Anda di halaman 1dari 65

Catedral of Maringá

PENGERTIAN SEJARAH GEREJA

Pada dasarnya sejarah gereja berbeda dengan sejarah kebudayaan umum dan
dengan sejarah aliran-aliran rohani yang lain, karena yang disebut “gereja” itu hanya
Gereja Kristen. Sebab itu, nama gereja tidak boleh dipergunakan untuk agama-agama
atau aliran-aliran lain, karena Kristus sendirilah yang membentuk gereja. Karena itu,
barangsiapa yang hendak mempelajari sejarah gereja Kristus itu, haruslah akal dan
sanubarinya diterangi oleh Tuhan sendiri, yang kita kenal hanya dari Perjanjian Baru
saja.
Gereja ada oleh sebab Yesus memanggil orang yang menjadi pengikut-Nya. Mereka
dipanggil dalam persekutuan dengan Dia, yaitu Gereja. Jadi wujud gereja ialah pertama-
tama: persekutuan dengan Kristus. Jikalau dalam suatu gereja Kristen persekutuan itu
tidak ada, maka gereja itu tidak berhak disebut gereja. Akan tetapi persekutuan dengan
Kristus itu selalu berarti pula persekutuan dengan manusia lain. Tatkala Yesus
memanggil murid-murid-Nya, maka mereka dikumpulkan-Nya menjadi suatu
rombongan orang yang masing-masing bukan saja terikat erat-erat kepada Penebusnya,
tetapi seorang kepada yang lain pula. Kristus telah berjanji akan hadir di mana dua atau
tiga orang berhimpun atas nama-Nya. Hal ini masih berlaku terus. Persekutuan yang
beragam dua itu nampak seindah-indahnya dalam Perjamuan Kudus, karena di sanalah
jemaat merasakan pertaliannya dengan Kristus dan perhubungannya satu sama lain
seerat-eratnya. Paulus mengumpamakan persekutuan yang beragam dua itu dengan
menyebut gereja “tubuh Kristus” (1 Kor. 12:12; Ef. 4:15; Kol. 1:18, dsb).
Tetapi wujud gereja Kristen belum cukup diartikan dengan menunjuk kepada
persekutuan itu saja. Selain itu, perlu juga kita menekankan pada tugas atau amanat
gereja. Yesus telah memerintahkan kepada para murid-Nya, “Pergilah, jadikanlah semua
bangsa muridKu” (Mat.28:19) dan “Kamu akan menjadi saksiKu... sampai ke ujung bumi”
(Kis. 1:8). Titah-Nya itu berlaku pula untuk semua pengikut-Nya di kemudian hari
selama bumi masih ada. Oleh sebab itu, gereja tidak saja lahir dari amanat Kristus, tetapi
amanat itu pula menjadi wujud gereja yang sewajarnya. Amanat Kristus menjadikan
persekutuan gereja, dan dalam pada itu persekutuan gereja melaksanakan amanat
Tuhannya. Dengan perkataan lain, gereja dan pekabaran Injil sama saja, karena
merupakan dwitunggal yang tak terpisahkan. Ketika gereja lahir pada hari turunnya Roh
Kudus, maka ketika itu amanatnya lahir pula sertanya, yakni supaya memasyurkan Injil
ke mana-mana. Firman Tuhan dipercayai dalam gereja, tetapi juga dikabarkan oleh
gereja.
Dengan demikian, apakah yang dimaksudkan dengan ilmu Sejarah Gereja? Ilmu
sejarah gereja adalah memeriksa apakah, bagaimanakah, dan sampai di mana gereja
sadar dan setia akan wujud dan amanatnya, dan juga apakah dan bagaimanakah gereja
diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini menurut wujud dan amanatnya sepanjang
sejarahnya dari dulu sampai sekarang.
Karena itu, sejarah gereja Kristen dapat diuraikan dari beberapa sudut, yaitu:
1. Dari sudut amanat gereja, maka fokus pembelajarannya adalah sejarah dogma dan
sejarah pekabaran Injil. Dari sejarah dogma akan nyata bahwa gereja senantiasa
berusaha menentukan ajarannya yang sah dan murni, sesuai dengan firman Tuhan,
berhadapan dengan segala ajaran yang sesat, yang timbul di dalam dan
disekelilingnya. Penyelidikan sejarah pekabaran Injil akan menyatakan kepada kita
bagaimana gereja telah melakukan tugasnya terhadap sekalian orang yang belum
mengenal kasih Tuhan dalam Yesus Kristus.
2. Dari sudut perkembangan gereja di tengah-tengah dunia, perlu diperhatikan
bagaimana hubungan antara gereja dan dunia, baik dalam hal penghambatan
3

maupun penerimaan terhadap kehadiran gereja oleh dunia. Dalam hal ini fokus
pembicaraan diarahkan pada hubungan antara gereja dan negara.
3. Dari sudut organisasi dan liturgia, menyoroti aspek hirarki dalam gereja dan tata
cara ibadah gereja tersebut.

MENGAPA PERLU BELAJAR SEJARAH GEREJA?

Ada banyak alasan mengapa kita perlu belajar sejarah gereja. Berikut ini adalah
beberapa di antaranya:
1. Allah sendiri menyatakan diri melalui sejarah.
a. Agama Israel sebenarnya adalah ‘agama sejarah’. Berbeda dengan agama kuno
lain yang didasarkan pada spekulasi metafisikal, takhayul atau pemahaman
filosofis, agama Israel didasarkan pada apa yang Allah lakukan dalam sejarah.
Semua yang Allah lakukan dalam sejarah sebenarnya menyatakan karakter Allah
sendiri.
b. Beberapa kitab PL yang dari kacamata modern dikategorikan "kitab-kitab
sejarah”, dalam kanon Ibrani digolongkan sebagai "kitab nabi-nabi” (Yosua,
Hakim-hakim, 1&2 Raja, 1&2 Samuel), karena dari perspektif orang Israel apa
yang dikatakan Allah sama pentingnya dengan apa yang Dia lakukan.
c. Orang Israel terbiasa memandang sejarah sebagai dasar untuk berharap kepada
Allah (1Sam 17:34-37; Ibr 11:4; 12:1).
d. Kekristenan pun didasarkan pada peristiwa sejarah (band. 1Kor 15:13-18).
e. Herbert Butterfield lebih dari segala-galanya, kekuatan ingatan historislah yang
telah mampu mengikatkan orang Israel bersama sebagai suatu bangsa.
2. Sejarah turut menyatakan kedaulatan dan kesetiaan Allah.
a. Pembebasan dari tanah Mesir menyatakan kesetiaan (Kel 2:23) dan
kemahakuasaan Allah (Kel 6:6; 12:12; cf. Rom 9:17).
b. Kedaulatan Allah bukan hanya atas umat-Nya, tetapi atas seluruh sejarah di
muka bumi (Hab 1:6; Yes 44:28; 45:1-6; Am 9:7).
c. Kedatangan Kristus di abad ke-1 M sesuai dengan rencana kekal Allah (Galatia
4:4 dan Rom 5:6).
d. Penggunaan bahasa Yunani sebagai lingua franca (band. Yoh 12:20-22).
e. Politik Pax Romana (Kedamaian Romawi), misalnya Yoh 11:48; Kis 16:38;
22:25-29.
f. Perhatian terhadap aspek Infrastruktur Romawi untuk keperluan administrasi,
ekonomi dan, terutama, keamanan.
g. Keterbukaan dan sejarah pluralitas yang panjang (Kis 17:22-34, terutama ayat
21) – agamamisteri vs. filsafat, pelacuran bakti/homoseksualitas vs. moralitas
Taurat yang ketat.
3. Sejarah berperan sebagai pembimbing ke dalam pengetahuan Alkitab.
a. Sejarah pada jaman Alkitab turut membantu kita memahami isi Alkitab (Yoh
4:9; 10:22).
b. Sejarah setelah jaman Alkitab juga turut menjadi peringatan terhadap
kesesatan. Beragam misinterpretasi, ajaran sesat  dan fenomena lain yang
sedang terjadi sekarang sebenarnya sudah ada pada jaman dahulu, tetapi gereja
sekarang tidak mau belajar dari sejarah. Pendeknya, tidak ada yang baru di
bawah matahari (Pengkhotbah 1:9).
i. New Age Movement secara esensi sama dengan Gnosticisme abad ke-2.
ii. Ekses dalam gerekan kharismatik sama dengan Montanisme.
4. Sejarah membantu kita lebih bijaksana dalam berinteraksi maupun respek terhadap
orang percaya dari denominasi, kepercayaan maupun tradisi yang lain. Sejarah
4

membebaskan kita dari tirani tradisi (yang sudah kita anggap sebagai "kebenaran”)
dan memampukan kita menghormati tradisi orang lain.
a. Perdebatan tentang otoritas King James Version (KJV).
b. Perdebatan tentang penggunaan instrumen dalam ibadah.
c. Perdebatan tentang pemakaian ornamen/alat tertentu dalam gereja.
d. Perdebatan tentang fenomena supranatural Roh Kudus.
5. Sejarah berguna untuk memberikan inspirasi, peringatan maupun pemahaman yang
lebih luas.
a. Biografi para tokoh besar kekristenan seringkali mampu memberikan inspirasi
dan semangat bagi orang Kristen modern.
b. Kegagalan gereja maupun para tokoh Kristen di masa lalu juga berperan
menjadi peringatan bagi kita (band. 1Kor 10:6, 11).
c. Kesuksesan gereja pada waktu tertentu dalam sejarah juga bisa menyadarkan
betapa gereja sekarang mengalami dekadensi. Contoh: buku Institutio Calvin
dulu merupakan buku bacaan jemaat, tetapi sekarang hanya menjadi konsumsi
mahasiswa teologi.
d. Keberhasilan gereja melalui berbagai penganiayaan dan kesulitan (terutama
abad ke-1 – ke-4 M) sering memberi penghiburan bagi gereja modern.
6. Sejarah membebaskan kita dari pikiran kita yang salah bahwa kita lebih bijaksana
daripada para pendahulu kita.
a. Pelajaran sejarah membebaskan kita dari bahaya "chronological snobbery” (C. S.
Lewis), sehingga kita bisa lebih menghargai masa lalu.
b. Warren Wiersbe mengatakan, "if a study of history does not humble a person,
he is reading through the wrong spectacles”.
c. Kesalahan yang dilakukan para pendahulu kita bisa jadi merupakan produk
keterbatasan jaman pada waktu itu. Contoh: neo-ortodoksi Karl Barth dalam
konteks berteologi waktu itu.
7. Sejarah membuat kita bisa memahami diri kita sendiri secara lebih baik.
Dengan mengetahui dari mana kita berasal akan membuat kita semakin paham
tentang keadaan kita sekarang, bahkan apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
a. Arnold Toynbee mengatakan, "I have always had one foot in the present and the
other in the past”.
b. Kierkegaard menulis, "life must be lived forwards, but can only be understood
backwards”.
c. Sejarah merupakan bahan nasehat, pedoman pelayanan maupun bahan ilustrasi
khotbah yang luar biasa.

MANFAAT STUDI SEJARAH1

Pelajaran sejarah bermanfaat ganda, seperti misalnya:


1. Kita dapat belajar dari hasil usaha manusia dahulu, baik secara positif, dengan
melihat yang baik, lalu mungkin menerimanya untuk masa kini; maupun secara
negatif, dengan melihat yang jelek lalu menolaknya untuk dewasa ini.
2. Dengan mengerti sejarah dan kebudayaan manusia dahulu dapat kita mengerti
sejarah dan kebudayaan-kebudayaan dewasa ini lebih baik.
3. Pandangan atau prinsip-prinsip dahulu yang sudah tahan uji dapat membantu kita
mempernisbi (merelatifkan) pandangan atau prinsip-prinsip sekarang, atau pun

1
G. Van Schie, Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani Dalam Konteks Sejarah Agama-agama
Lain, Jakarta: Penerbit Obor, 1994, 15-16
5

sebaliknya. Artinya, apa yang dirasakan tepat untuk masa sekarang dapat membantu
kita merelatifkan unsur lain yang dahulu dianggap cocok.
4. Mungkin ada elemen dalam kultur atau filsafat masa silam yang dapat memperkaya
kebudayaan dan alam pikiran kita dewasa ini.
5. Situasi masa kini dapat kita pahami lebih baik jika akar-akarnya dalam masa lampau
kita pahami.
6. Dengan melintasi batas waktu, tempat, dan bangsa atau pun suku, kita memperluas
pandangan.
7. Dengan mengetahui lebih baik masa kini dari akar-akar masa silamnya, maka
mungkin juga kita temukan pada dewasa ini akar-akar yang agaknya akan turut
menentukan perkembangan masa depan. Bukankah saat kini merupakan titik
pertemuan masa silam dengan masa depan?
Andreas Eppink mengatakan, “Dari pakar sejarah dapat kita contoh bagaimana
cara menghormati detail-detail dan realitas dahulu yang dapat mengoreksi pandangan
kita yang penuh klise dan prasangka”

PENULISAN SEBUAH SEJARAH

Mengetahui bagaimana sebuah sejarah ditulis akan membantu kita dalam


memahami apa yang dituliskan. Penulisan sejarah melibatkan beberapa proses yang
tidak terelakkan:
1. Akumulasi data
Seorang penulis sejarah selalu bergantung pada ketersediaan data yang ada, karena ia
tidak mahatahu. Sebagian data ia dapatkan secara langsung sebagai saksi mata, tetapi
sebagian yang lain didapatkan dari orang lain maupun bukti yang lain. Sehubungan
dengan hal ini, biasanya tidak ada seorang penulis sejarah yang berhasil
mendapatkan semua data yang diperlukan secara detil. Howard I. Marshall
mengatakan, "possibly in a perfect world the evidence would be complete and would
permit of only one correct interpretation, so that the facts worked out by the
historian would be correct representations of the past events. In general, however, we
cannot expect this to happen”
2. Seleksi data
Tidak ada penulis sejarah yang mencatat apa saja yang terjadi secara detil. Sekalipun
mereka melihat suatu peristiwa secara langsung, mereka belum tentu mampu
mengingat setiap detil peristiwa. Dalam banyak hal mereka tidak menuliskan semua
yang mereka ketahui, karena mereka biasanya memiliki tujuan penulisan tertentu
yang spesifik. Dengan kata lain, data yang mereka peroleh belum tentu relevan
dengan tujuan yang ingin dicapai.
3. Interpretasi data
Karena penulis sejarah seringkali tidak mendapatkan  semua data yang diperlukan, ia
harus merekonstruksi apa yang sebenarnya terjadi hanya dari data yang ada. Usaha
ini tentu saja melibatkan unsur interpretasi. Selain itu, dari sekian banyak data yang
berhasil ia peroleh, belum tentu semua data tersebut memiliki kaitan yang eksplisit.
Unsur interpretasi sendiri tidak selalu berarti pengabaian fakta. Leon Morris menulis,
"it is worth noticing at the outset that interpretation does not necessarily mean
distortion of the facts. Indeed, the absence of interpretation may sometimes mean
distortion”

Apa implikasi rangkaian proses di atas dengan isi sejarah yang ditulis?
6

1. Para penulis sejarah memiliki pandangan tersendiri tentang apa yang dia tulis, sesuai
dengan tujuannya. Contoh: mengapa hampir semua buku sejarah gereja membahas
tentang gereja Barat?
2. Para penulis sejarah tidak selalu memberikan gambaran yang sama tentang satu
peristiwa yang sama, karena penafsiran mereka terhadap data yang ada berbeda.
3. Para penulis sejarah tidak bisa melepaskan diri dari unsur subjektivitas, betapa pun
kecilnya itu. Contoh: menamakan apa yang terjadi pada abad ke-16 sebagai
"reformasi gereja” sudah tentu menyiratkan subjektivitas dari perspektif Protestan
bahwa gereja sebelum reformasi telah mengalami dekadensi.

Beberapa tugas ahli sejarah:


1. Ahli sejarah hendaknya menyelidiki fakta yang dikumpulkannya, misalnya dengan
mencari jawaban atas pertanyaan berikut ini:
a. Apa yang terjadi?
b. Siapakah subyek sejarah itu?
c. Di mana fakta itu terjadi?
d. Bilamana terjadinya?
e. Mengapa hal itu terjadi?
f. Untuk apa hal itu terjadi?
2. Ahli sejarah sejauh mungkin harus memeriksa kadar kebenaran fakta yang
ditemukannya.
3. Ahli sejarah perlu membandingkan serta menggabungkan semua fakta yang
dipelajarinya itu.
4. Ahli sejarah harus juga menyelidiki bagaimana orang dahulu mengalami fakta yang
menyangkut mereka.
5. Akhirnya, ahli sejarah hendaklah mengarang sebuah laporan atau cerita mengenai
fakta yang telah diselidiki dengan segala seluk-beluknya. Karangannya itu hendaklah
yang enak dibaca.

PERIODISASI SEJARAH GEREJA

Periodisasi sejarah gereja secara sosio – budaya dan konteks masyarakat dimana
gereja berkembang dapat dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
1. Gereja dalam dunia dan kebudayaan Yunani – Romawi, yaitu saat Pentakosta sampai
sekitar tahun 600. Dapat diberikan dua alasan mengapa tahun 600 diambil sebagai
saat pemisah antara periode pertama dan kedua sejarah gereja
a. Meningkatnya penginjilan di antara suku-suku Inggris dan Germania (Injil
keluar dari lingkungan Yunani – Romawi).
b. Munculnya agama Islam (622 M) yang mengakibatkan lenyapnya gereja di
Afrika Utara, Palestina dan Asia Kecil (Turki).
Kedua faktor ini menjadikan Eropa bagian Barat menjadi pusat gereja untuk
1200 tahun berikutnya.
2. Gereja dalam dunia dan kebudayaan Eropa pada abad-abad pertengahan sampai
Reformasi (600 – 1517).
3. Periode yang ketiga dimulai saat Reformasi dan meliputi perkembangan-
perkembangan gereja di seluruh dunia. Fase sejarah ini baru akan berakhir, bila
Tuhan Yesus kembali untuk kedua kalinya.

Periodisasi lain yang menitikberatkan pada konteks bangsa-bangsa yang dipakai


Tuhan pada periode-periode sejarah tertentu dapat dibagi menjadi lima periode, yaitu:
7

1. Abad I – VI adalah waktu Tuhan bagi Timur Tengah, Afrika Utara dan Eropa Selatan,
yaitu kekaisaran Romawi di sekitar Laut Tengah. Selama periode ini kekaisaran
Romawi merupakan pusat penginjilan untuk seluruh dunia. Tetapi periode ini bukan
hanya zaman kemenangan bagi Injil, melainkan juga zaman kejatuhannya. Waktu
terang bagi Roma berlalu, Dian Injil akhirnya dipindahkan, walaupun selama 10 abad
(500 – 1500) arah Injil tidak begitu jelas seperti abad-abad pertama.
2. Berhubung timbulnya agama Islam yang dalam singkat memenangkan Timur Tengah
dan Afrika Utara, maka pintu bagi Injil ke Asia tertutup. Karena itu Injil berkembang
ke Barat dan Utara dan memenangkan Eropa: Gereja Iro-Skotlandia, Gereja Inggris
dan gereja di antara suku-suku Germania menjadi pusat penginjilan. Tetapi
penginjilan itu amat dangkal dan hanya merupakan suatu pengkristenan di mana
Gereja Katolik Roma semakin membutuhkan suatu pembaruan radikal. Akhirnya
perkembangan pembaruan ini memuncak pada Reformasi (1517). Kaki dian Injil
mulai dibangun kembali dan dipindahkan dan berpusat di Eropa Barat (Martin
Luther 1483-1546; dan reformator-reformator yang lain).
Tetapi reformasi yang menghidupkan gereja tidak mengakibatkan suatu kegerakan
misi yang terbeban untuk mencapai bangsa-bangsa di Afrika dan Asia. Tetapi Tuhan
tidak melupakan dunia yang membutuhkan berita keselamatan. Tuhan mengarahkan
gereja-Nya melalui pietisme yang membangkitkan semangat pekabaran Injil (1675).
Tokoh-tokoh pietisme yakni Philip Jacob Spener 1635-1705; August Hermann
Francke 1663-1727; Pangeran Nicolaus Ludwig V. Zinzendorf 1700-1760, dll
menjadi pelopor dan perintis modern pada akhir abad XVIII (1792).
3. William Carey (1761-1834; pada tahun 1834 dua misionaris dari Amerika dibunuh
di daerah Tapanuli dan pada tahun yang sama L. Nommensen lahir di Jerman) mulai
suatu zaman yang baru, yakni gerakan misi modern. Pusat penginjilan berpindah ke
Inggris dalam waktu relatif singkat puluhan badan misi didirikan di Eropa Barat dan
Amerika Utara dan ribuan misionaris gereja-gereja Protestan diutus ke ujung-ujung
bumi.
4. Sejak pertengahan abad XIX pusat penginjilan beralih ke Amerika Serikat. Peralihan
itu berkaitan dengan suatu kegerakan kebangunan rohani di Amerika Utara pada
babak kedua abad XIX, yang mengakibatkan suatu beban besar bagi penginjilan
sedunia, sehingga hampir 70% dari semua misionaris Protestan berasal dari
Amerika Serikat (± 36.000 misionaris; 1975).
5. Sejak berakhirnya perang dunia kedua dan khususnya kira-kira tahun 1960
nampaklah bahwa sekarang adalah waktu Tuhan untuk Asia dan Afrika. Injil telah
mengelilingi dunia dan sekarang telah tiba kembali di Afrika dan Asia. Abad XX ini
juga disebut abad revolusi Roh Kudus yang nampak dalam kebangunan rohani di
pelbagai negara Asia dan Afrika.

KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN GEREJA PADA


ABAD-ABAD PERMULAAN

Sejarah gereja Kristen sepanjang dua ribu tahun mulai dari negara Israel hingga ke
Eropa, Amerika, dan Indonesia sangat menarik untuk dicermati. Sejarah gereja
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh gereja yang tidak terbilang banyaknya, dan juga
menimbulkan kejadian-kejadian yang mengubah alur sejarah dunia.
8

Kehidupan Yesus

Kelahiran, pelayanan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus ke surga adalah


inti dari kepercayaan Kristen.Periode ini dimulai sejak kelahiran Yesus hingga kematian
dan kebangkitan Yesus, kurang lebih dari 4 SM hingga 33 M.
Yesus dilahirkan sekitar tahun 4 SM dan menjadi dewasa di Nazareth, Galilea;
setelah ia berumur tiga puluh tahun, dimulailah pelayanan Yesus selama tiga tahun
termasuk merekrut keduabelas rasul, melakukan mujizat, mengusir setan,
menyembuhkan orang sakit, dan membangkitkan orang mati; Yesus dihukum dengan
cara disalib oleh karena hasutan pemimpin-pemimpin agama yang tidak suka dengan
ajaran Yesus yang dianggap bertentangan dengan ajaran mereka. Ia disalibkan di Bukit
Golgota, Yerusalem sekitar tahun 29-33 oleh perintah Gubernur Provinsi Yudea
Romawi, Pontius Pilatus dan setelah disalibkan, Yesus mati dan dikuburkan di gua batu.
Umat Kristiani percaya bahwa Yesus bangkit dari mati pada hari ketiga setelah
kematiannya dan menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saksi mata. Empat
puluh hari kemudian Ia naik ke surga dengan disaksikan orang banyak. Umat Kristiani
juga percaya bahwa para imam Yahudi yang ketakutan menyogok para penjaga kubur
untuk menyebarkan kabar bohong bahwa Yesus tidak bangkit melainkan mayatnya
dicuri oleh para muridnya. Kelima hal ini (lahir, pelayanan, mati, bangkit, naik ke surga)
adalah intisari kekristenan.Informasi utama tentang kehidupan Yesus berasal dari
keempat Injil dan tulisan-tulisan Paulus serta murid-murid Yesus yang lain yang secara
kolektif disebut buku Perjanjian Baru.
Sebelum Yesus naik ke surga, Ia memberikan perintah kepada para murid-Nya
untuk pergi ke Yerusalem dan menunggu di sana sampai Roh Kudus dicurahkan ke atas
mereka. Dengan kuasa yang diberikan Roh Kudus itu Yesus berjanji akan
memperlengkapi murid-murid-Nya untuk menjadi saksi-saksi, bukan hanya di
Yerusalem tapi juga di ke ujung-ujung bumi (Kis. 1:1-11). Janji itu digenapi oleh Kristus
dan perintah itu ditaati oleh murid-murid-Nya.

Keadaan Sidang Jemaat Mula-mula

Hari kelahiran gereja ialah hari turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Murid-
murid dipenuhi dengan Roh Kristus, sehingga mereka berani bersaksi tentang kelepasan
yang dikaruniakan Tuhan kepada dunia. Di mana orang menyambut Injil dengan
percaya kepada Yesus Kristus, di sana terbentuklah jemaat-jemaat kecil. Keadaannya
nampak seperti mazhabYahudi saja, karena mula-mula orang Kristen masih
mengunjungi Bait Allah dan rumah ibadat serta taat kepada taurat Musa. Walaupun
demikian, nyata juga perbedaan besar antara orang Kristen Yahudi ini dengan kawan
sebangsanya, karena mereka percaya dan mengajarkan bahwa Yesus dari Nazaret ialah
Mesias yang dijanjikan itu. Dengan demikian taurat, Bait Allah dan sinagoge lambat laun
kurang penting bagi kaum Kristen.Permulaan sejarah gereja dapat kita pelajari dari
kitab Kisah Para Rasul yang melukiskan hidup jemaat mula-mula.

Sidang Pertama Bersifat Komunis?

Ada yang mengatakan bahwa jemaat yang mula-mula itu bersifat komunis,
berhubung dengan penjualan harta benda yang hasilnya dibagi-bagikan di antara semua
saudara sesuai dengan keperluaan masing-masing (Kis. 2:44 dab). Tetapi hal itu
bukanlah komunisme, karena pemberian itu tidak diatur dengan resmi, pun tidak
diharuskan. Selain itu, hak masing-masing anggota untuk memiliki harta benda tidak
9

diperkosa (Kis. 5:4). Dalam perkembangannya maka pangkat syamas diadakan untuk
melayani orang miskin, yakni semua anggota gereja yang membutuhkan bantuan.

Karunia-karunia

Pada saat itu tak sedikit orang Kristen yang diberi Tuhan rupa-rupa karunia Roh
atau karunia oleh Roh Allah, seperti karunia menyembuhkan orang sakit, mengadakan
mujizat, bernubuat dan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (glosolalia),
yaitu mengeluarkan bunyi dan bahasa yang tak dapat diartikan oleh orang banyak,
tetapi yang perlu diterangkan maknanya (1 Kor. 12:10).

Gereja Menjauhkan Diri Dari Keyahudian

Mula-mula orang Kristen di Yerusalem belum sadar akan panggilannya terhadap


dunia, tetapi penganiayaan yang diderita dari pihak orang Yahudi menjadi alat dalam
tangan Tuhan untuk mencelikkan mata mereka guna melihat tugasnya, yakni
menyebarkan Injil kepada semua bangsa. Supaya maksud itu tercapai perlulah kaum
Kristen memisahkan diri dari agama Yahudi. Perpisahan itu dimulai sesudah
pembunuhan Stefanus, yang menegaskan bahwa taurat dan korban agama Yahudi tak
berharga lagi oleh kedatangan Kristus. Lalu jemaat Kristen sangat dianiaya oleh
Sanhedrin, sehingga mereka lari ke mana-mana. Dengan jalan itu, Injil mulai dikabarkan
di luar negeri, mula-mula kepada orang Yahudi saja, tetapi kemudian juga kepada orang
kafir (bangsa-bangsa lain), pertama-tama di kota Anthiokhia. Di sanalah pengikut-
pengikut Yesus mula-mula disebut “orang Kristen” (Kis. 11:26). Dari Anthiokhia,
kemudian Paulus dan Barnabas diutus, baik kepada orang Yahudi, maupun ke daerah
kafir. Gereja tak terkurung lagi dalam batas-batas adat dan agama Yahudi; gereja
sedunia mulai berkembang.

Pertikaian

Kemudian timbullah perselisihan antara jemaat muda di antara orang kafir dengan
jemaat induk di Yerusalem. Paulus mengatakan bahwa hanya iman kepada Yesus Kristus
saja yang membawa orang kepada keselamatan, sehingga orang kafir yang telah
bertobat tidak perlu lagi memenuhi segala tuntutan taurat, misalnya sunat. Banyak
orang Kristen yang berlatar belakang Yahudi tidak setuju dengan pendirian ini. Pada
persidangan rasul-rasul di Yerusalem (Kis. 15) hal ini diperbincangkan, sampai kedua
pihak sepakat untuk membebaskan orang kafir yang masuk Kristen dari syarat-syarat
taurat, kecuali empat hal yang wajib dilakukan (lih Kis. 15:29).

Kemunduran Jemaat Di Yerusalem

Pada waktu kemudian kuasa jemaat di Yerusalem makin surut. Jumlah anggota
sedikit saja, jika dibanding dengan gereja di luar negeri yang bertambah-tambah besar.
Menjelang penghancuran kota Yerusalem pada tahun 70 oleh Jendral Titus, maka orang
Kristen Yahudi meninggalkan kota itu, karena tidak setuju dengan cita-cita dan maksud
kaum pemberontak Yahudi. Mereka pindah ke kota Pella yang terletak di daerah sebelah
timur sungai Yordan. Mereka digelari Ebionit (ebion: miskin, bahasa Ibrani) dan kurang
berhubungan dengan gereja besar, bahkan mereka dianggap bidat, karena mereka
menolak ajaran Paulus, dan tidak mengakui pula, bahwa Yesus dilahirkan oleh seorang
perawan. Di samping Perjanjian Lama mereka memakai “Injil orang Ibrani”, suatu kitab
apokrif. Lama-kelamaan orang Ebionit dilupakan orang dan sejak Palestina ditaklukkan
10

dan diduduki oleh orang Arab pada abad ke-7 tidak kedengaran lagi kabar tentang
mereka.

ZAMAN SESUDAH PARA RASUL

Hakekat Gereja

Waktu antara hari Pentakosta dan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya
ialah waktu gereja, yang ditentukan oleh Tuhan untuk mengumpulkan umat-Nya dari
antara bangsa-bangsa. Dengan timbulnya gereja, dunia yang sebelumnya dibagi atas dua
golongan, yaitu Israel dan orang-orang bukan Yahudi, berubah menjadi suatu
pembagian atas tiga golongan, yaitu Israel, bangsa-bangsa kafir dan gereja. Karena itu
orang-orang Kristen adalah golongan/kaum yang ketiga (sejak abad kedua). Umat Allah
yang baru ini disebut “ekklesia”. Istilah Yunani “ekklesia” dibentuk dari kata “ek” (dari)
dan “Kaleo” (memanggil), yaitu “mereka yang dipanggil keluar”. Perjanjian Baru
memakai istilah “ekklesia” ± 115 kali, yakni 10 kali dalam arti gereja seluruhnya (Mat.
16:18) dan selebihnya dalam arti gereja lokal/jemaat setempat (Mat. 18:17). Jadi
“ekklesia” adalah
1. Kaum yang dipanggil keluar dari kehidupan yang lama dan keluar dari kuasa iblis,
dipanggil kepada Allah sendiri, dipindahkan ke dalam “basileia tou Theou” (Kerajaan
Allah) – perubahan status dan pola hidup.
2. Kaum yang dipanggil keluar dari hidup bagi diri sendiri dan dipanggil untuk hidup
bagi Tuhan, beribadah kepada Tuhan dan melayani Tuhan – perubahan tujuan hidup
dan pandangan dasar.
Gereja semata-mata adalah ciptaan dan kepunyaan Allah (1 Kor. 6:19-20) demi
untuk mempermuliakan nama Tuhan. Gereja dipanggil untuk menjadi alat di dalam
tangan Tuhan untuk melaksanakan kehendak Tuhan dan mencapai bangsa-bangsa
dengan berita keselamatan dan mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi.

Permulaan Gereja

Gereja ditugaskan untuk menjadikan semua bangsa murid Tuhan Yesus (Mat.
28:18-20). Tugas itu tidak mungkin terlaksana bila dilihat dari segi manusia saja: pada
permulaannya gereja tidak mempunyai organisasi, tidak ada sumber keuangan, tidak
ada pengikut-pengikut yang berpengaruh atau pun berpendidikan tinggi, pendiri gereja
tidak dikenal di luar tanah airnya, ditolak oleh bangsanya sendiri, disalibkan oleh
pemerintah Romawi, pendiri agama baru ini tidak menulis buku bahkan tidak
meninggalkan sesuatu yang tertulis.
Kitab Kisah Para Rasul dimulai dengan suatu pertemuan dari 120 murid Tuhan
yang sangat ketakutan – tetapi satu generasi kemudian, Injil itu sudah diberitakan di
seluruh Asia Kecil, memasuki Eropa, jemaat-jemaat kecil didirikan di semua kota besar,
bahkan di kota Roma (pusat dunia), bahkan sudah ada pengikut di dalam keluarga
Kaisar sendiri.
Jemaat-jemaat itu dapat berdikari, tidak tergantung uang dari luar, bahkan
sebaliknya mereka mengumpulkan uang untuk membantu jemaat-jemaat yang lain (2
Kor. 8:13-15). Jemaat-jemaat itu bersifat misioner:
1. Self governing (memimpin diri sendiri, berdikari secara kepemimpinan).
2. Self supporting (berdikari secara keuangan).
3. Self propagating (giat memberitakan Injil).
4. Self reproducing (mendirikan pos-pos PI dan jemaat-jemaat cabang).
11

Organisasi Gereja Mula-mula

Suatu penelitian tentang jabatan-jabatan di dalam gereja mula-mula dapat


menunjukkan bahwa terdapat dua golongan pelayan. Yang pertama ialah yang disebut
dengan golongan kharismatik (mereka yang mempunyai kharisma dan panggilan
khusus; tidak boleh dikelirukan dengan gerakan kharismatik masa kini), yaitu para
rasul, nabi dan penginjil gereja mula-mula. Pelayanan mereka pada umumnya bersifat
regional (berpindah-pindah) sesuai dengan pimpinan Roh Kudus dan kebutuhan jemaat-
jemaat. Golongan kedua ialah pejabat-pejabat setempat, yaitu para penilik, penatua dan
diaken (syamas). Pelayanan mereka bersifat lokal dan tetap. Pada zaman rasuli (abad
pertama) tidak dibedakan antara penatua (presbyteros-presbiter-majelis) dan penilik
(episkopos-uskup-pendeta setempat). Paulus masih memakai kedua istilah ini secara
identik: Kis. 20:17 memakai “presbyteros”, sedangkan Kis. 20:28 memakai “episkopos”
untuk orang yang sama (bnd. Tit. 1:5-7). Berhubungan dengan segi mana pelayanan
mereka ditekankan, maka dipakai “prebyteros” (penatua) atau “episkopos” (penilik).
Pada umumnya terdapat beberapa penatua atau penilik dalam setiap jemaat (bnd. Flp.
1:1; mengingat bahwa Filipi adalah kota dan jemaat kecil).
Organisasi gereja mula-mula belum tersusun secara hirarkis (menurut tinggi
rendahnya pangkat dan kedudukan). Jemaat-jemaat gereja seluruhnya dipimpin sesuai
dengan karunia-karunia yang Tuhan berikan. Jemaat-jemaat berdiri sendiri (otonomi
atau indipenden) dan belum terdapat sistem sinodal (presbiterial sinodal atau sinodal
presbiterial) atau sistem episkopal (uskup, ephorus, praeses, bishop). Garansi untuk
kesatuan gereja dilihat dalam pelayanan para rasul yang bersifat regional dan
menyeluruh. Jelaslah juga bahwa pada abad pertama kedudukan golongan kharismatik
dianggap lebih tinggi (utama) dan bahwa berabad-abad berikutnya kepemimpinan
gereja berangsur-angsur beralih kepada golongan para pejabat dan akhirnya secara
pelan-pelan suatu susunan hirarkis berkembang, yang akhirnya membawa gereja
Katolik Roma kepada sistem kepausan (sejak abad ke-5).

Peribadahan Gereja Mula-mula

Pada abad pertama orang-orang percaya bersekutu dan beribadah di rumah


masing-masing dan tidak mempunyai gedung ibadah yang khusus. Karena Tuhan Yesus
bangkit pada hari minggu (Minggu berasal dari istilah bahasa Portugis “Dominggo”:
Tuhan), maka jemaat Kristen khususnya berhimpun pada hari minggu (bnd. Kis. 20:7).
Sejak tahun 321 hari minggu menjadi hari Raya di Eropa (adik Kaisar Konstantinus).
Pada abad pertama orang-orang percaya bersekutu dan beribadah tanpa memakai
suatu tata ibadah yang tersusun rapi. Mereka berdoa bersama, menyembah Tuhan
dengan nyanyian dan pujian, mendengar penjelasan tentang pengajaran Kristen dan
mengadakan perjamuan kudus dalam setiap kebaktian (sabtu malam dan minggu pagi).
Mereka terbuka untuk apa yang Roh Tuhan berikan kepada mereka sesuai dengan pola
dalam 1 Kor. 14:26.
Sewaktu-waktu kebebasan itu mengakibatkan ketidaktertiban (latar belakang 1
Korintus), namun pola ini mempunyai kekuatan dan keuntungan tertentu:
1. Dalam suatu kebaktian kelompok kecil yang diselubungi oleh suasana kekeluargaan,
masing-masing saling kenal dan hubungan persekutuan lebih nyata.
2. Mengadakan kebaktian secara tidak formal di dalam sebuah rumah biasa akan
menjauhi banyak keadaan yang kurang praktis, yang diakibatkan oleh kebiasaan
mengenai pakaian istimewa untuk pergi mendengarkan seseorang yang istimewa di
suatu tempat yang istimewa. Melalui keistimewaan itu perbedaan-perbedaan di
antara lapisan-lapisan masyarakat lebih ditonjolkan.
12

3. Dengan jumlah hadirin yang lebih sedikit ada kemungkinan bagi setiap orang untuk
mengambil bagian secara aktif dalam kebaktian sesuai dengan 1 Kor. 14:26.
Kebanyakan merasa kurang bebas dalam kelompok besar (tembok psikologis dan
kesulitan praktis).
4. Biaya yang besar untuk pembangunan dan pemeliharaan gedung gereja (sering ada
juga unsur persaingan dalam pembangunan gedung gereja ), dapat dialihkan kepada
pelayanan diakonia dan pekabaran Injil, yaitu tugas utama setiap gereja.
5. Memiliki sebuah gedung khusus untuk kebaktian hampir senantiasa meliputi
gagasan adanya seseorang tertentu sebagai pelayan firman, yang akhirnya
berkembang menjadi “pelayanan satu orang” (monopoli pelayanan) dan
menghalangi pelaksanaan dan penghayatan imamat am orang percaya.
6. Pola kebaktian di rumah biasa lebih mendorong dibentuknya pos-pos PI dan
mendirikan cabang-cabang jemaat, karena bila jumlah anggota sudah melebihi
fasilitas rumah biasa, maka mau tidak mau kelompok itu harus dibagi dua. Dengan
pola ini lebih gampang untuk memasuki lingkungan-lingkungan yang baru.
7. Melayani kelompok kecil di rumah akan mengatasi banyak percobaan untuk
menganggap diri penting (kesombongan rohani) dan menganggap diri besar
(kesombongan organisasi).
8. Bilamana sebuah “jemaat rumah” (bnd. Rm. 16:5; 1 Kor. 16:19; Kol. 4:15; Fil. 2)
macet atau bubar, kita tidak perlu mempertahankan suatu struktur organisatoris
dan lebih gampang untuk mencari penyelesaian perselisihan.
9. Pengkaderan pemimpin-pemimpin lebih gampang dalam pola jemaat rumah.
10. Pada masa gereja dihambat atau mengalami masa penganiayaan, kelompok-
kelompok kecil dan jemaat-jemaat lebih dapat bertahan atau hidup di bawah tanah.
Fakta ini terbukti dalam sejarah, baik pada masa penghambatan oleh kekaisaran
Romawi, maupun dalam penghambatan di negara-negara komunis.
11. Penelitian dalam bidang pendidikan telah mengemukakan bahwa sebenarnya
dengan metode mendengar para siswa hanya belajar sedikit (hanya 10% masih
diingat sesudah 3 hari), sedangkan metode melaksanakan sesuatu aktivitas, maka
akan mengingat ± 60%. Jadi efisiensi belajar semakin besar kalau kita mengambil
bagian dengan aktif dan partisipasi interaktif semakin besar pula. Inilah metode
Allah untuk mendewasakan jemaat-jemaat, untuk memobilisasi jemaat dan
menjadikan jemaat itu jemaat misioner. Bilamana seseorang dilatih dengan cara ini
dan kemudian pindah ke daerah lain di mana belum ada gereja, maka ia sudah siap
untuk mendirikan dan memimpin suatu kelompok kecil di dalam rumahnya sendiri.
Itulah salah satu faktor yang menentukan dalam perkembangan gereja mula-mula.

Kehidupan Gereja dan Penembusan Lapisan Masyarakat

Perjanjian Baru lebih mengutamakan keselamatan pribadi seseorang dari pada


perubahan struktur-struktur kemasyarakatan. Perubahan struktur dianggap akibat
seharusnya dari keselamatan pribadi. Injil itu pertama-tama personal, lintas sosial. Pola
yang Tuhan kehendaki untuk gereja-Nya ialah pola terang (Mat. 5:14), pola garam (Mat.
5:13) dan pola ragi (1 Kor. 5:6).
Etika Kristen: kebajikan orang Kristen pada umumnya jauh berbeda dengan
kemerosotan moral di sekitar mereka (bnd. Rm. 1:24-32). Agama-agama di dalam
kekaisaran Romawi pada umumnya tidak berpengaruh dalam bidang etika. Khususnya
juga hal nikah dan keadaan rumah tangga jauh berbeda dengan masyarakat pada
umumnya.
Milik: segala milik dianggap pinjaman dari Allah yang harus digunakan untuk
kemuliaan Allah. Orang-orang Kristen menganggap diri sebagai juru kunci (stewardship,
13

penatalayanan) dan bukan sebagai pemilik. Pemilik ialah Allah sendiri. Manusia
ditugaskan untuk memelihara dengan baik dan menggunakan hartanya demi
keuntungan si pemilik. Penggunaan harta benda harus dipertanggungjawabkan kepada
Allah. Sebab itu kehidupan orang Kristen hendaknya sederhana dan jangan mewah.
Harta gereja ialah orang-orang miskin yang merupakan tanggung jawab gereja. Pada
pertengahan abad ke-3 (di tengah-tengah penghambatan gereja oleh Kaisar Decius),
jemaat di Roma memberi sokongan kepada 1.500 orang miskin dan jemaat di Antiokhia
memberi sokongan kepada 10.000 orang miskin (perlu diingat bahwa gereja tidak
mempunyai gedung ibadah yang khusus sampai ± pertengahan abad ke-3).
Perbudakan: perbudakan dipandang sebagai sesuatu yang biasa. Orang-orang
Kristen pun memiliki budak-budak (Surat Filemon). Para budak Kristen dinasehati
supaya mereka melayani tuannya dengan patuh, jujur dan sabar; baik tuan yang
beragama Kristen maupun tuan yang kafir; baik tuan yang adil maupun tuan yang kejam
(bnd. 1 Kor. 7:21-24; Ef. 6:5-6; Gal. 3:28; Tit. 2:9-10; 1 Ptr. 2:18-21; dll). Namun di dalam
lingkungan jemaat sendiri tidak ada perbedaan di antara budak dan tuannya. Semua
anggota jemaat bergaul selaku saudara. Segala jabatan di dalam jemaat juga terbuka
untuk para budak, termasuk jabatan keuskupan di Roma pada tahun 217-222). Hal ini
merupakan suatu revolusi kasih bila dibandingkan dengan pandangan dan situasi umum
di mana seorang budak tidak mempunyai hak apapun, bahkan tidak tergolong “manusia”
melainkan “benda”. “Tidak mungkin bahwa kita berteman dan bersahabat dengan
seorang budak, karena ia adalah suatu benda yang tidak mempunyai jiwa. Juga keadilan
terhadap seorang budak tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak perlu dilaksanakan,
karena ia tidak berjiwa. Para budak hanya merupakan suatu benda atau suatu alat
semata-mata” (Aristoteles, 284-322 s.M.). Sedangkan menurut Alkitab seorang budak
dipandang bersaudara dan anggota-anggota satu keluarga besar; semuanya itu
merupakan daya tarik yang besar.

Pekabaran Injil Gereja Mula-mula

Tuhan Yesus memberikan tugas kepada murid-murid-Nya: menjadikan semua


bangsa murid-Nya, membawa Injil sampai ke ujung bumi (Mat. 28:18-20; Mrk. 16:15;
Luk. 24:27-48; Yoh. 17:18; 20:21; Kis. 1:8). Amanat Agung Tuhan Yesus ini meliputi segi-
segi berikut:
1. Memperhadapkan semua suku dan bangsa dengan Injil, secara inteligen, menarik,
efektif dan meyakinkan. Sasarannya: memenangkan, memuridkan.
2. Memimpin orang-orang yang telah mendengar dan menerima Injil ini kepada
hubungan iman kepada Tuhan Yesus Kristus (pertobatan, kelahiran baru,
pembaruan, menerima Tuhan Yesus secara pribadi), sehingga dapat meyakini
pengampunan dosa; keselamatan pribadi dan mengalami pembaruan hidup dan
kemenangan di dalam Kristus.
3. Mengumpulkan orang-orang percaya dan membentuk jemaat-jemaat Kristen
(baptisan) yang berperan sebagai terang, garam dan ragi di dalam dunia
(mendirikan tanda-tanda Kerajaan Sorga: kasih dan keadilan, kesucian dan
kebenaran).
4. Mengajar orang-orang percaya dalam prinsip-prinsip rohani serta aplikasinya untuk
kehidupan pribadi dan kehidupan jemaat (fungsi kenabian jemaat). Melatih orang-
orang percaya dalam kehidupan yang dikuasai oleh Roh Tuhan dan firman Tuhan
(termasuk hal penatalayanan, supaya jemaat dan gereja menjadi “self supporting).
5. Mengkaderkan pemimpin-pemimpin jemaat dan gereja, supaya sejak semula gereja
itu menjadi “self governing” (mandiri).
14

6. Mendidik dan melatih mereka dalam hal pekabaran Injil dan mereproduksi diri (self
propagating, self reproducing).
7. Mengajarkan Amanat Agung kepada setiap jemaat dan gereja supaya jemaat dan
gereja itu menjadi jemaat atau gereja misioner yang sepenuhnya melibatkan diri
dalam pekabaran Injil lintas budaya dan membawa Injil sampai ke ujung-ujung bumi
sampai akhirnya semua telah mendengar Injil.

GEREJA DI BAWAH KEKAISARAN ROMAWI

Penghambatan dan Penganiayaan

Salah satu faktor dalam pertumbuhan gereja mula-mula ialah kesaksian orang-
orang Kristen yang mati syahid. Rahasia rohani itu Tertulianus rumuskan dalam
pernyataannya yang terkenal: “Darah orang mati syahid itulah benih gereja”. Rahasia
rohani dan kenyataan ini, di kemudian hari, juga menjadi daya tarik gereja-gereja di
negara-negara yang dikuasai oleh komunisme dan ideologi-ideologi totaliter lainnya.
Penghambatan dan penganiayaan yang dialami oleh gereja pada tiga abad pertama
dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu: pertama, penghambatan dan
penganiayaan yang bersifat lokal dan insidentil; kedua, penghambatan dan
penganiayaan yang bersifat umum.

1. Penghambatan dan penganiayaan yang bersifat lokal dan insidentil


Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-harinya, orang-orang Kristen sangat
dirasakan berbeda dengan kelakuan orang-orang kafir. Hal ini menimbulkan kecurigaan
dan bermacam-macam tuduhan. Ada yang menyangka bahwa orang-orang Kristen
membunuh dan memakan anak-anak kecil dalam kebaktian mereka, karena pertanyaan
“orang-orang Kristen makan tubuh dan minum darah Anak Manusia”. Kaum Kristen juga
sering dibenci karena mereka lain dengan masyarakat pada umumnya atau mereka
diolok-olok seperti dalam lukisan di kota Roma yang memperlihatkan penyaliban
seseorang yang berkepala keledai, dengan judul di bawah lukisan itu: “Alexamenos
menyembah allahnya”.
Pemerintah Romawi juga mencurigai kesetiaan kaum Kristen terhadap negara,
karena mereka tidak bersedia turut mempersembahkan kemenyan kepada kaisar
Romawi. Karena itu mereka dianggap kurang dapat dipercayai atau subversif dan
membahayakan (surat-menyurat antara Phinius, Gubernur di Bitinia, dan Kaisar
trajanus pada tahun 112).
Penghambatan pertama terjadi di Roma pada tahun 64 atas perintah Kaisar Nero
(54-68). Orang-orang Kristen dipermasalahkan dan dituduh bahwa merekalah yang
membakar kota Roma. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan mati syahid,
termasuk rasul Paulus dan Petrus. Tetapi penghambatan ini hanya berlangsung sebentar
dan bersifat lokal.
Sampai pertengahan abad ke-3, semua insiden penghambatan dan penganiayaan
bersifat spontan, lokal dan sementara. Pada umumnya orang-orang Kristen dibiarkan,
walaupun sering dicurigai dan dibenci. Hanya sewaktu-waktu dan semakin lama
semakin sering, khususnya sejak permulaan abad ke-3, api kebencian itu berkobar-
kobar, sehingga di sana-sini jemaat-jemaat disiksa: pada waktu pemerintahan Kaisar
Domitian (81-96; bnd. Why. 1:9; 2:10-13; 3:8-10); masa pemerintahan Kaisar Trajanus
(98-117) di Asia Kecil; di bawah pemerintahan Kaisar Markus Aurelius (Marc Aurel)
tahun 161-180 di kota Lyon di Perancis Selatan (177); di bawah pemerintahan Kaisar
Septimus Severus (193-211) di propinsi Afrika Utara, dan lain-lain.
15

Dalam sebuah surat jemaat di Smirna tentang kematian syahid Uskup Polycarpus
(Martyrdom of Polucarp), kita dapat mengetahui tentang ketabahan dan kesaksian yang
indah dari orang-orang Kristen yang mati syahid.
Dengan semakin banyaknya orang Kristen yang dihadapkan ke pengadilan, maka
semakin banyak orang Kristen yang mempermasalahkan hubungan antara orang Kristen
dan pemerintah kekaisaran Romawi. Pertanyaan-pertanyaan yang penuh pergumulan
muncul: apakah pemerintah kekaisaran Romawi ini adalah kuasa yang menahan
kedurhakaan dan kekacauan dunia (2 Tes. 2:6; Rm. 13) ataukan dia “binatang itu”, yaitu
Babel (Why. 12:7-17; 13:1-15; 17:1-6). Akibat pergumulan itu, semakin banyak orang
Kristen yang mengundurkan diri dari keterlibatannya dalam urusan negara dan bangsa .

2. Penghambatan dan penganiayaan yang bersifat umum


Mulai tahun 250 terjadi penghambatan umum yang pertama. Perkembangan baru
itu dimotori oleh dua hal, yaitu: pertama, gereja semakin kuat dan luas pengaruhnya
sehingga gereja menjadi salah satu faktor politik yang harus dipertimbangkan. Kedua,
kekaisaran Romawi semakin lemah dan kacau karena ekonomi dan politik
(kepemimpinan yang beralih kepada panglima-panglima militer yang saling bersaing);
kelemahan itu mendorong suku-suku Persia di ujung Timur dan suku-suku German di
ujung Barat untuk menyerang kekaisaran Romawi. Karena itu kekaisaran Romawi
mempropagandakan penyembahan kepada kaisar menjadi alat pemersatu kekaisaran
yang heterogen (berbeda bangsa, ras, agama dan budaya). Tetapi gereja tidak mau
menyembah kaisar sebagai dewa. Dengan demikian timbullah usaha sistematis
pemerintah Romawi untuk melenyapkan gereja.

a. Penghambatan di bawah Kaisar Decius (249-251)


Pada waktu itu kekaisaran Romawi terancam oleh suku-suku German, maka
disangka bahwa dewa-dewa murka karena kedurhakaan orang-orang Kristen yang tidak
mau berbakti kepada dewa-dewa itu. Sebab itu, Kaisar Decius mewajibkan semua orang
Kristen untuk memberikan korban persembahan kepada kaisar. Semua orang
membutuhkan surat keterangan dari pemerintah bahwa mereka sudah melaksanakan
kewajiban mereka (libellus). Diperhadapkan dengan ancaman hebat itu, tidak
mengherankan bahwa ada cukup banyak orang Kristen yang murtad atau berusaha
memberi uang suap kepada imam-imam kafir untuk mendapatkan sepucuk surat
keterangan bahwa mereka sudah mempersembahkan korban dupa di atas mezbah
kaisar. Tetapi kebanyakan orang Kristen tetap setia.

b. Penghambatan di bawah Kaisar Valerianus (253-260)


Kaisar Valerianus meneruskan penghambatan Kaisar Decius (motivasinya sama).
Kali ini, khususnya ditujukan kepada klerus (clergy) dan para pemimpin gereja. Banyak
yang ditangkap, disiksa dan dibunuh (antara lain Uskup Sixtus II di Roma; Uskup
Cyprianus di Karthago pada tahun 257).
Tetapi kedua kaisar ini tidak berhasil melenyapkan gereja. Sebaliknya, tidak
mengherankan bahwa waktu penghambatan dan penganiayaan orang-orang Kristen
menjadi propaganda besar bagi umat Kristen dan banyak juga yang tertarik dan
dimenangkan oleh kesaksian orang-orang percaya. Akibat yang terjadi dari
penghambatan adalah sebaliknya dari apa yang diharapkan oleh kaisar, yakni gereja
dibersihkan dan menjadi lebih tabah serta bertambah besar.
Penghambatan pun tidak lain dari alat dalam tangan Tuhan untuk mencapai
tujuan-Nya menguatkan gereja dan mencapai semua lapisan masyarakat dengan Injil.
Kedua penghambatan ini hanya diijinkan Tuhan berlangsung selama dua tahun, sesuai
dengan janji Tuhan di 1 Kor. 10:13 dan Mat. 24:22. Namun perlu disadari bahwa
16

Perjanjian Baru dengan realistis dan siuman menyiapkan orang-orang percaya untuk
masa penghambatan. Karena itu, gereja pun harus menyiapkan orang-orang Kristen
untuk penderitaan masa depan.

c. Penghambatan di bawah pemerintahan Kaisar Diokletianus (284-305)


Diokletianus sangat dipengaruhi oleh menantunya yang amat membenci orang
Kristen. Pada tahun 303, ia memulai penghambatan dan penganiayaan yang paling
bengis di dalam sejarah kekaisaran Romawi. Semua gereja diperintahkan untuk
dihancurkan, buku-buku rohani dan Alkitab dibakar, kebaktian dilarang, harta gereja
disita, semua orang Kristen diwajibkan untuk menyembah kepada kaisar, klerus disiksa
dan dibunuh, pegawai-pegawai Kristen dan perwira-perwira Kristen dipecat, orang-
orang Kristen kehilangan hak-hak sipilnya dan dijadikan warga negara kelas dua.
Namun gereja tidak lenyap. Pada tahun 305 Diokletianus dan Maximian
mengundurkan diri selaku kaisar dan diganti oleh Galerius dan Konstantius. Pada tahun
306 Konstantius meninggal dan tentara-tentaranya mengangkat putranya, Konstantinus,
sebagai kaisar.

Pada tahun 312, Konstantinus dapat mengalahkan Maxentius, putra bekas kaisar
Maximian. Pada tahun 313, Kaisar Konstantinus menetapkan suatu edik toleransi
agama, yaitu Edik Milano, yang berisikan keputusan-keputusan kaisar:
 Gereja mendapat kebebasan penuh untuk beribadah;
 Kekristenan menjadi salah satu agama di dalam kekaisaran Romawi;
 Seluruh milik gereja yang telah disita oleh pemerintah Romawi harus
dikembalikan kepada gereja dan semua kerugian harus diganti.
Akhirnya, sebelum dia meninggal, Kaisar Konstantinus minta dibaptis dan
menjadi kaisar Kristen yang pertama dalam sejarah dunia.

Ringkasan Tentang Fase Hubungan Antara Gereja dan Negara


Di Dalam Kekaisaran Romawi

1. Fase pertama, 30-250: gereja dicurigai oleh negara, namun pada umumnya gereja
dibiarkan. Sewaktu-waktu timbul penghambatan yang bersifat lokal dan sementara.
2. Fase kedua, 250-311: pemerintah kekaisaran Romawi berusaha untuk mengalahkan
dan melenyapkan gereja.
3. Fase ketiga, 313-380 (392): kaisar dan pemerintah kekaisaran Romawi memihak
kepada gereja (kecuali: Kaisar Julian Apostata, 361-363). Kenyataan ini
menyebabkan banyak orang masuk gereja berdasarkan pertimbangan politik.
Perkembangan ini tidak hanya menguntungkan gereja. Kaisar-kaisar mengingatkan
suatu gereja yang kuat dan esa, yang mereka butuhkan untuk mempersatukan
bangsa dan negara. Oleh pertimbangan-pertimbangan politik ini, Kaisar
Konstantinus sering mencampuri urusan-urusan gerejawi: ia membasmi bidat
Montanisme dan Novatianisme; ia memanggil semua uskup ke Nicea untuk
menghadiri konsili oikumene yang pertama pada tahun 325, dll.
4. Fase keempat, 380 (392): pada tahun 380, Kaisar Theodosius I Agung menjadikan
gereja-gereja negara. Pengakuan Iman Kristen diperintahkan sebagai kewajiban
terhadap negara, agama-agama lain dilarang. Menganut agama-agama lain dianggap
pelanggaran politik. Dengan demikian, hampir semua penduduk kekaisaran Romawi
masuk gereja.
17

Pada tahun 395 (wafatnya Kaisar Theodosius I Agung), kekaisaran Romawi dibagi
dua: bagian Timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya, dan di bagian Barat,
pusatnya di kota Roma.
Pada abad ke-5 dan ke-6 timbul dan berkembanglah suatu relasi angara gereja dan
negara di kekaisaran bagian Timur yang umumnya disebut “Kaisaro-papisme”, di
mana kaisar sebagai pemimpin sekuler mempunyai otoritas tertinggi di dalam gereja
dan masalah-masalah pengajaran pun dibawah kontrol pemerintah.
Perkembangan di kekaisaran bagian Barat berbeda. Pada tahun 476 kekaisaran
Barat runtuh. Lenyapnya juga kekuasaan sentralistis yang dapat mempersatukan
Eropa bagian Barat. Baru tiga ratus tahun kemudian kevakuman ini diisi kembali:
Paus di Roma menggabungkan diri dengan Raja suku Frank yang berhasil
mempersatukan Perancis, Belgia, Jerman dan Italia bagian utara. Pada hari Natal
tahun 800, Paus Leo III memahkotai Raja Karel Agung sebagai kaisar.

BIDAT-BIDAT DI DALAM GEREJA AWAL DAN SENJATA-SENJATA GEREJA

Para petobat baru di dalam gereja mula-mula berasal dari latar belakang Yahudi,
agama-agama kafir (oriental religions) dan filsafat Yunani. Ketika mereka menjadi
Kristen, latar belakang masing-masing juga dibawa masuk ke dalam gereja, sehingga
menimbulkan masalah-masalah: legalisme Yahudi (lex, egis: hukum, peraturan;
penekanan pada hukum dan peraturan sebagai faktor yang menentukan; hukum
Taurat), sinkretisme agama-agama kafir (percampuran agama, misalnya: Manicheisme)
dan pengaruh filsafat Yunani dalam perkembangan dogmatika Kristen.
Sesudah penghancuran kota Roma oleh pemerintah Romawi pada tahun 135 M,
pengaruh legalisme Yahudi semakin menghilang dan pengaruh filsafat Yunani
(khususnya di Alexandria) menjadi masalah yang paling berat.

Gnostik atau Gnostisisme

Gnostik adalah campuran filsafat Yunani (khususnya filsafat Plato), unsur-unsur


agama-agama kafir (khususnya yang berasal dari Persia dan Mesir) dan unsur-unsur
iman Kristen. Plato (427-348 s.M) menyatakan bahwa terdapat dua unsur di dalam
dunia ini, yaitu pengalaman manusia yang terus berubah-ubah dan realita yang tidak
berubah. Pandangan ini didasarkan pada hipotesis (sebelum dalil, pra-pendapat, pra-
kesimpulan), bahwa ada dua dunia atau dualisme: dunia pengalaman yang kelihatan dan
dunia ide yang merupakan realita yang sesungguhnya dan yang bersifat ideal, tetap dan
tidak berubah.
Dunia ide inilah yang menentukan, sedangkan dunia yang kita alami dan lihat
hanya merupakan bayangan dari dunia ide. Menurut Plato, ide-ide adalah cap (matrix)
bagi dunia yang kelihatan. Manusia berasal dari dunia ide dan akan kembali ke dunia
ide, yaitu ke asal mulanya. Untuk mempersiapkan diri pulang ke dunia ide dari mana ia
berasal, maka haruslah ia berusaha sedapat mungkin untuk melepaskan diri dari hal-hal
yang fana (askese). Akhirnya, pada waktu manusia meninggal, jiwa manusia terlepas
dari tubuh dan pulang ke dunia ide.
Apakah Gnostik merupakan suatu aliran pra-Kristen atau post-Kristen? Hal ini
sangat lama didiskusikan dalam kalangan para ahli sejarah umum dan ahli sejarah
gereja. Kebanyakan ahli sejarah gereja berpendapat bahwa Gnostik muncul pada akhir
abad I dan mencapai puncaknya pada pertengahan abad II. Rasul Paulus rupanya sudah
melawan sistem Gnostik dalam suratnya kepada jemaat di Kolose. Tradisi Kristen
menghubungkan asal Gnostik ini dengan Simon Magus (Kis. 8:9-24), misalnya Ireneus
(dalam Adversus Haereses).
18

Istilah Gnostik berasal dari kata Yunani “gnosis” yang berarti pengetahuan. Yang
dimaksud dengan Gnostik adalah suatu “hikmat tinggi” yang bersifat rahasia dan
membutuhkan suatu iluminasi yang khusus. Penganut-penganut Gnostik menegaskan
bahwa mereka sudah menemui dan memperoleh suatu pengetahuan baru, yang lebih
tinggi dan indah dari pada ajaran Kristen. Pengajaran Gnostik menguraikan tentang asal-
mula dunia (kosmologi), tentang tabiat manusia (antropologi), tentang asal dosa dan
kejahatan di dalam dunia yang kelihatan dan tentang jalan menuju keselamatan
(soteriologi). Banyak orang yang berpendidikan tinggi dan dipengaruhi filsafat Yunani
merasa sangat tertarik kepada Gnostik dan berusaha untuk menyatukan dan
mendamaikan ajaran-ajaran Gnostik dan ajaran-ajaran Kristen. Salah satu metode yang
banyak dipakai ialah tafsiran Alkitab secara alegoris. Perlu diperhatikan bahwa terdapat
lebih dari 30 golongan atau aliran Gnostik yang berlainan satu sama lain.
Adapun pengajaran-pengajaran Gnostik adalah:
1. Allah yang tertinggi dan yang adalah Roh itu tidak mempunyai hubungan dengan
dunia ini. Dunia yang penuh dengan penderitaan dan kejahatan, tidak mungkin
diciptakan oleh Allah yang Mahabaik, Mahakasih dan Mahatahu itu. Allah adalah
Terang dan Roh. Dunia penuh dengan kegelapan. Dunia ini dijadikan oleh suatu ilah
yang lain dan yang dinamakan “demiurgos” (kata Yunani, yang berarti
tukang/craftman; kata ini dipakai oleh Plato untuk ‘allah yang bawahannya
menciptakan dunia ini). Dialah yang diberitakan oleh Perjanjian Lama. Allah yang
menyatakan diri dalam PL, bukan Allah yang Mahaterang dan Mahatinggi, melainkan
hanya seorang malaikat bawahan. Gnostik mempertentangkan Allah dalam PL dan
Allah dalam PB.
2. Kristus diutus oleh Allah yang Mahatinggi dan bukan oleh Allah Pencipta
(demiurgos). Kristus tidak menjelma (inkarnasi ditolak), melainkan memakai tubuh
maya saja, sehingga pura-pura saja Ia mati di kayu salib (Doketisme: berdasarkan
kata Yunani ‘dokein’ – nampak, kelihatan). Konsep Doketisme ini sudah dilawan oleh
Rasul Yohanes (1 Yoh. 4:2-3). Basilides, seorang tokoh Gnostik di alexandria pada
pertengahan abad ke-2, mengatakan: “Bukan Kristus yang menderita sengsara,
melainkan Simon, seorang yang terpaksa menanggung salib Kristus sebagai ganti-
Nya dan orang itulah yang disalibkan akibat kekhilafan dan kekeliruan, sebab rupa
Simon telah diubah oleh Kristus supaya orang-orang mengira bahwa dialah Yesus.
Padahal Yesus sendiri memakai rupa Simon. Patutlah orang-orang percaya tidak
percaya kepada dia yang disalibkan, melainkan kepada Dia yang datang dalam rupa
seorang manusia dan yang hanya dianggap disalibkan dan yang disebut Yesus. Kalau
seseorang percaya kepada dia yang disalibkan itu, maka ia masih seorang budak.”
3. Manusia mengandung sebagian kecil dari Roh dan Terang Allah yang Mahatinggi di
dalam batinnya, itulah “hati nurani” atau jiwa manusia. Jiwa itu terkurung di dalam
zat kegelapan, yaitu tubuh manusia. Karena itu tubuh manusia dianggap rendah dan
Kristus diutus demi untuk membebaskan bagian ilahi itu, yaitu jiwa manusia yang
terkurung di dalam tubuh manusia.
4. Untuk membuktikan ajaran-ajaran Gnostik itu, para pengarang Gnostik Kristen
menulis beberapa buku yang mereka sebut “Injil” demi untuk pembuktian keaslian
dan kerasulannya, maka injil-injil itu diterbitkan dengan memakai nama-nama yang
terkenal, misalnya “Injil Thomas”, “Injil Petrus”, Injil Filipus”, “Injil Maria
Magdalena”, “Kisah Rasul Petrus”, dll.
5. Roh manusia diajak oleh pengajaran dan teladan Kristus untuk berusaha melepaskan
diri dari zat materi, supaya jiwa dapat kembali kepada Allah. Cara untuk melepaskan
diri dari zat materi itu ialah “askese” (dari kata Yunani, ‘askesis’ yang berarti ‘latihan,
traning, exercise’: latihan yang menyangkut disiplin pribadi, khususnya dalam
hubungan dengan tubuh). Dengan usaha askese itu orang-orang Gnostik ingin untuk
19

membebaskan zat ilahi yang terkurung di dalam tubuh manusia, supaya jiwa dapat
kembali dan menyatukan diri dengan asal-mulanya.
6. Menurut pandangan Gnostik, manusia dibagi dalam tiga kelompok:
a. Orang-orang Gnostik yang telah memperoleh “hikmat tinggi”. Merekalah yang
telah mempunyai Roh Kudus sebagai zat ilahi di dalam diri mereka.
b. Orang-orang “psitis” (iman), yaitu mereka yang belum memperoleh “hikmat
tinggi” itu, sehingga mereka hanya percaya. Mereka diselamatkan oleh dan
melalui sakramen-sakramen.
c. Orang-orang “hylik” (kata Yunani ‘hyle’ berarti materi), yaitu orang-orang di luar
keselamatan yang masih terikat kepada materi dan mengandalkannya.
7. Gnostik bukan merupakan suatu organisasi, melainkan aliran filsafat berdasarkan
dualisme kosmologis (pandangan tentang keteraturan dunia kosmos) dan ontologis
(pandangan tentang keadaan dan keberadaan secara umum tentang semua yang
ada). Bagi gereja, Gnostik merupakan suatu tantangan yang berat, karena khususnya
orang-orang terpelajar yang tertarik kepada sistem filsafat. Namun para pemimpin
gereja menyadari jurang prinsipil antara ajaran-ajaran Gnostik dan iman Kristen,
sehingga mereka melawan Gnostik dengan tegas (misalnya Uskup Ireneus dari Lyon
di Perancis Selatan pada akhir abad ke-2). Akhirnya pada abad ke-3 dan ke-4
pengaruh Gnostik semakin menghilang.
8. Bahaya dalam pengajaran Gnostik:
a. Allah Bapa (Allah PB) dan Allah Pencipta (Allah PL) dipisah-pisahkan. PL
dianggap lebih rendah.
b. Dualisme kosmologis mengakibatkan suatu pandangan bahwa materi dan tubuh
lebih rendah sifatnya dan kurang penting. Pandangan ini menimbulkan:
i. Usaha untuk “mendiamkan” dan “mematikan” tubuh (askese; mistisisme)
ii. Sikap yang membiarkan nafsu manusia karena tubuh tidak mempunyai arti
dan tidak ada hubungan antara jiwa dan tubuh (dualisme anthropologis).
Pandangan ini sering membawa kepada percabulan.
c. Keselamatan dan pembenaran oleh iman diubah menjadi pelepasan zat ilahi di
dalam diri manusia berdasarkan usaha-usaha manusia sendiri (askese).

Marcion dan Marcionisme

Marcion adalah pendiri suatu bidat yang bersifat Gnostik. Ia seorang pedagang
kaya yang berasal dari daerah Laut Hitam (bagian timur laut dari Asia Kecil;
Paphlagonia). Ayahnya seorang uskup. Pada tahun 140 Marcion meninggalkan daerah
asalnya dan pindah ke Roma serta menjadi seorang anggota jemaat di Roma. Di sini ia
dipengaruhi oleh Gnostik. Pada tahun 144, ia dikucilkan dari jemaat di Roma, karena
dianggap penganut ajaran sesat. Lalu ia mendirikan suatu gereja baru. Bidat ini
berkembang dengan cukup cepat, khususnya antara tahun 150 dan 190. Sesudah tahun
250, pengaruh Marcionisme berkurang dan akhirnya menghilang di kekaisaran Romawi
bagian barat sekitar abad ke-4. Di kekaisaran Romawi Timur, bidat ini masih terus
berkembang sampai abad ke-8, khususnya di Persia, Siria dan Asia Kecil.
Adapun pengajaran Marcionisme adalah:
1. Sama dengan ajaran Gnostik, Marcion membeda-bedakan PL dan PB, Allah PL dan
Allah PB. Marcion “membuktikan” pendapatnya dengan tafsiran secara alegoris yang
tidak beralasan: Mat. 7:17, Saat Yesus berbicara tentang dua jenis pohon, maka ia
ingin menekankan bahwa ada dua penciptaan, yakni pencipta pohon yang baik dan
pencipta pohon yang buruk, yaitu Allah PL. Mat. 9:17, ayat ini ditafsirkan oleh
Marcion dengan pengertian bahwa Tuhan Yesus menekankan di sini bahwa PL dan
PB tidak boleh dicampur dan tidak mempunyai hubungan satu sama lain.
20

2. Sama dengan ajaran Gnostik, Marcion menganggap dunia ini materi dan tubuh
manusia sebagai sesuatu yang rendah yang memperbudak jiwa manusia. Menurut
Marcion, “penciptaan dunia adalah tragedi belaka”, “tubuh adalah kotoran dunia”,
dan nikah dianggap “pabrik percabulan”. Bagi Marcion, percaya berarti menyangkal
Allah Khalik dan menyerahkan diri kepada Allah Penyelamat (Allah PB), menjauhi
dunia yang cemar dengan jalan bertarak dan beraskese melepaskan jiwa (zat ilahi)
dari tubuh yang mengotorinya.
3. Ajaran-ajaran ini mempengaruhi Kristologi Marcion: Yesus Kristus tidak diutus oleh
Allah Pencipta (perbedaan PL dan PB: ‘mata ganti mata’ dan ‘kasihilah musuhmu’).
Yesus diutus oleh Allah Penyelamat untuk menyelamatkan dunia dan manusia dari
tangan Allah Khaliknya. Marcion juga menganut ajaran Doketisme, Yesus Kristus
tidak akan datang kembali. Kebangkitan manusia (tubuh kebangkitan) dan
penciptaan langit baru dan bumi baru sangat ditolak oleh Marcion.
4. Berbeda dengan Gnostik, Marcion mendasarkan ajaran-ajarannya atas buku-buku
kanonik saja (kanon: batang pengukur). Namun, Marcion sendiri yang menentukan
bagian Alkitab (PB) manakah yang bersifat kanonik dan mana yang bukan. Marcion
“membersihkan” PB dari bagian-bagian yang ia anggap pengaruh PL dan menyusun
suatu kanon baru, yaitu: “Kanon Marcion”: dari keempat Injil Marcion hanya
mengakui Injil Lukas yang ia mulai dengan Lukas 2:32; dari semua surat PB ia hanya
menerima surat-surat Paulus (kecuali 1 dan 2 Timotius dan Titus ditolak; sebagian
surat Roma). Salah satu faktor atau kriteria dalam menyusun kanonnya itu ialah
kebenciannya terhadap PL dan penekanan terhadap pembenaran oleh iman.
Marcion membeda-bedakan antara Injil yang sah atau asli dan Injil yang tidak sah
atau tidak asli (Matius, Markus dan Yohanes). Ia juga membeda-bedakan antara
surat-surat Paulus yang sah dan surat-surat Paulus yang tidak asli (surat-surat
penggembalaan), antara ayat-ayat yang asli dan ayat-ayat yang tidak asli (misalnya
Lukas 1:1-4:31 dan Lukas 4:32-24:53); sebagian dari surat Roma dibuang).
Hal yang sama merupakan salah satu corak metodologi teologi yang bersifat
rasionalistis pada masa kini, misalnya membeda-bedakan antara ucapan-ucapan
Tuhan Yesus yang asli dan yang tidak asli. Metode ini merusakkan Injil. Keputusan
prinsipil semua golongan Injili ialah menerima seluruh Alkitab sebagai Firman
Tuhan yang diilhamkan dan mempunyai kewibawaan tertinggi bagi iman,
pengajaran dan hidup orang Kristen.

Manicheisme

Manicheisme merupakan agama dunia yang muncul antara Kekristenan (abad I)


dan Islam (abad VII), yang terpengaruh oleh Gnostik dan merupakan campuran antara
unsur-unsur Kristen, agama-agama kafir (Persia) dan filsafat Yunani (sinkretisme).
Manicheisme didirikan oleh Manicheus, yang hidup di Persia pada abad ke-3 (216-276).
Berdasarkan penglihatan-penglihatan ia menganggap dirinya “Parakletos” (Yoh.
16:7, Penghibur, Roh Kudus) yang dijanjikan Allah. Ia juga menyebut dirinya “rasul
Tuhan Yesus”. Manicheus mengarang 6 buku dan banyak suratnya yang terkumpul di
dalam “Kanon Manicheus”. Pemerintah Persia menjadikan Manicheisme agama negara
(hanya untuk waktu yang singkat). Pada abad ke-3 dan ke-4, Manicheisme berkembang
dengan cepat dan luas di Persia, Siria, Mesir, Afrika Utara, Arabia dan juga seluruh
kekaisaran Romawi. Bapa gereja Augustinus menjadi penganut Manicheisme selama
sembilan tahun. Pada abad VII Manicheisme mencapai Turkistan (Rusia), Mongolia dan
Tiongkok, tetapi akhirnya dilarang di sana. Karangan-karangan Manicheisme baru
ditemukan kembali pada abad ke-20 ini dan di antaranya ada yang ditulis dalam bahasa
Koptik (Mesir), Uigur (Mongolia), Mandarin, Yunani dan Persia.
21

Manicheisme akhirnya dihambat di mana-mana dan semakin menghilang pada


abad-abad pertengahan. Namun unsur-unsur Manicheisme kemudian berulang kali
muncul kembali dalam pelbagai bidat: orang Bogomil di Bulgaria, orang Katar atau
Albigens di Perancis Selatan pada abad-abad pertengahan dan orang Rosicrucian.
Kelompok terakhir menerima ide-idenya dalam perjalannya ke Asia (reinkarnasi; salib
dengan bunga mawar di pusatnya melambangkan tubuh manusia yang disucikan oleh
suatu cairan murni). Pada abad ke-18 beberapa kelompok didirikan di Jerman, Polandia
dan Rusia. Mereka mempunyai hubungan dengan Freemansory dan Masoniclodges
(campuran unsur-unsur Kristen, Pantheisme, agama-agama kafir dan kuasa kegelapan).
Ajaran-ajaran Manicheisme:
1. Manicheisme adalah salah satu aliran dan juga puncak dari Gnostik. Ia juga
merupakan salah satu agama besar terakhir yang didirikan sebelum munculnya
agama Islam pada abad ke-7. Manicheisme merupakan saingan yang tangguh untuk
kekristenan. Banyak ajaran Manicheisme yang agak sama dengan ajaran-ajaran
Gnostik: dualisme; unsur ilahi yang terkurung di dalam tubuh manusia; materi dan
tubuh dihina; nikah dilarang; usaha menyelamatkan diri sendiri melalui askese yang
ketat. Penganut-penganut Manicheisme dibagi atas tiga golongan: “anggota penuh”,
“Katechumen” (status sebelum baptisan menurut Manicheisme) dan “pendengar”.
2. Panggilan Mani menurut buku Mani yang berjudul “Sahpurakan”: utusan-utusan
Allah dengan tidak henti-hentinya membawa hikmat dari zaman ke zaman. “...Pada
suatu zaman hal ini terjadi dengan kedatangan seorang utusan, yaitu Budha di India;
pada zaman yang lain hal ini terjadi melalui Zarathustra (atau dalam bentuk Yunani:
Zoroaster di Persia; pada zaman lain lagi hal ini terjadi melalui Yesus di negara Barat
dan akhirnya pada masa kini wahyu dan kenabian ini menampakkan diri di dalam
diri saya, yaitu Mani, Utusan Allah yang benar, di negara Babil.” Mani menyebut diri
“Parakletos” (Roh Kudus) dan seperti Tuhan Yesus, ia memilih 12 murid.
3. Universalisme agama Manicheisme menurut buku Mani yang berjudul “Sahpurakan”:
“agama yang saya pilih, berdasarkan 10 pokok adalah jauh lebih tinggi dan lebih baik
dari pada agama-agama lain. Agama-agama lain hanya dipakai di dalam salah satu
negara dan satu bahasa. Agama saya tidak demikian sehingga ia akan diajarkan di
setiap negara dan dalam semua bahasa, bahkan di dalam negara-negara yang paling
jauh pun... Agama saya akan bertahan sampai selama-lamanya berdasarkan
organisasi yang baik, karangan-karangan yang hidup, melalui guru, uskup-uskup dan
orang-orang yang terpilih dan oleh hikmat dan perbuatan baik...”
4. Pelayanan pelepasan untuk penganut Manicheisme: Bapa gereja Augustinus (354-
430) menjadi penganut Manicheisme selama 9 tahun sebelum ia bertobat. Sebagai
uskup di Afrika Utara, Augustinus menjadi lawan Manicheisme yang sangat keras,
karena ia mengenal Manicheisme dari dalam. Pada tahun 398 ia menulis buku
tentang pembicaraannya dengan Felix, seorang penganut Manicheisme yang
kemudian bertobat dan menyangkal Manicheisme: “Saya, Augustinus, uskup Gereja
Katolik, telah mengutuk (anathemavi) Mani, ajaran-ajarannya dan roh
(Manicheisme) yang mengucapkan hujat-hujat yang terkutuk melalui Mani, karena
roh itu adalah roh penyesat (spiritus seductor)... dan saya mengutuk Mani dan roh
penipuan itu sekali lagi... Saya, Augustinus, telah menandatangani penjelasan dan
pernyataan ini yang sudah dibacakan di gereja di muka umum.

Montanisme

Timbulnya bidat-bidat selalu merupakan suatu tantangan bagi gereja untuk


mengevaluasi diri sendiri, penghayatan iman dan keseimbangan pengajarannya, karena
mungkin sekali ada faktor-faktor kelalaian yang turut mengakibatkan berdirinya bidat
22

itu. Hal ini juga berlaku untuk Montanisme: kebebasan dan spontanitas rohani serta
imamat am orang-orang percaya mulai berkurang peranan dan pengaruhnya di dalam
Gereja Katolik. Partisipasi aktif di dalam kebaktian beralih kepada partisipasi pasif.
Karunia-karunia Roh kurang dipraktekkan. Harapan eskatologis mulai menjadi pudar. Di
dalam situasi inilah ajaran-ajaran Montanisme mempunyai daya tarik yang sangat besar,
sehingga bapa gereja Tertulianus pun ditarik masuk ke dalam golongan Montanisme
pada tahun 207.
Montanisme memakai nama pendirinya, yaitu Montanus. Sebelum Montanus
mendirikan bidatnya itu pada tahun 156, ia seorang imam agama Kybele (Sibele) di
Frigia (Asia Kecil) yang mempraktekkan pemujaan terhadap dewi Kybele, termasuk
upacara-upacara kesuburan, percabulan agamawi, ekstase dan spiritisme. Pusat gerakan
Montanisme adalah desa Papuza di Frigia (daerah Laodikia, Listra, Derbe dan Ikonium).
Dari Asia Kecil ini, Montanisme berkembang dengan sangat cepat di seluruh kekaisaran
Romawi. Baru pada abad ke-5 pengaruh Montanisme semakin menghilang. Montanus
sangat menekankan pentingnya nubuatan-nubuatan, glossolalia (bahasa lidah),
kedatangan Tuhan Yesus dengan segera dan ekstase. Montanus menganggap dirinya
sendiri “Parakletos” yang dijanjikan oleh Tuhan dalam Yoh. 16:7, dan yang membawa
penyataan Allah yang terakhir bagi dunia dan dengan demikian juga penyataan yang
tertinggi (bnd. Manicheus dan Muhammad). Bahkan Montanus mengatakan: “Saya
adalah Bapa, Putra dan Parakletos.” Bilamana ia menyampaikan suatu nubuatan, ia
menyampaikannya dalam bentuk: “Saya adalah Bapa yang berfirman...” atau “Saya
adalah Parakletos yang berfirman...”
Ia juga mengatakan dan mengklaim: “Kristus telah datang kepada saya dalam rupa
seorang wanita dengan mengenakan pakaian yang bercahaya. Kristus telah menyatakan
kepada saya bahwa tempat ini (Papuza) adalah kudus dan bahwa di sinilah Yerusalem
akan turun dari sorga.”
Dua nabi perempuannya, yaitu Priscilla (Prisca) dan Maximilla mendampingi
Montanus dalam pekerjaannya. Nubuatan mereka sering kali disampaikan dengan
ekstase dan dalam glossolalia. Nubuatan-nubuatan ini dianggap lebih penting dari pada
Firman Tuhan yang tertulis.
Menurut ahli sejarah Eusebius (265-339); ia menulis “Chronicon” pada tahun 303,
suatu Sejarah Dunia dan “Historia Ecclesiastica” (10 jilid) pada tahun 325 yang
menuliskan tentang Montanisme: “Montanus adalah seorang petobat baru; ia sangat
berambisi untuk menjadi pemimpin jemaat, karena itu ia membuka diri untuk iblis,
sehingga ia kerasukan suatu roh jahat dan ia dikuasai oleh ekstase, sehingga ia
memperdengarkan bunyi-bunyi yang tidak dapat dimengerti; ia bernubuat dengan cara
yang bertentangan dengan segala sesuatu yang biasa di dalam jemaat itu.
23

Pengajaran Montanisme menekankan tiga aspek, yaitu:


1. Kedatangan Tuhan Yesus dengan segera. Nubuatan-nubuatan kedua nabi wanita
mencakup: “Akhir dunia sudah dekat. Kebinasaan dunia sudah dekat. Yerusalem
akan turun di Pepuza. Siapkanlah dirimu. Tinggalkanlah dunia dan berkumpullah di
Pepuza.” Montanisme bersifat apokaliptis.
2. Karunia-karunia Roh Kudus, khususnya nubuatan-nubuatan dan glossolalia.
3. Disiplin gereja yang ketat dan tuntutan-tuntutan dalam hubungan dengan
kedatangan Tuhan Yesus secara cepat: “Tinggalkanlah dunia dan berkumpullah di
Pepuza.” “Tahanlah nafsumu sekuat-kuatnya.” Nikah dilarang, bahkan hubungan
seksual suami-istri dilarang dengan alasan bahwa Tuhan Yesus segera datang.
“Suami-suami ceraikanlah istrimu, karena Tuhan Yesus akan datang segera.”
Pengaruh dualisme yang menganggap tubuh dan seksualitas manusia sebagai
sesuatu yang negatif.
Mati syahid dianggap suatu keuntungan dan kehormatan. “Darahmu adalah anak
kunci Firdaus”.
Montanisme menekankan hukum Taurat. Wanita dan gadis-gadis diwajibkan untuk
bertudung. Montanisme bersifat moralistis dan legalistis. Puasa, askese dan etika
yang ketat mengundang usaha untuk menyelamatkan diri sendiri.
Sesudah 200 tahun, unsur-unsur apokaliptis mulai menghilang dan unsur-unsur
etika dan Taurat ditekankan lebih tegas lagi. Nubuatan-nubuatan nabi-nabi wanita
dan Montanus sendiri menjadi taurat yang baru. Pelaksanaannya dianggap anak
kunci untuk mendapatkan Firdaus.

Novatianisme

Novatianus, pendiri golongan Novatianisme, perlu diingat karena dua hal:


1. Perjuangannya untuk “puritanisme” dalam gereja mula-mula
2. Ia mengarang buku pertama tentang masalah Ketritunggalan Allah atau Trinitas
Novatianus yang hidup pada abad ke-3 menjadi pemimpin suatu golongan di
dalam Gereja Katolik yang:
1. Membeda-bedakan antara dosa yang tidak dapat diampuni dan yang mengakibatkan
kematian rohani (penyangkalan iman, penyembahan berhala, pembunuhan dan
perzinahan) di satu pihak dan dosa-dosa yang dianggap ringan yang dapat diampuni.
Bagi mereka, pernikahan yang kedua identik dengan perzinahan, walaupun istri
pertama sudah meninggal.
2. Mereka menolak menerima kembali dari mereka yang telah menyangkal iman pada
waktu penghambatan gereja dan karena terancam oleh penganiayaan. Bagi mereka,
penyangkalan iman tidak dapat diampuni (bnd. Penyangkalan Petrus dan
pengangkatannya oleh Tuhan Yesus dalam Yoh. 21:15-18). Masalah ini sangat
relevan pada waktu itu, berhubung dengan penghambatan gereja pada pertengahan
abad ke-3 di bawah pemerintahan kaisar Decius (249-251).
Masalah yang dihadapi Novatianus dan pengikutnya adalah kemunduran gereja
dari segi kehidupan rohani dan etika pada abad ke-3. Novatianus kuatir bahwa
penerimaan tanpa syarat dari mereka yang telah menyangkal iman mereka karena
terancam dan karena tekanan akan memperkuat tendensi kemunduran itu dan
mengakibatkan suatu kesuraman rohani yang semakin besar. Karena itu mereka
berusaha dengan pola disipliner untuk membendung perkembangan itu (pendekatan
moralistis dan legalistis). Karena mereka tidak dapat menerima keputusan gereja resmi,
maka mereka membentuk golongan sendiri dengan uskup-uskup mereka sendiri yang
menjalankan disiplin gereja yang ketat.
24

Lepas dari masalah konkret yang dipersoalkan oleh golongan Novatianus, prinsip
yang melatarbelakangi masalah itu harus kita fokuskan dan pikirkan: bagaimana cara
untuk menghadapi kesuraman rohani di dalam gereja? Bagaimana cara untuk
menghadapi suatu situasi di mana anggota-anggota gereja atau jemaat jatuh dalam
dosa? Bagaimana relasi antara anugerah Allah dan disiplin gereja? Kapankah suatu
golongan yang tidak dapat menyetujui keputusan-keputusan pemimpin gereja, berhak
untuk membentuk golongan mereka sendiri?
Akhirnya Novatianus sendiri mati syahid dalam penghambatan di bawah
pemerintahan kaisar Valerianus pada tahun 257-258. Pada kesempatan yang sama juga
Uskup Cyprianus mati syahid. Golongan Novatianisme diterima kembali dalam gereja
Katolik oleh Konsili Oikumenis I di Nicea pada tahun 325. Ortodoksi Novatianisme tidak
diragukan. Buku Novatianus tentang Ketritunggalan Allah menekankan Trinitas Allah
dan sekaligus keilahian Yesus Kristus.

Donatisme

Masalah Donatisme searah dengan Novatianisme. Penganut-penganut Donatisme


yang disebut menurut nama pemimpinnya, yaitu Donatus (permulaan abad ke-4),
memperlihatkan secara khusus disiplin gereja dan mau membendung perkembangan
kesuraman rohani di dalam gereja dengan cara memperketat disiplin gereja. Mereka
menekankan:
1. Disiplin gereja yang ketat dan tegas (bahaya moralisme dan legalisme). Mereka
mencita-citakan suatu gereja yang murni dan sempurna (puritanisme,
perfeksionisme).
2. Orang-orang Kristen yang telah menyangkal iman dalam penghambatan gereja,
diharuskan untuk dibaptis kembali (bahaya sakramentalisme dan pandangan magis
tentang baptisan).
3. Penolakan para pendeta yang dianggap tidak layak, khususnya mereka yang telah
menyangkal iman mereka.
4. Sifat mutlak (conditio sine qua non) dari baptisan dalam hubungan dengan
keselamatan.
5. Sakramen-sakramen yang diberikan oleh hamba-hamba Tuhan yang tidak setia
(menyangkal iman) dianggap tidak sah. Pandangan ini mengakibatkan perpecahan di
dalam gereja. Masalah yang melatarbelakangi pandangan ini: pada tahun 312
Caecilianus ditahbiskan selaku uskup di Kartago. Salah satu uskup yang turut
menahbiskan dia ialah seorang yang telah menyangkal imannya dalam penganiayaan
di bawah kaisar Diokletian. Karena itu, sebagian dari pemimpin gereja berpendapat
bahwa pentahbisan dan pelantikan uskup baru itu tidak sah dan mereka
menahbiskan seorang lain selaku uskup di Kartago (skisma). Pada tahun 313 uskup
yang kedua ini meninggal dan digantikan oleh Donatus.
Perselisihan pandangan tidak dapat diatasi dan golongan Donatisme berkembang
dengan cepat di Afrika Utara. Baru pada abad ke-5 dan ke-6 golongan Donatisme
menghilang, walaupun mereka mempunyai kurang lebih 300 keuskupan pada tahun
330.
6. Penolakan terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan agama;
perkembangan individualisme. Donatisme merupakan suatu pola berpikir yang
berusaha untuk meningkatkan dan menyegarkan kehidupan gereja dengan
meningkatkan disiplin gerejawi (pendekatan moralistis dan legalistis). Selain dari
pada itu, Donatisme mengaitkan wewenang pejabat-pejabat gereja dalam kesucian
hidupnya, bahkan mengaitkan sahnya sakramen yang dijalankan dengan kesucian
25

hidup pejabat gereja itu. Pandangan ini menimbulkan beberapa masalah teologis
yang harus dipikirkan:
a. Masalah otoritas dan wewenang rohani dan hubungannya dengan kesucian hidup
hamba Tuhan
b. Masalah pengangkatan seorang hamba Tuhan dalam hubungan dengan ketentuan
Firman Tuhan dalam 1 Tim. 3:1-13; Tit. 1:5-16; dll (dibutuhkan eksegese yang
teliti)
c. Sahnya sakramen-sakramen (baptisan, perjamuan kudus) dalam hubungannya
dengan kesucian hidup pejabat gereja
d. Masalah moralisme dan hubungannya dengan usaha untuk menyelamatkan diri
sendiri di satu pihak dan masalah anugerah murahan di lain pihak.

USAHA GEREJA UNTUK MELAWAN DAN MEMBENDUNG


PERKEMBANGAN BIDAT, SEKTE DAN HERESI

Timbul dan berkembangnya heresi-heresi atau bidat-bidat berakibat bahwa gereja


didorong untuk menetapkan ajaran-ajaran resmi dan patokan-patokan untuk dapat
membedakan antara ajaran benar (ortodoksi) dan pengajaran sesat (heterodoksi,
heresi). Berhubung dengan pertahanan gereja itu, kanon dan pengakuan iman gereja
ditetapkan dan penggantian para pejabat gereja diatur melalui prinsip “pewarisan
jabatan rasuli” (suksesi rasuli; apostolic succession).

Sejarah Kanon Perjanjian Baru

Istilah “kanon” berasal dari bahasa Yunani, artinya “batang pengukur” atau lebih
umum “patokan, norma, standar”. Suatu batang pengukur menjadi amat penting untuk
dapat membedakan antara kitab-kitab yang asli dan kitab-kitab yang tidak dapat
diterima oleh gereja. Sejak pertengahan abad ke-2 timbul kitab-kitab apokrif, yaitu
kitab-kitab yang menyerupai kitab-kitab Perjanjian Baru namun kitab-kitab ini tidak
dapat diklasifikasikan setara dengan kitab-kitab PB.
Istilah “apokrif” berasal dari bahasa Yunani, “ta apocrypha”, yang artinya “yang
tersembunyi”, namun tidak begitu jelas mengapa kitab-kitab ini disebut “apocrypha”.
Selain dari pada 13 kitab “apocrypha” PL (1 dan 2 Esdras, Tobit, Yudit, The Rest of
Esther, The Wisdom of Solomon, The Wisdom of Jesus Sirakh, Barukh, Bagian tambahan
untuk Daniel, Doa Manasye, 1 dan 2 Makabe), terdapat juga kitab-kitab apokrifa PB,
antara lain: Injil Petrus, Injil Orang Mesir, Injil Thomas, Injil Kebenaran, Injil Filipus, Injil
Nikodemus, 3 Korintus, Kisah Rrasul Paulus, Surat kepada Jemaat di Laodikia, Wahyu
Petrus, Wahyu Paulus, Wahyu Thomas, Injil Yakobus, Injil Nasrani, Injil Ibrani, Injil
Ebionit, Injil Hawa, Injil Andreas.
Pada waktu kitab-kitab apokrif ini muncul, yaitu pada pertengahan abad ke-2,
kitab-kitab kanonik sudah sedemikian diterima oleh gereja, sehingga kitab-kitab apokrif
ini tidak sampai menggantikan kitab-kitab kanonik. Namun dianggap berfaedah untuk
dibaca, tetapi tidak di dalam kebaktian (Konsili di Kartago pada tahun 397). Juga Konsili
di Trente (1545-1563) mengakui kitab-kitab apokrif PL pada tahun 1548. Kitab-kitab
apokrif PB tidak diakui oleh gereja-gereja.
Perlu diperhatikan bahwa kitab-kitab yang gereja-gereja Protestan sebut apokrifa,
disebut kitab-kitab “deuterokanonik” oleh Gereja Katolik Roma; dan kitab-kitab PL yang
Gereja Katolik Roma sebut apokrifa disebut “pseudoepigrapha” oleh pihak Protestan
(kitab yang dikarang di bawah nama pseudonim).

Tahap-tahap Perkembangan Kanon Perjanjian Baru


26

1. Ke-27 Kitab PB ditulis antara tahun 45 dan 95, disalin dengan tangan, diedarkan dan
dipakai di dalam jemaat-jemaat. Surat-surat uskup Klemens dari Roma (± 96 M) dan
surat-surat Ignatius (permulaan abad ke-2) sudah menyebut semua surat Rasul
Paulus.
2. Pada pertengahan abad ke-2, kitab-kitab PB dipakai di dalam jemaat-jemaat di
seluruh kekaisaran Romawi. Kitab-kitab ini dibaca di dalam kebaktian-kebaktian dan
dikutip sebagai suatu otoritas. Kebanyakan kitab diakui sebagai tulisan-tulisan
rasuli, walaupun belum terdapat suatu keputusan resmi mengenai status mereka,
juga kitab-kitab non-kanonik masih dipakai oleh jemaat-jemaat. Kitab-kitab yang
dianggap kanonik mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin (akhir abad ke-2).
Komentar-komentar tentang kitab-kitab ini mulai dikarang.
3. Kanon Marcion ditulis pada pertengahan abad ke-2: Injil Lukas (mulai 4:32), Kisah
Rasul, Galatia, 1, 2 Korintus, Roma (sebagian ditolak), 1, 2 Tesalonika, Efesus, Kolose,
Filipi, Filemon. Kanon Marcion ini ditolak oleh gereja.
4. Kanon Muratorius adalah kanon tertua yang kita miliki sebagai naskah. Nama kanon
ini sesuai dengan nama penemunya, yaitu Muratori, seorang ahli perpustakaan di
Milano (Italia Utara) yang menerbitkan kanon Muratorius pada tahun 1740. Kanon
ini ditulis pada akhir abad ke-2. Penulisnya tidak kita ketahui, tetapi kemungkinan
Hippolitus (135/160). Kitab-kitab yang disebut di dalam kanon Muratorius: Markus,
Lukas, Yohanes, Kisah Rasul, semua surat Paulus, 1, 2 Yohanes, Yudas, Wahyu
Yohanes dan Wahyu Petrus (tetapi tidak diakui semua gereja) dan dua kitab apokrif
lainnya, yaitu “Hikmat Sulaiman” dan “Gembala Hermas”. Susunan-susunan yang
serupa terdapat juga dalam karangan Ireneus (175-202), Tertianus (150-220) dan
Klemens dari Aleksandria (150-215).
5. Sejak abad ke-3 kitab-kitab kanonik ini disebut Perjanjian Baru. Pada abad ke-3 dan
ke-4 masih terdapat keragu-raguan tentang kitab-kitab berikutnya: Yakobus, 2
Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas dan Wahyu Yohanes. Ahli sejarah Eusebius (265-
339) menyebut di dalam buku Sejarah Gereja bahwa sebagian jemaat masih juga
mengakui Kisah Rasul Paulus, “Didache” dan “Gembala Hermas”.
6. Perkembangan sejarah kanon berakhir di dalam gereja bagian Timur dengan
sepucuk surat yang ditulis oleh uskup Athanasius yang dibacakan di semua jemaat
pada Paskah 367. Dalam surat uskup Athanasius disebutkan semua kitab PL dan PB
yang disebut sebagai kitab-kitab kanonik.
7. Perkembangan sejarah kanon belum selesai di daerah bagian barat dari kekaisaran
Romawi. Kanon Mommsenianus (menurut nama ahli sejarah Thomas Mommsen,
1817-1903; ini juga disebut “Cheltenham List, karena kanon ini ditemukan oleh Th.
Mommsen di Cheltenham – Inggris pada tahun 1885)., yang ditulis pada tahun 359
tidak menyebut kitab Ibrani, Yakobus dan Yudas. Semua kitab PB disebut, juga
beberapa kitab apokrifa PL.
8. Perkembangan sejarah kanon di daerah bagian barat kekaisaran Romawi berakhir
dengan keputusan Sidang Sinode di Roma pada tahun 382. Sinode di bawah
pimpinan Damasus mendaftarkan semua kitab PL dan PB. Keputusan ini ditegaskan
kembali oleh Sinode di Hippo Regius (Afrika Utara) pada tahun 393 dan Sidang
Sinode di Kartago pada tahun 397 dan 419 (Bapa gereja Augustinus hadir).
9. Prinsip yang paling pokok dalam penilaian kitab-kitab di dalam Alkitab ialah apakah
suatu kitab ditulis oleh seorang rasul atau seorang murid dari seorang rasul,
misalnya Yohanes, Markus, Petrus, Lukas, Paulus.
Kitab-kitab apokrif tidak pernah diterima sebagai kitab-kitab kanonik, baik oleh
orang Yahudi maupun oleh gereja mula-mula. Kitab-kitab ini juga tidak dikutip di
dalam kitab-kitab kanonik (PL dan PB).
27

Pengakuan Iman (Credo)

Istilah-istilah asing yang dipakai untuk “pengakuan” ialah “credo” (berasal dari
bahasa Latin, artinya “aku percaya”) dan “confessio” (pengakuan).
Gereja semakin membutuhkan suatu rumusan pokok-pokok kepercayaannya,
suatu pedoman yang dapat dipakai oleh jemaat dalam menjaga kemurnian Injil dan
iman. Rumusan-rumusan semacam itu juga dipakai dalam acara pembaptisan.
Pengalimatan rumusan-rumusan itu harus dilihat atas latar belakang pertahanan gereja
terhadap Gnostik dan Marcionisme, misalnya bahwa Allah adalah “Khalik langit dan
bumi”. Penjelasan tentang penjelmaan (inkarnasi) menolak pandangan “doketisme”
(Gnostik).
1. Pengakuan yang tertua, yakni “Yesus adalah Tuhan” (Jesus Christos Kyrios), yang
terdapat dalam Roma 10:9; 1 Korintus 12:3 dan Filipi 2:11. Pengakuan ini juga
dirumuskan dengan suatu akronim I CH Th Y S yang berarti “ikan” dan ikan itu
dipakai sebagai simbol. Huruf-huruf ini berarti “Iesus Christos Theou Yios Soter”
(Yesus Kristus Anak Allah ‘adalah’ Juruselamat). Pengakuan yang singkat ini sudah
dikembangkan pada zaman rasuli (bnd. 1 Kor. 15:3-5).
2. Pengakuan yang disusun oleh Ignatius dari Antiokhia sekitar tahun 110. Juga
Yustinus (dibunuh pada tahun 165) dan Ireneus (dibunuh pada tahun 190) menulis
rumusan-rumusan iman yang melawan aliran Gnostik. sangat terkenal juga “Regula
Fidei” (rumusan iman) yang ditulis oleh bapa Gereja Tertulianus pada tahun 213.
3. Pengakuan Jemaat di Roma (Romanum) yang dipakai oleh jemaat di Roma dalam
acara baptisan. Pengakuan “Romanum” ini dipakai sejak akhir abad ke-2.
Pengalimatannya kita ketahui dari sepucuk surat yang ditulis oleh Marcellus dari
Ancyra pada tahun 340 demi untuk membuktikan kemurnian imannya kepada uskup
di Roma.
4. Pengakuan Rasuli (Apostolicum): pengalimatannya diketahui dari suatu komentar
yang ditulis oleh Rufinus dan juga dari karangan-karangan Marcellus dari Ancyra
(340), yang ditulis dalam bahasa Yunani. Karena rupanya naskah aslinya ditulis
dalam bahasa Yunani, maka pengakuan ini sudah dipakai sebelum tahun 250, karena
sekitar pertengahan abad ke-3 bahasa liturgi beralih dari bahasa Yunani ke Latin.
“Apostolicum” ini (tidak ditulis oleh para rasul) menjadi pengakuan yang paling
banyak dipakai, khususnya oleh gereja-gereja di Barat. Gereja Katolik Roma
memasukkan “Apostolicum” ke dalam “Catechismus Romanus” (Katekisme Romawi)
pada tahun 1564 (Konsili Trente). Juga gereja-gereja Protestan mengakui
“Apostolicum” bersama dengan “Nicenum” dan “Athanasianum” sebagai pengakuan-
pengakuan gereja mula-mula.
5. Pengakuan “Nicenum”, yang disusun oleh Konsili Oikumenis yang pertama di Nicea
pada tahun 325 dengan maksud membela kemurnian iman terhadap Arianisme.
6. Pengakuan “Niceno-Constantinopolitanum”. Nama ini menyiratkan bahwa
pengakuan ini adalah suatu pengalimatan baru dari pengakuan “Nicenum” yang
ditetapkan oleh Konsili Oikumenis II di Konstantinopel pada tahun 381. Namun hal
itu sulit dibuktikan, sebaliknya ada beberapa alasan untuk meragukannya
(pengakuan ini tidak muncul di dalan notulen Konsili itu; pengakuan ini tidak
dipakai dan tidak disebut sebelum Konsili Oikumenis IV di Chalcedon pada tahun
451; perbandingan naskah “Nicenum” dengan “Niceno-Constantinopolitanum” itu
menimbulkan keraguan apakah sungguh yang kedua dikembangkan dari yang
pertama). Namun demikian, “Niceno-Constantinopolitanum” dipakai dengan luas
sejak pertengahan abad ke-5. Konsili ke-3 di Toledo, yang diselenggarakan pada
tahun 589, menambahkan istilah “filoque” (dari bahasa Latin: ‘filius, -im’ berarti
‘putra’, ‘que’ berarti ‘dan’; ‘filoque’ berarti ‘dan dari Putra’) pada pengakuan ini. Yang
28

dimaksud adalah bahwa Roh Kudus tidak hanya keluar dari Allah Bapa, melainkan
juga “dari Putra”.
7. Pengakuan “Athanasium”. Untuk waktu yang cukup lama, pengakuan ini dianggap
karangan bapa Gereja Athanasius (296-373). Tetapi pandangan ini tidak sesuai
dengan fakta historis. “Athanasium” ini merupakan suatu rumusan berdasarkan
“Nicenum”, “Niceno-Constantinopolitanum” dan rumusan-rumusan dari Konsili
Oikumenis IV di Chalcedon pada tahun 451. Pengalimatannya rupanya juga
dipengaruhi oleh teologi Augustinus. Berdasarkan kenyataan ini, para ahli sejarah
gereja berpendapat bahwa pengakuan ini dikalimatkan antara 381 (Konsili
Oikumenis II) dan 451 (Konsili Oikumenis IV).
Pengakuan “Athanasium” juga disebut “Quicumquevult” (dari kata pertama
pengakuan ini: ‘Quicumquevult savus esse...’, yang berarti ‘Siapa ingin
diselamatkan...’) dan “Fides Catholica” (Iman Katolik). Martin Luther (1483-1546)
menganggap pengakuan “Athanasium” sebagai rumusan yang paling penting dan
yang paling perlu dijunjung tinggi sejak zaman rasuli. Dengan penyusunan
pengakuan “Athanasium” penulisan pengakuan-pengakuan iman berakhir. Dari
semua pengakuan, hanyalah “Nicenum” atau “Niceno-Constantinopolitanum” diakui
oleh semua gereja, sedangkan pengakuan “Athanasium” dan “Apostolicum” tidak
diakui oleh gereja-gereja Orthodoks.

Pewarisan Jabatan Rasuli (Suksesi Rasuli, Suksesi Apostolik)

Dalam perkembangan hierarki gereja, status para uskup semakin dihormati dan
mereka dianggap sebagai pengganti para rasul. Mereka terpandang sebagai garansi
(jaminan) untuk meneruskan ajaran-ajaran orthodoks gereja yang diterima oleh gereja
lewat para rasul dan melalui para rasul langsung dari Tuhan Yesus Kristus. Dengan
demikian, tersusunlah suatu rangkaian saksi-saksi kebenaran yang sumbernya ialah
Kristus dan Allah sendiri.
Dengan kata lain, unsur kerasulan dan “apostolat” tinggal tetap hidup dan
berpengaruh melalui dan di dalam golongan para uskup (episkopat). Ide ini semakin
kuat di bagian barat kekaisaran Romawi, khususnya sejak abad ke-3 (Tertulianus,
Cyprianus). Pentahbisan seorang uskup yang baru hanya dianggap sah, bilamana ia
ditahbiskan oleh uskup-uskup yang lain, sehingga rantai pewarisan unsur “episkopat”
ini diteruskan dari satu generasi uskup kepada yang berikutnya (suksesi rasuli,
apostolic succession). Dengan pengertian ini, posisi dan kedudukan para uskup sangat
diperkuat. Merekalah yang menjadi jaminan (garansi) pengajaran yang orthodoks.
Merekalah satu-satunya yang berhak untuk menafsirkan Alkitab secara resmi.
Di dalam perkembangan lebih lanjut, di antara jemaat-jemaat yang telah ada pada
waktu itu, keuskupan di Roma merasa lebih utama dibandingkan dengan uskup-uskup
lainnya. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa di dalam ibukota kekaisaran terdapat
jemaat Kristen yang terbesar dan terkaya. Selain itu, rasul-rasul Petrus dan Paulus, yang
paling dihormati di dalam Gereja, telah bekerja dan mati syahid di situ. Oleh sebab itu,
para penggantinya, yakni uskup-uskup Roma, merasa dirinya lebih mulia dan berkuasa
dari pada para uskup yang lain. Walaupun harus diakui bahwa banyak di antara para
uskup dari Roma yang sangat cakap (trampil) dan keras kemauannya; mereka
mempergunakan segala kesempatan untuk memperkokoh kedudukannya dalam Gereja
sedunia.

TEOLOGI GEREJA LAMA

Golongan Apologet
29

Kaum apologet berusaha untuk menyesuaikan Injil dengan semangat zaman.


Maksudnya ialah untuk membuktikan bahwa hanya Injil saja yang menggenapi segala
cita-cita filsafat Yunani. Menurut pandangan Yunani, Allah bersemayam jauh di atas
dunia ini di tempat yang tidak terhampiri. Manusia hanya dapat berhubungan dengan
Allah itu oleh pertolongan roh-roh yang menjadi pengantara antara sorga dengan bumi.
Roh pengantara yang terutama ialah Firman atau Logos. Logos adalah sesuatu yang
bukan Allah dan bukan pula dari dunia, melainkan suatu jabatan antara roh dan zat
benda, bahkan dengan Logos itulah Allah menciptakan dunia ini. Sekarang para apologet
mulai menyamakan logos dalam filsafat Yunani dengan Logos (Firman), yang disebut
Yohanes dalam kitab Injilnya (1:1 dan seterusnya). Tujuan mereka itu tentulah baik,
akan tetapi dengan menyamakan kedua-duanya maka pintu terbuka bagi pandangan-
pandangan kafir untuk memasuki teologi Gereja. Ini menjadi dasar semua
kesalahpahaman tentang ajaran Alkitab dalam Gereja Lama. Sebab menurut Yohanes
1:1, “Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”, padahal
Logos Yunani hanya semacam setengah Allah saja. Jikalau Yohanes 1 diartikan demikian,
maka tentulan Yesus tidak lagi dipandang sebagai Allah sendiri yang turun ke bumi,
melainkan adalah suatu zat yang setengah ilahi saja. Sejak munculnya kaum apologet,
maka pandangan itu menjadi ajaran umum dari Gereja. Barulah dikemudian hari Logos
itu lama-kelamaan dibersihkan dari pengertian kafir.
Teologi apologet tentang kebebasan dunia adalah sebagai berikut: Allah
menciptakan Logos di dalam rangkaian waktu, sebagai suatu roh yang berpribadi, dan
dengan Logos itu Allah menciptakan segala sesuatu yang ada. Manusia telah digodai
setan-setan, sehingga jatuh ke dalam jurang kesesatan, percabulan dan politheisme.
Sebab itu Logos turun ke bumi dengan menjelma dalam tubuh manusia, yaitu Yesus,
dengan maksud untuk memulangkan manusia kepada jalan baik. Demikianlah Yesus
membuka mata manusia terhadap segala tipu-muslihat setan-setan sambil
memberitakan ajaran yang benar tentang Allah dan dunia dan hari kiamat yang akan
datang. Lagi pula Ia mengajar mereka tentang hidup yang berkenan kepada Tuhan,
hidup mana dipraktekkan di dalam Gereja. Manusia berkehendak bebas dan dapat
meluputkan diri dari genggaman setan-setan dengan pertolongan pengajaran dan
teladan Kristus. Jelaslah bahwa Kristus bukan lagi penebus dan Juruselamat, melainkan
guru dan teladan saja. Peristiwa-peristiwa yang mendatangkan selamat (kematian dan
kebangkitan Yesus dan sebagainya), kurang dipentingkan dalam teologi apologet.
Bahkan rahmat atau anugerah Allah tidak terlalu dipahami. Sepertinya apa yang mereka
ajarkan itu Injili, tetapi isinya sangat dipengaruhi oleh filsafat kafir yang moralistis dan
rasionalistis. Walaupun demikian, tidak pernah kaum apologet dipandang sebagai
penyesat atau bidat, karena bukan hanya mereka, tetapi juga jemaat pun tidak terlalu
mengerti tentang inti Injil Yesus Kristus. Apalagi kaum apologet itu selalu membela
Gereja resmi dan tidak mengajarkan suatu hikmat yang lain, sebagaimana yang
dilakukan oleh golongan Gnostik.
30

Ireneus

Beberapa waktu setelah munculnya golongan apologet itu, bangkitlah seorang


teolog yang mengembalikan gereja kepada pengajaran yang Alkitabiah tentang
penebusan manusia oleh Yesus Kristus. Teolog itu bernama Ireneus. Ia berasal dari Asia
Kecil, suatu wilayah Gereja yang sangat dipengaruhi oleh mistik. Ireneus menjadi uskup
di kota Lyon di Perancis pada tahun 178, karena banyak orang Asia Kecil telah pindah ke
sana. Ajaran yang dipakainya untuk melawan Gnostik, berlainan sekali dengan teologi
apologet.
Secara garis besar ia mengajarkan: “Adam serta segenap bangsa diciptakan untuk
hidup baka, tetapi oleh karena jatuhnya ke dalam dosa, maka manusia diikuti dengan
kefanaan. Untuk melepaskan manusia, Allah mengutus Anak-Nya, yaitu Logos, untuk
masuk ke dalam daging manusia. Dengan demikian Kristus menghubungkan tabiat
manusia dengan kuasa Allah yang kekal. Kristus adalah Adam yang kedua, yang
menggenapi seluruh tuntutan Allah, yang dilalaikan Adam yang pertama. Di dalam
kebangkitan-Nya Kristus memberi suatu petaruh dan jaminan untuk hidup yang kekal
kepada semua orang yang percaya kepada-Nya. Sekarang Roh Kudus memberikan hidup
yang kekal itu kepada semua orang yang percaya, di dalam baptisan dan perjamuan.”
Jadi, pokok utama teologi Ireneus adalah “mempersatukan di dalam Kristus sebagai
Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga, maupun yang di bumi” (Ef. 1:10). Sorga Allah
dan dunia manusia yang tercerai sekian lama oleh dosa, sekarang dihubungkan dan
dipersatukan kembali. Allah menjadi manusia, agar manusia mendapat kembali keadaan
yang baka.
Semua pandangan ini sudah jelas lebih Injili dari pada ajaran apologet karena di
sini oknum Yesus Kristus diutamakan dan dijunjung selaku Juruselamat dan
penyelamat. Sungguh pun demikian, pembenaran oleh iman dan salib Kristus kurang
tampil ke muka dalam teologi Ireneus, karena pokoknya bukanlah pertentangan antara
dosa dan anugerah, melainkan pertentangan antara akibat dosa, yaitu kematian dan
akibat anugerah, yakni hidup yang kekal. Semua teologi Timur bercorak pandangan
Irenenus ini, sehingga sampai kini Hari Raya Kebangkitan Tuhan Yesus adalah pesta
yang termulia di Gereja Timur.

Tertulianus

Ia seorang ahli hukum yang bekerja sebagai advokat di Karthago. Kita mengenal
Tertulianus dari bukunya yang banyak itu, yang dikarangnya antara tahun 195 dan 220.
Teologinya, yang dalam banyak hal serupa dengan para apologet, menjadi dasar teologi
Barat. Tertulianuslah yang pertama-tama memakai pelbagai istilah teologi yang menjadi
lazim semenjak masa itu, misalnya: dosa turunan, tebusan dosa, jasa, dan rumusan juga
seperti: Allah berzat satu tetapi berpribadi tiga dan Kristus adalah satu pribadi dengan
dua tabiat dan sebagainya. Ia memandang relasi manusia dengan Allah selaku seorang
terdakwa di hadapan hakim. Sebagai seorang apologet, Tertulianus mengajar bahwa
Logos adalah suatu zat ilahi yang lebih rendah dari pada Allah, padahal Ireneus
berpendapat bahwa Logos juga adalah Allah, sesuai dengan awal Injil Yohanes.

Clemens dari Alexandria

Sebagaimana umumnya diketahui bahwa filsafat Yunani dan Gnostik berkembang


di kota Alexandria dan sudah lama kaum Kristen yang terpelajar berusaha
menyesuaikan filsafatnya dengan ajaran Alkitab. Clemens adalah salah seorang teolog
Kristen. Gereja yang mencoba melaksanakan penyesuaian itu, supaya Kekristenan juga
31

disambut oleh golongan kafir yang berpengetahuan tinggi. Muridnya yang tersohor
namanya sebagai seorang teolog yang terbesar di Gereja Lama bagian Timur adalah
Origenes.

Origenes

Ia lahir di Alexandria. Bapanya mati syahid pada tahun 202, waktu Origenes
berumur 17 tahun. Ketika itu sudah nampak kepandaiannya yang luar biasa. Dengan
rajin dan tekun ia menuntut berbagai ilmu dan segera namanya terkenal di mana-mana.
Origenes mengarang beratus-ratus buku yang besar dan kecil (± 6000 judul),
teristimewa kitab tafsiran dan filsafat. Hidupnya sangat sederhana dan beraskese,
bahkan ia mengebiri dirinya menurut Matius 19:12, karena kata orang asket, daging
itulah tempat dosa berdiam; sebab itu lebih baik daging dimatikan supaya jiwa
disucikan dari kejahatan. Berhubung dengan perselisihan dengan uskupnya, Origenes
pindah ke Kaisarea di Palestina. Di sana ia membuka sebuah sekolah teologi. Karena
pengetahuannya, ia dihormati di seluruh kekaisaran Romawi, bukan saja di dalam
Gereja, tetapi juga oleh semua orang kafir berilmu. Akhirnya ia meninggal sebagai syahid
di bahwa pemerintahan Kaisar Decius.
Walaupun dasar sistem penafsiran Origenes adalah tafsiran alegoris. Tetapi
meskipun demikian, Gereja zaman itu menghormati Origenes sebagai seorang bapa
Gereja. Barulah pada tahun 399 Gereja menyadari bahwa ajarannya tidaklah sesuai
dengan Injil, sehingga teologinya ditolak dengan resmi, tetapi bekas-bekas pikirannya
masih terdapat sampai kini dalam teologi Gereja Timur. Hasil pengaruh Origenes yang
terpenting ialah bahwa pengertian Logos sebagai suatu zat yang lebih rendah dari pada
Allah, diterima oleh Gereja mula-mula sebagai ajaran yang sah dan baik.

PERSELISIHAN TEOLOGIS DI DALAM GEREJA DAN PENYELESAIANNYA


OLEH KONSILI-KONSILI OIKUMENIS (325-451)

Mazhab-mazhab Teologis Di Dalam Gereja

Sejak akhir abad ke-2 timbullah golongan-golongan apologet yang membela


kebenaran Injil dan iman Kristen. Pembelaan mereka diarahkan dan ditujukan kepada:
1. Filsuf-filsuf Yunani dan Latin (misalnya melawan Celcus)
2. Pemerintah kekaisaran Romawi (misalnya ditujukan kepada Kaisar Marcus Aurelius)
3. Orang-orang Yahudi (misalnya melawan Tryphon) dan bidat-bidat.
Berhubungan dengan karya teologis yang bersifat apologis itu, lama-kelamaan
timbullah tiga haluan dan aliran pemikiran atau tiga mazhab teologis (school of
thought), dengan cara berpikir dan pola pendekatan (approach) yang berbeda-beda,
dengan titik tolak teologis yang berbeda-beda dan dengan penekanan (aksentuasi) yang
berbeda-beda.
1. Mazhab Alexandria: pada akhir abad ke-2 Klemens dari Alexandria mendirikan
sekolah teologi pertama di Alexandria. Sekolah teologi ini kemudian diteruskan oleh
Origenes, yang dianggap ahli teologi terbesar Gereja Yunani. Sekolah ini lebih
cenderung kepada filsafat dan spekulasi. Alexandria adalah titik temu dari Yudaisme,
Platonisme, Neo-Platonisme, Gnostik dan agama-agama yang berasal dari Asia Kecil,
Persia dan Afrika (Mesir). Teolog-teolog di Alexandria lebih cenderung kepada
metode penafsiran Alkitab yang alegoris. Teolog-teolog itu ialah Pantaenus, Klemens
dari Alexandria, Gregor Thaumartugus, Origenes, Dionysius dari Alexandria, dan
lain-lain. Mereka bersaing dengan para teolog di Konstantinopel.
32

2. Mazhab Antiokhia: mazhab ini bercirikan penafsiran Alkitab yang teliti dan
sederhana (tidak cenderung kepada spekulasi) dengan memperhatikan baik tata
bahasa maupun aspek historis. Dalam dialog dengan filsafat mereka lebih
terpengaruh oleh filsafat Aristoteles dari pada Plato. Mazhab ini lebih konservatif
dan hati-hati. Baik mazhab Alexandria maupun mazhab Antiokhia, keduanya
menggumuli relasi kedua tabiat Kristus. Mazhab Alexandria lebih menekankan satu
kodrat di dalam Kristus (kodrat keilahian) dan karena itu ia dalam bahaya untuk
menghapuskan kodrat kemanusiaan Kristus (larinya kepada monofisitisme).
Sedangkan mazhab Antiokhia lebih menekankan aspek kemanusiaan Kristus,
sehingga mereka hampir menghapus persatuan hakiki dengan aspek keilahian
Kristus. Selain dari masalah relasi kedua tabiat Kristus, juga gelar “theotokos”
(Bunda Allah) untuk Maria dipersoalkan oleh kedua mazhab ini. Menurut mazhab
Antiokhia, Maria hanya boleh disebut “Christotokos” (bunda Kristus). Teolog-teolog
mazhab Antiokhia antara lain: Igantius, Theophilus, Paulus dari Samosata, Lucianus
dan Nestorius.
3. Mazhab Latin (Latin-Afrika dan Roma): mazhab Latin ini mempunyai dua pusat,
yakni di Roma (Italia) dan Karthago (Afrika Utara). Mazhab ini lebih memikirkan
pokok-pokok praktis, seperti: disiplin gereja dan hukum-hukum gerejawi,
administrasi dan organisasi gereja, peribadahan dan liturgi gereja, kepemimpinan
gereja dan pengalimatan dogma dan ketentuan-ketentuan gereja. Teolog-teolog
terkenal mazhab ini ialah Tertulianus, Cyprianus dan Augustinus.

Konsili-konsili Oikumenis

Menurut Hukum Kanonik Gereja Katolik Roma, konsili-konsili oikumenis


merupakan rapat para uskup dan beberapa tokoh gerejawi tertentu yang memiliki
yurisdiksi gerejawi dan yang diundang oleh Paus (perlu dicatat bahwa ke-8 konsili
oikumenis pertama diundang oleh Kaisar). Rapat-rapat ini diketahui oleh Paus dengan
maksud merumuskan pengalimatan pokok-pokok iman Kristen dan tata tertib gereja.
Pada masa ini, ketentuan-ketentuan yang dirumuskan oleh konsili memerlukan
peneguhan oleh Paus. Persetujuan Paus merupakan syarat mutlak (conditio sine qua
non). Yang berhak untuk mengikuti konsili ialah para Kardinal, para Uskup Agung dan
Uskup, para Abbas Utama (pemimpin-pemimpin kongregasi monastik/ biara). Konsili-
konsili Oikumenis menjalankan kekuasaan tertinggi bagi seluruh gereja dan mewakili
seluruh gereja. Istilah “oikumenis” berasal dari kata “oikumene” yang berarti “seluruh
bumi yang didiami”. Istilah oikumenis ini tidak ada sangkut pautnya dengan gerakan
oikumene masa kini.
Gereja Katolik Roma mengakui 21 Konsili Oikumenis. Gereja Koptik di Mesir,
Gereja Armenian, Gereja Yakobit di Siria, Gereja Koptik di Etiopia dan Gereja Nestorian
di Irak hanya mengakui tiga konsili oikumenis yang pertama. Gereja-gereja Ortodoks
(Yunani, Rusia, dan lain-lain) dan juga banyak Gereja Protestan mengakui tujuh konsili
oikumenis yang pertama. Martin Luther mengakui hanya empat konsili oikumenis yang
pertama. Keempat konsili oikumenis yang pertama diumpamakan sebagai keempat Injil:
mereka merumuskan dogma-dogma dasariah, yaitu tentang Trinitas dan tentang
inkarnasi Kristus.
33

Konsili di Nicea (325)

Konsili Oikumenis pertama diselenggarakan di Nicea pada tahun 325, untuk


menyelesaikan perselisihan tentang Trinitas dan yang kemudian menolak Arianisme.
Bapa gereja Origenes dianggap sebagai teolog pertama yang mengarang sebuah buku
tentang Teologi Sistematika, yang berjudul “De Principiis”, yang berarti “Tentang
prinsip-prinsip iman Kristen”. Buku ini menguraikan relasi antara Allah, Logos (Kristus)
dan Roh Kudus, serta hubungan Allah dengan manusia. Origenes mengajarkan bahwa
Kristus (Logos) adalah “setengah Allah” atau “Allah Kedua”. Kristus dianggap lebih
rendah derajat-Nya dari pada Allah Bapa. Ajaran Origenes ini berpengaruh dalam
pengajaran gereja selama ± 100 tahun.
Pada tahun 318 timbul perselisihan antara Arius, seorang Presbiter di Alexandria
dengan uskupnya. Menurut Arius, tidak mungkin Yesus disebut “setengah Allah”. Secara
logika hanya terdapat dua kemungkinan: baik Yesus identik atau satu dengan Allah,
karena hanya ada satu Allah, yakni Allah yang Maha Esa; atau Yesus bukan Allah,
melainkan makhluk Allah, makhluk yang sulung dan tertinggi derajatnya, namun tetap
makhluk. Ia bukan kekal adanya, melainkan dijadikan dalam batas-batas historis, sama
dengan manusia. Konsekuensinya, Arius mengajarkan bahwa Yesus datang ke bumi
sebagai Pengajar, Guru dan Teladan saja dan karena ketaatan-Nya, Ia diangkat dan
diberikan kehormatan Ilahi.
Inti perselisihan ialah masalah Kristologi dan soal Trinitas. Bagaimanakah
kepercayaan kepada Kristus dapat diperdamaikan dengan kepercayaan yang bersifat
monotheis? Bagaimanakah kepercayaan kepada allah yang Maha Esa dan kepada
Trinitas dapat dipertahankan sekaligus? Solusi-solusi yang dipikirkan adalah sebagai
berikut:
1. Gnostik: “Logos” adalah makhluk yang tertinggi derajatnya. Logos adalah
Penghubung di antara Tuhan dan manusia.
2. Sabelianisme atau modalisme atau monarkhianisme modalistik: sabellianisme
mendapatkan namanya dari Sabelius (250) yang sedemikian tegas menekankan
keesaan Allah, sehingga ketiga “persona” (pribadi) di dalam Trinitas hanya dianggap
sebagai tiga manifestasi sementara dan berganti-ganti. Jadi sabellianisme
mengajarkan suatu bentuk Trinitas yang tidak bersifat hakiki dan esensial,
melainkan hanya bersifat “modalistik” dan sementara. Penganut-penganut terkenal
dari pandangan ini ialah Praxeas dan Noetus.
istilah monarkhi atau monarkhianisme adalah suatu pemerintahan tunggal. Jadi
istilah ini mau menekankan keesaan Allah, di mana permunculan dalam salah satu
“persona: Trinitas hanya merupakan suatu manifestasi sementara yang sesuai
dengan fungsi dan tugas “persona” Trinitas itu. Dengan demikian, di dalam peristiwa
penyaliban, bukan hanya Kristus yang disalibkan dan mati di kayu salib, melainkan
juga Allah Bapa sendiri.
Karena pandangan ini, Tertulianus mengolok-olek Praxeas dalam tulisannya,
“Adversus Praxeas”, Praxeas menjadikan Roh Kudus terbang dan Allah Bapa
disalibkan; Praxeas berkata bahwa Allah Bapa sendiri menjadikan diri dikandung
oleh anak dara Maria, dialah yang dilahirkan, dialah yang menderita. Singkatnya,
Allah Bapa sendiri adalah Yesus Kristus.
Sabellianisme merupakan suatu bentuk ajaran “Unitarianisme”, (“unus” berarti satu,
“unitas, -atis” berarti kesatuan), yakni suatu pengajaran yang menolak Trintias
(ketritunggalan) dan mengajarkan keesaan allah dalam bentuk tunggal.
Unitarianisme muncul dalam sejarah gereja berulang kali dan khususnya
berkembang di Polandia dan Eropa Barat pada pertengahan abad ke-16 di bawah
34

pimpinan Fausto Sozzini (1539-1604). Karena itu, gerakan ini juga disebut
“Socinianisme”.
3. Monarkhianisme yang bersifat dinamik: nama ini diberikan oleh Tertulianus. Baik
monarkhianisme modalistik (Modalisme) maupun monarkhianisme dinamik
merupakan bidat yang menghapus Trinitas dan menekankan ketunggalan Allah.
Monarkhianisme dinamik juga disebut Dinamisme atau Adopsionisme. Mereka
mengakui keilahian Tuhan Yesus, tetapi menolak bahwa Ia adalah Allah yang kekal.
Menurut pandangan dinamisme (Theodotus dari Byzantium), Yesus adalah manusia
biasa, lahir dari anak dara Maria, yang diadopsi oleh Allah dan menjadi anak-Nya
sesudah ia dibaptis di sungai Yordan dan dipenuhi dengan “dinamis Allah”. Jadi
Yesus bukan Allah sejak semula, melainkan tabiat keilahian itu Ia terima melalui
adopsi (Adopsianisme) dan melalui pemenuhan dengan “dinamis” Allah.
4. Subordinasionisme: “subordinatio” (Latin) dan “subordination” (Inggris), berarti
penempatan pada posisi atau derajat yang lebih rendah. Yang dimaksud ialah bahwa
kedudukan dan derajat Tuhan Yesus lebih rendah dari Bapa. Pandangan ini dikaitkan
dengan Dinamisme. Pandangan Subordinasionisme mendasarkan pandangan itu
pada 1 Korintus 15:28. Salah satu bidat yang menganut ajaran ini adalah Saksi
Yehova.

Untuk menghentikan perselisihan Kristologis itu dan untuk mempersatukan


gereja, maka Kaisar Konstantinus memanggil Konsili Oikumenis pertama untuk
bersidang di Nicea (dekat Konstantinopel) pada tahun 325. 318 uskup hadir, yakni kira-
kira seperenam dari semua uskup gereja Katolik, menghadiri konsili itu. Bersama
dengan Presbiter dan diaken, kemungkinan antara 1500 atau 2000 orang menghadiri
konsili itu. Seluruh ongkos perjalanan dan konsumsi ditanggung oleh Kaisar. Pada
pembukaan konsili ini Kaisar Konstantinus hadir dan mendesak para hadirin agar damai
di dalam gerej dipulihkan kembali.
Keputusan-keputusan Konsili di Nicea dirumuskan di dalam “Nicenum”, yang
menolak semua pandangan yang tidak mengakui Trinitas sebagai sifat hakiki dari Allah
(Arianisme, Subordinasionisme, Dinamisme, Adopsionisme, Patripassianisme,
Modalisme). Penolakan itu dirumuskan dalam Nicenum: Aku percaya kepada satu
Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum segala
jaman, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah yang benar dari Allah yang benar,
dilahirkan dan tidak diciptakan, sehakikat dengan Sang Bapa (homo ousion to patri),
yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu dibuat,...”
Yang ditolak: “ada suatu waktu di mana Dia (Yesus) belum ada”, “sebelum Dia
dilahirkan, Ia belum ada”, “Dia menjadi dari apa yang belum ada”, “mereka yang
mengatakan bahwa Dia dari suatu zat atau hakikat (ousia) yang lain dari pada hakikat
Sang Bapa” atau mereka “yang mengatakan bahwa Anak allah diciptakan atau dapat
berubah”; mereka semua dikutuk oleh Gereja Katolik dan Rasuli.
Konsili di Nicea belum dapat menghentikan dan menyelesaikan perselisihan
teologis ini. Kebanyakan uskup di bagian Timur Kekaisaran Romawi memihak kepada
Arius, sedangkan uskup-uskup di bagian Barat mendukung Athanasius (walaupun hanya
5 atau 6 orang uskup dari bagian Barat yang hadir di dalam Konsili di Nicea).
Walaupun dalil-dalil Arius dikutuk oleh Konsili di Nicea dan pengakuan iman
“Nicenum” disetujui oleh semua uskup, kecuali dua uskup (mereka dikucilkan bersama
dengan Arius) dan walaupun “Nicenum” dijadikan undang-undang kekaisaran Romawi
oleh Kaisar Konstantinus, uskup-uskup di bagian Timur menyusun suatu rumusan
teologis yang baru: “Putera itu serupa dengan Bapa dalam segala hal. Ia mempunyai
kodrat yang serupa (homo-ousios) dengan kodrat Sang Bapa.”
Konsili di Konstantinopel (381)
35

Perselisihan teologis yang diselesaikan dalam Konsili Oikumenis kedua yang


diadakan di Konstantinopel adalah tentang Kristologi dan Trinitas. Atas anjuran Kaisar
Theodosius Agung, konsili ini mengukuhkan kembali pengalimatan “Nicenum” dengan
beberapa tambahan serta keputusan-keputusan lainnya dari Konsili di Nicea. Semua
aliran Arianisme dikutuk sekali lagi. Rumusan teologis yang dihasilkan umumnya
disebut “Niceno-Konstatipolitanum”. Bagian pertama “Niceno-Konstantipolitanum”
identik dengan rumusan “Nicenum”, yang kemudian ditambahkan satu fasal tambahan
tentang keilahian Roh Kudus: “...dan kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan,
yang berasal dari Bapa, yang disembah dan dimuliakan bersama dengan Bapa dan Anak
dan yang bersabda lewat para nabi.”
Sesudah Konsili Oikumenis di Konstantinopel (381), pengakuan iman ini menjadi
pernyataan iman yang resmi di gereja-gereja Ortodoks Yunani; demikian pula di gereja-
gereja bagian Barat. Namun di Barat dengan sebuah tambahan yang kemudian menjadi
pokok perselisihan di antara Gereja Katolik Roma dan gereja-gereja Ortodoks Yunani:
“...dan kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi kehidupan, yang berasal dari Bapa dan
dari Putera dan yang bersabda lewat para nabi.” Tambahan ini hanya merupakan satu
kata saja dalam bahasa Latin (atau dua kata yang digabungkan), yaitu “filioque” (filius
berarti “anak putera”; filio adalah ablatif dan berarti “dari putera” dan –que berarti
“dan”). Tambahan “filioque” yang disahkan untuk gereja-gereja di bagian Barat
ditambahkan pada Sinode di Toledo pada tahun 589. Hal ini menunjukkan perbedaan
pola berpikir dalam soal Trinitas antara gereja-gereja di bagian Timur dan di bagian
Barat. Di gereja-gereja bagian Barat apsek keesaan (homo-ousios: sehakikat) ditekankan
dan diajarkan bahwa di antara ketiga pribadi dalam Trinitas tidak ada yang lebih rendah
atau lebih tinggi. Karena itu tambahan “filioque” dianggap yang paling tepat untuk
menjaga dan menekankan “homo-ousios” itu. Di dalam gereja-gereja bagian Timur,
ketritunggalan ditekankan dengan pengertian bahwa Allah Bapa adalah Allah yang
sebenarnya.

Konsili Di Efesus (431)

Konsili di Nicea (325) dan di Konstantinopel (381) mempertahankan aspek


keilahian Kristus dalam hubungan dengan Trinitas, karena konsili-konsili ini sadar
bahwa manusia hanya dapat diselamatkan oleh Yesus Kristus, apabila Ia sungguh-
sungguh Allah (sehakikat). Dan dengan demikian, Allah sendiri yang membayar tebusan
untuk dosa-dosa manusia. Namun sampai berapa jauhkah Kristus memakai tabiat
manusia? Gnostik mengajarkan bahwa Kristus dalam ke dalam tubuh maya (doketisme),
dengan kata lain, aspek kemanusiaan Kristus ditiadakan. Doketisme ini ditolak oleh
gereja Katolik. Jadi, timbullah masalah: bagaimanakah hubungan antara tabiat keilahian
Kristus dan tabiat kemanusiaan Kristus? Persoalan teologis ini agak lama
membingungkan gereja Katolik dan akhirnya menjadi penyebab pemisahan diri
beberapa gereja. Perselisihan teologis tentang kedua tabiat Kristus ini mula-mula terjadi
di antara Nestorius, Patriakh di Konstantinopel dan Cyrillus, Patriakh di Alexandria.
Nestortius menekankan kedua tabiat Kristus. Kristus adalah sungguh-sungguh
Allah dan Dia benar-benar manusia. Tetapi menurut pengertian Nestorius kedua tabiat
itu tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Yesus seakan-akan menjadi seperti
sebuah rumah (tabiat kemanusiaan-Nya) bagi Logos Allah. Dengan kata lain, Nestorius
memisahkan Yesus (manusia) dari Kristus (Allah). Antara Yesus dan Logos Allah tidak
ada kesatuan hakikat, melainkan hanya ada kesatuan kehendak. Kedua tabiat tidak
tercampur, sama dengan air dan minyak dalam suatu gelas (duofisitisme). Ajaran ini
36

dilawan oleh Cyrillus. Dia mengajarkan keesaan kedua tabiat Kristus sambil
menitikberatkan tabiat Ilahi, sehingga segi kemanusiaan Kristus kurang diperhatikan.
Untuk menyelesaikan masalah ini, maka kemudian Konsili Oikumenis ketiga
diundang oleh Kaisar Theodosius II dan dihadiri hanya oleh 60 uskup. Sidang dalam
konsili ini diselenggarakan di Gereja Santa Perawan Maria. Konsili Oikumenis ini
menolak ajaran-ajaran Nestorius dan dia dibuang ke Mesir. Pengikut-pengikut Nestorius
berlindung di Edessa (Laut Hitam di Rusia Selatan) dan di Irak.

Konsili Di Chalcedon (451)

Dengan perumusan keputusan-keputusan Konsili Oikumenis III di Efesus,


persoalan teologis kedua tabiat Kristus belum terselesaikan. Pada tahun 448 suatu
perselisihan searah dalam konteks yang lain muncul. Eutyches, kepala sebuah biara di
Konstantinopel mengajarkan bahwa setelah kodrat kemanusiaan dalam diri Kristus
dipersatukan dengan kodrat keilahian, maka kodrat kemanusiaan Kristus terbenam
dalam keilahian-Nya, sehingga sejak saat itu hanya terdapat satu kodrat (tabiat) saja di
dalam diri Kristus, yaitu tabiat keilahian. Pengakuan adanya hanya satu tabiat Kristus
disebut “monofisitisme” (monos: satu, tunggal; dan physus: kodrat, tabiat, nature).
Dengan kata lain, monofisitisme ini melenyapkan kemanusiaan Kristus dan kurang
memperhatikan bahwa tabiat kemanusiaan Tuhan Yesus (inkarnasi) merupakan suatu
syarat mutlak untuk penebusan. Ajaran Euthyches ini diterima dan diakui oleh sebuah
Sinode di Efesus yang diselenggarakan pada tahun 449. Karena sinode ini diintimidasi
dengan tekanan militer dan para rahib yang membanjiri Efesus. Maka Paus Leo I Agung
menyebut Sinode ini bukan Konsili (bahasa Latin: Concilium), melainkan rapat
penyamun (latrocinium).
Akhirnya perselisihan teologi ini dapat diselesaikan (untuk sementara waktu) oleh
Konsili Oikumenis IV do Chalcedon (kota di seberang selatan Bosporus, dekat
Konstantinopel) pada tahun 451. Konsili ini dihadiri oleh ± 600 peserta (namun hanya 5
peserta yang berasal dari bagian Barat, berhubung dengan situasi politik dan serang
militer bangsa Hun yang berasal dari Mongolia yang memasuki Perancis pada tahun
451).
Konsili Oikumenis di Chacedon berhasil mencapai suatu kompromi yang bijaksana
dan menempuh suatu jalan tengah di antara dua ajaran sesat tersebut (duofisitisme
Nestorius dan monofistisme Euthyches). Chalcedon menekankan bahwa Kristus bukan
bertabiat satu (melawan monofistisme), dan bukan pula bertabiat dua yang terpisah
(melawan duofisitisme), melainkan Dia bertabiat dua di dalam satu oknum. Rumusan
teologis yang ditandatangani oleh uskup-uskup: “Kami bersatu dalam mengajar semua
orang untuk mengakui Dia yang adalah satu-satunya Anak, Tuhan kita Yesus Kristus. Dia
sempurna (teleion) baik dalam keilahian-Nya (Theoteti) dan juga dalam kemanusiaan-
Nya (anthropoteti); Dia adalah satu-satunya yang benar-benar Allah dan benar-benar
manusia dengan suatu jiwa yang rasional (psyches logices) dan suatu tubuh. Dia dari
hakikat yang sama seperti Allah (homo-ousion to patri) sejauh menyangkut keilahian-
Nya dan Dia sehakikat dengan kita (homo-ousion hemin) sejauh menyangkut
kemanusiaan-Nya. Jadi, Dia sama seperti kita dalam segala hal terkecuali dalam dosa.
Sebelum segala sesuatu (pro aionon) Dia diperanakkan oleh Bapa dalam segi keilahian-
Nya dan sekarang pada ‘hari-hari terakhir’, untuk kita dan demi keselamatan kita, Dia
dilahirkan oleh perawan Maria, yang adalah Bunda Allah (theotokos, God-bearer) dalam
hubungan dengan kemanusiaan-Nya (anthropoteta). Kami seia sekata mengenai ajaran
bahwa Kristus yang satu dan sama, yaitu Putera, Anak tunggal Allah, sungguh Allah dan
sungguh manusia, dalam dua kodrat (duo physesin) dan kedua kodrat ini tak dicampur
aduk (asunkutos), tak dapat ditukar satu menjadi yang lain (atreptos), tak dapat dipisah-
37

pisahkan menjadi dua kategori yang terpisah (adiairetos), tak dapat dibagi-bagi
menurut bagian atau fungsi. Kekhususan dari setiap kodrat tidak ditiadakan melalui
persatuan. Sebaliknya, kekhususan setiap kodrat dipelihara (conserved) dan kedua
kodrat dipersatukan dalam satu ‘persona’ (proposon) dan dalam satu hakikat
(hypostasis). Kedua kodrat tidak dibagi-bagi atau dipotong-potong menjadi dua
‘persona’, melainkan keduanya adalah yang satu dan satu-satunya ‘Logos’ Allah, Anak
Tunggal, Tuhan kita Yesus Kristus...”
Dengan keputusannya, gereja mengaku bahwa sebenarnya kedua tabiat Kristus
merupakan suatu rahasia yang tidak dapat dipecahkan dengan logika manusia dan
hanya dapat diuraikan secara “komplementer” atau secara “dialektik”, yaitu dengan cara
menyebut dua pokok sekaligus, walaupun kedua hal ini saling bertentangan dan
walaupun secara logika kedua hal ini tidak mungkin benar. Monofisitisme
menganaktirikan atau meniadakan tabiat kemanusian Kristus, seperti teolog-teolog
yang bercorak rasionalistis atau eksistensialis, atau juga dapat meniadakan tabiat
keilahian Kristus. Karena itu, adalah penting untuk mengerti dan mempertahankan hasil
Konsili di Chalcedon sebagai kebenaran yang tidak ada taranya.

Perpecahan Gereja dan Timbulnya Gereja-gereja Monofisit dan Duofisit

Keputusan Konsili Oikumenis IV di Chalcedon tidak diterima oleh banyak orang


Kristen di Asia dan Afrika, sehingga kesatuan gereja hancur dan beberapa gereja
memisahkan diri dari Gereja Katolik: Gereja Armenian (monofisit), Gereja Koptik di
Mesir (monofisit), Gereja Yakobit di Siria (monofisit), Gereja Koptik di Etiopia
(monofisit) dan Gereja Nestorian (duofisit) di Persia dan Irak yang berpusat di Baghdad.
Keuskupan Agung Seleusia (dekat Baghdad) didirikan pada tahun 498 oleh pengikut-
pengikut Nestorius. Mereka tidak lagi mengakui kepemimpinan Roma dan gereja
Katolik.

PERUBAHAN DI DALAM GEREJA MULA-MULA


(GEREJA RASULI) MENJADI GEREJA KATOLIK ROMA

Yang dimaksud dengan Gereja Rasuli adalah gereja mula-mula pada zaman rasuli
(abad pertama). Gereja mula-mula (the early church) maksudnya adalah gereja resmi
pada abad ke-5. Maksud istilah Gereja Katolik ialah gereja resmi pada abad ke-2 sampai
tahun 1054, di mana Gereja Katolik ini pecah dan menjadi Gereja Katolik Roma (di Barat
berpusat di Roma) dan Gereja Orthodoks-Gerika (Yunani) di Timur berpusat di
Konstantinopel.
Gereja Katolik pada 1000 tahun pertama menganggap diri “satu, suci, katolik
(katholikos: umum, menurut keseluruhan), dan rasuli (apostolik)”. Gereja ada di mana
Yesus Kristus hadir (Ignatius). Sebelum perpecahan resmi pada tahun 1054, pada
umumnya dibedakan antara Gereja Timur (yang kemudian menjadi Gereja Orthodoks
Yunani) dan Gereja Barat (yang kemudian menjadi Gereja Katolik Roma).

Perkembangan Organisasi

Setiap gerakan dan organisasi gerejawi berada dalam bahaya untuk mengalami
apa yang pada umumnya disebut “fenomena generasi yang kedua”. Maksudnya,
kesegaran dan kekencangan rohani yang dimiliki oleh generasi pertama atau oleh
generasi pendiri (semangat juang, spontanitas energi, daya tahan dan ketabahan) tidak
begitu gampang untuk diwariskan kepada generasi yang kedua dan generasi-generasi
berikutnya. Tradisi Kristen tidak cukup. Adat Kristen tidak cukup. Jalan keluar satu-
38

satunya ialah agar setiap generasi mempunyai hubungan langsung dan pribadi dengan
Tuhan (pertobatan, kelahiran baru, ekspresi iman secara baru, kesegaran rohani),
sehingga dengan bersumber pada Tuhan, mereka dapat bertumbuh dan berbuah sesuai
dengan rencana Tuhan. Sehingga tidak hanya meniru, melainkan dengan kreatif, berani
dan sesuai dengan “waktu Tuhan”.
Gereja mula-mula tidak luput dari “fenomena generasi kedua” ini, sehingga
kehilangan kesegaran rohani semakin terasa. Tidak dapat disangkal bahwa pertahanan
gereja resmi terhadap bidat-bidat mengakibat segi disiplin gereja, administrasi dan
struktur organisatoris, dan ketertiban gereja lebih dititikberatkan dan dikuatkan untuk
menjadi penunjang dalam perlawanan gereja terhadap bidat-bidat. Khususnya sejak
akhir abad ke-2, perkembangan beberapa aspek semakin mempengaruhi pertumbuhan
gereja; spontanitas dalam ibadah diganti dengan tata ibadah yang tertib dan
memunculkan monopoli kepemimpinan dalam kebaktian oleh para “episkopoi” (uskup,
penilik, imam); munculnya perbedaan di antara golongan imam dan kaum awam,
imamat am orang-orang percaya beralih kepada kepemimpinan para imam yang
semakin dikhususkan melalui sistem pewarisan jabatan rasuli. Anggota gereja
kehilangan kesempatan dalam mempraktekkan karunia-karunia yang Tuhan berikan
kepada mereka. Gereja yang semula merupakan jemaat rumah dan persekutuan orang-
orang percaya yang bertemu di dalam rumah-rumah pribadi menjadi suatu organisasi
yang besar (khususnya sejak tahun 313 dan kemudian tahun 380) yang mau tidak mau
harus memperhatikan ketertiban organisatoris dengan jalur-jalurnya yang dapat
semakin membantu. Klerus menjadi pengantara di antara Allah dengan umat-Nya,
hirarki gerejawi berkembang, penilik-penilik di kota besar dianggap lebih penting dan
lebin tinggi kedudukannya, sehingga ditugaskan untuk mengepalai daerah di sekitar
mereka (otonomi jemaat setempat dihilangkan). Lebih tinggi lagi, penilik-penilik di
ibukota propinsi (yang disebut metropolis) kemudian disebut uskup metropolitan,
sehingga susunan kepemimpinan gereja menjadi “episkopal” (uskup). Sejak abad ke-4
dan ke-5 para uskup metropolitan di Antiokhia, Alexandria, Konstantinopel, Yerusalem
dan Roma disebut “Patriarkh” (pater, tris: bapa). Uskup di Roma dianggap Patriarkh
untuk seluruh bagian Barat dari kekaisaran Romawi.

Perkembangan Kepausan

Sudah sejak abad ke-2 uskup-uskup di Roma menuntut kepemimpinan dalam


gereja dan suatu kedudukan yang lebih tinggi dari pada semua uskup dan patriarkh
yang lain. Ignatius dari Antiokhis mengirim sepucuk surat kepada jemaat di Roma dan
mengatakan: “Gereja di Roma adalah pemimpin persekutuan kasih (maksudnya gereja
seluruhnya)”. Ireneus dari Lyon mengatakan: “Semua gereja dan semua orang percaya,
bahwa orang-orang percaya di mana-mana seharusnya menyesuaikan diri dengan dan
mengikuti peranan jemaat di Roma karena otoritasnya lebih tinggi”.
Pada akhir abad ke-2, Uskup Victor dari Roma mengancam gereja-gereja di Asia
Kecil dengan pengucilan, jika gereja-gereja itu terus-menerus tidak mengikuti cara
gereja di Roma dalam hal merayakan Paskah. Pada tahun 343, Sinode di Sardika,
menuntut “Supremasi” (kepemimpinan dan posisi yang tertinggi; ‘supremus’ berarti
yang tertinggi) bagi uskup di Roma. Pada permulaan abad ke-5, bapa gereja Augustinus
(354-430) merumuskan pengertian ini dengan suatu kalimat dalam bahasa Latin: “Roma
locuta causa finita” (Bila Roma telah berbicara dan mengemukakan pendapatnya, maka
tidak usah lagi berbicara, keputusan terakhir sudah diambil dan perkaranya selesai).
Biasanya Leo I Agung (440-460) dianggap Paus yang pertama (Latin: ‘papa’; Yunani:
‘papas’: bapa). Ia merasa terpanggil untuk mengepalai seluruh gereja selaku pengganti
Petrus (Mat. 16:18), bahkan selaku “Wali dan Wakil Kristus di bumi ini”.
39

Ketika Yerusalem, Antiokhia, Alexandria dan Karthago jatuh ke tangan bangsa


Arab (Islam) pada abad ke-7, maka pengaruh mereka semakin berkurang dan empat
saingan untuk supremasi di dalam gereja kehilangan peluang untuk dapat mencapai
supremasi di dalam gereja. Hal ini kemudian mempertajam persaingan antara Paus di
Roma dan Patriarkh di Konstantinopel, antara Roma dan Roma Baru atau Roma II
(Konstantinopel). Persaingan dan kompetisi ini merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya perpecahan antara Gereja Barat dan Gereja Timur pada tahun 1054.
Dalam perkembangan kepausan dapat dibedakan dalam empat tahap:
1. Sejak pertengahan abad ke-2 sampai Leo I (440-460) dan Gregor I Agung (590):
Roma berusaha dan akhirnya memperoleh supremasi di dalam Gereja Katolik.
2. Dari Gregor I Agung (590) sampai Gregor VII (1050): kepausan berusaha untuk
mencapai supremasi dalam persaingan dengan kaisar.
3. Dari Gregor VII (1050) sampai Bonifacius VIII (1294): kepausan mencapai puncak
kuasanya dan supremasi atas kaisar.
4. Dari Bonifacius VIII (1294) sampai Martin Luther (1517): berkurangnya pengaruh
dan kuasa kepausan.

Perjamuan Kudus Menjadi Misa

Pada permulaan sejarah gereja, Gereja Rasuli berkumpul dan memecahkan roti di
rumah mereka masing-masing secara bergilir (bnd. Kis. 2:46). Makanan dibawa sendiri,
masing-masing menurut kesanggupannya. Hidangan itu dianggap sebagai lanjutan
perjamuan kudus Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya. Jemaat berkeyakinan bahwa
Tuhan Yesus yang bangkit itu hadir dalam perjamuan kudus, sesuai dengan janji-Nya
pada perjamuan yang terakhir.
Kemudian perjamuan itu mulai dipandang selaku kelanjutan dari persembahan
syukur (pengorbanan) seperti di dalam PL. Istilah “korban” dan “mezbah” dipakai
kembali. Berhubung dengan pengertian itu, tekanan berpindah dari kehadiran dan
anugerah Tuhan yang mendahului segala usaha manusia, justru kepada usaha manusia
yang mempersembahkan kurban Kristus yang tak berdarah itu kepada Allah. Penekanan
itu dilatarbekalangi oleh kepercayaan bahwa oleh doa imam, maka Roh Tuhan yang
Mahakuasa turun ke atas roti dan air anggur, pada saat itu zat roti dan zat air anggur itu
berubah dan menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus Kristus. Pandangan itu disebut
“transubstansiasi”. Pengertian tentang perjamuan kudus (misa) ini sangat erat
kaitannya dengan fungsi dan keistimewaan posisi Klerus (imam) di dalam Gereja Katolik
Roma. Istilah “misa” (Inggris: mass) berasal dari ucapan imam “Ite, missa est concio!”,
yang melepaskan mereka dari antara para hadirin kebaktian yang tidak berhak
mengikuti “missa” (mittere, mitto, missum: mengutus; bnd. misi, mission).
Istilah “sakramen” bukan istilah Alkitab. Istilah ini berasal dari bahasa Latin,
“sacramentum”, yang dipakai untuk menerjemahkan istilah Yunani “mysterion”
(misteri). Istilah “sacramentum” diambil dari lingkungan pengadilan dan kemiliteran,
yakni sumpah seorang prajurit terhadap komandannya (pemerintah) atau juga dipakai
untuk suatu jumlah uang yang diserahkan kepada suatu kuil (dewa) bila orang yang
bersangkutan mempunyai suatu perkara yang sedang disidangkan di pengadilan. Di
belakangnya ada suatu perjanjian. Seandainya perkara ini tidak dapat dimenangkan
dalam pengadilan, maka uang itu menjadi milik kuil yang bersangkutan.
Bapa gereja Tertullianus (160-220) memperkenalkan istilah “sacramentum”
(sakramen) ini ke dalam perbendaharaan istilah gereja dengan pengertian: sakramen ini
merupakan suatu perjanjian Allah kepada Gereja-Nya. Allah sendiri mengikatkan diri
(dengan kenyataan sakramen itu) dan memberikan suatu jaminan melalui sakramen ini.
40

Menurut Tertullianus, sakramen itu sekaligus merupakan suatu panggilan Allah untuk
percaya dan meyakini perjanjian Allah.

Perkembangan Pengertian Tentang Baptisan

Baptisan adalah pemberitaan penghapusan dosa secara kelihatan, pemberitaan


rahmat dan kasih Allah, sekaligus juga suatu meterai anugerah Allah. Jadi,
penekanannya ada pada perbuatan dan inisiatif Allah, yakni kematian dan kebangkitan
Tuhan Yesus yang mewakili kita di kayu salib. Melalui baptisan ini kematian dan
kebangkitan Kristus diaktualkan dan dikhotbahkan (bnd. Rm. 6).
Namun, lama-kelamaan unsur magis masuk ke dalam pengertian baptisan itu.
Jemaat mulai percaya bahwa air baptisan itu mengandung suatu khasiat istimewa,
sehingga air itu (dari dirinya sendiri) dapat menyucikan secara magis-realistis. Oleh
kuasa ilahi yang terkandung di dalam air baptisan itu, maka iblis dan pengaruhnya di
dalam kehidupan orang yang dibaptis, diusir. Khususnya sejak abad ke-2, upacara
baptisan mengandung segi pengusiran setan (exorcisme).
Jadi, lama-kelamaan baptisan itu diobyektifkan dan berfungsi secara “ex opere
operatio” (dari dirinya sendiri berdasarkan pelaksanaan acara baptisan). Dengan kata
lain, pembawaan berkat Tuhan melalui sakramen itu dianggap otomatis dan semakin
dijauhkan dari keterikatannya kepada iman pribadi orang yang menerima sakramen itu.
Air baptisan semakin dimengerti sebagai “theophor” (theos: Allah; phoreo: memikul,
mengemban, mengandung), yaitu sebagai pembawa kuasa ilahi. Akibatnya, karena
pengertian magis itu, air baptisan juga dipakai sebagai jimat. Misalnya, para pelaut
membawa air baptisan di atas kapal sebagai pelindung.

Disiplin Gereja

Karena sejak tahun 313 (Edik Milano) semakin banyak orang yang bertobat masuk
gereja dan yang tidak dapat hidup sesuai dengan standar etika Alkitabiah, maka timbul
dua standar etika. Tuntutan-tuntutan etika yang tercantum di dalam PB dianggap terlalu
tinggi untuk kaum awam. Karena itu dibedakan standar etika dan disiplin yang berlaku
untuk kaum awam dan yang berlaku untuk Klerus. Kenyataan ini juga menyebabkan
bahwa status dan derajat kaum awam dan Klerus semakin berbeda.

Injil (Berita Sukacita) Menjadi Taurat Baru (Masalah Moralisme)

Semakin lama penekanan dalam khotbah dan uraian-uraian teologis semakin


beralih dari Yesus Kristus sebagai Juruselamat dunia dan Juruselamat pribadi (yang
menghapus dosa saya dan memungkinkan saya untuk hidup bagi Allah) kepada Yesus
Kristus sebagai teladan dan Guru. Berhubung dengan hilangnya kesegaran rohani di
dalam gereja dan semakin banyak orang yang belum bertobat masuk gereja, maka
tuntutan etika, disiplin pribadi dan disiplin gereja semakin ditekankan. Konsepsi tentang
amalan mulai berkembang: menahan diri dari beberapa macam makanan dan air
anggur; hari Jumat menjadi hari puasa sehubungan dengan hari Jumat Agung dan
kematian Tuhan Yesus (tidak makan daging); mengucapkan banyak doa tertentu
dianggap perbuatan baik (misalnya, mendoakan tasbih atau rosario); bertarak terhadap
nafsu seksual; membujang dianggap lebih suci dari pada hidup nikah (pengaruh
dualisme). Semuanya itu memperlihatkan secara simptomatis bahwa kemurnian Injil
ditinggalkan, pemberitaan Injil dan penekanan dalam penggembalaan beralih kepada
moralisme dan legalisme.
41

Perkembangan Kerahiban

Hidup membiara berkembang di dalam gereja mula-mula sejak akhir abad ke-3.
Titik berangkat perkembangannya belum begitu jelas. Ada yang berpendapat bahwa
titik berangkatnya di India atau Mesir atau di dalam kalangan kaum Yahudi, namun
tidak ada bukti yang jelas. Menurut K.S. Latourette dorongan untuk mendirikan biara-
biara terutama ataupun seluruhnya berasal dari Firman Tuhan (Rm. 14:2; 1 Yoh. 2:15-
17; 1 Kor. 7:38, 40; Why. 14:4, dll). Ada yang berpendapat bahwa dualisme (filsafat
Yunani) mempengaruhi perkembangan hidup membiara (mematikan hawa nafsu;
menganggap hidup beraskese dan selibat lebih suci). Selibat ini berkembang sejak
pertengahan abad ke-4. Konsili di Trullo menentukan bahwa seorang uskup harus
menerima selibat (berpisah dengan istrinya). Sejak tahun 1075 (Paus Gregor VII) semua
imam, diakon, dan uskup diwajibkan berselibat. Hidup membiara (Inggris: monasticism,
berasal dari kata monos) berkembang dalam tiga tahap:
1. Golongan “eremit” (eremos: gurun). Sejak permulaan abad ke-4 orang-orang Kristen
mengasingkan diri sama sekali dari masyarakat dan hidup sendiri-sendiri di padang
gurun. Yang terkenal di antara mereka ialah Antonius (wafat 356), yang pada
umumnya dianggap sebagai “bapa kerahiban”. Buku “Riwayat Hidup Antonius” (Vita
antonii) yang dikarang oleh Athanasius dari Alexandria sangat berpengaruh dalam
perkembangan kerahiban. Menurut buku ini, Mat. 19:21 merupakan ayat kunci di
dalam kehidupan Antonius.
2. Rumah-rumah pertapaan atau biara. Pada tahun 320 Pachomius (282-346), dari
Gereja Koptik di Mesir, mendirikan biara pertama di Tabennisi (dekat sungai Nil di
Mesir Selatan). Kemudian 8 biara untuk para biarawan dan 2 untuk para biarawati
didirikan di bawah pimpinannya. “Regula Pachomii” (peraturan-peraturan biara
yang disusun oleh Pachomius) mempengaruhi hidup membiara di kemudian hari.
Biara-biara di bawah pimpinan Pachomius itu mempunyai 400 biarawati dan 1.300
biarawan.
3. Perkembangan ordo-ordo kerahiban. Pada tahun 525, Benedictus dari Nursia
mendirikan biaranya di Monte Casino (Italia). Kemudian 12 biara lain didirikannya
dari Nursia dan pada abad ke-12 ordo Benediktin mempunyai 314 biara dan biara di
Cluny (Perancis, didirikan pada tahun 910) sebagai pusat, dengan pengaruh yang
sangat luas di dalam Gereja Katolik Roma. “Regula Ordo Benediktin” menuntut:
kemiskinan, selibat dan ketaatan mutlak terhadap Kepala Biara (abbas, Inggris:
abbot).
Lain dengan pola kehidupan biara-biara di bawah pimpinan Pachomius, Benedictus
dari Nursia mengarahkan ordonya kepada pekerjaan praktis, yaitu berkebun,
berladang, beternak, dan lain-lain. Kemudian Cassiodorus mengarahkan biara-biara
kepada studi dan pendidikan, sehingga sekolah-sekolah biara memonopoli bidang
pendidikan di Eropa selama 800 tahun. Tidak ada sistem pendidikan di luar biara-
biara di Eropa sampai abad XIV. Juga perlu disadari bahwa semua gerakan
pembaruan di dalam Gereja Katolik Roma dirintis dan diperjuangkan oleh biara-
biara. Gerakan pembaruan di bawah pimpinan biara Cluny pada abad ke-10; Bernard
dari Clairvaux (1090-1153) dan Ordo Cistersien pada abad ke-12; Fransiskus dari
Asisi (1182-1226) dan Ordo Fransiskan (Ordo Misionaris) pada abad ke-13; Thomas
dari Kempes (1380-1471) dengan bukunya “Meniru Kristus”; juga John Wyclief
(1320-1384); Johannes Huss (1369-1415) dan Martin Luther (1483-1546) adalah
biarawan.
Juga tidak dapat disangkal bahwa biara-biara dan para biarawan memainkan
peranan penting dalam pengkristenan Eropa (misalnya biara Iona yang pada tahun
42

563 didirikan di Pulau Iona dekat pantai timur Skotlandia) dan Gerakan Misi Yesuit
(didirikan pada tahun 1534, diresmikan oleh Paus pada tahun 1540).
Pada masa reformasi (1517), biara-biara dan kerahiban menghilang di dalam gereja
Protestan, karena perlawanan gereja Protestan terhadap pengajaran Gereja Katolik
Roma tentang amal dan “indulgensia”. Baru sesudah PD II beberapa biara Prostestan
didirikan oleh teolog-teolog dan biarawan-biarawan Protestan, khususnya di Eropa.

PEKABARAN INJIL DI EROPA

Antara tahun 400 dan tahun 1000, keadaan Eropa di bidang politik dan agama
mengalami perubahan yang besar sekali. Kekaisaran Romawi di Barat runtuh, dan
terbentuklah sejumlah negara baru. Sesudah meninggalnya Kaisar Theodosius Agung,
sekitar tahun 400, kekaisaran Romawi dibagi menjadi dua: Romawi Barat dan Romawi
Timur. Kekaisaran Romawi Timur bertahan sampai tahun 1453, sedangkan Romawi
Barat hanya setengah abad saja, kemudian dihancurkan oleh suku-suku bangsa German.
Suku bangsa Frank menduduki Perancis, suku bangsa Angelsaksis Inggris dan
seterusnya. Bangsa-bangsa ini mendirikan negara-negara baru yang di kemudian hari
disebut: Perancis, Inggris, Jerman dan negeri-negeri Skandinavia. Di Eropa Timur,
bangsa-bangsa Slav juga mendirikan beberapa negara: Rusia, Polandia dan seterusnya.
Jadi, secara asasi pada zaman itulah lahir negara-negara Eropa yang masih ada sekarang.
Mayoritas bangsa-bangsa German dan Slav menganut agama-agama suku
(politeis). Wilayah Perancis dan Inggris, yang sudah masuk Kristen sewaktu masih
merupakan propinsi-propinsi kekaisaran Romawi, harus dikristenkan kembali. Di Rusia
dan Eropa Utara dan Tengah, sama sekali belum ada usaha pekabaran Injil. Tetapi
sekitar tahun 1000, hampir seluruh Eropa sudah masuk Kristen.
Pada masa ini juga, paus-paus berhasil menjadi penguasa duniawi di suatu daerah
di Italia Tengah, yang biasa disebut negara-gereja. Ibukota negara itu Roma. Negara-
gereja itu berdiri terus sampai tahun 1870, ketika dicaplok oleh kerajaan Italia. Tetapi,
sebagian kecil kota Roma di sekitar gereja Santo Petrus tetap merupakan negara
berdaulat (Kota Vatikan), lengkap dengan aparat diplomatiknya. Kepala negara ialah
paus.
Bangsa-bangsa German beragama politeis; agamanya itu tidak lama bertahan
terhadap agama Kristen. Salah seorang pekabar Injil yang terkenal ialah Bonifatius.
Perancis sudah dikristenkan kembali sekitar tahun 500. Raja Frank yang mendiami
daerah itu, yaitu Clovis, sudah dipengaruhi oleh permaisurinya, yang beragama Kristen,
dan oleh penduduk-penduduk lama yang ditaklukkannya, masih Kristen pula. Tetapi ia
terlalu suka pada upacara-upacara agamanya sendiri. Pada suatu hari ia harus
bertempur dengan seorang raja lain. Tentaranya sudah mulai mundur. Maka berdoalah
ia kepada Allah istrinya: “Kalau Engkau memberi saya menang, saya akan masuk
Kristen.” Ia menang, dibaptis dan prajurit-prajuritnya dengan sendirinya mengikuti
tuannya (496).
Inggris, dengan bangsa Anglo-Sakson, dikristenkan sekitar tahun 600. Menurut
cerita, di pasar budak belian di kota Roma Paus Gregorius I (590-604) melihat beberapa
orang muda yang kelihatannya dari bangsa asing. Ia bertanya: dari bangsa manakah
kalian? Jawab mereka: Angeli (Anglo). Sri Paus terkesan, karena “Angeli” dalam
bahasanya sendiri (Latin) berarti “malaikat”. Kemudian ia membeli mereka. Setelah
diberi katekisasi dan dibaptis, mereka dikirimnya pulang ke tanah airnya, di bawah
pimpinan seorang rahib, Augustinus (bukan bapa Gereja). Di Inggris juga rajanya
dibaptis lalu rakyat mengikuti contohnya.
Segera sesudah Inggris dikristenkan, negeri itu sendiri pun menjadi pusat
pekabaran Injil. Pekabar Injil yang terkenal yang berasal dari Inggris ialah Bonifacius
43

(675-754). Ia disebut “Rasul Jerman”, karena dialah yang mengabarkan Injil di sebagian
besar negeri Jerman. Metodenya tidak selalu lemah lembut. Ia dibunuh oleh orang-orang
kafir di Belanda Utara ketika ia berumur 80 tahun.
Sampai sekitar tahun 750, pekabaran Injil diselenggarakan secara damai. Sesudah
itu perang mulai digunakan juga sebagai alat untuk membawa orang masuk dalam
kekristenan. Demikianlah misalnya dilakukan oleh yang paling tersohor di antara raja-
raja orang-orang Frank, Charles Agung (± 800), yang menaklukkan Jerman Utara dan
memaksa penduduknya menerima agama Kristen. Kemudian orang-orang Jerman Utara
sendirilah yang memaksa tetangganya di Jerman Timur dan Polandia Utara untuk masuk
Kristen. Eropa Utara (Skandinavia) dikristenkan oleh raja-rajanya sendiri, tetapi sering
mereka memakai kekerasan untuk memaksa rakyatnya (± 1000). Yang paling akhir
dikristenkan ialah Kerajaan Lithuania (± 1400).
Sekitar tahun 1000, Eropa Timur dikristenkan oleh utusan-utusan dari
Konstantinopel, yang kemudian menjadi wilayah Gereja Ortodoks Timur. Gereja
Ortodoks Timur pada abad ke-7 kehilangan separuh daerahnya karena serangan-
serangan orang-orang Arab. Tetapi daerah yang hilang di sebelah tenggara itu
digantinya dengan daerah baru di Utara, yaitu Eropa Tenggara dan Rusia. Salah seorang
pekabar Injil ialah Cyrillus, seorang Tesalonika. Ia bukan hanya memberikan Injil kepada
bangsa-bangsa Slav, tetapi juga salah satu abjad yang cocok dengan bunyi-bunyi bahasa
mereka, agar Injil dapat ditulis dalam bahasa mereka. Abjad ini, yang berdasarkan abjad
Yunani, sampai sekarang masih dipakai di Rusia dan beberapa negara lainnya. Raja
Rusia, wladimir, dibaptis pada tahun 989. Lalu rakyatnya semuanya diperintahkannya
turun ke dalam sungai agar mereka sekaligus juga dibaptis.
Bentuk-bentuk lingkungan suku bangsa German dan Slav ikut menentukan cara
yang dipakai dalam usaha mengkristenkan mereka. Dan setelah menjadi Kristen, mereka
mengungkapkan imannya yang baru dalam bentuk-bentuk lingkungannya sendiri, yang
dalam beberapa hal berbeda dengan bentuk-bentuk lingkungan Yunani-Romawi.
Dalam kekaisaran Romawi, ikatan kesukuan sudah menjadi longgar, khususnya di
kota-kota. Manusia hidup secara perorangan dan ia mencari keselamatan secara
perorangan. Yang masuk ke dalam gereja pun adalah orang-orang perorangan. Lain
halnya di dunia orang-orang German dan Slav. Mereka tidak mengenal hidup perkotaan;
kehidupan mereka masih bersifat kolektif. Apabila mereka masuk ke dalam gereja,
mereka datang berkelompok-kelompok, biasanya dengan mengikuti contoh raja mereka.
maka baptisan terpaksa dilayankan secara massal, sampai sepuluh ribu orang pada satu
hari. Memberikan persiapan yang memadai kepada massa yang begitu besar tidak
mungkin bagi para pelayan yang jumlahnya sedikit. Waktunya dianggap cukup kalau 1-3
minggu saja, sehingga para calon kurang mendapatkan bimbingan ke dalam tata
kehidupan Kristen dan ke dalam tata kebaktian, yang dianggap begitu penting dalam
Gereja Lama.
Keadaan lingkungan itu berpengaruh pula terhadap kehidupan gereja sesudah
pengkristenan. Adapun norma-norma sosial dan moral yang menentukan kehidupan
suku-suku German yang juga berperan dalam sejarah pengkristenan suku-suku itu
adalah:
1. Satuan kemasyarakatan suku-suku German adalah marga. Individualisme tidak
berperan. Jika suatu anggota marga dibunuh, maka perdamaian dicapai jika si
pembunuh juga dibunuh. Kehormatan marga adalah nomor satu dan merupakan
tuntutan mutlak yang tidak dapat dielakkan.
2. Setiap laki-laki bebas untuk memilih panglimanya sendiri dan mengkuti dia.
Panglima wajib memelihara pengikut-pengikutnya. Pengikut-pengikut harus
setiawan kepada panglimanya sampai mati. Kesetiaan kepada panglima dijunjung
tinggi. Pengkhianatan dianggap hal yang paling jelek. Damai dalam batas marga,
44

kehormatan marga dan penghormatan dalam medan peperangan dianggap cita-cita


tertinggi.
3. Antara suku-suku German terdapat suatu kesadaran dan kepekaan terhadap
keadilan dan rasa bertanggung jawab dan pertanggungjawaban. Semua kesalahan
harus dibayar dan diimbangi dengan pembalasan yang setara. Pembunuhan ditebus
oleh keluarga yang dirugikan dengan pembunuhan. Ketidaksetiaan terhadap
panglima dapat ditebus dengan kesetiaan yang lebih besar pada lain kesempatan.
Apa yang seharusnya dilaksanakan sendiri dapat diwakilkan.
4. Tiada kecenderungan untuk filsafat dan spekulasi. Kebudayaan suku-suku German
pada waktu mereka muncul di panggung sejarah, masih primitif dan berkisar pada
perang-perang marga dan suku. Membuktikan diri dalam perang dianggap jauh lebih
penting daripada pengetahuan. Tidak banyak yang dapat menulis dan membaca.
Ketakutan akan kematian yang sangat mempengaruhi filsafat dan spekulasi
kebudayaan Yunani tidak berperan dalam kebudayaan suku-suku German.
Kehormatan dalam peperangan dianggap lebih penting daripada kehidupan.
Kehilangan penghormatan sesamanya lebih buruk daripada kematian. Oleh karena
itu sejarah suku-suku German adalah sejarah peperangan.
5. Raja dan panglima dianggap sebagai pembawa dan pemberi “selamat”, “kuasa” atau
“sahala”. Bilamana raja itu meninggal di medan peperangang, kemenangan tidak bisa
dicapai. Sebaliknya, pihak yang menang dianggap pembawa “sahala” yang besar.
Pengertian norma-norma dan adat istiadat ini memainkan peranan yang besar
dalam pengkristenan suku-suku German:
1. Yang menjadi daya tarik bagi suku-suku German bukan pengampunan dosa dan
kasih Kristus, melainkan kuasa-Nya. Kuasa itu paling nampak untuk suku-suku itu
dalam kemenangan Kristus atas iblis dan kuasa-kuasa kegelapan. Pengalaman Raja
Clovis memperlihatkan aspek ini: ketika dia terdesak oleh suku Aleman; dia berseru
kepada Kristus dan menang. Berdasarkan pengalaman ini raja Clovis dan suku Frank
masuk Kristus (akhir abad ke-5).
2. Penebusan dan pembebasan dimengerti dan dihargai dari segi pelepasan dari kuasa
fatalisme, kuasa nasib (takdir) dan kuasa kegelapan.
3. Kristus dilihat sebagai panglima tertinggi yang dapat menuntut segala-galanya.
Dalam spekulasi bangsa Yunani Kristus dilihat sebagai “logos”. Yang terpenting bagi
suku-suku German ialah Kristus sebagai “Kurios”.
4. Pola pengkristenan di Eropa pada umumnya tidak mengikuti pola pertobatan
individual, melainkan “multi-individual” atau lebih tepat, bilamana sang raja atau
panglima mengambil keputusan untuk menjadi Kristen, maka para pengikut atau
seluruh suku mengikuti langkah yang sama. Keputusan untuk merangkul
kekristenan seringkali didorong oleh daya tarik kebudayaan Romawi-Yunani yang
dianggap lebih unggul. Motivasi penggantian agama sering tidak murni dan amat
dangkal. Pengkristenan itu baru titik permulaan untuk mendirikan suatu gereja yang
anggota-anggotanya masih perlu mengalami pembaharuan hidupnya melalui Roh
Kudus. Namun proses itu sangat lamban dan memakan waktu beratus-ratus tahun.
5. Salah satu penyebab kelambatan ini ialah bahwa kebanyakan orang Kristen di Eropa
tidak mempunyai kesempatan untuk mengenal Injil dengan sesungguhnya:
kebanyakan masih buta huruf; Alkitab yang dipakai ialah Alkitab dalam bahasa Latin
(Vulgata); bahasa kabaktian pun adalah bahasa Latin. Baru pada masa Reformasi
pada abad ke-16 mulai mengubah situasi itu.
6. Faktor lain yang menyebabkan kerohanian gereja-gereja di Eropa pada abad-abad
pertengahan sangat lemah ialah sikap kompromi Gereja Katolik Roma terhadap
kuasa kegelapan dan adat istiadat yang bercampur-baur dengan okultisme. Pada
45

tahun 601 Paus Gregor Agung menulis sepucuk surat kepada pimpinan misi Katolik
Roma di Inggris yang memperlihatkan sikap kompromi ini.
7. Selanjutnya, kedangkalan kekristenan di Eropa juga disebabkan oleh kurangnya
penginjil-penginjil yang terampil dan terlatih, sangat luasnya daerah yang perlu
diinjili dan medan yang sulit, infrastruktur yang sangat terbatas. Bahasa yang
berbeda-beda dan metode-metode penginjilan yang hanya bersifat lahiriah.

PERJUMPAAN ISLAM DAN GEREJA

Ada dua pandangan berkaitan dengan perkembangan Islam pada awal abad ke-7,
yakni: pertama, pandangan W. Durant: “Ledakan situasi di semenanjung Arabia yang
mengakibatkan separuh dari seluruh daerah Laut Tengah dimenangkan dan ‘ditobatkan’
oleh Islam merupakan kejadian yang paling luar biasa dalam sejarah abad-abad
pertengahan. Kedua, pandangan Philip Schaff, yang menganggap perkembangan pesat
agama Islam “sebagai suatu pemenuhan penghakiman yang tepat dari Allah atas
kestatisan dan praktek penyembahan berhala dalam kekristenan pada abad
pertengahan”.
Ketegangan yang terjadi dalam hubungan antara Gereja dan Islam masih terus
terasa hingga masa sekarang ini yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kegagalan, kegoncangan atau lenyapnya gereja di Eropa Tenggara (Bosnia dan
Albania), Asia Kecil (Turki), Palestina, Arabia dan Afrika Utara; daerah-daerah yang
sebagian besar pernah menjadi Kristen akhirnya menjadi daerah Islam atau daerah
dengan mayoritas Islam.
2. Ingatan akan kebengisan Perang-perang Salib (1096-1291)
3. Dua periode kemenangan Islam yang diraih bukan melalui bangsa Arab, tetapi oleh
penakluk yang baru dari Asia Tengah (Turki dan Mongol) yang menjadi negara Islam.
Pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, setelah generasi kedua atau ketiga dari
bangsa Mongol dan Turkistan China yang menganut agama Islam, telah
menggariskan nasib orang-orang Kristen yang tinggal di sebelah timur sungai Efrat.
Kemudian muncul pula Kerajaan Ottoman Turki, yang juga Muslim dan menjadikan
Islam dominan secara politik di Konstantinopel dan Balkan. Migrasi orang-orang
Muslim dan perpindahan kepada Islam juga terjadi.
4. Islam adalah agama dunia yang bersifat “post Christian” dan karena itu mengklaim
bahwa Tuhan Yesus hanyalah pelopor untuk nabi Muhammad; menurut ajaran
agama Islam al-Quran merupakan wahyu Allah yang terakhir dan tertinggi.
5. Hasil penginjilan antara penganut-penganut Islam sangat minim; hanya beberapa
ratus di seluruh Afrika Utara, Turki dan Arab Saudi.
6. Agama Islam adalah agama yang satu-satunya selain dari pada agama Kristen yang
bersifat misioner dan mempunyai sejarah persaingan dengan gerakan misi Kristen di
Afrika dan beberapa negara lain; bahkan agama Islam bertendensi dan cenderung
kepada sifat militan.

Perkembangan Dunia Islam

Sesudah Muhammad meninggal dunia pada tanggal 6 Juni 632, pemimpin-


pemimpin Islam berhasil mempersatukan suku-suku Arab dan memulai suatu ekspansi
dan perluasan kuasa Arab yang ofensif dan unik:
634 daerah antara sungai Yordan dan Efrat dimenangkan
635 Damsyik ditaklukkan dan menjadi pusat Khalifat Ummayah dari tahun 661-750
636 Anthiokia dimenangkan
638 Yerusalem dimenangkan
46

640 Kaisaria dan sisa Suriah dimenangkan


642 Alexandria dan seluruh Mesir dimenangkan
643 Tripolis dan Libya dimenangkan
656 Persia (Iran) dimenangkan
673 sampai 677 tentara-tentara Arab memerangi Konstantinopel, ibukota kekaisaran
Romawi Timur; tetapi mereka belum dapat mengalahkannya. Mereka memasuki
India dan Asia Tengah, Turkestan dan Kaukasia
697 Karthago, ibukota Afrika Utara dimenangkan
711 Tharik bin Ziad menyeberang ke benua Eropa (Selat Gibraltar)
715 Hampir seluruh Spanyol ditaklukkan. Pada tahun ini tentara-tentara Arab
memasuki pusat Eropa dan memerangi Eropa dari sebelah barat (Perancis Selatan)
dan sebelah timur (Yunani). Baru di sungai Loire kemajuan luar biasa ini
dihentikan dalam peperangan di kota Tours dan Poitiers di Perancis Selatan (Karel
Martel, raja bangsa Frank). Sejak tahun 732 tentara-tentara Arab tidak lagi
menyerang pengunungan Pyrenees (antara Perancis dan Spanyol), namun mereka
menguasai Spanyol sampai tahun 1492.

Situasi Gereja Di Daerah Yang Ditaklukkan Islam

Kedudukan orang-orang kristen di bawah kekuasaan Arab cukup baik, walaupun


mereka tidak mendapatkan kebebasan penuh dalam hal beragama. Lama-kelamaan
jumlah anggota gereja menjadi merosot. Kedudukan orang Kristen dalam khalifat itu
dapat dikatakan agak baik, terutama pada abad ke-7. Oleh orang-orang Arab diberikan
kebebasan beragama kepada semua gereja, dari golongan apapun. Hanya ada syarat,
bahwa mereka tidak boleh berusaha membujuk orang Muslim masuk Kristen dan
beberapa pembatasan lain. Ada kewajiban untuk membayar jizya, pajak perseorangan,
sebagai imbalan bagi perlindungan militer yang mereka nikmati.
Oleh karena hukum negara adalah hukum Islam (syariat), maka sulitlah bahwa
golongan-golongan Kristen langsung diurus oleh pemerintah khalifat. Dari itu masing-
masing golongan itu diberi status dhimmi, yaitu umat tersendiri, yang dikepalai oleh
pemimpin kerohaniannya. Setiap gereja mempunyai dhimmi tersendiri. Sebagai contoh,
orang-orang Nestorian, yang di antara orang Kristen paling dihormati oleh orang-orang
Arab, merupakan dhimmi Nestorian, di bawah pimpinan patriakhnya di Bagdad dan
seterusnya. Patriakh itu tidak hanya kepala kerohaniaan, tetapi juga mengurus soal-soal
duniawi. Ia berfungsi sebaga pemungut pajak dan hakim tertinggi, sebagai gubernur dan
pemberi undang-undang. Keadaan ini sebenarnya tidaklah menguntungkan bagi
pelaksanaan tugas kerohaniannya.
Salah satu daerah tempat agama Kristen paling cepat merosot ialah semenanjung
Arabia. Orang-orang Kristen di Oman banyak yang masuk Islam. Yang di Arabia Utara
dan di Yaman juga semakin berkurang jumlahnya. Tetapi pada tahun 1300 masih ada
jemaat di Yaman. Di Afrika Utara bagian Barat (Maghrib), gereja hilang sesudah
beberapa abad. Sementara itu di bagian-bagian dari Mesir, Palestina dan Siria, gereja
masih merupakan mayoritas penduduk ketika, sekitar tahun 1100, Perang Salib mulai.
Justru Perang Salib itulah yang membuat kedudukan gereja di sana menjadi lebih buruk.
Pada dasarnya hubungan antara Kristen dan Islam dapat dikatakan cukup toleran,
khususnya antara abad ke-7 dan pertengahan abad ke-11. Sering ada orang Kristen yang
menjadi pejabat tinggi di pemerintahan khalifat di Damsyik dan baghdad. Banyak juga
orang Kristen yang menjadi guru dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Kaum
muslim menyambut, meneruskan dan mengembangkan pengetahuan Yunani-Romawi.
Bahkan akhirnya dunia Barat menerima kembali filsafat Yunani (Aristoteles dan Plato)
47

lewat ilmuwan-ilmuwan Islam dan Yahudi di Cordoba (Spanyol), misalnya Ibn Rushd
(1126-1198).
Banyak masalah yang dihadapi oleh Gereja dan Islam searah hubungan rasio dan
iman; diskusi Islam atau Kristen dengan filsuf Aristotelian dan Plotin; relasi Scholastik
dan mistisisme; relasi pengajaran resmi dan kesalehan pribadi; masalah penyembahan
kepada gambaran (ikonoklasme); masalah kebebasan kehendak manusia, dan lain-lain.
Nampak di sini bahwa agama Islam bertumbuh dan berakar di dalam suatu daerah yang
dipengaruhi oleh Hellenisme dan Kekristenan. Oleh karena itu, berabad-abad lamanya
terjadi pertukaran pikiran yang produktif di antara pemikir-pemikir Islam dan Kristen
(Gereja Orthodoks Suriah) di Timur Tengah, tetapi juga di Italia dan Spanyol, sampai l.k.
abad ke-13.
Orang Yahudi dan Kristen dinilai sebagai pemilik-pemilik Kitab Suci dan karena itu
diberi status lain dari pada penganut-penganut animisme. Sebagai pemilik Kitab Suci,
mereka diijinkan untuk meneruskan peribadahan mereka dan mempraktekkan agama
mereka masing-masing, walaupun dengan syarat-syarat tertentu. Seringkali mereka
tidak diperbolehkan membangun gereja-gereja baru, tidak boleh memakai lonceng-
lonceng gereja dan memasang salib yang dianggap menonjol; mereka sering tidak
diijinkan untuk mempraktekkan agama mereka di luar gedung gereja; mereka tidak
diperbolehkan menginjili orang-orang muslim, dan lain-lain. Seringkali mereka dianggap
warga negara yang status dan haknya terbatas (warga kelas dua/sceond class citizen).
Mereka dipungut lebih banyak pajak (namun juga kerena mereka dibebaskan dari wajib
militer). Di daerah-daerah tertentu mereka diharuskan menggunakan tanda-tanda
identifikasi pada pakaian mereka. Nikah dengan seorang muslim tidak diperbolehkan.
Khususnya di Afrika Utara mereka dihambat dalam pengembangan karier mereka.
namun jelaslah juga bahwa berabad-abad lamanya mereka tidak ditekan atau dipaksa
untuk memeluk agama Islam. Hanya penganut-penganut animisme diwajibkan untuk
menjadi orang-orang muslim.

Gereja-gereja Di Wilayah Kekuasaan Islam

Gereja Katolik Roma di Afrika Utara


Bagaimana mungkin bahwa suatu Gereja yang begitu besar dan kuat dilenyapkan
dalam waktu yang relatif singkat? Pada waktu bapa Gereja Augustinus meninggal dunia
(430), Gereja Katolik Roma di Afrika Utara terdiri dari l.k. 500 keuskupan, yaitu: l.k.
seperempat dari semua keuskupan Gereja Katolik Roma pada waktu itu. Gereja-gereja
itu dilayani oleh teolog-teolog ternama, seperti Tertulianus (abad II), Cyprianus (abad
III) dan Augustinus (abad IV/V). Gereja Katolik Roma di Afrika Utara dilayani oleh
imam-imam yang pendidikannya dianggap lebih tinggi dari pada pendidikan para imam
di Alexandria dan bahkan di Roma. Bagaimana mungkin bahwa Gereja ini lenyap dalam
waktu singkat? Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari Sejarah Gereja, yaitu:
1. Gereja di Afrika Utara tidak berakar di antara para penduduk asli, yaitu: suku-suku
Berber. Suku-suku asli tidak diinjili. Gereja Katolik Roma di Afrika Utara berakar
dalam lapisan masyarakat yang berlatar belakang Romawi (Latin), yang pada
dasarnya adalah pendatang, walaupun mereka sudah berabad-abad lamanya tinggal
di sana. Bahasa liturgi adalah bahasa Latin. Gereja hanya bertumbuh dalam kalangan
Romawi.
2. Alkitab tidak diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa penduduk asli. Gereja hanya
memakai naskah-naskah Yunani dan Vulgata (bahasa Latin sejak abad IV).
3. Gereja sering dilemahkan oleh pertikaian-pertikaian teologis, antara lain: Donatisme,
Novatianisme, Pelagianisme.
48

4. Gereja Katolik Roma di Afrika Utara adalah Gereja yang statis dan tidak mempunyai
semangat misi. Gereja tidak berhasil untuk mendidik dan memobilisir warga-warga
Gereja, yakni pendidikan kaum awam, pendidikan dalam bidang penginjilan pribadi,
pengembangan jemaat, beban untuk mereka yang belum dicapai oleh berita Injil, dan
lain-lain.
5. Gereja Katolik Roma terlalu diidentifikasi dan terikat kepada pemerintah Kekaisaran
Romawi, sehingga gereja ikut serta dalam kekalahan dan kelenyapan kekaisaran
Romawi Barat pada tahun 476 dan semakin berkurangnya daya jangkau Kekaisaran
Romawi Timur sesudah Kaisar Yustinian (527-565).
6. Warga Gereja yang terdiri atas lapisan menengah ke atas tidak dipersiapkan untuk
eksistensi Gereja dalam situasi di mana Gereja tertekan. Karenanya, banyak anggota
Gereja yang kemudian berpindah agama pada waktu mereka melihat bahwa langkah
itu menguntungkan mereka.

Gereja Koptik Di Mesir (Coptic Orthodox Church)


Sejak Konsili Oikumenis IV di Chalcedon (451) dan sebelum serangan tentara-
tentara Arab, Gereja-gereja Monofisit dan Duofisit ditindas dan ditekan oleh Gereja
Katolik (Gereja negara). Oleh karenanya, Gereja-gereja itu menganggap kemenangan
tentara-tentara Arab merupakan pembebasa buat mereka. Demikian juga dengan
pemerintah Kekaisaran Romawi Timur sangat dibenci. Sejak tahun 538 dua Patriarkh
bertahta di Alexandria, satu untuk Gereja Katolik dan satu lagi untuk Gereja Monofisit
(Gereja Orthodoks Koptik). Gereja Katolik dengan cepat semakin berkurang pengaruh
dan ruang geraknya pada waktu tentara-tentara Arab menaklukkan Mesir pada tahun
640-642. Beberapa ratus tahun kemudian, Gereja Koptik itu dilindungi oleh pihak Islam,
tetapi akhirnya juga semakin terkurung dan tertekan, terhambat dan menjadi statis.

Gereja Orthodoks Suriah (Syrian Orthodox Church: Gereja Yakobit)


Gereja Orthodoks Suriah didirikan dalam hubungan dengan hasil Konsili
Oikumenis IV (451). Satu abad kemudian seorang rahib, yaitu Yakob al-Baradi (Jacobus
Baradeus, wafat pada tahun 577), memperjuangkan pengembangan Gereja Yakobit ini.
Gereja ini berkembang dengan cepat, sehingga pada abad XII Gereja Yakobit telah
mempunyai lebih dari 100 keuskupan dan 20 Metropolit. Teolog-teolog terkenal Gereja
Yakobit adalah Yohanes dari Damsyik (Johannes Damascenus, wafat 754) dan Yakob
dari Edessa (Jacob of Edessa, 640-708/721). Namun akhirnya Gereja ini menderita
tekanan dan isolasi, sehingga saat ini hanya terdapat 13 keuskupan dengan l.k. 80.000
anggota.

Gereja Nestorian (Assyrian Church of The East)


Kekristenan masuk ke Persia sekitar tahun 100. Sejak abad IV, uskup ibukota
Seleukia dianggap kepala Gereja di Persia dan diberi gelar “Katolikos”. Sejak tahun 424,
Katolikos itu dianggap independent (merdeka) dari Patriarkh di Antiokhia atau pun Paus
di Roma. Semangat berdikari dan otonom penuh semakin kuat melalui hasil Konsili
Oikumenis IV di Chalcedon yang tidak diterima oleh Gereja di Persia. Nestorianisme
menjadi pengajaran resmi dan ditetapkan oleh Sinode di seleukia di Sungai Tigris pada
tahun 484. Sejak abad VI/VII, Gereja Nestorian menjadi Gereja misioner berabad-abad
lamanya. Mereka mengutus misionaris ke Timur Tengah, India, Turkestan, Mongolia,
Tiongkok, Siberia dan Indonesia. Sejak tahun 656 Persia dikuasai oleh tentara-tentara
Arab. Pemerintah Islam memberikan perlindungan kepada Gereja Nestorian. Pada tahun
762, “Katolikos” pindah ke baghdad yang sejak tahun 750 menjadi pusat Khalifat kaum
Abbasiyah. Jangkauan Gereja Nestorian pada abad XIII dengan 230 keuskupan dan 25
Metropolit dan beberapa juta anggota Gereja sangat luas. Di Asia Tengah beberapa Suku
49

Mongolia menguasai Persia. Pada tahun 1258 Baghdad dihancurkan dan khalifat pindah
ke Mesir. Sejak pertengahan abad XIV suku-suku Mongolia menganut agama Islam.
Dalam waktu yang relatif singkat Gereja Nestorian dihancurkan. Sisa-sisa Gereja
Nestorian melarikan diri ke Pegunungan Kurdistan (daerah perbatasan Turki, Irak dan
Rusia).

Gereja Orthodoks Armenia (Armenian Orthodox Church)


Sejak abad III Kekristenan menjadi agama resmi di Armenia, sesudah raja Tiridates
III bertobat dan menjadi Kristen melalui pelayanan Gregor (The Illuminator). Dalam hal
ini kuasa Tuhan menjadi nyata, mengingat bahwa ayah Gregor turut membunuh ayah
raja Tiridates III. Pada tahun 302 Gregor diangkat dan ditahbiskan menjadi Katolikos
Gereja Armenia. Sinode Gereja Armenia di Dvin pada tahun 506 meenolak hasil Konsili
Oikumenis IV di Chalcedon (451), karena mereka hanya mempunyai terjemahan yang
kurang baik dari notulen Konsili di Chalcedon dan berpendapat bahwa Konsili itu keliru
menganut Duofisitisme. Sejak itu Gereja Orthodoks Armenia dianggap Gereja yang
menganut Monofisitisme.
Pada tahun 636 tentara-tentara Arab memasuki daerah Armenia. Di samping
bangsa Yahudi tidak ada bangsa lain yang begitu sering dan banyak menderita
penghambatan dan penganiayaan selain bangsa Armenia. Antara lain, dari bangsa
Persia, Turki (abad XI), Mongolia (1386), dan Rusia.

Masa Jaya Islam

Baghdad: Pusat Wilayah Serta Kebudayaan Islam


Sejak tahun 762, Baghdad dijadikan ibukota wilayah Islam, yang meliputi wilayah
Timur Tengah, Arabia, Iran, Irak dan Afghanistan, serta diperintah oleh bani Abbasiyah.
Semua wilayah ini tidak terus-menerus takluk kepada pemerintah pusat di Baghdad.
Kadang kala ada pemberontak yang memisahkan diri selama beberapa waktu.
Adakalanya pula di pusat sendiri tokoh kuat tertentu merebut kekuasaan, tetapi hanya
dapat bertahan untuk sementara saja. Namun demikian, pada abad ke-9-11 wilayah
Islam tersebut mengalami masa kejayaannya. Pada awal zaman emas itu, sudah ada
hubungan dagang antara orang Arab dengan orang Sumatera, dan tentu juga sudah ada
orang Islam yang tinggal di Sumatera Utara dan Timur.
Kota Baghdad menjadi pusat ilmu dan seni Arab yang mengasimilasikan unsur
Yunani, Romawi, Bizantium dan Persia dengan kebudayaan Arab. Antara abad ke-8 dan
10, tulisan Yunani, antara lain karya Aristoteles yang sudah disalin ke dalam bahasa
Syria diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh atau dengan bantuan tokoh Kristiani
Nestorian. Pelbagai ilmu teologi Islam pun ikut berkembang. Maka mekarlah karya
sastra dan seni yang dipengaruhi terutama oleh unsur Persia.
Kegiatan kultural tidak terbatas di ibukota saja, melainkan semakin meluas ke
kota-kota lainnya, di mana kesadaran penduduk bukan Arab akan martabat mereka
semakin bertambah, lebih-lebih di Iran. Di mana-mana terciptalah kultur yang patut
dikenang, termasuk kultur yang diciptakan jauh dari luar Baghdad, seperti di Cordoba,
tempat di mana pada abad ke-8 sudah dibangun sebuah mesjid yang sangat indah.
Seni kaligrafi muncul dan berkembang pesat, mungkin justru sebagai akibat
dilarangnya pembuatan lukisan dan patung manusia. hanya di Persia dan India saja
larangan itu tidak selalu ditaati. Hasil karya miniatur yang diciptakan di situ amat halus
dan indah. Diceritakan, bahwa baterik Nestorian Timotheus I yang wafat dalam tahun
823, mendapat kedudukan yang penting di istana sebagai pelindung orang Kristiani
terkemuka yang dipanggil untuk bekerja sama dengan orang Islam untuk mempelajari
filsafat, ilmu pengobatan dan ilmu alam.
50

Sikap Konstantinopel Terhadap Islam


Pada waktu itu sebagian orang Kristen Bizantium menolak nabi Muhammad dan
agamanya secara radikal. Dalam abad ke-9 pernah ada seorang pakar bernama Nicetas
Bizantinus diminta oleh Kaisar Basilius I mengarang beberapa buku untuk membela
Kekristenan terhadap Islam. Namun demikian, pada umumnya penduduk kekaisaran
Bizantium mencoba hidup berdampingan dengan orang Islam secara damai, dan
pasukan pemerintah tidak pernah berhasil merebut wilayah Islam.

Hubungan Gereja Latin Dengan Bizantium dan Agama Islam


Di Spanyol, kota Cordoba menjadi pusat kerajaan Islam, yang sejak tahun 755
diperintah oleh khalifah Umayyah. Di Mesir dinasti Fatimid berkuasa dari tahun 969-
1177, dan antara lain mendirikan sekolah tinggi Al-Azhar di Kairo.
Sejak tahun 1043, Michael Caerularius menjadi baterik (uskup) Konstantinopel.
Dia anti dengan Gereja Latin yang antara lain disebabkan tuntutan Gereja tersebut agar
uskup Roma diakui sebagai penguasa tertinggi seluruh Gereja, dan karena usaha Gereja
Barat menyeragamkan seluruh jemaat dalam hal liturgi, dan lain sebagainya. Utusan
uskup Roma ke Konstantinopel tidak berhasil menciptakan kedamaian, lalu meletakkan
“surat keputusan mengekskomunikasikan (mengucilkan) baterik Caerularius” di atas
altar Gereja Hagia Sophia. Tindakan itu dibalas oleh balerik yang mengucilkan uskup
Roma. Dengan demikian, perpecahan Gereja Timur dan Gereja Barat sudah menjadi
kenyataan. Selama Yerusalem masih dikuasai oleh orang Arab, dan peziarah Kristen
tidak mengalami gangguan, perpecahan itu masih belum terlalu dirasakan. Orang
Kristen yang menetap di Tanah Suci (Yerusalem) diperlakukan oleh orang Arab dengan
baik. Mereka bebas melaksanakan kewajiban agama mereka, asal saja membayar upeti,
tidak membangun gedung Gereja yang lebih tinggi dari mesjid, tidak mengeritik atau
menghina orang Islam, tidak mengawini wanita Islam dan tidak berusaha
mengkristenkan orang Islam.
Akan tetapi, keadaan berubah sama sekali ketika dalam tahun 1071 Yerusalem
direbut oleh pasukan Seljuk, salah satu suku bangsa Turki yang diusir oleh bangsa
Mongol dari Asia Tengah. Penguasa baru itu bersikap intoleran; apalagi seluruh wilayah
yang mereka kuasai tidak aman, karena diancam banyak gerombolan penyamun.
Akibatnya, para peziarah tidak dapat lagi berziarah ke Tanah Suci dengan nyaman.
Dalam situasi itu perpecahan Gereja Timur dengan Gereja Barat benar-benar dirasakan.
Dalam tahun 1073 uskup Roma, Paus Gregorius VII, mengirim utusan ke
Konstantinopel untuk berusaha menciptkan sebuah koalisi dengan kaisar, agar
bersama-sama mereka mampu mengamankan ziarah ke Tanah Suci. Tetapi bagaimana
pun juga, suasana politik di Eropa Barat sendiri tidak mengizinkan Gregorius untuk
melaksanakan “perang salib” yang sebenarnya diharapkannya. Di Spanyol, orang-orang
Kristen masih tetap menguasai wilayah barat laut yang mereka bela dan pertahankan
dengan barisan benteng pertahanan.
Dalam tahun 899 di Santiago de Compostella diberkati dan diresmikan sebuah
Gereja ziarah yang terkenal, tempat rasul Yakobus dihormati. Wilayah itulah yang
menjadi basis pasukan Kristen, yang sedikit demi sedikit merebut kembali seluruh
jazirah Iberia dengan mendapat dukungan uskup Roma, yang memandang usaha
mengusir orang Islam sebagai “perang suci”. Pada tahun 1085, kota Toledo sudah
dikuasai pula oleh orang Kristen, terutama ketika kerajaan Umayyah mulai terpecah-
pecah, sebuah peluang yang memberikan harapan baru untuk penguasa Kristen.

Perang-Perang Salib
51

Sekitar pertengahan abad XI mulailah periode anarkhi dan kekacauan di


Konstantinopel. Kaisar demi kaisar dibunuh dan keadaan tentara kekaisaran Romawi
Timur diabaikan. Tentara-tentara Turki yang telah mengambil alih kekuasaan dalam
khalifat Arab, memanfaatkan kesempatan ini dan memasuki Asia Kecil atau Asia Barat.
pada tahun 1071 mereka menghancurkan tentara Romawi di Asia: Asia Kecil (Turki),
Suriah, Palestina dengan Yerusalem. Salah satu akibat keadaan perang itu adalah bahwa
orang-orang Eropa yang berziarah ke Yerusalem amat diganggu, bahkan dibunuh.
Perubahan situasi inilah yang menjadi titik berangkat Perang-perang Salib yang
berlangsung hampir 200 tahun:
1. Sikap bangsa Turki-seljuk Islam yang keras memusuhi agama Kristen, sehingga
jumlah jemaah Kristen yang berziarah ke Kota Suci (Yerusalem) diganggu.
2. Kaisar di Konstantinopel meminta pertolongan dari negara-negara di Eropa Barat
terhadap tentara-tentara Turki-Seljuk yang beragama Islam, yang baru mendirikan
suatu kerajaan besar dekat Konstantinopel, sehingga Konstantinopel merasa diri
terancam. Kaisar Alexius Comenenus mengaitkan kedua alasan ini dan mengajak
Paus Urbanus II bersama-sama merebut kembali Palestina dan Kota Suci dari tangan
bangsa Turki-Seljuk.
3. Paus Urbanus II menyambut baik permintaan Kaisar Alexius. Ia merasa terdorong
untuk memulihkan kembali Skisma Besar (1054) antara Konstantinopel dan Roma.
Dalam pidatonya yang berapi-api, Paus Urbanus II mengobarkan semangat umat
Kristen untuk bangkit merebut Tanah Suci dari orang-orang bukan Kristen (rapat
gerejawi di Clermont di Perancis Selatan pada 27 November 1095). Paus Urbanus II
menjanjikan pengampunan dosa, pembebasan dari segala hukuman gerejawi dan
pengurangan masa di api penyucian (Purgatori2), untuk mereka yang berpartisipasi
dalam Perang Salib. Hasil seruan Paus Urbanus II ini besar sekali, l.k. 150.000 orang
dari segala lapisan masyarakat pada musim semi tahun berikutnya berkumpul di
Konstantinopel. Mereka semua mengenakan tanda salib merah pada pakaian
mereka. Dari itu Perang-perang Salib selama hampir 200 tahun hanya dapat
dimengerti berhubungan dengan janji yang diberikan oleh Paus Urbanus II. Dengan
cepat berkembangnya komersialisasi Perang-perang Salib. Pengikutsertaan dalam
Perang Salib dapat diwakilkan dengan hasil yang sama. Demikian juga pembebasan
dari hukum-hukum gerejawi dapat diterima dengan menyumbangkan sejumlah uang
untuk kebutuhan Perang Salib. Indulgensia berkembang. Penjualan ini menjadi
unsur penting dalam anggaran keuangan kepausan.

2
dukungannya dari 2 Makabeus 12:39-45; Mat. 12:31; 1 Kor. 3:11-15
52

Perang Salib I (1096-1099).


Tentang Perang Salib berkumpul di Konstantinopel, kemudian berangkat melalui
Asia Kecil menuju Palestina. Berturut-turut ditaklukkan Nicea (ibukota kerajaan Turki-
Seljuk di Asia Kecil) pada tahun 1097, Edessa (1097), Antiokhia (1098) dan kota
Yerusalem pada tanggal 15 Juli 1099. Ribuan orang Islam dan Yahudi dibunuh. Sinagoge
Agung dibakar. Kebengisan dan kefanatikan tentarat-tentara Salib menggoncangkan
dunia Islam.
Tentara Salib mendirikan sebuah Kerajaan Latin atau Kerajaan Yerusalem (1099-
1187). Gottfried (Godfrey) dari Bouillon (Perancis) diangkat sebagai raja pertama dan
diberi gelar Pelindung Makam Suci. Di samping Kerajaan Yerusalem, beberapa kerajaan
kecil lainnya didirikan: di Tripolis, Antiokhia dan di Edessa (Laut Hitam). Namun
kerajaan-kerajaan itu tidak berlangsung lama (hanya kira-kira setengah abad). Kerajaan
di Yerusalem dalam hubungan erat dengan Genua dan Venice di Italia Utara dan
bersama-sama mengontrol perdagangan di Laut Tengah (motivasi perniagaan dalam
Perang-perang Salib).

Perang Salib II (1147-1149)


Perang Salib ini dipromosikan oleh Bernhard dari Clairvaux (1190-1153) dan
dipimpin oleh Kaisar Konrad III dan Raja Ludwig VII dari Perancis. Namun tiada hasil.
Sebaliknya reaksi-reaksi melawan dan mengutuk perang salib muncul di Eropa;
sebagian besar tentara salib dibunuh dan meninggal. Edessa yang dimenangkan kembali
oleh pihak Turki pada tahun 1144, tidak dapat direbut kembali, tentara salib menyerang
Damsyik yang memelihara hubungan baik dengan Kerajaan Yerusalem. Kegagalan
militer dan moralis menggoncangkan orang-orang Kristen. bernhard dari Clairvaux
disebut sebagai Nabi Palsu atau Anak Belial.

Perang Salib III (1189-1192)


Kedudukan kerajaan-kerajaan Kristen di Timur Tengah bertambah sulit setelah
Sultan Salahadin bertahta di Mesir dan bertekad untuk mengembalikan kedaulatan
Islam atas daerah-daerah yang hilang pada Perang Salib I. Pada tahun 1187 Tiberias dan
Yerusalem dimenangkan kembali oleh Lion Heart (Berhati Singa) dan Raja Perancis
bergabung, namun hasilnya tidak banyak. Kaisar Frederik tenggelam di sungai Saleph di
Turki; kota Akon dimenangkan; Sultan Salahudin menyetujui bahwa semua orang
Kristen boleh masuk ke Yerusalem tanpa gangguan; tentara Salib tidak berhasil merebut
Yerusalem kembali; tetapi merebut Pulau Siprus dari tangan Kekaisaran Konstantinopel
– Kristen berperang dengan Kristen.

Perang Salib IV (1202-1204)


Perang Salib IV dilakukan atas anjuran Paus Innocentius III. Namun perang salib
ini hanya menghasilkan penghancuran Konstantinopel oleh tentara-tentara Salib.
Dengan kekerasan dan kebengisan mereka membunuh ribuan penduduk,
menghancurkan sebagian kota, mencemarkan gereja-gereja ortodoks, memperkosa,
semuanya luar biasa memalukan (indescribable savagery). Seorang Kaisar Latin
diangkat. Seorang Patriarkh Latin menggantikan Patriarkh Gereja Ortodoks Yunani,
suatu penipuan diri yang hanya berlangsung selama Kaisar Latin itu memerintah Nicea
(1203-1261). Kejahatan dan kebiadaban tahun 1204 ini menghasilkan suatu semboyan
di antara anggota Gereja Ortodoks Yunani: “Lebih baik di bawah pemerintahan Turki
dari pada Latin.”
Dengan kehancuran Konstantinopel pada tahun 1204 dan kemudian kehancuran
khalifat di Baghdad pada tahun 1258 oleh bangsa Mongolia (Khan Hulagu, cucu Djenghis
Khan; yang beragama Islam), Timur Tengah kehilangan pusat-pusat kebudayaan,
53

pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sesudah itu Timur Tengah tidak pernah lagi
mencapai puncak gemilang itu.

Perang Salib Anak-anak (1212)


Ribuan anak berkumpul di Marseilles (Perancis Selatan). Tidak ada yang mencapai
tanah suci. Ribuan yang meninggal. Ribuan yang dijual sebagai budak di Afrika Utara.

Perang Salib V (1218-1221)


Perang Salib V dipelopori oleh Paus Innocentius III di Konsili Lateran IV, konsili
yang sama yang juga memutuskan tentang inkuisisi dan SK-SK anti Yahudi. Tidak ada
hasil. Tentara Salib memasuki Mesir, namun dikalahkan oleh Sultan al-Malik al-Kamil
(1218-1238). Perang salib ini menyebabkan fanatisme anti Kristen di Mesir. Akibatnya,
gereja-gereja ortodoks Koptik dihancurkan, dihambat dan dipungut pajak yang lebih
tinggi. Franciscus dari Assisi (1128-1226) mengikuti Perang Salib V dan ia berhasil
bertemu dengan Sultan al-Malik.

Perang Salib VI (1128-1129)


Beberapa buku sejarah menghitung perang salib ini bersama dengan perang salib
V. Perang salib ini dipimpin oleh Kaisar Frederik II (cucu Kaisar Frederik Barbosa).
Dengan diplomasi yang baik, ia berhasil meminta Sultan al-Malik dari Mesir untuk
menyerahkan Yerusalem, Betlehem dan Nazareth. Karena ia menikah dengan ahli waris
tahta kerajaan Latin di Yerusalem, maka raja Frederik II memahkotai diri sendiri di
Yerusalem sebagai raja Yerusalem (1229). Namun hasil ini tidak bertahan lama. Pada
tahun 1241, tentara Turki memenangkan kembali Yerusalem; dan ini untuk seterusnya
sampai Perang Dunia I (1914-1918), tidak ada tentara Kristen yang memasuki
Yerusalem.

Perang Salib VII (1248-1254)


Perang Salib VII (dalam hitungan yang lain ke-6), dipimpin oleh Raja Perancis
Louis IX. Tidak ada hasil. Di Mesir kebanyakan tentara salib dibunuh atau meninggal.
Raja Louis IX sendiri ditahan.

Perang Salib VIII (1270)


Dalam hitungan yang lain Perang Salib VII, dipromosikan oleh Raja Louis IX dari
Perancis dan terarah kepada Tunisia. Namun tidak ada hasil. Raja Louis meninggal di
Tunis. Pada tahun 1226 tentara-tentara Turki Mameluk, yang pada tahun 1250 telah
merebut tahta sultan di Mesir (1250-1517), memenangkan kembali Palestina. Akhirnya
juga Akko, markas besar tentara-tentara Salib di Timur Tengah ditaklukkan pada tahun
1291. Berakhirlah perang-perang salib yang berlangsung selama hampir 200 tahun.

Akibat-akibat Perang Salib

Runciman (seorang ahli sejarah gerja) merumuskan penilaiannya terhadap


Perang-perang Salib, sebagai berikut: “Di pihak Kristen banyaklah keberanian, kurang
kehormatan; banyak pengabdian, kurang pengertian. Cita-cita yang mulia tercemar oleh
kekejaman dan kelobaan; semangat berusaha dan ketabahan dinodai oleh kecongkakan
yang buta dan picik.”
1. Kegagalan militer total. Penderitaan besar di dua belah pihak.
2. Kegoncangan rohani dalam kalangan Kristen. Islam dan Muhammad dianggap unggul
dan menang. Skeptisisme mulai berkembang. Ada orang-orang Kristen yang pindah
agam dan menjadi muslim. Perang-perang salib menghasilkan keacuhan rohani,
54

sikap anti gereja, penolakan terhadap kepausan dan mempercepat berkembangnya


sekularisme. Banyak orang di Eropa Barat mulai membenci dan menghina Gereja
Katolik Roma dan kepausan yang mempromosikan perang-perang salib itu.
3. Dengan berkembangnya kritik dan penolakan terhadap perang-perang salib,
kerinduan untuk menginjili orang-orang muslim berkembang juga. Semangat misi
gereja Katolik Roma untuk menginjili kaum muslim mulai bertumbuh di sana-sini,
namun belum merata dan dampaknya belum mendarat dan belum menghasilkan
sesuatu yang bertahan. Khususnya Ordo Fransiskan yang didirikan tahun 1223
berbeban untuk misi, baik penginjilan di Eropa maupun juga untuk misi sedunia.
Pendirinya, Franciscus dari Asisi (1182-1226) dapat mengunjungi Suriah, Mesir
(1219 bertemu dengan sultan al-Malik) dan Maroko.
4. Suatu sikap serius semakin nyata dalam bidang teologi, yaitu perkembangan sikap
mental yang menangani dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan pendapat dan
keyakinan dengan kekerasan senjata.
5. Kebangkitan besar terjadi di segala bidang dengan berdirinya banyak universitas
dalam bidang ilmu pengetahuan dan pembaharuan di bidang budaya (culture) yang
dipelopori oleh Renaissance. Selain itu, hubungan dagang antara Asia-Eropa sangat
berkembang, khususnya antara kota-kota di Italia Utara (Genoa dan Venisia) dan
Mesir.
6. Perang-perang Salib mengakibatkan suatu corak relasi yang baru antara umat Islam
dan Kristen, yang ciri khasnya sering adalah fanatisme.
a. Pada tahun 1453, tentara-tentara Turki menaklukkan Konstantinopel.
Berakhirlah sejarah Kekaisaran Romawi Timur. Tahun 1526 bangsa Hungaria
dikalahkan dan bangsa Turki memulai serangan-serangan yang hebat yang
terarah ke pusat Eropa. Tahun 1529 mereka mendekati kota Wina, seluruh
Eropa sangat ketakutan. Pada tahun 1638 tentara-tentara Turki sekali lagi
mengepung kota Wina. Dua abad lamanya (pertengahan abad XV sampai
pertengahan abad XVII) Eropa merasa diri terancam oleh serangan-serangan
tentara-tentara Turki yang beragama Islam. Selain itu, Gereja Hagai Sophia di
Konstantinopel, yaitu gereja induk Kekristenan Timur dijadikan mesjid
(sekarang museum). Serangan-serangan Turki itu menimbulkan kembali
suasana Perang salib.
b. Perjumpaan Gereja dengan dunia Islam berikutnya dimulai dengan serangan
Jendral Napoleon (sejak 1804 menjadi Kaisar Napoleon I dari Perancis)
terhadap Mesir pada tahun 1798. Zaman penjajahan berkembang dengan cepat.
Hampir semua daerah Islam dikuasai oleh bangsa-bangsa Kristen. Zaman
kolonial ini dialami sebagai suatu penghinaan dan frustasi yang besar yang
membangkitkan kesadaran nasional dan menimbulkan reaksi-reaksi anti Barat
dan anti Kristen. kekristenan dan imperialisme dianggap identik.

PERKEMBANGAN GEREJA DI EROPA PADA ABAD PERTENGAHAN

Sikap Gereja Barat Menghadapi Dunia

Hubungan antara Gereja dan Negara


Selama Abad Pertengahan, dalam hubungan Gereja Barat dengan dunia sekitarnya,
dapat dilihat dalam dua sikap yang tampaknya bertentangan. Pada satu pihak, gereja
ingin menguasai dunia, atau lebih tepatnya, menjadi lembaga pembimbing dan pengatur
dunia (hidup kenegaraan dan kemasyarakatan). Pada pihak lain, banyak orang Kristen
yang menarik diri dari dunia. Tetapi hanya satu pemikiran teologis yang menghasilkan
kedua sikap itu.
55

Cita-cita Gereja Barat Abad Pertengahan adalah untuk menjadi lembaga yang
membimbing dan mengatur dunia, menyebabkan pergumulan yang hebat antara gereja
dan dunia, yakni dengan negara dan masyarakat. Mula-mula gereja dikuasai oleh negara
(± 500-1000). Tetapi gereja melepaskan diri dari ikatan itu (± 1000-1150).
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, timbullah beberapa negara baru,
antara lain Kekaisaran Jerman dan Kerajaan-kerajaan Perancis dan Inggris. Raja-raja
baru ini menganggap dirinya sebagai kepala gereja di wilayahnya. Gereja setempat
sering dikuasai oleh bangsawan di daerah bersangkutan. Raja-rajalah yang mengangkat
uskup-uskup, merekalah yang memanggil sinode berkumpul. Bahkan, selama beberapa
waktu paus-paus pun diangkat oleh kaisar-kaisar Jerman. Kalau kaisar atau raja seorang
Kristen yang saleh, mereka bisa saja mengangkat uskup dan paus yang pandai dan
mengabdikan diri pada kepentingan gereja. Tetapi bisa juga dalam mengangkat tokoh
gerejawi mereka hanya memperhatikan kepentingan politis dan militer. Sehingga yang
diangkat bukan gembala jemaat melainkan pelaksana politik kaisar di daerahnya. Gereja
dikuasai oleh negara, tepatnya seolah-olah menjadi salah satu lembaga negara.
Akan tetapi Gereja Barat belum lupa akan Ambrosius dan Augustinus. Maka,
sesudah tahun 1000 paus-paus mulai melawan kekuasaan kaisar dan raja-raja atas
gereja. Mereka menentukan bahwa paus selanjutnya akah dipilih oleh majelis kardinal,
dan bahwa uskup-uskup akan dipilih oleh rohaniwan dan umat setempat (± 1050).
Begitulah pada asasnya penguasa-penguasa duniawi kehilangan pengaruhnya dalam
gereja. Hal itu tidak diterima baik oleh mereka, sehingga terjadi pergumulan yang hebat
selama satu abad. Akhirnya menanglah paus: gereja tidak dikuasai lagi oleh negara.
Pergumulan itu memuncak pada masa Paus Gregorius VII (1073-1085) dan
Kaisar Heinrich IV (1056-1106). Gregorius melarang orang-orang awam, termasuk
kaisar, mengangkat seorang rohaniwan. Lalu kaisar memecat Paus Gregorius, tetapi
paus mengucilkan Heinrich dari gereja dan mengajak rakyat untuk memberontak.
Pergumulan itu berlangsung selama setengah abad. Akhirnya kaisar kehilangan hak
untuk mengangkat uskup-uskup di wilayah kekuasaannya (1122). Artinya, dalam hal ini
gereja berhasil mengatasi pengaruh lingkungan German. Untuk sementara uskup-uskup
dipilih oleh kaum rohaniwan dan bangsawan di daerah yang bersangkutan. Sejak abad
ke-13, yang berhak memilih uskup biasanya para imam yang melayani gereja karedral
(gereja tempat uskup berkedudukan). Dewasa ini pilihan itu membutuhkan peneguhan
oleh Paus.
Dulu, seorang kardinal adalah seorang rohaniwan yang selain dengan gerejanya
sendiri, ia terikat dengan salah satu gereja yang lain. secara khusus istilah ini dipakai
berhubung dengan sejumlah rohaniwan yang selain dalam gerejanya sendiri melayani
dalam kelima gereja utama kota Roma. Mulai 1059 mereka berkembang menjadi
pembantu dan penasihat utama paus. Mula-mula majelis kardinal itu beranggotakan 40-
50 orang. Di kemudian hari jumlah itu diperluas, dan pada zaman sekarang sudah
mencapai ± 150 orang. Setiap kali seorang paus meninggal dunia, mereka berkumpul di
Roma, dikurung dalam suatu gedung dan tidak boleh keluar sebelum memilih seorang
paus baru. Beberapa orang kardinal bertindak juga sebagai “menteri” sri paus.
Setelah berhasil lepas dari kekuasaan negara, gereja beerusaha sendiri menjadi
pembimbing dan pengatur negara (± 1200-1300). Di bawah Paus Innocentius III (1198-
1216), negara dan masyarakat berada pengaturan gereja. Menurut Innocentius, “paus
kurang besar daripada Allah, tetapi lebih besar daripada manusia.” Semua raja di Eropa
terpaksa taat pada titah Innocentius.
Innocentius mempertahankan teori, yakni bahwa pemerintahan negara berada di
bawah gereja dan hanya dapat berkenan kepada Allah kalau melayani gereja. Dan
karena paus adalah kepala gereja, maka raja-raja harus mengikuti petunjuk paus.
Pauslah yang mengepalai umat Kristen, raja hanyalah wali yang diangkatnya untuk
56

mengurus soal-soal duniawi. Hubungan gereja dan negara dibandingkan dengan


hubungan matatahari-bulan
Innocentius mempraktekkan ajarannya juga. Raja Perancis dilarang menyerang
Inggris. Di negara-negara lain, di mana tahta diperebutkan, Innocentius ikut campur
tangan. Dalam semua pertikaian ini, ia tidak memandang bulu dan hanya
memperhatikan kepentingan gereja dan agama Kristen. Tetapi di antara penggantinya
ada yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan satu partai saja, atau demi
kepentingannya sendiri selaku penguasa gereja-negara. Mereka, sama seperti banyak
pembesar gereja, hidup dalam kemewahan dan memeras anggota-anggota gereja. Raja-
raja dan masyarakat umum merasa tindak-tanduk yang demikian membenarkan
perlawanan mereka. Akhirnya, Paus Bonifatius VIII (± 1300), ketika mau mengutuk raja
Perancis, ditangkap dan dipenjarakan oleh raja itu.
Pada tahun 1305 para kardinal di Roma memilih seorang Perancis menjadi Paus
(Clements V). Paus Perancis ini memindahkan tempat kediaman Paus dari Roma ke
Avignon di Perancis Selatan. Tujuh paus berdomisili di Avignon dari 1309-1377. Waktu
itu disebut Pembuangan Ke Babel. Pada tahun 1377 tahta kepausan dikembalikan ke
Roma. Namun pada waktu paus meninggal (1378) dua paus dipilih, satu di Roma dan
satu lagi di Avignon. Dan mereka berdua saling mengucilkan. Situasi itu
membingungkan. Sebagian negara mengakui paus di Roma (Irlandia, Inggris, Italia
Utara, Hungaria, Polandia, Skandinavia, dan sebagian di Jerman), sebagian negara
mengakui paus di Avignon (Perancis, Spanyol, Italia Selatan dan Skotlandia). Keadaan
yang memalukan ini berlangsung selama 42 tahun.
Kemudian Konsili di Pisa (1409) memecat kedua paus itu dan mengangkat seorang
paus yang baru. Tetapi baik paus di Roma maupun paus di Avignon tidak bersedia
mengundurkan diri dan menaati Konsili di Pisa. Dengan demikian, Gereja Katolik Roma
mempunyai tiga paus sekaligus antara 1409 dan 1415. Mereka bertengkar dan saling
mengucilkan. Baru Konsili di Konstanz (1414-1418) berhasil memecat ketiga paus dan
mengangkat paus yang keempat (Martin V). Perkembangan kepausan itu menghilangkan
rasa hormat orang-orang sejamannya.
Salah satu akibat perkembangan tadi adalah bahwa ide konsiliarisme semakin kuat
berpengaruhm ide yang menekankan bahwa wewenang konsili lebih besar daripada
wewenang paus. Oleh karena itu, Konsili di Konstanz (1414-1418) menyatakan diri
sebagai Konsili Umum (Oikumenis) yang mempunyai otoritasnya langsung dari Kristus,
sehingga semua manusia dari semua lapisan dan tingkatan hidup, termasuk paus sendiri
harus menaati dalam hal-hal yang menyangkut iman, penyelesaian skisma ini dan
pembaharuan Gereja Allah.

Hubungan Internal Gereja


1. Persaingan Barat dan Timur
Bertahun-tahun lamanya gereja-gereja di Timur dan di Barat tumbuh terpisah satu
sama lain. Apa yang pada satu masa merupakan gereja tunggal (Katolik, Am, Satu),
perlahan-lahan terpisah menjadi dua gereja dengan identitasnya masing-masing.
Banyak perbedaan pendapat yang dicari-cari untuk mengipas-ngpasi pertikaian
tersebut. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani, Barat menggunakan bahasa Latin.
Ini berkat Vulgata dan para teolog yang menulis dalam bahasa Latin. Bentuk kebaktian
berbeda: roti yang dipakai untuk perjamuan, tanggal mulai masa puasa dan cara
merayakan misa. Di Timur, para rohaniwan boleh menikah dan mereka memelihara
janggut. Para imam di Barat dilarang menikah dan mukanya dicukur bersih. Teologinya
pun berbeda. Timur merasa kurang enak dengan ajaran purgatori (tempat penyucian
jiwa-jiwa sebelum masuk surga). Barat menggunakan istilah filoque (dan dari Putra),
dalam Pengakuan Iman Nicea, setelah anak kalimat tentang Roh Kudus yang berbunyi
57

bahwa Roh “datangnya dari Bapa”. Bagi Timur, penambahan tersebut merupakan ajaran
sesat.
Perbedaan pendapat yang berlangsung selama berabad-abad lamanya meledak
karena dua orang kuat yang bertikai. Pada tahun 1043, Michael Cerularius menjadi
Patriarkh Konstantinopel. Pada tahun 1049, Leo IX menjadi Paus. Leo menginginkan
Michael – dan melalui dia, gereja Timur – tunduk pada Roma. Paus mengirim utusan ke
Konstantinopel, tetapi Michael menolak bertemu mereka. Para utusan tersebut
mengucilkan Michael atas nama Paus. Sang Patriarkh pun membalas dengan
mengucilkan utusan tersebut. Dengan yang satu menuduh yang lain sebagai bukan
Kristen sejati, kedua uskup tersebut menciptakan skisma (perpecahan gereja). Namun
bukan mereka sendiri penyebab perpecahan itu. kedua orang yang bertikai itu
mempunyai sejarah perbedaan pendapat. Skisma itulah aksi terakhir untuk
membuktikannya. Akhirnya terjadilah perpisahan secara permanen antara Gereja Barat
dan Gereja Timur pada tahun 1054, yang dikenal dengan “Skisma Besar”.
Walaupun ada upaya-upaya untuk memperbaiki perpecahan itu oleh Paus Urbanus
II pada tahun 1089 dengan mengapuskan pengucilan terhadap patriarkh tersebut, tetapi
upaya itu kemudian gagal. Perang salib yang diharapkan dapat mempersatukan dua
gereja yang telah terpisah, sebaliknya justru menghancurkan Kekaisaran Romawi Timur
dan Gereja Ortodoks Timur.
Pada abad-abad berikutnya, usaha mempersatukan gereja-gereja tersebut muncul,
tetapi tidak satu pun yang berhasil. “Reuni” jangka pendek pada tahun 1204 hanya
meningkatkan permusuhan di antara mereka. Pada tahun 1453, ketika orang-orang
Turki Muslim menguasai Konstantinopel, beberapa orang Kristen Timur berseru bahwa
mereka lebih menyenangi orang-orang muslim ketimbang orang Katolik.

2. Bidat-bidat dalam Gereja


Sementara Paus berusaha menguasai dunia, ada pula orang-orang Kristen yang
menarik diri dari tengah-tengah dunia, dengan menanggalkan segala kekuasaan dan
kekayaan duniawi. Kadang-kadang orang-orang ini merupakan kelompok-kelompok
yang melawan gereja, misalnya kelompok orang-orang Waldens.
Gerakan Waldens dipelopori oleh Petrus Waldes (± 1175), seorang Perancis,
seorang saudagar yang kaya. Ia suka menikmati kehidupan. Tetapi pada suatu hari,
sementara ia bercakap-cakap dengan seorang teman, teman ini mati seketika. Waldes
amat kaget. Apa gunanya menumpuk kekayaan, kalau sewaktu-waktu maut bisa
mencabut nyawa orang? Beberapa waktu kemudian ia mendengar seorang penyanyi
keliling membawa cerita tentang seorang muda yang memberikan seluruh hartanya
kepada orang miskin, lalu pergi mengemis ke rumah orangtuanya tanpa dikenali oleh
mereka. Itulah pentunjuk bagi Waldes. Ia pun membagi-bagi kekayaan kepada orang-
orang miskin, kecuali sebagian dipakainya untuk membiayai penerjemahan Injil ke
dalam bahasa daerahnya. Lalu ia mulai berkhotbah di mana-mana: “hai saudara-
saudara, ikutlah teladan Kristus!”
Uskup-uskup tidak suka dengan pekabaran Injil yang dilakukan oleh seorang
awam, dan akhirnya Waldes dikucilkan. Lahirlah bidat orang-orang Waldens. Mereka
mau mengikuti secara harafiah undang-undang yang mereka temukan dalam PB,
terutama dalam Khotbah di Bukit, sebagai hukum Kristus. Segala sesuatu yang tidak
terdapat di sana mereka tolak: kehidupan mewah, sumpah, dinas militer, tetapi juga
lima dari tujuh sakramen, penyembahan orang-orang suci dan beberapa takhyul yang
memasuki gereja pada zamannya. Di samping bidat Waldens, ada beberapa bidat lain,
yang ajarannya bersifat gnostis, yang pada zaman itu memasuki Eropa Barat dari Timur.
Akan tetapi ada juga orang yang walaupun mempunyai cita-cita yang sama seperti
Waldes, namun tidak keluar dari gereja. Mereka mulai bekerja di tengah-tengah
58

penduduk kota-kota besar, yang terasing dari gereja. Dalam Abad Pertengahan dan
terutama sesudahnya, ordo-ordo itu juga giat melakukan pekabaran Injil.
Gerakan protes yang menyatakan diri di dala bidat-bidat itu dapat meluas, karena
adanya urbanisasi (pengkotaan) yang kuat pada zaman itu (abad ke-12). Kota-kota
bertambah besar dengan cepat (meskipun menurut ukuran sekarang masih kecil), dan
pendeta-pendeta kota tidak cukup jumlahnya untuk melayani para pendatang. Begitulah
dengan mudah mereka ini menjadi terasing dari gereja.
Maka, timbullah dua ordo kebiaraan yang baru. Ordo-ordo yang sebelumnya
menyukai hidup terpencil, jauh dari orang banyak. Tetapi pendiri-pendiri kedua ordo
ini, Franciscus dari Assisi dan Dominikus, justru mencari orang banyak untuk
memelihara jiwanya dan membawa mereka kembali ke gereja. Walaupun mereka
mempunyai cita-cita yang sama seperti Waldes, namun mereka tidak keluar dari gereja
(walaupun mereka kadang-kadang dicurigai oleh pimpinan gereja).

3. Kemerosotan Moral Para Rohaniwan


Banyak di antara pemimpin-pemimpin Gereja Katolik Roma turut tenggelam dalam
kemerosotan moral zaman mereka (abad XIV dan XV). Pengarang-pengarang zaman itu
sering melukis tokoh-tokoh gerejawi dengan dosa cabul dan zinah (misalnya Boccaccio
di Italia, Chaucer di Inggris dan Villon di Perancis, semua antara tahun 1350-1450).
Selain soal percabulan juga kemewahan pola hidup, penyalahgunaan kuasa, dan
kelobaan sering dilukiskan sebagai ciri khas paus-paus Renaissance (misalnya
Alexander VI). Mulai dengan abad XII muncul karya tulis dan lelucon kasar yang
mengejek pemimpin-pemimpin gereja, misalnya Gospel According to the Mark of Silver
(Injil Menurut Nilai Perak/Duit). Kelobaan dan kerakusan klerus tinggi dihina karena
mereka semakin membebankan masyarakat Eropa dengan pembayaran yang mahal.
Kemerosotan moral dan kerohanian tidak hanya menyangkut kepausan. Hampir
semua keuskupan dan jabatan klerus tinggi lainnya dalam tangan lapisan masyarakat
yang paling atas. Kebanyakan mereka tidak mempunyai pendidikan teologi apa pun
juga. Pada umumnya jabatan-jabatan itu diberikan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan politik, keuangan (simoni) atau kekeluargaan (nepotisme).
Permasalahan klerus rendah agak kompleks. Seleksi dan pendidikan teologis
mereka pada umumnya kurang diperhatikan. Jumlah mereka seringkali terlalu besar,
sehingga kemiskinan, korupsi dan kelobaan sering berjalan bersama. Semuanya itu
memperkuat kerinduan banyak anggota Gereja Katolik Roma akan suatu pembaharuan
total dan menyeluruh, suatu pembaharuan kepala dan anggota-anggota gereja.

Teologi dan Kepercayaan Abad Pertengahan

Dapat dikatakan bahwa teologi dan kepercayaan Abad Pertengahan merupakan


hasil kompromi, yaitu kompromi antara ajaran Alkitab dengan filsafat Yunani dan
kompromi antara kesalehan yang bersifat Alkitabiah dengan agama kafir (Yunani-
Romawi, German) yang tersebar di Eropa sebelum datangnya agama Kristen.
Sesudah tahun 1000, penduduk Eropa Barat mulai memperhatikan kembali
karangan-karangan filsafat Yunani. Karangan-karangan itu, terutama Plato dan
Aristoteles, mengandung pikiran-pikiran yang berlainan dengan ajaran gereja. Maka itu,
yang menjadi cita-cita teologi Abad Pertengahan ialah menyelaraskan ajaran gereja
dengan filsafat Yunani. Aliran teologi ini disebut Teologi Scholastik.
Sesudah zaman Augustinus, pembicaraan seputar ilmu teologi di Gereja Eropa
mulai menurun, bersamaan dengan taraf kebudayaan pada umumnya. Buku-buku
teologi hampir tidak lain daripada kumpulan kutipan dari karangan bapa-bapa gereja
lama. Baru pada abad ke-12 ahli-ahli teologi sanggup dan berani lagi memberi
59

perumusan-perumusan teologi yang baru. Pada zaman itu memang sangat diperlukan
teologi baru, karena karangan-karangan filsafat Barat, dengan perantaraan orang-orang
Arab. Hal itu bagi gereja merupakan ancaman yang lebih hebat daripada ancaman bidat-
bidat. Filsafat Aristoteles itu merupakan sistem pemikiran yang berlainan dengan ajaran
gereja, bahkan yang dalam banyak hal melawan ajaran gereja. Namun kaum
cendikiawan pada zaman itu memandangnya sebagai teladan. Iman Kristen terancam
rusak oleh pengaruh Aristoteles. Gereja harus menjawab tantangan itu dan jawaban
yang diberikan ialah menyelaraskan filsafat Aristoteles dengan ajaran Alkitab menjadi
satu sistem pemikiran.
Upaya penyelarasan itu dilakukan oleh guru-guru yang namanya menjadi terkenal.
Dari seluruh Eropa orang-orang muda berbondong-bondong datang ke tempat mereka
mengajar. Jumlah mahasiswa begitu besar, sehingga mereka tidak bisa lagi ditampung
dalam biara-biara yang selama ini merupakan pusat-pusat pendidikan. Karena itu, para
guru dan mahasiswa bergabung menjadi badan yang berdiri sendiri. Badan ini disebut
“Universitas” (keseluruhan, yaitu keseluruhan para sarjana). Dalam satu universitas
terdapat beberapa jurusan, yang disebut “fakultas”. Ada fakultas persiapan (yang kini
dalam bahasa Inggris disebut faculty of arts), yang dapat dibandingkan dengan SMU kita:
dari situ orang naik ke fakultas teologi, hukum gereja dan kesehatan.
Gerakan Teologi Scholastik ini tidak berniat untuk menciptakan pokok-pokok
kepercayaan yang baru, karena tidak ada lawan-lawan kafir atau sekte-sekte Kristen
yang perlu dibantahinya. Pokok teologi baru ini telah ditetapkan oleh tradisi gereja. Jadi
maksud teologi Scholastik adalah untuk memikirkan kembali isi teologi yang
diwarisinya dari para bapa gereja lama. Ahli-ahli Scholastik berkeyakinan bahwa segala
ajaran gereja bukan saja harus dipercaya, tetapi dapat dimengerti juga oleh manusia.
Karena itu mereka berusaha untuk membuktikan bahwa segala sesuatu yang telah
dinyatakan Allah dapat diterangkan dan dibenarkan terhadap akal budi manusia
(melawan filsafat Aristoteles). Dengan demikian, pokok utama yang dipikirkan dan
dibicarakan oleh Scholastik adalah bagaimanakah relasi antara penyataan (wahyu)
Tuhan dengan akal budi manusia? Untuk mengerti penyataan Tuhan dipakai teologi
Augustinus, dan untuk melatih dirinya dalam hal berpikir menurut ilmu filsafat
dipergunakan buku “Logica”, karangan Aristoteles.
Tokoh terkemuka dalam sejarah teologi Scholastik ialah Thomas dari Aquino
(1225-1274), seorang rahib anggota ordo Dominikan. Ia berhasil menampung asas-asas
filsafat dalam sistem teologi yang menyeluruh. Pola pemikirannya dapat dilihat dari cara
ia membahas hubungan antara rahmat Allah dan kemampuan manusia untuk berbuat
baik. Namun ada beberapa tokoh Scholastik lainnya yang juga cukup terkenal.
60

Garis-garis besar perkembangan teologi Scholastik:


1. Pondasi Teologis Abad-Abad Pertengahan Awal.
Pada umumnya Beotius (480-524), Cassiodor (490-583) dan Dionysius Areopagita
(500) dianggap sebagai teolog-teolog abad pertengahan. Karya teologis mereka sangat
penting.
a. Boetius, sebenarnya bukan seorang teolog (bahkan lama diragukan apakah ia
seorang Kristen), ia bangsawan dan politikus. Akhirnya, ia menjabat sebagai Kanselir
(perdana menteri) dalam pemerintahan raja suku Got Timur, Theoderich Agung
(Dietrich). Pentingnya Beotius dalam perkembangan teologi ialah penerjemahan
karangan-karangan Aristoteles dan Plato. Selain itu ia juga menulis beberapa buku
teologi, yakni “De Consolatione Philosophiae” (Tentang Penghiburan Filsafat),
menjadi salah satu buku abad-abad pertengahan yang paling banyak dibaca. Ia
berusaha menggabungkan rasio dan iman, filsafat dan teologi.
b. Cassiodor adalah seorang bangsawan dan politikus yang terpelajar, dan bahkan
kemudian menjadi seorang biarawan. Ia mendirikan biara yang dijadikan sebagai
pusat pendidikan agama dan sekuler. Ia menetapkan suatu tugas baru untuk para
biarawan yang memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem dan
perkembangan pendidikan di Eropa. Para biarawan ditugaskan untuk menyalin
buku-buku teologi dan buku-buku filsafat dengan tangan. Lama-kelamaan biara-
biaralah yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan di seluruh
Eropa. Ia juga menganjurkan suatu penggabungan filsafat dan teologi. Akibatnya,
karangan-karangan Aristoteles, Plato, Cicero dan Plotinus semakin dipelajari di
kalangan para biarawan.
c. Dionysius Areopagita adalah seorang pengarang yang hidup di Siria pada abad V
atau VI. Karangan-karangannya mempunyai dampak besar terhadap perkembangan
teologi abad-abad pertengahan. Hugost Victor (1096-1141), Albertus Magnus (1193-
1280), Thomas Aquinas (1224-1274) dan penganut-penganut Humanisme
dipengaruhi oleh Dionysius. Ia berusaha untuk menggabungkan filsafat dan teologi.
Ia menggabungkan (mensintesiskan) kebenaran Kristen dan filsafat Neo-Platonis.

2. Pra-Scholastik (800-1000)
Teolog-teolog terpenting dalam periode Pra-Scholastik ialah Alkuin (730-804) dari
Inggris, karya-karyanya: tafsiran-tafsiran Alkitab, karangan-karangan Sistematika, dan
revisi Alkitab Latin (Vulgata); Rabanus Maurus (780-856), Walafried Strabo (808-849)
dan Johannes Scotus Erigena (810-877). Karya teologis yang sangat berpengaruh ialah
sebuah komentari (tafsiran) tentang seluruh Alkitab yang dikarang oleh Walafried
Strabo, yaitu “Glossa Ordinaria”. Komentari ini cukup menentukan metode penafsiran
Alkitab sampai masa Reformasi; setiap ayat firman Tuhan dilengkapi dengan catatan-
catatan dan tafsiran-tafsiran bapa-bapa Gereja. Buku ini sampai abad XVII berulang-
ulang dicetak, dan menjadi buku eksegese standar. Dengan demikian, pola penafsiran ini
sangat mempengaruhi pola berpikir dan cara penafsiran para teolog abad-abad
pertengahan.

3. Permulaan Scholastik/Early Scholasticism (1000-1200)


Teolog-teolog terpenting dalam periode “Early Scholasticism” ialah Anselmus dari
Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142) dan Petrus Lombardus (1110-
1160). Mereka sangat menekankan supremasi rasio dan logika dalam cara berteologi.
Bahkan mereka mempersoalkan apakah teologi adalah hamba filsafat ataukah
sebaliknya filsafat hamba teologi? Peranan logika, sistematika dan dialektika semakin
kuat dalam cara berteologi.
a. Anselmus (1033-1109)
61

Ia adalah seorang Italia yang menjadi uskup Agung di Canterbury (Inggris), adalah
seorang ahli teologi yang kenamaan yang harus disebut pertama-tama.
Semboyannya, “aku percaya supaya aku mengerti”. Ia mulai dengan percaya kepada
segala penyataan Tuhan yang diajarkan oleh gereja, tetapi sesudah itu ia berusaha
untuk menjelaskan segala pokok kepercayaan itu, sehingga diakui sebagai kebenaran
oleh otak/rasio manusia. Bukunya yang terkenal adalah Mengapa Allah Menjadi
Manusia? (Cur Deus Homo?). Di dalamnya ia mencoba membuktikan bahwa perlunya
kedatangan Kristus ke dunia (inkarnasi Kristus) dan kematian Kristus harus diakui
oleh akal budi. Padangan ini berpengaruh besar dalam theologia gereja pada masa
kemudian.
b. Abelardus (1079-1142)
Petrus Abelardus adalah tokoh Scholastik yang kedua, yang berpendapat bahwa
persesuaian iman dan akal budi adalah lebih sukar untuk mewujudkannya.
Semboyannya adalah “lebih dulu aku harus mengerti, barulah aku percaya”. Dalam
bukunya, “Ya danTidak”, ia mempertentangkan dan memperbandingkan bermacam-
macam ajaran dari tradisi resmi gereja, yang berlawanan satu sama lain. Tujuannya
bukan untuk menimbulkan keraguan atau ketidakpercayaan, tetapi untuk
menyesuaikan dan mempertemukan pokok-pokok pemikiran para bapa gereja yang
berbeda, supaya akal budi dipuaskan dan iman mendapat dasar yang teguh. Akan
tetapi dengan metode ini, akal budi menjadi kaidah tertinggi untuk mengukur dan
menilai iman. Oleh sebab itu, Abelardus dilawan keras oleh Bernhard dari Clairvaux
yang kuatir kalau kewenangan gereja diragukan dengan metode Scholastik yang
sangat bersifat kritis itu. Akhirnya Abelardus terpaksa takluk kepada lawan-
lawannya. Jabatan Guru Besar di Paris diletakkannya dan ia masih biara.
c. Petrus Lombardus
Pada tahun 1150 masa pertama dari zaman Scholastik diakhiri dengan pekerjaan
murid Abelardus, Petrus Lombardus. Buku Dogmatika Lombardus menjadi dasar bagi
pengajaran ahli-ahli Scholastik besar pada waktu berikutnya.

4. Puncak Teologi Scholastik (1200-1350)


Sejak akhir abad XII pengaruh filsafat Yunani (Aristoteles dan Plato) semakin besar
dalam teologi Gereja Katolik Roma dan mencapai puncaknya dalam karya teologis
Thomas Aquinas pada abad XIII. Pada masa itu terdapat dua aliran teologi di dalam
Gereja Katolik Roma yang saling bertentangan.
a. Aliran teologi yang dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles. Golongan ini terutama
Universitas yang diselenggarakan oleh Ordo Dominikan. Teolog-teolog Dominikan
yang terkenal ialah Albertus Magnus (1193-1280) dan Thomas Aquinas (1224-
1274).
b. Aliran teologi yang dipengaruhi oleh teologi Augustinus. Golongan ini melawan
Thomisme (teologi Thomas Aquinas). Golongan yang secara khusus dipengaruhi oleh
teologi Augustinus ialah Universitas yang diselenggarakan oleh Ordo Franciskan.
Teolog-teolog Franciskan terpenting ialah Bona Aventura (1217-1274), Johannes
Duns Scotus (1265-1308) dan William dari Ockham (1290-1350). Khususnya Willam
dari Ockham merupakan pendiri pemikiran Nominalisme yang kemudian
mempengaruhi pergumulan dan perjuangan Martin Luther.

Teologi Scholastik adalah upaya manusia (para teolog) untuk meneguhkan


kebenaran Injil dengan membuktikan bahwa segala ajaran gereja cocok dengan akal
budi atau rasio manusia. Tetapi pada akhirnya para teolog Scholastik harus mengaku
bahwa penyataan Allah hanya dapat diterima oleh manusia jika ia takluk kepada Allah
sendiri. Injil tetap tidak lain daripada: “yang bodoh bagi dunia” (1 Kor. 1:27). Injil itu
62

untuk manusia, tetapi bukan secara manusia. Gereja Katolik Roma yang selalu berusaha
untuk memperdamaikan hal-hal yang bertentangan menganggap teologi Thomas
Aquinas sebagai puncak kesempurnaan; sebab itu perkembangan Scholastik kemudian,
teristimewa teologi Ockham, dipandangnya sebagai penyimpangan dari jalan yang
benar. Pada dasarnya Gereja Katolik Roma telah menyelewengkan kebenaran Alkitabiah
dengan mengkompromikan Injil dengan filsafat. Bahkan membatasi Injil atau kebenaran
Allah hanya untuk penyataan yang bersifat supranatural, sedangkan kebenaran yang
bersifat natural atau alamiah dapat dijelaskan dengan filsafat tanpa perlu campur
tangan dari penyataan Allah.

Kesalehan Abad Pertengahan

Kesalehan perseorangan adalah suatu perkara rohani. Yang dapat diketahui


hanyalah bentuk-bentuk yang lahiriah, seperti yang nampak dalam hidup sehari-hari
dari anggota-anggota jemaat. Pada abad pertengahan, jenis-jenis kesalehan baru telah
berkembang dengan pesat. Meskipun ahli-ahli Scholastik mengutamakan kepercayaan
yang rasional, tetapi di sisi yang lainnya makin timbul kerinduan orang untuk
memelihara dan memajukan kesalehan dalam kehidupan gereja.

Mistik
Pada masa itu timbullah suatu jenis kesalehan baru dalam gereja, yaitu mistik,
terutama di biara-biara. Mistik Kristen itu didasarkan atas Alkitab dan pengajaran
Augustinus (berdoa, berpuasa, mempelajari Alkitab). Pokok segala alairan mistik pada
semua agama dari segala zaman ialah keyakinan manusia bahwa dalam jiwanya masih
tersimpan sedikit sisa dari zat ilahi, yang memenuhi semesta alam. Hal ini didasarkan
pada ajaran Plato, bahwa Allah tidak berpribadi; Ia hanya Roh semesta; Yang Sempurna;
Yang Mahabaik; Yang Mahaterang; Yang Mahabenar. Jadi makin jauh dunia menceraikan
diri dari asalnya, makin berkurang sifat ilahinya, makin jahat dan gelaplah keadaan
dunia itu. Karena itu manusia wajib berusaha melepaskan segala rantainya, supaya sisa
ilahi yang ada di dalamnya itu dapat kembali kepada dan akhirnya bersatu dengan zat
asali itu. filsafat pantheistis dan dualistis ini menjadi godaan besar bagi gereja, baik pada
zaman dahulu (Augustinus, Origenes) maupun di kemudian hari. Terutama Gereja
Katolik Roma yang hingga kini masih mencampuradukkan ajaran Injil dengan
pandangan-pandangan dan cita-cita mistik. Seperti mistik yang pantheistis itu
menghapuskan batas antara Allah dan manusia, demikian pula Gereja Katolik Roma
mulai meniadakan batas itu dengan ajaran tentang kuasa paus, wujud ilahi gereja, sifat
misa, pencurahan khasiat anugerah, dan sebagainya. Dengan demikian roh mistik
memasuki Gereja Katolik Roma dengan mudah.
Pada abad-abad XIV dan XV cita-cita mistik itu bangkit kembali. Iman dianggap
sebagai permulaan saja dari hidup suci orang Kristen. Yang lebih penting dari iman ialah
usaha manusia supaya dipenuhi dengan zat ilahi dari atas. Sesudah itu baru dapat
mengalami kebahagiaan rohani yang seindah-indahnya. Pusat-pusat mistik itu ialah
rumah-rumah pertapaan yang terdapat sepanjang sungai Rin, terutama biara-biara
wanita.

Eckhart dan Golongannya


Orang mistik yang termashyur ialah Eckhart (1260-1327). Menurut pendapatnya,
pada dasarnya batin/roh manusia terdapat api kecil yang berasal dari zat ilahi yang
menggerakkan segala sesuatu. Kebahagiaan jiwa yang terendah dirasakan, bilamana
manusia sudah sadar akan kesatuannya dengan Allah. Pada saat itu, Allah sendiri lahir
dalam jiwa. Untuk mencapai maksud mulia itu, pertama-tama manusia harus
63

melepaskan dunia. Sesudah itu wajiblah ia menempuh jalan penitensia (penebusan


dosa) dan penyucian; dengan demikian akunya makin dimatikan, sementara ia meniru
teladan Kristus. Dan akhirnya ia sampai kepada tujuan yang tinggi itu: disatupadukan
dengan kehendak dan wujud Allah.
Dalam suasana mistik ini, pribadi dan pekerjaan Kristus bukan lagi pusat
kesalehan. Yesus menjadi contoh saja bagi manusia, yang mengajak dan membimbing
dia pada perjalanan mistik. Begitu juga gereja dan sakramen sudah kurang penting,
karena manusia mau mengejar langsung persekutuan yang berbahagia itu. gereja
dengan segala aturannya hanya berguna sebagai alat pendidikan saja bagi orang yang
belum maju pada jalan kesalehan yang benar. Eckhart sendiri tetap setia kepada gereja,
tetapi pandangannya bercorak pantheistis.

Alat-alat Keselamatan
Gerakan-gerakan kesalehan di atas hanya berpengaruh pada sebagian kecil dari
anggota gereja. Kebanyakan jemaat hidup dan takluk kepada kuasa gereja. Pimpinan itu
diberikan gereja terutama dengan perantaraan sakramen. Sejak abad XIII Gereja Katolik
Roma mengakui tujuh sakramen, yaitu perjamuan, baptisan, konfirmasi, pengakuan
dosa, urapan penghabisan, nikah dan tahbisan imam. Dengan sakramen-sakramen ini
gereja membimbing manusia dari kecil sampai ke kuburnya. Menurut ajaran Gereja
Katolik Roma, rahmat dan keselamatan hanya boleh disambut manusia dengan
menerima sakramen. Sakramen-sakramen itu merupakan saluran-saluran yang ke
dalamnya dicurahkan zat rahmat dari atas, untuk memasuki, memenuhi, menyucikan
dan menyelamatkan manusia lahir dan batin. Imamlah yang berkuasa membuka dan
menutup aliran anugerah (kasih karunia) itu.

Obyek Iman
Dengan banyaknya alat-alat anugerah yang disediakan oleh gereja bagi umatnya,
pada kenyataannya justru menggeser fokus iman jemaat dari Allah dan Yesus Kristus
kepada sakramen dan alat-alat anugerah lainnya. Akibatnya, umat merasa bahwa Allah
dan Kristus terlalu tinggi dan jauh dari manusia. Bahkan, Kristus dilukiskan sebagai
seorang hakim yang penuh murka dan yang ditakuti. Keselamatan yang disediakan-Nya
datang kepada manusia melalui sakramen, tetapi dengan Kristus sendiri orang awam
tidak bisa dan tidak boleh bergaul.
Yang mereka kasihi dan merupakan tujuan ibadat mereka ialah orang-orang kudus.
Perbedaan resmi yang ditetapkan gereja antara menghormati orang-orang kudus
dengan berbakti kepada Tuhan saja, tidak diingat orang dalam prakteknya. Hampir tiap-
tiap perbuatan, kesakitan, bencana, golongan, kota, negeri mempunyai orang kudusnya
sendiri, yang melindungi dan menolongnya. Antonius untuk barang-barang yang hilang,
Gallus untuk angsa, Appolonia untuk sakit gigi, Petronella untuk sakit demam, Yusuf
untuk tukang-tukang kayu, dan seterusnya.
Dan di atas golongan para orang kudus itu berdiri Maria. Ia melebihi orang-orang
kudus yang lain. Hanya Allah Tritunggal itu saja yang lebih mulia dari Maria. Oleh karena
Yesus, Anak Maria, dipandang sebagai hakim saja, maka orang mengharapkan
pembagian rahmat dari bunda Tuhan itu. Kepadanyalah kaum saleh pada abad-abad
pertengahan menunjukkan segala kasihnya. Maria adalah pengantara yang khas, yang
membela dan mendoakan orang-orang berdosa di hadapan tahta Allah dan Kristus.
Sangatlah mengherankan, bahwa Maria yang digambarkan dalam Lukas 1 sebagai
seorang gadis yang sangat rendah hati, sekarang dipuja sebagai seorang dewi.
Berkenaan dengan kepercayaan jemaat terhadap kuasa orang-orang kudus, maka
beragam benda peninggalannya dipuja juga. Misalnya, tulang, rambut, pakaian, dan lain-
lain yang dimiliki orang kudus itu. Sisa-sisa dari relikwi-relikwi itu disangka orang
64

mengandung khasiat rahmat yang istimewa. Mempunyai relikwi pun sangat besar
harganya untuk menerima indulgensia (surat penghapusan siksa).
Pada umumnya orang percaya pula kepada segala mujizat yang diadakan oleh
Maria dan orang-orang kudus, atau yang dapat terjadi dengan perantaraan relikwi-
relikwi, hostia, anggur, misa, air baptisan/suci, dan sebagainya. Apabila orang
meragukan pengajaran ini, maka klerus akan menindas dan menghukum orang-orang
yang tidak percaya itu.
Selain kepercayaan terhadap alat-alat anugerah yang disediakan oleh gereja,
anggota gereja juga diancam dengan berbagai tipu muslihat tentang iblis yang
digambarkan dengan rupa-rupa yang seram dan menakutkan. Iblis digambarkan seperti
bertanduk, berekor, berkaki kambing, dll. Juga dipercayai bahwa iblis suka merasuki
perempuan-perempuan dan gadis-gadis. Akibatnya, sejak abad XV inkuisisi mencari dan
membakar perempuan-perempuan yang malang itu. dengan ijin dan berkat paus
penghambatan suangi itu dilaksanakan dengan dahsyat. Barulah kira-kira tahun 1700
tindakan yang mengerikan itu dihentikan. Tetapi beribu-ribu perempuan yang tidak
bersalah menjadi korban kepercayaan takhyul itu.

Penyataan Iman
Pada zaman itu, iman adalah pertama-tama menaati kuasa gereja dengan sungguh-
sungguh, meskipun ajaran gereja hampir tidak diketahui. Umat Kristen sangat ditakut-
takuti dengan khotbah mengenai hari kiamat dan siksaan di neraka. Walaupun dampak
positifnya adalah banyak orang yang kemudian mengakui dan menyesali dosa-dosanya
serta bertobat setelah mendengarkan cerita-cerita yang mengerikan tersebut. Bahkan
kesadaran yang demikian seringkali menggerakkan orang banyak juga, umpamanya
ketika gereja mengerahkan anggotanya untuk mengangkat perang salib. Juga kemudian,
teristimewa ketika Eropa ditimpa oleh “maut hitam”, yaitu wabah penyakit sampar yang
sangat dahsyat (1348-1351). Di mana-mana orang menyadari dosanya serta ingin
menebusnya dengan melakukan penitensia. Berduyun-duyun orang dari kota ke kota,
seraya menyesah diri dengan cemeti. Akan tetapi gereja resmi tidak menyetujui hal itu.
Iman dilaksanakan terutama dalam praktek amalan-amalan. Supaya berkenan
kepada Allah, manusia harus berusaha menyatakan amalannya di samping rahmat. Ada
berbagai bentuk amalan, misalnya: puasa, sedekah, doa, perkunjungan ke tempat-
tempat suci, sumbangan kepada gereja, membangun gedung gereja atau kapel, menyiksa
diri, masuk biara dan sebagainya. Memberi sedekah dianggap amalan yang besar
pahalanya; akibatnya, masyarakat abad-abad pertengahan diganggu oleh ribuan orang
minta-minta. Tentang ziarah, adakalanya hal itu dilakukan demikian hebat, sehingga
banyak orang yang berjalan jauh untuk mengunjungi tempat-tempat yang dianggap
keramat.

Penghapusan Siksa
Indulgensia merupakan bentuk lain dari wujud kesalehan Gereja Katolik Roma
pada abad pertengahan. Indulgensia timbul dari praktek pengakuan dosa. Sesudah
pengakuan dosa dan pengampunan dosa itu oleh absolusi yang diberi oleh imam, maka
haruslah dibuktikan kesungguhan penyesalan itu dengan menaklukkan diri kepada
rupa-rupa hukuman atau usaha penitensia. Akan tetapi mungkin pula sebagian dari
hukuman itu terhapus lagi, berdasarkan amalan-amalan istimewa yang telah
dilaksanakan oleh orang penitensia itu. penghapusan demikian dinamai indulgensia.
Selain itu gereja mulai mengajarkan bahwa indulgensia itu bukan saja
menghapuskan hukuman gereja yang harus ditanggung dalam hidup ini, tetapi juga
meniadakan siksa-siksa yang harus diderita dalam api penyucian. Karena itu orang
sangat ingin mendapat indulgensia yang dijanjikan oleh gereja, karena ketakutan yang
65

besar terhadap api penyucian. Praktek indulgensia Gereja Katolik Roma lebih meluas
lagi, ketika penghapusan itu bukan saja boleh didapat berdasarkan perbuatan baik
manusia, tetapi kemudian dijual pula, boleh dibeli dengan uang.
Lebih buruk lagi teologi Gereja Katolik Roma untuk membenarkan indulgelsia,
dikatakan: “Yesus telah memperoleh jasa tak terhingga besarnya, oleh pekerjaan dan
kematian-Nya. Orang-orang kudus juga sudah mengumpulkan jasa lebih dari
kebutuhannya sendiri untuk keselamatan yang kekal (bnd. Luk. 17:10). Jasa Kristus dan
orang-orang kudus itu merupakan harta amalan yang lebih, yang dimiliki gereja dan
yang dipegang dan diurus oleh paus. Berdasarkan saldo surgawi itu, paus dapat memberi
surat cek indulgensia kepada siapa saja yang perhitungan surgawinya masih
menunjukkan kekurangan.” Hal ini dinyatakan dan ditetapkan oleh gereja pada tahun
1343. Pertanyaannya, “Dimanakah peranan anugerah Allah di dalam dan melalui Tuhan
Yesus Kristus?”

Anda mungkin juga menyukai