Sejarah Euthanasia
Euthanasia telah diamalkan sejak zaman Yunani kuno lagi untuk manusia melepaskan diri
daripada penderitaan penyakit yang parah dan juga amalan tradisi korban dengan alas an
penawaran diri untuk dikorbankan untuk dewa mereka.
Namun begitu pemikir moden saperti Pythagoras berpendapat bahawa hidup manusia
mempunyai nilai keabdian dan Euthanasia merupakan tindakan yang tidak menghargai nilai
hidup manusia. Aristotle turut berpendapat hidup manusia bernilai luhur.
Pada masa kini hanya beberapa Negara yang membenarkan pelaksanaan Euthanasia iaitu
Holland, Belgium dan negeri Oregon serta negeri Washington di Amerika Syarikat. Negaranegara lain yang turut mengizinkan Euthanasia secara sah ialah Albania, Switzerland,
Luxembourg dan Australia Utara. Euthanasia tidak dapat dilaksanakan di seluruh dunia
kerana perbuatan tersebut boleh membangkitkan persoalan moral dan bertentangan dengan
ajaran agama serta undang-undang yang sedia ada di negara masing-masing.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani. Eu bererti baik,indah,bagus dan terhormat, manakala,
thanatos bererti kematian (good death). Maka, secara etimologi, euthanasia dapat di
definisikan sebagai mati dengtan baik atau Gracefully and with Dignity Dari sudut
perubatan, Euthanasia bererti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh
seseorang pesakit diringankan, iaitu dengan mempercepatkan kematian. Selain itu,
Euthanasia juga bermakna kematian dengan aman tanpa kesakitan. Euthanasia dibahagikan
kepada beberapa kategori iaitu voluntary Euthanasia, non-voluntary Euthanasia, Euthanasia
aktif dan Euthanasia pasif. Kamus Oxford Dictionary mendefinikannya sebagai kematian
yang lembut dan aman dilakukan dalam kes-kes penyakit kritikal dan tidak boleh
sembuh.Manakala, Kamus Kedoktoran Dorland, Euthnasia mendefinisikannya sebagai:
i)
ii)
Terminologi Euthanasia
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini pendekatan syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia
aktif maupun euthanasia pasif.
Euthanasia Aktif
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-Anaam : 151)
Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja) (QS An-Nisaa` : 92)
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi doktor melakukan euthanasia
aktif.sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad)
yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Doktor yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati kerana membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (QS
Al-Baqarah : 178)
Firman Allah SWT : Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (QS AlBaqarah : 178)
Diyat atau dendaan untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki,
1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau
12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki,
1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan iaitu kasihan melihat
penderitaan pesakit sehingga kemudian doktor memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,
Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu. (HR Bukhari
dan Muslim).
Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam amalan menghentikan
rawatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan doktor bahwa rawatan yang
dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pesakit.
Maka, doktor menghentikan rawatan kepada pesakit, misalnya dengan cara menghentikan
alat pernafasan. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berubat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mendapat rawatan
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebahagian ulama mewajibkan berubat,
seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berubat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
berubat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian! (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berubat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatupetunjuk pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berubat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,
Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat
kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!
Nabi SAW berkata,Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau,
aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu. Perempuan itu berkata,Baiklah
aku akan bersabar, lalu dia berkata lagi,
Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada
Allah agar auratku tidak tersingkap. Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berubat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berubat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berubat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah doktor berhak mencabutnya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa
si pesakit telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk rawatan perubatan yang hukumnya
sunnah, bukan wajib kerana kematian otak,
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, kerana termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. a dan tidak haram
bagi doktor..
Namun adalah menjadi tanggung jawab doktor, untuk mendapatkan izin dari pesakit,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
Euthanasia & Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia
Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia
Kali Ke-97 yang bersidang pada 15-17 Disember 2011 telah membincangkan mengenai
Hukum Eutanasia atau Mercy Killing. Muzakarah telah membuat keputusan seperti berikut:
Setelah mendengar taklimat dan penjelasan pakar serta meneliti keterangan, hujah-hujah dan
pandangan yang dikemukakan, Muzakarah berpandangan bahawa menghentikan hayat hidup
seseorang sebelum dia disahkan mati dengan menggunakan apa-apa cara dan bersandarkan
kepada apa-apa alasan adalah haram dan dilarang oleh Islam. Sehubungan itu, Muzakarah
memutuskan
bahawa
perbuatan
mempercepatkan
kematian
melalui
amalan eutanasia (samada Eutanasia Voluntary, Non-Voluntary atau Involuntary) atau mercy
killing adalah haram menurut Islam kerana ia menyamai perbuatan membunuh dan ianya juga
bertentangan dengan Etika Perubatan di Malaysia.
Keputusan ini adalah selaras dengan Firman Allah s.w.t. dalam Surah an-Nisa, ayat 92 yang
bermaksud: Dan tidak harus sama sekali bagi seseorang mukmin membunuh seorang
mukmin yang lain, kecuali dengan tidak sengaja... dan Hadis Rasulullah s.a.w. yang
diriwayatkan oleh an-Nasaie yang bermaksud: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
Janganlah kamu mengharapkan kematian, jika seseorang itu baik, boleh jadi ia
menambahkan kebaikan dan jika seseorang itu berbuat dosa boleh jadi dia bertaubat (dan
mengharap redha Allah).
Muzakarah juga menegaskan bahawa tugas seorang doktor ialah menolong pesakit dalam
perkara kebaikan. Membantu mempercepatkan kematian tidak termasuk dalam perkara
kebaikan tetapi tergolong dalam perkara yang dilarang dan berdosa.
Walaubagaimanapun, dalam keadaan di mana pakar perubatan telah mengesahkan bahawa
jantung dan/atau otak pesakit telah berhenti berfungsi secara hakiki dan pesakit disahkan
tidak ada lagi harapan untuk hidup dan hanya bergantung kepada bantuan sokongan
pernafasan, Muzakarah memutuskan bahawa tindakan memberhentikan alat bantuan
sokongan pernafasan tersebut adalah dibenarkan oleh Islam kerana pesakit telah disahkan
mati oleh pakar perubatan dan sebarang rawatan tidak lagi diperlukan. Begitu juga, dalam kes
di mana pakar perubatan telah mengesahkan bahawa pesakit tiada harapan untuk sembuh dan
pesakit telah dibenarkan pulang, maka tindakan memberhentikan rawatan utama dan hanya
rawatan sokongan (conventional treatment) diteruskan adalah dibenarkan oleh Islam kerana
keadaan seumpama ini tidak termasuk dalam amalan eutanasia atau mercy killing yang
diharamkan.
Walaubagaimanapun, jika rawatan/alat bantuan sokongan tersebut digunakan untuk tujuan
lain seperti alat bantuan mengeluarkan bendalir untuk memudahkan pernafasan, maka
tindakan mencabut/memberhentikannya adalah tidak dibenarkan.
Dalam kes-kes di mana pakar perubatan berhadapan dengan situasi di mana pesakit perlu
berdepan dengan dua pilihan, sama ada meneruskan rawatan walaupun berkemungkinan
memberi kesan sampingan yang boleh menyebabkan kematian atau terus berada dalam
keadaan kesakitan yang berterusan, Muzakarah bersetuju memutuskan bahawa adalah harus
bagi pakar perubatan memberikan rawatan/ubat-ubatan kepada pesakit (seperti ubat penahan
sakit) walaupun berkemungkinan memberi kesan kepada nyawa pesakit.
Sehubungan itu selaras dengan kaedah fiqh: iaitu dalam keadaan
darurat, setiap perkara yang ditegah dibolehkan, amalan Eutanasia Indirect atau DoubleEffect Medication boleh dilaksanakan menurut pandangan syarak bagi memastikan
kesengsaraan yang dihadapi pesakit dapat dikawal dan pelaksanaannya tidak langsung
bertujuan untuk mempercepatkan kematian.
Muzakarah juga memutuskan bahawa dalam kaedah perubatan, mati otak (brain death)
adalah dianggap sebagai suatu kematian dan apabila kematian tersebut disahkan oleh pakar,
maka akan thabit semua hukum berkaitan kematian yang ditetapkan oleh syarak. Justeru,
adalah harus memberhentikan rawatan bantuan sokongan (contohnya penggunaan
mesin ventilator) dengan persetujuan waris-waris terdekat selepas disahkan oleh dua orang
pakar perubatan yang tidak terlibat dalam urusan pendermaan organ.
Kesimpulan
Berdasarkan pendapat pihak yang menyokong tindakan ini, mereka bersetuju Ethanasia akan
membolehkan pesakit melalui proses kematian yang mudah tanpa penyeksaan. Ini adalah
kerana ubatan yang diberikan akan berlaku dengan cepat serta memberi ketenangan kepada
pesakit dan keluarga. Kematian yang cepat ini juga akan mengelakkan kesengsaraan dari segi
fizikal dan juga emosi kerana pesakit tidak lagi perlu melalui kesakitan dan kesesakan nafas
dengan hanya bergantung kepada ubatan dan juga life support machine semata-mata. Selain
itu, kaedah ini juga akan memberi keterangan kepada ahli keluarga pesakit yang terasa stress
meratapi kesengsaraan yang dialami pesakit. Ia juga secara langsung dapat menjimatkan
wang penjagaan dan perubatan yang ditanggung oleh keluarga pesakit. Apatah lagi, nilai
insuran kesihatan yang tidak muncukupi.
Proses kematian yang cepat juga akan memastikan organ-organ yang dituai akan berada
dalam keadaan baik. Ini membantu penerima organ mendapatkan peluang kejayaan yang
lebih berkesan dan membantu kelangsungan hidupnya. Manakala, pihak pembangkang pula
berpendapat entah merupakan satu pembunuhan. Hanya Tuhan sahaja yang berhak
menentukan hidup atau matinya seseorang pesakit. Ianya juga menghapuskan peluang pesakit
untuk terus berjuang untuk terus hidup dengan ketentuan Tuhan. Akhirnya, Euthanasia akan
menghampakan segala usaha para saintis untuk terus mencari ubatan untuk menyembah
penyakit-penyakit yang tiada penawar, seperti AIDS, E-bola dan sebagainya.
Pendebatan samada betul atau salahnya Euthanasia akan berterusan tanpa konklusi. Ianya
akan bergantung kepada hukum akal dan emosi setiap individu dan keluarga. Namun begitu,
sebagai seorang Islam, kita wajib berpegangan hadis dan sunnah yang jelas menerangkan
hanya Allah s.w.t. sahaja yang layak mencabut nyawa hambanya. Kita wajib percaya kepada
Qadar dan Qadaq dengan meyakini segala sesuatu yang berlaku adalah mengikut ketetapan
Allah s.w.t.
Rujukan
Angus Stevenson. 2010. Oxford Dictionary of English (3 ed.). Oxford: Oxford University
Press.
Blocher, Mark. The Right to Die? Caring Alternatives to Euthanasia, Chicago: Moody, 1999.
Bayertz, Kurt, ed. Sanctity of Life and Human Dignity. Dordrecht, Netherlands: Springer,
1996.
Dorland. Kamus Saku Kedoktoran Dorland. Edisi 25. Alih bahasa. dr. Poppy Kumala, dr.
Sugiarto Komala, dr. Alenxander H. Santoso, dr. Johannes Rubijanto Sulaiman, dr. Yuiasari
Rienita. Jakarta: Penerbit Buku Kedoktoran EGC, 1998: 319
Manning, Michael. Euthanasia and Physician Assisted Suicide. Mahwah, NJ: Paulist Press,
1988.
Tafsir Al-Quran dan Terjemahannya. 1992. CV. Wicaksana: Semarang.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syari fi Al-Istinsakh, Naql Adha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul Inasy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung