TUGAS AKHIR
UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)
1. Bagaimana anda membuktikan kebenaran sebuah ilmu sebagai produk pemikiran yang tidak
memiliki hakekat kebenaran akan tetapi merupakan dzan (hipotesa) pemikiran yang sesuai
dengan atau hakekat kebenaran itu sendiri ?
2. Bagaimana menerima kelahiran bayi yang baru lahir
a. Kelahiran ditinjau kedokteran
b. Sudut islam
c. Hal-hal yang dianjurkan islam dalam menerima kelahiran bayi
d. Relevansi nasab dalam perkara-perkara (keturunan) yang ada
e. Nasab ditinjau dari sudut pandangan islam
Jawaban
a. Hipotesa 1 (H0) : Transfusi darah (Donor darah) hukumnya haram/dilarang dalam Islam
Hipotesa 2 (H1) : Transfusi darah (Donor darah) diperbolehkan dalam Islam
Pembuktian :
Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution” yang artinya
memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong. Hal ini
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh
Husnain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai berikut:
Artinya: Bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu boleh hukumnya kecuali kalau ada dali
yang mengaramkannya.
Menurut ushul fiqh pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk
najis mutawasithah. Maka dalam kajian ibadah darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan
dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3 yaitu “Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama
selain Allah,..”.
Ayat tersebut di atas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan darah,
baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan darah
dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi
kesehatan jiwa manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi
sebagai berikut:
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya
syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di
dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam
transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat
manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang dapat dipergunakan untuk
menyelamatkan jiwanya. Maka, dalam hal ini najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk
mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang yang menderita kekurangan darah karena
kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima darah dari orang lain. Hal tersebut
sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya darurat.
Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila berhadapan dengan hajat
dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan
karena hajat dan keadaan darurat. Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat
dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil yang
menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian, karena dalam hal ini
darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja.
Memang dalam Islam membolehkan memakan darah binatang bila betul-betul dalam
keadaan darurat, sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur‟an (Q.S Al-Baqarah 173) yang
berbunyi sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika
disembelih disebut nama selain nama Allah, adalah haram dimakan. Akan tetapi apabila dalam
keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa bagi yang
memakannya. Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran
dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat dibenarkan, asal tidak melampaui
batas. Keadaan keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ini
hanya berlaku selama dalam keadaan darurat. Jadi, dalam bab ibadah, transfusi darah dibolehkan
karena dalam keadaan darurat.
Kesimpulan : Hukum terkait pelaksanaan atau melakukan tranfusi darah (donor darah)
yaitu diperbolehkan dalam Islam.
ALAM DUNIA
Dalam rahim tubuh ibunya ovum yang telah dibuahi itu berkembang menjadi beberapa
sel kemudian ia didorong kedalam rahim dalam bentuk morula dan dalam bentuk blastula.
Sesampai di dalam rongga rahim makhluk kecil ini menghujamkan dirinya kedalam kedalam
dinding rahim, peristiwa mana dinamai nidasi. Dengan memperoleh makanan yang lengkap
sebagai manusia. 3 x 40 hari sesudah konsepsi (pembuahan) Allah mengutus Malaikat untuk
meniupkan ruh kedalam mahkluk kecil ini dan terjadilah Integrasi antara Ruh dengan tubuh
fisik sampai dilahirkan.
Allah menjelaskan pembuatan bayi tersbut dalam surat Al’Mu’minun ayat 12, 13, dan
14, yang artinya:
"Dan sesungguhnya kami ciptakan manusia dari suatu sari pati tanah
Kemudian Kami jadikan sari pati itu Nuthfah (konsepsi sperma dan ovum) didalam tempat
yang kokoh (rahim)
Kemudian Nuthfah itu Kami jadikan ‘alaqah (segumpal darah) kemudian ‘alaqah itu Kami
jadikan mudhgah (segumpal daging) dan Kami jadikan Mudhgah tulang belulang. Lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang
(berbentuk) lain, maka Maha Suci Allah, Pencipta yang terbaik".
Nabi Muhammad saw menjelaskan pula tentang kejadian bayi tersebut sebagaimana
hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori :
Abi Aburahman ‘Abdillah meriwayatkan bahwa : Rasullullah saw menjelaskan kepada
kami, beliau adalah seorang yang benar dan dipercaya “Sesungguhnya seorangkamu
dikumpulkan kejadiannya didalam perut ibunya selama 40 hari sebagai nuthfah (telur yang
sudah dibuahi) kemudian menjadi’alaqah (segumpal darah) dengan watu yang sama (40 hari)
kemudian Allah mengirim Malaikat maka dia meniupkan Ruh padanya Allah .Hadist Allah
menjelaskan bahwa Dialah yang membentuknya didalam rahim ibunya sesuai dengan
kehendak-Nya dalam Surah Ali Imron ayat : 6. Dia lah yang membentuk kamu dalam rahim
sebagaimana yang dikehendakinya Yang Maha Perksa dan Maha Bijaksana.”
Allah pulalah yang menentukan jenis bayi sebagaimana dijelaskan dalam surat An Nisa
:
"Hai sekalian manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri (Adam) dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak dan seterusnya.
Dia pulalah yang mengeluarkan bayi dari dalam perut ibunya sebagaimana dijelaskan
oleh Firman Allah dalam surat Aji Hajj ayat 5 :
"Hai manusia jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka
ketahuilah sesungguhnya Kami telah jadikan kamu dari tanah kemudian dari muthfah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiaanya dan kemudian yang tidak
sempurna kejadiannya agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami kehendaki sampai waktu
yang sudah di tentukan ,kemudian (berangsur-angsur) sampai kamu sampailah kedewasaan
dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan ada pula yang dipanjangkan umurnya
sampai1/2 pikun supaya ia tidak mengetahi lagi sesuatu yang sebelumnya telah
diketahuinya.dan kamu lihat bumi ini kering kemudian apabila telah Kami turunkan hujan
maka hiduplah bumi ini dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan
yang indah".
Bayi yang dibentuk dalam rahim ini bila ia laki-laki akan dijadikan Allah khalifahnya dan
bila ia perempuan akan dijadikan isteri pendamping khalifah Allah sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 30.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaiakt, sesungguhnya Aku akan
menjdikan seorang khalifah dimuka bumi dan seterusnya.”.
Hukum Islam melarang seorang ayah mengingkari nasab anak-anaknya, demikian pula
seorang ibu diharamkan menghubungkan nasab anak bukan pada ayah yang sebenarnya.
Demikian pula hukum Islam mengharamkan menghubungkan nasab anak kepada ayah
angkatnya. Hal ini berdasarkan hadits:
“Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari
kaum tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan
memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya."
"Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat
kepadanya, maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya
di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).
Seperti yang sudah disebutkan di atas, ketika membicarakan nasab, maka biasanya juga
akan membahas mengenai hak waris dan juga perwalian. Dalam Islam mengatur, jika pihak
istri meninggal dan tidak memiliki anak dalam pernikahan, maka suami mendapat bagian
setengah dari harta warisnya.
Sementara itu, jika sang istri yang meninggal dan memiliki anak, maka suami juga
mendapat seperempat dari harta warisnya. Apabila suami meninggal dan tidak memiliki anak,
maka istri mendapat bagian seperempat dari harta waris.
Sementara itu, bila suami yang meninggal dan memiliki anak, maka si istri mendapat
seperdelapan dari harta waris Pembagian hak waris ini diketahui berdasarkan ayat:
“Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar utangnya."
"Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu,” (Surat An-Nisa’ ayat 12).
Kata nasab yang sering kita dengar tentunya berasal dari bahasa arab yakni kata “an
nasab” yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yakni keturunan atau kerabat. Kata nasab
juga berarti memiliki ciri atau atau memberikan karakter keturunannya. Adapun dalam kamus
besar bahasa Indonesia kata nasab itu sendiri tidak memiliki perbedaan ari atau pergeseran
makna. Nasab dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya keturunan terutama keturunan
dari pihak bapak.
Nasab juga diartikan sebagai suatu tali yang menghubungkan keluarga dan hubungan
darah lainnya. Sedangkan secara istilah, nasab memiliki arti keturunan yang didapat dari
pernikahan sah dan memiliki ikatan atau hubungan darah yang disebut keluarga baik yang
merupakan hubungan darah yang bersifat vertikal atau ke atas seperti ayah, ibu, kakek, nenek
dsb ataupun yang bersifat horizontal atau menyamping seperti paman, bibi, saudara dll.
Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu
pada Alquran dan Sunnah menganut sistem bilateral/parental. Sedangkan Ulama Fiqih
berpendapat bahwa nasab dalam agama islam cenderung menganut sistem patrilineal. Hal
tersebut ditegasakan sesuai dengan dalil berikut ini :
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;
dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu
hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya.Dan dia
menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-
sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”
Pertama, suami telah dewasa serta matang dalam hal biologis sehingga ia
dipastikan dapat memberi keturunan, apabila ia tidak dapat memberi keturunan atau
memiliki penyakit kelamin, maka ia tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang anak.
Kedua, usia janin atau kandungan sang istri haruslah setidaknya berusia enam
bulan sejak pernikahan. Hal ini sesuai dengan mahzab Hanafi namun berdasarkan
pendapat mahzab yang lain usia kandungan haruslah terhitung enam bulan atau lebih
sejak terjadi persetubuhan setelah pernikahan jika usianya kurang maka anak tersebut
tidak dapat dikaitkan nasabnya dengan sang suami.
Ketiga, adanya persenggemaan atau persetubuhan antara suami dan istri setelah
menikah secara lahiriyah atau bilogis hal ini sesuai dengan pendapat tiga mahzab
sedangkan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hubungan tersebut boleh bersifat
imajinasi atau akal saja. Meskipun demikian tetap saja anak yang diakui dalam nasab
adalah anak yang didapt melalui hubungan lahiriyah dan jika sang suami merasa tidak
pernah menggauli sang istri namun sang istri hamil maka ia boleh menjatuhkan tuduhan
li’an atau anak tersebut bukanlah anak kandungnya melainkan hasil perzinahan atau
perselingkuhan dalam rumah tangga (baca zina dalam islam)
Demikianlah arti nasab dan sebab penentuan nasab seorang anak berdasarkan fikih
klasik. Dengan demikian dapat disimpulkan seorang aanak dapat terikat nasab dengan
ayahnya atau seorang laki-laki jika memenuhi sebab-sebab diatas dan jika tidak maka
nasabnya terkait dengan ibunya saja. Dampak atau pengaruh dari nasab inilah yang akan
menentukan mahram atau wanita yang haram dinikahi , hubungan kekerabatan, perwalian
nikah pemberian nafkah, waris serta untuk mencegah terjadinya konflik dalam keluarga
maupun pernikahan sedarah yang tidak diperbolehkan dalam islam.