Anda di halaman 1dari 12

EUNTHANASIA

BERDASARKAN
AL QUR’AN
Nama-nama Anggota Kelompok:

1. Ade vina rachmayadi

(20210910100111)

2. M. alfi nur romadhan

(20210910100041)

3. Rahma diana putri

(20210910100083)

4. Salsyadara riguna Ananda

(20210910100086)

5. Sephia salsabila

(20210910100089)
16 Definisi Euthanasia

21 Hukum Euthanasia Table of Contents


Euthanasia Berdasarkan As-
32
sunnah
Pengertian Euthanasia
Istilah Euthanasia secara etimologis, berasal dari kata Yunani
yaitu “eu” dan “thanatos” yang berarti “mati yang baik” atau
“mati dalam keadaan tenang atau senang”. Dalam bahasa inggris
sering disebut Marc Killing, sedangkan menurut “Encyclopedia
American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending life
in other to give release from incurable sufferering”. aphics.
Kata Euthanasia memang tidak tercantum dalam Al - Quran. Namun
euthanasia dan pembunuhan mempunyai akibat yang sama yaitu
hilangnya nyawa seseorang. Dari penelisikan ayat-ayat dalam Al-
Quran, didapati bahwa Al-Quran banyak membicarakan larangan
euthanasia, di antaranya :

1. QS. An Nisa : 29-30

2. QS. Al An’am : 151

3. QS. An Nisa : 92 dan QS Al Isra : 33


Hukum Euthanasia
Hukum Euthanasia Menurut Perspektif Ulama Klasik dan Ulama Kontemporer. Ulama
klasik yang diwakili Imam Mazhahibu Al Arba’ah sepakat bahwa pembunuhan
dengan sengaja hukumnya haram dan dapat menghalangi pewarisan. Bila ditinjau
dari pengertian pembunuhan sengaja, euthanasia aktif masuk dalam kategori
tersebut karena memenuhi unsur-unsurnya :

a. Euthanasia dilakukan dengan sengaja dan terencana.

b. Menggunakan suatu alat berupa suntikan cairan yang mematikan

Berdasarkan persamaan tersebut, maka euthanasia aktif hukumnya haram dan


berdosa besar dan dapat dijadikan penghalang pewarisan. Adapun hukum
euthanasia pasif, menurut ulama klasik hukumnya boleh. Penetapan hukum ini
dianalogikan dengan hukum berobat, jumhur ulama bersepakat hukum berobat
tidak wajib, hanya dianjurkan atau mandub. Akibat Hukum Euthanasia terhadap
Hak Ahli Waris :

• Euthanasia aktif hukumnya haram dan mengakibatkan terhalang haknya sebagai


ahli waris

• Euthanasia pasif hukumnya boleh dan tidak berpengaruh pada pewarisan


Euthanasia berdasarkan as-sunnah
Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang
mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan
Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah (Utomo, 2003:180).Menurut Abdul Qadim Zallum
(1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW
menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada
qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya.
Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)Hadits di
atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat.Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya
memberi makna adanya tuntutan (liath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub).
Hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib
(Zallum, 1998:69).Dengan demikian, jelaslah
pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien.
Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah
dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya? AbdulQadim Zallum (1998:69)
mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para
dokter berhak menghentikan pengobatan,seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.
Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu
tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian
organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak
akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien,
karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum 9
pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah,
karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah.
Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti
menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu
pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—
hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi
setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien,
dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak
dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu
(Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500;Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan
adanya izindari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus
pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi,
maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-
Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Thank you!

Anda mungkin juga menyukai