Anda di halaman 1dari 8

Thaifur Ali Wafa Dan Kitab Tafsirnya Firdaus Al-Na’im

A. Pendahuluan
Penafsiran di Nusantara masuk pada abad ke-17 M, yang di tandai dengan
ditemukannnya kitab Tarjuma>N Mustafi>D karya Abdurrauf al-Singkili, meskipun
penulisan dalam dunia Islam penulisan tafsir sudah dimulai sejak Abad ke-2 H (7 M).
Selang waktu pada Abad ke-14 M dari di turunkannya al-Qur’an, banyak penafsiran
dan pendalaman al-Qur’an oleh para mufasssir. Dalam hal tersebut munculah
beberapa teks-teks kitab pada segenap pemikiran dalam segala sidang keilmuan yang
lebih luas dan matang. Maka realita tersebut tidak hanya terdapat di wilayah jazirah
Arab saja, akan tetapi tafsir al-Qur’an juga berkembang pada negara-negara lain
termasuk negara Indonesia.1 Ini dikarenakan posisi al-Qur’an yang berbahasa Arab
sehinngga ketika dia datang kepada bangsa non-Arab dibutuhkan penafsiran untuk
memberi pemahaman pada pembacanya.
Dari sederet tokoh mufasir di Indonesia ada satu tokoh yang menarik perhatian
penulis adalah Kiai Thaifur Ali Wafa al-Maduri. Beliau merupakan seorang ulama
yang produktif karena rihlah intelektual beliau memang sudah diajarkan agama oleh
ayahnya dari sejak kecil, yakni Kiai Thaifur Ali Wafa al-Muharar, mulai dari ilmu
Ushul al-Aqaaid, Tauhid, Fiqih, Nahwu, al-Qur’an dan yang lainnya. Beliau juga
menimba ilmu di pesantren Madura, setelah itu beliau memutuskan tinggal di kota
Mekkah selama 7 tahun untuk mengasah atau memperdalam keilmuannya. Selama di
Mekkah beliau berguru kepada Syekh Ismail yang berasal dari Yaman.2
Firdaus al-Na’i>m merupakan kitab karya Kiai Thaifur Ali Wafa yang
mempunyai daya tarik tersendiri yang salah satu keunikannya adalah dari latar
belakang tokoh yang diusia mudanya mampu menulis kajian tafsir yang dibuat khusus
untuk santri pondok pesantren al-Saddad Sumenep. Beliau juga dalam menafsirkan
begitu detail dalam mengupas ayat yang kental akan nuansa kearifan lokal. Tafsir ini
berupaya menghadirkan penafsiran yang kontekstual yang tak hanya memperhatikan
keadaan global dan nasional, tetapi juga yang berhubungan dengan problem lokal
yang sangat konkrit khususnya kehidupan masyarakaat Sumenep.
Ketertarikan penulis terhadap Kiai Thaifur karena reputasinya yang sangat
gemilang dilihat dari sisi pribadi sebagai ulama maupun bagi tarekat Naqsyabandiyah.
Sehingga menghasilkan penafsiran yang cukup mendalam bahkan corak sufistiknya
sangat terlihat juga pengaruh dari bapaknya yang juga seorang mursyid thariqah yang
sangat terkenal di Jawa Timur.3 Maka dari itu, tidak heran jika Kiai Thaifur memiliki
pengetahuan tentang agama yang luas dan juga mewarisi intelektualitas ayahnya
karena ayah beliau termasuk sosok yang ikut adil besar dalam membentuk
1
“TARJUMAN AL MUSTAFID: Khazanah Tafsir Berbahasa Melayu Pertama Di Nusantara | Miftahuddin |
Madania: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman.”
2
“Telaah Kitab Tafsir Firdaus Al-Na’im Karya Thaifur Ali Wafa Al-Maduri | Hairul | Nun : Jurnal Studi Alquran
Dan Tafsir Di Nusantara.”
3
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung, Mizan
1995), 120.
pemikirannya. Yang tentunya mengidentikasikan akan kealiman dan keluasan ilmu
pengetahuan yang beliau miliki yang mana beliau mampu menafsirkan al-Qur’an
secara utuh dan bahkan penafsirannya tak kalah jauh dengan penafsiran ulama Timur
Tengah.
Dari segi penulisan, kitab Firdaus al-Naim memiliki 6 jilid dengan ketebalan
469 – 595 halaman. Penafsiran beliau menggunakan bahasa Arab bukan bahasa
Madura bertujuan agar tafsir ini dapat di kaji oleh lingkup yang lebih luas khususnya
di pondok pesantren dan berbagai kalangan lainnya yakni para pengkaji studi Islam. 4
Kiai Thaifur Ali Wafa mempunyai salah satu guru yaitu Kiai Jamaluddin Fadhil yang
memiliki sikap kesederhanaan dan tawadhu’. Sikap tawadhu’ inilah yang mendorong
beliau menolak untuk menjadi penceramah dan imam saat sholat fardhu.5
B. Thaifur Ali Wafa
Kiai Thaifur memiliki nama lengkap Thaifur bin Ali Wafa Muharror. Beliau
dilahirkan dari pasangan Kiai Ali Wafa6 dan Nyai Mutmainnah binti Dzil Hija. Dari
ayahnya, Kiai Thaifur memiliki silsilah keturunan Syekh Abdul Kudus (al-Jinhar)
yang tinggal di desa Sariqading. Sedangkan, dari ibunya Kiai Thaifur memiliki
silsilah dari keluarga desa Waru Pamekasan. Dzil Hija menikah dengan Halimatus
Sa’diyah yang berasal dari desa Bindang. Ada pula yang mengatakan bahwa Kiai
Thaifur Ali Wafa memiliki nasab yang berujung sampai Pangeran Katandur yang
dimakamkan di Sumenep Madura.7
Kiai Thaifur dilahirkan pada malam Selasa tanggal 20 Sya’ban 1384 H di desa
Somor (Sumur) kecamatan Ambunten Timur Sumenep Madura. Di Madura ada
beberapa kabupaten, yaitu kabupaten Pamekasan, Sampang, Bangkalan dan Sumenep.
Sedangkan kabupaten Sumenep terletak di bagian paling ujung timur Madura. Selain
itu, di Madura terdapat makam para wali, diantaranya yaitu Sayyid Yusuf al-Anqawi,
Syekh Abu Syamsuddin, Syekh Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Kiai Khalil
Bangkalan).8
Pendidikan Kiai Thaifur Ali Wafa bermulai dari pendidikan orang tuanya.
Dimulai dari usia dini, Kiai Thaifur Ali Wafa sudah memulai pembelajaran dari sang
ayah berbagai macam ilmu pengetahuan, lebih dulu dengan pengetahuan dasar-dasar
islam dengan metode yang efektif. Kiai Thaifur belajar al-Qur’an dengan ayahnya
dibekali dengan ilmu tajwid ditambah ilmu-ilmu lain seperti dasar-dasar akidah, fikih,
nahwu, dan lain-lain. Tidak hanya berhenti pada pembelajaran yang bersifat
4
Hairul,Telaah Kitab Tafsir Firdaus An-Naim Karya Thaifur Ali Wafa/Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Tafsir Di
Nusantara/Vol.3 No.2 (2017), 44.
5
A Karomi, “Kiai Jamal Batokan Dan Profesionalitas”, Artikel Diakses Pada 2 Februari 2019 Dari
Http://Www.Halaqoh.Net/2017/-01/Kyai-Jamal-Batokan-Dan-Profesionalitas.Html.
6
Kyai Ali Wafa Pernah Menikahi Nyai Hj Ur Dinatul Ahdiyah, Putri Kiai Imam Dari Desa Karay, Kecamatan
Ganding, Sumenep. Telusuri Naqysabandiyah Gesempal, “Al-Arif Billah Hadrhadrotus Syekh Kh. Ali Wafa
Muharror, Mursyid Silsilah Ke-44” Artikel Diakses Pada 2 Februari 2019 Dari Https://Www-Naqysabandiyah-
Gersempal.Org/Hadrotus Syekh-Kh-Ali-Wafa-Muharror-Mursyid-Silsilah-Ke-44.Html.
7
Thaifur Ali Wafa, Manar al-Wafa (T.tp: T.pn., T.t.), 8-10
8
Wafa, Manar al-Wafa, 13-14.
pengetahuan sang ayah meminta doa-doa orang baik budi pekertinya guna
memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan akhlak putranya kelak, termasuk
menjadi anak yang mampu menjaga shalat dan memperbaiki pelaksanaanya.9
Thaifur melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren yang diasuh Kiai As’ad
Ibn Ahmad Dahlan selama satu tahun. Beliau belajar kitab Sa{hi>h Bukha>ri yang
ditulis Ibn Ismail al-Bukhari, Syarh Alfiyyah Ibn Malik, Syarh Baiquniyyah li al-
Zarqani, Syarh Sullam al-Munawwaraq fi al-Mantiq yang dikarang oleh Abd Rahman
al-Akhdari, dan kitab-kitab lainnya. Setelah satu tahun di Bangkalan, Kiai Thaifur
pindah ke Kediri. Di sana Kiai Thaifur belajar kitab Sahih Bukhari dari awal sampai
akhir hingga selesai kepada Kiai Jamaluddin Fadhil. Setelah itu Kiai Thaifur pulang
ke rumahnya di Ambunten karena saudaranya Kiai Ali Hisyam wafat.
Selang beberapa waktu pada bulan Ramadhan 1401 H/1981 M, Kiai Thaifur
berangkat ke Mekkah dengan menggunakan paspor umrah. Kiai Thaifur berangkat
bersama dengan saudarinya Mahfudah dan sepupunya Muhammad Syarqawi yang
termasuk kerabat dan keluarganya. Namun, setelah umrah Kiai Thaifur menetap di
Mekkah, sedangkan Mahfudah dan Muhammad Syarqawi kembali ke Indonesia.
Ketika di Mekkah Kiai Thaifur tinggal di beberapa tempat. Pada awalnya Kiai Thaifur
tinggal di rumah Syekh Hasan Mustafa Indragiri yang letaknya di dekat masjid Syekh
Ismail. Setelah itu beliau pindah ke al-Ribat al-Naqsyabandi di Jabal Abi Qubis
kemudian ke rumah Syekh Muhammad Jazuli Hasyim yang berujung sampai rumah
Syekh Ismail Zain.10
Kiai Thaifur memperdalam ilmunya dengan banyak guru di Mekkah. Di
antaranya, Syekh Ismail Zain beliau belajar kitab Niha>yah al-Muhta>j Syarh al-
Minha>j dan salah satu kitab Kutub al-Sittah yang di tulis oleh Syihab al-Din Abu al-
Abbas Ahmad Ibn Hamzah al-Ramli al-Anshari, Ali Ibn ‘Ali al-Syibramalisi, dan
Ahmad Ibn Abd al-Razzaq al-Malibari al-Rasyidi. Kemudian dengan Syekh Abd
Allah Ahmad Dardum yang memiliki sebutan “Sibawaih Mekkah” karena
kealimannya dalam bidang ilmu nahwu, beliau belajar kitab Syarh Ibn Aqil Ala
Alfiyah yang ditulis oleh Jalal al-Din al-Suyuthi.11
Selain itu beliau juga berguru kepada Syekh Abd Allah Ibn Said Ubbadi Al-
Luhaji Al-Hadrami Al-Suhari. Dari ditu Kiai Thaifur mendapatkan ijazah beberapa
ilmu dan diperbolehkan meriwayatkan ilmu-ilmu Furu’, Usul, Dzikir, Atsar, dan
Shalawat. kepada Syekh Muhammad Yasin Ibn Isa al-Fadani al-Makki, Kyai Thaifur
belajar beberapa kitab yang salah satunya yaitu kitab al-Mukhtasar al-Muhadzab fi
Ma’rifah al-Tawarikh al-Tsalats wa al-Aqwat wa al-Qiblah bi al-Rub’i al-Mujib,
yang menjelaskan tentang Ilmu Astronomi. Kepada Syekh Muhammad Mukhtar al-
Din al-Falembani al-Makki, beliau belajar beberapa ilmu yang salah satunya juga
tentang Ilmu Astronomi.12

9
Wafa, Manar al-wafa, 24-25
10
Khalilullah, “Tafsir Lokal Di Era Kontemporer Indonesia.”
11
Wafa, Manar al-Wafa, 52.
12
Wafa, Manar al-Wafa, 145.
Kiai Thaifur juga mendapatkan banyak pengalaman keilmuan dari Sayyid
Muhammad Ibn Abd Allah al-Madani yang akhirnya diabadikan dalam sebuah
karyanya dengan judul Habail al-Syawarid. Selain itu, Kiai Thaifur juga belajar
kepada Syekh Qasim Ibn Ali al-Marquni al-Yamani. Syekh Qasim merupakan ulama
yang menguasai ilmu fikih sehingga beliau mendapat predikat al-Faqih (ahli fikih).
kepada Sayyid Ibn Alwi al-Maliki al-Hasani al-Makki, dan Syekh Abu Yunus Salih
al-Arkani al-Rabagh, yeng mengijazahkan kitab Tufhah al-Sidq Wa al-Wafa.13
Setelah bertahun-tahun Kiai Thaifur hidup berkecimpung dengan dunia ilmu
pengetahuan dan dipertemukan dengan orang-orang alim, beliau tumbuh menjadi
sosok ulama yang di kenal kealimannya seehingga Syekh Ismail memberikan
kesempatan dan kepercayaan kepada beliau untuk mengajar para santri bahkan anak
Syekh Ismail Sendiri. Adapun putra Syekh Ismail yang belajar kepada Kiai Thaifur
yaitu Syekh Abu Ismail Muhammad, Syekh Abd al-Rahman, Syekh Abd al-Allah,
Syekh Abd al-Fadil Asy’ari Abd al-Haqq (saudara kandung istri Syekh Ismail).
Sedangkan para santri Syekh Ismail yaitu Syekh Abd al-Fadil al-Allamah Abd al-
Halim Utsman al-Palembani, Syekh Hiyam al-Suu’udi, Kiai Muhammad Rofi’i
Baidhawi al-Pamekasani, Kiai Fakhrullah, Kiai Muhammad Khalil Bin As’ad
Syamsul Arifin, Kiai Ahmad Yahya Syamsul Arifin, Kiai Shalihuddin, Kiai Ruslan,
Kiai Rafi’, dan Kiai Shaleh.14
Setelah menimba ilmu di Mekah, beliau kembali ke tanah kelahirannya di
kecamatan Ambunten timur kabupaten Sumenep Madura pada tahun 1413 H. Di
tempat inilah beliau memulai untuk mengembangkan ilmunya dengan mengabdi
kepada masyarakat dengan cara menyalurkan apa yang pernah beliau pelajari selama
mengabdi di Mekkah. Dengan pengabdian ini beliau mendapat kepercayaan dari
masyarakat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya sebagai pengasuh di pesantren
as-Sadad. Pengabdian ini masih tetap berlangsung sampai sekarang.
Mengenai karya beliau, sejak kecil beliau sudah terjun kedalam dunia
kepenulisan bisa dilihat sebelum berusia baligh beliau sudah menulis Nadzdom
Jurumiyah dengan bahasa Madura namun karya ini belum sampai
terselesaikan.sampai saat beliau melakukan perjalannya ke Mekkah lahirlah sebuah
tulisan dengan judul Rasail al-Saghirrah wa Kitabah al-Masail al-Muhimmah fi
Mukhtalaf al-Funun15. Beliau merupakan seorang yang sangat produktif terhitung
sudah puluhan karangan dalam berbagai disiplin ilmu.di Nusantara .diantara karya-
karya beliau adalah :
a) Kitab Fiqih: Bulghah at-Thullab,Riyad al-Muhibbinn, Tuhfah al-Raki wa al-
Sajid, Kasy al-Aauham, Mazil al-Ina, al-Badr al-Munir, Kasyf al-Khofaa, al-
Taqrib, Tasywidh al-Afkar, Nadlomghoyah al-Ikhtishar, Miftah al-
Ghowamidj,Dar al-Taj.

13
Wafa, Manar al-Wafa, 145.
14
Wafa, Manar al-Wafa, 235.
15
Junaid Muhammad Imam, Manar Al-Wafa Fi Nabdhah Min Tarjamah Al-Faqir Ila’ Afwa Allah Thoifur ‘A;I
Wafa,,..235-236
b) Kitab Qowaid al-Lughah seperti: al-Qotuf al-Dunyah yang mana kitab ini
membahas kaidah- kaidah bahasa Arab untuk tingkatan pemula. al-Riyad al-
Bahiyyah kitab yang berisikan tentang Nadzam Ilmu Nahwu, dan al-Manahil
asy-Syafi’i.
c) Kitab Aqidah atau Tasawuf seperti, Sallam al-Qasidin. Yaitu kitab yang
membahas tentang isi-isi apa saja yang terdapat dalam kitab Ikhya Ulum al-Din.
Kitab Nadzam yang membahas Ilmu-Ilmu Aqidah.
d) Kitab Sirah seperti: Masyakkah al-Anwar fi Ikhtisar Sirah Sayyid al-Abrar, yang
membahas tentang Sirah Nabi Muhammad Saw.
e) Kitab Tafsir seperti al-Raaud al-Nadr Syarh Qaul al-Munir. Kitab ini membahas
tentang Ulumu al-Tafsir.
f) Kitab Hadis seperti: al-Hadith al-Dhahab al-Sabik, Daf al-Iham wa al-Hiba.
Karya-karya tersebut menjadi tanda nyata dari posisi intelektual Kiai Thaifur
Ali Wafa dalam lingkup pergumulan pemikiran muslim Nusantara. Karya-karyanya
pun rata-rata beliau tulis di era kontemporer, pemikiran beliau masiih terkesan klasik,
karena beliau banyak mengutip dari pendapat-pendapat ulama tradisionalis. Dalam
bidang Tasawufnya beliau cenderung terpengaruh oleh Syekh Sa’dudin al-Murad.
Sekarang beliau masih aktif mengajar untuk mengembangkan ilmunya dengan
mengabdi kepada masyarakat dengan cara menyalurkan ilmu dan pengalaman yang
pernah beliau pelajari selama mengabdi di Mekkah. Dengan pengabdian ini beliau
mendapat kepercayaan dari masyaarakat untuk meneruskan kepemimpinan ayahnya
sebagai pengasuh di Pesantren as-Saddad. Pengabdian ini masih tetap berlangsung
sampai saat ini.16
C. Firdaus Al-Na’im
Kitab Firdaus al-Na’i>m merupakan karya yang di tulis selama 3 tahun dan
selesai ditulis pagi hari pada tanggal 12 Rabiul Awal 1434 H, yang bertepatan dengan
tanggal 12 Februari 2013, lengkap 30 juz dengan dipilah menjadi 6 jilid. Kitab ini
menghimpun seluruh penafsiran 114 surat dalam al-Qur’an. Rara-rata setiap jilid
terdiri kurang lebih 520 halaman. Penulisan tafsir ini di ketik menggunakan font
Tradisional Arabic dalam bentuk huruf tebal (Bold). Kemudian diprin menggunakan
kertas HVS berukuran 16,5 x 22 cm. Kitab ini dicetak menggunakan sampul berwarna
hijau. Pada bagian atas tertulis judul lengkapnya “Firdaus al-Na’im bi Taudih Ma’ani
ayat al-Qur’an al-Karim”. Berdasarkan pengakuan Kiai Thaifur, dinamakan Firdaus
al-Na’im karena merujuk dari salah satu nama surga yaitu Jannah al-Firdaus.17
Kitab Firdaus al-Naim dicetak menjadi 6 jilid. Pada jilid pertama, terdiri dari
pendahuluan, surat al-Fatihah hingga surat al-Nisa’ atau tepatnya pada permulaan juz
6. Pada jilid kedua, berisi surat al-Maidah hingga surat al-Taubah atau tepatnya pada
permulaan juz 11. Pada jilid ketiga, dimulai dari surat Yunus hingga surat al-Isra’ atau
tepatnya pada permulaan juz 15. Pada jilid keempat, di mulai dari surat al-Naml

16
{Citation}
17
Muwaffaq, “Mengenal Kitab Tafsir Firdaus Al-Naim Karya KH. Thaifur Ali Wafi Madura.”
hingga surat al-Ankabut atau tepatnya pada permulaan juz 21. Pada jilid kelima,
dimulai dari surat ar-Rum hingga surat al-Shaffat (juz 23). Sedangkan pada jilid
terakhir, di mulai dari surat al-Ahqaf hingga surat al-Nas.
Pada bagian pendahuluan kitab Firdaus al-Naim Kiai Thaifur menyebutkan
bahwa keagungan al-Qur’an sebagai mukjizat kekal yang memuat hamparan ayat al-
Qur’an yang mempesona. Mengutip dari QS. al-Hasr (59):21 kyai Thaifur
menyatakan bahwa ayat ini menggambarkan kerugian orang-orang kafir yang
mengingkari keagungannya, sementara di sisi orang mukmin keberadaan al-Qur’an
merupakan suatu kemuliaan dan keberuntungan bagi mereka. Dalam hal ini Kiai
Thaifur ingin mengingatkan kepada para pembacanya tentang kemukjizatan al-
Qur’an.serta ingin mendorong para kaum mukmin agar senantiasa membaca al-
Qur’an.18 Dari pendahuluan ini dapat dilihat bahwa tidak ada alasan khusus yang
memotivasi Syekh Thaifur untuk menulis tafsirnya ini melainkan keyakinanannya
semata.
Setelah banyak menulis judul kitab dari berbagai keilmuan, Kiai Thaifur
secara eksplisit menyatakan bahwa salah satu tujuan utama atas disusunnya kitab
tafsir Firdaus al-Na’im adalah adanya suatu kegelisahan intelektual yang
mengguncang Kiai Thaifur. Menurut beliau masih banyak orang yang membaca al-
Qur’an tanpa memahami makna yang lebih mendalam. Padahal al-Qur’an adalah
kitab yang kaya akan makna dan rahasianya, sayang sekali jika hanya dibaca tanpa
ada pengkajian ulang dan pendalaman atas maknanya. Dengan mengetahui makna dan
rahasia al-Qur’an maka akan timbul gairah spiritual yang lebih besar untuk
mengamalkan isi al-Qur’an.19
Dalam menafsirkannya Kiai Thaifur Ali menggunakan metode tahlili. Yaitu
metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan secara berurutan yaitu ayat demi ayat
kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan ketentuan mushaf.
Berdasarkan penafsiran yang detail tersebut kitab semacam ini banyak di sentuh oleh
sekian mufasir termasuk Kiai Thaifur sendiri,karena penafsirannya yang luas dan
memberikan kepuasan bagi pembaca samudera ilmu pengetahuan. Meskipun
dikategorikan sebagai tafsir yang menggunakan metode tahlili, tetapi dalam
penjelasannya tidak terlihat menggunakan cara kerja seperti dengan tafsir-tafsir yang
menggunakan metode ini. Karena aspeknya yang sangat mendetail dan menjelaskan
secara panjang lebar. Akan tetapi hal ini bertujuan untuk memudahkan para pembaca
tafsirnya untuk tidak disibukkan dengan berbagai analisisnya, sehingga mereka dapat
memahami kandungan ayat-ayatnya.
Kitab Firdaus al-Na’im sangat di pengaruhi oleh beberapa karya tafsir
sebelumnya, terutama dalam kitab tafsir Hasyiyah ash-Shawi karya Syekh Ahmad bin
Muhammad ash-Shawi al-Mishri al-Maliki al-Khilwati dan kitab tafsir Lubab al-
Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil atau lebih dikenal dengan taafsir al-Khazin yang merujuk
pada nama pengarangnya yaitu Ala al-Din Abu Hasan Ali Abu Muhammad Ibn
18
Abu Muhammad Thaifuf Ali Wafa. Firdaus al-Na’im bi Taudih Ma’ani Ayat al-Quran al-Karim,
(tth), Jilid 1, 2.
19
Jamaluddin Akbar. Epistimologi kitab tafsir Firdaus al-Na’im bi Taudih Ma’ani Ayat al-Quran al-
Karim karya Thaifur Ali Wafa, 44.
Ibrahim Ibn Umar Ibn Khalil al-Baghdadi al-Syafi’I al-Khazin. Sumber rujukan selain
kedua kitab tafsir diatas adalah kitab Tafsir al-Jami li Ahkam al-Quran karangan Abu
Abdulloh al Kurtubi, Tafsir Mafatih al-Ghoib (Tafsir al-Kabir). Selain itu terdapat
beberapa kitab tafsir yang bernuansa sufistik yang dikutif seperti kitab tafsir Jailani
karya Shaikh Abdul Qodir Jailani, kitab tafsir al-Quran al-Karim sebuah kitab tafsir
yang dinisbatkan kepada Ibnu A’robi, tafsir Ruh al-Ma’ni karya Shihabudin al-Alusi
dan yang terakhir tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanjil (tafsir Marah Labid) karya
Nawawi al-Bantani.20
Kitab Firdaus al-naim menggunakan corak tasawuf dimana beliau menafsirkan
Al-Qur’an tidak lepas dari corak pemikirannya sebagai tarekaat naqsabandiyyah
sehingga dalam penafsirannya banyak problematika yang mempengaruhi
penafsirannya.
Kitab Firdaus an-Naim merupakan kitab yang menggunakan corak
kebahasaan (lughawi), dimana beliau dalam menafsirkan lebih mononjolkan aspek
Bahasa Tidak lain alasan beliau agar masyarakat Madura bisa mempelajari gramatikal
bahasa Arab yaitu ilmu Nahwu. Bukan hanya dalam bidang gramatuikal bahasa Arab
saja, dalam bidang ilmu-ilmu yang lain seperti Fiqih, Aqidah, Tasawuf, dan Tafsir
beliau ajarkan kepada santrinya. Kiai Thaifur Ali Wafa lebih mengedepankan pada
aspek pemaparan bahasa yang mudah dipahami oleh audience, maka bahasa yang
digunakan pun lugas, bermakna dan berdimensi sosial..
Contoh Thaifur ali wafa dalam menafsirkan surat al-nisa ayat 43:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam
keadaaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (jangan pula
menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekedaar berlalu
saja hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (musafir)
atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,kemudian
kamu tidak dapat mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (suci), sapulah muka mu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah maha pemaaf lagi
maha pengampun.
Kiai Thaifur menjelaskan arti kata ‫ المستم‬dalam penafsirannya:

Ada qira’at yang membaca (‫ )لمستم‬tanpa alif, maka makna dari kedua bacaan
tersebutpun sama, yaitu menyentuh tangan seperti yang di katakan oleh Ibnu Umar
dan juga Imam as-Syafi’i. Menyentuh dengan bagian kulit selain tangan juga di
hukumi sama, Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa yang di maksud (‫ )المس‬dalam ayat
ini adalah jima’.
D. Kontribusi Kitab Firdaus al-Na’im Karya Thaifur Ali Wafa
Pemikiran thaaifur ali wafa dalam kitab Firdaus al-naim berkaitaan dengan
isu-isu tasawuf,seperti taubat,zuhud,uzlah dan tarekat beliau dalam menafsirkan Al-

20
“Telaah Kitab Tafsir Firdaus Al-Naim Karya Thaifur | PDF.”
Qur’an tidak lepas dari corak pemikirannya sebagai tarekaat naqsabandiyah hal
tersebut di pengaruhi oleh latar belakang dan pengaruh ayahnya,pemikiran tasawuf
ali wafa justru bersebrangan dengan ideologi masyarakat madura yang berfaliasi
dengan sunni fanatik yang dispesifikan lagi terhadap ormas Nahdlatul ulama (NU)
akan tetapi NU yang berkembang di madura tidak seperti NU yang dimaksudkan oleh
pendirinya,Karena NU yang memegang prinsip-prinsip moderasi terbuka terhadap
perbedaan,sedangkan masyarakat madura terlalu bergantung pada satu ideologi saja
dan menyalahkan ideologi yang berbeda

Pengaruh background tradisionalis beliau inilah yang mengantarkan pada


pemikiran

Kitab Firdaus an-Naim merupakan kitab yang menggunakan corak


kebahasaan (lughawi), dimana beliau dalam menafsirkan lebih mononjolkan aspek
Bahasa Tidak lain alasan beliau agar masyarakat Madura bisa mempelajari gramatikal
bahasa Arab yaitu Nahwu. Bukan hanya dalam bidang gramatuikal bahasa Arab saja,
dalam bidang ilmu-ilmu yang lain seperti Fiqih, Aqidah, Tasawuf, dan Tafsir beliau
ajarkan kepada santrinya

Untuk Kitab
Hal-Hal Umum (Ditulis Kaan, Berapa Jilid, Berapa Lama Beliau Menulis, Dari Kapan
Sampai Kapan).
Latar Belakangnyal
Metode-Metode
Contoh Penafsiran

Anda mungkin juga menyukai