(7)
Hubungan Gereja dengan
Gereja-Gereja (Lembaga
Gerejawi) dan hubungan
dengan Negara
HUKUM GEREJA
(7) Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga Gerejawi) dan hubungan dengan
Negara
Untuk memahami dasar kepelbagaian Gereja yang hadir pada saat ini, baik
dari kelembagaan maupun aliran teologi yang diikuti, bisa mengacu pada
sejumlah rumusan eklesiologi yang tersedia di dalam Alkitab dan sejarah
PI yang “melahirkan” berbagai lembaga dan aliran kegerejaan tersebut.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI
Dalam situasi demikian, sangat wajar apabila Negara dipandang dengan cara sangat
negatif.
Bentuk hubungan yang dibangun melalui pesan Wahyu 13 adalah pemisahan tajam
antara Gereja dengan Negara.
Namun di balik pemisahan tajam tersebut Gereja ditempatkan dalam posisi
berhadap-hadapan dengan Negara.
Dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan suara
kenabiannya kepada Negara.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)
Sekalipun adanya hubungan dalam dinamika yang sangat hidup dengan sejumlah
ketegangan merupakan sesuatu yang wajar dan sudah dari sono-nya, namun
dinamika hubungan tersebut tetap perlu disikapi secara kritis dan prihatin.
Ketegangan yang terbangun antar Gereja bisa merusak citra Gereja itu sendiri dan
menghambat pelaksanaan misinya di tengah-tengah dunia.
Pada saat yang sama, pertentangan-permusuhan yang ada merusak hakikat Gereja
sebagai Tubuh Kristus yang kepadanya hanya satu, yakni Yesus Kristus.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)
Sama halnya dengan organisasi Gereja, demikian pula dengan yayasan Gerejawi.
Dijumpai sejumlah yayasan Gerejawi, baik yang merupakan produk warga Gereja
antar denominasi atau suatu lembaga Gereja tertentu di Eropa dan Amerika,
maupun yayasan Gerejawi yang merupan produk warga Gereja di dalam negeri.
Sejumlah yayasan Gerejawi tersebut secara terbatas ambil bagian di dalam
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kemanusiaan, misalnya
bidang kesehatan, pendidikan, panti asuhan, dll.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)
Terlepas dari berbagai kemungkinan dalam menyikapi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh yayasan
Gerejawi tersebut, dari sudut Hukum Gereja, bentuk hubungan antara Gereja sebagai lembaga dengan
yayasan-yayasan Gerejawi harus diatur.
Pengaturan tersebut diperlukan terkait dengan tanggung jawab Gereja terhadap warganya, agar anggota
Jemaat terjaga dan dilindungi dari berbagai kemungkinan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang
dianut oleh suatu lembaga Gereja.
Demikian, misalnya, ketika dilakukan kegiatan persidangan Gerejawi yang bersifat ekumenis, maka
pelayanan Perjamuan Kudus dilayankan oleh dan atas nama salah satu organisai Gereja dimana kegiatan
persidangan tersebut berlangsung.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM
SEJARAH GEREJA
Negara dan Agama atau Gereja merupakan dua lembaga yang secara hakiki berbeda.
Agama atau Gereja terutama berkenaan dengan relasi antara manusia dengan Tuhannya, sementara negara
lebih berkenaan dengan perhubungan antar manusia di dalam suatu kehidupan bersama.
Namun demikian agama atau Gereja juga terkait dengan perhubungan antar manusia dalam kehidupan
bersama, sehingga sesungguhnya baik negara maupun agama atau Gereja keduanya sama bertujuan
mengatur kehidupan manusia.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM SEJARAH GEREJA
Kalau demikian halnya, lalu: bagaimana sebaiknya bentuk hubungan antara Negara
dengan agama/Gereja mesti diatur?
Di dalam sejarah telah berkembang sejumlah model bentuk hubungan antara Negara
dengan agama/Gereja, yakni:
(1) negara dipersatukan dengan agama/ Gereja;
(2) negara dipisahkan dari agama/Gereja; dan
(3) pembedaan dan kerjasama antara Negara dengan agama/Gereja.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM SEJARAH
GEREJA
Untuk model (1), hukum agama dijadikan hukum negara dan terdapat hanya satu agama yang
dijadikan sebagai agama negara. Dalam hal ini akan terjadi kemungkinan: negara menguasai atau
memperalat agama/Gereja demi kepentingan politiknya, atau agama/Gereja menguasai negara.
Untuk model (2), karena urusan negara dipisahkan dari urusan agama maka tidak diperlukan
menjadi salah satu agama sebagai agama negara. Sistem negara yang demikian sering disebut
sebagai negara sekuler.
Untuk model (3) urusan negara dengan urusan agama tidak dicampur-adukkan. Namun demikian,
negara melalui pemerintah mencoba mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan
dengan agama melalui berbagai lembaga keagamaan yang ada.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI
INDONESIA
Di dalam sejarah perkembangan hidup bangsa dan negara Indonesia, hubungan antara agama dengan negara
telah terjadi pergumulan yang serius.
Walaupun pada akhirnya bangsa Indonesia mampu mencapai kesepakatan tentang bentuk hubungan antara
agama dan negara yang dianggap cocok, namun pergumulan tersebut sebenarnya belum sungguh-sungguh
berakhir.
Kenyataan menunjukkan bahwa pergumulan dan benturan-benturan masih terus berlangsung sehingga
menuntut pemikiran-pemikiran yang terus berkembang.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Demikian, misalnya, walaupun Pancasila (sila pertama) telah mengatur bagaimana hubungan antar agama di
Indonesia, namun dalam pelaksanaannya hubungan antar agama di Indonesia tidak selalu berjalan mulus.
Hal ini terjadi karena di dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur fanatisme yang berpotensi menimbulkan
konflik.
Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu berkembang di tanah air kita dianut prinsip persatuan antara negara dan
agama.
Raja-raja pada masa lampau dipandang sebagai penjelmaan, penitisan atau inkarnasi dari Dewa Wisnu san
Syiwa.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Bentuk hubungan antara agama dan negara secara serius dibicarakan muncul pada masa
Pergerakan Nasional.
Di dalamnya ada perdebatan antara keinginan kelompok Islam yang menghendaki adanya
persatuan antara negara dengan agama (Islam),
kelompok Komunis menghendaki adanya pemisahan dan menganjurkan agar jangan
terjadi percampuran antara agama dengan perserikatan (negara),
dan kelompok Nasionalis menghendaki berdirinya negara demokrasi sehingga negara
harus dipisahkan dari agama.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Pada masa persidangan BPUPKI pengaruh Islam masih sangat kuat, dalam
banyak hal “mengalahkan” perjuangan kaum Nasionalis, sebagaimana
tampak pada Piagam Jakarta.
Namun “kesepakatan” yang sudah dihasilkan oleh BPUPKI mengalami
“revisi” kembali sesudah Indonesia merdeka pada masa Sidang PPKI
sebagai buah dari usulan masyarakat Indonesia Timur melalui utusan
Angkatan Laut Jepang.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INEDONESIA
Usulan itu kembali kepada usulan Ir. Soekarno pada sidang BPUPKI yang pertama,
khususnya berkaitan dengan persyaratan bagi Presiden (Presiden orang Indonesia asli yang
beragama Islam menjadi Presiden orang Indonesia asli), dan sila I Pancasila/UUD 45 ps.
29 ay. 1 (Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa).
Mengacu keputusan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia adalah negara yang agamais
namun menghendaki agar negara tidak mencampuri urusan agama dalam hal tidak
mencampuri hubungan masing-masing orang dalam kelompok agamanya sendiri dengan
Tuhan.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Upaya Gereja terus dilakukan, baik atas dukungan penuh dari Gereja di
Belanda maupun atas perjuangan Jemaat-jemaat yang sudah berhasil
dibangun di berbagai kawasan di Nusantara.
Namun upaya tersebut malah menimbulkan pertikaian antara Gereja
degan Pemerintah yang menyebabkan Gereja kembali ditaklukkan oleh
Pemerintah.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Akhirnya ditetapkan Tata Gereja Baru yang disetujui Gubernur Jenderal Van Diemen pada tahun
1643.
Beberapa prinsip tampak menjadi ciri penataan Gereja sepanjang Pemerintahan Kompeni, yakni:
(1) hak untuk menempatkan dan memindahkan pendeta dipegang oleh Pemerintah;
(2) rapat-rapat Majelis Jemaaat harus dihadiri unsur Pemerintah;
(3) surat-menyurat dibatasi dan khususnya berkaitan dengan surat-menyurat ke Gereja di Belanda
harus dikirim perantara Gubernur Jenderal yang berkuasa;
(4) pemerintah harus dilibatkan dalam rangka pelaksanaan disiplin Gereja.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Khusus di Kalimantan, sejarah penataan Gereja berjalan seiring dengan kehadiran para
pekabar Indil dari Jerman (RMG) pada tahun 1835 dan dilanjutkan oleh Basler Mission
pada tahun 1920.
Pada masa RMG, oleh karena perhatian utama ditujukan pada pembukaan setasi-setasi baru,
tidak ada secara khusus memberhatikan penataan Gereja, kecuali penegakkan cara hidup
yang dianggap Kristiani.
Pada masa ini, Zending tetap berada di bawah pengawas-an Pemerintah Belanda, khususnya
sesudah terjadi perang Bandjar dan PD I, ruang gerak para Penginjil sangat dibatasi.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Upaya penataan Jemaat-jemaat hasil penginjilan RM baru mulai dilakukan secara serius,
seiring dengan beralihnya penginjilan di Kalimantan dari RMG kepada BM.
Hal tersebut mulai dari munculnya kesadaran untuk segera menghimpun Jemaat-jemaat
yang bertebaran di berbagai wilayah ke dalam satu wadah organisasi Gereja, pada saat yang
sama, muncul kesadaran untuk membangun sebuah lembaga Gereja yang bersifat lokal.
Karena itu, seiring dengan pertemuan-pertemuan awal ke arah tersebut, pada tahun 1925
disusun oleh pihak Zending Aturan Sidang Jemaat Orang Kristen di Borneo Selatan yang
baru di-sahkan pada Sinode I Gereja Dayak Evangelis di Mandomai pada tahun 1930.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Berbagai kebijakan Pemerintah di awal Orde Baru memberi angin segar bagi
Gereja.
Tokoh-tokoh Kristen banyak dilibatkan di dalam penyelenggaraan Negara
dan kegiatan pekabaran Injil (khususnya untuk eks PKI) diberi keleluasaan
yang penuh.
Namun angin segar tersebut berlangsung sejenak. Pada tahun 1978 Depag RI
mengeluarkan aturan yang pada tataran praktis membatasi gerak PI.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Tidak ada Agama yang diangkat menjadi agama Negara, yakni agama satu-satunya yang harus dianut oleh
warga negara.
Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama berdasarkan pandangan bahwa kehidupan beragama
adalah suatu jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan religius, sedangkan kebahagiaan religius
merupakan suatu segi kesejahteraan yang menjadi tujuan Negara.
(bdk. Broto S. Wiryotenoyo dkk., “Kepedulian Kristen Terhadap Kehidupan Bersama Negarawi”, dalam Sularso Sopater
dkk., Keadilan dalam Kemajemukan, Jakarta: Sinar Harapan, 1998, 66-67).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE
Gereja mengakui bahwa Tuhan Yesus Kristus memegang kuasa, baik di sorga
maupun di bumi (Yoh 17:18).
Atas dasar pengakuan tersebut, maka Gereja adalah alat Allah yang diutus ke dunia
untuk membawa dan mewujudkan syalom ke dalam seluruh aspek kehidupan
manusia (Yoh 3:16; Yes 52:7).
Kita percaya tidak satu pun wilayah kehidupan manusia yang terbebas dari kuasa
penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, termasuk di bidang politik.
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE
Hubungan Gereja dan Negara bukan sebagai subordinasi yang bersifat menguasai
dan dikuasai.
Karena dengan demikian akan mempengaruhi keberadaan wibawa gereja yang
menyuarakan suara kenabian.
Tetapi hubungan yang diusahakan adalah hubungan yang koordinatif-dialogis.
Melalui hubungan koordinatif-dialogis, Gereja dan Negara masing-masing
mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab untuk kebaikan seluruh manusia dan keutuhan seluruh ciptaan.
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE
Gereja mengakui bahwa Tuhan Yesus Kristus memegang kuasa, baik di sorga maupun di
bumi (Yoh 17:18).
Atas dasar pengakuan tersebut, maka Gereja adalah alat Allah Sebagai wujud tanggung
jawab dalam bernegara.
Gereja perlu membina dan mendorong warganya agar dalam kegiatan berpolitik dapat
menjauhkan diri dari berbagai praktek yang mengakibatkan erosi spiritual, dekadensi
moral, dan kekaburan etis tentang kebenaran, demi mencapai keuntungan sesaat dan
kepentingan kelompok (Why.16,17).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE