Anda di halaman 1dari 113

LATIPUN

Konseling
kelompok &
perilaku
antisosial
Pengaruh konseling kelompok terhadap
penurunan perilaku antisosial pada remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak
Konseling Kelompok & Perilaku Antisosial:
Pengaruh Konseling Kelompok terhadap
Penurunan Perilaku Antisosial pada Remaja
di Lembaga Pemasyarakatan Anak

Latipun
Konseling Kelompok & Perilaku Antisosial:
Pengaruh Konseling Kelompok terhadap Penurunan Perilaku
Antisosial pada Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak
viii, 100 hlm, tabel, dan ilustrasi.

Latipun

©Psychology Forum
Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Tlogomas 246 Malang 65144
Email: psyforum@umm.ac.id

Edisi Pertama (Maret 1999)


Edisi Kedua (Juni 2020)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis


ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin
tertulis dari penerbit.
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan lancar, tanpa ada
halangan berarti. Dalam penelitian ini, saya menyadari bahwa banyak pi-
hak yang membantu saya secara langsung maupun tidak langsung, yang
kesemuanya memberi semangat, menambah pengetahuan, pemahaman dan
kemampuan saya yang sangat berarti bagi terselesainya penelitian ini. Ka-
rena itu saya merasa sangat berhutang budi, khususnya kepada:
1. Prof. Dr. H. R. Moeljono Notosoedirdjo, dr. DSJ, MPH. sebagai
pembimbing utama, yang memberikan inspirasi, motivasi, dan terus
menerus memberikan bimbingan selama kuliah, termasuk pada kegi-
atan penelitian ini.
2. Prof. Eddy Pranowo Soedibjo, dr. MPH. selaku pembibing yang ba-
nyak memberikan masukan-masukan bagi perbaikan penelitian, sejak
awal penyusunan proposal hingga terselesainya penelitian ini.
3. Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan ke-
pada saya untuk menempuh studi di Universitas Airlangga pada pro-
gram studi Ilmu Kesehatan Masyarakat.
4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Airlangga yang telah me-
nyediakan fasilitas belajar yang sangat dibutuhkan bagi kelancaran
studi, sehingga saya dapat menyelesaikan studi sesuai dengan waktu
yang direncanakan.
5. Prof. H. Soeprapto AS., dr., DPH selaku Ketua Program Studi Il-
mu Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga sekaligus tim penilai
proposal penelitian, yang telah memberikan berbagai kemudahan da-
lam pengurusan prosedur penelitian dan telah memberikan masukan-
masukan yang cukup berharga dalam penelitian.
6. Prof. Dr. Rika Subarniati T., dr. SKM. selaku anggota tim pe-
nilai proposal penelitian sekaligus anggota panitia ujian tesis yang
dengan kritis memberikan masukan-masukan berharga bagi kesem-
purnaan penelitian.
7. dr. Windu Purnomo, MS. yang dengan ramah dan sangat terbuka
memberikan bimbingan, khususnya dalam analisis data statistik yang
digunakan dalam penelitian.

i
8. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang memberi kesempat-
an kepada saya untuk melakukan studi lanjut di Program pascasarjana
dan terus mendorong untuk secepatnya menyelesaikan studi.

9. Ditjen Dikti Depdikbud, yang telah memberikan bantuan finansial


melalui beasiswa Tunjangan Mahasiswa Program Doktor (TMPD),
dan tentunya sangat membantu konsentrasi dan kelancaran studi saya
di Program Pascasarjana Unair.

10. Kepala Departemen Kehakiman Jawa Timur yang memberikan ijin


kepada saya untuk meneliti di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar.

11. Drs. Ganti Hartono, Bc.IP. Kepala Lapas Anak Blitar, beserta seluruh
staf Lapas Anak yang memberi ijin dan membantu bagi terlaksananya
kegiatan penelitian, dan dengan sangat bijaksana memberikan kelelu-
asaan kepada saya untuk meneliti sesuai dengan yang direncanakan.

12. dr. Husein AR. beserta para dokter Puskesmas Karanglo, Kec. Sana-
nwetan, Kodya Blitar yang bersedia bekerjasama dan membantu kegi-
atan penelitian, khususnya pada kegiatan pemeriksanaan kesehatan.

13. dr. Dasril Chotib, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawija-


ya sekaligus Psikiater RSUD dr Syaiful Anwar Malang, yang banyak
memberikan masukan dan bersedia bekerjasama dalam penelitian ini.

14. Teman-teman saya di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah


Malang, khususnya Dra. Tri Dayakisni, Msi., Dra. Sulistyaningsih,
Dra. Suminarti MS., dan teman-teman saya yang lain dan tidak da-
pat disebutkan di sini yang secara langsung membantu kegiatan pene-
litian saya dan terus menerus memberikan dorongan, masukan, dan
meminjamkan bahan-bahan yang sangat menunjang bagi penelitian
saya ini, dan membantu meringankan tugas-tugas administrasi yang
menjadi tanggung jawab saya demi kelancaran penelitian ini.

15. Para anak didik pemasyarakatan, khususnya yang bersedia menjadi


subjek penelitian ini. Mereka telah berjasa yang tidak ternilai harga-
nya karena selain telah membantu menyelesaikan kegiatan penelitian,
pengalaman konseling kelompok bersama mereka telah memperkuat
profesi dan dasar-dasar keahlian saya. Karenanya, jasa mereka ini
tidak sepatutnya untuk dilupakan begitu saja.

16. Teman-teman saya di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat,


khususnya peminatan Ilmu Kesehatan Jiwa Masyarakat, yaitu Drs.

ii
Madechan, Dra. Sri Wahyuningsih, Dra. Ummi Zahro, dan Dra. En-
dang Purbaningrum beserta teman-teman dari peminatan yang lain,
yang selama penyelesaian studi di Program Pascasarjana ini mem-
bantu saya mempertajam dan memperkuat visi penelitian yang saya
lakukan, melalui diskusi-diksusi formal maupun informal.

17. Istri saya, Titin P.R. yang dengan segenap pengorbanan memberikan
perhatian demi keberhasilan studi saya.

18. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu di sini
yang telah membantu saya secara langsung maupun tidak langsung
bagi kelancaran dan peningkatan kemampuan saya dalam penelitian
ini.

Sekalipun penelitian ini telah selesai, tentunya saya tidak menutup diri un-
tuk terus melakukan perbaikan-perbaikan berhubungan dengan penelitian
ini atau penelitian dan lanjutannya. Karena itu pada kesempatan ini pula
saya sangat mengharapkan masukan-masukan dari semua pihak baik kri-
tik, saran, atau informasi baru yang sangat berguna dan layak dilanjutkan
untuk penelitian atau studi berikutnya.

Maret 1999
Peneliti
LATIPUN

iii
blank page

iv
RINGKASAN

Latipun. 1999. Pengaruh Konseling Kelompok pada Perubahan Tingkah


Laku Antisosial Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Tesis. Univer-
sitas Airlangga, Surabaya.
Prevalensi gangguan tingkah laku di kalangan remaja delinkuen sangat
tinggi, yaitu mencapai 90%. Remaja yang mengalami gangguan tingkah
laku ini pada dasarnya membutuhkan bantuan untuk meningkatkan kese-
hatan jiwanya. Untuk itu dapat dilakukan secara bertahap, dengan mengu-
rangi tingkah laku antisosialnya melalui suatu intervensi. Yang hendak dija-
wab pada penelitian ini adalah apakah konseling kelompok dapat mengubah
tingkah laku antisosial remaja.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari : (1) tingkah laku antisosial
remaja sebelum pemaparan konseling kelompok; (2) tingkah laku antisosial
remaja setelah pemaparan konseling kelompok; (3) perbedaan tingkah laku
antisosial sebelum dan sesudah pemaparan konseling kelompok; dan (4) pe-
ngaruh konseling kelompok pada perubahan tingkah laku antisosial remaja
yang dibina di Lapas Anak.
Rancangan penelitian yang digunaan adalah pretest-posttest control
group design. Terdapat dua sampel dalam penelitian ini, yaitu kelompok
kelola dan kelompok kontrol. Masing-masing kelompok sebesar 14 subjek,
yang dipilih secara random. Tempat penelitiannya di Lapas Anak Blitar.
Alat ukur yang digunakan adalah test proyektif (tes wartegg dan tes gra-
fis) dan angket skala penilaian. Teknik pengukurannya adalah buta ganda
(double blind). Data dianalisis dengan t-test dan analisis kovarian.
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa : (1) Sebelum konseling ko-
lompok dipaparkan menunjukkan bahwa derajat tingkah laku antisosial
remaja di Lapas Anak pada kedua kelompok adalah tinggi dengan rata-
rata skor sebesar 40,357 untuk kelompok kelola dan 40,143 untuk kelompok
kontrol; (2) Setelah konseling kelompok dipaparkan, derajat tingkat laku
antisosial remaja menjadi rendah untuk kelompok kelola dengan rata-rata
33,000, dan tetap tinggi untuk kelompok kontrol dengan rata-rata 38,571;
(3) Berdasarkan uji komparasi intensitas tingkah laku antisosial sebelum
dan sesudah intervensi, ternyata terdapat perbedaan yang sangat bermak-
na pada kelompok kelola (nilai t = -5,11 dan p = 0,000); namun tidak ada
perbedaan yang bermakna pada kelompok kontrol (nilai t = -1,38 dan p =
0,19.
Penelitian ini mengendalikan variabel kesehatan organik pada otak, kon-
disi psikiatris, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status sosial orangtua,
dan lingkungan sosial. Dengan memperhitungkan variabel perancu, yaitu

v
usia, lama sekolah, status pembinaan anak, masa pembinaan, waktu telah
dibina di Lapas, dan hubungan dengan orangtua, ternyata konseling kelom-
pok berpengaruh secara bermakna pada perubahan tingkah laku antisosial
remaja di Lapas Anak (F = 5,428 dan p = 0,032).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan konseling kelompok dapat
diterapkan di Lapas Anak sebagai bagian integral dari program pembinaan
terhadap anak didik pemasyarakatan.

Kata kunci: Konseling, Konseling Kelompok, Remaja, Tingkah Laku


Antisosial, Gangguan Tingkah Laku

vi
ABSTRACT

Latipun. 1999. The Effects of Group Counseling on The Adolescents’


Antisocial Behavior Changes at Child Prison. Thesis. Airlangga University,
Surabaya.
The prevalence of the conduct disorder among the juvenile delinquency
is so high. It is reaches 90%. The adolescents who suffer conduct disorder
basically need the help to strengthen their mental health. This can be done
gradually by reducing their antisocial behavior through intervention. The
research questioning is whether group counseling intervention can reduce
the adolescents’ antisocial behavior.
The purpose of this research is to study : (1) the adolescents’ antisocial
behavior before intervention; (2) the adolescents’ antisocial behavior after
intervention; (3) the difference of the adolescents’ antisocial behavior be-
fore and after intervention, and (4) the effects of group counseling on the
adolescents’ antisocial behavior changes.
The researcher employs the pretest-posttest control group design. This
was conducted by comparing two groups, experimental and control group.
Each group consisted of 14 subjects who were selected randomly. The resear-
ch was conducted at a Child Prison in Blitar. The instrument used were the
projective test (Wartegg and Draw-A-Person test) and questionnaire. Me-
anwhile, the assessment technique used was double blind technique. Then,
the data obtained were analyzed by t-test and covariance analysis.
Based on the analysis, it was found that : (1) the grade of adolescents’
antisocial behavior before intervention on both groups (experimental and
control group) was high. The mean score of both group consecutively re-
ached 40.357 and 40.142; (2) the grade of adolescents’ antisocial behavior
after intervention on experimental group was low (M=33.000). Meanwhi-
le, the grade remained high for the control group (M=38.571); (3) There
was significant difference on the antisocial behavior intensity of the experi-
mental group before and after joining the group counseling. The obtained
t-value was -5.11 at p= .000; however, (4) there was no significant differen-
ce on the antisocial behavior intensity of control group before and after the
intervention. The obtained t-value as -1.38 at p= .19.
Finally, it can be concluded that group counseling caused significant
effects on adolescents’ antisocial behavior change (F = 5.428 at p = .032).

Keywords: Counseling, Group Counseling, Adolescent, Antisocial Beha-


vior, Conduct Disorder

vii
blank page

viii
Daftar Isi

1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Permasalahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3 Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.1 Tujuan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.3.2 Tujuan Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 4
1.4 Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 5

2 Tinjauan Pustaka 6
2.1 Gangguan Tingkah Laku dan Tingkah Laku Antisosial . . . . 6
2.1.1 Pengertian Gangguan Tingkah Laku . . . . . . . . . . 6
2.1.2 Epidemiologi Gangguan Tingkah Laku . . . . . . . . . 7
2.1.3 Tingkah Laku Antisosial sebagai Simptom Gangguan
Tingkah Laku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
2.1.4 Sifat Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 10
2.1.5 Penyebab Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . 12
2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Tingkah
Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.1.7 Perubahan Gangguan Tingkah laku . . . . . . . . . . 15
2.2 Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
2.2.1 Pengertian Konseling dan Konseling Kelompok . . . . 16
2.2.2 Tujuan Konseling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 17
2.2.3 Manfaat Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . 18
2.2.4 Struktur dalam Konseling kelompok . . . . . . . . . . 19
2.2.5 Tahapan Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . 20
2.2.6 Faktor Kuratif . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 21
2.2.7 Peran Konselor, Pendamping Konselor, dan Klien . . . 24
2.3 Peran Konseling Kelompok dalam Perubahan Tingkah laku
Antisosial . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26

ix
DAFTAR ISI

2.3.1 Peran Konseling Kelompok dalam Perubahan Ting-


kah Laku . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 26
2.3.2 Konseling Kelompok bagi Remaja yang Antisosial . . 27
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kon-
seling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
2.4 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 30

3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian 31


3.1 Kerangka Konseptual Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . 31
3.2 Hipotesis Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32

4 Metode Penelitian 33
4.1 Rancangan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
4.3 Populasi dan Sampel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 34
4.4 Variabel Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 36
4.5 Instrumen Pengumpulan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . 39
4.6 Organisasi Penyelenggaraan Penelitian . . . . . . . . . . . . . 41
4.7 Prosedur Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 41
4.8 Pengukuran Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 46
4.9 Analisis Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 49

5 Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian 50


5.1 Gambaran Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 50
5.2 Populasi dan Sampel Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
5.3 Karakteristik Sampel Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . 51
5.4 Pemaparan Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . 56
5.5 Tingkah Laku Antisosial Remaja . . . . . . . . . . . . . . . . 71
5.6 Perubahan tingkah laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . . 73

6 Pembahasan 80
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . 80
6.2 Konseling Kelompok . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 82
6.3 Perubahan Tingkah Laku Antisosial . . . . . . . . . . . . . . 85
6.4 Keterbatasan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 89

7 Kesimpulan dan Saran 93


7.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 93
7.2 Saran-saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 94

Referensi 95

x
1 | Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Delinkuensi merupakan permasalahan kesehatan jiwa masyarakat yang ti-
dak pernah berakhir. Permasalahan delinkuensi ini menjadi perhatian ba-
nyak pihak dan di semua negara [14], tanpa terkecuali di Indonesia [54,78].
Badan Pusat Statistik telah melaporkan angka delinkuensi di Indonesia.
Selama 1995 sebanyak 5234 anak di bawah 18 tahun yang dimasukkan di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) karena delinkuensi[5]. Angka delinkuen-
si karena melakukan tindak kejahatan berat ini merupakan 8,2% dari selu-
ruh narapidana tambahan pada tahun itu. Dibandingkan dengan beberapa
tahun sebelumnya, delinkuensi ini sudah menunjukkan ada peningkatan,
baik secara absolut maupun proporsional, karena selama 1989 angka nara-
pidana anak tambahan itu masih 5114 orang (6,9%) dari keseluruhan jumlah
narapidana sebanyak 74084 orang.4 Proporsi delinkuensi ini memang jauh
di bawah yang terjadi di Amerika, yang mencapai 28% pada 1990 [85], na-
mun kecenderungan peningkatan jumlah delinkuen di Indonesia ini masih
memungkinkan di masa mendatang.
Jumlah delinkuensi di atas hanyalah sebagian dari kenyataan angka de-
linkuensi di masyarakat. Delinkuensi yang tercatat di lembaga-lembaga
resmi, misalnya di kepolisian, pengadilan, dan pusat pembinaan anak de-
linkuen, merupakan kasus yang nampak di permukaan saja. Banyak kasus
delinkuensi di masyarakat yang tidak diproses melalui pengadilan atau dila-
porkan dan tidak tercatat sebagaimana adanya oleh lembaga-lembaga yang
ada.40 Karena itu kasus delinkunesi di masyarakat secara riil lebih besar
jumlahnya dibandingkan dengan data yang tertulis.
Berdasarkan pengalaman di banyak negara, delinkuensi yang ada di ma-
syarakat sulit diatasi meskipun dilakukan berbagai kebijaksanaan perbaikan
sosial dan ekonomi. Upaya-upaya itu tidak dapat mengurangi angka delin-
kuensi sebagaimana yang diharapkan. Di berbagai negara yang menerapkan
peraturan dan pengawasan yang ketat dengan tingkat sosial dan ekonomi

1
Pendahuluan

yang baik, delinkuensi tetap ada [14,48].


Faktor sosial, budaya, dan pendidikan memang dapat menimbulkan de-
linkuensi, dan untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan cara perbaikan
pada faktor itu. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa sebagian delin-
kuensi tidak cukup efektif diselesaikan dengan upaya prevensi seperti tadi,
bahkan dengan hukuman sekalipun [40]. Hal itu terjadi karena terbentuk-
nya tingkah laku antisosial yang persisten dan telah menjadi suatu gangguan
pada individu itu. Dalam klasifikasi gangguan jiwa tingkah laku antisosial
yang persisten ini disebut sebagai gangguan tingkah laku (conduct disorder)
[2,22,28].
Di masyarakat, prevalensi gangguan tingkah laku ini 2% hingga 16%.2
Namun dalam populasi anak dan remaja delinkuen, prevalensinya sangat
tinggi. Penelitian di Amerika, misalnya yang dilakukan Milin dan kole-
ganya [57] terhadap remaja yang terbiasa melakukan penyalahgunaan zat,
prevalensinya mencapai 91%. Demikian juga penelitian Eppright dan ko-
leganya (1993) [24] terhadap 100 remaja yang ditahan karena delinkuensi
ditemukan sebanyak 87% menunjukkan mengalami gangguan tingkah la-
ku. Sama halnya dengan hasil penelitian di Indonesia, Hartanto (1990) [36]
yang meneliti remaja yang dibina di Lapas Anak Negara Tanggerang, dari
34 anak yang diteliti 91% mengalami gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku yang dialami individu menjadi pendorong bagi
termanifestasinya tingkah laku antisosial, yaitu tindakan-tindakan yang ti-
dak diharapkan secara sosial, melanggar hak asasi orang lain, atau tindakan
yang bertentangan dengan norma sosial yang berlaku [22,28,64]. Tingkah
laku antisosial adalah bersifat primer bagi anak atau remaja yang menga-
lami gangguan tingkah laku. Karena itu, anak yang mengalami gangguan
tingkah laku cenderung menjadi delinkuen, sebagaimana dikemukakan oleh
Hoare dan McIntosh40 bahwa delinkuensi itu merupakan ciri umum remaja
yang mengalami gangguan tingkah laku.
Gangguan tingkah laku pada anak dan remaja ini tidak dapat dibiarkan,
karena selain merugikan orang lain juga merugikan dirinya sendiri. Ganggu-
an ini tidak hanya menghambat penyesuaian sosial saat masa kanak-kanak
dan remaja saja, gangguan yang persisten dapat berakibat buruk bagi ke-
hidupannya di masa dewasanya. Rabin [64] memperkirakan 40 sampai 50
persen anak yang bertingkah laku antisosial persisten dan berat dipredik-
sikan mengalami gangguan psikologis yang serius saat dewasanya.
Karena tingkah lakunya yang antisosial, remaja yang mengalami gang-
guan tingkah laku banyak yang terlibat dengan urusan pengadilan. Se-
bagian di antara mereka dimasukkan dan dibina oleh Lapas. Karena itu
perhatian kita pada Lapas Anak menjadi lebih penting karena; (1) La-

2
Pendahuluan

pas Anak merupakan lembaga khusus yang menangani anak dan remaja
delinkuen berat dan di kalangan mereka ini prevalensi gangguan tingkah
lakunya sangat tinggi [36]; (2) Remaja yang dibina di Lapas Anak bera-
da pada masa perkembangan sehingga masih memungkinkan untuk dibina
menjadi lebih baik [42]. Ketidakefektifan dalam pembinaan kepada mere-
ka dapat menimbulkan penyesuaian yang lebih buruk bagi remaja; dan (3)
Lapas, termasuk Lapas Anak, mengandung konsep stigma di masyarakat,
sehingga jika dapat membantu mempercepat mengatasi gangguan tingkah
lakunya dan mempersiapkan untuk hidup di masyarakat secara sehat maka
akan sangat membantu bagi proses sosialisasinya.
Mengubah secara drastis gangguan tingkah laku remaja adalah tidak
mudah dilakukan. Untuk mencapai derajat kesehatan jiwanya memerlukan
waktu yang relatif lama. Langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi
secara bertahap tingkah laku antisosialnya melalui intervensi yang tepat.
Sistem pembinaan di Lapas Anak telah ditetapkan untuk disesuaikan
dengan kebutuhan anak dan mempersiapkan mereka untuk dapat hidup
secara tepat di masyarakat [77,78]. Pembinaannya yang dilakukan melipu-
ti: disiplin, penyuluhan rohani, bimbingan bakat dan keterampilan, bantu-
an hukum, dan pendidikan [54]. Prinsip-perinsip perubahan tingkah laku
[55,72] dengan pengkondisian (learning by conditioning), pemberian konse-
kwensi (learning by consequenses), dan pemberian contoh (modeling) pada
tingkat tertentu telah diterapkan di Lapas Anak itu. Dalam proses pembi-
naan itu sebagian di antara mereka dinilai ada perubahan tingkah lakunya
menjadi lebih prososial, tetapi sebagian yang lain tetap bertingkah laku
antisosial, meskipun tidak dengan tindakan yang menyolok karena sistem
pengawasan yang ketat, misalnya adanya sikap bermusuhan, bertengkar,
dan apatis.
Untuk keperluan perubahan tingkah laku antisosial secara lebih cepat
dan lebih baik hasilnya, diperlukan pendekatan yang lebih spesifik sesuai
dengan karakteristik suatu gangguan tingkah laku. Selain menggunakan
pendekatan perbaikan lingkungan sosial anak, sebagaimana yang berlaku
selama ini, juga dibutuhkan pendekatan yang terapiutik, yaitu pendekatan
yang dapat membebaskan diri dari tekanan-tekanan emosional, sekaligus
belajar tingkah laku baru dengan jalan membantu mereka meningkatkan
pemahaman dan penerimaan terhadap diri dan lingkungannya, serta penyu-
sun harapan, dan rencana-rencana masa depannya yang realistis [28,43,47].
Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu pende-
katan yang terapiutik itu. Dalam proses konseling ini remaja dapat me-
manfaatkan anggota kelompok sebagai sumber belajar tentang tingkah laku
baru, belajar altruisme, melakukan katarsis terhadap segenap pengalaman

3
Pendahuluan

yang menekannya, dan berupaya membuka diri terhadap pengalaman ba-


ru [29,83]. Lebih spesifik lagi, dalam konseling kelompok terdapat elemen
tertentu yang dapat meningkatkan kondisi kesehatan jiwa klien, yang oleh
Yalom disebut dengan faktor-faktor kuratif (curative factors) [68,83]. Kon-
seling kelompok dapat digunakan untuk mempercepat dan meningkatkan
kualitas perubahan tingkah laku antisosial remaja Anak [37].
Anak dan remaja yang delinkuen ditempatkan di berbagai pusat pem-
binaan pada prinsipnya memiliki hak untuk mendapatkan konseling, tetapi
selama ini akses pemberian konseling kepada mereka ini sangat terbatas
[26,85]. Konseling kelompok sebagai salah satu bentuk bantuan pemecah-
an terhadap masalah individu memungkinkan diteliti efektivitasnya dalam
mengubah tingkah laku antisosial remaja yang dibina di Lapas Anak.

1.2 Rumusan Masalah


Remaja yang dibina oleh Lapas Anak pada dasarnya perlu dibantu untuk
mengurangi tingkah laku antisosialnya. Untuk melakukan perubahan ting-
kah laku antisosial remaja itu diperlukan teknik intervensi yang memberikan
kesempatan kepada mereka belajar mengurangi tingkah laku antisosialnya
dan belajar tingkah laku baru yang lebih tepat. Atas dasar permasalahan
ini pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Apakah konseling kelom-
pok berpengaruh pada perubahan tingkah laku antisosial remaja di Lapas
Anak?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mempelajari pengaruh konseling kelompok pada perubahan tingkah laku
antisosial remaja di Lapas Anak.

1.3.2 Tujuan Khusus


Mempelajari hal-hal berikut.

1. Tingkah laku antisosial remaja yang dibina oleh Lapas Anak.

2. Tingkah laku antisosial remaja yang dibina oleh Lapas Anak setelah
mengikuti konseling kelompok.

3. Perbedaan tingkah laku antisosial remaja yang dibina oleh Lapas


Anak sebelum dan sesudah mengikuti konseling kelompok.

4
Pendahuluan

4. Pengaruh konseling kelompok pada perubahan tingkah laku antisosial


remaja yang dibina Lapas Anak.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan bermanfaat khususnya bagi upaya pembinaan re-
maja yang mengalami gangguan tingkah laku untuk mengurangi tingkah
laku antisosialnya, melengkapi sistem pembinaan yang telah ada di Lapas
Anak. Manfaat teoritis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk
pengembangan teori tentang tingkah laku antisosial dan konseling kelompok
yang telah ada, dan keperluan penelitian lebih lanjut.

5
2 | Tinjauan Pustaka

2.1 Gangguan Tingkah Laku dan Tingkah Laku


Antisosial

2.1.1 Pengertian Gangguan Tingkah Laku


Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III mene-
gaskan makna gangguan tingkah laku (conduct disorder) yaitu sebagai “su-
atu pola tingkah laku assosial, agresif atau menentang, yang berulang-ulang
dan menetap. Perilaku ini, dalam bentuk ekstrimnya berupa pelanggaran
berat terhadap norma sosial yang terdapat pada anak pada anak seusianya.”
[22, h. 344]
Rabin (1991) [40] mengemukakan gambaran tingkah laku dari anak yang
mengalami gangguan tingkah laku, dengan ciri-ciri: (1) terganggunya ting-
kah laku yang terlalu, sering dan berat; (2) tidak memperhatikan pada/dan
melanggar standar tingkah laku yang diterima secara normal; dan (3) gagal
untuk memodifikasi atau menghentikan dari tingkah laku antisosial meski-
pun dengan persuasi atau hukuman.
Gangguan tingkah laku ini merupakan gangguan yang secara khas ada
pada anak dan remaja sebelum usia 18 tahun. Gangguan tingkah laku ini
dapat mulai muncul pada anak usia 7 tahun. Dalam Diagnostic and Statis-
tical Manual of Mental Disorder (DSM) IV [1] gangguan tingkah laku dikla-
sifikasikan dalam dua tipe, yaitu (1) Childhood-Onset Type, ditandai oleh
adanya karakteristik gangguan sebelum usia 10 tahun, dan (2) Adolescent-
Onset Type, ditandai oleh tiadanya karakteristik gangguan tingkah laku
sebelum usia 10 tahun.
Kriteria diagnostik gangguan tingkah laku menurut DSM IV ditandai
oleh adanya pola perilaku yang repetitif dan persisten sebagai pelanggaran
terhadap hak-hak orang lain atau norma atau aturan masyarakat pada usia-
nya, yang dimanifestasikan dengan adanya tiga (atau lebih) kriteria berikut
selama 12 bulan, dengan 1 kriteria terjadi pada 6 bulan yang lampau.

6
Tinjauan Pustaka

1. mengancam, mengganggu, atau mengintimidasi orang lain

2. memulai melakukan perkelahian

3. menggunakan senjata yang berbahaya secara fisik bagi orang lain (se-
perti: pentungan, botol pecah, pistol, pisau, dll)

4. membunuh seseorang

5. menyiksa dan membunuh binatang

6. mencuri disertai dengan tindak kekerasan kepada korban (merampok,


menjambret, pemerasan, pembegalan)

7. hubungan seksual secara paksa (pemerkosaan, sodomi)

8. membakar bangunan secara sengaja dengan maksud agar terjadi ke-


rusakan atau kerugian bagi orang lain.

9. merusak benda atau barang milik orang lain (selain dengan pemba-
karan)

10. merusak dan masuk rumah, bangunan, mobil orang lain tanpa seijin
pemiliknya

11. berbohong untuk mendapatkan hasil yang inginkan, atau menolak


kewajiban.

12. mencuri dengan tanpa melakukan tindak kekerasan (mis: mengutil di


toko)

13. keluar rumah di tengah malam tanpa seijin orangtua sebelum usia 13
tahun.

14. lari dari rumah dan bermalam di luar rumah (minggat)

15. sering membolos dari sekolah atau tidak mau sekolah.

2.1.2 Epidemiologi Gangguan Tingkah Laku


Angka prevalensi gangguan tingkah laku di berbagai tempat berbeda-beda.
Rabin yang meneliti anak usia 10 - 11 tahun di Isle of Wight diperoleh
angka prevalensi 4 persen [28]. Sementara Kashani [46] melaporkan sebesar
8,7 persen prevalensi gangguan tingkah laku di masyarakat dengan sampel
remaja di Columbia. Di Selandia Baru, Anderson2 menemukan anak usia
11 tahun mengalami gangguan tingkah laku dengan prevalensi 3,4 persen.

7
Tinjauan Pustaka

Karena itu secara pasti angka prevalensi gangguan tingkah laku di suatu
masyarakat tidak dapat ditentukan berdasarkan hasil penelitian di tem-
pat yang lain. Dalam DSM IV [1] dikemukakan bahwa angka prevalensi
gangguan tingkah laku di masyarakat berkisar 2 persen sampai 16 persen.

Angka prevalensi gangguan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan


berbeda. Menurut Offord, prevalensi gangguan tingkah laku pada laki-laki
dapat mencapai tiga kali lebih besar dibandingkan perempuan [28]. Ber-
dasarkan penelitiannya di Canada terhadap anak usia 4 sampai 11 tahun
yang “benar-benar” mengalami gangguan tingkah laku diperoleh angka pre-
valensi sebesar 2,6 persen untuk laki-laki dan 1 persen untuk perempuan.
Long [50] menyebut bahwa prevalensi gangguan tingkah laku untuk laki-
laki sebesar 10 persen sementara untuk perempuan sebesar 2 persen. DSM
IV [1] membuat rentangan yang agak longgar bahwa prevalensi gangguan
tingkah laku untuk laki-laki dalam rentangan 6 persen sampai 16 persen,
sementara perempuan sebesar 2 persen hingga 9 persen. Secara umum dika-
takan bahwa perbandingan prevalensi gangguan tingkah laku pada laki-laki
dan perempuan berkisar antara dua sampai empat kali lebih banyak pada
laki-laki. Penyebab perbedaan angka prevalensi ini belum diketahui secara
pasti. Menurut Rutter [63] perbedaan itu dimungkinkan karena sosial bu-
daya, sifat agresivitas ada pada laki-laki, atau ketahanan pada stress yang
berbeda.

Dilihat dari status sosial ekonomi, remaja dari keluarga kelas sosial eko-
nomi rendah dilaporkan lebih banyak mengalami gangguan tingkah laku
dibandingkan dengan remaja dari kelas sosial ekonomi tinggi. Perbadingan-
nya adalah dua kali lebih besar prevalensinya pada remaja dari keluarga
miskin [28,63].

Dalam populasi tertentu, khususnya di kalangan anak-anak yang de-


linkuen, angka prevalensi gangguan tingkah laku sangat tinggi. Penelitian
yang dilakukan Milin dan koleganya [57] terhadap remaja yang melakukan
penyalahgunaan zat prevalensi gangguan tingkah laku sebesar 91 persen.,
yang berbeda secara bermakna dengan prevalensi pada kelompok kontrol
dari remaja yang tidak melakukan penyalahgunaan zat dengan prevalensi
14 persen. Penelitian Eppright [24] terhadap 100 remaja yang ditahan kare-
na melakukan tindak delinkuensi ditemukan 87 persen mengalami gangguan
tingkah laku. Demikian juga penelitian di Indonesia oleh Hartanto36 dila-
porkan bahwa remaja yang dibina oleh Lapas Anak Tanggerang prevalensi
gangguan tingkah lakunya sebesar 91 persen.

8
Tinjauan Pustaka

2.1.3 Tingkah Laku Antisosial sebagai Simptom Gangguan


Tingkah Laku
Gangguan tingkah laku merupakan suatu sindroma, yang ditandai oleh ting-
kah laku antisosial yang terlalu, berat, dan persisten. Dalam PPDGJ III
maupun di DSM IV dikemukakan bahwa sebagai suatu sindroma maka ting-
kah laku antisosial tunggal tidak cukup dijadikan sebagai indikator bahwa
anak atau remaja itu mengalami suatu gangguan tingkah laku. Sebagai
gejala yang persisten, maka harus ditunjukkan tanda-tanda bahwa yang
bersangkutan secara menetap melakukan tindakan yang antisosial [1,22].
Offord [63] mengemukakan bahwa tingkah laku antisosial merupakan
tingkah laku yang dinilai keluar dari norma sosial secara luas. Tingkah la-
ku yang dianggap keluar dari nilai dan norma sosial itu jika assosial, agresif,
menentang, tidak patut pada peraturan yang sangat berat. Sementara Hur-
lock [42] merumuskannya sebagai tingkah laku yang memusuhi, merusak,
keselamatan anggota suatu masyarakat, secara fisik maupun psikologis dan
disadari atau tidak disadari. Dari kedua pengertian ini dapat dirumuskan
bahwa tingkah laku antisosial itu: (1) tingkah laku yang mengganggu, me-
musuhi, atau melawan norma sosial dan keamanan orang lain secara fisik
maupun psikologis, dan (2) tingkah lakunya terutama yang disadari dan
dapat pula tidak disadari.
Secara lebih detail, dalam PPDGJ III [22] dikemukakan beberapa contoh
perilaku antisosial itu, yaitu: perkelahian atau pelecehan yang berlebihan;
kejam terhadap hewan atau orang lain; melakukan perusakan terhadap ba-
rang milik orang lain; membakar; mencuri; kebohongan berulang; membolos
dari sekolah dan lari dari rumah; ngadat yang hebat dan sering; perilaku
provokatif dan menentang; dan bersikap menentang yang hebat serta me-
netap. Pelanggaran tindak seksual seperti pemerkosaan, prostitusi, sodomi,
juga merupakan gambaran dari tingkah laku antisosial [32,45].
Selain tingkah laku yang nampak (overt) sebagaimana yang dicontohk-
an dalam PPDGJ III di atas, ada sejumlah tingkah laku yang tidak nam-
pak (covert) yang juga merupakan simptom dari gangguan tingkah laku.
DeFrancesco, [21] menyebutkan tingkah laku antisosial yang lebih bersifat
covert itu, diantaranya adalah: sedikit kurang empati kepada orang lain,
memiliki keterbatasan pengertian terhadap dirinya, kurang dalam hal pe-
nyesalan terhadap tingkah lakunya yang antisosial, dan memiliki perhatian
yang minimal untuk perasaan, harapan atau keinginan orang lain.
Adanya tingkah laku antisosial yang nampak dan yang tidak nampak
itu sejalan dengan pandangan Henry Murray [38] yang membangi tingkah
laku atas dua kelompok yaitu tingkah laku overt, yaitu tingkah laku yang
terekspresi dalam tingkah lakunya dan covert, yaitu tingkah laku yang tidak

9
Tinjauan Pustaka

terekspresi dari luar karena faktor sosial dan budaya. Berbagai tingkah laku
antisosial sebagai gejala dari gangguan tingkah laku ini terinci ditunjukkan
pada Tabel 2.1.
Dalam suatu diagnosis psikiatris ditegaskan bahwa suatu simptom ting-
kah laku antisosial belum tentu menunjukkan dia mengalami gangguan ting-
kah laku. Karena tingkah laku antisosial itu ada yang bersifat primer dan
sekunder. Untuk anak dan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku
maka tingkah laku antisosialnya bersifat primer. Sedangkan tingkah laku
antisosial yang bersifat sekunder adalah tingkah laku yang dilakukan anak
dan remaja yang tidak mengalami gangguan tingkah laku, tetapi karena
faktor retardasi mental, mengalami gangguan organik pada otak, neurosis,
penyesuaian situasional [82]
Pola tingkah laku antisosial yang terjadi pada kanak-kanak berbeda
dengan remaja. Menurut Hoare dan McIntosh, [40] kanak-kanak menun-
jukkan tingkah laku antisosialnya lebih banyak di lingkungan keluarganya,
sementara remaja lebih luas lagi, selain di keluarga juga di sekolah atau ma-
syarakat luas. Hal ini sejalan dengan pandangan Loeber dan koleganya [28]
bahwa pola tingkah laku antisosial itu sebagian cenderung meningkat dan
sebagian menurun sesuai dengan pertambahan usia. Misalnya anak usia be-
lasan tahun menunjukkan penurunan pada tingkah laku penarikan diri dan
agresi secara fisik, sementara ada peningkatan pada sikap negatif kepada
sekolah, bersikap positif terhadap delinkuensi, dan tidak dapat dipercaya.
Sebagai akibat dari tingkah laku antisosialnya, anak dan remaja yang
mengalami gangguan tingkah laku juga mengalami hambatan-hambatan la-
in sebagai akibat sekundernya, misalnya dalam problem sosialnya digam-
barkan bahwa mereka biasanya memiliki berbagai problem dalam bidang:
akademik, hubungan di rumah dan masyarakat, hubungan dengan sebaya-
nya, serta harga diri [1].

2.1.4 Sifat Tingkah Laku Antisosial


Dari berbagai literatur dikemukakan bahwa tingkah laku antisosial itu di-
tandai oleh enam sifat, yaitu: (1) agresif, (2) impulsif, (3) tidak dapat ber-
tanggung jawab (irresponsibility), (4) tidak dapat empati dan berperasaan
(affectionless), (5) persistensi, dan (6) rendahnya kemampuan penyesuaian
diri [28,59,76].
Agresif merupakan kecenderungan melakukan penyerangan kepada
orang lain, binatang, atau pengerusakan kepada benda milik dirinya atau
orang lain. Agresif ini dapat dalam bentuk tindakan maupun kata-kata. Im-
pulsif merupakan ketidakmampuan mengendalikan diri, dan mudah mem-
beri reaksi (secara tidak tepat secara sosial) terhadap rangsangan luar, sulit

10
Tinjauan Pustaka

Tabel 2.1. Tingkah Laku Antisosial

Tingkah laku yang nampak Tingkah laku yang tidak nampak

Membunuh binatang Kendali dirinya kurang (impulsif)


Mencuri (dengan konfronta- Dorongan seksual dan kesenangan-nya sa-
si, tidak konfrontasi) ngat kuat
Vandalisme Reaktif, sensitivitasnya tinggi
Membakar bangunan Tidak mampu melakukan penyesuaian so-
sial
Pemalsuan, pembohong Kecemasannya terhadap hukuman rendah
Merusak barang sendiri atau Tidak atau kurang dalam hal rasa penye-
milik orang lain salan, perasan berdosa terhadap kesala-
hannya
Memperkosa, memaksa me- Tidak memiliki rasa malu kepada masya-
lakukan hubungan seks rakat atas tingkah lakunya yang assosial
Menyerang, memukul, Benci, dan curiga kepada orang lain
mengancam, mengintimidasi
orang lain
Suka belas dendam Tidak dapat menerima dan pemberian
afeksi kepada orang lain
Suka menyalahkan orang la- Benci kepada aturan
in
Kelahi, bertengkar Kurang empati kepada orang lain
Mengolok-olok orang lain Keterbatasan pengertiannya kepada ting-
kah lakunya sendiri (penyesuaian dirinya
kurang)
Suka berkata jorok Pikirannya: dirinya paling benar, egosen-
tris.
Menggunakan senjata yang
dapat berbahaya bagi orang
lain
Suka marah-marah

Sumber:
1. American Psychiatric Association. 1994. DSM IV. Washington DC:
APA
2. Departemen Kesehatan RI. 1993. PPDGJ III, Jakarta: Depkes RI.
3. DeFrancesco, John J. 1995. Conduct Disorder: The Crisis Continous.
New York: APA.
4. Noshpitz, Joseph D. 1997. Hand Book of Child and Adolescent
Psychiatry. Vol. II. New York: John Wiley and Sons, Inc.
11
Tinjauan Pustaka

menunda keinginan dan kesenangannya. Ketidakmampuan bertanggung ja-


wab artinya individu tidak mau bertanggung jawab terhadap dirinya, tugas
dan kewajibannya, atau menghindar menjalankan tugas tugas dan tanggung
jawab yang dibebankan atau yang disepakati. Ketidakmampuan membe-
ri empati dan berperasaan merupakan ketidakmampuan seseorang dalam
memahami perasaan, pikiran, dan kemauan orang lain secara wajar. Dia
juga tidak memiliki afeksi terhadap penderitaan atau kesulitan orang lain.
Persistensi merupakan ketidakmampuan individu belajar dari pengalaman
dan hukuman. Tidak mau belajar berperilaku yang dapat diterima secara
sosial, dan tetap mempertahankan perilakunya sekalipun mengerti bahwa
perilakunya adalah salah. Rendahnya kemampuan penyesuaian diri ditan-
dai dengan sangat terbatasnya pengertian individu mengenai: kemampuan
dirinya, bertindak yang sesuai dengan keadaan dirinya, dan standar moral
yang tepat untuk dirinya. Cara berfikirnya dari ukurannya sendiri, tanpa
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sosial.

2.1.5 Penyebab Tingkah Laku Antisosial

Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa ada sejumlah


gambaran tentang ciri-ciri gangguan tingkah laku. Pada prinsipnya individu
yang mengalami gangguan tingkah laku akan secara persisten melakukan
tindakan-tindakan yang antisosial.
Kecenderungan tingkah laku antisosial bagi individu yang mengalami
gangguan tingkah laku disebabkan oleh lemahnya atau terganggunya fungsi
superego, yang oleh Melvin Singer [74] disebut sebagai kekosongan superego
(Superego Lacunae). Individu yang mengalami gangguan tingkah laku se-
benarnya menyadari bahwa tindakannya salah dan tidak dibenarkan secara
sosial, tetapi dia tidak merasa berdosa atau penyesalan atas tindakannya,
karena fungsi superego yang mengendalikan nilai moral tidak berfungsi.
Di kalangan psikoanalisis maupun behaviorisme berpandangan bahwa
gangguan tingkah laku ini berkaitan dengan proses pembentukan di masa
sebelumnya. Menurut Kessler [82], anak yang mengalami gangguan ting-
kah laku gagal belajar secara tepat tentang nilai etik dan moral pada masa
awal kehidupannya. Hal ini sejalan dengan pandangan kalangan berhavi-
orisme yang menyatakan bahwa, repetisi tingkah laku antisosial menjadi
kuat karena anak mendapatkan reinforcemen dan reward dari lingkungan-
nya atau terpuaskan atas tindakan antisosialnya [48,72] Kesalahan dalam
proses belajar menyebabkan anak salah dalam belajar, dan melakukan tin-
dakan antisosial meskipun tidak dibenarkan menurut norma masyarakat.

12
Tinjauan Pustaka

2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Tingkah


Laku Antisosial
Ada tiga faktor utama yang dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi
terbentuknya tingkah laku antisosial, yaitu faktor biologis, psikoedukatif,
dan faktor sosial budaya.

Faktor biologis
Kondisi biologis memiliki kontribusi bagi kesehatan jiwa. Demikian juga de-
ngan tingkah laku antisosial, salah satu penyebabnya adalah karena faktor
biologis, yaitu genetik dan konstitusi.
Penelitian genetika tentang tingkah laku antisosial banyak dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Bohman [10], Crowe [20], dan yang diuraikan
oleh Karlsson [44] tentang genetika mentalitas manusia memberikan keje-
lasan bahwa tingkah laku antisosial dapat diwarisi oleh orangtuanya. Dalam
berbagai penelitian diungkapkan bahwa ada kecenderungan orangtua yang
bertingkah laku antisosial misalnya kriminal dan memiliki sejarah sebagai
delinkuen, anaknya juga mengalami hal yang sama. Dalam hal ini, didu-
ga aspek genetik memiliki peran bagi pembentukan tingkah laku antisosial
[10,16].
Abnormalitas kromosom juga dikaitkan dengan tingkah laku antisosi-
al. Orang dengan kondisi sindroma klinefelter (kromosom XYY) dan dan
sindroma supermale (kromosom XXY) berkecenderungan melakukan pe-
langgaran hukum [62] Temuan terakhir menunjukkan bahwa hanya pada
anak-anak mengalami abnormalitas kromosom dan diikuti gangguan mental
cenderung delinkuen [53,73] Namun jika tingkah laku antisosial ini dikaitk-
an dengan jenis kelamin, tampak bahwa terdapat perbedaan jumlah yang
menyolok antara tingkah antisosial yang dilakukan laki-laki dan perempuan.
Dilaporkan bahwa laki-laki diketahui empat sampai lima kali lebih banyak
melakukan tindakan antisosial dibandingkan perempuan. Temuan lain me-
nyatakan adanya perkembangan rasio tingkah laku antisosial di kalangan
wanita, yaitu adanya kecenderungan meningkatnya angka tingkah laku an-
tisosial anak wanita yang mendekati rasio pada anak laki-laki [15,17,48]

Faktor psikoedukatif
Aspek psikoedukatif disimpulkan juga memiliki pengaruh yang kuat ter-
hadap tingkah laku antisosial. Termasuk aspek psikoedukatif ini adalah:
pengalaman keterlantaran emosional saat kecil, penolakan orangtua, unit
keluarga yang pecah, psikopatologis pada orangtua atau terjadi penyim-
pangan, dan perlakuan orangtua yang salah kepada anak.

13
Tinjauan Pustaka

Penelitian Bowlby [11] menunjukkan bahwa perpisahan anak dengan


ibunya menyebabkan anak menjadi antisosial. Dalam penelitian lainnya
yang menyangkut keterlantaran anak ini meliputi keluarga yang tidak ber-
fungsi misalnya orangtua yang sakit kronis, atau karena anak berpisah de-
ngan orangtua misalnya karena perceraian, orangtua yang dipenjara, orang
tua yang menghilang [36,63] anak-anaknya berisiko tinggi menjadi anak
yang antisosial.
Orangtua yang memperlakukan anak secara salah (child abuse), sehing-
ga menjadi anak yang terlantar juga berisiko terbentuknya gangguan ting-
kah laku pada anak [52]. Akibat buruk pada anak ini juga terjadi dalam
jangka panjang. Dalam kaitan ini Becker dan koleganya [6] mengemukak-
an berbagai gangguan serius di masa dewasa dari anak yang diperlakuk-
an secara salah, diantaranya delinkuensi, kriminal yang brutal, mengalami
gangguan kepribadian lainnya seperti depresi dan gangguan kecemasan.

Faktor sosial budaya


Faktor sosial budaya menyangkut sosial ekonomi yang jelek, norma sosi-
al yang berlaku, lingkungan pergaulan sosial dan tekanan-tekanan sosial
lainnya turut membuat anak menjadi antisosial [14,48] Banyak penelitian
menunjukkan bahwa anak dan remaja yang antisosial kebanyakan berasal
dari keluarga di lingkungan yang kumuh, yaitu kawasan yang jorok dan ma-
syarakatnya miskin. Offord [63] menyatakan bahwa tingkah laku antisosial
itu dua kali lipat lebih banyak dialami oleh masyarakat dari kelas sosial
rendah.
Nilai-nilai sosial juga turut mempengaruhi terbentuknya tingkah laku
antisosial. Adanya perbedaan yang sangat tajam antara prevalensi tingkah
laku antisosial pada laki-laki dan perempuan diduga di antaranya karena
norma sosial yang berlaku di masyarakatnya lebih memberikan kelonggaran
kepada laki-laki untuk melakukan tindakan yang antisosial dibandingkan
jika dilakukan oleh wanita [63]
Lingkungan pergaulan juga mempengaruhi terbentuknya tingkah laku
antisosial. Remaja yang lingkungan pergaulannya adalah delinkuen cen-
derung menjadi delinkuen. Karena itu Quay [28] menyatakan adanya de-
linkuen karena faktor kultural, atau yang dikatakan deviant socialization.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Kvaraceus dan Miller
terhadap anak-anak delinkuen ditemukan bahwa mereka melakukan tindak
delinkuensi 75 persen disebabkan oleh faktor budaya sedangkan 25 persen
karena faktor psikologis.
Atas berbagai telaah penelitian, jelas bahwa faktor yang mempengaruhi
terbentuknya tingkah laku antisosial sangat banyak. Namun disadari bah-

14
Tinjauan Pustaka

wa tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan tingkah laku antisosial itu.
Corlinger menyatakan bahwa tingkah laku antisosial itu terbentuk karena
multifaktoral [17] yang hal ini sejalan dengan pandangan Offord [63] dengan
teorinya tentang interaksi berbagai faktor (the interaction of multiple etio-
logical factor), atau biopsychosocial model sebagaimana yang dikemukakan
oleh Lewis [28]. Dengan demikian satu dengan lainnya saling berinteraksi
sehingga terbentuk tingkah laku antisosial pada individu.

2.1.7 Perubahan Gangguan Tingkah laku


Gangguan tingkah laku hanya ada pada masa kanak-kanak dan remaja.
Gejala ini mulai ada pada usia 7 tahun, dan berakhir pada usia 18 tahun.
Dalam banyak penelitian mengungkapkan bahwa gangguan tingkah laku
dapat berlanjut hingga masa dewasa menjadi gangguan kepribadian anti-
sosial. Namun hingga kini masih diperdebatkan, karena tidak semua anak
dan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku mengalami gangguan
kepribadian antisosial, dan tidak semua orang yang mengalami gangguan
kepribadian antisosial bermula dari ganggaun tingkah laku. Jelasnya, se-
bagian dari gangguan tingkah laku pada anak berlanjut dan sebagian lagi
tidak berlanjut menjadi gangguan kepribadian antisosial pada masa dewa-
sanya.
Gangguan tingkah laku ini pada prinsipnya dapat berubah dan menjadi
sehat. Perubahan dapat terjadi jika anak dapat melakukan kendali diri
(self-control) terhadap tingkah lakunya melalui proses belajar tingkah laku
baru yang tepat yang sesuai dengan nilai dan norma sosial.
Perubahan tingkah laku antisosial itu sendiri melalui dua proses, yai-
tu (1) hilang dengan sendirinya dan (2) berubah melalui proses intervensi
[19,28,86]. Perubahan yang berakhir dengan sendirinya terjadi karena anak
belajar sendiri tingkah laku yang tepat, sehingga gangguan tingkah lakunya
secara bertahap berkurang, dan tingkah lakunya terkendali, tidak memun-
culkan tingkah laku antisosial secara persisten. Perubahan melalui proses
intervensi berarti anak memperbaiki tingkah lakunya setelah ada intervensi
dari luar.
Intervensi perubahan tingkah laku antisosial dapat dilakukan dengan
prinsip-prinsip pencegahan menurut kesehatan masyarakat, yaitu pencegah-
an primer, sekunder, dan tersier [12,67]. Intervensi primer berarti pencegah-
an terhadap kelompok yang berisiko, tujuannya untuk mengurangi angka
insiden suatu gangguan atau kesakitan di masyarakat. Intervensi sekun-
der diberikan kepada kelompok yang terganggu (pada stadium awal) yang
bertujuan untuk mengurangi durasi gangguan atau kesakitan. Sedangkan
intervensi tersier sasarannya adalah mereka yang telah mengalami ganggu-

15
Tinjauan Pustaka

an, tujuannya untuk menghindari kecacatan menetap dan mempersiapkan


mereka melakukan sosialisasi di masyarakat.
Kazdin [28] mengemukakan tiga tipe penanganan anak bertingkah laku
antisosial, yaitu (1) penanganan berfokus pada anak meliputi: psikoterapi
individual, psikoterapi kelompok, terapi behavioral, latihan keterampilan
pemecahan masalah, farmakoterapi, dan perbaikan tempat tinggal; (2) Pe-
nanganan berfokus pada keluarga meliputi: terapi keluarga, dan latihan
menejemen orangtua; dan (3) penanganan yang berfokus pada masyarakat
adalah intervensi pada masyarakat luas.
Intervensi untuk perubahan tingkah laku dapat dilakukan secara indivi-
dual dan kelompok. Intervensi individual merupakan ciri intervensi dalam
pendekatan klinis, sedangkan intervensi kelompok menjadi prinsip dasar da-
lam pendekatan kesehatan masyarakat (public health), termasuk di dalam-
nya adalah kesehatan mental masyarakat (community mental hygiene).32

2.2 Konseling Kelompok


2.2.1 Pengertian Konseling dan Konseling Kelompok
Konseling merupakan salah satu bentuk terapi yang membantu seseorang
yang memiliki masalah untuk memecahkan masalahnya sendiri. Secara sing-
kat Pietrofesa [66] memberikan batasan konseling sebagai (1) suatu proses
secara terus menerus dari seseorang profesional memberi bantuan kepada
orang lain, (2) dalam memahami diri, mengambil keputusan dan problem
solving, (3) konseling dilakukan secara tatap muka dan hasilnya sangat ber-
gantung pada kualitas hubungan konseling.
Burks dan Steffler [43] merumuskan konseling sebagai berikut.

Konseling merupakan suatu hubungan profesional antara konse-


lor yang terlatih dan klien. Hubungan ini biasanya dari orang ke
orang, meskipun dalam hal lain dapat lebih dari dua orang. Ke-
giatan ini didesain untuk membantu klien memahami dan men-
jelaskan pandangannya tentang masalah kehidupannya, dan be-
lajar mencapai tujuan utama (mendasar) mereka menjadi ber-
makna, memilih informasi yang baik dan menjadi pemecahan
terhadap masalah keadaan emosi atau interpersonalnya.(h. 2-
3).

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli di atas, maka kon-


seling itu pada prinsipnya: (1) proses hubungan konselor dan klien secara
tatap muka, (2) Dalam hubungan itu konselor membantu klien memecahkan

16
Tinjauan Pustaka

masalahnya, dan (3) masalah yang dipecahkan dapat berhubungan dengan


emosi, hubungan interpersonal, problem solving, dan pemahaman diri.
Konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu ben-
tuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, membe-
ri umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar. Konseling kelompok
dalam prosesnya menggunakan prinsip-prinsip dinamika kelompok (group
dinamic). Konseling kelompok menurut Gazda adalah:

“Group counseling is a dynamic interpersonal process focusing


on conscious thought and behavior and involving the therapy
functions of permissiveness, orientation to reality, catharsis, and
mutual trust, caring, understanding, acceptance, and support.
The therapy functions are created and nurtured in small group
through the sharing of personal concerns with one’s peer and
the counselor(s).” (29 h.10)

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka konseling kelompok


secara prinsipil adalah sebagai berikut. (1) Konseling kelompok merupakan
hubungan antara (beberapa) konselor dengan beberapa klien; (2) Konseling
kelompok berfokus pada pemikiran dan tingkah laku yang disadari; (3)
Dalam konseling kelompok terdapat faktor-faktor yang merupakan aspek
terapi bagi klien; (4) Konseling kelompok bermaksud memberikan dorongan
dan pemahaman kepada klien, untuk memecahkan masalah yang dihadapi
klien.

2.2.2 Tujuan Konseling


Tujuan konseling kelompok pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu
tujuan teoritis dan tujuan operasional. Tujuan teoritis berkaitan dengan tu-
juan yang secara umum dicapai melalui proses konseling, sedangkan tujuan
operasional disesuaikan dengan harapan klien dan masalah yang dihadapi
klien [66]
Tujuan teoritis konseling kelompok secara lengkap dikemukakan Co-
rey18 sebagai berikut.
1. to learn to trust onself and others
2. to achieve self-knowledge and develop a sence of one’s uni-
que identity
3. to recognize the comunality of the participants’ needs and
problems and develop a sence of universality
4. to increase self-acceptance, self confidence, and self-respect
in order to achieve a new view of oneself

17
Tinjauan Pustaka

5. to find alternative ways of dealing with normal developmen-


tal issues and of resolving certain conflict
6. to increase self-direction, autonomy, and responsibility to-
ward oneself and others
7. to become aware of one’s choices and to make choices wisely
8. to make specific plan for changing certain behavior and to
commit oneself to follow through with these plans
9. to learn more effective social skills
10. to become more sensitive to the needs and feeling of others
11. to learn how to confront others with care, concern, honesty,
and directness
12. to move away from merely meeting others, expectation and
to learn to live by one’s own expectation
13. to clarify one’s values and decide whether and how to mo-
dify them”(h. 7-8)
Tujuan-tujuan itu diupayakan melalui proses dalam konseling kelom-
pok. Pemberian dorongan (supportive) dan pemahaman melalui reedukatif
(insight-reeducative) sebagai pendekatan yang digunakan dalam konseling,
diharapkan klien dapat mencapai tujuan-tujuan itu [61]. Tujuan operasio-
nalnya disesuaikan dengan masalah klien, dan dirimuskan secara bersama-
sama antara klien dengan konselor.

2.2.3 Manfaat Konseling Kelompok


Pendekatan kelompok dikembangkan dalam proses konseling didasarkan
atas pertimbangan bahwa pada dasarnya kelompok dapat pula memban-
tu memecahkan individu atau sejumlah individu yang bermasalah. Berba-
gai keuntungan pemanfaatkan kelompok sebagai proses belajar dan upaya
membantu klien dalam pemecahan masalahnya dikemukakan George dan
Cristiani [30] adalah sebagai berikut.

1. It is efficient. Counselor can provide service to many more


clients
2. Group counseling provides a social interpersonal contexs in
wich to work on interpersonal problem
3. Clients have the opportunity to practice new behavior.
4. It enables client to put their problems in perspective and to
understanding how they are similiar to and different from
others.

18
Tinjauan Pustaka

5. Clients form a support system for each others.


6. Clients learn interpersonal communication skill.
7. Clients are given the opportunity to give as well as to re-
ceive help.” (h. 205)

Namun demikian berbagai keuntungan itu tidak selalu diperolehnya,


bergantung pada ketepatan pemberian respon, kemampuan konselor meng-
elola kelompok, kesediaan klien mengkutinya proses kelompok, kepercayaan
klien kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses konseling [13]

2.2.4 Struktur dalam Konseling kelompok


Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi kelompok
pada umumnya. Struktur kelompok yang dimaksud menyangkut orang yang
terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak
waktu yang diperlukan bagi suatu terapi kelompok, dan sifat kelompok
[18,29,65,83].

Partisipan
Pihak yang terlibat dalam konseling kelompok adalah seorang konselor dan
sejumlah klien yang memiliki masalah yang serupa. Konselor yang me-
nyelenggarakan konseling kelompok dapat seorang atau lebih atau dibantu
oleh pendamping konselor. Sedangkan klien, sebagaimana terapi kelompok
interaktif, beranggota berkisar antara 4 sampai 12 orang. Jumlah klien
ini disesuaikan dengan kemampuan konselor dan pertimbangan efektivitas
proses konseling.

Sifat Kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka jika pada suatu saat
dapat menerima anggota baru, dan dikatakan tertutup jika keanggotan-
nya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan
keanggotaan terbuka dan tertutup bergantung kepada keperluan.

Waktu Pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat bergantung kepa-
da kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum kon-
seling kelompok yang bersifat jangka pendek (sort-term group counseling)
membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan, dengan

19
Tinjauan Pustaka

frekwensi pertemuan antara 1 - 3 kali dalam seminggunya, dan durasinya


antara 60 sampai 90 menit setiap pertamuan.

2.2.5 Tahapan Konseling Kelompok


Konseling kelompok dilaksanakan secara bertahap. Corey mengemukakan
terdapat enam tahap dalam konseling kelompok, yaitu tahap pembentukan
kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta
tahap evaluasi dan tindak lanjut [18,29]. Berikut tahap-tahap konseling
kelompok dijelaskan secara singkat.

Prakonseling: Pembentukan kelompok


Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pa-
da tahap ini terutama pembentukan kelompok, yang dilakukan dengan se-
leksi anggota dan menawarkan program kepada calon peserta konseling,
sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.

Tahap I: Tahap permulaan (orientasi dan eksplorasi)


Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi ha-
rapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai me-
negaskan tujuan kelompok. Setiap anggota kelompok mulai mengenalkan
dirinya dan menjelaskan tujuan atau harapannya. Pada tahap ini diskr-
psi tentang dirinya masih bersifat superfisial (permukaan saja), sedangkan
persoalan yang lebih tersembunyi belum diungkapkan pada fase ini.
Kelompok mulai membangun norma untuk mengontrol aturan-aturan
kelompok dan menyadari makna kelompok untuk mencapai tujuan. Peran
konselor pada tahap ini membantu menegaskan tujuan untuk kelompok dan
makna kelompok untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini menurut Prawi-
tasari [68], anggota kelompok diajak untuk: bertanggung jawab terhadap
kelompok, terlibat dalam proses kelompok, mendorong klien agar berparti-
sipasi sehingga keuntungan akan diperoleh.
Secara sistematis, pada tahap ini langkah yang dilakukan adalah perke-
nalan, agenda (tujuan yang ingin dicapai) norma kelompok dan penggalian
ide dan perasaan.

Tahap II: Tahap transisi


Tahap ini anggota kelompok mulai terbuka, tetapi sering terjadi pada fa-
se ini justru terjadi kecemasan, resistensi, konflik dan bahkan ambivalensi

20
Tinjauan Pustaka

tentang keanggotannya dalam kelompok, atau enggan jika harus membu-


ka diri. Tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan mereka bekerja
untuk dapat merasa memiliki kelompoknya.

Tahap III: Tahap kerja – Kohesi dan Produktivitas


Kegiatan konseling kelompok terjadi yang ditandai oleh: membuka diri lebih
besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota ke-
lompok, modeling , belajar perilaku baru, terjadi transferensi. Kohesivitas
mulai terbentuk, mulai belajar bertanggung jawab, tidak lagi mengalami
kebingungan. Anggota merasa berada dalam kelompok, mendengar yang
lain dan terpuaskan dengan kegiatan kelompok.

Tahap IV: Tahap akhir (konsolidasi dan terminasi)


Terjadi mentransfer pengalaman dalam kelompok dalam kehidupan yang
lebih luas. Jika ada klien yang memiliki masalah dan belum terselesaikan
pada fase sebelumnya, pada fase ini harus diselesaikan. Jika semua peserta
merasa puas dengan proses konseling kelompok, maka konseling kelompok
dapat diakhiri.

Setelah konseling: Tindak lanjut dan evaluasi


Setelah berselang beberapa waktu, konseling kelompok perlu dievaluasi.
Tindak lanjut dilakukan jika ternyata ada kendala-kendala dalam pelaksa-
naan di lapangan. Mungkin diperlukan upaya perbaikan terhadap rencana-
rencana semula, atau perbaikan terhadap cara pelaksanaanya.

2.2.6 Faktor Kuratif


Untuk mencapai maksud dan tujuan konseling, ada elemen yang harus dicip-
takan dan terjadi selama proses konseling. Elemen oleh Yalom [83] disebut
sebagai faktor-faktor kuratif (currative factors) atau menurut Bloch disebut
sebagai therapiutic factors.[9] Bloch mengartikan faktor terapi sebagai: “as
element accuring in group therapy that contributes to improvement in a
patient’s condition and a function of the action of the group terapist, the
patient, or fellow member.”(9 p. 122)
Terdapat sebelas aspek dari faktor-faktor kuratif menurut Yalom, yaitu:
membina harapan, universalitas, pemberian informasi, altruisme, pengu-
langan korektif keluarga primer, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan
tingkah laku, belajar menjalin hubungan interpersonal, kohesivitas kelom-
pok, katarsis, dan faktor-faktor eksistensial [83]. Para dasarnya kesebelas

21
Tinjauan Pustaka

faktor kuratif ini satu kesatuan yang harus terjadi dalam konseling kelom-
pok. Bagian berikut akan dijelaskan secara singkat faktor-faktor kuratif
tersebut [9,68,83].

Membina harapan
Membina harapan berarti klien merasa optimis terhadap kemajuannya, atau
berpotensial untuk lebih baik melalui konseling kelompok. Dia menyadari
bahwa keadaannya akan lebih baik lagi dan anggota kelompok yang lain
dapat membantunya, dan dia merasa bahwa selama proses konseling ke-
lompok telah dibantu oleh anggota yang lain dan mendapatkan kemajuan-
kemajuan.

Universalitas
Universalitas bermakna klien mengerti bahwa masalah yang dialami tidak
sendirian. Dia beranggapan bahwa semua orang memiliki masalah, dan dia
memiliki perasaan dan keinginan yang sama untuk menghilangkan masa-
lah yang dialaminya. Jadi klien menyadari bahwa dirinya tidak sendirian
dengan perasaan dan problemnya.

Pemberian informasi
Klien mendapatkan informasi dan bimbingan dari konselor dan anggota
kelompok lainnya tentang pemecahan masalahnya atau hal-hal lain yang
bermakna bagi kebaikan dirinya.

Altruisme
Bersamaan dengan keadaannya yang lebih baik dan merasa banyak belajar
dari kegiatan konseling kelompok, terus membantu anggota lain mengatasi
masalahnya. Karena itu dia juga mendorong, memberikan komentar dan
berpendapat atau memberi nasehat kepada anggota yang lainnya. Tukar
pikiran mengenai masalah yang sama untuk membantu anggota kelompok
lainnya. Merasa dibutuhkan dan dapat dimintai bantuan dan menyadari
bahwa dirinya dapat mendukung keperluan anggota lainnya.

Pengulangan korektif keluarga primer


Klien menganggap konselor dan ko-konselor sebagai orangtua dan anggota
kelompok yang lainnya sebagai saudara. Klien berusaha memperoleh per-
hatian khusus seperti pada saat kecil dari konselor dan anggota kelompok

22
Tinjauan Pustaka

lainnya, dan dia belajar mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan
orang lain.

Pengembangan teknik sosialisasi


Klien belajar berhubungan dengan orang lain, termasuk belajar memperoleh
umpan balik dari anggota yang lain untuk perbaikan dirinya. Sekaligus dia
belajar menyelesaikan konflik-konflik, mau mengerti dan memahami orang
lain, serta menciptakan rasa tenggang rasa dengan anggota kelompok.

Peniruan tingkah laku


Klien mengalami sesuatu yang bermakna tentang dirinya melalui observasi
terhadap anggota yang lain termasuk konselor. Mengidentifikasi sejumlah
tingkah laku baik pada konselor maupun anggota lainnya untuk dicontoh.
Mendapatkan model tingkah laku yang positif dari anggota kelompok dan
konselor yang dapat diperjuangkan.

Belajar menjalin hubungan interpersonal


Klien mencoba sesuatu yang baru yaitu cara memulai berperilaku secara
positif dalam berhubungan dengan anggota kelompok, yang dilakukan de-
ngan beberapa hal, diantaranya: mengekspresikan dirinya kepada anggota
yang lain untuk menjelaskan hubungan dirinya dengan mereka, atau mem-
buat eksplisit usaha-usaha dalam menjalin hubungan dengan anggota yang
lainnya. Klien mencoba sesuatu yang baru, yaitu cara merespon anggota
yang lainnya, yaitu dengan jalan meningkatkan sensitivitas atau dengan
penerimaan kritik secara tepat.

Kohesivitas kelompok
Klien merasa memiliki dan diterima oleh anggota kelompok, secara terus
menerus menjalin kontak dengan anggota kelompok, merasa tidak nyaman
jika sendirian.

Katarsis
Klien melepaskan perasaanya yang positif maupun yang negatif kepada
anggota yang lain, yang menyangkut perasaan masa lalunya atau saat ini,
mengekspresikan perasaan seperti marah, cintanya, dan kesedihannya, yang
mungkin sebelumnya kesulitan atau tidak memungkinkan diungkapkan.

23
Tinjauan Pustaka

Faktor-faktor eksistensial

Klien menyadari tentang eksistensi hidup, ada hidup sekaligus kematian,


ada dan perlu tanggung jawab, mengurusi hal-hal yang sepele tetapi ber-
makna bagi kehidupannya, dan kesemuanya itu didiskusikan dengan anggo-
ta kelompok yang lain.

2.2.7 Peran Konselor, Pendamping Konselor, dan Klien


Dalam proses konseling kelompok ada beberapa pihak yang terlibat, yaitu
konselor, pendamping konselor dan klien. Mereka memiliki peran tertentu
dalam proses konseling kelompok. Berikut akan dijelaskan secara singkat
peran konselor, pendamping konselor, dan klien.

Konselor

Konselor dalam konseling kelompok berperan sebagai pemimpin kelompok.


Tugas konselor dalam pemimpin kelompok adalah melakukan pemeliharaan,
pemrosesan, pengubahan, dan arahan [13].
Peran pemeliharaan (providing), berarti konselor berperan sebagai pe-
melihara hubungan dan iklim, yang dilakukan sesuai dengan keterampilan-
nya dalam memberikan: dorongan, semangat, perlindungan, kehangatan,
penerimaan, ketulusan, dan perhatian.
Peran pemrosesan (processing) adalah peran konselor sebagai pihak
yang memberikan penjelasan makna proses, yang dilakukan sesuai dengan
keterampilannya dalam memberikan : eksplanasi, klarifikasi, interpretasi,
dan memberikan kerangka kerja untuk perubahan atau mewujudkan pera-
saan dan pengalamannya ke dalam gagasannya.
Peran penyaluran (catalizing) adalah peran konselor sebagai pihak men-
dorong interaksi dan mengekspresikan emosi melalui keterampilannya da-
lam: menggali perasaan, menantang, mengkonfrontasi, menggunakan pro-
gram kegiatan seperti pengalaman terstruktur, dan pemberian model.
Peran pengarahan (directing) adalah peran konselor dalam hal menga-
rahkan proses konseling dengan keterampilannya: membatasi topik, peran,
norma dan tujuan, pengaturan waktu, langkah, menghentikan proses, me-
nengahi, dan menegaskan prosedur.

Pendamping Konselor

Pendamping konselor atau co-therapist adalah orang yang membantu kon-


selor menjalankan perannya sebagai pimpinan kelompok. Konseling kelom-

24
Tinjauan Pustaka

pok dalam situasi tertentu membutuhkan pendamping konselor ini, yang


menurut Vannicelli [79] berperan dalam hal-hal berikut.

1. Membantu konselor untuk mengamati dan mencatat dinamika yang


terjadi di kelompok, sehingga lebih dimengerti keadaan kelompok dan
anggota-anggotanya.
2. Sebagai model interaksi yang sehat, termasuk model dalam membe-
rikan tanggapan, kritik, atau pengungkapan diri secara tepat.
3. Membantu memperjelas pertanyaan yang dikemukakan oleh konselor.
4. Sebagai model bagi klien, terutama dalam hal penolakan atau keti-
daksetujuannya terhadap perilaku destruktif.

Pendamping konselor ini jika ada harus berperan secara tepat. Kesalah-
an peran dapat menghambat proses konseling. Pendamping konselor harus
dapat bekerjasama dengan konselor untuk kepentingan klien.

Klien
Klien adalah anggota kelompok. Anggota kelompok pada dasarnya seba-
gai agen penolong bagi anggota yang lain [68]. Peran anggota kelompok
menurut Prayitno adalah sebagai berikut [69].

1. Membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan


antar anggota kelompok.
2. Berusaha agar apa yang dilakukannya itu membantu ter-
capainya tujuan bersama.
3. Membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha me-
matuhinya.
4. Berusaha secara aktif ikut serta dalam seluruh kegiatan
kelompok.
5. Berkomunikasi secara terbuka.
6. Berusaha membantu anggota lain.
7. Memberi kesempatan kepada anggota lain untuk menja-
lankan perannya.
8. Menyadari pentingnya kegiatan kelompok.

Kelangsungan masing-masing pihak dapat menjalankan perannya de-


ngan baik, sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin kelompok dalam
mengelola kegiatan konseling.

25
Tinjauan Pustaka

Gambar 2.1. Alur pertumbuhan klien melalui proses konseling


Disadur dari: Pietrofesa, J. J., Leonard, G. E. dan Hoose, W.V. 1978. The Authen-
tic Counselor. 2th Edition. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Halaman 37.

2.3 Peran Konseling Kelompok dalam Perubahan


Tingkah laku Antisosial

2.3.1 Peran Konseling Kelompok dalam Perubahan Tingkah


Laku
Konseling kelompok pada prinsipnya bermaksud untuk melakukan perubah-
an terhadap tingkah laku klien, baik yang nampak seperti hubungan sosial,
aktivitas sekolah, maupun yang tidak nampak seperti sikap dan motiva-
si. Perubahan tingkah laku yang dimaksud sesuai dengan tujuan konseling
yang diharapkan [27]. Perubahan tingkah laku ini dapat terjadi, karena
klien dapat belajar tingkah laku baru dalam proses konseling itu. Artinya
sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam konseling kelompok, ya-
itu pemberian dorongan (supportive) dan pemahaman melalui reedukatif
(insight-reeducative), klien semakin memahami dirinya, lebih menerima di-
rinya, lebih terbuka terhadap diri dan lingkungannya, dan pada akhirnya
dia dapat membuat keputusan yang lebih realistis sesuai dengan keadaan
dirinya dan lingkungannya [66]. Secara lebih jelas proses perubahan ting-
kah laku melalui konseling digambarkan oleh Pietrofesa sebagaimana pada
Gambar 2.1.
Dalam konseling kelompok proses pembelajarannya tidak hanya ber-
langsung interaksi seorang klien dengan seorang konselor, tetapi antara

26
Tinjauan Pustaka

beberapa klien dengan (beberapa) konselor. Menurut Harris [37], konse-


ling kelompok dapat mengurangi pandangan klien tentang adanya dominasi
orang dewasa di kalangan remaja, karena mereka melakukan interaksi lebih
banyak dengan kelompok yang sebaya. Dibandingkan dengan konseling in-
dividual, konseling kelompok memiliki kekhususan, terutama permasalahan
yang dapat dibantu dipecahkan dengan konseling kelompok ini. Konse-
ling kelompok sangat berguna untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
berhubungan dengan hubungan interpersonal yang dihadapi klien. Namun
demikian, masalah personal pun dapat dilakukan, khususnya problem yang
membutuhkan tukar pengalaman di antara satu dengan yang lain [68].

2.3.2 Konseling Kelompok bagi Remaja yang Antisosial


Konseling khususnya di Indonesia lebih banyak diterapkan di sekolah. Per-
kembangan di bidang konseling menunjukkan bahwa konseling juga digu-
nakan membantu individu yang dibina di lembaga pemasyarakatan26 atau
remaja-remaja yang delinkuen [37].
Yang menjadi sangat spesifik dalam penelitian terhadap remaja yang
mengalami antisosial, secara umum tidak dilakukan atas dasar kemauannya
sendiri, tetapi atas rujukan dari orangtua, atau lembaga yang menangani
mereka [37]. Hal ini jelas berbeda dengan kebanyakan penyelenggaraan
konseling yang lebih banyak atas kemauan klien sendiri.
Penyelenggaraan konseling di Lembaga pemasyarakatan sejalan dengan
pandangan Evans26 bahwa di kalangan pelaku tindak kriminal juga memer-
lukan suatu konseling untuk memperbaiki tingkah lakunya. Karena gang-
guan tingkah laku yang dialami remaja dalam klasifikasi masalah terma-
suk relatif berat,[29] maka dalam penyelenggaraannya membutuhkan wak-
tu yang relatif lama. Konseling jangka pendek (short-term counseling),25
yang pelaksanaannya berkisar 8 - 20 pertemuan, dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah seperti gangguan tingkah laku ini.

2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kon-


seling
Konseling kelompok sebagai suatu bentuk intervensi, keberhasilannya dipe-
ngaruhi banyak faktor. Faktor-faktor yang dipandang mempengaruhi hasil
konseling biasanya dijadikan sebagai pertimbangan dalam memberikan psi-
koterapi dan konseling [8,34,79].
Terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil kon-
seling. Pertama, faktor-faktor yang dihubungkan dengan kesakitan, ganggu-
an atau masalah, diantaranya: jenis gangguan atau masalah, berat ringanya

27
Tinjauan Pustaka

gangguan atau masalah, dan terapi sebelumnya. Kedua, faktor-faktor yang


dihubungkan dengan karakteristik klien, diantaranya usia, jenis kelamin,
pendidikan, inteligensi, status sosial ekonomi, dan faktor budaya. Keti-
ga, faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian klien, diantaranya:
motivasi, harapan terhadap proses konseling, kekuatan egonya. Keempat,
faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan terakhir, diantaranya:
hubungan keluarga, hubungan sosial, dan kehidupan sosialnya.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan


Jenis kesakitan, gangguan, atau masalah. Jenis kesakitan, ganggu-
an, atau masalah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap hasil
konseling. Dalam konseling kelompok kesamaan kesakitan, gangguan atau
masalah yang dihadapi klien berpengaruh terhadap proses dan hasil konse-
ling.

Berat ringan suatu kesakitan, gangguan atau masalah. Masalah


yang berat membutuhkan waktu konseling yang lebih banyak dibandingkan
dengan masalah yang ringan. Suatu strategi konseling hanya cocok untuk
tingkatan gangguan tertentu. Demikian juga kompleksitas masalah yang
dihadapi klien juga akan mempengaruhi hasilnya. Sebagian dari klien me-
miliki satu macam gangguan dan yang lainnya kemungkinan memiliki lebih
dari satu macam gangguan.

Terapi sebelumnya. Klien yang sudah mendapatkan terapi (konseling)


mempengaruhi keberhasilan konseling berikutnya. Jika klien sudah men-
dapatkan terapi kemungkinan permasalahannya menjadi lebih ringan. Per-
sepsi negatif terhadap terapi sebelumnya dapat menimbulkan sikap negatif
terhadap penyelenggaraan konseling berikutnya.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik subjek


Usia dapat mempengaruhi hasil konseling. Klien yang berusia dewasa di-
mungkinkan lebih sulit dilakukan modifikasi persepsi dan tingkah lakunya
dibandingkan dengan klien yang berusia belasan tahun, karena berhubung-
an dengan fleksibelitas kepribadiannya. Artinya remaja lebih fleksibel da-
lam mengubah sikap dan tingkah lakunya dibandingkan dengan orang yang
sudah dewasa.

Jenis kelamin, terutama berkaitan dengan perilaku model, bahwa indi-


vidu melakukan modeling sesuai dengan jenis seksnya. Dalam proses konse-

28
Tinjauan Pustaka

ling, faktor modeling ini sangat penting dalam upaya pembentukan tingkah
laku baru.

Pendidikan seseorang mempengaruhi cara pandangnya terhadap diri dan


lingkungannya. Karena itu akan berbeda sikap klien yang berpendidikan
tinggi dibandingkan yang berpendidikan rendah dalam menyikapi proses
dan berinteraksi selama konseling berlangsung.

Inteligensi pada prinsipnya mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri


dan cara-cara pengambilan keputusan. Klien yang berinteligensi tinggi akan
banyak berpartisipasi dan proses konseling, lebih cepat dan tepat dalam
pembuatan keputusan.

Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Indivi-


du yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya baik dimung-
kinkan lebih memiliki sikap positif memandang diri dan masa depannya
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga dengan status so-
sial ekonomi rendah.

Sosial budaya termasuk di dalamnya pandangan keagamaan, kelompok


etnis dapat mempengaruhi proses konseling, khususnya dalam penyerapan
nilai-nilai sosial keagamaan untuk memperkuat superegonya. Ketidakcocok-
an sosial budaya dapat berakibat resistensi pada seseorang dan menghambat
proses dan hasil konseling.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepribadian klien

Motivasi klien datang atau berpartisipasi dalam konseling sangat ber-


pengaruh terhadap hasil konseling. Klien yang datang karena hasil rujukan
akan berbeda hasilnya dibandingkan dengan yang datang atas kehendaknya
sendiri.

Harapan terhadap proses konseling sangat mempengaruhi hasil kon-


seling. Klien yang berpartisipasi dan memiliki harapan bahwa konseling
yang diiikuti dapat menyelesaikan masalahnya akan lebih berhasil diban-
dingkan dengan klien yang tidak memiliki harapan terhadap proses konse-
ling.

29
Tinjauan Pustaka

Kekuatan ego, menyangkut cara penanganan terhadap masalah, kece-


masan menghadapi risiko, kemampuan mengatasi masalah merupakan fak-
tor kepribadian yang mendukung keberhasilan konseling. Karena konseling
tidak dapat memaksakan suatu keputusan, maka kemampuan klien (ego
strength) sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konseling.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kehidupan terakhir


Hubungan keluarga sebagai salah satu dunia kehidupan individu pada
dasarnya juga mempengaruhi keberhasilan konseling. Klien yang hidup
dengan keluarga yang utuh akan berbeda sikapnya dengan klien yang hidup
dalam keluarga yang tidak stabil.

Kehidupan sosial, termasuk hubungan sosial menyangkut interaksi de-


ngan sebayanya, luas tidaknya kelompok sebayanya, siapa saja yang menjadi
sumber pergaulan individu juga mempengaruhi konseling. Klien yang hidup
di lingkungan sosial yang memberikan dorongan akan berbeda dengan klien
yang hidup di lingkungan sosial yang tidak memberikan dorongan (social
support). Hasil konseling banyak dibantu oleh interaksi sosial klien di luar
proses konseling.

2.4 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa gangguan
tingkah laku merupakan salah satu bentuk dari deviasi dari tingkah laku
yang normal. Gangguan tingkah laku ini akan mempengaruhi seseorang,
yaitu secara persisten seseorang akan melakukan tingkah laku yang antiso-
sial, yaitu tingkah laku yang melanggar norma sosial.
Gangguan tingkah laku pada prinsipnya dapat diubah, lebih-lebih indi-
vidu masih berada pada taraf perkembangan. Tentunya perubahan tingkah
laku antisosial selain membutuhkan waktu juga pendekatan yang sangat
kompleks. Langkah yang dapat diambil untuk melakukan perbaikan ter-
hadap individu yang mengalami gangguan tingkah laku adalah melakukan
perubahan atau perbaikan tingkah lakunya, baik yang nampak maupun
yang tidak.
Konseling kelompok merupakan salah satu bentuk intervensi yang secara
langsung menangani individu yang antisosial. Dengan berbagai keunggul-
an yang dimiliki, konseling kelompok diharapkan dapat membantu dalam
perubahan tingkah laku antisosial itu.

30
3 | Kerangka Konseptual
dan Hipotesis Penelitian

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian


Sebagian dari anak dan remaja mengalami gangguan tingkah laku. Pre-
valensi gangguan ini di masyarakat umum berkisar 2 - 16 persen, namun
dalam populasi khusus, yakni di kalangan remaja delinkuen, prevalensinya
mencapai 90% [24,36,57].
Ciri pokok perilaku anak dan remaja yang mengalami gangguan tingkah
laku adalah kecenderungan bertingkah laku antisosial [31], yaitu tindakan
pelanggaran terhadap norma sosial. Karena itu di antara mereka masuk
di pusat-pusat penahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk dibina agar
mereka dapat berbuat lebih baik sesuai dengan norma sosial dan mengura-
ngi perilaku patologisnya.
Peningkatan kesehatan mental remaja yang mengalami gangguan ting-
kah laku ini dapat dilakukan secara bertahap, yaitu dengan mengurangi
tingkah laku antisosialnya. Lapas Anak dengan segenap sistem pembina-
annya diharapkan dapat membantu mengurangi tingkah laku antisosial ini,
namun demikian intervensi kesehatan mental masyarakat khususnya konse-
ling kelompok dimungkinkan dapat mempercepat proses penurunan tingkah
laku antisosial mereka, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Keberhasilan penurunan tingkah laku antisosial itu selain faktor inte-
rvensi konseling kelompok sebagai variabel independen, juga ada sejumlah
variabel lain yang dimungkinkan turut mempengaruhi sehingga perlu di-
kendalikan dan dianalisis.
Variabel kondisi psikiatris, jenis kelamin, agama, suku bangsa, kesehat-
an organik pada otak, status sosial orangtua, dan lingkungan sosial remaja
yaitu keterbatasan lingkungan pergaulan dan disiplin yang diperolehnya se-
bagai variabel kontrol dan dalam penelitian ini sudah dihomogenkan. Varia-
bel perancu (confounding), yang dalam penelitian turut dianalisis, meliputi

31
Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian

Gambar 3.1. Kerangka konseptual penelitian

pembinaan di Lapas (status anak didik, masa pembinaan, dan waktu telah
memperoleh pembinaan), inteligensi, pendidikan, status hubungan dengan
orangtua. Selain itu juga terdapat variabel lain yang mungkin mempenga-
ruhi penurunan tingkah antisosial di antaranya kompleksitas masalah yang
dihadapi individu serta kepribadian dan kondisi pskologis, karena faktor
kemampuan dan waktu yang tersedia, maka variabel ini tidak diteliti. Ke-
rangka konseptual ini dapat digambarkan sebagaimana Gambar 3.1.

3.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Terdapat perberbedaan tingkah laku antisosial remaja yang dibina di


Lapas Anak sebelum dan sesudah mengikuti konseling kelompok.

2. Terdapat pengaruh konseling kelompok pada perubahan tingkah laku


antisosial remaja yang dibina Lapas Anak.

32
4 | Metode Penelitian

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental sesungguhnya (true-


experimental) jenis pretest-posttest control group design [49,84]. Rancang-
an penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat suatu variabel yang di-
manipulasi, dengan mengendalikan secara langsung variabel-variabel yang
tidak relevan. Sesuai dengan rancangan penelitian yang digunakan maka
terdapat empat unsur yang dipenuhi untuk program penelitian ini, yaitu:
(1) intervensi, (2) randomisasi, (3) adanya kelompok kontrol untuk meng-
endalikan variabel-variabel di luar intervensi, dan (4) dilakukan pretest dan
posttest untuk mengetahui akibat suatu intervensi [49].

Rancangan penelitian ini menggunakan rencangan pretest-posttest versi


RO (random - observation) sebagaimana yang dikemukakan Campbell dan
Stanley [49] yang diillustrasikan sebagaimana Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Kerangka konseptual penelitian


Rancangan Penelitian Keterangan O : observasi X : intervensi

33
Metode Penelitian

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Lapas Anak Blitar, pada 18 Agustus - 5
Nopember 1998.

4.3 Populasi dan Sampel

Unit Observasi
Unit observasi dalam penelitian ini adalah individu.

Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang dibina Lapas Anak di
Blitar dengan ciri-ciri sebagai:

1. Usia remaja adalah dalam rentangan 15 - 17 tahun;

2. Jenis kelamin laki-laki;

3. Tingkat pendidikannya adalah minimal SD kelas III;

4. Sehat secara organik pada otak;

5. Tidak retardasi mental;

6. Remaja tersebut mengalami gangguan tingkah laku;

7. Remaja berasal dari keluarga yang berstatus sosial rendah;

8. Beragama Islam;

9. Suku bangsa Jawa; dan

10. Berada pada lingkungan sosial yang terbatas (close community) de-
ngan aturan (disiplin) yang ketat.

Berdasarkan ciri-ciri tersebut diperoleh sebanyak 39 remaja, dan mereka


ditetapkan sebagai populasi.

34
Metode Penelitian

Sampel

Jumlah sampel ada dua, yaitu sampel kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol. Besar anggota sampel pada kedua kelompok adalah sama dan
ditetapkan berdasarkan rumus sampling menurut Higgins dan Kleinbaum
[39]:

Keterangan n = besar sampel setiap kelompok


f = proporsi kegagalan
xt = nilai rata-rata kelompok perlakuan
xc = nilai rata-rata kelompok kontrol
Sc = standar deviasi kelompok kontrol
Berdasarkan penelitian pendahuluan (preexperimental study) diperoleh
nilai rata-rata perubahan tingkah laku antisosial pada kelompok perlaku-
an (xt) sebesar 3,4; nilai rata-rata perubahan tingkah laku antisosial pada
kelompok kontrol (xc) sebesar 1,4; simpangan baku tingkah laku antisosial
pada kelompok kontrol (Sc) sebesar 1,14. Pada penelitian ini ditetapkan ni-
lai f sebesar 0,10; Z alpha pada 0,05 sebesar 1,96 ; Z btha pada 0,10 sebesar
1,28. Hasil perhitungan berdasarkan rumus sampling yang digunakan dipe-
roleh n = 7,58 maka besar sampel pada setiap kelompok minimal 8 orang.
Dengan memperhatikan derajat kebebasan60 dan besar sampel suatu pe-
nelitian eksperimental [80], penelitian ini ditetapkan besar sampel setiap
kelompok adalah 14 orang. Dengan demikian, besar sampel pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol adalah 28 orang.

Teknik dan Prosedur Pengambilan Sampel

Sampel dipilih secara acak sederhana (simple random) [84], dan teknik yang
digunakan adalah undian. Prosedur pengambilan sampelnya adalah (1)
penyusunan daftar unit sampling; (2) pemilihan sampel secara random, dan
(3) Dari besar sampel yang ada dibagi menjadi dua kelompok yaitu untuk
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dengan jumlah anggota sama
banyak. Penentuan anggota kelompok dilakukan secara random.

35
Metode Penelitian

4.4 Variabel Penelitian


Klasifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Variabel bebas: konseling kelompok

2. Variabel terikat: perubahan tingkah laku antisosial

3. Variabel kontrol: kondisi psikiatris, jenis kelamin, kesehatan organik


pada otak, status sosial, suku bangsa, agama, dan lingkungan sosial.

4. Variabel perancu: usia, inteligensi, pendidikan, hubungan dengan ora-


ngtua, status pembinaan, masa pembinaan, dan waktu telah dibina.

Definisi Operasional
Konseling kelompok
Konseling kelompok merupakan hubungan terapiutik antara konselor dan
beberapa klien untuk membantu memecahkan masalah yang dialami klien
yang dilakukan dengan proses kelompok [18,69]. Konseling kelompok ter-
diri dari seorang konselor dan beberapa klien. Konselor berperan sebagai
pemimpin kelompok dan klien berperan sebagai anggota kelompok. Jumlah
anggota kelompok adalah 7 orang.
Konselor bersama klien membicarakan dan secara bersama bersama-
sama memecahkan berbagai masalah yang dialami anggota, sehingga klien-
klien itu belajar mengubah pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya sendiri
menjadi lebih baik tentang dirinya dan dalam hubungannya dengan orang
lain.
Permasalahan yang dipecahkan berfokus pada tingkah laku antisosial
yang dialami oleh klien sebelum dan selama menjadi anak didik pemasya-
rakatan, dan/atau masalah yang sedang dialami dan menghambat perkem-
bangan tingkah laku sosialnya.
Dalam penelitian ini konseling kelompok dilakukan 12 kali pertemuan
dengan frekwensi dua kali seminggu dan durasinya 90 menit setiap per-
tamuan. Jadi kelompok kelola memperoleh pemaparan kegiatan konseling
kelompok selama 12 kali 90 menit, atau 18 jam.

Gangguan tingkah laku


Gangguan tingkah laku merupakan pola tingkah laku assosial, agresif, atau
menentang yang berulang-ulang dan menetap yang merupakan pelanggaran

36
Metode Penelitian

berat terhadap norma sosial yang terdapat pada anak pada usianya [1,22].
Penetapan gangguan tingkah laku remaja ini diukur dengan pedoman wa-
wancara berdasarkan kriteria DSM IV [1].

Tingkah laku antisosial

Tingkah laku antisosial dimaksudkan sebagai bentuk tingkah laku yang me-
musuhi, melawan atau tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial, yang ter-
maifes dalam tindakan atau bersifat laten [21,28]. Tingkah laku antisosial
dalam penelitian ini berupa pikiran, perasaan, dan tindakan antisosial yang
mencakup (1) agresif, (2) impulsif, (3) tidak bertanggung jawab (irrespon-
sibility), (4) tidak berperasaan (affectionless) dan empati, (5) persistensi,
dan (6) ketidakmampuan dalam penyesuaian diri. Tingkah laku antisosial
merupakan skor yang diperoleh dari pengukuran dengan tes proyektif (tes
wartegg dan grafis) dan angket skala penilaian. Skala data tingkah laku
antisosial adalah data interval.

Perubahan tingkah laku antisosial

Perubahan tingkah laku antisosial merupakan perbedaan intensitas tingkah


laku antisosial pada subjek yang sama pada waktu sebelum dan sesudah
perlakuan, dengan menggunakan alat ukur yang sama. Intensitas tingkah
laku antisosial dikatakan berubah jika ada perbedaan skor-skor hasil pe-
ngukuran tingkah laku antisosial.

Status sosial

Status sosial merupakan kedudukan sosial orangtua atau pengasuhnya dili-


hat dari tingkat pendidikan dan pekerjaannya. Dalam penelitian ini subjek
yang dipilih sebagai sampel adalah remaja dari keluarga berstatus sosial
rendah, yaitu yang orangtua/pengasuhnya berpendidikan SD dan pekerja-
annya adalah pekerjaan kasar atau semi terampil.

Hubungan dengan orangtua

Hubungan dengan orangtua merupakan hubungan remaja dengan orangtu-


anya (ayah dan ibunya) dalam setahun terakhir sebelum dia berstatus seba-
gai anak didik pemasyarakatan. Hubungan ini meliputi : bertempat tinggal
bersama kedua orangtuanya, berpisah dengan salah satu orangtuanya, atau
berpisah dengan orangtuanya.

37
Metode Penelitian

Inteligensi

Inteligensi merupakan skor kecerdasan (intelligence quotient) remaja hasil


pengukuran dengan Standard Progressive Matrices (SPM)

Kesehatan

Kesehatan yang dimaksud dalam penelitian ini tidak adanya gangguan atau
riwayat gangguan organik pada otak, yang ditandai subjek tidak pernah
atau sedang menderita : epilepsi, hydrocephalus, trauma otak, radang otak,
atau tumor otak;

Pendidikan

Pendidikan maksudnya lama sekolah atau jenjang kelas yang pernah dicapai
di sekolahnya.

Lingkungan sosial

Lingkungan sosial merupakan lingkungan kehidupan dan pergaulan subjek


sehari-hari yaitu di Lapas Anak beserta aturan-aturan atau tata tertib yang
berlaku di lingkungan tersebut.

Status pembinaan

Status pembinaan merupakan kelompok anak didik pemasyarakatan yang


mencerminkan sebab mereka menjadi anak didik pemasyarakatan. Status
ini meliputi : anak negara, anak sipil, dan anak pidana.

Masa pembinaan

Masa pembinaan merupakan tenggang waktu yang harus dialami atau dija-
lankan sebagai anak didik pemasyarakatan berdasarkan keputusan penga-
dilan atau sampai usia 18 tahun.

Waktu telah dibina

Waktu telah dibina merupakan tenggang waktu yang telah dijalankan se-
bagai anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak.
Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini didiskripsikan indi-
kator dan alat ukurnya dapat dilihat di Lampiran 1.

38
Metode Penelitian

4.5 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.

Daftar isian

Daftar isian berguna untuk mengumpulkan data awal, yang meliputi nama,
usia, pendidikan, agama, suku bangsa, alamat keluarga, status pembinaan,
masa pembinaan, dan waktu telah dibina di Lapas Anak. Intrumen ini
digunakan untuk menjaring data yang bersifat dokumenter (data sekunder)

Angket

Angket digunakan untuk melengkapi data remaja/subjek yang diperoleh


dari data dokementer, khususnya tentang : tanggal lahir, tingkat pendidikan
dan kelas yang dicapai (lama sekolah), hubungan dengan orangtua, dan
identitas orangtua/pengasuhnya (pekerjaan dan pendidikan)

Tes Inteligensi

Tes inteligensi yang digunakan adalah Standard Progressive Metrices (SPM)


yang mengukur tingkat IQ subjek.

Pedoman wawancara gangguan tingkah laku

Pedoman wawancara gangguan tingkah laku yaitu alat penilaian yang meng-
ukur gangguan tingkah laku pada anak dan remaja. Dalam penelitian ini
pedoman wawancara ini disusun oleh psikiater berdasarkan kriteria gang-
guan tingkah laku menurut DSM IV [1]. Pedoman ini digunakan sebagai
alat bantu dalam pemeriksaan psikiatris untuk menentukan subjek yang
mengalami atau tidak mengalami gangguan tingkah laku.

Tes Wartegg dan grafis

Tes Wartegg dan grafis yaitu tes proyektif untuk mengukur kepribadian dan
tingkah laku yang terkandung di bawah sadar (unconscious) [50]. Dalam
penelitian ini tes Wartegg dan grafis digunakan untuk mengukur tingkah
laku antisosial remaja.

39
Metode Penelitian

Angket Skala Penilaian

Angket skala penilaian digunakan untuk mengukur tingkah laku antisosial


sebagaimana yang disadari oleh subjek. Angket skala penilaian ini disusun
oleh peneliti dan dilakukan uji coba terlebih dahulu untuk menentukan
validitasnya.
Skala penilaian ini terdiri dari 30 butir, yang meliputi 6 aspek tingkah
laku antisosial yaitu : agresivitas, impulsivitas, responsibilitas, rasa bera-
feksi dan berempati, persistensi, dan penyesuaian diri. Setiap aspek tingkah
laku antisosial itu terdiri dari 5 butir.
Pernyataan skala penilaian bersifat force choice [23,32],yaitu pilihan de-
ngan dua kemungkinan jawaban : “ya” atau “tidak”. Angket Skala peni-
laian ini terdapat dua macam pernyataan, yaitu pernyataan yang bersifat
“favorable” dan “unfavorable” [3]. Pernyataan favorable adalah pernya-
taan bersikap positif terhadap objek, artinya jika pernyataan itu dijawab
“ya” menunjukkan gejala tingkah laku antisosial, sedangkan jika dijawab
“tidak” menunjukkan gejala tidak bertingkah laku antisosial. Pernyataan
unfavorable merupakan pernyataan yang negatif terhadap objek, artinya ji-
ka pernyataan itu dijawab “ya” menunjukkan gejala tidak bertingkah laku
antisosial, sedangkan jika dijawab “tidak” menunjukkan gejala tingkah laku
antisosial.
Setiap aspek tingkah laku antisosial pada angket ini terdiri dari 5 butir,
yang meliputi pernyataan favorable dan pernyataan unfavorable. Secara
keseluruhan terdapat 20 pernyataan favorable dan 10 pernyataan unfavo-
rable. Butir-butir dalam skala penilaian yang favorable dan unfavorable
ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Daftar butir-butir skala penilaian yang favorable dan unfavorable

No Aspek tingkah laku Nomor butir yang Nomor butir yang


Antisosial Favorable Unfavorable

1 Agresivitas 2, 5, 6 1, 14
2 Impulsivitas 10, 11, 12, 16 15
3 Responsibilitas 13, 17, 28, 29 30
4 Afeksi dan empati 18, 19, 22 7, 23
5 Persistensi 8, 9, 24 25, 26
6 Penyesuaian diri 20, 21, 27 3, 4

40
Metode Penelitian

4.6 Organisasi Penyelenggaraan Penelitian


Dalam kegiatan penelitian ini terdapat sejumlah pihak yang dilibatkan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam persiapan dan operasional penelitian di
lapangan adalah sebagai berikut.

1. Penanggung jawab: Latipun

2. Pembantu Penelitian:

(a) Petugas koordinasi subjek penelitian di lapangan : Sulastri, SH


(koordinator) dan staf Seksi Bimbingan Narapidana dan Anak
Didik Lapas Anak Blitar
(b) Pemeriksa kesehatan : dokter Puskesmas Sananwetan Blitar, ya-
itu : dr. Husein (koordinator), dr. Tripomo Widyanto, dan dr.
Sunarto.
(c) Pemeriksa gangguan tingkah laku : Psikiater RSU Saiful Anwar
Malang yaitu dr. Dasril Chotib, DSJ.
(d) Pemeriksaan bidang psikologis dan angket : Dini Permanasari,
S.Psi. dan Endah Kurniawati, S. Psi. (sebagai tester/pengetes),
dan Dra. Tri Dayakisni, M Si, dan Dra. Sulistyaningsih (sebagai
rater/penilai)

3. Partisipan / subjek penelitian : anak didik pemasyarakatan Lapas


Anak Blitar.

4.7 Prosedur Penelitian

Studi Pra Eksperimental


Pengambilan data awal

Pengambilan data awal bertujuan : melakukan identifikasi terhadap anak


binaan Lapas Anak berdasarkan data dokumenter (data sekunder) yang ada
di tempat penelitian. Data yang dikumpulkan pada pengambilan data awal
ini adalah identitas umum subjek yang meliputi : nama, jenis kelamin, usia,
alamat, agama, suku bangsa, status dan masa pembinaan di Lapas Anak,
tingkat pendidikan, tes IQ (tahap pertama). Pengambilan data awal ini
dilaksanakan pada 13 - 20 Mei 1998.

41
Metode Penelitian

Studi pendahuluan
Studi pendahuluan untuk tiga keperluan, yaitu uji coba konseling kelompok,
seleksi populasi, dan ujicoba angket skala penilaian.

Uji coba konseling kelompok. Uji coba konseling kelompok dilakukan


berdasarkan pedoman konseling kelompok yang telah disusun oleh peneliti.
Uji coba ini bermaksud untuk mengetahui sesuai tidaknya pedoman itu
diterapkan. Berdasarkan uji coba dilakukan perbaikan seperlunya. Uji
coba konseling kelompok ini diberikan kepada 5 remaja binaan di Lapas
Anak Blitar, yang diberikan tiga kali seminggu, selama 10 kali pertemuan.
Waktu pelaksanaan uji coba konseling kelompok pada 20 Mei s.d. 18 Juni
1998. Uji coba konseling kelompok ini menggunakan rencangan penelitian
pretest - posttest control group design. Hasil uji coba ini menjadi dasar
dalam penentuan besar sampel penelitian.

Seleksi populasi penelitian. Tidak setiap remaja binaan Lapas Anak


Blitar secara otomatis menjadi populasi penelitian. Sesuai dengan karakte-
ristik populasi penelitian yang telah ditetapkan, maka subjek yang dapat
menjadi populasi atau berpartisipasi dalam kegiatan penelitian diseleksi,
yang dilaksanakan pada 18 Agustus - 8 September 1998.
Kegiatan yang dilakukan selama dengan kegiatan : (1) Identifikasi ulang
remaja binaan di Lapas Anak; (2) Pemeriksaan inteligensi (khususnya yang
belum memperoleh tes inteligensi) oleh psikolog; (3) Pemeriksaan kesehat-
an oleh dokter; dan (4) pemeriksaan psikiatris oleh psikiater Berdasarkan
hasil pengukuran ini, ditetapkan jumlah populasi dan daftar unit sampling
sejalan dengan kriteria populasi yang direncanakan (sebagaimana nomor
4.3)

Uji coba angket skala penilaian. Angket skala penilaian yang disusun
untuk mengukur tingkah laku antisosial dilakukan uji coba untuk mene-
tapkan validitas dan reliabilitasnya [3]. Angket tersebut diuji coba dengan
teknik tes ulang (test-retest) kepada sepuluh remaja binaan Lapas Anak
Blitar pada 18 dan 25 Agustus 1998. Tes pertama dan kedua berselang
satu minggu pada subjek yang sama.
Tes pertama dilakukan untuk mempelajari (1) apakah butir-butir yang
disajikan pada angket itu sudah dipahami oleh responden, dan (2) apakah
butir-butir angket itu telah valid atau tidak. Butir yang pernyataannya sulit
dipahami, atau kurang jelas, atau tidak valid berdasarkan analisis statistik
maka dilakukan perbaikan.

42
Metode Penelitian

Analisis butir menggunakan uji product moment dengan taraf signifi-


kansi 0,05. Suatu butir angket dinyatakan valid jika koefisien korelasinya
0,30 [3]. Hasil uji coba pertama terdapat 26 butir yang valid dan 4 butir
tidak valid. Setelah dilakukan perbaikan dan diuji coba kembali 4 butir
yang diperbaiki menjadi valid.
Selanjutnya untuk menentukan reliabilitasnya, hasil uji coba angket per-
tama dikorelasikan dengan hasil uji coba kedua. Dengan analisis product
moment diperoleh koefisien korelasinya sebesar 0,88 yang berarti angket
ini reliabel. Skor validitas item angket ini dikemukakan pada lampiran 17,
sedangkan hasil uji reliabilitas pada lampiran 18.

Studi Eksperimental

Randomisasi

Berdasarkan hasil studi pendahuluan ini ditentukan besar populasi dan sam-
pel. Langkah berikutnya adalah penentuan sampel penelitian, prosedur
sampling yang digunakan adalah teknik simple random sampling, dengan
cara undian. Sesuai dengan jumlah sampel sebanyak 2 sampel, yaitu ke-
lompok perlakuan dan kelompok kontrol, yang masing-masing sebesar 14
orang.
Randomisasi dilakukan dengan cara : (1) pemilihan sampel sebesar 28
orang yang diundi dari populasi, (2) Dari 28 orang itu dibagi menjadi dua
kelompok sama besar dengan cara diundi lagi, yang masing-masing kelom-
pok sebanyak 14 orang, yaitu untuk kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol.

Pengukuran I (pretest)

Variabel yang diukur pada pengukuran pertama adalah tingkah laku anti-
sosial. Pengukuran dilakukan kepada subjek pada kelompok perlakuan dan
sampel. Pengukuran I dilakukan dengan tes proyektif (Wartegg dan gra-
fis) dan angket skala penilaian. Pengukuran dilakukan pada 14 September
1998, seminggu sebelum konseling kelompok berikan. Petugas pengukur-
an (tester) dan pemberi skor atau penilai (rater) dilakukan oleh petugas
tersendiri yang tidak mengetahui subjek yang tergolong sebagai kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol, atau menggunakan teknik buta ganda (do-
uble blind). Prosedur pemberian skor hasil tes tingkah laku antisosial ini
dijelaskan tersendiri pada nomor 4.8.

43
Metode Penelitian

Pemaparan
Pemaparan dilakukan dalam bentuk konseling kelompok. Pelaksanaannya
dilakukan sebagaimana berikut ini.

Pedoman Konseling kelompok. Untuk keperluan penelitian ini disu-


sun pedoman konseling kelompok yang didasarkan pada tahapan konseling
kelompok menurut Corey18, Faktor-faktor kuratif dalam psikoterapi kelom-
pok menurut Yalom [,] dan format dinamika kelompok menurut Ettin [25].
Pedoman konseling ini dikonsultasikan kepada pihak yang dipandang ah-
li dalam bidang konseling, yaitu Prof. Dr. R. Moeljono Notosoedirdjo,
dr., DSJ., MPH. Sebelum diterapkan dalam penelitian yang sesungguhnya,
pedoman dilakukan uji coba pada lima remaja di Lapas Anak.

Tujuan Konseling kelompok. Tujuan umum konseling kelompok untuk


mengurangi, atau menghilangkan tingkah laku antisosial remaja sekaligus
meningkatkan perilaku prososial bagi remaja / kelompok sasaran. Tujuan
khususnya, setelah mengikuti konseling kelompok diharapkan : Terdapat
penurunan intensitas tingkah aku antisosial remaja rata-rata sebesar 6 po-
in, atau menurun 10% dari rata-rata tingkah laku antisosial hasil pretest.
Sebanyak 50% subjek dari setiap tingkatan antisosial menurun derajat an-
tisosialnya minimal satu tingkat (misalnya : dari antisosial sangat tinggi
menjadi antisosial tinggi).

Waktu. Konseling kelompok ini dilakukan 12 pertemuan, dua kali perte-


muan dalam setiap minggu, dan setiap pertemuan dilaksanakan selama 90
menit. Pemaparan konseling kelompok dilaksanakan mulai 21 September
s.d. 29 Oktober 1998.

Jumlah Kelompok. Jumlah anggota kelompok untuk konseling ini ada-


lah 5 - 10 anak.

Konselor. Konseling kelompok dipimpin oleh konselor. Konselor adalah


seseorang yang secara khusus dididik dibidang konseling. Dalam penelitian
ini yang berperan sebagai konselor adalah peneliti sendiri.

Tempat kegiatan. Kegiatan konseling kelompok dilakukan dalam ruang


aman dari gangguan orang lain dan klien merasa aman untuk mengung-
kapkan persoalan pribadinya, yaitu di ruang Kesatuan Pengamanan Lapas
(KPLP).

44
Metode Penelitian

Gambar 4.2. Posisi kegiatan konseling kelompok

Posisi kegiatan. Dalam proses konseling, bentuk kegiatan dilakukan da-


lam posisi duduk melingkar. Konselor dan klien berada dalam posisi lingkar-
an, duduk berhadapan dan tidak ada benda yang menghalangi. Diameter
lingkaran sekitar 2 meter. Posisi duduk sebagaimana Gambar 4.2.

Tahapan Konseling Kelompok. Konseling kelompok dilakukan seba-


nyak 12 kali sessi/pertemuan dengan tahapan-tahapan : (a) Persiapan : 1
sessi (10%); (b) Orientasi : 1 sessi (10%); (c) Transisi : 1 sessi (10%); (d)
Produksi : 8 sessi (60%), dan (e) Terminasi : 1 sessi (10%). Kegiatan setiap
sessi disusun pedoman sebagai acuan kegiatan sebagaimana Lampiran 2.

Pola kegiatan setiap pertemuan Setiap pertemuan membutuhkan


waktu 90 menit, dengan pola kegiatan sebagai berikut.

1. Pembukaan (5 menit). Kegiatan pada tahap ini berupa : pengenalan


tentang konseling kelompok (khusus untuk sessi pertama); pemberi-
an informasi-informasi sehubungan dengan hasil kegiatan sebelumnya;
dan penjelasan tentang rencana konseling kelompok yang akan dilak-
sanakan.

2. Kegiatan kelompok (75 menit). Pada tahap ini kegiatan konseling


berupa : klien mengungkapkan pengalaman, pikiran dan perasaan-
nya, masalah, atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dirinya dan
menjadi perhatian dalam konseling; dan dipimpin konselor, kelompok
membantu klien dengan cara memberikan umpan balik, pertanyaan,
sanggahan, dan informasi yang diperlukan klien.

3. Umpan balik terhadap proses kelompok (5-7 menit). Pada tahap ini :
anggota kelompok merangkum hasil-hasil kelompok, memberikan kes-

45
Metode Penelitian

an, komentar terhadap proses konseling kelompok; dan mengevaluasi


terhadap proses dan hasil kelompok.

4. Penutup (3-5 menit). Pada tahap ini kegiatannya adalah pembuat-


an kesimpulan oleh konselor; pemberian informasi rencana konseling
kelompok sessi berikutnya; dan perpisahan / terminasi kegiatan kon-
seling (untuk sessi ke 12).

Pengukuran II (posttest)
Pengukuran kedua yaitu pengukuran tingkah laku antisosial subjek yang
diteliti setelah pemaparan konseling kelompok dilakukan kepada subjek de-
ngan alat ukur dan penilai yang sama dengan pengukuran I. Pengukuran
II ini dilakukan satu minggu setelah pemaparan konseling kelompok bera-
khir, yaitu pada 5 Nopember 1998. Prosedur pengukuran dan pemberian
skor tingkah laku antisosial pada posttest ini sama dengan prosedur pada
pretest.

4.8 Pengukuran Tingkah Laku Antisosial


Aspek yang Diukur
Variabel dependen yang menjadi perhatian dalam penelitian adalah tingkah
laku antisosial. Aspek yang diukur pada perilaku antisosial mencakup 6 as-
pek, yaitu : agresivitas, impulsivitas, responsibilitas, afeksi dan berempati,
persistensi, dan penyesuaian diri.

Cara Pemberian Skor


Karena alat ukur tingkah laku antisosial ini ada dua macam, maka terdapat
dua cara pemberian skor terhadap variabel ini.

Pemberian skor dengan tes wartegg dan grafis


Tes wartegg dan grafis ini pada prinsipnya bermaksud mengukur tingkah la-
ku antisosial yang meliputi keenam aspek. Setiap aspek memiliki rentangan
skor 1 - 5. Skor terendah adalah 1 dan skor tertinggi adalah 5, dengan pen-
jelasan bahwa skor: 1 menunjukkan sangat rendah; 2 menunjukkan rendah;
3 menunjukkan cukup; 4 menunjukkan tinggi; dab 5 menunjukkan sangat
tinggi.
Karena tingkah laku antisosial itu terdapat enam aspek, maka skor to-
tal dengan pengukuran tes wartegg dan grafis ini terendah adalah 6 dan

46
Metode Penelitian

Gambar 4.3. Prosedur penelitian

tertinggi adalah 30. Jadi 30 menunjukkan bertingkah laku antisosial sangat


tinggi, dan 6 menunjukkan bertingkah laku antisosial sangat rendah.

Pemberian skor pada skala penilaian


Skala penilaian tingkah laku antisosial terdiri dari 30 butir, yang mencakup
keenam aspek tingkah laku antisosial. Setiap aspek terdiri dari 5 butir de-
ngan kemungkinan jawaban “ya” dan “tidak”. Jawaban “ya” terhadap ter-
hadap pernyataan yang favorable diberi skor 1 dan jawaban “tidak” mem-
peroleh skor 0. Sebaliknya Jawaban “ya” terhadap terhadap pernyataan
yang unfavorible diberi skor 0 dan jawaban “tidak” memperoleh skor 1.

47
Metode Penelitian

Karena terdapat 30 butir pernyataan, skor tertinggi sebagai indikator


tingkah laku antisosial memperoleh skor 30 dan terendah adalah 0. Jadi
berdasarkan penyekoran skala penilaian ini 30 menunjukkan tingkah laku
antisosial yang sangat tinggi, dan 0 menunjukkan tingkah laku antisosial
sangat rendah.

Penggabungan skor
Penetapan skor akhir tingkah laku antisosial menggunakan teknik summa-
tion,80 yang menggabungkan hasil pengukuran dengan tes proyektif dan
skala penilaian. Atas penggabungan skor ini maka rentangan skor tingkah
laku antisosial antara 6 - 60. Skor 6 menunjukkan bertingkah laku antiso-
sial sangat rendah, dan 60 menunjukkan bertingkah laku antisosial sangat
tinggi. Tabel 4.2 menjelaskan skor penggabunagnnya.

Tabel 4.2. Penggabungan skor tingkah laku antisosial dari tes projektif dan angket
skala penilaian

Jenis alat pengumpulan data Interval skor


Tes Wartegg dan grafis 6-30
Skala penilaian 0-30
Penggabungan 6-60

Berdasarkan rentangan skor tingkah laku antisosial ini dapat disusun


tingkatan (derajat) tingkah laku antisosial dalam empat kelompok, yaitu
tingkah laku antisosial yang sangat rendah, rendah, tinggi, dan sangat tinggi
dengan rentangan skor sebagaimana Tabel 4.3

Tabel 4.3. Tingkah laku antisosial berdasarkan rentangan skor hasil pengukuran

No Rentangan skor Tingkatan antisosial


1 6-19 antisosial sangat rendah
2 20 - 33 antisosial rendah
3 34 - 47 antisosial tinggi
4 48 - 60 antisosial sangat tinggi

Pemberi Skor
Penetapan skor tingkah laku antisosial pada pengukuran pertama (pretest)
dan pengukuran kedua (posttest) dilakukan oleh psikolog. Untuk menjaga

48
Metode Penelitian

objektivitas, penetapan skor-skor tersebut, baik pada kelompok perlaku-


an maupun kelompok kontrol, dilakukan dengan teknik buta (blind), yaitu
pemberi skor tidak mengetahui subjek yang memperoleh pemaparan konse-
ling kelompok dan yang tidak memperoleh pemaparan konseling kelompok.

4.9 Analisis Data


Jenis analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut.

1. Persentase, digunakan untuk mengukur frekwensi data diskriptif.

2. Mean, digunakan untuk mengetahui nilai rata-rata skor.

3. Simpangan baku, digunakan untuk mengukur penyebaran skor.

4. Uji t sampel berpasangan digunakan untuk menguji nilai rata-rata


tingkah laku antisosial sebelum dan sesudah perlakuan pada setiap
kelompok.

5. Uji Kovarian digunakan untuk menguji hipotesis tentang pengaruh


konseling kelompok pada perilaku antisosial dengan memperhitungk-
an variabel perancu.

6. Derajat kemaknaan (level of significance) ditentukan sebesar 0,05.

49
5 | Hasil Penelitian dan
Analisis Hasil Penelitian

5.1 Gambaran Umum


Lapas Anak Blitar merupakan satu di antara 17 Lapas anak di Indonesia.
Terdapat tiga kelompok anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak Blitar
ini, yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil.77 Anak pidana meru-
pakan anak berdasarkan keputusan pengadilan menjalani pidana di Lapas
Anak. Anak negara merupakan anak yang berdasarkan keputusan penga-
dilan diserahkan kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas
Anak. Anak sipil merupakan anak yang atas permintaan orangtua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak.
Anak didik pemasyarakatan ini berlaku paling lama hingga anak usia 18
tahun.
Lapas Anak Blitar memiliki 55 kamar yang daya tampungnya sekitar 220
anak. Selama Mei-Nopember 1998, anak didik pemasyarakatan di Lapas
Anak Blitar ini berkisar 70-80 anak.
Tenaga kepegawaiannya keseluruhannya adalah 70 orang, dan yang ber-
tugas di seksi Bimbingan Napi/Anak Didik sebanyak 15 orang. Tingkat
pendidikan petugas seksi bimbingan ini : lulusan perguruan tinggi (sarja-
na) 3 orang, dan selebihnya lulusan sekolah menengah tingkat atas sebanyak
12 orang.
Di bidang pembinaan, di Lapas ada SD Pamong dan SMP terbuka, yang
diikuti oleh sebagian di antara anak didik yang bersedia sekolah. Murid SD
Pamongnya : 10 anak dan SMP : 4 anak. Pembinaan keterampilan yang
diberikan meliputi pertukangan, keset, dan pertanian. Selain itu juga ada
pembinaan kerohanian dan budipekerti, kesenian, olah raga, dan rekrasi.
Anak didik pemasyarakatan memiliki tingkat pendidikan yang sangat
bervariasi, yaitu anak yang belum sekolah hingga pernah sekolah di SMTA.
Sebagian besar di antara mereka berpendidikan SD, kemudian SMP, dan

50
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

hanya sedikit sekali yang berpendidikan SMTA.


Asal mereka sebagian besar dari berbagai wilayah di Jawa Timur, dan
sebagian kecil dari luar Jawa Timur yaitu Kalimantan Selatan dan Timor-
timur. Suku bangsa anak didik sebagian besar adalah Jawa, disusul Madura,
Banjar, Ambon, Batak, Menado, dan Timtim. Sebagian besar anak didik
yang sukubangsanya bukan Jawa itu bersama keluarganya telah menetap
di Jawa Timur.
Sebab utama mereka menjadi anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak
Blitar adalah keterlibatan mereka dalam : tindak perampokan, pencurian,
pemerkosaan, pemerasan, perkelahian, dan pembunuhan. Sebagian besar
anak didik pemasyarakatan adalah laki-laki, dan sebagian kecil adalah per-
empuan. Selama kegiatan penelitian terdapat empat anak perempuan (5%)
dari keseluruhan anak didik Lapas.

5.2 Populasi dan Sampel Penelitian


Anak didik pemasyarakatan yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana pada Tabel 5.1. Ber-
dasarkan ciri-ciri populasi tersebut terdapat 39 remaja yang memenuhi sya-
rat sebagai populasi penelitian.
Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 28 remaja yang dipilih se-
cara radom. Besar sampel itu dibagi menjadi dua kelompok yang sama
besar, yaitu 14 remaja sebagai kelompok perlakuan dan 14 remaja sebagai
kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memperoleh pemaparan berupa
konseling kelompok, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan per-
lakuan (no-treatment).

5.3 Karakteristik Sampel Penelitian


Besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 28 remaja, yang dibagi menjadi
dua kelompok yang sama besar, yaitu 14 remaja sebagai kelompok perla-
kuan dan 14 remaja sebagai kelompok kontrol. Karakteristik-karakteristik
sampel akan dijelaskan selengkapnya pada bagian berikut.

Usia
Sampel sejumlah 28 orang yang berusia 15 hingga 17 tahun, dan rata-rata 16
tahun. Separo di antara mereka (50%) berusia 17 tahun, 10 remaja (35,7%)
berusia 16 tahun, dan selebihnya yaitu 4 remaja (14,3) yang berusia 15
tahun.

51
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.1. Karakteristik populasi penelitian

No Karakteristik Keterangan
1 Usia 15 - 17 tahun
2 Jenis kelamin Laki-laki
3 Agama Islam
4 Suku bangsa Jawa
5 Pendidikan Minimal kelas III SD
6 Kesehatan otak Sehat
7 Inteligensi Tidak retardasi mental
8 Status sosial keluarga Rendah
9 Kondisi psikiatris Gangguan tingkah laku
10 Status pembinaan Anak : pidana, negara, dan sipil
11 Hubungan sosial Lingkungan sosial yang terbatas dan
dalam pengawasan yang ketat

Usia subjek pada kelompok perlakuan dan kontrol memiliki distribusi


yang sama, masing-masing 2 anak (14,3%) berusia 15 tahun, 5 anak (35,7%)
berusia 16 tahun, dan sebagian besar berusia 17 tahun yaitu 7 anak (50,0%).
Distribusi usia responden ditunjukkan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Usia responden pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

Usia Kelompok Kelompok Total sampel


perlakuan kontrol
15 tahun 2 (14,3%) 2 (14,3%) 4 (14,3%)
16 tahun 5 (35,7%) 5 (35,7%) 10 (35,7%)
17 tahun 7 (50,0%) 7 (50,0%) 14 (50,0%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Tingkat Pendidikan dan Lama Sekolah


Sesuai dengan kriteria populasi penelitian, subjek yang menjadi sampel ber-
pendidikan minimal kelas III SD. Berdasarkan pendataan diperoleh data
bahwa pendidikan mereka tertinggi adalah SMA kelas II. Ditinjau dari segi
tingkat pendidikannya ini, sampel penelitian ini sebagian besar berpendi-
dikan SD yaitu kelas III hingga lulus SD, sejumlah 17 anak (60,7%). Se-
dangkan subjek berpendidikan SMP kelas I hingga lulus SMP sebanyak 10
anak (35,7%) dan hanya seorang anak (3,6%) berpendidikan SMA.

52
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Pada kelompok perlakuan, subjek berpendidikan kelas III hingga lulus


SD adalah terbesar yaitu 9 remaja (64,3%), berpendidikan kelas I hingga
lulus SMP sejumlah 4 anak (28,6%) dan berpendidikan kelas I hingga lu-
lus SMA sejumlah seorang anak (7,1 persen). Sedangkan pada kelompok
kontrol diketahui bahwa terdapat 8 anak (57,1%) berpendidikan SD ke-
las III hingga lulus SD, berpendidikan kelas I hingga lulus SMP sebesar 6
anak (42,4%), dan tidak ada subjek yang berpendidikan SMA. Perbanding-
an proporsi tingkat pendidikan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
ditunjukkan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Perbandingan proporsi tingkat pendidikan kelompok perlakuan dan


kelompok kontrol

Tingkat Pen- Kelompok Kelompok Total sampel


didikan perlakuan kontrol
SD 9 (64,3%) 8 (57,1%) 17 (60,7%)
SMP 4 (28,6%) 6 (42,9%) 10 (35,7%)
SMA 1 ( 7,1%) 0 1 ( 3,6%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Inteligensi
Inteligensi anak diukur dengan Standard Progressive Metrics (SPM). Ber-
dasarkan teks SPM itu diketahui tingkatan IQ anak, bahwa dari 28 sub-
jek yang menjadi sampel penelitian terdapat 5 anak (17,9%) berinteligensi
rata-rata (grade III) dan sebegian besar dari mereka berinteligensi bawah
rata-rata (grade IV) yaitu sejumlah 23 anak (82,1%).
Berdasarkan pengelompokan sampel diketahui bahwa pada kelompok
perlakuan terdapat 2 anak (14,3%) berinteligensi rata-rata, dan sejumlah
12 anak (85,7%) berinteligensi bawah rata-rata. Sedangkan pada kelompok
kontrol diperoleh data terdapat 3 anak (21,4%) berinteligensi rata-rata, dan
11 anak (78,6%) berinteligensi bawah tara-rata. Perbandingan proporsi in-
teligensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ditunjukkan pada
TTabel 5.4.

Hubungan dengan orangtua


Anak yang dibina di Lapas Anak Blitar memiliki hubungan dengan keluarga
asalnya secara beragam. Ada tiga pola hubungan dengan keluarga asal
khususnya hubungan dengan orangtua selama satu tahun terakhir sebelum

53
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.4. Tingkat inteligensi responden pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol

Tingkat Kelompok Kelompok Total


Inteligensi perlakuan kontrol sampel
Rata-rata 2 (14,3%) 3 (21,4%) 5 (17,9%)
Bawah rata-rata 12 (85,7%) 11 (78,6%) 13 (82,1%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

mereka berurusan dengan polisi atau masuk Lapas Anak, yaitu anak yang
bertempat tinggal bersama kedua orangtuanya, anak yang pisah dengan
salah satu orangtuanya, dan berpisah dengan kedua orangtuanya. Dari segi
pola hubungan dengan orangtua ini, sebagian besar di antara mereka, yaitu
17 anak (60,7%) bertempat tinggal bersama kedua orangtuanya, 8 anak
(28,6%) berpisah dengan kedua orangtuanya, dan 3 anak (10,7%) yang pisah
dengan salah satu orangtuanya.
Pada kelompok perlakuan distribusi pola hubungan dengan keluarganya
diperoleh data terdapat 8 anak (57,1%) dari 14 anak yang hidup bersama
kedua orangtuanya, seorang anak (7,1%) pisah dengan salah satu orangtu-
anya, dan 5 anak (35,7%) yang berpisah dengan kedua orangtuanya.
Pada kelompok kontrol dalam hal pola hubungan dengan keluarganya
ini terdapat 9 anak (64,3%) hidup bersama kedua orangtuanya, 2 anak
(14,3%) yang pisah dengan salah satu orangtuanya, dan 3 anak (28,6%)
berpisah dengan kedua orangtuanya.
Tabel 5.5 menunjukkan perbandingan hubungan anak dengan orangtua-
nya sebelum mereka bertempat tinggal di Lapas Anak Blitar pada kelompok
kelola dan kelompok kontrol.

Tabel 5.5. Hubungan responden dengan orangtua sebelum berstatus sebagai anak
binaan Lapas Anak Blitar

Hubungan dg Kelompok Kelompok Total


orang tua perlakuan kontrol sampel
Bersama ke-2 ortu 8 (57,1%) 9 (64,3%) 17 (60,7%)
Berpisah 1 ortu 1 ( 7,1%) 2 (14,3%) 3 (10,7%)
Berpisah ke-2 ortu 5 (35,7%) 3 (21,4%) 8 (28,6%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

54
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Status pembinaan di Lapas Anak


Anak didik pemasyarakatan terdiri dari tiga kelompok, yaitu anak negara,
anak sipil, dan anak pidana. Subjek yang menjadi sampel penelitian seba-
nyak 5 anak (17,9%) adalah anak negara, seorang anak (3,6%) adalah anak
sipil, dan yang terbanyak adalah anak pidana sebesar 22 anak (78,6%).
Pada kelompok perlakuan terdapat 3 anak (7,1%) sebagai anak nega-
ra, seorang anak (7,1%) sebagai anak sipil, dan 10 anak (71,4%) sebagai
anak pidana. Sedangkan pada kelompok kontrol terdiri dari anak negara
dan anak pidana yang masing-masing berjumlah 2 anak (14,3%) bagi anak
negara dan 12 anak (85,7%) bagi anak pidana. Tabel 5.6 menunjukkan per-
bandingan proporsi kelompok perlakuan dan kontrol ditinjau dari status
pembinaan anak di Lapas Anak Blitar.

Tabel 5.6. Status pembinaan anak pada kelompok perlakuan dan kelompok kon-
troln

Status Kelompok Kelompok Total


Pembinaan perlakuan kontrol sampel
Anak negara 3 (21,4%) 2 (14,3%) 5 (17,9%)
Anak sipil 1 ( 7,1%) 0 1 ( 3,6%)
Anak pidana 10 (71,4%) 12 (85,7%) 22 (78,6%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Waktu telah memperoleh pembinaan di Lapas Anak


Responden menetap dan telah memperoleh pembinaan di Lapas Anak Bli-
tar dalam waktu yang beragam, yaitu dalam rentangan waktu 1 - 4 ta-
hun. Di antara subjek yang menjadi sampel ini sebagian besar yaitu 20
anak (71,4%) telah memperoleh pembinaan setahun, 5 anak (17,9%) telah
memperoleh pembinaan selama 2 tahun, seorang anak (3,6%) telah dibi-
na semala 3 tahun, dan 2 anak (7,1%) telah dibina selama 4 tahun. Pada
kelompok perlakuan terdapat 11 anak (78,6%) yang telah memperoleh pem-
binaan selama 1 tahun, 2 anak (14,3%) memperoleh pembinaan selama 2
tahun, dan 1 anak (7,1%) memperoleh pembinaan selama 3 tahun. Pada
kelompok kontrol terdapat 9 anak (64,3%) telah memperoleh pembinaan
selama 1 tahun, 3 anak (21,4%) memperoleh pembinaan 2 tahun, dan 2
anak (14,3%) memperoleh pembinaan 4 tahun. Perbandingan masa telah
memperoleh pembinaan di Lapas Anak Blitar ini pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol ditunjukkan pada Tabel 5.7.

55
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.7. Status pembinaan anak pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

Masa telah Kelompok Kelompok Total


dibina di Lapas perlakuan kontrol sampel
1 tahun 11 (78,6%) 9 (64,3%) 20 (71,4%)
2 tahun 2 (14,3%) 3 (21,4%) 5 (17,9%)
3 tahun 1 ( 7,1%) 0 1 ( 3,6%)
4 tahun 0 2 (14,3%) 2 ( 7,1%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Masa pembinaan di Lapas


Anak didik pemasyarakatan memperoleh masa pembinaan untuk waktu ter-
tentu. Anak negara sesuai dengan keputusan pengadilan dibina dan ditem-
patkan di Lapas Anak hingga usia 18 tahun, anak sipil dapat dibina Lapas
Anak dalam waktu yang sesuai dengan permintaan orangtua dan paling
lama hingga usia 18 tahun, sedangkan anak pidana masa pembinaannya
sesuai dengan keputusan pengadilan. Subjek yang menjadi sampel dalam
penelitian ini, masa pembinaannya pada rentangan 1 - 11 tahun.
Atas dasar masa pembinaan di Lapas ini, dari 28 remaja yang menjadi
sampel dalam penelitian ini terdapat 19 anak (67,8%) yang masa pembi-
naannya 1-2 tahun, 4 anak (14,3%) masa pembinaannya 3-4 tahun, dan 5
anak (17,9%) masa pembinaannya di atas 5 tahun.
Pada kelompok perlakuan terdapat 10 anak (71,4%) yang masa pembi-
naannya 1-2 tahun, 3 anak (21,4%) dalam masa pembinaan 3-4 tahun, dan
1 anak (7,1%) dalam masa pembinaan lebih dari 5 tahun. Sedangkan pada
kelompok kontrol terdapat 9 anak (64,3%) berada dalam masa pembinaan
kurang 1-2 atahun, 1 anak (7,1%) dalam masa pembinaan 3-4 tahun, dan
4 anak (28,6%) pada masa pembinaan lebih dari 5 tahun. Diskripsi masa
pembinaan responden di Lapas Anak Blitar ini ditunjukkan pada Tabel 5.8

5.4 Pemaparan Konseling Kelompok


Penyelenggaraan Konseling Kelompok
Dalam hal ini yang berperan sebagai konselor adalah peneliti sendiri. Se-
mentara pendamping konselor (co-therapis) yang semula direncanakan ti-
dak ada dalam penelitian ini. Alasannya adalah beberapa konselor sekolah
dan sarjana psikologi, yang secara akademik memiliki dasar-dasar konseling,
tidak bersedia berpartisipasi dalam kegiatan penelitian ini karena alasan ti-

56
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.8. Masa pembinaan responden di Lapas Anak Blitar pada Kelompok per-
lakuan dan kelompok kontrol

Masa Pembinaan Kelompok Kelompok Total


di Lapas Anak perlakuan kontrol sampel
1-2 tahun 10 (71,4%) 9 (64,3%) 19 (67,8%)
3-4 tahun 3 (21,4%) 1 ( 7,1%) 4 (14,3%)
> 5 tahun 1 ( 7,1%) 4 (28,6%) 5 (17,9%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

dak dapat meninggalkan tugas dinasnya pada jam-jam kerja atau tidak da-
pat mengikuti program secara rutin sebagaimana yang direncanakan dalam
penelitian ini. Karena itu, kegiatan konseling kelompok dipimpin konselor
tanpa ada pendamping terapisnya.
Konseling kelompok beranggota beberapa klien yang dipilih melalui ran-
domisasi sesuai dengan keperluan penelitian. Jumlah sampel yang mempe-
roleh perlakuan, dalam hal ini adalah klien berjumlah 14 anak. Untuk
menanganinya, klien-klien itu dibagi menjadi dua kelompok, yang masing-
masing 7 anak. Jadi terdapat dua kelompok konseling (kelompok A dan
kelompok B) yang semuanya mendapatkan pemaparan dalam frekwensi dan
durasi yang sama, yaitu 12 kali sessi, setiap sessi 90 menit, dua kali seming-
gu. Penentuan anggota kelompok diundi oleh peneliti sebelumnya.
Karena keterbatasan waktu yang diijinkan untuk kegiatan penelitian di
Lapas Anak Blitar ini, yaitu selama 2 bulan (dan boleh menambah waktu
penelitian yang tidak terlalu lama) maka konseling kelompok diselenggarak-
an bergiliran, setelah kelompok A dilanjutkan kelompok B, dengan jadwal
pada sebagaimana Tabel 5.9.

Tabel 5.9. Jadwal kegiatan konseling kelompok

Jam
Hari 09.00-10.30 11.30-13.00
Senin Kelompok A Kelompok B
Kamis Kelompok A Kelompok B

Penyelenggaraan konseling kelompok ini tidak sesuai dengan rencana


semula yang akan dilaksanakan sebanyak 1 kali dalam seminggu. Namun
demikian perubahan teknik pelaksanaan konseling kelompok ini masih sejal-
an dengan penyelenggaraan konseling kelompok sebagaimana dikemukakan

57
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

oleh Yalom [83] dan Olhsen [65].


Konseling kelompok dilaksanakan di Ruang Kesatuan Pengamanan La-
pas (KPLP), karena dipandang cukup aman dari segi kemungkinan adanya
“gangguan” dari anak didik pemasyarakatan lain, selain di ruang tersebut
sudah tersedia kursi yang diperlukan bagi kegiatan konseling. Raung al-
ternatif juga disediakan, yaitu di ruang kelas SMP Terbuka. Konseling
diselenggarakan di SMP ini jika ruang KPLP digunakan untuk kegiatan
Lapas. Selama penelitian, dua kali kegiatan konseling diselenggarakan di
ruang kelas.
Pada awal sessi pertama, kegiatan konseling lebih bersifat pemberian in-
formasi kepada klien tentang program yang akan diberikan, sekaligus untuk
meminta kesediaan anak yang terpilih melalui random itu bersedia mengi-
kuti kegiatan konseling kelompok sesuai dengan yang direncanakan.
Kagiatan konseling kelompok selanjutnya selalu diawali dengan reca-
lling (mengingat kembali) hasil-hasil konseling periode sebelumnya sekaligus
pemberian informasi tantang apa yang akan dilakukan selama sessi konse-
ling, serta menggali kejadian-kejadian khusus yang dialami individu sela-
ma selang pelaksanaan konseling. Selanjutnya, membahas permasalahan-
permasalahan yang dijumpai pada anggota kelompok. Pada akhir konseling
selalu disimpulkan hasil-hasil yang dicapai.
Pada sessi terakhir, yaitu sessi ke 12, kegiatan konseling selain mengi-
ngatkan kembali hasil-hasil yang dicapai selama proses konseling, kegiatan
diakhiri dengan perpisahan dengan klien.
Selama proses konseling terdapat anggota kelompok yang tidak bisa ber-
sikap tenang, yaitu memperhatikan anggota kelompok lainnya menyampaik-
an permasalahannya atau pandangannya. Dia melakukan aktivitasnya sen-
diri untuk beberapa waktu, seperti jalan-jalan di ruangan konseling (men-
dekati gambar di tembok), dan membuat cincin uang logam. Tentunya
mempengaruhi kohesivitas kelompok. Namun demikian, sampai berakhir-
nya kegiatan konseling kelompok tidak ada klien yang mengundurkan diri
(drop-out).

Proses Konseling Kelompok


Proses konseling kelompok dilaksanakan mengikuti pedoman konseling ke-
lompok yang direncanakan. Berikut merupakan diskripsi tentang proses
konseling kelompok dengan menampilkan kasus seorang klien, yaitu “Sam”,
sebagai pusat perhatiannya. Namun demikian, dalam proses konseling yang
sesungguhnya jauh lebih kompleks, karena konselor memperhatikan dan me-
respon secara verbal dan non verbal terhadap pernyataan dan gerak klien /
anggota kelompok. Selain itu, setiap anggota kelompok memiliki masalah,

58
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

pandangan, keterlibatan dalam proses kelompok, serta memperoleh umpan


balik dari anggota kelompok secara berbeda. Diskripsi kasus ini merupakan
cuplikan dari proses konseling kelompok sebagai satu contoh dari dinamika
kelompok yang terjadi dalam penanganan sebuah kasus klien.

Pertemuan ke-1: Persiapan


Konselor mengumpulkan (mengundang) calon klien sebanyak 7 anak, dan
dipersilankan duduk di kursi yang posisinya melingkar dengan diameter
sekitar 2,5 meter.
Konselor mengenalkan diri kepada calon anggota, yaitu nama, asal tem-
pat tinggal, serta pekerjaan. Mereka ini sebenarnya sudah tahu dengan
“konselor” sebagai peneliti, dan beberapa kali telah melakukan kontak de-
ngan para calon klien ini, tetapi mereka belum mengenal identitas tersebut.
Perkenalan identitas ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan dengan
anggota.
Sesudah konselor mengenalan diri, berikutnya calon anggota diminta
juga memperkenalkan diri: nama dan alamat (asal) keluarga sekalipun di
antara mereka sudah saling kenal, hal ini untuk melatih menyatakan diri di
hadapan kelompok. Ketujuh calon klien yang mengikuti kegiatan konseling
ini adalah : Eyu, Sam, Khomu, Amu, Waru, Sela, dan Kodi dengan alamat
yang dikemukakan secara langsung secara bergantian.
Selanjutnya, konselor menjelaskan maksud diundangnya mereka ber-
tujuh, yaitu dikenalkannya kegiatan konseling kelompok, yang selama ini
menurut pengakuan mereka belum dikenalnya. Agar mereka memahami
kegiatan ini, konselor perlu menjelaskan kepada mereka.
Sekitar 30 menit konselor menjelaskan konseling kelompok beserta se-
genap kegunaannya bagi mereka sendiri. Setelah perkenalan program kon-
seling ini dikemukakan kepada klien, konselor menyampaikan pihak-pihak
yang terlibat dalam konseling kelompok beserta tugas-tugasnya, yaitu kon-
selor, dan anggota.
Konselor selanjutnya menawarkan program konseling ini kepada calon
klien, untuk dapat berpartisipasi. Sejalan dengan prinsip dalam konseling,
aspek kesukarelaan adalah sangat pokok, maka penawaran ini memberikan
keleluasaan kepada calon untuk menerima atau menolak penawaran. “Apa-
kah Anda bersedia dan siap mengikuti konseling kelompok?” Atas pena-
waran konselor ini mereka menyatakan sanggup mengikuti konseling. Sejak
mereka menyatakan kesediannya megikuti konseling kelompok, maka status
mereka secara otomatis menjadi klien atau anggota kelompok.
Konseling kelompok dapat dibantu pendamping konselor. Karena sulit-
nya mencari pendamping dari konselor sekolah atau psikolog, konselor men-

59
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

coba menawarkan kepada anggota kemungkinan salah seorang pembina di


Lapas sebagai pendamping, tidak ada di antara anggota ini yang menyetu-
jui. “Jangan mas”, kata mereka. Karena itu disepakati, proses konseling
tidak disertai oleh pendamping konselor.
Kesempatan bertanya atau pemberian umpan balik mulai diberikan ke-
pada klien pada sessi ini, sekalipun untuk pertemuan ini tidak ada ang-
gota yang bertanya. Untuk mengingatkan kembali, dibuatkan kesimpulan-
kesimpulan, yang untuk tahap ini dilakukan sendiri oleh konselor. Pertemu-
an pertama ini membutuhkan waktu 90 menit, dan selanjutnya disepakati
untuk pertemuan berikutnya yang diikuti oleh ketujuh anak itu.
Tiga menit terakhir dari sessi pertama ini, konselor memberikan do-
rongan kepada klien untuk dapat berpatisipasi lebih aktif pada pertemuan
berikutnya, dan dikemukakan rencana kegiatan pada pertemuan sessi ke-
dua.

Pertemuan ke-2: Orientasi

Konselor memulai proses konseling dengan mengemukakan secara singkat


hasil-hasil yang dicapai pada pertemuan pertama, dilanjutkan dengan tu-
juan pertemuan kedua ini.
Sebagai kelanjutan pertemuan pertama, dalam pertemuan ini diharapk-
an dapat meningkatkan saling pengertian dan hubungan antar anggota ke-
lompok. Pada pertemuan ini, konselor memberi kesempatan kepada klien
secara bergantian memperkenalkan lebih mendalam, yang meliputi : pendi-
dikan, hobbi, minat, kemampuan khusus yang dimiliki, serta usaha-usaha
menyalurkan bakatnya. Supaya lebih interaktif, dalam perkanalan dibe-
rikan kesempatan kepada anggota lain untuk bertanya hal-hal yang berhu-
bungan dengan identitas klien tersebut.
Yang memperoleh giliran pertama dalam perkenalan ini adalah Eyu,
kemudian Sam, Khomu, dan seterusnya, yang terakhir adalah Kodi. “Saya
kelas V SD berhenti sekolah,” kata Sam memulai pembicaraanya.
“Saya dari Malang. Kedua orangtua saya sudah meninggal. Lantas saya
ikut paman. Saya punya adik, dan saya ingin sekali membantu mereka,
menyekolahkan, yang sekarang ini sudah kelas III.”
Hobinya nonton sepak bola. Biasanya kalau ada Arema bertanding se-
lalu menonton bersama dengan teman-temannya. “Sejak masuk LP ini saya
tidak pernah lagi nonton sepak bola, kecuali lewat TV saja,” katanya.
“Dulunya kegiatan saya adalah tukang parkir di pecinan, depan toko
kaset. Hasilnya cukup untuk sekedar makan. Kadang-kadang saya bekerja
sebagai buruh bangunan, yang bekerja di sekitar Malang saja.”

60
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Anggota lain, Khoum namanya, yang menanyakan : apakah Anda per-


nah mengikuti kesebelasan atau tim sepak bola? “Tidak, saya hanya me-
nonton saja,” jawab Sam. Bagaimana hobbimu saat ini setelah masuk di
LP? “Ya, tidak pernah melihat sepak bola. Nanti saja kalau sudah bebas
dua bulan lagi, saya akan menonton lagi,” katanya.
Setelah Sam, dianggap cukup memperkenalkan diri, dilanjutkan dengan
anggota yang lain, dengan cara yang sama, dilanjutkan dengan tanya jawab
atas pimpinan konselor.
Setelah seluruh anggota berkesempatan pengenalan diri, kegiatan konse-
ling dilanjutkan dengan membangun harapan. Pada tahap ini, diharapkan
klien/anggota kelompok meningkatkan harapan untuk memperoleh keada-
an yang lebih baik, khususnya manfaat orang lain, khususnya anggota ke-
lompok dalam membantu dirinya. Untuk ini dilakukan tukar pengalaman
tentang : pengalaman dibantu oleh orang lain. Hal ini pun dilakukan secara
bergiliran.
Tentunya, Sam juga merasakan pernah dibantu oleh orang lain, misalnya
menurut pengakuannya untuk kirim surat saja, pernah diberi prangko dan
suratnya dikirimkan oleh temanya. “Jadi saya juga pernah dibantu oleh
teman”, kenangnya.
Dapatkah teman-temanmu dalam kelompok ini membantu Anda? kon-
selor melontarkan permasalahan. “Mungkin ada yang mereka berikan kepa-
da saya,” jawab Sam. Jawaban yang sama juga dikemukakan oleh anggota
kelompok lainnya. “Ya, nantinya kita dapat saling membantu satu sama
lainnya, apakah bantuan tenaga, atau pemikiran,” konselor memberikan
dorongan terhadap anggota akan manfaat yang dapat dipetik dari proses
kelompok.
Bagian akhir dari sessi kedua adalah : membuat aturan bersama. Untuk
ini, konselor menyampaikan beberapa pokok-pokok aturan dalam konseling
kelompok, yaitu hasil pembicaraan selama konseling bersifat rahasia, per-
lunya saling keterbukaan di antara anggota kelompok, dan saling percara.
Aturan yang didiskusikan adalah : waktu pelaksanaan konseling, disepaka-
ti bersama jam berapa, hari apa saja, berapa lama, siapa yang membantu
konselor untuk mengkoordinasi persiapan konseling. Hal ini dicapai saat
sessi kedua. Semua anggota kelompok menyetujui kalau konseling dise-
lenggarakan sesuai dengan rencana yang disiapkan, dan mereka membuat
kesepatakan dan komitmen untuk melaksanakan kesepakatan itu.
Sebelum pertemuan diakhiri, kali ini anggota kelomok diminta untuk
memberi komentar tentang apa yang dicapai dari proses ini. Adakah kema-
juan yang diperoleh melalui konseling? Salah seorang menyatakan menda-
patkan kemajuan, tidak ragu-ragu lagi bertanya, misalnya.

61
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Waktu konseling yang dianggap cukup, klien diminta menyimpulkan


hasil-hasil proses kelompok. Pada tahap ini masih sulit untuk mereka
membuat kesimpulan, karena itu konselor membantu menyimpulkan hasil-
hasilnya.

Pertemuan ke-3: Transisi


Pertemuan ini konselor mengawali pembicaraan dengan mengingatkan kem-
bali pokok-pokok hasil yang dicapai pada pertemuan kedua, dilanjutkan de-
ngan informasi tujuan pertemuan yang ketiga, yaitu : membuka diri dan
mengenal pengalaman-pengalaman masa lalunya, yang menyenangkan dan
yang menyedihkan.
Untuk memulai pembicaraan pengalaman masa lalu klien ini, diawali
dengan pembahasan tentang pengalaman yang menyenangkan bagi setiap
klien. Setelah secara bergiliran berkesepatan yang sama mengungkapkan
pengalaman ini, dilanjutkan kembali membahas pengalaman yang menye-
dihkan, di luar rumah maupun di lingkungan Lapas.
Sam memulai mengungkapkan pengalaman yang menyenangkan sesu-
ai dengan hobbinya. “Yang menyenangkan bagi saya adalah kalau sudah
di Lapangan sepak bola, karena hobbi saya nonton sepak bola”, katanya.
“Saya mau berjalan dari rumah ke stadion kalau saat itu Arema sedang
main.”
“Hobbi saya yang lain adalah main-main di Gajahmada Plaza. Di sana
duduk-duduk bersama teman, sekedar menghibur diri. Sekarang sidah tidak
ada lagi kesempatan saya. Gimana lagi, karena ada di LP ya harus di sini
saja.” Apakah tidak ada yang menangkan di LP ini menurut kamu? tanya
Khomu. “Tentu ada, di sini dapat kenalan baru,” jawab Sam.
“Dibandingkan dengan di LP Dewasa, menurut saya lebih enak di LP
Dewasa. Bawa uang berapa pun dibolehkan. Saya bisa merokok, bebas
menambah makanan asal mau beli. Hal ini berbeda dengan keadaan di LP
Anak ini.” Sam mengisahkan pengalamannya ketika masih ditempatkan di
LP Lowokwaru Malang.
“Di sini, sesuai dengan aturan yang ada, kita tidak boleh merokok. Ka-
lau mau merokok harus diam-diam, kalau petugas tidak ada. Kita sela-
lu diawasi. Yang paling tidak menyangkan saya, kalau mau shalat saja,
dioprak-oprak, dikelilingi oleh Bapak Pembina.”
Menurut Anda semestinya bagaimana? “Mestinya sesuai dengan kesa-
darannya saja. Kan enak,” Sam berargumentasi.
Baik, Bagaimana menurut yang lain, atas pandangan Sam ini? konselor
melemparkan permasalahan untuk diberikan umpan balik.
“Mestinya memang begitu, tidak perlu dipaksa. Toh kalau shalat, yang

62
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

bagian belakang hanya bergurau”, komentar Eyu. “Saya dulu rajin, ka-
rena dipaksa jadinya saya agak malas. Saya mau shalat kalau disuruh,”
tambahnya.
Kalau menurut Khomu bagaimana? “Bagi saya tidak apa-apa sedikit
dipaksa. Kalau tidak dipaksa, anak-anak tidak mau shalat. Memang atu-
rannya demikian, jadi harus diikuti,” kata Khomu.
Baik, apa yang dikemukakan oleh Sam, adalah pengalaman yang tidak
menyenangkan, tetapi apakah tidak mau shalat kalau hal itu tidak me-
nyenangkan, sedangkan Anda sendiri mengakui shalat adalah kewajiban?
Konselor menanyakan kepada Sam berhubungan dengan pengalamannya.
“Ya, saya berusaha,” kata Sam menjawabnya.
Sebagian ungkapan emosional yang dialami Sam itu. Anggota yang lain
juga memperoleh kesempatan yang sama untuk menyatakan pengalaman-
pengalamannya. Seluruh anggota mengungkapkan pengalamannya secara
terbuka dan memperoleh pertanyaan, komentar dan umpan balik dari ang-
gota lainnya.
Konseling kelompok disimpulkan secara bersama-sama konselor dan kli-
en. Akhirnya, konseling kelompok sessi ketiga diakhiri.

Pertemuan ke-4: Produktivitas


Pertamuan keempat ini juga diawali dengan mengingat kembali hasil peter-
muan ke tiga, dan informasi tujuan pertemuan keempat. Tujuan sessi ini
adalah sebab-sebab mereka masuk Lapas, berbagai tindakan pelanggaran
norma/hukum di masyarakat, dan mengenal akibat yang dialami karena
tindakan itu.
Sebelum konseling memfokuskan pada tujuan konseling itu, konselor me-
nanyakan kepada klien, apakah ada masalah-masalah yang dialami selama
3 - 4 hari terakhir dan hendak diselesaikan pada pertemuan itu. Pada per-
temuan keempat ini ada anggota, yaitu Sela, ingin memperoleh penjelasan
kembali maksud sebenarnya dari kegiatan konseling kelompok. Sekalipun
sudah mengikuti kegiatan initiga kali, belum juga memahami tujuannya.
Atas pertanyaan ini, konselor berusaha menjelaskan kembali maksud
dan manfaat yang dapat diambil dari proses konselin kelompok. Kemudian
konselor menanyakan “adakah manfaat yang dirasakan oleh Anda semua?”.
Mereka menjawab bahwa kegiatan konseling kelompok telah membuat me-
reka mejadi lebih baik, karena ternyata kontak lebih baik dengan teman-
temannya.
Setelah jawaban tadi tampak memuaskan semua anggota kelompok, kon-
seling dilanjutkan dengan menggali sebab-sebab mereka harus masuk di La-
pas Anak Blitar. Secara bergantian mereka mengungkapkannya di harapan

63
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

kelompok. Untuk kasus Sam dituturkan sebagai berikut.


“Saya berurusan ke Polisi, dan akhirnya masuk LP ini karena keteli-
batan perampasan. Ceritanya, saat menjelang lembaran, banyak anak yang
belanja di Plaza. Ada anak yang sebesar saya belanja, saya ikuti saja, lantas
saya bersama dengan teman mengikuti/membuntuti.”
Setelah itu Sam mendekati sasaran dan pura-pura menuduh padanya :
“kamu ya yang mengeroyok adik saya?” Sang korban tidak mau mengaku,
lantas Sam mengajaknya ke satu tempat untuk ‘membuktikan’ tuduhan
itu. “Dia mau mengikuti, dan setelah sampai di tempat yang sepi, yaitu di
gubug kosong, dekat rel kereta api, saya minta bajunya, hasil belanjanya
serta uangnya. Pakainnya harus dicopot, dan diganti dengan pakaian saya
yang sudah jelek itu.”
“Saya tidak mengerti kalau di baju saya ada KTP (Kartu Tanda Pen-
duduk). Akhirnya, dua hari setelah kejadian itu saya diambil oleh Polisi.
Saya tidak dapat mengelak. Sementara teman saya dapat lolos hingga saat
ini.”
“Saya melakukan hal seperti itu sudah empat kali. Sebelumnya tidak
pernah ketahuan. Yang terakhir ini saya ketahuan dan dipenjara saat ini.”
“Di sini sangat sedih. Selama ada di sini, saya belum pernah dijenguk
oleh keluarga saya. Kalau ada teman yang ‘dibesuk’, saya ingin sekali juga
dibesuk, tetapi tidak ada yang menjenguk saya di sini. Kalau ingat demi-
kian, saya rasanya sangat sedih.”
Adakah alasan sehingga Anda dulunya ikut merampas anak belanja?
konselor menggali lebih lanjut alasan tindakan perampasan itu. “Teman-
teman saya banyak. Saya ingin sekali punya uang, lantas ada yang meng-
ajak, melakukan perapasan, saya mau saja. Saya saat itu membutuhkan
uang untuk makan-makan. Di Gajahmada Plaza, banyak anak-anak teman
saya yang juga melakukan seperti itu. Jadi bagaimana kalau tidak ikut
juga?”
Bagaimana komentar Anda sekalian tentang yang diakukan Sam ini?
“Gimana ya?” Amu tampak keslitan menjawabnya. Apakah tepat, jika kita
diajak begitu, lantas mengikuti ajakan setiap teman, bagaimana komentar
Anda? “Tentu tidak harus mengikuti ajakan teman. Kalau ajakannya baik
dapat mengikuti tetapi kalau ajakaannya kurang baik, sebaiknya kita to-
lak saja,” kata Wari saat itu. Mengapa begitu ? “Soalnya, kalau selalu
mengikuti ajakan teman, kita dapat terjebak dan rugi sendiri.”
Menurut yang lain ? “Ya saya kira juga begitu. Jangan mengikuti
teman. Kalau bisa ya menjaga jarak. Tidak perlu bergaul dengan teman
yang suka mengajak mencuri. Bagi saya, jangan sampai mencuri, kalau
ingin punya uang minta saja. Buat apa mencuri,” tegas Amu, anak negara

64
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

yang masul LP karena pernah “berbuat cabul” kepada tetangganya.


“Saya sekarang sudah kapok. Nanti kalau sudah keluar dari LP ini akan
bekerja saja di Surabaya. Di sana saya sudah ada juragan, nanti saya cari.
Saya bekerja sebagai tukang bangunan saja,” kata Sam.
Setelah Sam mengungkapkan latar belakang beserta sebab-sebab mea-
kuan tindak pelanggaran hukum, konselor berusaha membantu menemukan
konsekwensi atau akibat-akibat yang ditimbulkan dari tindakannya : “Ya,
berdasarkan apa yang Anda kemukakan, dapat disimpulkan bahwa Anda
terlibat dalam tindak perampasan terhadap hak orang lain, adakah dampak
negatif yang Anda alami akibat dari tindakan itu?”
“Ada”, jawab Sam. Saya sekarang tidak lagi dapat bergaul dengan
teman-teman. Tidak dapat bekerja, dan saya masuk Lapas ini.
Apa tidak ada lagi akibat negatif yang kamu rasakan? tanya Eyu. Apa-
kah kamu tidak takut kalau nanti dibalas sekeluar dari sini. “Ya, itu terma-
suk yang saya khawatirkan. Saya takut nanti kalau sudah keluar, keluar-
ganya atau teman-temannya datang ke saya dan membalasnya. Saya tidak
tenang lagi”, tandas Sam.
Kalau begitu apa akibat-akibat dari tindakan kita yang melanggar hu-
kum ? Konselor membantu klien untuk mengidentifikasi. Sam kemudian
menyebutkan satu persatu, mengulangi konsekwensi yang ditimbulkan dari
tindakannya yang antisosial.
Anggota kelompok lain juga mendapatkan kesempatan yang sama untuk
menggali tindakannya yang antisosial, sebab, dan konsekwensi yang dialami
karena tindakannya itu. Setelah klien menyadari terhadap tindakannya
yang antisosial, kegiatan konseling diakhiri.

Pertemuan ke-5 -6: Produksi


Konselor mengawali pertemuan ini dengan meminta anggota kelompok
mengingat kembali hasil yang dicapai pada pertemuan sebelumnya. Untuk
memberikan perhatian kepada klien, konselor selalu menanyakan kepada
kelompok apakah ada masalah-masalah yang penting yang dialami sejak
pertemuan yang terakhir.
Kemudian dilanjutkan dengan informasi tujuan pertamuan, yaitu meng-
enal norma sosial, meningkatkan nilai-nilai anggota kelompok, kemung-
kinan hambatan-hambatan yang dialaminya saat ini dalam peningkatkan
nilai-nilai itu, serta menggali kemauan untuk mengubah diri menjadi lebih
prososial.
Sama halnya dengan proses sebelumnya, pembicaraan dilakukan ber-
gantian. Untuk memulai pembicaraan, agar klien dengan mudah mengung-
kapkan apa yang perlu disampaikan, konselor membantu anggota kelompok

65
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

mengenal lembaga-lembaga sosial di lingkungan kita, seperti keluarga dan


masyarakat, yang diawali dengan penjelasan singkat berbagai institusi itu
beserta adanya aturan di dalamnya. Dari penjelasan ini, anggota kelompok
dapat menyadari bahwa dirinya juga memiliki lingkungan sosial yang juga
mengikatnya. Untuk menyadari hal ini, konselor membantu klien dengan
mengajukan beberapa pertanyaan untuk dijelaskan oleh klien tentang diri
dan keluarganya, aturan-aturan di keluarganya, adakah kesulitan menyesu-
aikan dengan aturan di keluarga itu, dan bagaimana hubungan klien dengan
keluarganya, serta lingkungannya.
Atas problem-problem yang diajukan konselor ini, Sam mengungkakan
bahwa dirinya sudah tidak memiliki orangtua. Selaku anak tertua dari tiga
bersaudara, merasa memiliki tanggung jawab untuk membesarkan adik-
adiknya yang kini sudah sekolah di SD. Namun demikian, dia merasa tidak
memiliki kemampuan apa-apa untuk membantu mereka.
“Saya sementara ini ikut paman saya. Jadi saya harus mengikuti aturan
yang ada di sana,” katanya. Dulu sih tidak masalah bersama mereka. tetapi
sejak saya masuk LP ini saya merasa tidak enak. Sampai sekarang belum
pernah saya dijenguk. Dia sangat jengkel kepada saya. Tidak tahu nanti
kalau pulang, saya tidak tahu mau pulang ke mana?” Selanjutnya Sam
menjelaskan bahwa kalau sudah keluar dari Lapas Anak akan meminta maaf
kepada keluarganya.
“Apa yang saya lakukan memang melanggar hukum. Saya juga mengerti
kalau merampas itu merugikan orang lain. tapi karena saya ingin punya
uang dan ada teman yang mengajak, tentunya saya mau saja.”
“Sekarang saya malu kepada tetangga, karena saya sudah masuk di LP
ini. Karena itulah sekeluar nanti saya akan pergi saja ke Surabaya, bekerja
di sana, karena saya malu kalau nanti saya pulang.”
Atas pernyataan ini, konselor perlu mengkonfrontasikan pernyataan
Sam ini dengan pernyataan pada pertemuan yang terdahulu yang menyatak-
an bahwa dia sangat khawatir ada balas dendam dari keluarganya. “Anda
memiliki rencana bekerja di Surabaya, apakah rencana ini berkaitan pula
dengan kekhawatiran terhadap adanya balas dendam keluarga yang Anda
rugikan?”
Sam menjawab : “Ya, tetapi tidak hanya itu, saya ingin bekerja di
Surabaya ingin mendapatkan hasil. Kebetulan juragan saya sekarang di
sana. Tak mungkin saya menggantungkan keada paman terus.”
“Bagaimana dengan teman-temanmu. Kalau nanti ketemu dengan te-
manmu, dan diajak lagi mencopet atau merampas lagi bagaimana?”, tanya
Sela kepada Sam. “Saya akan mengurangi bergaul dengan mereka. Kalau
diajak berbuat seperti dulu, saya tidak mau,” jawabnya. “Karena itu saya

66
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

mau pergi saja.”


Kalau menurut tanggapan Wari bagaimana? pancing konselor kepada
Wari untuk memberikan komentar terhadap rencana Sam ini. “Kalau sa-
ya, keluar dari sini, senang-senang dululah, nanti saja mencari kerjanya”,
jawabnya.
Baik, menurut Amu bagaimana? “Semestinya sekeluar dari sini cari
pekerjaan yang halal, sekalipun hasilnya sedikit lebih baik bekerja. Saya
nanti juga begitu, begitu keluar, akan ke rumah teman, mencari pekerja-
an, apakah jadi buruh, kernet truk, apa di bengkel, tak masalah. Karena
kalau tidak bekerja, apa buat makan”, tegas Amu membenarkan apa yang
dinyatakan Sam.
Setelah ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh anggota kelom-
pok berhubungan dengan rencana Sam bekerja, konselor membantu me-
rangkam dan menyimpulkannya. “ Berdasarkan pembicaraan tadi dapat
disimpulkan, bahwa ada beberapa pandangan tentang sebaiknya yang da-
pat dilakukan sejalan dengan norma sosial yang ada di lingkungan kita,
bahwa Sam akan bekerja, dan ini didukung oleh pandangan Amu tadi, bah-
wa kerja itu untuk keperluan kita sendiri”.
Usai Sam mengemukakan dirinya berhubungan dengan norma keluarga
dan masyarakatnya, kemudian anggota lain secara bergantian menyatakan
hal yang sama berkenaan dengan dirinya sendiri, sampai seluruh anggota
kelompok menyatakan semuanya.
Pembahasan tentang norma sosial beserta konsekwensi ini membutuhk-
an waktu dua kali pertemuan, sehingga diselenggarakan pada pertemuan
ke 5 - 6. Pada akhir pertemuan ini, diharap ada kemauan dari anggota un-
tuk mengubah perilakunya yang antisosial menjadi prososial, sekalipun ada
anggota yang merasa sulit untuk mengubah kebiasannya yang antisosial,
misalnya yang biasa “merampok” untuk menghentikan tindakannya. “Sulit
menghindar kalau diajak teman, mesti saya mau”, kata Sela ketika mem-
bicarakan dirinya dalam hubungannya dengan tindakannya yang antisosal,
sekalipun sudah memperoleh kritik dari teman-temannya.
Sebagaimana lazimnya, setiap akhir pertemuan disimpulkan oleh kelom-
pok yang dibantu konselor. Selanjutnya konselor menginformasikan rencana
pertemuan ke 7. Berikutnya konseling pertemuan kelima/keenam diakhiri.

Pertemuan ke-7 s.d. 9: Produksi


Pertemuan ke 7 s.d. 9 bermaksud merumuskan strategi perubahan ting-
kah laku, mencari alternatif pemecahan, dan merumuskan langkah-langkah
tindakan di masa datang. Pembahasan ini membutuhkan waktu yang cu-
kup panjang yaitu 3 kal pertemuan. Setiap pertemuan diharapkan dapat

67
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

menyelesaikan permasalahan 2-3 klien. Tujuan konseling ini dikemukakan


konselor setelah menyampaikan hasil-hasil pertemuan sebelumnya.
Berkenaan dengan tujuan konseling ini, maka setiap anggota kelompok
diharapkan mengenal problem yang dihadapi. Khususnya Sam, problem
yang dihadapi saat ini sebagaimana yang dirasakan adalah : kebingunan
sekeluar dari LP karena belum tentu memperoleh pekerjaan, dan bagaimana
cara menjauh dari teman-temannya.
Untuk membantu Sam ini, diberikan kesempatan kepada anggota ke-
lompok memberikan pertanyaan atau pandangannya. Eyu menyatakan :
“Dulu, Sam ini bekerja sebagai tukang parkir, kan tinggal meneruskan sa-
ja?” Atas tertanyaan ini, Sam menjawab bahwa dirinya tidak suka menjadi
tukang parkir itu. “Hasilnya tidak cukup untuk kebutuhan saya. Ya dulu,
ketika saya bersama paman. Nantinya kan tidak mungkin saya seperti itu
lagi. Saya harus dapat idup sendiri.”
“Kalau kamu ingin bekerja di Surabaya, ya di sana saja,” komentar
Amu. “Sebenarnya sih bisa, cuma saya harus mencari dimana dia. Dulu di
Wonokromo, kata teman saya sekarang proyeknya sudah pindah. Kalau ter-
paksa, saya jadi tukang parkir kembali, sambil mencari pekerjaan sambilan
sebagai buruh bangunan di Malang saja,” kata Sam.
“Pekerjaan itu bisa di dekat dan bisa jauh, bergantung kepada kesena-
ngannya sendiri. Kalau bisa dekat dengan keluarga, saya kira lebih baik
dekat saja,” tambah Khomu.
“Ya tidak begitu. Saya ini lho, biasa bekerja jauh. Sekalipun rumah-
ku di Probolinggo, saya pernah bekerja di Tuban, Gresik, Surabaya. Jadi
pengalaman saya banyak. Jenis pekerjaannya pun macam-macam. Pernah
jadi kernet truk, anggutan, buruh di toko. Pokoknya banyaklah pengalaman
saya,” Amu menimpali pandangan Khomu.
Kalau saya tetap di Malang, bagaimana saya menjauh dari teman-teman
yang suka mengajak nakal itu? tanya Sam kepada anggota kelompok. “Ti-
dak usah bergaul dengan mereka”, jawab Kodi.
“Tentu tidak dapat begitu. Teman penting. Kalau menjuh malah tidak
punya teman. Ya tetap bergaul, asal kalau diajak melakukan tindakan yang
tidak baik jangan diikuti. Bilang saja, sibuk atau saya kapok tidak mau
mengulangi lagi. Saya kira tidak apa-apa,” komentar Amu.
Kalau menurut Khomu bagaimana? konselor memberi kesempatan ke-
pada Khomu. “Saya kira yang dikatakan Amu sudah benar. Tetap bergaul,
tetapi kalau diajak hal-hal yang jelek jangan dituruti.”
Dari berbagai pandangan, konselor meminta Sam menyimpulkan sendiri,
apa-apa yang dapat dipetik dari umpan balik anggota kelompok.
Pertemuan ke 7 ini dapat menyesaikan permasalahan dari dua anggota,

68
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

sedangkan anggota lainnya memperoleh giliran pada pertemuan selanjut-


nya, yaitu pertemuan ke-8 dan 9.

Pertemuan ke-10 dan 11: Produksi


Konselor bersama klien mengingat kembali hasil yang dicapai pada proses
konseling sebelumnya. Setelah itu konselor memberi kesempatan kepada
klien untuk mengungkapkan masalah yang mungkin dialami klien selama
selang waktu dengan pertemuan sebelumnya.
Pada pertemuan ini tujuannya adalah mengembangkan diri dala kehi-
dupan yang lebih luas, yaitu mempersiapkan para anggota kelompok me-
nyusun perencanaan yang lebih tepat untuk kehidupan sekeluar dari LP.
Sehubungan dengan ini, salah seorang anggota kelompok, yaitu Khomu me-
nanyakan : bahwa dirinya selalu sehantui oleh pikiran, khawatir tindakan-
nya di masalalunya dibalas sekeluar dari LP ini. Jadi mereka takut adanya
balas dendam dari keluarga yang pernah dirugikan akibat tindakannya yang
salah. Bagaimana cara mengatasinya? dan rasanya malu keluar dari LP ini,
karena setiap hari dan makin dekat dengan tanggal pembebasan, dirasakan
sangat khawatir dicemooh oleh tetangganya.
Atas pertanyaan ini, konselor berusaha mengembalikan pertanyaan ini
kepada anggota kelompok : apakah anggota kelompok yang lain, juga me-
rasakan yang sama? Ternyata mereka menyatakan bahwa hal itu juga di-
rasakan.
Karena itu pembahasan masalah ini dianggap penting untuk diselesaikan
pada dua kali pertemuan terakhir sebelum perpisahan, sekaligus memper-
siapkan mereka keluar dari LP secara lebih baik.
“Baik, karena hal ini dirasa sebagai masalah bagi kita, maka pembi-
caraan ini juga dilakukan secara berurutan,” konselor merespon kliennya.
“Apakah Sam juga merasakan, ada kemungkinan korban pemerasan yang
Anda lakukan dulu masih menaruh dendam kepadamu?” tanya konselor.
“Saya kira juga begitu. Dia sudah tahu rumah saya, juga mengetahui
kapan saya keluar dari LP ini. Karena dia merasa dirugikan sepertinya
dendam kepada saya,” jawabnya.
Baik, bagaimana Anda tahu bahwa dia masih dendam? “Saya tidak
tahu. Biasanya orang kalau pernah disakiti kan dendam,” jawabnya.
Mungkin ada kometar yang lain? Dendam itu memang terkadang ada.
Tetapi Sam ini kan sudah dihukum sekian lama sebagai ganti dari tindakan-
nya yang salah itu. Kalau menurut saya mungkin dilupakan, jadi tidak akan
dendam lagi,” komentar Wari yang juga suka mencuri barang di daerahnya.
“Soalnya, mereka marah betul saat ada keputusan pengadilan. Sebe-
narnya dia tidak terima dengan keputusan pengadian ini. Maunya saya

69
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

dihukum yang lebih berat. Tapi saya dihukum 18 bulan penjara.”


“Baik, yang perlu kita ketahui, apakah perasaan Anda itu, pernah secara
nyata Anda lihat, atau dengar dengan telinga Anda sendiri, sehingga Sam
ini yakin, kalau keluarganya atau korban Anda itu sedang dendam kepada
Anda?”, konselor mengkonfrontasi perasaan klien dengan realitas.
“Sebenarnya sih tidak, tetapi perasaan saya merasa takut kalau nanti
dia dendam kepada saya,” jawab Sam.
“Saya kira mas ya, dendam itu mungkin ada. Tetapi kita tidak perlu ta-
kut, asalkan kita sudah tidak berbuat salah lagi, masak akan diancam. Saya
kira tidak. Paling dia sudah lupa, apalagi rumahnya jauh dari rumahmu,”
komentar Eyu.
“Hanya saja saya khawatir sekali”, kata Sam lagi.
“Lantas saya, juga sama dengan Khomu, malu rasanya kalau bebas dari
sini. Malu ke tetangga, malu ke keluarga,” jelas Sam. “Kalau ke keluar-
ga, saya akan mohon maaf. Saya akan menemui paman, dan menyatakan
kapok, tidak akan mengulangi lagi”, tambahnya.
“Kita ini sama saja malu. Kalau malu apakah tidak pulang. Ya harus
berani menangung risiko. Mau apalagi”, kata Amu.
Pembicaraan ini terus berlangsung hingga dua kali pertemuan, yang
berkembang dari pandangan yang irrasional ke pandangan yang lebih ra-
sionalistik. Pada akhirnya sebagian anggota kelompok menyadari bahwa
kemungkinan adanya balas dendam dari pihak yang dirugikan tetap ada,
tetapi karena sudah memperoleh hukuman, ancaman itu tidak terlalu ber-
alasan.
Berhubungan dengan perasaan malu kembali ke masyarakat, ada ang-
gota yang akan pindah tempat tinggal dari gresik ke Surabaya, ada yang
akan kembali ke kampungnya, dan Sam sendiri ingin bekerja di Surabaya
sekalipun keluarganya di Malang.
Pertemuan ke sebelas diakhiri, dan anggota kelompok dipersiapkan un-
tuk mengikuti pertemuan konseling yang terakhir.

Pertemuan ke-12: Penutup


Pertemuan terakhir bermaksud mengevaluasi proses yang dialami kelompok,
sekaligus perpisahan dengan mereka. Pada tahap ini, konselor menanyakan
kepada anggota : apakah konseling kelompok yang diikuti ini dirasakan
berguna Anda? Beberapa anggota menjawab bahwa kegiatan yang diikuti
selama ini ada gunanya. Apa gunaya? “Saya bisa melupakan problem yang
saya hadapi, saya dapat menyampaikan berbagai permasalahan yang saya
alami. Ternyata masih ada orang yang menu memperhatikan saya. Selama
ini saya tidak pernah mendapatkan perhatian demikian. Sampai teman

70
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

saya menanyakan, kapan dia akan mendapatkan kesempatan seperti saya


ini”, kata Khamu menyampaikan keluhan temannya.
Dengan demikian saya juga mengerti banyak mengalami masalah, yang
sebenarnya belum tentu menjadi kenyataan.
Selanjutnya, pembicaraan tentang kesan-kesan selama mengikuti konse-
ling kelompok. Satu persatu mengungkapkan kesan-kesanya. Sampai pada
akhirnya dilakukan perpisahan, hanya tinggal satu kegiatan lagi yang perlu
diikuti dan diinformasikan kepada mereka, yaitu mengisi angket dan gam-
bar, yang dilaksanakan seminggu lagi.
Pada pertemuan ini, ada anggota yang meminta untuk memperpanjang
atau menunda diakhirinya kegiatan konseling untuk beberapa waktu lagi,
alasanya agar sekeluar dari LP bersamaan dengan peneliti. Namun karena
hal itu tidak memungkinkan, maka konseling kelompok tetap diakhiri.

5.5 Tingkah Laku Antisosial Remaja


Tingkah laku antisosial anak pemasyarakatan dapat diamati tentang kea-
daannya sebelum memperoleh pemaparan konseling kelompok dan setelah
pemaparan konseling kelompok pada kelompok sampel.

Tingkah Laku Antisosial Sebelum Konseling Kelompok


Tingkah laku antisosial remaja dapat diklasifikasikan atas empat kelompok,
yaitu tingkah laku antisosial yang sangat rendah, rendah, tinggi, dan sangat
tinggi. Remaja binaan Lapas Anak Blitar, khususnya yang menjadi sampel
dalam penelitian ini berdasarkan pengelompokan tingkatan antisosial ini
menunjukkan bahwa tidak ada anak yang tingkah laku antisosialnya sangat
rendah, dan hanya seorang saja (3,6%) yang tingkah laku antisosialnya ren-
dah, yang terbanyak adalah remaja yang tingkah laku antisosialnya tinggi
sebesar 23 remaja (82,1%), dan berikutnya adalah remaja yang bertingkah
laku antisosial sangat tinggi sebanyak 4 remaja (14,3%).
Pada kelompok perlakuan terdapat hanya seorang remaja (7,1%) yang
bertingkah laku antisosial rendah, sebagian besar yaitu 10 remaja (71,4%)
bertingkah laku antisosial tinggi, dan berikutnya 3 remaja (21,4%) berting-
kah laku antisosial sangat tinggi. Tidak jauh berbeda dengan keadaan pada
kelompok perlakuan, pada kelompok kontrol yaitu ada 13 remaja (92,8%)
yang bertingkah laku antisosial tinggi, dan hanya seorang remaja (7,1%)
yang bertingkah laku sangat tinggi. Tabel 5.10 menunjukkan perbanding-
an frekwensi tingkah laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol dilihat dari tingkatannya.

71
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.10. Tingkatan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol sebelum mengikuti konseling kelompok

Tingkatan Kelompok Kelompok Total


Antisosial perlakuan kontrol sampel
Rendah 1 ( 7,1%) 0 1 ( 3,6%)
Tinggi 10 (71,4%) 13 (92,8%) 13 (46,4%)
Sangat tinggi 3 (21,4%) 1 ( 7,1%) 4 (14,3%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Tingkah Laku Antisosial Remaja Sesudah Konseling


Setelah pemaparan konseling kelompok, hasil pengukuran tingkah laku an-
tisosial terhadap responden ternyata menunjukkan ada perbedaan distribusi
tingkatan antisosialnya dibandingkan dengan keadaan sebelum ada pema-
paran. Dari 28 remaja yang menjadi sampel, terdapat 10 remaja (35,7%)
yang bertingkah laku antisosial rendah atau lebih banyak 9 orang (32,1%)
dibandingkan dengan sebelum pemberian konseling. Berikutnya sebanyak
15 remaja (53,6%) yang bertingkah laku antisosial tinggi atau lebih sedikit 8
anak (28,6%) dibandingkan dengan sebelum proses konseling, dan 3 remaja
(10,7%) yang bertingkah laku antisosial sangat tinggi atau lebih sedikit satu
remaja (3,6%) dibandingkan dengan sebelum proses konseling kelompok.
Jika dibandingkan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol,
tampak bahwa perbedaan distribusi tingkat antisosial itu menyolok terjadi
pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pada
kelompok perlakuan, sesudah remaja mengikuti proses konseling kelompok
terdapat 8 remaja (57,1%) yang bertingkah laku antisosial rendah atau lebih
banyak 7 remaja (50%) dibandingkan dengan sebelum mengikuti konseling
kelompok, terdapat 5 remaja (35,7%) yang bertingkah laku antisosial tinggi
atau lebih rendah 5 remaja (35,7%) dibandingkan dengan sebelumnya, dan
hanya seorang remaja (7,1%) yang bertingkah laku antisosial tinggi atau
lebih sedikit 2 remaja (14,3%) dibandingkan dengan sebelumnya.
Pada kelompok kontrol juga terdapat perbedaan distribusi tingkat an-
tisosial pada sebelum dan sesudah konseling kelompok dipaparkan, hanya
saja perbedaan ini tidak sekuat yang terjadi pada kelompok perlakuan. Ber-
dasarkan hasil pengukuran setelah pemaparan, ternyata terdapat 2 remaja
(14,3%) yang bertingkah laku antisosial rendah yang sebelumnya tidak ada,
terdapat 10 remaja (71,4%) bertingkah laku antisosial tinggi atau lebih ren-
dah 3 remaja (21,4%) dibandingkan dengan sebelum proses konseling, dan
2 remaja (14,3%) bertingkah laku antisosial sangat tinggi atau meningkat

72
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

satu remaja (7,1%) dibandingkan dengan sebelumnya. Tabel ?? menun-


jukkan perbandingan persentase frekwensi tingkah laku antisosial remaja
setelah pemaparan konseling kelompok pada kelompok perlakuan dan ke-
lompok kontrol dilihat dari tingkatannya.

Tabel 5.11. Tingkatan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol sesudah mengikuti konseling kelompok

Tingkatan Kelompok Kelompok Total


Antisosal perlakuan kontrol sampel
Rendah 8 (57,1%) 2 (14,3%) 10 (35,7%)
Tinggi 5 (35,7%) 10 (71,4%) 15 (53,6%)
Sangat tingi 1 ( 7,1%) 2 (14,3%) 3 (10,7%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

5.6 Perubahan tingkah laku Antisosial


Berdasarkan uraian terdahulu menunjukkan adanya perbedaan tingkatan
tingkah laku antisosial sebelum dan sesudah pemaparan konseling kelom-
pok, maka pada bagian ini akan dikemukakan pola perubahan serta inten-
sitas perubahannya.

Pola Perubahan Tingkah Laku Antisosial


Perubahan tingkatan antisosial remaja setelah dilakukan pemaparan kon-
seling kelompok dapat dipelajari polanya, yaitu terjadinya pengurangan,
peningkatan, atau tiadanya perubahan tingkatan antisosial, dan jika terja-
di perubahan berapa banyak tingkat perubahan itu.
Berdasarkan hasil pengukuran, pola perubahan itu dapat diklasifika-
sikan dalam 4 macam , yaitu : (1) penurunan tingkat antisosial sebanyak
dua tingkat, (2) penurunan tingkat antisosial sebanyak satu tingkat, (3)
tiadanya perubahan, dan (4) peningkatan tingkat antisosial.
Dilihat dari pola perubahan ini diketahui bahwa pada kelompok perla-
kuan terdapat separo atau 7 remaja (50%) mengalami penurunan tingkat
antisosialnya sebanyak satu tingkat. Subjek yang mengalami perubahan ini
adalah satu remaja (7,1%) yang sebelumnya antisosial sangat tinggi me-
nurun menjadi antisosial tinggi, dan 6 remaja (42,9%) yang sebelumnya
antisosial tinggi menurun menjadi antisosial rendah.

73
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Pada kelompok perlakuan ini pula terdapat seorang remaja (7,1%) yang
mengalami penurunan tingkat antisosial sebanyak 2 tingkat, yaitu dari an-
tisosial sangat tinggi menjadi antisosial rendah. Dari 14 remaja dalam ke-
lompok perlakuan ada 6 remaja (42,9%) yang tidak mengalami perubahan
tingkat antisosialnya, yaitu 3 remaja (21,4%) antisosial tinggi, 1 remaja
(7,1%) antisosial sangat tinggi, dan 1 remaja (7,1%) antisosial rendah.
Pada kelompok kontrol pola perubahan ini juga terjadi sekalipun ada
perbedaan dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Sebagian besar yaitu
9 remaja (64,3%) tidak mengalami perubahan tingkat antisosialnya yang se-
muanya adalah remaja bertingkah laku antisosial tinggi. Terdapat 3 remaja
(21,4%) yang mengalami penurunan antisosial sebanyak satu tingkat yaitu 2
remaja (14,3%) dari antisosial tinggi menjadi antisosial rendah, dan seorang
remaja (7,1%) dari antisosial sangat tinggi menjadi antisosial tinggi. Seba-
liknya, pada kelompok kontrol ini ada 2 remaja (14,3%) yang mengalami
peningkatan antisosialnya dari yang sebelumnya antisosial tinggi menjadi
antisosial sangat tinggi. Pola perubahan tingkat antisosial ini ditunjukkan
pada Tabel 5.12.
Tabel 5.12. Pola perubahan tingkat antisosial pada kelompok perlakuan dan ke-
lompok kontrol setelah pemaparan konseling kelompok

Pola perubahan Kelompok Kelompok Total


tk. antisosial perlakuan kontrol sampel
Turun 2 tingkat 1 ( 7,1%) 0 1 ( 3,6%)
Turun 1 tingkat 7 (50,0%) 3 (21,4%) 10 (17,9%)
Tetap 6 (42,9%) 9 (64,3%) 15 (53,6%)
Naik 1 tingkat 0 2 (14,3%) 2 ( 7,1%)
Jumlah 14 (100%) 14 (100%) 28 (100%)

Proporsi Perubahan Tingkah Laku Antisosial


Berdasarkan perhitungan diskriptif perubahan tingkah laku antisosial ju-
ga dapat dipelajari proporsi perubahan setiap tingkat antisosial responden.
Pada kelompok perlakuan, satu remaja yang tingkat antisosialnya rendah
tidak mengalami perubahan artinya dia tetap tingkat antisosialnya tetap
rendah sekalipun mengikuti konseling kelompok. Pada tingkat antisosial
tinggi, dari 10 remaja ternyata 6 remaja (60%) menurun tingkat antisosi-
alnya, demikian pula pada tingkat antisosial sangat tinggi dari 3 remaja
terdapat 2 remaja (66%) yang menurun tingkat antisosialnya menjadi anti-
sosial rendah.

74
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Pada kelompok kontrol, dari 13 remaja yang tingkat antisosialnya ting-


gi ternyata 2 remaja (15%) menurun tingkat antisosialnya menjadi rendah
dan 2 remaja (15%) pula meningkat antisosialnya menjadi sangat tinggi.
Sementara itu satu remaja yang sebelum ada konseling kelompok antisosial
sangat tinggi menurun menjadi antisosial tinggi. Perubahan secara propor-
sional setiap tingkat antisosial ini dapat dilihat pada tabel 5.12

Tabel 5.13. Proporsi perubahan pada tingkat antisosial pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol

Kelompok Tingkat antiso- F1 F2 Proporsi Ket


sial
Perlakuan Sangat rendah 0 0
Rendah 1 0
Tinggi 10 6 60% 6-
Sangat tinggi 3 2 66% 1-,1–

Kontrol Sangat rendah 0


Rendah 0
Tinggi 13 4 30% 2+, 2-
Sangat tinggi 1 1 100% 1-

Keterangan : F1 : jumlah responden sebelum perlakuan F2 : jumlah


responden yang tingkat antisosialnya berubah + : meningkat antisosialnya
1 tingkat - : menurun antisosialnya 1 tingkat - - : menurun antisosialnya 2
tingkat

Perubahan Intensitas Tingkah Laku Antisosial


Perubahan intensitas tingkat laku antisosial perubahan skor dan nilai rata-
rata yang terjadi pada sampel setelah pemaparan diberikan. Untuk ini
perlu dibandingkan perbedaan skor dan nilai rata-rata antisosial sebelum
dan sudah paparan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Pada kelompok perlakuan tingkah laku antisosial hasil pretest berada
pada rentangan 29 - 52 dengan nilai rata-rata sebesar 40,357 dan simpangan
baku sebesar 6,059. Setelah konseling kelompok diberikan hasil posttest
menunjukkan tingkah laku antisosialnya berada pada rentangan 23 - 49
dengan nilai rata-rata sebesar 33,000 dan simpangan baku sebesar 7,442.
Tampak bahwa terjadi perubahan yaitu penurunan intensitas tingkah
laku antisosial remaja pada kelompok perlakuan ini. Penurunan ini terjadi

75
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

antara rentangan 2 sampai 18 poin, dengan rata-rata perubahannya atau


penurunannya sebesar 7,357 dan simpangan baku sebesar 5,387.
Kelompok kontrol tingkah laku antisosial hasil pretest berada pada ren-
tangan 34 - 49 dengan nilai rata-rata sebesar 40,143 dan simpangan baku
sebesar 4,944. Setelah konseling kelompok hasil posttest menunjukkan ting-
kah laku antisosialnya berada pada rentangan 30 - 54 dengan nilai rata-rata
sebesar 38, 571 dan simpangan baku sebesar 6,136.
Pada kelompok kontrol ini juga terjadi perubahan intensitas tingkah la-
ku antisosialnya. Perubahannya ini sebagian berupa peningkatan dan seba-
gian menurunkan intensitas antisosialnya, rentangan perubahannya antara
-7 sampai 8 poin. Namun demikian dilihat dari nilai rata-rata pretest dan
posttest tampak bahwa rata-rata posttest lebih rendah dibandingkan ha-
sil pretest, artinya juga terjadi penurunan, dengan rata-rata perubahannya
sebesar 1,00 dan simpangan baku sebesar 0,428.
Perbandingan perubahan intensitas tingkah laku antisosial pada kelom-
pok perlakuan dan kontrol ditunjukkan pada Tabel 5.14. Arah perubahan
intensitas tingkah laku antisosial ini dapat digambarkan dengan perubahan
rata-rata intensitas tingkah laku antisosial sebelum dan sesudah pemaparan
konseling kelompok digambarkan sebagaimana pada Gambar 5.1.

Tabel 5.14. Perbandingan perubahan intensitas tingkah laku antisosial pada ke-
lompok perlakuan dan kontrol

Tingkahlaku Kelompok Kelompok


antisosial remaja perlakuan kontrol

Sebelum perlakuan
a. Rata-rata 40,357 40,143
b. Simpangan baku 6,059 4,944

Sesudah perlakuan
a. Rata-rata 33,000 38,571
b. Simpangan baku 7,442 6,136

Perubahan
a. Rentangan 2-18 -7-8
b. Rata-rata 7,357 1,000
c. Simpangan baku 5,387 0,428

76
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Gambar 5.1. Arah perubahan intensitas tingkah laku antisosial remaja sebelum
dan sesudah konseling kelompok. Keterangan garis: ——-: Kelompok perlakuan;
.......: Kelompok kontrol

Perbedaan Tingkah Laku Antisosial Sebelum dan Sudah Pe-


maparan
Sebagimana diuraikan di atas, bahwa tingkah laku antisosial remaja, baik
pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol mengalami perubah-
an. Apakah perubahan-perubahan itu terjadi secara bermakna ? Untuk
menjawab permasalahan penelitian ini, maka dilakukan uji beda, yaitu uji
t satu sampel pada masing-masing kelompok amatan. Dalam uji statistik
ini menggunakan taraf signifikansi 0,05.
Berdasarkan uji-t terhadap kelompok perlakuan yang membandingkan
intensitas tingkah laku antisosial sebelum dan sesudah mengikuti proses
konseling kelompok diperoleh nilai t = -5,11; dengan p = 0,000. Dengan
demikian terdapat perbedaan secara sangat signifikan tingkah laku antiso-
sial remaja sebelum dan sesudah mengikuti konseling kelompok.
Sedangkan intensitas tingkah laku antisosial pada kelompok kontrol, se-
belum dan sesudah proses konseling kelompok berdasarkan prosedur analisis
statistik yang sama diperoleh nilai t = -1,38; dengan p = 0,190. Dengan
demikian tidak terdapat perbedaan secara signifikan tingkah laku antisosial

77
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

remaja sebelum dan sesudah proses konseling kelompok.


Analisis statistik ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang me-
nyatakan bahwa “terdapat perbedaan tingkah laku antisosial sebelum dan
sesudah mengikuti konseling kelompok” diterima. Perbandingan hasil ana-
lisis statistik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol berkaitan
dengan perbedaan tingkah laku antisosial sebelum dan sesudah pemaparan
ditunjukkan pada Tabel 5.15

Tabel 5.15. Hasil analisis statistik tentang tingkah laku antisosial sebelum dan
sesudah konseling kelompok

Kelompok M1 M2 M1-M2 Nilai t p


Perlakuan 40,357 33,000 7,357 -5,11 0,00
Kontrol 40,143 38,571 1,571 -1,38 0,19

Pengaruh konseling kelompok pada perubahan tingkah laku


antisosial
Pada uji hipetesis pertama diketahui bahwa ternyata terdapat perbedaan
intensitas tingkah laku antisosial remaja sebelum dan sesudah mengikuti
konseling kelompok. Pada pengujian ini belum diketahui apakah perubah-
an atau penurunan intensitas tingkah laku antisosial tersebut karena faktor
konseling kelompok, atau ada faktor lain yang turut mempengaruhinya.
Untuk menjawab permasalahan penelitian ini sekaligus menguji hipotesis
bahwa konseling kelompok mempengaruhi secara bermakna perubahan in-
tensitas tingkah laku antisosial, maka dilakukan uji statistik analisis kova-
rian, dengan taraf signifikansi pada alfa 0,05.
Berdasarkan analisis kovarian, pengaruh konseling kelompok terhadap
perubahan tingkah laku antisosial diperoleh F = 5,428 dan p = 0,032. Hal
ini berarti konseling kelompok secara sangat signifikan mempengaruhi peru-
bahan intensitas tingkah laku antisosial remaja. Dengan demikian hipotesis
penelitian diterima.
Berdasarkan analisis kovarian pula diketahui bahwa variabel-variabel la-
in yaitu status anak didik, masa pembinaan, waktu telah dibina di Lapas
Anak, lama sekolah, usia, inteligensi, dan hubungan keluarga, tidak mem-
berikan sumbangan yang bermakna bagi perubahan tingkah laku antisosial
dengan p > 0,05. Dengan demikian, perubahan intensitas tingkah laku an-
tisosial remaja di Lapas anak semata-mata terjadi karena faktor konseling
kelompok. Hasil analisis kovarian ini ditunjukkan pada Tabel 5.16.

78
Hasil Penelitian dan Analisis Hasil Penelitian

Tabel 5.16. Hasil analisis pengaruh berbagai variabel terhadap perubahan tingkah
laku antisosial

Sumber variasi DF F hit p Keterangan


Waktu telah dibina 1 0,017 0,898 Tidak signifikan
di Lapas
Masa pembinaan 1 0,325 0,576 Tidak signifikan
Lama sekolah 1 0,006 0,941 Tidak signifikan
Usia 1 0,160 0,694 Tidak signifikan
Status pembinaan 2 1,340 0,288 Tidak signifikan
anak
Inteligensi 1 0,532 0,476 Tidak signifikan
Hub. keluarga 2 0,116 0,891 Tidak signifikan
Kelompok 1 5,428 0,032 Signifikan

Berdasarkan hasil analisis ini dapat diketahui hubungan antara perubah-


an tingkah laku antisosial dengan variabel-variabel penelitian, sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 5.2

Gambar 5.2. Hubungan variabel-variabel serta pengaruhnya kepada penurunan


tingkah laku antisosial

79
6 | Pembahasan

Berhubungan dengan hasil dan analisis hasil penelitian perlu dilakukan


pembahasan secara lebih mendalam makna dari temuan-temuan tersebut.
Untuk menelaah hasil dan analisis hasil penelitian terdapat empat hal yang
akan dibahas, yaitu karakteristik subjek penelitian, konseling kelompok,
perubahan tingkah laku antisosial, dan keterbatasan penelitian.

6.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki, yang berusia pada usia
15- 17 tahun. Dalam konteks sosial dan hukum, mereka ini berada dalam
kategori anak-anak [78,81], yang secara bio-psikologis berada pada fase yang
masih memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang [42,70]. Secara te-
oritik, karena usianya masih muda, remaja ini dimungkinkan lebih mudah
diberikan pengertian, dimodifikasi perilaku, dan sikapnya dibandingkan de-
ngan orang dewasa yang kepribadiannya telah terbentuk.
Hanya saja karena faktor kenakalan yang mereka lakukan, remaja yang
menjadi subjek penelitian ini berada di lembaga pemasyarakatan sebagai
anak didik pemasyarakatan. Karena itu: (1) mereka berada di lingkung-
an sosial yang terbatas yaitu di Lapas Anak itu saja, (2) perilaku mereka
berada dalam situasi pengawasan yang ketat dari pembina Lapas, dan (3)
perlu mempersiapkan diri untuk bersosialisasi secara tepat dengan masya-
rakat luas setelah bebas dari masa pembinaan Lapas Anak. Karena kondisi
psikososial mereka demikian adanya, maka penanganan terhadap remaja
ini sangat berbeda dengan anak/remaja pada umumnya yang hidup di luar
lembaga pemasyarakatan.
Implikasi dari kondisi remaja terhadap kegiatan penelitian ini, adalah
(1) kemudahan dalam pengumpulan mereka untuk berpartisipasi dalam pe-
nelitian, namun juga kesulitan bahkan tidak dapat mengamati perilaku “ala-
miah” mereka di masyarakat luas; dan (2) intervensi konseling kelompok ter-
hadap mereka ini harus memperhatikan persoalan-persoalan kehidupannya

80
Pembahasan

di lembaga pemasyarakatan sekaligus menghubungkan dengan kehidupan


sosial di keluarganya atau masyarakat luas, serta rencana-rencana kehidu-
pannya setelah keluar dari Lapas Anak. Hal ini sejalan dengan yang dike-
mukakan Bloch [8], bahwa kehidupan terakhir klien perlu dipertimbangkan
dan diperhatikan dalam pemberian suatu terapi.
Hal lain yang kiranya perlu ditelaah di sini adalah tingkat pendidikan
dan tingkat kemampuan subjek. Subjek yang diteliti ini berpendidikan kelas
III SD hingga SMA belum tamat, dengan tingkat IQ berada pada rata-rata
(grade III) dan di bahwa rata-rata (grade IV). Jadi tingkat pendidikan dan
kemampuan subjek ini dapat dikatakan rendah.
Rendahnya tingkat pengetahuan dan kemampuan umum ini dimung-
kinkan mempengaruhui kemampuan subjek dalam berkomunikasi dan ber-
interaksi termasuk di dalamnya kemampuan memberikan tanggapan dan
argumentasi kepada anggota kelompok lainnya, kepekaan individu dalam
menangkap informasi, keterbukaan terhadap pandangan dan nilai orang
lain, fleksibelitas dalam pembuatan keputusan, dan kemudahan dalam ba-
lajar perilaku baru. Dengan kata lain, tercapainya tujuan-tujuan dalam
konseling kelompok sebagaimana yang dikemukakan Corey [18] sedikit atau
banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kecerdasan para anggota
kelompok.
Tingkat pendidikan dan inteligensi ini juga menjadi “catatan” penting
bagi peneliti atau konselor dalam menciptakan dinamika kelompok. Kema-
uan pengungkapan diri, interaksi antar anggota, pemeliharaan kohesivitas
kelompok, serta meningkatkan keterlibatan anggota dalam proses kelom-
pok dipengaruhi pengetahuan dan inteligensinya. Karenanya dinamika ke-
lompok yang diharapkan yang mungkin terlalu tinggi, dan menyesuaikan
dengan tingkat pendidikan dan IQ anggota. Mengingat karakteristik pen-
didikan dan inteligensinya demikian adanya, yang dipentingkan pada pro-
ses kelompok adalah mereka dapat berpartisipasi dalam mengungkapkan
permasalahan, turut memberikan masukan, kritik, atau pandangan kepada
anggota lain yang membutuhkan sesuai dengan kemampuannya.
Faktor keluarga, khususnya status sosial keluarga dan hubungan subjek
dengan kedua orangtuanya, dalam penelitian ini subjek berasal dari ke-
luarga berstatus sosial rendah,41 tingkat pendidikan orang tuanya paling
tinggi lulusan SD dan sebagai pekerja kasar, seperti petani, tukang/buruh
bangunan, supir angkutan, atau buruh tani.
Dalam hal hubungan remaja dengan orangtuanya, diperoleh keterang-
an bahwa sebagian besar (60,77%) memang remaja hidup bersama kedua
orangtuanya setahun terakhir sebelum mereka berstatus sebagai anak didik
Lapas. Namun angka yang cukup besar jika sebesar 28,6% dari mereka

81
Pembahasan

hidup tidak bersama dengan kedua orangtuanya, dan 10,7% pisah dengan
salah satu orangtuanya. Dilihat dari segi status sosial orangtua dan hubung-
an anak dengan orangtuanya, dimungkinkan remaja ini tidak memperoleh
pengasuhan dari keluarganya secara memadai, khususnya lagi remaja yang
memang lepas dan tidak hidup bersama dengan kedua orangtuanya.
Kondisi keluarga yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan per-
sonalnya ini membutuhkan intervensi psikososial, sekalipun sebenarnya in-
tervensi yang lebih integratif dan multidimensional sangat penting bagi me-
reka ini [48], Sebagai bentuk penanganan yang tepat dan memungkinkan
dapat melengkapi sistem pembinaan yang ada, konseling kelompok dapat
diberikan kepada mereka, karena dalam sistem pembinaan anak di Lapas
ada kesempatan untuk menyampaikan keluhan [77,78], yang sampai saat ini
belum dikembangkan secara optimal.

6.2 Konseling Kelompok


Konseling kelompok dijadikan sebagai intervensi dalam penelitian ini, de-
ngan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, kelompok sasaran intervensi
jumlahnya relatif besar. Dari keseluruhan penghuni Lapas Anak Blitar, se-
telah dilakukan seleksi sesuai dengan variabel penelitian terdapat 39 orang
dapat menjadi populasi. Untuk membantu mereka ini diperlukan pena-
nganan yang efesien.
Kedua, subjek yang diteliti mengalami suatu gangguan, yaitu gangguan
tingkah laku. Intervensi pencegahan yang bersifat sekunder, yaitu pena-
nganan (treatment) secara tepat sangat urgen diberikan kepada mereka.
Tujuan intervensi ini adalah megurangi durasi suatu gangguan, dalam hal
ini pengurangan intensitas tingkah laku antisosial mereka.
Ketiga, gangguan yang dialami mereka juga berdimensi psikososial, ya-
itu tindakan persisten melakukan pelanggaran norma sosial dan hukum,
maka diperlukan intervensi yang dapat membantu mereka secara psikologis
dan sosial.
Keempat, selama ini di Lapas, khususnya Lapas Anak, konseling be-
lum digunakan sebagai media membantu anak didik pemasyarakatan untuk
mengatasi problem yang dihadapi, termasuk dalam mempersiapkan diri se-
cara lebih baik sekeluar dari Lapas. Padahal konseling, khususnya konseling
kelompok, dapat membantu remaja memecahkan masalahnya dan memberi
kesempatan kepada mereka belajar bertingkah laku baru serta bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri.
Dalam penelitian ini, konseling kelompok beranggota 7 orang dan seo-
rang konselor sebagai pimpinan kelompok, suatu jumlah yang wajar bagi

82
Pembahasan

suatu kegiatan konseling kelompok, karena biasanya jumlah anggota pada


rentangan 5 - 11 orang.
Konseling kelompok dilaksanakan 12 kali pertemuan dengan frekwen-
si pertemuan dua kali setiap minggunya. Frekwensi pertemuan ini banyak
diterapkan oleh para ahli sekalipun pada umumnya sekali dalam seming-
gu. Sebenarnya frekwensi konseling kelompok ini diselenggarakan secara
bervariasi, dalam satu minggu dapat 1 - 4 kali pertemuan, dengan mem-
perhitungkan proses pengendapan pengalaman oleh klien terhadap hasil
yang diperoleh dari proses konseling dan peningkatan kohesivitas kelom-
pok. Dua kali pertamuan dalam penelitian ini diharapkan tidak mengura-
ngi terjadinya proses pengendapan pengalaman dari proses konseling pada
pertamuan-pertemuan yang telah berlangsung dan siap mengikuti proses
konseling selanjutnya.
Dilihat dari keseluruhan jumlah pertemuan yang berjumlah 12 kali, kon-
seling ini termasuk terapi jangka pendek (sort-term therapy) [7,32]. Jenis
terapi ini dipilih karena konseling kelompok ini bermaksud menangani ke-
sulitan dan kehidupan saat ini, yang dikaitkan dengan masa lalunya untuk
pertumbuhan personalnya. Sebagaimana halnya dengan penanganan ka-
sus anomali, penanganan remaja yang mengalami gangguan tingkah laku
atau remaja yang antisosial yang bersifat pimer ini membutuhkan frekwen-
si pertemuan konseling yang mencukupi. Jangka waktu 12 kali pertemuan
dalam penelitian ini diasumsikan cukup memadai untuk mengurangi suatu
intensitas tingkah laku antisosial.
Sejalan dengan hasil studi pendahuluan, pengelenggaraan konseling ke-
lompok dilaksanakan dengan durasi 90 menit setiap pertemuan. Dalam
berbagai literatur dikemukakan bahwa durasi konseling kelompok berkisar
antara 60 - 90 menit setiap pertemuan [29,65,83] Apabila penyelenggaraan
konseling kelompok itu terlalu lama, misalnya di atas 120 menit dalam seti-
ap pertemuan, justru menjadi tidak efektif [83]. Jadi pelaksanaan konseling
kelompok dengan durasi 90 menit merupakan pola penyelenggaraan yang
umum, sekalipun durasi penyelenggaraannya selalu memperhitungkan jenis
masalah dan usia kliennya [29].
Penelitian ini, konseling diselenggaran dua sessi dalam seharinya, yai-
tu sessi untuk kelompok A, dan dilanjutkan oleh sessi untuk kelompok B.
Pengalaman menunjukkan bahwa penyelenggaraan konseling demikian ini,
bagi klien tidak menjadi masalah, artinya mereka dapat mengikuti secara
wajar kegiatan konseling kelompok. Hanya saja, dari segi konselor, penye-
lenggaraan dua sessi dalam sehari cukup berat, karena harus menyelengga-
rakan konseling kelompok selama 180 menit selama sehari. Idealnya dalam
sehari program kegiatan, diselenggarakan satu kali sessi saja.

83
Pembahasan

Dalam konseling kelompok ini, konselor tidak mencatat secara langsung


respon-respon klien. Semua respon berusaha diingat-ingat oleh konselor,
dan dicatat di luar kegiatan konseling bilamana dipandang penting. Pilih-
an sikap konselor ini dilakukan untuk keperluan: memelihara konsentrasi
konselor kepada proses konseling, dan mencegah kecurigaan klien terhadap
konselor/peneliti [58]. Tidak pula digunakan rekaman dengan tape-recorder
dan alat-alat fotografi untuk menjaga konfidensialitas klien sekaligus meng-
ikuti peraturan yang ada di Lapas Anak.
Untuk mengatasi tugas-tugas konselor ini, dalam suatu konseling ke-
lompok dapat dipertimbangkan adanya pendamping konselor (co-therapist)
[18,79,83], namun demikian pada penelitian ini tidak ada pendamping kon-
selor yang diharapkan dapat membantu konselor. Pihak-pihak yang dipan-
dang kompeten untuk menjadi pendamping konselor ternyata tidak berse-
dia berpartisipasi menjadi pendamping konselor dengan berbagai alasan.
Karena itu, untuk menangani 7 klien pada suatu konseling kelompok tugas
konselor menjadi lebih berat, karena, karena selain memimpin proses kelom-
pok, harus mengingat-ingat respon-respon setiap klien, baik verbal maupun
non verbal, yang terjadi selama proses konseling.
Yang sangat penting lainnya untuk dikemukakan di sini adalah pro-
ses keikutsertaan individu dalam konseling serta pembentukan kelompok
dengan segenap implikasinya bagi proses konseling. Sebagaimana dikemu-
kakan oleh para ahli [37,58] bahwa keikutsertaan individu dalam konseling
kelompok dapat terjadi karena: referal, anjuran orang lain, atau perminta-
an sendiri. Menurut Harris [37] di kalangan anak-anak delinkuen umumnya
dilakukan atas referal atau anjuran orang lain, dan jarang atas kemauannya
sendiri. Ini jelas mempengaruhi motivasi mereka untuk memperbaiki diri-
nya sendiri. Dalam penelitian ini jelas bahwa proses keikutsertaan mereka
menjadi anggota kelompok bukan atas kemauan klien sendiri, tetapi dite-
tapkan atas randomisasi. Karena itu, penawaran program dan kesediaan
mereka mengikuti konseling kelompok merupakan bagian awal yang harus
dilakukan dalam proses konseling kelompok untuk mempersiapkan mereka
berpartisipasi dan ada keterikatan untuk hadir dalam kegiatan konseling
kelompok sebagaimana yang diprogramkan [87].
Sistem keanggotaan suatu konseling kelompok dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu sistem keanggotaan terbuka dan tertutup. Sistem keang-
gotaan terbuka berarti keanggotaan yang dapat menambah anggota baru
pada saat proses konseling berjalan, sedangkan sistem tertutup sebaliknya.
Dalam penelitian ini sistem keanggotaannya adalah tertutup, yaitu anggota
kelompok tetap dari awal hingga akhir konseling. Karena itu setiap anggota
mengikuti proses yang sama dari awal hingga akhir konseling.

84
Pembahasan

Tahapan-tahapan konseling kelompok ini disusun berdasarkan tahapan


yang secara umum berlaku dalam proses konseling, yaitu tahapan: persiap-
an, orientasi, transisi, produksi, dan terminasi [18,29]. Alokasi waktu untuk
setiap tahap mengembangkan konsep yang dikemukakan Ettin [25], dan
faktor kuratif yang diharapkan terjadi pada setiap tahap mengikuti teori
yang dikemukakan Yalom [83]. Proses konseling berlangsung sesuai dengan
tahapan yang direncanakan, hanya saja waktu yang dibutuhkan untuk me-
nyelesaikan topik atau permasalahan klien tidak seketat sebagaimana yang
terjadwal. Terdapat topik pembahasan yang membutuhkan waktu lebih la-
ma atau lebih singkat dari alokasi waktu yang direncanakan. Namun secara
umum masih sejalan dengan rencana.
Konseling itu bukan suatu kegiatan penyajian materi, tetapi pemecahan
terhadap masalah-masalah yang dihadapi klien secara riil. Karenanya pe-
doman konseling kelompok yang disusun itu, bukan pedoman materi yang
harus diberikan, tetapi lebih merupakan suatu topik untuk mendekatkan
pada masalah yang dihadapi klien. Pengaturan waktu yang digunakan un-
tuk memecahkan masalah klien ini dilakukan secara fleksibel sekalipun ada
batas waktu yang dipatuhi. Dengan kata lain, durasi dibutuhkan untuk me-
nyelesaikan suatu masalah bergantung kepada temuan masalah klien dan
kemudahan dalam pemecahan masalah itu. Namun demikian, pertemuan
konseling kelompok ditetapkan sebanyak 12 kali, dan selama pertemuan itu
membahas masalah semua klien yang telah diprioritaskan dan disepakati
bersama.

6.3 Perubahan Tingkah Laku Antisosial


Hasil penelitian telah menunjukkan kepada kita bahwa derajat tingkah la-
ku antisosial remaja di Lapas Anak berdasarkan suatu klasifikasi yang telah
ditetapkan, tingkatannya adalah tinggi, yang rata-rata 40,357 untuk kelom-
pok perlakuan dan 40,143 untuk kelompok kontrol. Temuan ini merupak-
an suatu informasi baru karena belum pernah dijumpai pada penelitian-
penelitian terdahulu berkenaan dengan tingkat atau derajat tingkah laku
antisosial semacam ini, lebih khusus lagi di kalangan remaja delinkuen.
Berdasarkan berbagai penelitian telah diketahui bahwa di kalangan re-
maja yang delinkuen, prevalensi gangguan tingkah lakunya sangat tinggi,
tentunya termasuk remaja yang menjadi anak didik pemasyarakatan. Ha-
sil penelitian ini tentunya mendukung sekaligus memperdalam penelitian
yang menyangkut gangguan tingkah laku, karena subjek yang diteliti ini
menunjukkan tingginya tingkat tingkah laku antisosialnya.
Sekalipun para remaja yang dibina Lapas anak berada dalam penga-

85
Pembahasan

wasan yang relatif ketat oleh petugas Lapas, rata-rata derajat antisosialnya
masih terjadi. Ini artinya, pengawasan yang dialami mereka tidak secara
otomatis membuat turunnya intensitas tingkah laku antisosial, dan secara
potensial tetap dipertahankan oleh mereka, hanya saja manifestasi tingkah
laku antisosialnya berbeda dengan ketika mereka berada di lingkungan so-
sial yang terbuka. Berdasarkan observasi yang bersifat sekunder, diperoleh
keterangan bahwa di Lapas Anak ada perkelahian sesama anak didik pema-
syarakatan, penggunaan obat-obat tertentu (misalnya antimo) untuk obat
penenang, merokok secara sembunyi-sembunyi, “narget” uang kepada anak
tahanan, dan minta uang kepada tamu Lapas sekalipun tidak dibenarkan.
Berdasarkan hasil pengukuran, tingkah laku antisosial mereka ini kenyata-
annya juga tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Tyrer [76] dan
koleganya yang menyatakan bahwa penderita gangguan psikopatik memili-
ki sifat-sifat agresif, impulsif, tidak berperasaan, tidak bertanggung jawab,
dan labil.
Apakah tingkah laku antisosial ini dapat berubah ? Sejalan dengan ran-
cangan penelitiannya, pretest-posttest control group design, penelitian ini
dilakukan pengukuran sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) intervensi
pada kelompok-kelompok sampel. Pengukuran posttest, menunjukkan bah-
wa derajat maupun rata-rata intensitas tingkah laku antisosial remaja pada
kelompok perlakuan terjadi penurunan, yaitu dari derajat tingkah laku an-
tisosial tinggi menjadi rendah, yang intensitasnya semula 40,357 menjadi
33,000 atau rata-rata penurunannya sebesar 7,357. Sedangkan pada kelom-
pok kontrol tidak terjadi penurunan derajat tingkah laku antisosialnya se-
hingga tetap tinggi, meskipun intensitas tingkahlaku antisosialnya menurun
dari semula sebesar 40,143 menjadi 38,571 atau rata-rata penurunannya se-
besar 1,000. Jika dikomparasi pada kedua kelompok sampel tampak bahwa
penurunan tingkah laku antisosial remaja pada kelompok kelola lebih besar
dibandingkan pada kelompok kontrol. Dengan demikian, meskipun kelom-
pok kontrol juga terjadi penurunan/perubahan tingkah laku antisosialnya,
tetapi penurunan ini tidak sekuat pada kelompok perlakuan.
Kalau dilihat dari rentangan perubahannya, pada kelompok perlakuan
terjadi penurunan intensitas tingkah laku antisosialnya pada rentangan 2
hingga 18 poin (point), sementara pada kelompok kontrol perubahannya
pada rentangan -7 hingga 8. Jika dibandingkan intensitas perubahannya itu,
jelas bahwa perubahan pada kelompok perlakuan bersifat positif, sementara
pada kelompok kontrol tidak selalu positif. Tepat yang dikemukakan oleh
Gabel [28] bahwa terapi untuk anak yang mengalami gangguan tingkah laku
dapat dilakukan dengan psikoterapi kelompok.
Yang perlu memperoleh penegasan di sini adalah faktor apa yang me-

86
Pembahasan

nyebabkan perubahan tingkah laku antisosial pada kelompok perlakuan ini


? Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling kelompok
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap perubahan tingkah laku an-
tisosial remaja dengan F = 5,428 dan p = 0,032. Variabel lain yang sebe-
lumnya juga diduga dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku antisosial
remaja, yaitu pendidikan, pembinaan remaja di Lapas, usia, inteligensi, dan
hubungan dengan orangtua, secara nyata tidak mempengaruhi perubahan
tingkah laku antisosial remaja, yang secara statistik diperoleh p > 0,05.
Ada dua alasan konseling kelompok mempu mengubah tingkah laku an-
tisosial remaja di Lapas Anak secara bermakna. Pertama, dalam konseling
kelompok, klien secara langsung memperoleh kritik, saran, dan pandangan
dari anggota kelompok secara langsung dengan penuh penerimaan, keter-
bukaan, dan penghargaan. Secara interaktif mereka membicarakan dan
mempertimbangkan berbagai umpan balik itu untuk kebaikan diri klien.
Jadi klien belajar secara behavioral dalam situasi sosial nyata [18,29,65].
Kedua, mengacu pada pandangan Yalom [83], konseling kelompok memi-
liki unsur yang disebutnya sebagai faktor kuratif, yaitu elemen yang tercipta
dan memberi kontribusi bagi peningkatan kondisi kesehatan mental klien.
Faktor kuratif yang dimaksud meliputi: membina harapan, universalitas,
pemberian pengetahuan dan informasi, altruisme, pengulangan korektif ke-
luarga asal, pengembangan teknik sosialisasi, peniruan tingkah laku, bela-
jar menjalin hubungan interpersonal, kohesivitas kelompok, katarsis, dan
faktor-faktor eksistensial.
Faktor kuratif ini selalu terjadi dalam konseling kelompok, sehingga ter-
jadi perubahan pada klien sebagaimana yang diharapkan, dan faktor kuratif
ini terjadi karena konselor selalu menciptakan kondisi yang memudahkan
untuk berkembang yang disebut dengan facilitative counseling condition,
yang meliputi: adanya hubungan psikologis, konselor bersikap pengertian
secara empati, kongruensi, dan penghargaan kepada klien.
Proses belajar secara behavioral dan faktor kuratif tadi sekalipun dapat
terjadi pada situasi di luar hubungan konseling kelompok, tetapi berda-
sarkan pengamatan di lingkungan Lapas anak tempat penelitian ini tidak
memungkinkan untuk terjadi, termasuk di dalam situasi sekolah, pembina-
an keterampilan, atau lainnya yang diselenggarakan oleh Lapas. Sekalipun
ada proses belajar dan elemen kuratif tertentu yang terjadi pada mereka,
keadannya tidak atau kuran kondusif. Karena itu berbagai faktor yang se-
cara teoritik dapat mengurangi tingkah laku antisosial, yaitu pembinaan di
Lapas, faktor personal remaja (IQ, usia, lama sekolah), dan hubungan de-
ngan orangtua, dalam waktu yang relatif singkat tidak mampu mendorong
bagi pengurangan tingkah laku antisosial anak.

87
Pembahasan

Sebagai salah satu model dalam intervensi dalam peningkatan kesehatan


mental, konseling kelompok memang memiliki berbagai keunggulan diban-
dingkan dengan bentuk intervensi lainnya. Jika dibandingkan dengan ben-
tuk pendidikan mental (seperti ceramah atau pengajaran yang sejenis) yang
secara periodik diberikan di Lapas Anak Blitar, intervensi konseling kelom-
pok sangat tepat bagi anak didik pemasyarakatan, karena menggunakan
pendekatan personal dan hubungan psikologis dengan subjek sasaran, yang
pendekatan seperti ini sangat dibutuhkan oleh mereka.

Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa perubahan tingkah laku an-


tisosial itu termasuk yang sulit dilakukan. Studi yang dilakukan Feldman
[47] menunjukkan bahwa psikoterapi terhadap anak-anak yang antisosial
dengan teknik modifikasi perilaku dan kerja sosial kelompok dilaksanakan
dalam rentangan 8 - 29 sessi (M = 22,2 sessi). Memodifikasi tingkah laku
antisosial pada anak lebih mudah dilakukan dibandingkan orang dewasa,
mengingat kepribadian orang dewasa telah terbentuk. Mengacu pada studi
yang dilakukan Feldman tadi, konseling kelompok ini yang dilakukan sela-
ma 12 kali sessi dengan sasaran remaja di bawah 18 tahun adalah termasuk
wajar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konseling kelompok dapat


mengubah tingkah laku antisosial remaja di Lapas Anak. Temuan ini se-
kaligus memperkuat telaah teoritik, bahwa anak delinkuen pun dapat di-
berikan konseling untuk mengubah tingkah lakunya. Meskipun gangguan
tingkah laku itu tidak selalu mengarah bagi terbentuknya kepribadian an-
tisosial pada masa dewasanya, tetapi pemberian intervensi secara lebih dini
dimungkinkan dapat mempercepat menyembuhkan atau memulihkan gang-
guan tingkah laku remaja, dan pada akhirnya dapat secepatnya remaja
melakukan penyesuaian sosial secara tepat.

Dibandingkan dengan konseling individual, jelas lebih efesien, dan klien


dapat belajar secara langsung pada realitas sosialnya. Jika diselenggarak-
an konseling individual, tentunya membutuhkan waktu yang sangat banyak
untuk menangani klien, misalnya setiap klien diberikan konseling selama 18
jam, maka untuk menyelesaikan sejumlah 14 klien membutuhkan waktu:
240 jam. Selain itu, dari segi kemudahan proses pembelajaran bagi klien,
konseling individual kurang memberikan situasi sosial nyata yang memung-
kinkan klien dapat belajar secara langsung dari situasi sosialnya itu, karena
dalam konseling individual kontak yang terjadi hanyakan konselor-klien,
sedangkan pada konseling kelompok anggota berinteraksi dengan konselor
dan antar anggota kelompok, sehingga proses pembelajaran dapat terjadi
dengan lebih mudah karena klien berada pada situasi sosial yang nyata.

88
Pembahasan

6.4 Keterbatasan Penelitian


Sekalipun penelitian ini secara empirik dapat menjawab pertanyaan peneli-
tian dan hasilnya sesuai dengan hipotesisnya, tentunya penelitian ini terda-
pat beberapa keterbatasan, yang perlu diperhatikan. Keterbatasannya itu
di antaranya hal berikut.

Instrumen pengukuran
Penelitian hasil (out come) konseling dan psikoterapi, idelanya menggu-
nakan alat pengukuran yang komprehensif. Kazdin [47] mengemukakan
dimungkinkan penggunaan alat itu: tes kepribadian, tes prestasi, observasi,
angket (yang diisi: anak yang bersangkutan, orangtua, sahabatnya, pihak
yang mengetahui atau masyarakat luas, dan sebagainya). Semakin leng-
kap instrumen pengukurannya, maka semakin menggambarkan realitas ha-
sil suatu terapi. Penggunaan alat ukur yang komprehesif itu tentu tidak
mungkin dilaksanakan bagi keperluan penelitian ini karena keterbatasan-
keterbatasan dana dan waktu. Namun demikian dalam penelitian ini telah
menggunakan dua interumen pengukuran, yaitu (1) angket skala penilaian,
yang diisi oleh subjek secara langsung dan mengungkap tingkah laku an-
tisosialnnya yang berada pada alam sadarnya, dan (2) tes proyektif yang
mengukur tingkah laku antisosial yang terkandung di dunia bawah sadar.
Penggunaan dua instrumen ini diharap dapat saling melengkapi dan sedikit
mengatasi kekurangan-kekurangan dari masing-masing alat pengukuran.
Masih berhubungan dengan instrumen pengukuran ini, angket skala pe-
nilaian yang digunakan dalam penelitian ini bukanlah instrumen yang telah
baku. Angket disusun oleh peneliti dan dilakukan uji coba terhadap popu-
lasi yang sangat terbatas untuk mengukur validitasnya. Sekalipun validitas
konstruknya telah diupayakan terpenuhi dan melalui suatu uji coba, vali-
ditas yang dicapai merupakan validitas internal atau validitas item, dan
belum menjamin validitas eksternalnya (external validity).

Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah prediktif, yang berusaha me-
ramalkan akibat suatu perlakuan. Berdasarkan hasil pengukuran seming-
gu setelah intervensi diketahui secara bermakna bahwa konseling kelompok
mempengaruhi intensitas tingkah laku antisosial remaja yang dibina Lapas
Anak. Karena itu penelitian ini bukan suatu penelitian yang bersifat jangka
panjang (longitudinal). Kita tidak mengetahui secara pasti tentang: (1) se-
berapa lama penurunan intensitas tingkah laku antisosial itu dipertahankan

89
Pembahasan

oleh anak; dan (2) bagaimana kecenderungan perubahannya.


Dengan berbagai keterbatasan yang ada ini, kita juga tidak dapat meng-
esampingkan temuan dari penelitian ini, bahwa konseling kelompok telah
mengurangi intensitas tingkah lakunya secara kuantitatif, maupun secara
kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diramalkan bahwa pe-
nerapan konseling kelompok di lapas anak dapat mengurangi tingkah laku
antisosial mereka.
Berdasarkan pengalaman selama penelitian, diskusi di luar proses kon-
seling, sebagian di antara mereka secara sadar menyatakan manfaat dari
proses konseling kelompok, karena telah memecahkan sebagian dari per-
masalahan yang dihadapinya yang menjadi pemikirannya setiap hari, yaitu
semakin dekat dengan hari pembebasanya dari Lapas, mereka semakin ce-
mas, khususnya mendapatkan pekerjaan dan menghadapi masyarakatnya.

Jangkauan hasil penelitian


Sesuai dengan metode penelitian ini, khususnya lagi dalam hal pengukuran
hasil konseling, yang dilakukan dengan dua cara, yaitu tes proyektif (War-
tegg dan grafis) dan angket dengan skala penilaian. Maka, dapat dipahami
bahwa perubahan tingkah laku yang teramati adalah tingkah laku antisosial
yang terkandung di bawah sadar dan hal ini bersifat potensial berdasarkan
hasil pengukuran melalui hasil tes proyektif, dan tingkah laku antisosial se-
bagaimana yang disadari atau menurut penilaian subjektif oleh responden.
Disadari bahwa perubahan tingkah laku antisosial di sini belum sampai
pada tingkatan pengukuran tingkah laku nyata yang teramati. Artinya,
pengukuran dengan menggunakan tes proyektif dan angket skala penilaian
itu belum dapat disimpulkan apakah juga terjadi penurunan tingkah laku
antisosial dalam tingkah laku nyata sehari-harinya, menurut standar sosial,
misalnya menurut teman sebayanya, orangtua, pembina lembaga pemasya-
rakatan, guru, dan seterusnya.
Dalam batas-batas jangkauan penelitian ini, berdasarkan hasil pengu-
kuran yang digunakan, yang ternyata menunjukkan pengurangan tingkah
laku antisosial, maka dapat diramalkan bahwa tingkah laku antisosialnya
secara nyata sehari-harinya dimungkinkan secara bermakna juga berpenga-
ruh. Hal ini dapat didukung oleh kenyataan bahwa mereka yang mengikuti
konseling kelompok bersikap lebih ramah, dapat menghargai peneliti, mau
menghampiri dan menyapa peneliti lebih sopan, tidak suka mengolok-olok
atau mengumpat orang lain dibandingkan dengan sebagian remaja yang ti-
dak mengikuti konseling kelompok. Singkatnya, berdasarkan pengamatan
sekilas, anak-anak yang mengikuti konseling kelompok memiliki keteram-
pilan sosial lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti

90
Pembahasan

konseling kelompok.

Variabel penelitian
Terdapat sejumlah variabel yang tidak dikontrol dalam penelitian ini, yaitu
(1) dorongan sosial yang diperoleh subjek, yaitu bagaimana pergaulan anak
dengan pembina di Lapas Anak, hubungan mereka dengan guru-guru me-
reka, dan persahabatan mereka di Lapas anak. Kelompok pergaulan dan
hubungan sosial ini prinsipnya dapat mempengaruhi perilaku seseorang; (2)
kompleksitas gangguan yang dihadapi klien, karena klien dapat mengalami
lebih dari satu gangguan; dan (3) motivasi dan dorongan awal untuk mem-
perbaiki citra dirinya, serta pola kepribadian klien adalah variabel-variabel
yang dimungkinkan akan mempengaruhi percepatan perubahan tingkah la-
ku antisosialnya.
Karena persoalan waktu penelitian dan keterbatasan orang yang dapat
berpartisipasi dalam penelitian ini, serta penggunaan intrumen yang tepat
untuk pengukuran ini, variabel-variabel ini tidak dapat diteliti, sekalipun
telah berusaha mengontrol berbagai variabel yang dimungkinkan mempe-
ngaruhi keberhasilan konseling kelompok.

Tempat penelitian
Penelitian ini diselenggarakan terhadap Anak didik pemasyarakatan di La-
pas Anak. Kita memahami bahwa lingkungan sosial mereka sangat terba-
tas, kegiatan dan perilaku mereka juga terkendali oleh sistem yang berlaku
di Lapas Anak itu. Sekalipun penelitian ini dilakukan secara khusus ter-
hadap anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku, tetapi tidak da-
pat memprediksi terhadap anak-anak yang mengalami gangguan yang sama
yang tidak sedang menjadi anak didik pemasyarakatan. Situasi kehidupan
terakhir anak dan konsekwensi-konsekwensi sosial yang secara riil dialami
jelas mempengaruhi dorongannya untuk melakukan perubahan tingkah la-
kunya.

Penyelenggaraan konseling kelompok


Konseling kelompok diselenggarakan tanpa disertai oleh pendamping konse-
lor. Secara prosedural penggunaan pendamping konselor bukan suatu yang
mutlak, tetapi diharapkan dapat membantu kelancaran proses konseling.
Sekalipun unsur pendamping konselor ini tidak mempengaruhi hasil pene-
litian, tetapi tidak adanya pendamping, beban konselor/pemimpin dalam
mengelola kenseling kelompok bertambah berat.

91
Pembahasan

Integrasi dengan intervensi lain


Konseling kelompok terbukti dapat mengurangi tingkah laku antisosial re-
maja yang dibina di Lapas Anak. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa
konseling kelompok dapat mengganti intervensi yang ada, tetapi dapat se-
bagai pelengkap dari sistem pembinaan yang lain.
Untuk dapat mempertahakan atau penurunan tingkah laku antisosial
remaja, konseling kelompok tidak dapat “bekerja sendirian”, dia harus ter-
integrasikan dengan sistem intervensi lainnya. Penurunan tingkah laku se-
telah konseling kelompok, dimungkinkan akan lebih baik lagi jika sistem
pembinaan/intervensi lainnya yang ada di Lapas anak juga memberikan du-
kungan dan suasana yang kondusif bagi upaya memperkuat kesehatan jiwa
remaja, misalnya pendekatan yang semata-mata “menakut-nakuti” remaja
tanpa ada rasa empati dapat menghambat bagi upaya penurunan tingkah
laku antisosial remaja. Dengan kata lain, intervensi yang diberikan di Lapas
anak perlu memperhatikan kebutuhan psikologis remaja.
Mengingat remaja di Lapas Anak sebagian besar adalah dari keluarga
kelas sosial rendah dengan pengasuhan yang kurang baik, maka upaya penu-
runan tingkah laku antisosial yang diupayakan melalui konseling kelompok,
dapat didukung dengan intervensi lain, seperti terapi keluarga. Dengan de-
mikian hasil yang dicapai melalui konseling kelompok dimungkinkan dapat
dipertahankan hingga di keluarganya. Hal ini sekaligus sebagai upaya pe-
ningkatan rasa tanggung jawab keluarga dalam pembinaan terhadap anak-
nya dan meringankan beban Lapas dalam membina anak pemasyarakatan.

92
7 | Kesimpulan dan Saran

7.1 Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sebelum mengikuti konseling kelompok, remaja yang dibina di Lapas


Anak, derajat tingkah laku antisosialnya adalah tinggi.

2. Remaja yang dibina di Lapas Anak, setelah konseling kelompok dipa-


parkan kepada kelompok perlakuan, derajat tingkah laku antisosial-
nya menurun menjadi tingkah laku antisosial rendah pada kelompok
perlakuan, sedangkan untuk kelompok kontrol derajat tingkah laku
antisosialnya tetap tinggi.

3. Komparasi rata-rata intensitas tingkah laku antisosial remaja sebelum


dan sesudah konseling kelompok menunjukkan, bahwa pada kelompok
perlakuan terdapat perbedaan secara bermakna intensitas tingkah la-
ku antisosial sebelum dan sesudah mengikuti konseling kelompok, de-
ngan nilai t = -5,11 dan p = 0,00, sedangkan pada kelompok kontrol
tidak terdapat perbedaan secara bermakna dengan nilai t =-1,38 dan
p = 0,19. Dengan demikian hipotesis penelitian diterima.

4. Berdasarkan hasil analisis kovarian, konseling kelompok berpengaruh


terhadap penurunan tingkah laku antisosial remaja yang dibina di
Lapas Anak dengan mengontrol variabel kesehatan organik pada otak,
kondisi psikiatris, agama, suku bangsa, dan status sosial orangtua,
hubungan sosial, sekaligus memperhitungkan variabel perancy yang
meliputi : usia, masa pembinaan, status pembinaan, waktu telah di
bina, lama sekolah, inteligensi, dan hubungan remaja dengan orangtua
(F = 5,428 dan p = 0,032).

5. Variabel konseling kelompok merupakan faktor yang menentukan bagi


perubahan tingkah laku antisosial remaja di Lapas Anak, sedangkan

93
Kesimpulan dan Saran

varaibel lain yang turut dianalisis tidak memberikan sumbangan yang


bermakna bagi perubahan tingkah laku antisosial remaja, dengan p >
0,05. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tingkah laku antisosial se-
belum dan sesudah konseling kelompok semata-mata disebabkan oleh
pemaparan konseling kelompok.

7.2 Saran-saran
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka terdapat beberapa saran dia-
jukan berikut ini.
1. Karena konseling kelompok ternyata dapat mengurangi tingkah laku
antisosial remaja yang dibina di Lapas Anak, maka sebaiknya kon-
seling kelompok dapat diberikan kepada anak didik pemasyarakatan
di Lapas Anak sebagai satu kesatuan dengan sistem pembinaan yang
telah ada.
2. Untuk mengetahui seberapa lama perubahan tingkah laku antisosial
itu dipertahankan, untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan peneli-
tian yang bersifat longitudinal, atau penelitian dengan analisis kecen-
derungan, sekaligus dengan menggunakan alat ukur lain, seperti hasil
observasi atau skala penilaian yang dilakukan oleh pembina Lapas
atau orangtua.
3. Jika program ini diterapkan di Lapas Anak, penyelenggaraannya da-
pat ditingkatkan, misalnya konselor dibantu oleh pendamping (ko)
konselor, untuk meringankan bebannya dalam penyelenggaraan kon-
seling kelompok. Pendamping konselor ini harus menunjukkan kema-
uan kerjasama dengan konselor, mengerti peran yang dilakukan, dan
dapat diterima oleh klien.
4. Penyelenggaraan konseling kelompok dapat mempertimbangkan : ho-
mogenitas tingkat pendidikan dan usia klien, durasi dan frekwensi
pertemuan, serta jumlah klien dalam setiap kelompok sehingga akan
memperlancar proses konseling kelompok dan meningkatkan efekti-
vitasnya. Namun demikian, jika konselor memiliki kemampuan dan
waktu yang cukup, maka heterogenitas dalam hal tingkat pendidikan
klien dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dinamika kelompok.
5. Lapas Anak perlu mengembangkan sistem pembinaan yang empate-
tik, sehingga secara bersama-sama dan saling memberikan dukungan
bagi penurunan tingkah laku antisosial remaja yang diberikan melalui
konseling kelompok.

94
Referensi

[1] American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Washington, DC : Author.
[2] Anderson, J. C., at. al. 1987. DSM III Disorder in Preadolescent Children. Archieves
Journal of Psychiatry, 44, 69-76.
[3] Azwar, S. 1995. Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya. Edisi Kedua. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar.
[4] Badan Pusat Statistik, 1993. Statistik Kriminil, Sumber Data Lembaga Pemasyara-
katan 1991. Jakarta : BPS.
[5] Badan Pusat Statistik, 1997. Statistik Kriminil, Sumber Data Lembaga Pemasyara-
katan 1995. Jakarta : BPS.
[6] Becker, J. V., et al. 1995. Empirical research on Child Abuse Treatment : Report by
the Child Abuse and Neglect Treatment Working Group, American Psychological
Association. Journal of Clinical Child Psychology, 24 (Suppl), 23-46.
[7] Black, S.K. 1983. Short-Term Counseling : A Humanistic Approach for the Helping
Prefessions. Menlo Park : Addison-Wesley Pub. Co.
[8] Bloch, S. 1979. Assessment of Patients for Psychotherapy. British Journal of Psychi-
atry, 135, 193-208.
[9] Bloch, S., et al. 1979. Method for the Study Therapeutic Factors in Group Psycho-
therapy. British Journal of Psychiatry, 134, 257-263.
[10] Bohman, M. 1978. Some Genetic Aspects of Alcoholism and Criminality, A Popula-
tion of Adoptees. Archevis General of Psychiatry, 35, 269-276
[11] Bowlby, J. 1961. Chilhood Moursing and Its Implication for Psychiatry. American
Journal of Psychiatry, 118, 148-198.
[12] Caplan, G., dan Grunebaum, H. 1967. Perspective on Primary Prevention: A Review.
Archives General of Psychiatry, 17, 331-346.
[13] Capuzzi, D., dan Gross, D. R. 1991. Introduction to Counseling. Needham Heights :
Allyn and Bacon.
[14] Cavan, R. S., dan Ferdinand, T. N. 1975. Juvenile Delinquency. 3th edition. Phila-
delpia : J.B. Lippincott Company.
[15] Clarizio, H. F., dan McCoy, G. F. 1983. Behavior Disorder in Children. New York :
Harper and Row, Publisher.
[16] Cloninger, C.R., Reich, T., dan Guze, S. B. 1975. The Multifactorial Model of Dise-
ase Transmission : II. Sex Differences in the Familial Transmission of Sociopathy
(Antisocial Personality). British Journal of Psychiatry, 127, 11-22.
[17] Cloninger, C. R, et.al. 1978. Implication of Sex Differences in the Prevalences
of Antisocial Personality, Alcoholism, and Criminality for Familial Transmission.
Archevis General of Psychiatry, 35, 941-951.

95
Referensi

[18] Corey, G. 1995. Theory and Practice of Group Counseling. Pacific Grove, California
: Brooks/Cole Publishing Company.
[19] Costin, F., dan Draguns, J. G. 1990. Abnormal Psychology : Pettern, Issues, Inte-
rvention. New York : John Wiley and Sons.
[20] Crowe, R. R. 1974. An Adoption Study of Antisocial Personality. Archevis General
of Psychiatry, 31, 785-791.
[21] DeFransisco, J. J. 1995. Conduct Disorder : The Crisis Continous. New York : APA.
[22] Departemen kesehatan RI, 1983. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Jakarta : Direktorat Jendral Pelayanan Medik Depkes RI.
[23] Elmes, D. G., Kantowitz, B. H., dan Roediger, H. L. 1981. Method in Experimental
Psychology. Boston : Houghton Mifflin Company.
[24] Eppight, T. D. 1993. Comorbidity of Conduct Disorder and Personality Disorder in
an Incarcerated Juvenile Population. American Journal of Psychiatry, 150, 1233-
1236.
[25] Ettin, M. F. 1992. Foundation and Application of Group Psychotherapy, A Sphare
of Influence. Boston : Allyn and Bacon
[26] Evans, J. 1983. The Treatment Specialist : An Emerging Role For Counselors Within
the Criminal Court System. The Personnel and Guidance Journal, 61, 349-351.
[27] Eysenck, H. J. 1965. The Effects of Psychotherapy. International Journal of Psychi-
atry, 1, 97-142.
[28] Gabel, S. 1997. Conduct Disorder in Grade-School Children. Dalam Noshpitz, Joseph
D.(Peny.). Handbook of Child and Adolescent Psychiatry. New York : John Wiley
and Son, Inc.
[29] Gazda, G. M. 1989. Group Counseling. 4th edition. Boston : Allyn and Bacon
[30] George, R. L. dan Cristiani, T. S. 1990. Counseling, Theory and Practice. 3th edition.
Boston : Allyn and Bacon.
[31] Gibson, R. L. dan Mitchell, M. H. 1981. Introduction to Guidance. New York :
McMillan Publishing Co. Inc.
[32] Goldenberg, H. 1983. Contemporery Clinical Psychology. 2nd edition. Monterey,
California : Brooks/Cole Publishing Co.
[33] Hadi, S. 1980. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.
[34] Handley, S. W. dan Strupp, H. H. 1976. Contemporery Views of Negative Effects
in Psychotherapy, An Integrated Acconunt. Archieves Jornal of Psychiatry, 33,
1291-1302.
[35] Harmon, F.M., dan Baron, A. 1982. A Student-Focused Model for the Development
of Counseling Service. The Personnel and Guidance Journal, 61, 60, 290-293.
[36] Hartanto. 1990. Kenakalan Remaja Dilihat dari Aspek Perpisahan dengan Orangtua
dan Aspek Depresi. Jiwa, 23, 57-62
[37] Harris, D. 1995. Group Counseling with the adolescent Offender. University of
Arkansas.
[38] Hjelle, L. A. dan Ziegler, D. J. 1987. Personality Theories, Basic Assumptions,
Research, and Applications. 2nd edition. Auckland : McGraw-Hill Book Company.
[39] Higgin, J.E., dan Kleinbaum, A.P. 1985. Introduction Randomized Clinical Trial,
Part I of the Series : The Basic of Randomized Clinical Trial with an Emphasis
on Contraceptic Research. North Coralina : Family Health International.
[40] Hoare, P., dan McIntosh, N. 1993. Essential Child Psychiatry. Edinburgh : Churchill
Livingstone
[41] Holingshead, A.B. dan Redlich, F.C. 1970. Social Stratification and Psychiatric
Disorder. Dalam Smelser, N. J. dan Smelser, W.T. (ed.) Personality and Social
System. 2nd edition. New York : John Wiley and Son. Inc.

96
Referensi

[42] Hurlock, E. B. 1992. Personality Development. New Delhi : Tata McGraw-Hill


Publishing Co.
[43] Ivey, A. E., dan Simek-Downing, L. 1980. Counseling and Psychotherapy : Skills,
Theory, and Practice. New Jersey : Prentice-Hall. Inc.
[44] Karlsson, J. L. 1991. Genetics of Human Mentality. New York : Praiger.
[45] Kartono, K. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung : Mandar
Maju.
[46] Kashani, J. H., et. al. 1987. Psychiatric Disorder in a Community Sample of
Adolescents. American Journal of Psychiatry, 144, 5, 584-589.
[47] Kazdin, A. E. 1988. Child Psychotherapy, Developing and Identifying Effective Tre-
atment. New York : Pergamon Press.
[48] Kratcoski, P. C. dan Kratcoski, L. D. 1979. Juvenile Delinquency. Engliwood Cliff,
New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
[49] Liebert, R. M. dan Liebert, L. L. 1995. Science and Behavior : An Introduction
to Methods of Psychological Research. 4th edition. Engliwood Cliff, New Jersey:
Printice-Hall, Inc.
[50] Long, P. W. 1989. Children’s Conduct Disorder. The Harvard Medical School Mental
Health Letter, Maret 1989.
[51] Luborsky, L., Singer B., dan Luborsky, L. 1975. Comparative Studies of Psychothe-
rapies. Archieves of General Psychiatry, 32, 995-1008
[52] Luntz, B. K., dan Widom, C. S. 1994. Antisocial Personality Disorder in Abused and
Neglect Children Grown Up. American Journal of Psychiatry, 151, 670-674.
[53] Lyttle, J. 1986. Mental Disorder, Its Care and Treatment. London : Bailliere Tindall.
[54] Martha, I. N., dan Sulastri. 1993. Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Blitar,
Selayang Pandang. Blitar : Lembaga Pemasyarakatan Anak.
[55] Marx, M. H., dan Cronan-Hillix, W. A. 1988. Systems and Theories in Psychology.
4th edition. New York : McMillan Publishing Co. Inc.
[56] Mednick, S. A., dan Hutchings, B. 1978. Genetic and Psychophysiological Factors in
Asocial Behavior. Journal of American Academy of Child Psychiatry, 17, 209-223.
[57] Milin, R., et al. 1991. Psychopathology Among Substance Abusing Juvenile Offen-
ders. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 30,
567-574
[58] Monro, E.A., Manthei, R.J., dan Small, J.J. 1983. Penyuluhan (Counselling), Suatu
Pendekatan Berdasarkan Keterampilan. Jakarta : Ghalia Indonesia.
[59] Navid, J. S., Rathus, S.A., dan Greene, B. 1997. Abnormal Psychology in a Changing
World. Upper Saddle River, New Jersey : Prentice-Hall.
[60] Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
[61] Nelson-Jones, R. 1982. The Theory and Practice of Counselling Psychology. London
: Holt, Rinehart and Winston.
[62] Nielsen, J. 1970. Criminality among Patients Whith Klinerfelter’s Syndrome snd the
XYY Syndrome. British Journal of Psychiatry, 117, 365-369.
[63] Offord, D. R., Allen, N., dan Abrams, N. 1978. Journal of American Academy of
Child Psychiatry, 17, 224-238.
[64] Offord, D.R. 1984. Early Onset of Antisocial Behavior. Dalam Levine, Melvin D. dan
Satz, Paul.(Peny.). Middle Chilhood : Development and Dysfunction. Baltimore
: University Park Press.
[65] Ohlsen, M. M. 1977. Group Counseling. 2nd New York : Holt, Rinehart and Winston.
[66] Pietrofesa, J. J., Leonard, G. E. dan Hoose, W. V. 1978. The Authentic Counselor.
2nd edition. Chicago : Rand McNally College Publishing Company.

97
Referensi

[67] Permutter, D. 1992. Mental Health Promotion and Primary Prevention. San Franci-
sco : Jossey-Bass Inc.
[68] Prawitasari, J. E. 1997. Pendekatan Kelompok Interaksional. Makalah. Disampaikan
pada Seminar Terapi Kelompok di Universitas 17 Agustus Surabaya, 1 April 1997.
[69] Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok : Dasar dan Profil.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
[70] Rutter, M. 1984. Child Experience and Personality Development. Australian and
New Zealand Journal of Psychiatry, 18, 314-327
[71] Sadli, S. 1983. Metode Penggunaan Projective Test. Dalam Koentjaraningrat (Re-
daksi). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.
[72] Sahakian, W. S. 1976. Introduction to The Psychology of Learning. Chicago : Rand
McNally Collage Publishing.
[73] Sim, M. 1981. Guide to Psychiatry. 4th. edition. Edinburgh : Chuechill Livingstone.
[74] Singer, M. 1974. Delinquency and Family Disciplinary Configurations, An Elabo-
ration of the Superego Lacunae Concept. Archevis General of Psychiatry, 31,
795-799.
[75] Strayhorn, J. M. 1987. Control Group for Psychosocial Intervention Outcome Studies.
American Journal of Psychiatry, 144, 275-282
[76] Tyrer, P., at al. 1979. Reliablity of Schedule for Rating Personality Disorder. British
Journal of Psychiatry, 135, 168-174.
[77] Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan
[78] Undang-Undang RI No. 3 Tahun 1997, tentang Pengadilan Anak.
[79] Vannicelli, M. 1990. Group Psychotherapy Whith Adult Children of Alcoholics.
Dalam Seligman, Milton dan Marshak, Laura E. (Peny.) Group Psychotherapy,
Intervention with Special Population. Boston : Allyn and Bacon.
[80] Walker, J. T. 1985. Using Statistics for Psychological Research. New York : Holt-
Saunders.
[81] White B., dan Tjandraningsih, I., 1998. Child Workers in Indonesia. Bandung :
Akatiga
[82] Wisker, G. W. 1977. The Disorganized Personality. 3th edition. Tokyo : McGraw-Hill
Kogakusha, Ltd.
[83] Yalom, I. D. 1975. The Theory and Practice of Group Psychotherapy. 4th edition.
New York : Basic Books, Inc.
[84] Zainuddin, M. 1988. Metodologi Penelitian. Surabaya : Universitas Airlangga.
[85] Zigler, E. 1994. Early Intervention to Prevent Juvenile Delinquency. The Harvard
Mental health Letter, September.
[86] Zoccoillo, M. 1992. The Outcome of Chilhood Conduct Disorder : Implication for De-
fining Adult Personality Disoder and Conduct Disorder. Psychological Medicine,
22, 971-986.

98
Lampiran

99
Referensi

100

Anda mungkin juga menyukai