Anda di halaman 1dari 58

HUKUM GEREJA

(7)
Hubungan Gereja dengan
Gereja-Gereja (Lembaga
Gerejawi) dan hubungan
dengan Negara
HUKUM GEREJA
(7) Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga Gerejawi) dan hubungan dengan
Negara

a. Dasar kepelbagaian gereja dan lembaga-lembaga gerejawi

b. Dasar alkitabiah bagi hubungan Gereja dan Negara

c. Hubungan Gereja dan Gereja-gereja (lembaga Gerejawi)

d. Bentuk hubungan Gereja dan Negara dalam Sejarah

e. Hubungan Gereja dan Negara dalam Ajaran GKE


HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI

Untuk memahami dasar kepelbagaian Gereja yang hadir pada saat ini, baik
dari kelembagaan maupun aliran teologi yang diikuti, bisa mengacu pada
sejumlah rumusan eklesiologi yang tersedia di dalam Alkitab dan sejarah
PI yang “melahirkan” berbagai lembaga dan aliran kegerejaan tersebut.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI

(1) Dasar dalam Alkitab


Alkitab (PB) menyediakan cukup banyak gambaran minor tentang
Gereja yang dari masing-masing gambaran tersebut memberi keunikan
tertentu dalam menggambarkan eklesiologi.
Beberapa di antaranya bisa diangkat, sekedar untuk memberi dasar
kepelbagaian eklesiologi yang bermuara pada kepelbagaian organisasi
Gereja dan lembaga-lembaga Gerejwi.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI
Contoh pertama:
Gereja sebagai ikan dan jala (Mat. 4:19, 13:47-50; Mrk. 1:17; Luk. 5:1-11; Yoh. 21:1-14).
(1) Gereja memandang bahwa “ikan” atau umat manusia yang “berkeliaran” di dalam dunia hidup dalam
kekotoran dan bahaya se-hingga perlu segera ditangkap dan dimenangkan untuk Tuhan Yesus sebagai
Penjala Utama.
(2) Kedua, ikan-ikan yang ditangkap terdiri dari berbagai kemungkinan jenisnya, dari yang kecil sampai
yang besar, dari yang baik sampai yang buruk. Hal tersebut menggambarkan kenyataan dari umat
manusia yang berhimpun di dalam Gereja.
(3) Ketiga, jala adalah tempat penampungan sementara. Hal ini hendak menegaskan bahwa Gereja
bukan pemilik dari anggotanya. Pemilik anggotanya adalah Yesus sebagai Kepala Gereja.
(4) Keempat, seiring dengan hal ketiga tersebut, maka ukuran keberhasilan pelaksanaan tugas panggilan
Gereja ada pada “sedikit atau banyaknya” umat manusia yang berhasil ditangkap dan dimenangkan
bagi Tuhan Yesus.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI
Contoh kedua:
Gereja sebagai perahu (Mat. 8:23-27, 14:22-27; Mrk. 4:1, 35-41, 6:45-52; Luk. 6:22-25; dan Yoh. 6:16-
21).
(1) perahu adalah alat transportasi untuk menghantar para penumpangnya ke suatu tujuan di seberang.
Dalam kaitan ini, Gereja memiliki tanggung jawab untuk mendampingi dan menghantar anggotanya
agar sampai tujuan akhir hidupnya, hidup kekal bersama Allah.
(2) Kedua, agar warga Gereja memiliki hidup dan selamat sampai tujuan yang diharapkan,
pemberitaan Firman menjadi sangat penting. Dalam kaitan ini, maka pemberitaan Firman memiliki
peran sentral dan menjadi pusat perhimpunan para murid atau orang-orang percaya.
(3) Ketiga, sebagaimana perahu yang berhadapan dengan gelombang yang siap menenggelamkannya,
demikian pula Gereja di dalam pengembaraannya di dalam dunia ini. Keselamatan Gereja, pada satu
sisi, bergantung pada kehadiran aktif Yesus sebagai Nahkoda dan Guru di dalamnya, pada sisi lain,
sangat ditentukan pula oleh ketaatan para murid dalam menjalankan kehendak sang Nahkoda.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI
(2) Dasar dalam Sejarah Pekabaran Injil

Menurut catatan Aritonang, mengacu Data Statistik Keagamaan Kristen


Protestan di Depag RI pada tahun 1992, ditemukan sebanyak 275
organisasi Gereja Kristen Protestan dan sekitar 400-an yayasan
Gerejawi yang masuk ke dalam kelompok Kristen Protestan.
(Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996, 1).
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI
Berkaitan dengan banyaknya organisasi Gereja KP dan yayasan
Gerejawi tersebut, pertanyaan yang perlu dijawab adalah: mengapa
dijumpai ada banyaknya organisasi dan yayasan Gerejawi tersebut?
dan bagaimana bentuk hubungan antar organisasi dan yayasan
Gerejawi tersebut?
Salah satu upaya untuk menjawabnya bisa dilakukan dengan jalan
menelusuri sejarah PI yang menghasilkan masing-masing organisasi
Gereja dan asal usul datangnya beberapa yayasan Gerejawi yang
ada.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI

Badan zending yang kemudia melahirkan beberapa


organisasi Gereja di Indonesia, pada awal mula berasal dari
Eropa kemudian diikuti dari USA.
Badan zending tersebut, ketika masih di Eropa dan USA,
ada yang bersifat mandiri dan antar denominasi, namun ada
pula yang merupakan bentukan salah satu organisasi Gereja.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI

Karena “Ibu” yang melahirkan berbagai organisasi Gereja


tersebut berbeda-beda, maka berbeda pula struktur maupun
ajaran Gereja yang dilahirkannya.
Dari sejumlah organisasi Gereja tersebut ada di antaranya
masih sangat kuat mempertahankan identias “import” di
dalam nama Gerejanya, namun ada pula yang sudah
mengadopsi nama dari istilah Indonesia.
HUKUM GEREJA
A.
DASAR KEPELBAGAIAN GEREJA DAN LEMBAGA-LEMBAGA GEREJAWI

Hal yang sama berlaku pula dgn berbagai yayasan Gerejawi.


Dikaitkan dengan yayasan-yayasan Gerejawi, kepelbagaian yayasan yang
hadir di Indonesia, di samping ada di antaranya memang sudah bentukan
orang-orang Kristen di Indonesia, juga didasarkan atas kepelbagaian asal usul
negara asal suatu yayasan.
Kegiatan yayasan-yayasan tersebut, ada di antaranya yang murni aksi
kemanusiaan, namun ada pula yang menjalankan “peribadahan” Gerejawi.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Iman Kristen mengakui bahwa Allah menciptakan manusia tidak di


dalam keterasingan dari sesamanya, tetapi sebaliknya di dalam saling
ketergantungan satu terhadap yang lain.
Manusia tidak pernah dapat dipisahkan dari lingkungan sosialnya.
Kemanusiaannya hanya dapat dimengerti secara benar apabila ia
ditempatkan di dalam interaksi terus menerus dengan masyarakatnya.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan


masyarakatnya ini tampak nyata di dalam realitas kehidupan sehari-
hari pada umumnya, termasuk dalam hal-hal yang berhubungan
dengan kenegaraan.
Untuk meletakkan landasan Albitabiah bagi hubungan antara Gereja
dengan Negara mengacu pada surat Paulus kepada jemaat Roma
(Roma 13) dan Wahyu 13.
HUKUM GEREJA
(b)
DADAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Menurut konteks surat Roma, Negara/Pemerintah ditempatkan sebagai hamba


Allah.
Pemikiran teologi yang demikian selanjutnya menjiwai bentuk petunjuk
praktis Paulus kepada jemaat Roma dalam menghadapi Negara/Pemerintah.
Dalam hal ini tampak adanya kedekatan yang sangat erat antara Gereja
dengan Negara, namun tidak sampai bercampur aduk sama sekali.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Ketundukan yang diminta oleh Paulus dihubungkan dengan kehidupan


anggota Jemaat sebagai warga negara yang sudah sewajarnya
menunjukkan penghormatan kepada Pemerintah-nya.
Di balik permintaan kepada Gereja untuk menunjukkan
ketundukkannya kepada Pemerintah, dari penegasan bahwa
“Pemerintah adalah hamba Allah” sekaligus menjadi kriteria bagi
Pemerintahan yang seharusnya.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Di dalam konteks hidup Paulus, nasihat seperti ini sebenarnya merupakan


sebuah kritik tajam juga bagi Pemerintah, yakni Pemerintah harus
menempatkan dirinya sebagai hamba Allah dan menjalankan
pemerintahannya menurut kehendak Allah yang menetapkannya.
Mengacu surat Roma 13 ini, bentuk hubungan antara Gereja dengan Negara
masih sangat ditentukan oleh penafsiran yang dilakukan, karena sama-sama
mungkin diarahkan pada: Negara menguasai dan mengatur Gereja atau
Gereja menguasai dan mengatur Negara.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Mengacu Why. 13, konteks kehidupan jemaat sangat berbeda dibandingkan


dengan Jemaat Roma masa Paulus.
Jemaat Wahyu menggambarkan dengan jelas bahwa Negara/ Pemerintah
adalah “Naga” yang keluar dari dalam laut.
Pemerintah/Negara yang ada pada masa Jemaat Wahyu telah menjadi
penguasa lalim yang mendatangkan berbagai penderitaan kepada Jemaat.
HUKUM GEREJA
(b)
DASAR ALKITABIAH BAGI HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA

Dalam situasi demikian, sangat wajar apabila Negara dipandang dengan cara sangat
negatif.
Bentuk hubungan yang dibangun melalui pesan Wahyu 13 adalah pemisahan tajam
antara Gereja dengan Negara.
Namun di balik pemisahan tajam tersebut Gereja ditempatkan dalam posisi
berhadap-hadapan dengan Negara.
Dalam hal ini, Gereja memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan suara
kenabiannya kepada Negara.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Memperhatikan kenyataan bahwa dasar kepelbagaian organisasi Gereja memang sudah


berakar dari Alkitab sendiri dan selanjutnya didukung oleh kepelbagaian latar belakang
sejarah PI masing-masing organisasi Gereja, maka kepelbagaian tersebut perlu diterima
sebagai hal yang wajar.
Bentuk hubungan antara Jemaat atau Gereja, sejak zaman PB sudah ter-bangun di dalam
suatu dinamika yang kebersamaan, di satu pihak, namun juga pertentangan, di pihak lain.
Dinamika hubungan dalam pertentangan tersebut tampak cukup jelas antar Jemaat Yerusalem
dengan Jemaat-jemaat Paulus, sementara kebersamaan tampak dalam kesediaan Jemaat
Korintus membantu saudara-saudaranya di Jemaat Yerusalem yang mengalami kelaparan.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Bentuk hubungan yang dibangun dalam pertentangan bahkan sampai pada


perpecahan-permusuhan, mejadi lebih kentara di dalam perkembangan Kekristenan
di kemudian hari.
Demikian, misalnya, Gereja terpecah menjadi Gereja Barat dan Gereja Timur atau
antara Gereja-gereja Reformasi dengan Gereja RK. Bentuk pertentangan-perpecahan
tersebut bahkan pernha pul diikuti dengan peperangan secara fisik.
Bentuk hubungan yang terbangun di dalam pertentangan tersebut masih berlangsung
terus hingga masa kini, sebagaimana tampak dalam relasi antara Gereja RK dan
Gereja arus main stream dengan kelompok Injili-pentakostal.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Sekalipun adanya hubungan dalam dinamika yang sangat hidup dengan sejumlah
ketegangan merupakan sesuatu yang wajar dan sudah dari sono-nya, namun
dinamika hubungan tersebut tetap perlu disikapi secara kritis dan prihatin.
Ketegangan yang terbangun antar Gereja bisa merusak citra Gereja itu sendiri dan
menghambat pelaksanaan misinya di tengah-tengah dunia.
Pada saat yang sama, pertentangan-permusuhan yang ada merusak hakikat Gereja
sebagai Tubuh Kristus yang kepadanya hanya satu, yakni Yesus Kristus.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Khusus dalam kaitannya dengan Hukum Gereja, bentuk hubungan antar


Gereja denga Gereja-gereja, perlu diatur sedemikian rupa.
Pengaturan tersebut mulai menyangkut bentuk hubu-ngan yang bersifat umum
dan ekumenis, maupun bersifat khusus, misalnya menyangkut Jabatan
Gerejawi dan persoalan sekitar keanggotaan.
Tujuan dari pengaturan tersebut, agar terbangun hubungan yang saling
menghargai antar lembaga Gereja.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Sama halnya dengan organisasi Gereja, demikian pula dengan yayasan Gerejawi.
Dijumpai sejumlah yayasan Gerejawi, baik yang merupakan produk warga Gereja
antar denominasi atau suatu lembaga Gereja tertentu di Eropa dan Amerika,
maupun yayasan Gerejawi yang merupan produk warga Gereja di dalam negeri.
Sejumlah yayasan Gerejawi tersebut secara terbatas ambil bagian di dalam
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kemanusiaan, misalnya
bidang kesehatan, pendidikan, panti asuhan, dll.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Namun tidak sedikit yang melakukan kegiatan pelayanan terhadap pelayanan


yang biasanya dilakukan oleh Gereja sebagai lembaga, seperti kebaktian
Minggu dan sakramen Perjamuan Kudus.
Di dalam pengalaman sejarah, ada pula yayasan Gerejawi tersebut merupakan
perpanjangan salah satu organisasi Gereja dalam upaya mencari anggota baru
dan kemungkinan membuka Jemaat baru.
Hal yang kemudian menyebabkan konflik antar Gereja-gereja.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Menanggapi kenyataan tersebut sangat ditentukan oleh bentuk


eklesiologi yang menjadi pijakan.
Dalam sejumlah gambaran minor tentang Gereja, menyediakan bentuk
sikap yang bersifat institusionalistik maupun yang bersifat kharismatis.
Demikian eklesiologi Gereja sebagai Institusi, akan menentang
kehadiran yayasan-yayasan Gerejawi yang melakukan kegiatan
pelayanan yang seharusnya dilakukan oleh Gereja sebagai lembaga.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Sementara didasarkan atas pedekatan eklesiologi Gereja sebagai


Pewarta, cendrung mentolerir atau malah mendukung yayasan-yayasan
Gerejawi yang melakukan kegiatan pelayanan sekalipun pelayanan
tersebut biasanya dilakukan oleh Gereja sebagai lembaga.
Bagaimana pun juga, Gereja atau lembaga apa pun yang yang
menggunakan nama Gereja, perlu hadir secara tertib dan teratur dalam
menjalankan tugas panggilannya.
HUKUM GEREJA
C.
HUBUNGAN GEREJA DAN GEREJA-GEREJA (LEMBAGA GEREJAWI)

Terlepas dari berbagai kemungkinan dalam menyikapi berbagai kegiatan yang dilakukan oleh yayasan
Gerejawi tersebut, dari sudut Hukum Gereja, bentuk hubungan antara Gereja sebagai lembaga dengan
yayasan-yayasan Gerejawi harus diatur.

Pengaturan tersebut diperlukan terkait dengan tanggung jawab Gereja terhadap warganya, agar anggota
Jemaat terjaga dan dilindungi dari berbagai kemungkinan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang
dianut oleh suatu lembaga Gereja.

Demikian, misalnya, ketika dilakukan kegiatan persidangan Gerejawi yang bersifat ekumenis, maka
pelayanan Perjamuan Kudus dilayankan oleh dan atas nama salah satu organisai Gereja dimana kegiatan
persidangan tersebut berlangsung.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM
SEJARAH GEREJA
Negara dan Agama atau Gereja merupakan dua lembaga yang secara hakiki berbeda.

Agama atau Gereja terutama berkenaan dengan relasi antara manusia dengan Tuhannya, sementara negara
lebih berkenaan dengan perhubungan antar manusia di dalam suatu kehidupan bersama.

Namun demikian agama atau Gereja juga terkait dengan perhubungan antar manusia dalam kehidupan
bersama, sehingga sesungguhnya baik negara maupun agama atau Gereja keduanya sama bertujuan
mengatur kehidupan manusia.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM SEJARAH GEREJA

Wilayah berlakunya aturan agama atau Gereja bersifat universal,


yakni menembus batas-batas negara, sementara aturan negara
hanya berlaku di wilayah negara yang bersangkutan.
Namun deikian, dapat dipahami bahwa pada titik tertentu subjek
dari kedua aturan tersebut sama, yaitu manusia warga negara dari
suatu negara tertentu.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM SEJARAH GEREJA

Kalau demikian halnya, lalu: bagaimana sebaiknya bentuk hubungan antara Negara
dengan agama/Gereja mesti diatur?
Di dalam sejarah telah berkembang sejumlah model bentuk hubungan antara Negara
dengan agama/Gereja, yakni:
(1) negara dipersatukan dengan agama/ Gereja;
(2) negara dipisahkan dari agama/Gereja; dan
(3) pembedaan dan kerjasama antara Negara dengan agama/Gereja.
HUKUM GEREJA
(d)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM SEJARAH
GEREJA
Untuk model (1), hukum agama dijadikan hukum negara dan terdapat hanya satu agama yang
dijadikan sebagai agama negara. Dalam hal ini akan terjadi kemungkinan: negara menguasai atau
memperalat agama/Gereja demi kepentingan politiknya, atau agama/Gereja menguasai negara.
Untuk model (2), karena urusan negara dipisahkan dari urusan agama maka tidak diperlukan
menjadi salah satu agama sebagai agama negara. Sistem negara yang demikian sering disebut
sebagai negara sekuler.
Untuk model (3) urusan negara dengan urusan agama tidak dicampur-adukkan. Namun demikian,
negara melalui pemerintah mencoba mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan
dengan agama melalui berbagai lembaga keagamaan yang ada.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI
INDONESIA
Di dalam sejarah perkembangan hidup bangsa dan negara Indonesia, hubungan antara agama dengan negara
telah terjadi pergumulan yang serius.

Walaupun pada akhirnya bangsa Indonesia mampu mencapai kesepakatan tentang bentuk hubungan antara
agama dan negara yang dianggap cocok, namun pergumulan tersebut sebenarnya belum sungguh-sungguh
berakhir.

Kenyataan menunjukkan bahwa pergumulan dan benturan-benturan masih terus berlangsung sehingga
menuntut pemikiran-pemikiran yang terus berkembang.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Demikian, misalnya, walaupun Pancasila (sila pertama) telah mengatur bagaimana hubungan antar agama di
Indonesia, namun dalam pelaksanaannya hubungan antar agama di Indonesia tidak selalu berjalan mulus.

Hal ini terjadi karena di dalam setiap agama selalu ada unsur-unsur fanatisme yang berpotensi menimbulkan
konflik.

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu berkembang di tanah air kita dianut prinsip persatuan antara negara dan
agama.

Raja-raja pada masa lampau dipandang sebagai penjelmaan, penitisan atau inkarnasi dari Dewa Wisnu san
Syiwa.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Bentuk hubungan antara agama dan negara secara serius dibicarakan muncul pada masa
Pergerakan Nasional.
Di dalamnya ada perdebatan antara keinginan kelompok Islam yang menghendaki adanya
persatuan antara negara dengan agama (Islam),
kelompok Komunis menghendaki adanya pemisahan dan menganjurkan agar jangan
terjadi percampuran antara agama dengan perserikatan (negara),
dan kelompok Nasionalis menghendaki berdirinya negara demokrasi sehingga negara
harus dipisahkan dari agama.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Pada masa persidangan BPUPKI pengaruh Islam masih sangat kuat, dalam
banyak hal “mengalahkan” perjuangan kaum Nasionalis, sebagaimana
tampak pada Piagam Jakarta.
Namun “kesepakatan” yang sudah dihasilkan oleh BPUPKI mengalami
“revisi” kembali sesudah Indonesia merdeka pada masa Sidang PPKI
sebagai buah dari usulan masyarakat Indonesia Timur melalui utusan
Angkatan Laut Jepang.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INEDONESIA

Usulan itu kembali kepada usulan Ir. Soekarno pada sidang BPUPKI yang pertama,
khususnya berkaitan dengan persyaratan bagi Presiden (Presiden orang Indonesia asli yang
beragama Islam menjadi Presiden orang Indonesia asli), dan sila I Pancasila/UUD 45 ps.
29 ay. 1 (Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya menjadi Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa).
Mengacu keputusan tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia adalah negara yang agamais
namun menghendaki agar negara tidak mencampuri urusan agama dalam hal tidak
mencampuri hubungan masing-masing orang dalam kelompok agamanya sendiri dengan
Tuhan.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Dalam kaitan dengan hubungan antara Negara dengan Gereja di Indonesia,


bisa ditelusuri sejak zaman VOC hingga masa-masa awal kemandirian
Gereja-gereja di Indonesia.
VOC berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602. Kekuasaan tersebut
mencakup segala hal, termasuk untuk urusan kegerejaan.
Segala hal berkaitan dengan kegiatan Gereja berada di dalam tanggungjawab
dan kekuasaan Pemerintah Kompeni.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUGAN GEREA DAN NEGARA DI INDONESIA

Di Belanda sendiri telah berlangsung Sinode Dordrech (1618-1619) yang di dalamnya


juga menyusun Tata Gereja Belanda.
Namun demikian Tata Gereja tersebut tidak dapat dijalankan sepenuhnya, baik di
negerinya sendiri, lebih-lebih di Indonesia.
Pada dasarnya, Pemerintah memegang kekuasaan atas Gereja, baik dalam penunjukkan
tenaga Pendeta dan tenaga pelayanan lainnya, menunjuk wilayah yang boleh dikunjungi,
dan mengawasi melarang para pendeta mengadakan persidangan-persidangan.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Pada sekitar tahun 1621, kondisi pelayanan di wilayah jajahan Belanda


menuntut penataan-pengorganisasian secara khusus. Gereja hendak
membebaskan diri dari kekuasaan Kompeni, namun gagal.
Pada tahun 1624, kembali Gereja berusaha membebaskan diri dari kekuasaan
Kompeni, di antaranya dengan “menyesuaikan” Tata Gereja Dordrech yang
menempatkan otonomi Gereja mengatur dirinya namun tetap atas seijin
Pemerintah.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Upaya Gereja terus dilakukan, baik atas dukungan penuh dari Gereja di
Belanda maupun atas perjuangan Jemaat-jemaat yang sudah berhasil
dibangun di berbagai kawasan di Nusantara.
Namun upaya tersebut malah menimbulkan pertikaian antara Gereja
degan Pemerintah yang menyebabkan Gereja kembali ditaklukkan oleh
Pemerintah.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Akhirnya ditetapkan Tata Gereja Baru yang disetujui Gubernur Jenderal Van Diemen pada tahun
1643.
Beberapa prinsip tampak menjadi ciri penataan Gereja sepanjang Pemerintahan Kompeni, yakni:
(1) hak untuk menempatkan dan memindahkan pendeta dipegang oleh Pemerintah;
(2) rapat-rapat Majelis Jemaaat harus dihadiri unsur Pemerintah;
(3) surat-menyurat dibatasi dan khususnya berkaitan dengan surat-menyurat ke Gereja di Belanda
harus dikirim perantara Gubernur Jenderal yang berkuasa;
(4) pemerintah harus dilibatkan dalam rangka pelaksanaan disiplin Gereja.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Khusus di Kalimantan, sejarah penataan Gereja berjalan seiring dengan kehadiran para
pekabar Indil dari Jerman (RMG) pada tahun 1835 dan dilanjutkan oleh Basler Mission
pada tahun 1920.
Pada masa RMG, oleh karena perhatian utama ditujukan pada pembukaan setasi-setasi baru,
tidak ada secara khusus memberhatikan penataan Gereja, kecuali penegakkan cara hidup
yang dianggap Kristiani.
Pada masa ini, Zending tetap berada di bawah pengawas-an Pemerintah Belanda, khususnya
sesudah terjadi perang Bandjar dan PD I, ruang gerak para Penginjil sangat dibatasi.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Upaya penataan Jemaat-jemaat hasil penginjilan RM baru mulai dilakukan secara serius,
seiring dengan beralihnya penginjilan di Kalimantan dari RMG kepada BM.
Hal tersebut mulai dari munculnya kesadaran untuk segera menghimpun Jemaat-jemaat
yang bertebaran di berbagai wilayah ke dalam satu wadah organisasi Gereja, pada saat yang
sama, muncul kesadaran untuk membangun sebuah lembaga Gereja yang bersifat lokal.
Karena itu, seiring dengan pertemuan-pertemuan awal ke arah tersebut, pada tahun 1925
disusun oleh pihak Zending Aturan Sidang Jemaat Orang Kristen di Borneo Selatan yang
baru di-sahkan pada Sinode I Gereja Dayak Evangelis di Mandomai pada tahun 1930.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Berbagai kebijakan Pemerintah di awal Orde Baru memberi angin segar bagi
Gereja.
Tokoh-tokoh Kristen banyak dilibatkan di dalam penyelenggaraan Negara
dan kegiatan pekabaran Injil (khususnya untuk eks PKI) diberi keleluasaan
yang penuh.
Namun angin segar tersebut berlangsung sejenak. Pada tahun 1978 Depag RI
mengeluarkan aturan yang pada tataran praktis membatasi gerak PI.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA

Aturan ini kemudian mendapat peneguhan dengan keluarnya SKB Menteri


Agama dan Mendagri pada tahun 1979.
Kondisi umat Kristen di Indonesia mengalami hambatan yang cukup
signifikan dan traumatis terjadi sejak tahun 90-an sebagaimana tampak dalam
sejumlah kekerasan/kerusuhan masal dan perusakan berbagai sarana
peribahan umat Kristen dan berbagai kebijakan lainnya yang semakin
mengebiri aktivitas Gereja-gereja yang ada di Indonesia.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Memperhatikan perkembangan sejarah hubungan antara Negara dan Agama serta perbedaan hakekat dan
fungsi Negara dan Agama, khususnya antara Negara dan Gereja tersebut, beberapa prinsip perlu menjadi
pertimbangan dalam rangka membangun hubungan antara Gereja dengan Negara di Indonesia, seperti:
Negara tidak memasukkan Agama/Gereja ke dalam dirinya dan Agama/Gereja tidak mencaplok Negara
menjadi wilayah bawahannya.
Negara menghormati Agama/Gereja dengan karakteristiknya sendiri sehingga tidak ada campur tangan
Negara terhadap Agama/Gereja sebagai Agama, dan sebaliknya Agama/ Gereja menghormati Negara
dengan karakteristiknya sendiri sehingga tidak ada campur tangan Agama/Gereja terhadap
penyelenggaraan Negara.
HUKUM GEREJA
(e)
BENTUK HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DI INDONESIA
Hukum Negara tidak diangkat dari atau dibuat berdasarkan hukum Agama/Gereja walaupun nilai-nilai
Agama/Injil perlu mewarnai penyelenggaraan Negara.

Tidak ada Agama yang diangkat menjadi agama Negara, yakni agama satu-satunya yang harus dianut oleh
warga negara.

Negara membantu rakyatnya dalam kehidupan beragama berdasarkan pandangan bahwa kehidupan beragama
adalah suatu jalan bagi manusia untuk memperoleh kebahagiaan religius, sedangkan kebahagiaan religius
merupakan suatu segi kesejahteraan yang menjadi tujuan Negara.

(bdk. Broto S. Wiryotenoyo dkk., “Kepedulian Kristen Terhadap Kehidupan Bersama Negarawi”, dalam Sularso Sopater
dkk., Keadilan dalam Kemajemukan, Jakarta: Sinar Harapan, 1998, 66-67).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Gereja mengakui bahwa Tuhan Yesus Kristus memegang kuasa, baik di sorga
maupun di bumi (Yoh 17:18).
Atas dasar pengakuan tersebut, maka Gereja adalah alat Allah yang diutus ke dunia
untuk membawa dan mewujudkan syalom ke dalam seluruh aspek kehidupan
manusia (Yoh 3:16; Yes 52:7).
Kita percaya tidak satu pun wilayah kehidupan manusia yang terbebas dari kuasa
penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus, termasuk di bidang politik.
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Bidang Politik tidak dapat dilepaskan dari karya perdamaian dan


pembaharuan Kristus.
Oleh karena itu Gereja harus berjuang agar kuasa Kristus menjadi nyata juga
di dunia politik.
Di dalam dunia politik “tuan” yang berkuasa bukan ideologi dan kekuasaan,
melainkan Kristus sebagai Tuhan (Mat 28:18).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE
Kita perlu bersikap positif terhadap kuasa politik yang ada didalam pemerintah
karena kuasa itu berasal dari Allah yang dipergunakan untuk kesejahteraan dan
peningkatan harkat dan martabat manusia (Mrk 12:17, Rm 13:1-7).
Sekaligus dengan itu bersikap kritis pada kuasa karena orang yang
mempergunakan kuasa itu adalah orang yang dapat mempergunakannya untuk
kepentingan diri sendiri, atau memanipulasinya sehingga merendahkan harkat
dan martabat kehidupan manusia (Mat 20:25; Am 7:10-17).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGERA DALAM AJARAN GKE

Sikap politik demikian diambil menginat missi yang terkandung dalam


kegiatan berpolitik adalah rekonsiliasi, menggairahkan kerukunan nasional
dan spoliratitas sosial yang melampaui perbedaan golongan, aliran, suku,
kepercayaan dan keturunan.
Hal yang fundamental dalam berpolitik ialah secara sadar dan berencana
mengusahakan agar kegiatan berpolitik itu meningkatkan harkat dan martabat
manusia, melindungi hak-hak manusia, dan mengusahakan kualitas hidup
yang lebih baik (Yer 29:7).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Hubungan Gereja dan Negara bukan sebagai subordinasi yang bersifat menguasai
dan dikuasai.
Karena dengan demikian akan mempengaruhi keberadaan wibawa gereja yang
menyuarakan suara kenabian.
Tetapi hubungan yang diusahakan adalah hubungan yang koordinatif-dialogis.
Melalui hubungan koordinatif-dialogis, Gereja dan Negara masing-masing
mempunyai tugas panggilannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab untuk kebaikan seluruh manusia dan keutuhan seluruh ciptaan.
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Gereja mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum Negara. Mendorong


pemerintah untuk tetap membantu kegiatan-kegiatan agama, tetap menyuarakan
nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan sebagai sikap utama dalam berpolitik.
Gereja mempertahankan nilai-nilai itu dengan tidak berpihak pada satu aliran
politik atau membiarkan dirinya sebagai kendaraan politik pihak-pihak tertentu.
Sebaliknya Negara berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh
rakyatnya, termasuk gereja agar leluasa dalam menjalankan fungsi dan
panggilannya masing-masing (1 Pet 2:16).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Gereja mengakui bahwa Tuhan Yesus Kristus memegang kuasa, baik di sorga maupun di
bumi (Yoh 17:18).
Atas dasar pengakuan tersebut, maka Gereja adalah alat Allah Sebagai wujud tanggung
jawab dalam bernegara.
Gereja perlu membina dan mendorong warganya agar dalam kegiatan berpolitik dapat
menjauhkan diri dari berbagai praktek yang mengakibatkan erosi spiritual, dekadensi
moral, dan kekaburan etis tentang kebenaran, demi mencapai keuntungan sesaat dan
kepentingan kelompok (Why.16,17).
HUKUM GEREJA
(f)
HUBUNAN GEREJA DAN NEGARA DALAM AJARAN GKE

Kegiatan berpolitik adalah kegiatan memperkokoh solidaritas,


integritas bangsa, dan penghargaan semua pihak sebagai warga
yang setara dan sederajat.
Oleh karena itu dengan sekuat tenaga melawan segala bentuk
diskriminasi yang mengkerdilkan nilai-nilai kemanusiaan (Gal
6:28; Kol 3:14-15).
HUKUM GEREJA
DAFTAR KEPUSTAKAAN
■ Abineno, J.L. Ch. Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
■ Abineno, J.L. Ch. Johanes Calvin: Pembangunan Jemaat, Tata Gereja dan Jabatan Gerejawi. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
■ Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Kegerejaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
■ Calvin, John. Institute of the Christian Religion – Vol. 2 (trans.). Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans
Publishing Co., 1995.
■ Dunn, James D.G. The Christ and the Spirit Vol. 2: Pneumatology. Grand Rapids: WmB. Eerdmans
Publishing Co., 1998.
■ McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reforma-si (terj.). Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.
■ Suleeman, Ferdinand. dkk.(peny.) Bergumul Dalam Pengharapan – Struggling in Hope. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1999.
■ Smith, David L. A Handbook of Contemporary Theology: Tracing Trends & Discrening Direction in Today’s
Theological Landscape. Grand Rapids, Michigan: Bakes Books, 2000.
HUKUM
HUKUM
GEREJA
GEREJA

Anda mungkin juga menyukai