Anda di halaman 1dari 23

PENGENDALIAN NAFSU SEBAGAI IMPLEMENTASI KONSEP

WIHDAT AL WUJUD
(Studi Pemikiran Syeikh Abd Shamad al-Palimbani dalam
kitab Sayr al Salikin Ila Ibadat Rab al-Alamin)
Tugas Mata Kuliah: Studi Naskah Klasik Nusantara
Dosen Pengampu: Dr. Faisol Fatawi, M. Ag

Febrian Zainiyatul Firdaus


15750021

PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015-2016
A. Latar Belakang
Naskah klasik nusantara merupakan lahan kajian ilmiah
yang tidak pernah kering. Ratusan karya para ulama menjadi

pedoman ngaji baik di nusantara sendiri maupun di negeri


seberang. Baik ulama yang mengabdikan hidupnya untuk
mengajar di nusantara, maupun yang menyiarkan dakwahnya
lebih luas lagi melalui jaringan ulama internasional tanpa
meninggalkan kecintaan dan perhatiannya terhadap isu-isu di
tanah air.
Tak pelak lagi, Abd al-Shamad al-Palimbani merupakan
ulama Melayu-Indonesia paling menonjol dalam jaringan ulama
abad ke-18 dalam bidang spesialisasinya tasawuf. Namun
peranan pentingnya dipandang dari sudut perkembangan
Islam di nusantara tidak hanya keterlibatannya dalam jaringan
ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya
yang dibaca secara luas di wilayah Melayu-Indonesia. Dalam
karya-karyanya,

al-Palimbani

menyebarkan

bukan

hanya

ajaran-ajaran para tokoh neo-sufisme, tetapi juga mengimbau


kaum muslim melancarkan jihad melawan orang-orang Eropa
terutama
mereka

Belanda

yang

menundukkan

terus

menggiatkan

entitas-entitas

politik

usaha-usaha
muslim

di

nusantara.
Fokus dan konsen pada bidang tasawuf, al-Palimbani
menuangkan

pemikirannya

dalam

karya-karya

monumentalnya. Diantaranya karyanya tersebut adalah Sayr


al-Salikin Ila Ibadat Rabb al-Alamin. Kitab terakhir yang
ditulisnya ini merupakan kompilasi dari karya-karya al-Ghazali
yang berisikan tentang tuntunan bagi seorang salik untuk
menuju kepada tuhannya.
Basic tasawuf yang didapat al-Palimbani dari Syeikh alSamman, yang banyak mengajarkan tentang konsep tasawuf
Ibnu Arabi jelas mengakar kuat dalam diri al-Palimbani.
Namun dalam pengembaraan keilmuannya, al-Palimbani lebih
banyak membaca dan belajar tasawuf sunni yang dianut al-

Ghazali. Dalam kitab Sayr al-Salikin ini al-Palimbani mencoba


menjembatani antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni atau
akhlaqi.
Salah satu konsep yang diambil al-Palimbani adalah
konsep wihdah al-wujud yang harmoni dengan konsep yang
diusung

Ibnu

Arabi.

Meski

demikian,

al-Palimbani

menginterpretasikannya melalui pemikiran-pemikiran tasawuf


al-Ghazali dalam suluk yang mesti dilaksanakan dengan jalan
pengendalian nafsu dalam berbagai martabatnya. Dalam pasal
inilah, analisis konten kitab Sayr al-Salikin ila Ibadat Rabb
al-Alamin akan ditulis.
B. Biografi Abdul Shamad al-Palimbani
Bernama lengkap Abd Al-Shamad ibn Abdullah Al Jawi AlPalimbani, meski sumber-sumber Arab menamakannya Sayyid
Abd Al-Shamad ibn Abd Al Rahman Al-Jawi.1

Al-Palimbani

lahir sekitar 1116/1704 di Palembang dari percampuran darah


Arab dan Palembang. Ayahnya Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh
Abdul Wahid bin Syeikh Ahmad Al Mahdani yang merupakan
keturunan dari Yaman,

sedangkan ibunya yang merupakan

istri kedua dari Syeikh Abdul Jalil seorang gadis asli Palembang
bernama Raden Ranti. Al Palimbani memiliki dua saudara dari
istri pertama ayahnya Wan Zainab Putri Dato Sri Mahareja
Dewa yaitu Wan Abdu Qadir dan Wan Abdullah.

Ayah Al

Palimbani dikatakan berasal dari Sanaa, Yaman dan sering


melakukan perjalanan ke India dan Jawa sebelum menetap di
Kedah di Semenanjung Melayu. Selanjutnya pada tahun 1112
H/1700 M diangkat sebagai mufti di kesultanan Kedah.2
Al Palimbani hidup dari rentang masa dasawarsa pertama
hingga abad ke-18. Al Baythar menyatakan Al Palimbani
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 307

meninggal dunia setelah 1200/1785,3 tetapi kemungkinan


besar dia meninggal dunia setelah 1203/1789 pada tahun
beliau menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling
masyhur, Sayr Al-Salikin yang penulisannya dimulai pada saat
Al Palimbani berusia 75 tahun.4
Al-Palimbani untuk pertama kali mengenal dasar-dasar
Islam dari ayahnya yang tak lain adalah seorang guru agama
yang cukup dikenal di Palembang. Selain dari ayahnya ia juga
mendapatkan dasar agama Islam dari Ibunya yang terus
membimbingnya setelah ayahnya kembali bertugas menjadi
mufti di negeri Keddah.
Al-Palimbani mendapatkan pendidikan awalnya di tempat
dia dibesarkan, yaitu Keddah dan Patani. Kemudian Syeikh
Abdul Jalil mengantar semua anaknya ke pondok di negeri
Patani. Di antara pondok-pondoknya adalah Pondok Bendang
Gucil di Kerisik, dan Pondok Kuala Berkah atau pondok Semala.
Sistem pondok ini, terkenal dengan hafalan matan-matan ilmu
Arabiyah yang terkenal dengan, Ilmu Alat Dua Belas, diajarkan
pula kitab matan-matan fiqh dalam mazhab Syafii dan tauid
dengan menghafal kitab matan dalam mazhab al-Asyari dan
al-Maturidi.5 Di antara para gurunya di Patani, yang dapat
2 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara; Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 106
3 Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 308. Azra mengutip dari
catatan-catatan Al Palimbani dalam kolofon jilid keempat karyanya,
Sayr al Salikin ila Ibadat Rabb al-Alamin, 4 jilid, (Kairo: Mushtafa alBabi al Halabi, 1372/1933)
4 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 104
5 Ali Muchtar, Shaykh Abd Shamad Al-Palimbani; Alim Nusantara Abad
Ke XVIII, (Pathani;tt), hlm. 2

diketahui dengan jelas hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin


Abdul Mubin Pauh Bok.6
Syeikh Abdul Jalil kemudian mengantarkan al-Palimbani
ke Arabia. Di negeri barunya ini beliau terlibat dalam
masyarakat Jawa dan menjadi kawan seperguruan baik di
Mekkah maupun Madinah dengan ulama nusantara lainnya
seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis,
dan Abdul Rahman al-Batawi yang terkenal dengan empat
serangkai. Keterlibatannya dalam komunitas ini membuatnya
tetap tanggap terhadap perkembangan-perkembangan sosioreligius dan politik nusantara.7
Di tanah haramain ini, al-Palimbani dan kelompoknya
berguru pada beberapa ulama, yang paling masyhur diantara
mereka adalah Muhammad bin Abd al-Karim al-Sammani,
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan Abd al-Munim alDamanhuri. Disebutkan pula nama-nama lain seperti Ibrahim
al-Rais merupakan ahli dalam ilm falak (ilmu astronomi),
Muhammad Murad seorang ahli sejarah yang merupakan tiang
syariat dan rumah pengetahuan di Syria, Muhammad Al
Jawhari seorang muhadditsin terkemuka, dan Athaillah alMashri yang juga seorang muhaddits handal. Melihat dengan
siapa dia belajar, pendidikan al-Palimbani sangat tuntas, dia
telah mempelajari ilmu hadis, fikih, syariat, tafsir, kalam, dan
6 Merujuk pada catatan Al-Palimbani dalam kitab Al-Urwatul Wutsqa
yang ditulis dalam bahasa Melayu, beliau menamakan dirinya dengan
Lebai Abdus Shamad al-Jawi al-Fathani, dikatakan bahwa beliau
menerima talqin baiat zikir dari Syeikh Abdur Rahman bin Abdul
Mubin Pauh Bok al-Fathani. Lihat al-Palimbani, al-Urwatul Wutsqa, hlm.
6
7 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 308-309

tasawuf. Al-Palimbani tampaknya mempunyai kecenderungan


kuat terhadap mistisisme dan tasawuf.8
Dalam bidang tasawuf, al-Palimbani mempelajari sebagian
besarnya dari al-Sammani yang darinya juga dia mengambil
tarekat Khalwatiyyah serta Sammaniyah.9 Dia belajar selama 5
tahun di Madinah. Dia juga dipercaya untuk mengajar muridmuridnya yang sebagian merupakan orang asli Arab serta
mendapatkan

ijazah

untuk

mendapatkan

ijazah

untuk

memperkenalkan dan mengajarkan tarekat Sammaniyah di


nusantara.10
Agaknya, al-Palimbani belum merasa cukup puas dengan
ilmu tasawuf yang ia dapatkan di haramain. Atas anjuran dari
8 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hlm. 319-312
9 Tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad bin Abd al-Karim alMadani al-Shafii al-Sammman atau lebih dikenal dengan Syeikh
Samman. Dalam perkembangannya, Syeikh Samman membuka branch
tarekat Khalwatiyyah. Syeikh Samman juga mempelajari tarekat lain
seperti Naqshabandiyyah, Qadiriyyah, dan Shadziliyyah. Melihat hal ini,
amaliyah tarekat ini merupakan kombinasi dari berbagai macam
tarekat, baik itu ritual, invocation (doa), recitation (wirid), maupun
instrumen msitik lain seperti qasidah. Tarekat ini kemudian menjadi
tarekat yang fenomenal di nusantara terutama di Sulawesi Selatan
yang disebut dengan tarekat Khalwatiyyah Sammaniyyah. Di
Indonesia, Tarekat ini mulanya berkembang di Aceh pada abad ke-16.
Tampaknya hal ini berdasarkan pada konsep tasawuf wahdat al wujud
yang telah berkembang di Aceh. Ratib Samman menjadi budaya dan
tradisi, bahkan tari Meusaman atau Seudati sering dihubunghubungkan dengan tarekat ini. Di Palembang tarekat ini dibawa oleh alPalimbani, di Kalimantan Selatan disebarkluaskan oleh Nafis al-Banjari,
serta di Sulawesi Selatan dibawa oleh Yusuf al-Makassari. Baca lebih
lengkap di Sri Mulyati, Mutabara Tariqas (Notable Sufi Orders) in
Indonesian Islam, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Kementrian Agama RI, 2011), hlm. 217-234.
10 Al-Palimbani, Sayr al Salikin ila Ibadat Rab al-Alamin, Juz III,
(Indonesia: Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, tt), hlm. 39, 178, dan 203

Syeikh al-Samman, dia meneruskan belajarnya kepada Syeikh


Abdurrahman bin Abd al-Aziz al-Maghribi. Ia Belajar tentang
tasawuf dan filsafat, antara lain kitab al-Tuhfah al-Mursalah ila
Ruh al-Nabiyy karya Syeikh Faddlullah al-Burhanfuri al-Hindi.11
Pada tahun 1764 M ia menulis kitabnya yang pertama,
tentang ilmu tauhid yaitu Zuhrah al-Murd f Bayn Kalimah alTauid yang berisi tentang ringkasan kuliah-kuliah tauhid yang
diberikan di Masjidil haram oleh Ahmad ibn Abd al-Munim alDamanhuri dari Mesir. Pada tahun 1765 M ia menulis Nasihah
al-Muslimin wa Tadzkirah al-Muminin fi Falail al-Jihad fi
Sabilillah

wa

Karamah

al-Mujahidin

Sabilillah

yang

mengilhami orang-orang Aceh melawan Belanda. Pada tahun


1774 M atas permintaan Sultan Najmuddin untuk menulis
mengenai hakikat iman dan hal-hal dapat merusaknya. Untuk
memenuhi permintaan itu ia menulis Tufah al-Raghibin fi
Bayan Haqiqah Iman al-Muminin wa ma Yufsiduhu fi Riddah alMurtaddin.12
Meskipun mendalami tasawuf, tidak berarti Al-Palembani
tidak kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang
mempraktikkan tarekat secara berlebihan, khususnya tarekat
Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak
kesesatan

di

Aceh.

Untuk

mencegah

apa

yang

diperingatkannya itu, Al-Palimbani menulis intisari dua kitab


karangan ulama dan ahli falsafah abad pertengahan Imam AlGhazali, yaitu Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah)
pada

tahun

menambahkan

1778
di

dalam

dalamnya

bahasa

soal-soal

Melayu

yang

dengan

dianggapnya

11 Abu Bakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik,


(Solo: Ramadhani, 1963), hlm. 353
12 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 107

sangat perlu diketahui oleh setiap muslim (Hidayat al-Salikin).


Selain itu ia juga menerjemahkan kitab Lubab Ihya Ulumudin
(Intisari Ihya Ulumuddin) dengan judul Sayr al-Salikin yang ia
selesaikan pada tahun 1788 H. Dua karya Imam Al-Ghazl ini
dinilainya secara moderat dan membantu membimbing
mereka yang mempraktikkan aliran sufi.13
Al-Palimbani, sebagaimana dikisahkan tidak kembali ke
nusantara. Dia mencurahkan waktunya di Haramain untuk
menulis dan mengajar. Beliau juga merasa leih tepat di sana
untuk meneriakkan seruan jihad fi sabilillah yang dikatakan
sebagai spesialisasinya, karena dari sana ia menyerukannya ke
seluruh penjuru dunia Islam.14

C. Karya-Karya Abd Al-Shamad Al-Palimbani


Menurut Chatib yang mengutip dari Drewes mengatakan
bahwa, karya tulis Al-Palimbani berjumlah tujuh buah,

dua

sudah dicetak, empat buah masih berbentuk naskah dan


sebuah baru dikenal namanya saja. Chatib juga menjelaskan
Al-Palimbani juga menyebutkan pula sebuah tulisan yang lain,
sehingga semua karya tulisnya berjumlah delapan buah
seperti berikut:15
1.
Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, sebuah kitab
dalam bahasa Melayu yang berisi kumpulan catatan-

13 Martin Van Bruissen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, hlm. 63


14 Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara, hlm. 112, lihat juga Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama, hlm. 313
15 Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga
Kini di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 71

catatan
2.

kuliah

dari

gurunya

al-Damanhuri.

Kitab

ini

membahas tentang mantiq dan ushuluddin.16


Nasihah al-Muslimin wa tadzkirah al-Muminin fi Fadlail alJihad fi Sabilillah wa Karamah al-Mujahidin fi Sabilillah.
Ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Berisikan syair
dari penyair Aceh dalam perjuangan melawan Belanda

3.

pada perang suci pada akhir abad ke-19.17


Tuhfah al-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman al-Muminin wa
ma Yufsiduhu fi Riddah al-Murtaddin,berbahasa Melayu

4.

yang ditulis atas permintaan Sultan Palembang.


Al Urwah al-Wutsqa wa Silsilah Uli al-tuqa, berisikan wiridwirid berbahasa Arab yang harus dibaca dalam waktuwaktu

5.

tertentu.

Namun

sayang

naskahnya

belum

ditemukan hingga saat ini.18


Hidayah al-Salikin fi Suluk Maslak al-Muttaqin, merupakan
terjemah dari kitab Bidayah al-Hidayah al-Ghazali dengan
pasal dan bab yang agak berbeda dikarenakan tambahan

6.

pemikiran dari al-Palimbani sendiri.19


Ratib Abd al-Shamad, memuat bacaan-bacaan zikir, doa-

7.

doa, dan pujian kepada nabi Muhammad SAW.


Sayr al-Salikin ila Rab al-Alamin, terdiri dari 4 juz,
merupakan kompilasi dari kitab Ihya Ulum al-Din, Minhaj
al-Abidin, al-Arbain fi Ushul al-Din, Bidayah al-Hidayah, al-

16 Liaw Yock Fang, Sejarah Kesustraan Melayu Klasik, Jilid. II, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2011), hlm. 7
17 Khamami Zada dkk, Intelektualisme Pesantren, (Diva Pustaka,
2003), hlm. 142
18 Lihat Alwi Shihab, Islam Sufistik, hlm. 71. Lihat Juga Khamami Zada,
dkk, Intelektualisme Pesantren, hlm. 143
19 Alwi Shihab, Islam Sufistik, hlm. 72. Lihat Juga Khamami Zada, dkk,
Intelektualisme Pesantren, hlm. 143-144

Nafhatul Ilahiyyah, serta beberapa karya para guru dan


syeikhnya.
8.
Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-Alamin.20
D. Sekilas Tentang Kitab Sayr Al Salikin ila Ibadat Rab
al-Alamin
Sayr al Salikin ila Ibadat Rab al-Alamin merupakan
sebuah karya agung dan terakhir tasawuf dalam bahasa
Melayu. Secara global kitab ini membicarakan tentang seorang
salik dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Kitab ini
berusaha memadukan inti ajaran wahdat al wujud Ibnu Arabi
dengan prinsip-prinsip ajaran al-Ghazali. Kitab ini terdiri dari 4
juz yaitu sebagai berikut:
- Juz pertama membahas tentang ilmu ushuluddin dan segala
perkara yang berkaitan dengan akidah dan ketaatan dalam
-

ibadah lahiriah.
Juz kedua membahas tentang adat yaitu mengenai hukum
dan adab yang berlaku pada adat seperti tata cara makanminum, pernikahan, hukum halal haram, muamalah, dan

sebagainya.
Juz ketiga membahas tentang muhlikat yaitu perkaraperkara yang membinasakan semua amal, yaitu maksiat

baik lahir maupun batin.


Juz keempat membahas tentang munjiyat yaitu perkaraperkara yang akan menyelamatkan dari muhlikat di awal.21
Sebagian besar kitab ini merupakan terjemah dari

Lubab al-Ihya, mukhtashor Ihya Ulum al-Din. Al-Palimbani juga


menambahkan naqalan dan kutipan dari berbagai kitab lain
seperti karya-karya al-Ghazali Bidayah al-Hidayah, Jawahir alQuran, Minhaj al-Abidin, serta Arbain fi Ushul al-Din. Al20 Alwi, Islam Sufistik, hlm. 72
21 Muin Umar, Terjemah Sair al-Salikin, (Banda Aceh: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum
Negeri Aceh, 1985), hlm. 6-7

Palimbani juga menyempurnakannya dengan menambahkan


literasi dan rujukannya dari berbagai kitab lain dari para
masyayikh seperti Nashaih al-Diniyyah, Futuhat al-Makiyyah,
Hikam ibn Ruslan, Masyariq al-Anwar, Tuhfat al-Muhtaj, Ghaits
al Mawahib al-Aliyyah, dan berbagai literatur lain.

E. Analisis Konten
Sebagian kalangan

menyangsikan

corak

pemikiran

tasawuf al-Palimbani, apakah cenderung tasawuf sunni alGhazali atau tasawuf falsafi golongan Wihdatul Wujud yang
diajarkan Ibn Arabi.22 Namun jika kita lihat dari karya-karyanya
yang merupakan representatif dari pemikiran al-Palimbani,
dalam ajaran tasawufnya, al-Palimbani memberi tekanan kuat
pada

penyucian

pencarian

pikiran

mistisisme

dan

perilaku

spekulatif

dan

moral

ketimbang

filosofis.

Dengan

ungkapan lain, tasawuf al-Palimbani lebih merupakan tasawuf


akhlak atau tasawuf amali ketimbang tasawuf falsafi.23 Karena
pandangan pemikiran Ibnu Arabi ditafsiri dari sudut pandang
ajaran-ajaran

al-Ghazali.

Kitab

ini

berusaha

memadukan

wihdatul wujud Ibnu Arabi dengan prinsip-prinsip ajaran alGhazali. Kedua ajaran tokoh sufi tersebut tidak dipandang
sebagai dua aliran tasawuf yang berbeda dan tidak mungkin
disesuaikan,

tetapi

sebagai

ajaran

yang

dapat

saling

melengkapi. Dengan pengertian lain, setiap ajaran Ibnu Arabi


22 Tasawuf Sunni merupakan tasawuf yang masih memegang landasan
al quran dan as sunnah. Sedangkan tasawuf falsafi merupakan
tasawuf yang menekankan pada mistik metafisis, diantaranya
tokohnya adalah Ibn Arabi dan Hallaj. Tasawuf ini menekankan kajian
filsafat tentang Allah, terutama dengan menggunakan analisis para
Filosof Yunani seperti teori emanasi Neo Platonisme dalam berbagai
variasinya. Lihat Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani, (Malang: UIN Maliki
Press, 2010), hlm. 26

10

pasti selalu dimodifikasi, diarahkan, dan atau dihiasi dengan


tasawuf sunni ajaran al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari bentuk
pengimplementasian

tarekat

yang

dikembangkannya

di

nusantara.
Sisi tasawuf falsafi al-Palimbani dapat kita lihat dari
tinjauannya dalam menyoroti kasus wahdat al wujud Ibnu
Arabi sendiri yang diungkapkan dalam 7 tingkatan wujud yang
juga sering disebut dengan tawhid al-shiddiq. Tujuh tingkatan
wujud ini pada dasarnya sama dengan doktrin wahdah alwujud Ibn Arabi yang menyatakan semua wujud ciptaan dapat
eksis hanya jika tuhan mengungkapkan diri-Nya.24 Namun alPalimbani

menafsirkannya

melalui

penjelasan

tentang

tingkatan wujud yang akan dilalui seseorang dengan cara


menaklukkan hawa nafsu yang terdapat dalam dirinya. Hal ini
menunjukkan

bahwa

al-Palimbani

berhasil

mendamaikan

tradisi IbnuArabi dengan tradisi al-Ghazali.


Nafsu sendiri dilihat dari madlul kalimatnya diartikan
sebagai al-Insan dengan ruh dan jasadnya. Nafsu inilah yang
dimaksud dalam al-quran sebagai penerima syariat, parintah
maupun larangan seperti dalam firman Allah SWT:25
23Tasawuf Akhlaqi, tokoh terkenalnya adalah Hasan al-Bashri sebagai
tasawuf yang menekankan pada pembahasan etika, etika yang mulia,
dan bahkan etika yang sangat sempurna sebagaimana yang
dikehendaki oleh Rasulullah. Sedangkan tasawuf amali atau ada yang
menyebutnya tasawuf irfani atau tasawuf dzauqi yang menekankan
intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual
dalam beribadah (al-ibadah) sehingga mencapai tingkat al-ubudiyyah
dan selanjutnya berada tingkat tertinggi menjadi al-abbudah. Lihat
lagi Dahlan Tamrin, Tasawuf Irfani, hlm. 25-26
24 Al-Palimbani, Sair al-Salikin, juz. 1, hlm. 17-18

25 Khalil Muhammad Khalil, Al-Nafsu al-Basyariyyah Kama Tahddatsa


Anha al-Quran, (Riyadh: Jamiatu al-Imam Muhammad bin Saud al-

11

Nafsu juga diartikan sebagai ruh. Maka nafsu terbagi


menjadi dua yaitu nafsu yang hilang dengan hilangnya
kehidupan, serta nafsu yang hilang dengan hilangnya akal.26
Adapun hawa nafsu yang ada dalam diri manusia menurut
-

al-Palimbani adalah:
Nafs al-ammarah
Nafs al-lawwamah
Nafs al mulhamah
Nafs al muthmainnah
Nafs al-radliyyah
Nafs al-mardliyyah
Nafs al-kamilah.
Upaya menaklukkan

hawa

nafsu

ini

menurut

al

Palimbani merupakan perjalanan kembali kepada ilahi dengan


menapaki tanazzulat dalam martabat tujuh. Yaitu perjalanan
dari tingkat terendah dan paling konkret menuju tingkat
tertinggi dan paling abstrak.
Sejalan dengan pendapat al-Palimbani, Syeikh Abdul
Muhyi pun mengungkapkan 7 martabat yang akan dilalui
Islamiyyah al-Idarah al-Ammah li al-Tsaqafah wa al-Nasyr, 2001), hlm.
14-15
26 Khalil Muhammad Khalil, Al-Nafsu al-Basyariyyah. Hlm. 15

12

seorang

salik

(penempuh

jalan

spiritual)

dalam

proses

mendekatkan diri kepada Allah, yakni dengan cara membina


hawa nafsu. Ketujuh martabat tersebut adalah:
1. Menaklukkan nafs al-lawwamah, yaitu sifat dasar jiwa yang
cenderung memiliki penglihatan remang-remang terhadap
kebenaran.
2. Membina nafs al-sawiyyah, yaitu nafs (hati, jiwa) manusia
yang mempunyai satu rasa dan satu kehendak dengan
Allah.
3. Menanamkan nafs al-salbiyyah, yaitu semua tindakan,
ucapan, kelakuan, itikad dan pekerjaan tidak boleh lengah
dari hakikat dan syariat.
4. Memantapkan nafs al-muthmainnah, yaitu sifat yang berupa
penglihatan, ucapan, perbuatan yang senantiasa disaksikan
oleh Allah dan bermuara pada dorongan nurani.
5. Mengukuhkan nafs al-tawajjuh, yaitu nafs (hati,

jiwa)

manusia yang telah sempurna dan sudah terbuka di alam


malakut.
6. Melalui nafs al-mujarrad, yaitu jiwa manusia yang terbuka di
alam jabarut.
7. Memasuki nafs al-rabbaniy, yaitu nafs yang paling selamat
karena kesaksiannya (syuhud) dan keterliputannya (ihathah)
di dalam zat Allah yang telah terbuka di alam lahut. Di
dalam tingkatan murid, orang yang telah sampai pada nafs
al-rabbaniy disebut dengan kamil al-mukammil.27
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui baik
al-Palimbani
menggunakan

maupun
7

Syeikh

proses

Abdul

spiritual

Muhyi

yang

sama

ternyata
dalam

mengungkapkan penyatuan manusia dengan Allah. Sekalipun


terjadi perbedaan terminologi, akan tetapi konsepsi keduanya
tetap bermuara pada pandangan yang sama yakni bahwa
27 Syeikh Abdul Muhyi, Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah, (tt), hlm. 12-45

13

tingkat

tertinggi

dari

jalan

spiritual

seseorang

adalah

terbukanya alam lahut melalui proses fana. Seorang murid


yang sampai pada tingkat ini disebut kamil al-mukammil. Pada
tingkat

kamil

al-mukammil

juga

sirnalah

sifat

nasut

(kemanusiaan) seorang hamba diganti dengan sifat-sifat Allah


yang terlekatkan dalam dirinya, sehingga terbukalah baginya
pintu alam lahut (ketuhanan). Dengan kata lain terbukanya
alam lahut ini terjadi ketika ada penyaksian dan keterliputan
diri hamba pada zat Allah.28
Al Palimbani kemudian menerangkan juga bahwa untuk
mencapai tujuan demikian, perjalanan ruhani sufi atau calon
sufi

dimulai

dengan

perjuangan

menundukkan

nafs

al-

ammarah yang cenderung pada kejahatan. Nafsu ini dalam al


quran disebut sebagai nafs al-lawwamah. Allah bersumpah
dengan menggunakan nafs al-lawwamah dalam al quran:



.
: . :

29

28 M. Wildan Yahya, Menyingkap Tabir Spiritual Syeikh Abdul Muhyi


(Wali Pamijahan); Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi Nusantara Abad XVIIXVIII, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 103
29 Khalil Muhammad Khalil, Al-Nafsu al-Basyariyyah, hlm. 21-22

14

Perjalanan pada tahap ini identik dengan perjalanan


pada

alam al-ajsam.

Disebut

oleh

al-Palimbani

sebagai

perjalanan ila Allah (menuju Allah) dengan melalui syariat.30


Secara rinci al-Palimbani menerangkan kaifiyah
melawan nafs al-ammarah dengan mensucikan diri dari segala
sifat yang jahat dan perangai yang tercela. Al-Palimbani
berpegang pada hadis nabi:

Perangai yang baik

akan menghancurkan segala

kejahatan seperti matahari menghancurkan air yang beku.


Diantara riyadhah pensucian nafs al-ammarah adalah
dengan sedikit makan, sedikit minum, dan sedikit tidur. AlPalimbani mengatakan bahwa ketiga

hal ini merupakan

beberapa sebab untuk diberikan hidayah dan terlepas dari


nafs al-ammarah.31 Dalam hal ini al-Palimbani mengutip
perkataan Syeikh Mushtafha al-Bakri:

Riyadhah dengan mengurangi makan, minum, serta


tidur

akan

menghasilkan

hati

yang

jernih,

karena

dari

mengurangi makan, minum dan tidur akan melatih sifat halim


dan sabar. Adapun hikmah dari mengurangi tidur akan
memberikan kesempatan untuk lebih dekat kepada Sang

30 Al-Palimbani, Sayr al-Salikin, juz. 2, hlm. 27


31 Al-Palimbani, Sayr al-Salikin, juz.3 hlm. 17-18

15

Pencipta,

dengan

memanfaatkan

keberkahan

yang

telah

dijanjikan Allah dalam qiyam al-lail.32


Al-Ghazali menerangkan dalam Ihya Ulum al-Din bahwa
salah satu tariqah lain untuk mensucikan diri dari nafs alammarah adalah dengan memperbanyak wirid dan zikir baik
dalam keadaan duduk, berdiri, dan berbaring dan pada setiap
keadaan.

Ketahuilah

bahwa

mengekalkan

zikir

itu

akan

menghapus segala penyakit batin seperti sombong, ujub,


riya, dengki, berbuat jahat kepada manusia, menipu orang,
suka dipuji, dan lain sebagainya.
Perjalanan ini mesti diteruskan dengan perjalanan
kedua, yakni upaya menaklukkan nafs al-lawwamah yang
memiliki sifat-sifat menyesali diri jika kekurangan. Perjalanan
pada tahap ini identik dengan perjalanan pada alam al-mitsal.
Perjalanan demikian disebut dengan perjalanan lillah (karena
Allah), melalui tarekat. Langkah kedua ini di tafsirkan alPalimbani melalui pembahasan pada bab Marifatu Aib alNafs. Disini akan dijelaskan tentang tahapan-tahapan hingga
berhasil menaklukkan nafs al-lawwamah.
Pembahasan ini dimulai dengan sabda nabi:

Al-Ghazali menafsirkannya dengan menyatakan ada


empat jalan untuk mengetahui aib diri sendiri. Pertama, duduk
bersama

mursyid

kejelekan

nafs

maupun

baiah

yang

dianggap

al-ammarah.
dari

mengetahui

Kemudian

mursyidnya

tentang

mengambil

tersebut.

murid

zikir
juga

diharapkan untuk mencintai syeikhnya lebih dari kecintaannya


pada istri, anak, orang tua, bahkan dirinya sendiri. dari sini
seorang murid akan mendapatkan barokah sehingga mampu
mengetahui aib dirinya.33 Kedua, bersungguh-sungguh dalam
mensucikan diri dari segala kejelekan sepuluh dan bertahalli
32 Al-Palimbani, Sayr al Salikin, juz.3, hlm. 18-19

16

dengan sifat-sifat yang baik. Al-Palimbani berdalil dengan


sabda nabi:

Barang siapa telah mengenal dirinya sendiri maka ia

telah mengenal tuhannya34


Ketiga, mengetahui kekurangan diri sendiri dari orang
yang dengki dan tidak suka. Jika telah diketahui kekurangan
diri sendiri, maka jauhilah dan perbaikilah. Hadapilah dengan
tawadhu serta jangan menampakkan sifat takabbur, karena
takabbur merupakan maksiat yang paling besar. Hal ini sejalan
dengan hadis:35

Tidak akan masuk surga, seseorang yang ada dalam


hatinya takabbur meski sekecil biji zarrah.
Keempat, menyesali kekurangannya

serta

bergaul

dengan orang-orang baik. Lingkungan sosial yang beragam


akan mengajarkan kita tentang baik dan buruk, semakin
banyak kita bermuamalah, maka akan semakin banyak pula
pengetahuan tentang watak, tabiat, serta perangai manusia.
dikisahkan dalam salah satu riwayat bahwa nabi Isa pernah
ditanya seseorang tentang akhlak dan perangai yang baik:

: :

(seseorang bertanya) siapa yang mengajarkanmu budi


pekerti yang baik?. Nabi Isa menjawab: Tidak ada seorangpun

33 Al-Palimbani, Sayr al Salikin, juz. 3, hlm. 38


34 Al-Palimbani mengkategorikan perkataan ini sebagai hadis, meski
pendapat lain mengatakan bahwa pernyataan ini merupakan qaul
shahabah/qaul ulama.
35 Al-Palimbani, Sayr al Salikin, juz. 3, hlm. 41

17

yang mengajariku. Aku melihat hal yang jahat maka aku


jauhi.36
Al-Ghazali juga menambahkan:



Kemudian
menempuh

nafs

diteruskan
al-mulhamah

lagi
yang

dengan
memiliki

perjalanan
sifat-sifat

pemurah dan berbuat kebaikan. Perjalanan pada tahap ini


identik dengan perjalanan pada alam al-arwah dan disebut
sebagai perjalanan ala-Allah (atas kehendak dan kuasa Allah).
Selanjutnya seorang sufi akan memasuki perjalanan
berikutnya yakni pada nafs al-mutmainnah, yang memiliki
sifat-sifat murah hati (jud) dan berakhlaq dengan akhlaq Nabi
SAW. Tahap ini identik dengan peringkat al-wahidah atau
taayyyun al-awwal, disebut perjalanan maa Allah (bersama
Allah), yang dilalui dengan ilmu hakikat (haqiqah, bathin
syariat). Di sini al-Palimbani meloncat langsung pada peringkat
taayyun awwal yang meliputi segala pengetahuan Tuhan,
tanpa menempuh taayyun al-tsani lebih dulu, karena pada
tahap ini sufi dianggapnya telah memasuki pengetahuan
ketuhanan yang mendalam, sementara taayyun al tsani masih
berupa pengetahuan tentang alam secara rinci.37
Pada tahap keempat sufi menempuh perjalanan pada
nafs al-radliyyah. Perjalanan pada tahap ini disebut pula
dengan perjalanan fi-Allah (pada Allah), yaitu perjalanan pada
alam lahut, atau pada martabat ahadiyyah, di mana sufi hanya
memandang dzat mutlak (Allah) sehingga ia sirna dari
36 Al-Palimbani, Sayr al Salikin, juz,. 3, hlm. 41
37 Muhammad bin Fadlullah Burhanpuri, al-Tuhfat al-Mursalah Ila Ruh
al-Naby,(tt), hlm.4

18

segalanya. Pandangan demikian hanya dapat dilakukan oleh


sufi dengan sirr al-sirr (hati paling dalam). Inilah tingkat
kejiwaan yang telah sampai ke puncak tauhid yang disebut
dengan fana fi al-tauhid.38
Setelah mencapaui peringkat tertinggi dan menerima
marifat dari Allah, manusia masih belum dipandang sempurna
sebelum ia mampu memberikan bimbingan kepada makhluk
yang lain. Untuk itu ia harus menempuh nafs al-mardliyyah
yang disebut oleh al-Palimbani dengan perjalanan anillah
(mengambil ilmu) dari Allah (dan kembali kepada makhluk),
dengan kembali menempuh alam al-ajsam.39
Nafsu muthmainnah, radliyyah dan mardliyyah yang
digambarkan sebagai derajat tertinggi pada seorang hamba ini
telah dideskripsikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu


dengan hati yang ridha dan diridhainya. Maka masuklah ke
dalam golongan hamba-hambaku, dan masuklah ke dalam
surgaku. (QS. Al Fajr 27-30)
Perjalanan tertinggi yang dilalui oleh para sufi ialah
perjalanan pada nafs al-kamilah yang disebut juga dengan
perjalanan

billahi

(dengan

Allah),

yakni

dengan

qudrah

(kekuasaan), iradah (kehendak), daya (quwwah), dan haul


(upaya) Allah. Menurut al-Palimbani nafs al-kamilah ini adalah
martabat

para

wali

Allah

yang

kamil

(sempurna)

lagi

38 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi; Pengembangan Konsep Insan Kamil


Ibn Arabi oleh al-Jilli, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 11
39 Yunasril, Manusia Citra, hlm, 11

19

mukammil (menyempurnakan). Atau disebut juga dengan


martabat insan kamil.40
F. Penutup dan Kesimpulan
Sosok al-Palimbani agaknya tidak terlalu dikenal oleh
masyarakat Indonesia secara luas jika dibandingkan dengan
ulama-ulama nusantara yang bersal dari tanah jawa seperti
Syeikh Nawawi al-Bantani. Hal ini mungkin disebabkan karena
memang al-Palimbani tidak kembali ke tanah air untuk
menyalurkan

keberkahannya

melalui

pengajian-pengajian.

Namun demikian, al-Palimbani berkontribusi besar dalam


perkembangan ajaran Islam terutama di tanah Palembang.
Karya
fenomenal
beliau
Sayr
al-Salikin
yang
memadukan ajaran Ibnu Arabi dan konsep-konsep tasawuf alGhazali sebagai implementasi dari tasawuf itu sendiri layak
dijadikan rujukan bagi seorang salik dalam menempuh jalan
menuju rabbnya. Kitab ini memuat amaliah dan nasihatnasihat yang perlu didawamkan.
Konsep wihdatul wujud diuraikan melalui pengendalian
nafsu yang terbagi dalam berbagai martabatnya. Thabaqat
demi thabaqat yang dilalui akan menghantarkan seorang salik
pada tingkat tertinggi yaitu marifat Allah.

40 Al-Palimbani, Hidayat al-Salikin fi Maslak al-Muttaqin, (Surabaya: tt),


hlm.34

20

Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi; Pengembangan Konsep Insan
Kamil Ibn Arabi oleh al-Jilli, Jakarta: Paramadina, 1997
Al-Palimbani, Hidayat al-Salikin fi Maslak al-Muttaqin, Surabaya:
tt
Al-Palimbani, Sayr al Salikin ila Ibadat Rab al-Alamin, Juz III,
Indonesia: Dar Ihya Kutub al-Arabiyyah, tt
Atjeh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat; Uraian Tentang Mistik,
Solo: Ramadhani, 1963
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2003
Fadlullah Burhanpuri, Muhammad bin. al-Tuhfat al-Mursalah Ila
Ruh al-Naby, tt.
Muchtar, Ali, Shaykh Abd Shamad Al-Palimbani; Alim Nusantara
Abad Ke XVIII, Pathani;tt
Muhammad Khalil, Khalil. Al-Nafsu al-Basyariyyah Kama
Tahddatsa Anha al-Quran, Riyadh: Jamiatu al-Imam
Muhammad bin Saud al-Islamiyyah al-Idarah al-Ammah li
al-Tsaqafah wa al-Nasyr, 2001
Muhyi, Syeikh Abdul. Kitab Istiqlal Thariqah Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah, tt.
Mulyati, Sri. Mutabara Tariqas (Notable Sufi Orders) in
Indonesian Islam, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Kementrian Agama RI, 2011
Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara; Rangkaian Mutiara Sufi
Terkemuka, Jakarta: Kencana, 2006
Shihab, Alwi. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya
Hingga Kini di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2001
Tamrin, Dahlan. Tasawuf Irfani, Malang: UIN Maliki Press, 2010
Umar, Muin. Terjemah Sair al-Salikin, Banda Aceh: Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
Direktorat
Jenderal
Kebudayaan Museum Negeri Aceh, 1985
Yahya, M. Wildan. Menyingkap Tabir Spiritual Syeikh Abdul Muhyi
(Wali Pamijahan); Menapaki Jejak Para Tokoh Sufi
Nusantara Abad XVII-XVIII, Bandung: Refika Aditama, 2007
21

Yock Fang, Liaw. Sejarah Kesustraan Melayu Klasik, Jilid. II,


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011
Zada dkk, Khamami. Intelektualisme Pesantren, Diva Pustaka,
2003

22

Anda mungkin juga menyukai