Anda di halaman 1dari 8

c 

 c 

 ca

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti ³baik´, dan

thanatos, yang berarti ³kematian´1 2. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-

rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar

kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga

berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat

menjelang kematiannya 3.( Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini

pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi:

"Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun

meskipun telah dimintakan untuk itu".


c

Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan

euthanasia pasif.

Euthanasia aktif qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) adalah tindakan

dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh

pasien tersebut.4

Adapun euthanasia pasif, taisir al-maut (memudahkan kematian). adalah tindakan

dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara

???????????????????????????????????????? ????????????????
?á euthanasia ?

?(Utomo, 2003:176). ?

?Hasan,1995:145). ?


?(Utomo, 2003:176). ?
medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini

berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah

karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk

pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter

sudah tidak efektif lagi.


c

Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-µamad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan

penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau

keluarganya5

Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan

pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya

firman Allah SWT :

ë á 
  á 
á  á  
  á 



   
  
  (QS Al-An¶aam : 151)

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan

euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-

qatlu al-µamad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.

Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan

mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena

membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah dalam QS Al-

Baqarah : 178: artinya :

???????????????????????????????????????? ????????????????

?á 


  ?


ë
á
   áá



   


  ᛠ??

|amun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan

memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,

meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di

antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits |abi riwayat An-|asa`i6 Jika

dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah

1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,

atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak)7 Tidak dapat diterima, alasan

euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien

sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek

lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan

tidak dijangkau manusia.

Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak

mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-|ya, yaitu

pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,´Tidaklah menimpa kepada seseorang

muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,

bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya

dengan musibah yang menimpanya itu.´ (HR Bukhari dan Muslim).




c 

Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik

???????????????????????????????????????? ????????????????

?
 ? ?? ?

?   ? ? ?
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter

bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan

sembuh kepada pasien 8

Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?

Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat

(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?

Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau

berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. |amun sebagian ulama ada yang

mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan

oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah9 10


11
hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di

mana pada satu sisi |abi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain,

ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi

tuntutan yang tidak tegas (sunnah).

Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

ë
  á  á 

 
     

   
  á   á

   

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu

Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),

bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

???????????????????????????????????????? ????????????????

?á 


  ?



?Utomo, 2003:180?


?á  
   
á
 á  á ?

?? Abdul Qadim Zallum (1998:68)


³Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.´12Jadi, hadits

riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat

suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam

hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-

hadits lain itu membolehkan tidak berobat.

Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang

perempuan hitam pernah datang kepada |abi SAW lalu berkata,´Sesungguhnya aku

terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah

kepada Allah untuk kesembuhanku!´ |abi SAW berkata,´Jika kamu mau, kamu bersabar

dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia

menyembuhkanmu.´ Perempuan itu berkata,´Baiklah aku akan bersabar,´ lalu dia berkata

lagi,´Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah

kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.´ Maka |abi SAW lalu berdoa untuknya. (HR

Bukhari)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan

dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini

menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah

wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib13

  

Di antara yang mendasari kebolehan melakukan euthanasia pasif, yaitu tindakan

mendiamkan saja si pasien dan tidak mengobati, adalah salah satu pendapat di kalangan

sebagain ulama. Yaitu bahwa hukum mengobati atau berobat dari penyakit tidak

???????????????????????????????????????? ????????????????
12
(An-|abhani, 1953)
?

?Zallum,1998:69).?
sepenuhnya wajib. Bahkan pendapat ini cukup banyak dipegang oleh imam-imam mazhab.

Menurut sebagian mereka, hukum mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada

hukum mubah. Tetapi bukan berarti semua ulama sepakat mengatakan bahwa hukum

berobat itu mubah. Dalam hal ini sebagian dari para ulama itu tetap mewajibkannya.

Misalnya apa yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi`i dan Imam Ahmad bin

Hambal, juga sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka

itu tetap beranggapan bahwa berobat dan mengupayakan kesembuhan merupakan tindakan

yang mustahab (sunnah).Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih

utama: berobat ataukah bersabar? Bersabar di sini berarti tidak berobat14.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih

utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang

wanita yang ditimpa penyakit epilepsi.

Di samping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi`in yang tidak

berobat ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai

bin Ka`ab dan Abu Dzar radhiyallahu`anhuma.

Dan tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.

Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab tersendiri dalam

`Kitab at-Tawakkul` dari Ihya` Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat

bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa pun.

Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi orang

sakit.

Sebagian besar di antara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya

mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih sedikit dari golongan keduanya

???????????????????????????????????????? ????????????????

?á

á

 
       

?
berpendapat wajib.

Dalam hal ini kami sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya

parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah

Ta`ala.

Inilah yang sesuai dengan petunjuk |abi saw. yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-

sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam

kitabnya Zadul-Ma`ad. Dan paling tidak, petunjuk |abi saw. itu menunjukkan hukum

sunnah atau mustahab.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib, apabila

penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan

sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan

dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka tidak ada seorang pun yang

mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.

Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara

meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat

pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam

waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka

melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin ke

balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.

Maka memudahkan proses kematian kalau boleh diistilahkan demikian, di mana

dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak

dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan dibenarkan syariat. Terutama bila

keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk

meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.

Semua itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya
akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga menghalangi

penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih dapat

memperoleh manfaat dari alat tersebut.

Disisi lain, penderita yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan

sanak keluarganya selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai

puluhan tahun lamanya. Wallahu a¶lam.

 c 

! " c  


# 
Minggu, 10 Januari 2010

Para pejabat medis di Korea Selatan mengatakan, wanita umur 77 tahun yang mengalami
mati otak, telah meninggal dunia, setelah lebih dari 200 hari ditanggalkan dari alat bantu
hidup. Ini adalah kasus pertama euthanasia secara hukum.

Tim dokter di RS Severance di Seoul mengatakan, wanita yang hanya dipanggil Kim itu,
dinyatakan tutup usia Ahad/Minggu sore, 202 hari setelah sebuah perintah pengadilan
memaksa para dokter untuk mencabutnya dari respirator.

Dia terus bernafas sendiri sejak bulan Juni tahun lalu, dan terus menerima nutrisi.

Mahkamah Agung Korea Selatan Juni lalu menegakkan keputusan peradilan lebih rendah,
yang membenarkan tim dokter menanggalkan alat bantu hidup bagi seorang pasien yang
berada dalam keadaan koma permanen.

Menurut peradilan, perawatan medis terus-menerus terhadap pasien seperti Kim berpotensi
merusak harga dirinya sebagai manusia.

Anda mungkin juga menyukai