Anda di halaman 1dari 10

RELEVANSI PEMIKIRAN SYAIKH AHMAD KHATIB MINANGKABAU

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

MAKALAH INI DISUSUN GUNA MEMENUHI


TUGAS MATAKULIAH STUDI TOKOH PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PENGAMPU

PROF. DR. MUDZAKIR ALI, MA

DISUSUN OLEH:

HERMANSYAH
NIM. 18200011245

PROGAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2019
1

RELEVANSI PEMIKIRAN SYAIKH AHMAD KHATIB MINANGKABAU


DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Hermansyah

A. PENDAHULUAN
Sejarah hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah merupakan
pembahasan yang penting, karena hal tersebut menjadi salah satu perantara
untuk menelusuri sejarah masuk dan perkembangan pendidikan Islam di
Nusantara dari wilayah satu ke wilayah lainnya hingga tersebar ke seluruh
penjuru Nusantara. Salah satu ulama yang membawa dakwah dan pendidikan
Islam ke Indonesia adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, yang sejak
umuran belasan tahun sudah belajar di Negeri Hijaz dan tentu kiprahnya diakui
sebagai Imam dan Pengajar di Haramain.
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah salah satu tokoh yang lahir
disaat kekuatan Harimau Nan Salapan diobrak-abrik Belanda dengan politik
devide at impera-nya. Maka kekuatan dari haji Miskin, Tuanku Nan Rancah di
Kamang, Tuanku dikubu Sanang, dan lain sebagainya, serta beberapa pejuang
Paderi lainnya harus tunduk kepada Belanda. Di antara pejuang panderi yang
bernama tuanku nan Rancak, seorang ulama yang diambil mantu Tuanku
Bagindo Khatib, dinikahkan dengan Zainab. Dari sinilah lahir Limbak Urai
dan menikah dengan Syaikh Abdul Latif yang kemudian menurunkan Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau.
Gema untuk memurnikan ajaran Islam dari Hijaz dibawa ke Nusantara
oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Arif. Dalam berdakwah mereka
mulanya mengalami hambatan kaum adat, akan tetapi lambat laun usahanya
mendapatkan sambutan. Puncaknya terbentuknya Harimau Nan Salapan
sebagai pembesar perjuangan Bonjol.
Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis berusaha mengulas sekilas
tentang relevansi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau?
2

B. Sejarah Singkatnya
1. Kelahirannya
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (selanjutnya disingkat Khatib
Minangkabau) mempunyai nasab keturunan darah biru dan ulama dari orang
tuanya. Nasab dari pihak ayah adalah syaikh Ahmad Khatib bin Syaikh
Abdul Latif bin Syaikh Abdurrahman bin Syaikh Abdullah bin Syaikh
Abdul Aziz. Mereka semua ulama besar di daerah Minangkabau.
Sementara dari pihak ibu adalah Ahmad Khatib Minangkabawi bin Limbak
Urai binti Zainab Tuanku Nan Rancak binti Tuanku Bagindo Khatib, tokoh
yang menjabat sebagai pembantu Regen Agam, yang juga merupakan
ulama kaum Paderi.1 Lahir di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Dalam Otobiografinya, yang sejalan dengan pendapat Buya Hamka dan
Syaikh Umar Abdul Jabar, disebutkan bahwa ia lahir hari Senin, 6 Zulhijjah
1276H/ 25 Juni 1860m.2

2. Riwayat Pendidikan
Khatib Minangkabau mengecap pendidikan awal dari ayahnya
sendiri, yaitu Syaikh Abdul Latif, ulama dan khatib nagari di Bukittinggi.
Kepada ayahnya, ia mempelajari dasar-dasar agama Islam, seperti membaca
al-Quran. Selain itu, ia juga belajar bahasa Inggris di Meer Uitggebreid
Leger Onderwijs (MULO), sekolah yang didirikan Belanda pada saat itu.
Umur 11 tahun, tepatnya tahun 1287H/ 1870M, Khatib Minangkabau
bersama ayahnya pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji. Mereka tidak
langsung kembali ke tanah air dan menetap di kota suci tersebut selama 5
tahun. Pada kesempatan ini, Khatib Minangkabau belajar kepada ulama-
ulama besar Mekah. Informasi dari beberapa buku menyebutkan bahwa

1
Hamka, Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib,
Ketinggian Risalah Nabi Muhammad saw., (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 496
2
Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi asy-Syafi’i, Al-Qaul at-Tahif fi
Tarjamah Ahmad Khatib bin Abdul Latif, (t.tp: Maktabah Ibnu Harjo al-Jawi, 2016), hal. 19. Dan
Tim Penulis, Intelektual Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 85, dan Umar Abdul
Jabbar, Siyar wa Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina fial-Qarn ar-Rabi’ ‘Asyar al-Hijri, dalam Ahmad
Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan Pemikirannya, (Medan:
Rawda Publishing, 2018), hal. 38.
3

guru dan syaikhnya adalah tiga keluarga Syatha, yaitu: Syaikh Abu Bakar
Syatha, Umar Syatha, dan Usman Syatha;3 dan yang lain Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan serta Syaikh Abdul Hadi. Amirul Ulum menambahkan
gurunya Syaikh Muhammad Nawawi al-Banteni.4 Jumlah gurunya yang
sedikit itu, setidaknya menjelaskan bahwa keilmuannya selain diperoleh dari
guru adalah dengan cara belajar otodidak. Hal itu didukung kedudukan
mertuanya yang merupakan seorang ulama dan saudagar pemilik toko buku,
sehingga, mudah baginya mengakses ilmu lewat buku-buku.
Tentang penguasaannya atas setiap buku yang dibaca, bisa jadi,
adalah bukti dari mimpinya ketemu Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah
menyuruhnya membuka mulut untuk kemudian meludah ke dalamnya.
Sejak itu, setiap buku yang dibaca dan ditelaah Khatib Minangkabau dapat
dipahami dengan lebih cepat dan mudah.
3. Wafatnya
Siang malam, hampir setiap waktunya, Khatib Minangkabau
dicurahkan untuk dunia keilmuan dan ibadah. Jika tidak ada jadwal
mengajar, maka ia mengisi waktunya dengan beribadah dan mengarang
kitab. Beliau sering dimintai fatwa atas kemelut yang timbul di negaranya.
Indonesia, seperti permintaan fatwa dari kelompok Islam modernis, yang
biasanya ia tuangkan dalam sebuah karya tulis.
Ketika Khatib Minangkabau kembali ke rahmatullah pada 19 Jumadil
Awwal1334H/ 13 Maret 1916, maka seolah-olah kelompok Islam modernis
yang ada di Nusantara kehilangan benteng yang begitu kuatnya. Bagi
mereka Khatib Minangkabau sangat berwibawa di kalangan kelompok
Islam Modernis dan Tradisionalis.

3
Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi asy-Syafi’i, Al-Qaul at-Tahif fi
Tarjamah, hal. 43-46
4
Amirul Ulum, Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz,
(Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015), h. 181.
4

4. Karya-Karyanya
Khatib Minangkabau termasuk di antara ulama besar Nusantara
(Indonesia) yang paling produktif menulis. Tulisannya sarat dengan keilmuan
penulisnya. Sebagian besar merupakan kritik dan bantahan terhadap
permasalahan keislaman yang berkembang di Nusantara. Setidaknya ada 47
judul kitab karya yang pernah ditulisnya dalam dua bahasa; Arab dan Jawi
(Arab Melayu), diantaranya yaitu:
1. An-Nafahat Hasyiah „Ala Syarh Al-Waraqat (Usul Fiqih: Bahasa Arab)
2. Al-Jawahir an-Naqiyah fi al-A‟mal al-Jaibiyah (Ilmu Falaq: Bahasa Arab)
3. Raudhah Al-Hussab (Matematika: Bahasa Arab)
4. Ad-Da‟i al-Masmu‟ fiar-Radd „ala Man Yuwarrits al-Ikhwah al-Akhwat
(Bantahan Fiqih Mawarris: BahasaArab)
5. Alam al-Hussab fi „ilmi Hisab (Matematika; Bahasa Jawi)
6. Ar-Riyadh al-Wardhiyah fi al-Usul at-Tauhidiyah wa al-Furu‟ al-Fiqhiyah
(Fiqih Syafi‟i:Bahasa Jawi)
7. Al-Manhaj al-Masyru‟fi al-Mawaris (Fiqih Mawaris: Bahasa Jawi)
8. Dhau‟ as-Siraj fi Kaifiyah al-Mi‟raj (isra‟-Mi‟raj: Bahasa Jawi)
9. Dll

C. Kiprahnya di Haramain
Syaikh Saleh Kurdi yang nekad mengambil menantu Khatib
Minangkabau menjadi perbincangan ulama Haramain dan tokoh setempat.
Khatib Minangkabau adalah sosok yang suka menyendiri, jarang
menampakkan keilmuannya. Ia sering menyendiri di dalam rumah atau
kamarnyadan menghabiskan waktunya dengan membaca kitab atau buku.
Mengenai kedudukannya sebagai pengajar, imam dan Khatib di Masjidil
Haram, ada dua pendapat:
1. Pengangkatannya adalah andil dari mertuanya, Saleh Kurdi, yang
merupakan teman dekat pengusa Mekah saat itru, Syarif Aun. Ketika itu,
ada jamuan makan kerajaan. Mertuanya hadir. Saat terjadi pembicaraan
mengenai mengapa menikahkan puterinya dengan seorang Jawi yang tidak
5

menguasai Bahasa Arab kecuali setelah belajar di Mekah, Saleh Kurdi


menjawab dengan menunjukkan alasan diterima Khatib Minangkabau
sebagai menantu karena kesalehan dan ketaqwaannya. Sang mertua lantas
menawarkan menantunya itu sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram.5
2. Pengangkatannya sebagai imam dan khatib adalah dikarenakan seni orasi
yang dimiliki Khatib Minangkabau dan koreksinya terhadap bacaan imam
pada satu jamaah shalat Maghrib yang kala itu, diimami Syarief Husein.6
Halaqah ilmiyah Khatib Minangkabau banyak didatangi penuntut ilmu,
terutama dari Nusantara. Terletak di Bab Ziyadah, kelebihannya ada pada cara
dan metode mengajar yang bertumpa pada pemahaman dan diskusi. Ia memang
lebih banyak berdiskusi dengan muridnya, sehingga peran mereka terlihat lebih
aktif. Syaikh Hasan Maksum menceritakan bahwa pengajaran gurunya itu
secara zahir seperti kebanyakan ulama yang mengajar. Akan tetapi, ketika
dilontarkan kepadanya beberapa pertanyaan, akan terlihat kualitasnya sebagai
ulama Ensiklopedia.7
Meski tinggal di Mekah, ia termasuk di antara ulama yang secara terus
menerus mengikuti informasi mengenai Nusantara, dan tanah kelahirannya,
Minangkabau. Ia juga banyak berpolemik dengan beberapa ulama terhadap
masalah-masalah yang sedang berkembang pada saat itu. Seputar Tarekat
Naqsabandiyah, ia berpolemik dengan Syaikh Muhammad Saad Mungka, dan
Syaikh Khatib Muhammad Ali. Ia juga berpolemik dengan Sayyid Usman
Betawi, mufti Betawi, terkait kebolehan mendirikan shalat Jumat baru di
Palembang.8 Selain itu, ia juga berpolemik dengan dua muridnya; KH Hasyim

5
Cerita ini berasal dari Syaikh Muhammad Nur bin Ismail, Qadi Kerajaan Langkat
kepada Syaikh Abdul Hamid Khatib, anaknya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ketika
melakukan perjalanan ke Indonesia, termasuk daerahLangkat, Sumatera Timur, Lihat Hamka,
Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib, Ketinggian Risalah
Nabi Muhammad saw. hal. 520
6
Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, hal. 16.
7
Matu Mona, Riwayat Penghidoepan Alfadil Toean Sjeh Hasan Ma’soem (Biografi sedjak
ketjil sampai Wafatnja), (Medan: Typ. Sjarikat Tapanoeli Medan, t.t), hal. 23-24
8
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 141-145
6

Asy‟ari terkait keabsahan organisasi Syarikat Islam,9 dan Syaikh Abdulkarim


Amrullah dalam persoalan melafazkan niat.10 Polemik lainnya adalah persoalan
hukum warisan yang berlaku di Minangkabau.11 Polemik-polemik tersebut
tertuang dalam beberapa karyanya.
Selain berpolemik, Khatib Minangkabau banyak dijadikan sebagai
sumber rujukan agama bagi para raja, khususnya di wilayah Sumatera dan
Malaya. Banyak raja mengirimkan permintaan fatwa terkait masalah-masalah
Nusantara, termasuk di antaranya permintaan teks khutbah kedua – niat- shalat
Jumat, Idul Fitri dan idul Adha yang memuat pujian yang ditujukan kepada
para penguasa atau pemimpin Islam yang sedang memerintah negeri dan
bacaan-bacaan doa untuk bilal.12

D. Relevansi Pemikirannya tentang Islam Modernis dan Islam Tradisionalis


Murid-muridnya Khatib Minangkabau dikenal dengan dengan sikapnya
yang modernis dan menebarkan pembaharuan ketika kemnbali ke kampung
halaman. Mereka memerangi paham yang dianggapnya mengandung bid‟ah,
tahayyul dan khuraat (TBC). Mereka ingin memperbaiki amalan umat Islam
yang selama ini dianggapnya terkena pengaruh luar, sehingga sudah tdkmurni
lagi. Dari pengaruh Khatib Minangkabau ini di Indonesia telah terjadi sekat
antara dua klan. Ada yang namanya kaum tua dan kaum muda. Atau yang
dalam istilah ngetrennya disebut dengan Islam tradisionalis untuk kaum tua
sedangkan modernis untuk kaum mnuda.
Mengenai murid-muridnya, mereka adalah ulama-ulama besar yang
mempunyai wibawa dan kedudukan di tengah masyarakat. Hal ini tentuakibat
pengaruh keikhlasan dan kebersamaan guru mereka dalam mendidik dan

9
Tim Penulis, Intelektualisme Pesantren, hal. 88-89
10
Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abu Bakar ad-Deli al-Jawi, Al-Quthufat as-
Saniyah li Man’i Badh Ma fi al-Fawa’id al-Aliyah (Mekah: Al-Mathba’ah al-Miriyah, 1333), hal.
27-28, dalam Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, hal. 117.
11
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal. 145
12
Hamka, Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib,
Ketinggian Risalah Nabi Muhammad saw.,
7

membimbing. Terkait banyaknya murid yang belajar kepadanya, Snouck


Hurgronje menyatakan bahwa ia adalah seorang yang berasal dari
Minangkabau, yang oleh orang Jawa diMekah dianggap sebagai ulama paling
berbakat dan berilmu, sehingga, semua orang Indonesia yang berhaji akan
mengunjunginya.13 Tidak mengherankan bila jumlah muridnya bertambah
setiap harinya.
Para muridnya berdasarkan daerah:
1. Sumatera Timur adalah Muhammad Zain Tasak Batubara, Musthafa Husein,
pendiri Pesantren Musthafawaiyah Purba Baru, Abdul Hamid Mahmud,
pendiri Madrasah Ulumul Arabiyah, Muhammad Nur Ismail, Mufti
Kerajaan Langkat, Hasan Maksum, Ulama Kerajaan Deli.
2. Sumatera Barat, adalah Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi, Muhammad
Thayib di Tanjung Sungayang, Abdullah Ahmad, pendirisekolah Adabiyah
tahun 1912M dan Majalah al-Munir tahun 1911M di Padang, Abdul Karim
Amrullah di Padang Panjang, Khatib Muhammad Ali, Sulaiman Rasuli,
Bayang Muhammad Dalil, Muhammad Jamil Jaho, dan Thahir Jalaluddin.
3. Daerah Jawa, adalah KH. Hasyim Asy‟ari, pendiri NU, KH. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, KH. Wahab Hasbullah, pendiri NU, dan KH. Bisri
Syamsuri.
4. Daerah Malaysia, adalah Muhammad Saleh, Mufti Kerajaan Selangor,
muhammad Zain Simabur, Mufti Kerajaan Perak, Muhammad Mukhtar bin
Atharid Bogor, yang termasuk di antara daftar nama-nama muridnya, ketika
berada di Mekah.
Murid-muridnya, setelah kembali dari perjalanan mereka, ada yang
menempati posisi keagamaan yang tinggi, terutama di daerah yang terdapat
kerajaan-kerajaan Islam, seperti Sumatera Timur dan Malaysia. Selain itu,
diantara muridnya ada yang dikenal dengan “Kaum Tua dan Kaum Muda”.
Istilah yang cukup mewarnai jalan pemikiran dan kegiatan keagamaan di
Minangkabau dalam beberapa dekade.

13
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal. 140
8

Khatib Minangkabau merupakan sosok ulama yang tidak suka dengan


taklid buta. Meskipun ia adalah ulama yang bermazhab Syafi‟i, namun ia juga
mengadopsi mazhab yang lain supaya tidak beku dalam berpikir. Dalam
dirinya tidak hanya mempel;ajari ilmu agama, namun ilmu umumnya pun
sangat baik. Ia membuka diri dalam dalam berbagai cabang keilmuan
sebagaimana Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Karena adanya kesamaan
ini banyak murid Minangkabau yang selasai belajar dengannya kemudian
melanjutkan ke al-Azhar, guna mempelajari tajdid yang dikembangkan Abduh
dan Ridha, seperti Ahmad Dahlan, Mas Mansur, dan Karim Amrullah.
Namun ada juga yang tidak tertarik dengan ide pembaharuan yang
dikembangkan Abduh dan Ridha, seperti KH. Hasyim Asy‟ari, KiaiMas Alwi
bin Abdul Aziz, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. BisriSyamsuri. Memang
ulama-ulama ini tergolong tradisionalis. Akan tetapi jika ada hal yang baru
dalam Islam dan tidak bertentangan dengan Quran dan Hadis dan
ajaransalaffus shaleh, maka pemikiran modernis tersebut akan dipakai dan
diamalkan. Dalam sebuahkaidah usul fiqh „ala al qadim shaleh wal akhdu bil
jadid aslah (menjaga tradisi yang lama adalah baik dan mengambil hal yang
baru adalah maslahah.
Masalah pemikiran Abduh, KH. Hasyim Asy‟ari mempunyai karyanya
dan mempelajari isinya, seperti tafsir al-Manar. Akan tetapi mempunyai bukan
berarti mengikuti semuanya apa yang tertuang didalamnya. Tentunya
semuanya melalui penyaringan, terlebih ia meruapakan seorang yang alim
dalam masalah hadis.
9

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-


Khatib, Ketinggian Risalah Nabi Muhammad saw., Jakarta: Bulan
Bintang, 1976

Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi asy-Syafi’i, Al-Qaul at-


Tahif fi Tarjamah Ahmad Khatib bin Abdul Latif, t.tp: Maktabah Ibnu
Harjo al-Jawi, 2016

Tim Penulis, Intelektual Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2006

Umar Abdul Jabbar, Siyar wa Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina fial-Qarn ar-Rabi’


‘Asyar al-Hijri, dalam

Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, Medan: Rawda Publishing, 2018

Amirul Ulum, Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri


Hijaz, Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015

Matu Mona, Riwayat Penghidoepan Alfadil Toean Sjeh Hasan Ma’soem


(Biografi sedjak ketjil sampai Wafatnja), Medan: Typ. Sjarikat
Tapanoeli Medan, t.t

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19


Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abu Bakar ad-Deli al-Jawi, Al-
Quthufat as-Saniyah li Man’i Badh Ma fi al-Fawa’id al-Aliyah (Mekah:
Al-Mathba’ah al-Miriyah, 1333

Anda mungkin juga menyukai