan yang empate-
tik, sehingga secara bersama-sama dan saling memberikan dukungan
bagi penurunan tingkah laku antisosial remaja yang diberikan melalui
konseling kelompok.
94
Referensi
[1] American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Washington, DC : Author.
[2] Anderson, J. C., at. al. 1987. DSM III Disorder in Preadolescent Children. Archieves
Journal of Psychiatry, 44, 69-76.
[3] Azwar, S. 1995. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
[4] Badan Pusat Statistik, 1993. Statistik Kriminil, Sumber Data Lembaga Pemasyara-
katan 1991. Jakarta : BPS.
[5] Badan Pusat Statistik, 1997. Statistik Kriminil, Sumber Data Lembaga Pemasyara-
katan 1995. Jakarta : BPS.
[6] Becker, J. V., et al. 1995. Empirical research on Child Abuse Treatment : Report by
the Child Abuse and Neglect Treatment Working Group, American Psychological
Association. Journal of Clinical Child Psychology, 24 (Suppl), 23-46.
[7] Black, S.K. 1983. Short-Term Counseling : A Humanistic Approach for the Helping
Prefessions. Menlo Park : Addison-Wesley Pub. Co.
[8] Bloch, S. 1979. Assessment of Patients for Psychotherapy. British Journal of Psychi-
atry, 135, 193-208.
[9] Bloch, S., et al. 1979. Method for the Study Therapeutic Factors in Group Psycho-
therapy. British Journal of Psychiatry, 134, 257-263.
[10] Bohman, M. 1978. Some Genetic Aspects of Alcoholism and Criminality, A Popula-
tion of Adoptees. Archevis General of Psychiatry, 35, 269-276
[11] Bowlby, J. 1961. Chilhood Moursing and Its Implication for Psychiatry. American
Journal of Psychiatry, 118, 148-198.
[12] Caplan, G., dan Grunebaum, H. 1967. Perspective on Primary Prevention: A Review.
Archives General of Psychiatry, 17, 331-346.
[13] Capuzzi, D., dan Gross, D. R. 1991. Introduction to Counseling. Needham Heights :
Allyn and Bacon.
[14] Cavan, R. S., dan Ferdinand, T. N. 1975. Juvenile Delinquency. 3th edition. Phila-
delpia : J.B. Lippincott Company.
[15] Clarizio, H. F., dan McCoy, G. F. 1983. Behavior Disorder in Children. New York :
Harper and Row, Publisher.
[16] Cloninger, C.R., Reich, T., dan Guze, S. B. 1975. The Multifactorial Model of Dise-
ase Transmission : II. Sex Differences in the Familial Transmission of Sociopathy
(Antisocial Personality). British Journal of Psychiatry, 127, 11-22.
[17] Cloninger, C. R, et.al. 1978. Implication of Sex Differences in the Prevalences
of Antisocial Personality, Alcoholism, and Criminality for Familial Transmission.
Archevis General of Psychiatry, 35, 941-951.
95
Referensi
[18] Corey, G. 1995. Theory and Practice of Group Counseling. Pacific Grove, California
: Brooks/Cole Publishing Company.
[19] Costin, F., dan Draguns, J. G. 1990. Abnormal Psychology : Pettern, Issues, Inte-
rvention. New York : John Wiley and Sons.
[20] Crowe, R. R. 1974. An Adoption Study of Antisocial Personality. Archevis General
of Psychiatry, 31, 785-791.
[21] DeFransisco, J. J. 1995. Conduct Disorder : The Crisis Continous. New York : APA.
[22] Departemen kesehatan RI, 1983. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Jakarta : Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI.
[23] Elmes, D. G., Kantowitz, B. H., dan Roediger, H. L. 1981. Method in Experimental
Psychology. Boston : Houghton Mifflin Company.
[24] Eppight, T. D. 1993. Comorbidity of Conduct Disorder and Personality Disorder in
an Incarcerated Juvenile Population. American Journal of Psychiatry, 150, 1233-
1236.
[25] Ettin, M. F. 1992. Foundation and Application of Group Psychotherapy, A Sphare
of Influence. Boston : Allyn and Bacon
[26] Evans, J. 1983. The Treatment Specialist : An Emerging Role For Counselors Within
the Criminal Court System. The Personnel and Guidance Journal, 61, 349-351.
[27] Eysenck, H. J. 1965. The Effects of Psychotherapy. International Journal of Psychi-
atry, 1, 97-142.
[28] Gabel, S. 1997. Conduct Disorder in Grade-School Children. Dalam Noshpitz, Joseph
D.(Peny.). Handbook of Child and Adolescent Psychiatry. New York : John Wiley
and Son, Inc.
[29] Gazda, G. M. 1989. Group Counseling. 4th edition. Boston : Allyn and Bacon
[30] George, R. L. dan Cristiani, T. S. 1990. Counseling, Theory and Practice. 3th edition.
Boston : Allyn and Bacon.
[31] Gibson, R. L. dan Mitchell, M. H. 1981. Introduction to Guidance. New York :
McMillan Publishing Co. Inc.
[32] Goldenberg, H. 1983. Contemporery Clinical Psychology. 2nd edition. Monterey,
California : Brooks/Cole Publishing Co.
[33] Hadi, S. 1980. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.
[34] Handley, S. W. dan Strupp, H. H. 1976. Contemporery Views of Negative Effects
in Psychotherapy, An Integrated Acconunt. Archieves Jornal of Psychiatry, 33,
1291-1302.
[35] Harmon, F.M., dan Baron, A. 1982. A Student-Focused Model for the Development
of Counseling Service. The Personnel and Guidance Journal, 61, 60, 290-293.
[36] Hartanto. 1990. Kenakalan Remaja Dilihat dari Aspek Perpisahan dengan Orangtua
dan Aspek Depresi. Jiwa, 23, 57-62
[37] Harris, D. 1995. Group Counseling with the adolescent Offender. University of
Arkansas.
[38] Hjelle, L. A. dan Ziegler, D. J. 1987. Personality Theories, Basic Assumptions,
Research, and Applications. 2nd edition. Auckland : McGraw-Hill Book Company.
[39] Higgin, J.E., dan Kleinbaum, A.P. 1985. Introduction Randomized Clinical Trial,
Part I of the Series : The Basic of Randomized Clinical Trial with an Emphasis
on Contraceptic Research. North Coralina : Family Health International.
[40] Hoare, P., dan McIntosh, N. 1993. Essential Child Psychiatry. Edinburgh : Churchill
Livingstone
[41] Holingshead, A.B. dan Redlich, F.C. 1970. Social Stratification and Psychiatric
Disorder. Dalam Smelser, N. J. dan Smelser, W.T. (ed.) Personality and Social
System. 2nd edition. New York : John Wiley and Son. Inc.
96
Referensi
97
Referensi
[67] Permutter, D. 1992. Mental Health Promotion and Primary Prevention. San Franci-
sco : Jossey-Bass Inc.
[68] Prawitasari, J. E. 1997. Pendekatan Kelompok Interaksional. Makalah. Disampaikan
pada Seminar Terapi Kelompok di Universitas 17 Agustus Surabaya, 1 April 1997.
[69] Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok : Dasar dan Profil.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
[70] Rutter, M. 1984. Child Experience and Personality Development. Australian and
New Zealand Journal of Psychiatry, 18, 314-327
[71] Sadli, S. 1983. Metode Penggunaan Projective Test. Dalam Koentjaraningrat (Re-
daksi). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
[72] Sahakian, W. S. 1976. Introduction to The Psychology of Learning. Chicago : Rand
McNally Collage Publishing.
[73] Sim, M. 1981. Guide to Psychiatry. 4th. edition. Edinburgh : Chuechill Livingstone.
[74] Singer, M. 1974. Delinquency and Family Disciplinary Configurations, An Elabo-
ration of the Superego Lacunae Concept. Archevis General of Psychiatry, 31,
795-799.
[75] Strayhorn, J. M. 1987. Control Group for Psychosocial Intervention Outcome Studies.
American Journal of Psychiatry, 144, 275-282
[76] Tyrer, P., at al. 1979. Reliablity of Schedule for Rating Personality Disorder. British
Journal of Psychiatry, 135, 168-174.
[77] Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan
[78] Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak.
[79] Vannicelli, M. 1990. Group Psychotherapy Whith Adult Children of Alcoholics.
Dalam Seligman, Milton dan Marshak, Laura E. (Peny.) Group Psychotherapy,
Intervention with Special Population. Boston : Allyn and Bacon.
[80] Walker, J. T. 1985. Using Statistics for Psychological Research. New York : Holt-
Saunders.
[81] White B., dan Tjandraningsih, I., 1998. Child Workers in Indonesia. Bandung :
Akatiga
[82] Wisker, G. W. 1977. The Disorganized Personality. 3th edition. Tokyo : McGraw-Hill
Kogakusha, Ltd.
[83] Yalom, I. D. 1975. The Theory and Practice of Group Psychotherapy. 4th edition.
New York : Basic Books, Inc.
[84] Zainuddin, M. 1988. Metodologi Penelitian. Surabaya : Universitas Airlangga.
[85] Zigler, E. 1994. Early Intervention to Prevent Juvenile Delinquency. The Harvard
Mental health Letter, September.
[86] Zoccoillo, M. 1992. The Outcome of Chilhood Conduct Disorder : Implication for De-
fining Adult Personality Disoder and Conduct Disorder. Psychological Medicine,
22, 971-986.
98
Lampiran
99
Referensi
100