DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH:
HERMANSYAH
NIM. 18200011245
A. PENDAHULUAN
Sejarah hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah merupakan
pembahasan yang penting, karena hal tersebut menjadi salah satu perantara
untuk menelusuri sejarah masuk dan perkembangan pendidikan Islam di
Nusantara dari wilayah satu ke wilayah lainnya hingga tersebar ke seluruh
penjuru Nusantara. Salah satu ulama yang membawa dakwah dan pendidikan
Islam ke Indonesia adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, yang sejak
umuran belasan tahun sudah belajar di Negeri Hijaz dan tentu kiprahnya diakui
sebagai Imam dan Pengajar di Haramain.
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah salah satu tokoh yang lahir
disaat kekuatan Harimau Nan Salapan diobrak-abrik Belanda dengan politik
devide at impera-nya. Maka kekuatan dari haji Miskin, Tuanku Nan Rancah di
Kamang, Tuanku dikubu Sanang, dan lain sebagainya, serta beberapa pejuang
Paderi lainnya harus tunduk kepada Belanda. Di antara pejuang panderi yang
bernama tuanku nan Rancak, seorang ulama yang diambil mantu Tuanku
Bagindo Khatib, dinikahkan dengan Zainab. Dari sinilah lahir Limbak Urai
dan menikah dengan Syaikh Abdul Latif yang kemudian menurunkan Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau.
Gema untuk memurnikan ajaran Islam dari Hijaz dibawa ke Nusantara
oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman dan Haji Arif. Dalam berdakwah mereka
mulanya mengalami hambatan kaum adat, akan tetapi lambat laun usahanya
mendapatkan sambutan. Puncaknya terbentuknya Harimau Nan Salapan
sebagai pembesar perjuangan Bonjol.
Berdasarkan latarbelakang diatas, penulis berusaha mengulas sekilas
tentang relevansi pemikiran Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau?
2
B. Sejarah Singkatnya
1. Kelahirannya
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (selanjutnya disingkat Khatib
Minangkabau) mempunyai nasab keturunan darah biru dan ulama dari orang
tuanya. Nasab dari pihak ayah adalah syaikh Ahmad Khatib bin Syaikh
Abdul Latif bin Syaikh Abdurrahman bin Syaikh Abdullah bin Syaikh
Abdul Aziz. Mereka semua ulama besar di daerah Minangkabau.
Sementara dari pihak ibu adalah Ahmad Khatib Minangkabawi bin Limbak
Urai binti Zainab Tuanku Nan Rancak binti Tuanku Bagindo Khatib, tokoh
yang menjabat sebagai pembantu Regen Agam, yang juga merupakan
ulama kaum Paderi.1 Lahir di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat.
Dalam Otobiografinya, yang sejalan dengan pendapat Buya Hamka dan
Syaikh Umar Abdul Jabar, disebutkan bahwa ia lahir hari Senin, 6 Zulhijjah
1276H/ 25 Juni 1860m.2
2. Riwayat Pendidikan
Khatib Minangkabau mengecap pendidikan awal dari ayahnya
sendiri, yaitu Syaikh Abdul Latif, ulama dan khatib nagari di Bukittinggi.
Kepada ayahnya, ia mempelajari dasar-dasar agama Islam, seperti membaca
al-Quran. Selain itu, ia juga belajar bahasa Inggris di Meer Uitggebreid
Leger Onderwijs (MULO), sekolah yang didirikan Belanda pada saat itu.
Umur 11 tahun, tepatnya tahun 1287H/ 1870M, Khatib Minangkabau
bersama ayahnya pergi ke Mekah menunaikan ibadah haji. Mereka tidak
langsung kembali ke tanah air dan menetap di kota suci tersebut selama 5
tahun. Pada kesempatan ini, Khatib Minangkabau belajar kepada ulama-
ulama besar Mekah. Informasi dari beberapa buku menyebutkan bahwa
1
Hamka, Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib,
Ketinggian Risalah Nabi Muhammad saw., (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 496
2
Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi asy-Syafi’i, Al-Qaul at-Tahif fi
Tarjamah Ahmad Khatib bin Abdul Latif, (t.tp: Maktabah Ibnu Harjo al-Jawi, 2016), hal. 19. Dan
Tim Penulis, Intelektual Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 85, dan Umar Abdul
Jabbar, Siyar wa Tarajim Ba’dh ‘Ulama’ina fial-Qarn ar-Rabi’ ‘Asyar al-Hijri, dalam Ahmad
Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan Pemikirannya, (Medan:
Rawda Publishing, 2018), hal. 38.
3
guru dan syaikhnya adalah tiga keluarga Syatha, yaitu: Syaikh Abu Bakar
Syatha, Umar Syatha, dan Usman Syatha;3 dan yang lain Syaikh Ahmad
Zaini Dahlan serta Syaikh Abdul Hadi. Amirul Ulum menambahkan
gurunya Syaikh Muhammad Nawawi al-Banteni.4 Jumlah gurunya yang
sedikit itu, setidaknya menjelaskan bahwa keilmuannya selain diperoleh dari
guru adalah dengan cara belajar otodidak. Hal itu didukung kedudukan
mertuanya yang merupakan seorang ulama dan saudagar pemilik toko buku,
sehingga, mudah baginya mengakses ilmu lewat buku-buku.
Tentang penguasaannya atas setiap buku yang dibaca, bisa jadi,
adalah bukti dari mimpinya ketemu Rasulullah saw. Saat itu, Rasulullah
menyuruhnya membuka mulut untuk kemudian meludah ke dalamnya.
Sejak itu, setiap buku yang dibaca dan ditelaah Khatib Minangkabau dapat
dipahami dengan lebih cepat dan mudah.
3. Wafatnya
Siang malam, hampir setiap waktunya, Khatib Minangkabau
dicurahkan untuk dunia keilmuan dan ibadah. Jika tidak ada jadwal
mengajar, maka ia mengisi waktunya dengan beribadah dan mengarang
kitab. Beliau sering dimintai fatwa atas kemelut yang timbul di negaranya.
Indonesia, seperti permintaan fatwa dari kelompok Islam modernis, yang
biasanya ia tuangkan dalam sebuah karya tulis.
Ketika Khatib Minangkabau kembali ke rahmatullah pada 19 Jumadil
Awwal1334H/ 13 Maret 1916, maka seolah-olah kelompok Islam modernis
yang ada di Nusantara kehilangan benteng yang begitu kuatnya. Bagi
mereka Khatib Minangkabau sangat berwibawa di kalangan kelompok
Islam Modernis dan Tradisionalis.
3
Ahmad al-Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi asy-Syafi’i, Al-Qaul at-Tahif fi
Tarjamah, hal. 43-46
4
Amirul Ulum, Ulama-ulama Aswaja Nusantara yang Berpengaruh di Negeri Hijaz,
(Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015), h. 181.
4
4. Karya-Karyanya
Khatib Minangkabau termasuk di antara ulama besar Nusantara
(Indonesia) yang paling produktif menulis. Tulisannya sarat dengan keilmuan
penulisnya. Sebagian besar merupakan kritik dan bantahan terhadap
permasalahan keislaman yang berkembang di Nusantara. Setidaknya ada 47
judul kitab karya yang pernah ditulisnya dalam dua bahasa; Arab dan Jawi
(Arab Melayu), diantaranya yaitu:
1. An-Nafahat Hasyiah „Ala Syarh Al-Waraqat (Usul Fiqih: Bahasa Arab)
2. Al-Jawahir an-Naqiyah fi al-A‟mal al-Jaibiyah (Ilmu Falaq: Bahasa Arab)
3. Raudhah Al-Hussab (Matematika: Bahasa Arab)
4. Ad-Da‟i al-Masmu‟ fiar-Radd „ala Man Yuwarrits al-Ikhwah al-Akhwat
(Bantahan Fiqih Mawarris: BahasaArab)
5. Alam al-Hussab fi „ilmi Hisab (Matematika; Bahasa Jawi)
6. Ar-Riyadh al-Wardhiyah fi al-Usul at-Tauhidiyah wa al-Furu‟ al-Fiqhiyah
(Fiqih Syafi‟i:Bahasa Jawi)
7. Al-Manhaj al-Masyru‟fi al-Mawaris (Fiqih Mawaris: Bahasa Jawi)
8. Dhau‟ as-Siraj fi Kaifiyah al-Mi‟raj (isra‟-Mi‟raj: Bahasa Jawi)
9. Dll
C. Kiprahnya di Haramain
Syaikh Saleh Kurdi yang nekad mengambil menantu Khatib
Minangkabau menjadi perbincangan ulama Haramain dan tokoh setempat.
Khatib Minangkabau adalah sosok yang suka menyendiri, jarang
menampakkan keilmuannya. Ia sering menyendiri di dalam rumah atau
kamarnyadan menghabiskan waktunya dengan membaca kitab atau buku.
Mengenai kedudukannya sebagai pengajar, imam dan Khatib di Masjidil
Haram, ada dua pendapat:
1. Pengangkatannya adalah andil dari mertuanya, Saleh Kurdi, yang
merupakan teman dekat pengusa Mekah saat itru, Syarif Aun. Ketika itu,
ada jamuan makan kerajaan. Mertuanya hadir. Saat terjadi pembicaraan
mengenai mengapa menikahkan puterinya dengan seorang Jawi yang tidak
5
5
Cerita ini berasal dari Syaikh Muhammad Nur bin Ismail, Qadi Kerajaan Langkat
kepada Syaikh Abdul Hamid Khatib, anaknya Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau ketika
melakukan perjalanan ke Indonesia, termasuk daerahLangkat, Sumatera Timur, Lihat Hamka,
Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib, Ketinggian Risalah
Nabi Muhammad saw. hal. 520
6
Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, hal. 16.
7
Matu Mona, Riwayat Penghidoepan Alfadil Toean Sjeh Hasan Ma’soem (Biografi sedjak
ketjil sampai Wafatnja), (Medan: Typ. Sjarikat Tapanoeli Medan, t.t), hal. 23-24
8
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 141-145
6
9
Tim Penulis, Intelektualisme Pesantren, hal. 88-89
10
Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abu Bakar ad-Deli al-Jawi, Al-Quthufat as-
Saniyah li Man’i Badh Ma fi al-Fawa’id al-Aliyah (Mekah: Al-Mathba’ah al-Miriyah, 1333), hal.
27-28, dalam Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, hal. 117.
11
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal. 145
12
Hamka, Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau, dalam Abdul Hamid al-Khatib,
Ketinggian Risalah Nabi Muhammad saw.,
7
13
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, hal. 140
8
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzi Ilyas, Warisan Intelektual Ulama Nusantara: Tokoh Karya dan
Pemikirannya, Medan: Rawda Publishing, 2018
Hasanuddin bin Muhammad Maksum bin Abu Bakar ad-Deli al-Jawi, Al-
Quthufat as-Saniyah li Man’i Badh Ma fi al-Fawa’id al-Aliyah (Mekah:
Al-Mathba’ah al-Miriyah, 1333