Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu berarti baik, tanpa penderitaan
sedangkan tanathos berarti mati. Dengan demikian, eutanasia dapat diartikan mati dengan baik
tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkannya sebagai mati cepat tanpa derita (Hanafiah dan
Amir, 2016). Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan
kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat
menjelang kematiannya.
Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan kesakitan dan sekarat. Situasi seperti ini
sering ditemui, pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan penyakitnya dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya lagi atau pada kasus lain untuk pasien yang sudah tidak sadar, keluarga
pasien yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang kematiannya meminta
kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mencapai kematian.
Kematian sebagai akhir dari kehidupan merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada yang
berhak untuk menundanya, begitu juga untuk mempercepat waktu kematian. Tetapi, muncul
pertanyaan mengenai bagaimana dengan hak pasien untuk mati agar menghentikan
penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi perdebatan di Indonesia. Hak pasien untuk mati,
yang dikenal dengan euthanasia, sudah sering dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini
akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus yang menarik dan untuk
itulah dalam makalah ini kami akan membahas mengenai euthanasia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan euthanasia?
2. Bagaimanakah sejarah euthanasia?
3. Bagaimana kriteria mati?
4. Apa saja jenis-jenis euthanasia?
5. Bagaimana syarat dilakukan euthanasia?
6. Bagaimana aspek-aspek dalam euthanasia?
7. Apa saja contoh kasus-kasus dalam euthanasia?
8. Bagaimanakah mengenai pro-kontra dalam euthanasia?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi euthanasia
2. Untuk mengetahui sejarah euthanasia
3. Untuk mengetahui bagaimana kriteria mati
4. Untuk mengetahui jenis-jenis euthanasia
5. Untuk mengetahui syarat-syarat agar dapat dilakukan euthanasia
6. Untuk mengetahui aspek-aspek yang ada dalam euthanasia
7. Untuk mengetahui kasus-kasus mengenai euthanasia
8. Untuk mengetahui pro-kontra mengenai euthanasia

1.4 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi pembaca
dan bagi mahasiswa kedokteran khususnya. Penulis mengharapkan tulisan ini dapat menjadi suatu
pemaparan yang berhubungan dengan euthanasia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Euthanasia


Euthanasia secara etimologis, berasal dari Bahasa Yunani yaitu eu dan thanasia yang berarti
mati yang baik atau mati yang tenang (Said, 1989). Dalam bahasa iggris sering disebut Mercy
Killing. Sedangkan Encyclopedia American mencantumkan Euthanasia ISSN the practice of ending
life in other to give release from incurable suffering. Di Belanda disebutkan bahwa Euthanasia adalah
dengan sengaja tidak melakukan sesuatu usaha (nalaten) untuk memperpanjang hidup seseorang pasien
atau sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seseorang pasien,
dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri (Griffiths, 2008).
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan
nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.
Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland Euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama,
suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati,
pengakhiran kehidupam seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat
menyakitkan secara hati-hati dan disengaja (Dorland, 2005).
Menurut Dr. Piet Go O.Carm, secara etimologis euthanasia berasal dari kata Yunani: yaitu dari
kata eu yang berarti baik dan thanatos yang berarti kematian. Euthanateo berarti aku menjalani
kematian yang layak. Sedangkan euthanatos (kata sifat) berarti mati dengan mudah. Cicero, sastrawan
sekitar tahun 106 SM, memakai istilah euthanasia dalam arti kematian penuh kehormatan, kemuliaan
dan kelayakan.
Menurut Piet Go, dokumen terlengkap dan terbaru mengenai euthanasia ialah Declaratio de
euthanasia Sacrate Congregation pro Doctrina Fidei 5 Mei 1980 yang berbeda dengan banyak dokumen
gereja, yang mendapat sambutan sangat positif dari semua kalangan. Dalam dokumen tersebut
ditegaskan tentang perlunya menjernihkan aneka arti yang dikaitkan dengan euthanasia. Teks penegasan
itu adalah:
Agar persoalan euthanasia dapat dibahas dengan sewajarnya, sebaiknya lebih dulu arti kata-kata
diuraikan dengan seksama. Secara etimologis, euthanasia di zaman kuno berarti kematian tenang tanpa
penderitaan yang hebat. Dewasa ini orang tidak lagi memperhatikan arti asli ini, melainkan lebih terarah
pada campur tangan ilmu kedokteran yang meringankan penderitaan orang sakit atau orang yang berada
dalam sakaratulaut, kadang-kadang bahkan disertai bahaya mengakhiri kehidupan sebelum waktunya.
Akhirnya, kata ini dipakai dalam arti yang lebih sempit, sehingga makna dan artinya ialah memastikan
karena belas kasihan, dengan maksud untuk sama sekali mengakhiri penderitaan yang luar biasa atau

3
untuk tidak memperpanjang hidup malang anak-anak yang tidak normal, orang-orang sakit yang tak
tersembuhkan atau orang-orang sakit jiwa, yang barangkali akan berlangsung bertahun-tahun dan dapat
menjadi beban yang terlalu berat bagi keluarga-keluaraga atau masyarakat. Maka dari itu harus
dipertegas dengan jelas, arti mana yang dipakai dalam dokumen ini. Dengan istilah euthanasia
dimaksudkan perbuatan atau pantang berbuat yang menurut hakekatnya atau menurut maksud
mendatangkan kematian, agar dengan demikian setiap penderitaan diakhiri. Maka dari itu euthanasia
terkandung dalam maksud kehendak dan dalam cara bertindak yang dipakai.
Berdasarkan teks diatas Piet Go menarik kesimpulan empat arti euthanasia, yaitu: Pertama,
secara etimologis euthanasia berarti kematian tenang. Kedua, arti medis euthanasia adalah tindakan
medis untuk meringankan penderitaan, juga dengan bahaya memperpendek hidup. Ketiga, arti lebih
sempit: mercy killing, mematikan karena belas kasihan. Entah untuk mengurangi penderitaan, terhadap
anak tak normal, ornag sakit jiwa, atau orang sakit tak tersembuhkan, agar hidup yang dianggap tak
bahagia itu tidak diperpanjang dan menjadi beban bagi keluarga serta masyarakat. Keempat, tindakan
atau pantang tindakan yang objektif (menurut perbuatan) atau subjektif (menurut maksud)
mendatangkan kematian untuk mengakhiri penderitaan.
Arti harfiahnya sama dengan good death atau easy death. Sering pula disebut mercy killing
karena pada hakeketnya euthanasia merupakan tindakan pembunuhan atas dasar kasihan. Tindakan ini
dilakukan semata-mata agar seseorang meninggal lebih cepat, dengan esensi:
1. Tindakan menyebabkan kematian
2. Dilakukan pada saat seseorang itu masih hidup
3. Penyakitknya tidak ada harapan untuk sembuh atau dalam fase terminal
4. Motifnya belas kasihan karena penderitaan berkepanjangan
5. Tujuannya mengakhiri penderitaan .
Euthanasia dapat juga didefinisikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seseorang individu
secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan
penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya, euthanasia menunjukkan usaha tenaga medis
untuk membantu para pasien supaya dapat meninggal dengan baik, tanpa penderitaan yang terlalu hebat.
(Cecep, 2014)
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau
penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang kematiannya. Kode Etik
Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya kea lam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.

4
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
dan keluarganya.
Menurut Cecep Triwibowo, beberapa rumusan masalah lain tentang euthanasia, antara lain
sebagai berikut:
1. Philo : euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
2. Suetonis : euthanasia berarti mati dengan cepat tanpa derita.
3. Hilman : euthanasia berarti pembunuhan tanpa penderitaan (mercy killing)
4. Gezondheidsraad Belanda : Euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek
hidup ataupun dengan sengaja tidak berbuat untu memperpanjang hidup demi kepentingan
pasien oleh seorang dokter atau bawahannyan yang bertanggung jawab padanya.
5. Van Hattum (Lamintang, 1986) : Euthanasia adalah sikap mempercepat proses kematian pada
penderita-penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri
dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya dan untuk membantu keluarganya
menghindarkan diri melihat penderitaan korban dalam menghadapi saat kematiannya.

2.2 Sejarah Euthanasia


Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan The
Hippocratic Oath yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas
mengatakan: Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal
tersebut pada siapapun The Hippocratic Oath.
Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah
Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya: Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang
Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun
dibantu (Chief Justice Rehnquist).
Tahun 1920, terbitnya buku berjudul Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life, yang
di dalamnya Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universitas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen
Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri
hidupnya, harus dibawah pengawasan ketat, dan dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku
ini menyuport euthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi Jerman tahun 1935, The Euthanasia
Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia.
Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela.

5
Jurisprudensi pada negara Belanda menjelaskan mengenai kasus euthanasia yang pertama tahun
1952 ketika pengadilan di Utrecht dalam keputusannya pada tanggal 11 Maret menjatuhkan hukuman
bersyarat (voorwaardelijke) satu tahun penjara dengan waktu percobaan satu tahun kepada seorang
dokter, yang atas permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri hidup kakaknya yang sangat menderita
karena penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kasus lain yang sangat terkenal, Leeuwarder euthanasia
process tahun 1973, dalam kasus ini Nyonya Postma van Boven, dokter di Oosterwolde mengakhiri
hidup ibunya dengan jalan suntikan morfin atas permintaan yang bersangkutan sendiri karena ia
menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ibunya itu sudah tidak mau makan lagi dan pernah
menjatuhkan diri dengan sengaja dari tempat tidurnya dengan membenturkan kepalanya diatas ubin
dengan harapan akan dapat mengakhiri hidupnya. Nyonya Postma dan suaminya yang juga dokter,
kedua-duanya memberitahukan kepada ibunya bahwa permintaan itu tidak dapat dikabulkan. Akibatnya,
ibunya memberontak dan tidak mau berbicara lagi dengan anak-anaknya. Akhirnya Nyonya Postma
tidak dapat menolak desakan ibunya lagi dan memberikan suntikan.
Pengadilan memutuskan Leeuwarder pada tanggal 21 Februari 1973 dijatuhi hukuman bersyarat
selama satu minggu dengan waktu percobaan satu tahun dan yang paling menarik dari Leeuwarder
Euthanasia ini adalah kenyataan bahwa pengadilan menerima dan menyetujui beberapa pertimbangan
yang dikemukakan oleh seorang inspektur Kesehatan Rakyat yang diajukan sebagai saksi ahli.
Dikemukakan oleh saksi ini bahwa:

1. Persoalan disini menyangkut orang yang menderita penyakit yang tidak disembuhkan.
2. Penderitaannya sedemikian hebat, sehingga perasaan sakit tak tertahan lagi.
3. Pasien sendiri sudah berkali-kali mengajukan permintaan dengan sangat untuk mengakhiri
hidupnya.
4. Pasien sudah masuk periode akhir hidup (stervens periode).
5. Pelakunya dokter yang mengobati.
Setelah tahun 1986, pertimbangan kesaksian ini kemudian menjadi inti rancangan Undang-
Undang Euthanasia di Negara Belanda dengan tambahan satu butir yang berbunyi:
6. Harus ada konsultasi dengan dokter yang namanya dicantumkan pada daftar yang dibuat
Kementerian Kesehatan Belanda.

Kemudian menurut literatur Belanda, maka pengadilan Belanda pada tahun 1987 mulai
mempertimbangkan bukan dasar pembenaran, tetapi dasar menghilangkan culpa, jadi ada kejahatan
tetapi tidak dapat dibuktikan overmacth (daya paksa) dan bila hakim dapat menerima overmacth maka
tidak dapat dihukum.

6
2.3 Konsep kematian
Banyak konsep tentang kematian ini, atau konsep tentang mati, antara lain :

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1988, mati dan didefenisikan berhentinya
darah mengair. Berhentinya darah mengalir ini berarti jantung dan paru-paru berhenti
bekerja oleh sebab itu menurut batasan ini, mati atau kematian itu terjadi apabila jantung
berhenti berdenyut. Jantung berhenti berdenyut, berarti darah tidak dapat mengalir
keseluruh tubuh yang berakibat semua fungsi tubuh berhenti total karena tidak ada aliran
darah. Namun dengan demikian, dengan berkembangnya ilmu kedokteran tampaknya
konsep ini sudah tidak dapat digunakan lagi, karena dengan teknologi resusitasi (nafas
buatan) telah memungkin jantung dan paruparu yang terhenti dapat berdenyut kembali.
Dengan bekerjanya kembali jantung dan paru-paru ini maka akan terjadi aliran darah lagi
keseluruh tubuh dan kembali hidup.
2. Mati saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini juga tidak dapat dipakai lagi, karena
dengan teknologi resusitasi seperti disebutkan, seakanakan nyawa dapat dikembalikan lagi.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secara
terpadu. Bahwa organ-organ tubuh kita berfungsi secara terpadu, yang dikendalikan oleh
otak kita. Apabila semua organ tubuh kita masih berfungsi secara terpadu yang
dikendalikan oleh otak, berarti kita masih hidup. Namun konsep ini juga diragukan dan
dipertanyakan. Karena tampaknya organ-organ tubuh berfungsi sendiri, dengan atau tanpa
dikendalikan oleh otak kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan peristiwa transplantasi, organ
tubuh seseorang dapat dipindahkan ke tubuh orang lain. Dalam proses pemindahan atau
transplantasi pada tahap tertentu organ tubuh yang ditransplantasi masih tetap berfungsi,
meskipun sudah tidak di bawah kendali otak orang yang bersangkutan.
4. Batang otak telah mati (brain stem death): bahwa otak merupakan pusat penggerak dan
pengendali baik secara fisik maupun sosial. Oleh sebab itu, bila batang otak telah mati maka
diyakini bahwa manusia itu telah mati secara fisik maupun sosial. Mati menurut konsep ini
adalah hilangnya hidup manusia secara permanen, sehingga fisik dan sosialnya sudah
tidak berfungsi lagi.
5. Menurut undang-undang kesehatan No. 36 Tahun 2009, pasal 117, seseorang dikatakan
mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti
secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan. Apabila kita
memperhatikan batasan kematian menurut undang-undang ini, sebenarnya merupakan

7
suatu bentuk akomodasi dari berbagai batasan tentang kematian atau mati, yang
sebelumnya telah ada atau dirumuskan.
(natoatmojo,2010)

2.4 Jenis-Jenis Eutanasia


Achadiat (2007) berpendapat bahwa eutanasia ditinjau dari cara dilaksanakannya dapat
dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Eutanasia Aktif
Eutanasia aktif yaitu suatu tindakan dari dokter atau tenaga kesehatan yang secara sengaja
dilakukan untuk mengakhiri atau memperpendek hidup penderita. Hasbiyallah (2008) dalam
Utomo (2003) menyebutkan bahwa contoh dari eutanasia aktif yaitu seseorang yang menderita
kanker dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering pingsan dan dokter pun yakin
pasien tersebut akan meninggal dunia. Dokter kemudian akan memberikan obat dengan takaran
tinggi yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi sekaligus menghentikan pernapasannya.
Hanafiah dan Amir (1999) menyebutkan bahwa eutanasia aktif dibagi dua menjadi sebagai
berikut:
a. Eutanasia aktif langsung (direct)
Eutanasia aktif langsung yaitu dilakukannya tindakan medik secara terarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri atau memperpendek hidup pasien. Jenis eutanasia ini
dikenal juga sebagai mercy killing.
b. Eutanasia aktif tidak langsung (indirect)
Eutanasia aktif tidak langsung terjadi ketika dokter atau tenaga kesehatan melakukan
tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya risiko
tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.
2. Eutanasia Pasif
Eutanasia pasif merupakan suatu tindakan dari dokter atau tenaga kesehatan yang secara
sengaja tidak lagi memberikan perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup
penderita. Contoh eutanasia pasif yaitu penderit kanker yang sudah kritis atau orang sakit dalam
keadaan koma yang tidak memiliki harapan untuk sembuh yang jika pengobatannya dihentikan,
maka dapat mempercepat kematiannya (Hasbiyallah (2008) dalam Utomo (2003)).
3. Auto-euthanasia
Auto-euthanasia merupakan penolakan secara tegas dari pasien dengan kondisi sadar
dalam memperoleh bantuan atau perawatan medis yang diberikan kepadanya. Pasien tersebut
tentunya sudah mengetahui jika perawatan medis itu dihentikan, maka dapat memperpendek

8
atau mengakhiri hidupnya. Penolakan ini dapat dilakukan dengan memberikan surat penolakan
dari pasien.
Menurut Teichman (1998) dalam buku Etika Sosial, eutanasia ditinjau dari permintaan dapat
digolongkan menjadi tiga golongan sebagai berikut:
a. Voluntary Euthanasia (Eutanasia Sukarela)
Voluntary euthanasia dapat diartikan sebagai kematian yang diminta oleh sesorang atau
pasien sehingga dapat tertolong untuk mati. Individu semacam ini mungkin merasa terlalu sulit
untuk melakukan bunuh diri atau bahkan tidak mungkin karena berbagai alasan tertentu.
b. Non-voluntary Euthanasia (Eutanasia yang Diandaikan)
Jenis ini mengandung pengertian bahwa kematian yang dialami oleh pasien tidak
diusulkan karena pasien tidak sadar atau terlalu dini untuk berbicara. Maksud dari kata
diandaikan adalah pasien tersebut dianggap akan meminta mati andaikan dia dapat
menyatakan keinginannya.
c. Involuntary Euthanasia (Eutanasia yang Dipaksakan)
Involuntary euthanasia merupakan pembunuhan terhadap diri pasien yang dalam
keadaan sadar, tetapi tidak dimintai persetujuan sebelumnya.
Kategori eutanasia menurut Achadiat (2008) dalam Kongres Hukum Kedokteran Sedunia di Gent
(Belgia) tahun 1979, Profesor Separovic menyampaikan beberapa kategori eutanasia sebagai berikut:
1. No assistance in the process of death without intention to shorten life. Contoh dari kategori ini
yaitu kematian alamiah.
2. Assistance in the process of death without intention to shorten life. Unsur yang terdapat dalam
kategori ini yaitu unsur kelalaian (schuld).
3. No assistance in the process of death with intention to shorten life. Kategori ini dapat mencakup
eutanasia pasif.
4. Assistance in the process of death intention to shorten life. Kategori ini merupakan sebutan lain
dari eutanasia aktif.
Prakoso dan Nirwanto (1984) dalam bukunya yang berjudul Eutanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana menyebutkan bahwa Dr. JE. Sahetapi, SH. telah menggolongkan eutanasia pada majalah
Badan Pembangunan Hukum Masyarakat (BPHM) ke dalam tiga jenis, sebagai berikut:
a. Action to Permit-Death to Occur
Eutanasia bentuk ini merupakan bentuk kematian yang dapat terjadi karena pasien
dengan sungguh-sungguh dan secara cepat menginginkan untuk mati. Keinginan ini tentunya
dilakukan ketika pasien sadar dan mengetahui bahwa penyakit yang dideritanya tidak mungkin
sembuh, walaupun diberikan perawatan yang baik. Untuk itu, pasien akan meminta kepada

9
dokter agar tidak diberikan pengobatan dan tidak dilakukan perawatan di rumah sakit, namun
pasien meminta agar perawatan bisa dilakukan di rumah sendiri, dengan asumsi bahwa pasien
tersebut akan merasa bahagia karena dapat meninggal dengan tenang di samping keluarganya.
Dalam hal ini, jika seorang dokter memberikan izin atas permohonan pasien, maka kematian
yang mungkin akan terjadi seolah-olah merupakan bentuk kerjasama atas pasien dan dokter yang
semula merawatnya. Jenis eutanasia ini dapat disebut juga eutanasia pasif.
b. Failure to Take Action to Prevent-Death
Jenis eutanasia ini merupakan kematian yang terjadi karena kelalaian dari seorang
dokter dalam mengambil suatu tindakan guna mencegah adanya kematian, tetapi dokter tersebut
tidak melakukan apapun karena mengetahui bahwa pasien sangat tidak bisa disembuhkan
sehingga pengobatan yang akan diberikan kepada pasien adalah sia-sia. Karena hal tersebut,
pasien akan dibiarkan begitu saja tanpa diberikan pengobatan atau perawatan hingga ajalanya
tiba. Pada dasarnya eutanasia jenis ini sama dengan eutanasia jenis pertama. Jika pada eutanasia
jenis pertama tindakan ini dilakukan karena adanya persetujuan antara pasien dan dokter,
sedangkan pada jenis kedua ini tindakan tersebut timbul hanya atas kehendak dari dokter saja.
c. Positive Action to Cause
Eutanasia ini dapat dikategorikan juga sebagai eutanasia aktif, karena dalam eutanasia
ini terjadi tindakan positif dari dokter atau tenaga kesehatan untuk memperceat kematian
seseorang.
Qardhawi (1995) berpendapat bahwa eutanasia disebut juga dengan qotlu ar rohmah (taisir al maut)
yang berarti suatu tindakan yang mempermudah kematian seseorang atau pasien dengan sengaja tanpa
merasakan sakit karena adanya kasih sayang. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk meringankan
penderitaan pasien tersebut, baik yang dilakukan dengan cara positif maupun negatif. Berikut merupakan
penggolongan dari eutanasia tersebut:
1. Taisir al Maut al Faal
Taisir al maut ialah tindakan memudahkan kematian seseorang atau pasien karena kasih
sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan suatu instruman atau alat. Eutanasia
jenis ini disebut juga dengan eutanasia positif.
2. Taisir al Maut Munfail
Taisir al maut munfail ialah jenis eutanasia yang mempergunakan alat ataupun langkah-
langkah aktif yang dapat mengakhiri kehidupan pasien, namun pasien tersebut hanya dibiarkan
tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang akhir hayatnya. Jenis ini disebut juga dengan
eutanasia negatif.

10
Wradharma (1996) menyebutkan bahwa menurut pendapat Prof. Mr. H.J.J. Leenen, seorang guru
bersar hukum kesehatan di Fakultas Hukum dan Fakultas Kedokteran Van Amsterdam, di dalam medis
terdapat bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan eutanasia, yaitu sebagai berikut:
a. Pengakhiran perawatan pasien karena kematian batang otak (brain death). Dalam keadaan
seperti ini, pasien memperoleh tindakan penunjang (supurfit) dengan bantuan mesin.
b. Keadaan darurat (emergency) yang tidak dapat diatasi karena terbatasnya fasilitas
pelayanan kesehatan yang ada, misalnya pada kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana
alam.
c. Penghentian tindakan atau perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi berdasarkan
kriteria-kriteria ilmu kedokteran (zin loo).
d. Penolakan perawat medis oleh pasien.

2.5 Syarat-syarat dilakukan Euthanasia


Euthanasia merupakan perbuatan yang tidak terlarang, dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
ini misalnya :

a. Bagi pasien yang sudah tidak dapat diharapkan lagi akan kehidupannya menurut ukuran
medis, yang dinyatakan oleh dokter yang merawatnya,
b. Usaha penyembuhan yang dilakukan selama ini sudah tidak berpotensi lagi,
c. Pasien dalam keadaan in a persistent vegetative state.

Dengan demikian hak untuk mati juga dihormati adanya, walaupun hak ini tidak secara tegas
dicantumkan sebagaimana hak untuk hidup. Dalam kondisi yang demikian itu pula, seseorang yang
mempergunakan hak untuk mati-nya. Jadi pengakuan terhadap hak untuk mati ini tidak bersifat
mutlak, tetapi dalam keadaan yang memaksakan untuk mengakuinya.(prakoso,1984)

2.6 Aspek-Aspek dalam Euthanasia


2.6.1. Aspek Hukum dalam Euthanasia
Menurut Triwibomo (2014) Di indonesia masalah euthanasia belum mendapat tempat yang
diakui secara yuridis dan memungkinkan dalam perekembangan Hukum Positif Indonesia ,
euthanasia akan mendapat tempat yang diakui secara yuridis, legalitas euthanasia berdasarkan
KUHP.
Berdasarkan hukum di indonesia maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan
hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada pasal 344, 338,
340, 345, dan 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang
berkaitan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344 KUHP (Triwibomo , 2014).

11
Pasal 344 KUHP:
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun (Triwibomo , 2014).
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan
kuat untuk membantu pasien walaupun atas dasar kesukarelaan pasien dan kemauan sendiri atau
keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus
dihadapinya. Perbuatan euthanasia aktif tanpa permintaan atau dengan permintaan orang lain ini
dapat dikatakan sebagai pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana.
Pasal 338 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena
makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun(Triwibomo , 2014).
Pasal 340 KUHP:
Barang siapa sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau dengan
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun
(Triwibomo, 2014).
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa yang mendorong orang lain untuk melakukan bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu dan memberikan saran untuk itu maka dipidana dengan kungan selama-
lamanya 4 (empat) tahun jika orang tersebut jadi bunuh diri (Triwibomo, 2014).
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya 5 (lima) tahun atau kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun (Triwibomo,
2014).
Peraturan-peraturan yang tertulis dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya
melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.
Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan
euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui

12
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih
segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal dalam undang-undang yang terdapat dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Untuk terwujudnya jenis pembunuhan ini (euthanasia), ada
beberapa pihak yang memiliki andil, diantaranya : Dokter, pasien, keluarga pasien, serta pihak ketiga
yang mempunyai kaitan langsung dengan proses penyembuhan seorang pasien(Waluyadi, 2000).
Menurut Triwibomo (2014) Kemudian dalam kode etik kedokteran yang ditetapkan menteri
kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 juga disebutkan pada pasal 10 setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi makhluk insani. Kemudian di dalam
penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat terhadap semua makhluk
yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan
tugas dari seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk
insani, berarti bahwa baik menurut agama maupun undang-undang Negara, maupun menurut etika
kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan:
1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
2. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia)
2.6.2. Aspek Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Euthanasia
Menurut Nurhayati (2014) Seiring dengan kebebasan manusia untuk melakukan sesuatu atas
dirinya, mulai muncul suatu tuntutan untuk mengakui euthanasia sebagai bagian dari hak asasi
manusia. Dalam hal ini, euthanasia dianggap sebagai hak untuk mati, sebagaimana laporan Tim
Pengkajian Masalah Hukum Pelaksanaan Euthanasia yang menyatakan bahwa Perkembangan yang
paling menarik dari masalahmasalah Hak Asasi Manusia adalah berkaitan dengan euthanasia,
dimana hak untuk mati dianggap bagian dari hak-hak asasi manusia.Kehadiran euthanasia sebagai
Hak Asasi Manusia berupa hak untuk mati, dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis dari adanya
hak untuk hidup. Oleh karena setiap orang berhak untuk hidup, maka setiap orang juga berhak untuk
memilih kematian yang dianggap menyenangkan bagi dirinya. Kematian yang menyenangkan inilah
yang kemudian memunculkan istilah Euthanasia.
Secara filosofis, jika dikaji lebih dalam maka sebenarnya manusia tidak memiliki hak untuk
hidup karena manusia tidak memiliki hidup itu sendiri. Kehadiran manusia sepenuhnya merupakan
kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini terlihat pada kelahiran manusia, dimana ia tidak memiliki
wewenang untuk menentukan kapan harus terlahir, dalam kondisi bagaimana akan terlahir, ataupun
dari rahim siapa ia akan lahir. Jika hak untuk hidup itu dimiliki oleh manusia, maka ia akan dapat
menentukan kapan ia akan hidup, dalam kondisi apa ia akan hidup, maupun dari rahim siapa ia akan

13
memulai hidupnya. Namun ternyata, manusia tidak memiliki hak tersebut. Manusia hanya
mengetahui bahwa ia telah terlahir dan telah dikaruniai kehidupan. Dari uraian di atas, kehidupan
sepenuhnya merupakan hak Tuhan Yang Maha Esa, sehingga manusia tidak memiliki hak untuk
hidup. Dalam hal ini, manusia telah dikarunia kehidupan oleh Tuhan, sehingga ia memiliki hak untuk
mempertahankan hidupnya. Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa manusia tidak memiliki hak hidup,
tetapi memiliki hak untuk mempertahankan hidupnya. Dari hak untuk mempertahankan hidup
tersebut, kemudian muncul hakhak asasi manusia lainnya, seperti hak mendapatkan perlakuan yang
sama dalam hukum, hak memiliki kebebasan bergerak, maupun hak untuk merdeka. Seiring dengan
perkembangan dunia kedokteran yang mampu mempertahankan kehidupan dan bahkan membiaskan
hakekat kehidupan, mulai muncul istilah euthanasia yang dianggap sebagai hak untuk mati
(Nurhayati, 2014).
Jadi hak untuk mati merupakan suatu perkembangan dari adanya hak untuk hidup yang telah
diakui sebagai suatu hak asasi manusia. Namun apabila dikaji lebih dalam, maka hak untuk mati
bukanlah suatu perkembangan dari adanya hak untuk hidup karena kematian dan kehidupan tidak
berbanding lurus, tetapi berbanding terbalik. Kehidupan tidak dapat dimiliki bersamaan dengan
kematian. Kehidupan dan kematian selalu berada pada posisi yang bersebrangan dimana jika tidak
hidup maka berarti mati, dan sebaliknya. Dalam hal ini, karena hidup dan mati adalah dua hal yang
berlawanan, maka tidak mungkin jika hak untuk mati merupakan perkembangan dari hak untuk
hidup. Apabila ditinjau bahwa hak atas hidup manusia berada pada kehendak Tuhan, maka dapat
dikatakan bahwa manusiapun tidak memiliki hak untuk mati mengingat pada dasarnya manusia tidak
memiki hak untuk hidup. Apabila manusia itu sendiri tidak memiliki hak untuk hidup, bagaimana
mungkin ia memiliki hak untuk mati, sedangkan adanya kematian adalah karena ada hidup. Dalam
hal ini, dengan tidak dimilikinya hak hidup oleh manusia, maka manusia juga tidak memiliki hak
untuk mati, yang dewasa ini lebih dikenal dengan euthanasia. Dengan demikian, setiap tindakan
euthanasia dianggap melawan anugerah Tuhan (Nurhayati, 2014)

2.6.3. Aspek Agama dalam Euthanasia


Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat Al-
Quran maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia
(hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT.
Di antara firman-firman Allah SWT yang menyinggung soal jiwa atau nafs itu adalah :
a) Surat Al-Hijr ayat 23 :

14
Artinya :
Dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami
(pulalah) yang mewarisi.
b) Surat Al-Najm ayat 44 :

Artinya :
Dan bahwasanya Dia-lah (Allah) yang mematikan dan menghidupkan.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri
adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa,
sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan
hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang boleh dihabisi.
Untuk ini Allah telah menggariskannya melalui firman-Nya dalam surat Al-Anam: 151

Artinya :
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik
sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap

15
jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam
dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).

2.6.4. Pandangan eutanasia dalam medis


Arifin (2014) menyebutkan bahwa eutanasia merupakan tindakan mengakhiri dengan
sengaja kehidupan seseorang yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang mudah dan
tenang, untuk membebaskannya dari penderitaan atas dasar kemanusiaan. Berdasarkan pengertian
tersebut, Arifin menjelaskan bahwa eutanasia mengandung empat unsur sebagai berikut:
1. Subjek
Subjek dalam eutanasia merupakan pelaku atau pemberi saran untuk mati dengan tenang
dan mudah, misalnya: dokter, perawat, perorangan atau organisasi.
2. Objek
Objek dalam eutanasia yaitu individu yang menderita sakit berat, sakit terminal, luka parah
atau individu yang frustasi dengan keadaannya maupun individu yang sudah bosan untuk
hidup.
3. Tindakan
Tindakan dalam eutanasia dilakukan dengan cara memberikan atau menyediakan saran
dan fasilitas yang akan membawa pasien kepada kematian atau menghentikan pengobatan dan
perawatan medis karena dipandang tidak bermakna lagi ataupun tenaga medis yang menolak
untuk melakukan pengobatan dan perawatan medis atau pasien yang menolak untuk diobati.
4. Motif
Tindakan yang dilakukan tersebut dilaksanakan atas dasar kemanusiaan menurut
pandangan kedokteran forensik, karena eutanasia merupakan salah satu bentuk pembunuhan
dengan maksud mengakhiri penderitaan seseorang.

2.7 Kasus-Kasus tentang Euthanasia


1. Kasus Hasan Kusuma Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya
yang bernama Again Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien.
Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani

16
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien tanggal 7 Januari 2005 telah mengalami
kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
2. Kasus seorang wanita New Jersey Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alcohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh
karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian
dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas dpontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru Sembilan tahun
kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-pari
(pneunia).
3. Janet Mills (52 tahun), seorang perempuan penderita kanker kulit langka, mycosis fungoides
telah menjadi orang kedua yang meninggal sesuai dengan Undang-undang tentang euthanasia
di Darwin, Australia. Dokter Philip Nietzsche, orang yang memperjuangkan dilegalisasinya
euthanasia, menolong Janet untuk memberikan obat sendiri dalam dosis mematikan dengan
menggunakan computer laptop yang dikenal dengan mesin mematikan. Ia menggunakan alat
yang dihubungkan dengan kmputer untuk memberikan sendiri dosis obat mematikan. Sebagai
kata-kata terakhir, Janet mengatakan damai akhirnya.
4. Kasus Siti Julaeha, seorang pasien wanita yang telah koma selama setahun. Tidak sadarnya Siti
Julaeha sejak menjalani operasi kandungan di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur. Suaminya,
Rudi Hartono mengajukan permohonan euthanasia terhadap istrinya. Menurut pengakuan Rudi
Hartono, pengambilan keputusan euthanasia merupakan keputusan keluarga besarnya yang
merasa tidak tega melihat istrinya tersiksa terus. Keputusan ini semakin diperkuat setelah dia
mendengar pernyataan seorang dokter Rumah Sakit Dokter Cipto Mangunkusumo yang
menyatakan bahwa istrinya telah mengalami keadaan vegetative state, tipis kemungkinan
harapan Siti JUlaeha untuk sembuh (Tempo Interaktif, 15 April 2005)
5. Dilahirkan tunarungu, dua bersaudara kembar identik asal Belgia tidak dapat menahan
kesedihan saat indra penglihatan mereka juga tak lagi berfungsi. Dikutip dari Reuters, Selasa,
15 Januari 2013, kedua pria 45 tahun yang tidak disebutkan identitasnya ini kemudian meminta
untuk menjalani eutanasia, yang kemudian dipenuhi sebuah rumah sakit di Brussel. "Permintaan
eutanasia dipenuhi tidak hanya karena mereka tunarungu dan tidak lagi dapat melihat, tapi

17
karena mereka tak tahan bila tidak dapat melihat kembarannya," ujar dokter yang memberikan
suntikan mati pada keduanya. Pihak keluarga juga disebutkan mendukung keputusan keduanya.
Juru bicara rumah sakit juga menambahkan bahwa kedua pria ini sangat dekat dan tak
terpisahkan. Mereka hidup serumah dan memiliki pekerjaan yang sama. "Penderitaan yang tak
tertahankan dapat terjadi secara fisik maupun mental," ujar juru bicara tersebut.
Saat pelaksanaan eutanasia yang berlangsung 14 Desember lalu, dua bersaudara ini
menghabiskan detik-detik terakhir hidup mereka dengan menyesap secangkir kopi bersama
sambal saling mengucapkan kata perpisahan.
Belgia memang merupakan salah satu negara yang melegalkan eutanasia. Syaratnya adalah
pasien harus berusia dewasa, dan keputusan ini diambil secara sukarela dengan mantap setelah
diyakinkan beberapa kali. Pasien juga diharuskan tengah menderita sakit secara fisik atau mental
yang berlangsung terus-menerus dan tak tertahankan. Sebagai tambahan, kondisi tersebut juga
harus terjadi secara serius dan tidak dapat disembuhkan.
Sejak dilegalkan pada 2002, kasus eutanasia kian meningkat pesat dari tahun ke tahun. Tahun
lalu, misalnya, 1.133 permintaan eutanasia dikabulkan, dengan 86 persen pasien berusia 60
tahun ke atas dan 72 persen dari pemohon merupakan penderita kanker. Selain Belgia, Belanda
dan Luxembourg juga melegalkan eutanasia. Sedangkan Swiss membolehkan upaya bunuh diri
dalam pengawasan, bila orang tersebut berniat mengambil peran lebih aktif dalam mengakhiri
hidupnya. (Tempo, 15 Januari 2015)

2.8 Pro dan Kontra Euthanasia


Euthanasia adalah suatu topik dalam dunia medis yang masih diberdebatkan keabsahannya.
Pembahasan euthanasia hingga saat ini masih menuai pro dan kontra. Beberapa pihak setuju dengan
tujuan dari euthanasia dan sebagian yang lainnya menolak dan mengecam perbuatan euthanasia. Hal ini
karena bersangkutan dengan pengambilan nyawa manusia baik secara sukarela ataupun tidak. Meskipun
dengan berbagai macam alasan seperti kasihan akan penderitaan yang dirasakan pasien euthanasia tetap
dikecam oleh berbagai pihak. Karena euthanasia tidak sesuai dengan norma-norma dalam kehidupan.
Definisi euthanasia sendiri, menurut James D. Torr, adalah Euthanasia adalah istilah yang luas
dari mercy killing yakni mengambil hidup dari orang yang sakit tanpa harapan atau melukai seseorang
agar dapat mengakhiri penderitaannya. (Torr, 2000). Sedangkan dalam buku etika kedokteran dan
hukum kesehatan mengatakan bahwa Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau
mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (Hanafiah dan
Amir, 2007). Berdasarkan kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari euthanasia adalah

18
membunuh atau mengambil nyawa seseorang dengan sengaja ataupun tidak dengan alasan belas kasih
(mercy killing).
Tujuan dari euthanasia tersebutlah yang menuai kontroversi. Karena apapun bentuk dari
euthanasia adalah suatu pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini bertentangan
dengan sumpah hippocrates yang berbunyi Saya tidak akan mememberikan obat yang mematikan
kepada siapapun yang memintanya, demikian pula aku tidak akan memberikan nasihat untuk membuat
obat yang mematikan ini. Sama halnya, aku tidak akan memberikan obat yang bersifat abortif kepada
seorang perempuan. Dalam kemurnian hati dan kesucian aku akan menjaga hidupku dan seniku (ilmu
kedokteranku) ini.(Kusmaryanto, 2015). Selain sumpah hippocrates, euthanasia juga bertentangan
dengan sumpah dokter indonesia. Dalam sumpah dokter indonesia pada poin ke 5 dan ke 6, yang terdapat
pada pasal 1 pada penjelasan KODEKI, mengatakan dengan jelas bahwa Saya tidak akan menggunakan
pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam. Saya
akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.(Purwadianto, et all, 2012).
Berdasarkan Declaration of Lisbon yang diadakan oleh WMA (World Medical Association)
pada tahun 1981 tentang hak-hak pasien, yang telah di afirmasi ulang pada tahun 2015, pada asas no 10
tentang hak atas kehormatan (rights of dignity) poin c berbunyi The patient is entitled to humane
terminal care and to be provided with all available assistance in making dying as dignified and
comfortable as possible. (WMA, 2015). Pada poin tersebut mengatakan bahwa seorang berhak untuk
mati secara martabat dan senyaman mungkin. Poin ini sangat kontroversial karena secara tidak langsung
poin mendukung legalisasi dari euthanasia. Namun WMA telah kebijakan pada Oktober 1987, dan yang
telah di afirmasi ulang pada tahun 2015, bahwa Euthanasia, that is the act of deliberately ending the
life of a patient, even at the patient's own request or at the request of close relatives, is unethical. This
does not prevent the physician from respecting the desire of a patient to allow the natural process of
death to follow its course in the terminal phase of sickness. (WMA, 2015). Berdasarkan kebijakan
tersebut WMA tidak membenarkan tindakan euthanasia. WMA juga mengeluarkan pernyataan bahwa
WMA tidak setuju dengan euthanasia pada tahun 2001. Pernyataan tersebut juga menyebutkan bahwa
WMA mendukung para dokter dan tenaga medis yang lain untuk tidak ikut serta dalam praktek
euthanasia meskipun negaranya melegalkan euthanasia.
Menurut buku Pustaka Filsafat Etika Sosial terdapat 7 alasan untuk mendukung euthanasia,
yaitu (1) tesis filosofis bahwa setiap pribadi rasional mempunyai hak yang tak dapat dialihkan dan tak
dapat dikurangi untuk membunuh dirinya; (2) anggapan mengenai kepemilikan anggapan bahwa
kehidupan seseorang merupakan miliknya sendiri; (3) fakta materiil, yaitu bahwa sejumlah penyakit
dirasakan membuat sangat menderita; (4) keputusan yang mengakibatkan sejumlah kehidupan,
kendatipun bukan karena rasa sakit, tidak mempunyai arti; (5) pendapat bahwa ketergantungan pada

19
perhatian orang-orang lain itu merendahkan dan tidak pantas; (6) gagasan bahwa teknik medis modern
memaksa kita untuk menerima pembunuhan belas kasoh dalam banyak kasus; dan (7) teori filosofis
mengenai tindakan dan kelalaian (Teichman, 1998). Dalam buku ini juga terdapat 4 aspek yang dapat
dijadikan alasan untuk mendukung euthanasia

1. Otonomi
Alasan otonomi adalah alasan yang paling lazin digunakan untuk mendukung
euthanasia. Otonomi dalam konteks euthanasia ini adalah hak dari pasien. Seorang pasien berhak
untuk meminta seorang dokter untuk mematikannya atas penderitaannya. Hal ini didukung oleh
pandangan J.S. Mill bahwa ada hak universal untuk hidup atau mati sebagaimana dikehendaki
seseorang asalkan orang itu tidak merugikan orang lain (Teichman, 1998). Namun pendapat ini
hanya ditujukan untuk orang-orang yang sakit. Pendapat ini juga hanya memperhatikan hak
otonomi dari pasien saja, tidak memperhatikan hak otonomi dokter (Teichman, 1998). Jadi,
aspek otonomi kurang relevan untuk dijadikan alasan utama untuk mendukung dari euthanasia.
2. Kepemilikan
Aspek kepemilikan ini digunakan untuk mendukung euthanasia karena menganggap
kehidupan seakan-akan harta milik. Penggunaan kepemilikan kehidupan disini masih rancu,
karena penggunaan kepemilikan, menurut Teichman, bukanlah hak yang mutlak. Teichman
mengandaikan kepemilikan kehidupan seperti kepemilikan kerabat seperti paman saya.
Paman saya disini tidak menandakan adanya kepemilikian akan paman saya (Teichman,
1998). Begitu pula dengan kehidupan, kehidupan yang kita miliki tidak semata hanya milik kita.
Bagi umat islam kehidupan yang kita miliki semata-semata hanya milik Allah SWT. Pernyataan
didukung surat al-Baqarah ayat 20 :

Artinya:
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari
mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.
Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka.
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.

20
3. Rasa sakit
Rasa sakit adalah rasa ketidaknyamanan yang terjadi pada tubuh manusia. Rasa sakit yang hebat
karena kanker menyebabkan manusia untuk berpikiran mengakhiri hidupnya saja. Ketakutan
akan rasa sakit yang hebat itulah menyebabkan sebagian dokter merasa kasihan akan penderitaan
yang dirasakan pasien dan mendukung legalitas dari euthanasia. (Teichman, 1998)
4. Kualitas hidup
Para pendukung euthanasia juga sering menggunakan alasan kualitas hidup untuk mendukung
euthanasia. Alasan ini dipakai karena memperhatikan apakah hidup seseorang tersebut berguna
bagi sosial dan dirinya atau tidak. Namun alasan ini tidak begitu kuat karena kurang relevannya
alasan yang mendukung aspek ini. (Teichman, 1998)

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah mengkaji berbagai literatur, kami menyimpulkan bahwa:
1. Euthanasia adalah tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh
seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian seseorang yang berada
dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang kematiannya.
2. Seseorang dikatakan meninggal apabila berhentinya darah mengalir yang disebabkan karena
jantung berhenti berdenyut.
3. Euthanasia secara umum terbagi menjadi beberapa jenis, seperti euthanasia aktif, euthanasia
pasif, auto-euthanasia, voluntary euthanasia, non-voluntary euthanasia dan involuntary
euthanasia.
4. Euthanasia dapat dilakukan jika pasien sudah tidak diharapkan lagi kehidupannya menurut
ukuran medis, usaha penyembuhan yang dilakukan sudah tidak berpotensi lagi dan pasien dalam
keadaan in a persistent vegetative state.
5. Euthanasia dalam hukum diatur oleh pasal 344 KUHP, pasal 338 KUHP, pasal 340 KUHP dan
pasal 359 KUHP serta dalam agama Islam diatur dalam surat Al-Hijr ayat 23, An-Najm ayat 44
dan Al-Anam ayat 151.

3.4 Saran
Peneliti berharap pengkajian literatur ataupun penelitian mengenai euthanasia dilakukan lebih
dalam dan lebih banyak agar dapat dijadikan sebagai bahan pelajaran bagi masyarakat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, C. M. 2004. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.
Arifin, S. 2014. Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Deepublish.
Asih, Ratnaningsih. 2015. Alami Kebutaan Kembar ini Minta Disuntik Mati
(https://gaya.tempo.co/read/news/2013/01/15/060454557/alami-kebutaan-kembar-ini-minta-
disuntik-mati, diakses 17 Februari 2017)
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung. Yogyakarta: Salwa Press
Djoko, P., Nirwanto, D. A., 1984. Euthanasia (Hak Asasi Manusia dan Hak Pidana). Jakarta: Ghalia
Indonesia
Hasbiyallah. 2008. Fikih untuk Kelas IX Madrasah Tsanawiyah. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Kusmaryanto, C. B., 2015. Bioetika. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nurhayati. 2004. Euthanasia dalam perspektif hak asasi manusia dan kaitannya dengan hukum pidana.
Jakarta barat.
Purwadianto, A., Soetedjo, Budiningsih, Y., Prawiroharjo, P., Firmansyah, A., 2012. Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI
Purwastuti, Lilik. 2015. Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat dari Aspek Hukum Pidana. Diambil dari :
Jurnal Ilmu Hukum
Qardhawi, Y. 1995. Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press.
Theichmann, J. 1998. Pustaka Filsafat Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Torr, J. D., 2000. Euthanasia: Opposing Viewpoints. San Diego: GreenHaven Press (dikutip oleh
Kusmaryanto)
Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Waluyadi. 2000. Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Prespektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik
Kedokteran. Jakarta : Djambatan.
WMA. 1981. WMA Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient. Lisbon
(http://www.wma.net/en/30publications/10policies/l4/, diakses pada 15 Februari 2017)
WMA. 1987. WMA Declaration on Euthanasia. Madrid
(http://www.wma.net/en/30publications/10policies/e13/, diakses pada 15 Februari 2017)
WMA. 2001. World Medical Association Reaffirms Its Opposition To Euthanasia.
(http://www.wma.net/en/40news/20archives/2001/2001_12/, diakses pada 15 Februari 2017)
Wradharma, D. 1996. Penuntun Kuliah Kedokteran. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

23

Anda mungkin juga menyukai