Anda di halaman 1dari 8

1|PPMIDI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana riwayat hidup Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Ahmad Khatib


Sambas?
2. Apa saja pemikiran yang dihasilkan oleh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan
Ahmad Khatib Sambas?
3. Apa saja kiprah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Ahmad Khatib Sambas
Terhadap penyebaran Islam di nusantara?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui riwayat hidup Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Ahmad Khatib
Sambas.
2. Mengetahui pemikiran yang dihasilkan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan
Ahmad Khatib Sambas.
3. Mengetahui kiprah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Ahmad Khatib Sambas
terhadap penyebaran Islam di nusantara

1
2|PPMIDI

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

1. Riwayat Hidup Ahmad Khatib Al-Minangkabawi


Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bernama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul
Lathif bin Abdullah bin Kalan al-Minangkabawi al-Jawi. Beliau lahir pada hari Senin, 6
Zulhijjah 1276 H/ 26 Mei 1860 M di Koto Tuo, Agam, Sumatera Barat. Ia berasal dari
keluarga yang taat beragama dan berpendidikan.

Pada tahun 1287 H (1871 M), di usia 11 tahun, Syaikh Ahmad Khatib pergi
melaksanakan ibadah haji dan menetap di Mekkah untuk belajar al-Quran kepada Syaikh
Abdul Hadi dan ilmu keislaman lainnya kepada Utsman Syatta dan saudaranya. Setelah
empat tahun di Mekkah, beliau kembali pulang ke tanah air dan terus belajar kepada
ulama-ulama yang ada di Minangkabau, seperti belajar Tafsir Jalalain dan kitab Minhaj
at-Thalibin kepada Tuanku Mudo.

Dua tahun berada di tanah air, Utsman Syatha datang ke Padang mengajak Syaikh Khatib
kembali ke Mekkah. Kecerdasan dan keshalihan Syaikh Khatib menarik perhatian
bangsawan Mekkah, Syaikh Shalih al-Kurdi lalu menikah dengan anaknya yang bernama
Khadijah. Lalu pada tahun 1301 H, Khadijah meninggal. Syaikh Ahmad Khatib menikah
untuk yang kedua kalinya dengan kakak kandung Khadijah yakni Fathimah, putri pertama
Syaikh Shalih al-Kurdi dan dikaruniai dua orang anak.

Pada usia 38 tahun, beliau diangkat menjadi salah satu ulama mazhab Syafi’I dan mulai
berkhutbah di mimbar Masjidil Haram. Murid-murid dari berbagai di daerah di Nusantara
banyak yang berdatangan ke Mekkah, dan kebanyakan ulama-ulama yang pernah belajar
ke Mekkah, rata-rata pernah menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. 1
Tidak hanya murid beliau yang banyak, tapi beliau juga memiliki sejumlah karya tulis
dengan karya pertamanya di bidang ushul fiqh.

1
Nasruddin Anshoriy, Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan, (Yogyakarta: Jogja Bangkit
Publisher, 2010), hlm. 52

2
3|PPMIDI

Akhirnya, setelah mengabdi untuk umat selama lebih dari tiga puluh tahun, ajal telah tiba
menjemputnya dan beliau wafat pada jam 9 setelah Isya, hari Senin 9 Jumadil Awal
1334H, bertepatan pada 13 Maret 1916 M.2

2. Pemikiran Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

a. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Menentang Tarekat

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi banyak menentang praktek tarekat


Naqysabandiyah al-Khalidiyah di Minangkabau, Sumatera Barat. Menurutnya tarekat
Naqsyabandiyah telah masuk bid’ah yang tidak terdapat pada masa Rasul dan para
sahabat dan tidak pernah diamalkan oleh imam mazhab yang empat. Seperti
menghadirkan gambar atau rupa guru dalam ingatan ketika mulai suluk – sebagai
perantara kepada tuhan.

Beliau mengatakan perbuatan serupa itu sama saja dengan dengan penyembahan
berhala yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Karena, menghadirkan rupa guru dan
menyembah berhala-berhala yang dibuat oleh manusia tidak memberikan manfaat dan
mudharat kepada manusia.

b. Kritik terhadap Adat Minangkabau

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga menentang praktek adat dan


tingkah lakuyang bertentangan dengan ajaran Islam, salah satunya hokum waris adat
Minagkabau yang menganut sistem matrilinieal dimana adat masyarakat yang mengatur
alur atau garis keturunan berasal dari pihak ibu.

2
Afdhil Fadli, Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi(1860-1916 M): Dari Minangkabau Untuk
Dunia Islam, (Yogyakarta: Gre Publishing, 2016), hlm. 2-5

3
4|PPMIDI

Menurut adat Minangkabau harta pusaka diwariskan kepada kemenakan, bukan


kepada anak sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan kemenakan laki-laki hanya menjadi
pembantu saja dalam menggarap dan memelihara harta pusaka itu. Ia hanya memperoleh
sebagian hasil sebagai upah pekerjaannya.

Padahal menurut ajaran Islam, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan
ketentuan anak laki-laki memperoleh dua bagian dari anak perempuan. Jadi jelas adanya
perbedaan dan pertentangan antara peraturan adat dengan peraturan agama dalam hal
warisan di Minangkabau.

Pengetahuan agama Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi telah membentuk


sikapnya yang tegasterhadap adat-istiadat Minangkabau. Tantangannya terhadap adat ini
bahkan lebih keras dari tantangannya terhadap tarekat Naqsabandi. Menurut Syaikh
Ahmad Khatib Al-Minangkbawi, barang siapayang masih mematuhi adat yang berasal dari
kerajaan syaitan (Datuk Perpatih nan Sabatang dan Datuk Ketumanggangan) di samping
hokum Allah adalah kafir dan masuk neraka. Semua harta bendanya yang diperoleh
menurut hokum waris kemenakan dianggap rampasan.3 Dalam kitab beliau, Irsyadul
Hajara fii Raddhi ‘ala an-Nashara, beliau menolak doktrin trinitas Kristen yang
dipandangnya sebagai konsep tuhan yang ambigu.

Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi boleh dikatakan menjadi tiang tengah dari
madzhab Syafi’I dalam dunia islam pada permulaan abad ke XIV. Beliau banyak sekali
mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), adalah:

1. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.

2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.

3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).

4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.

5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).

3
Fathimah Althafunnisa, “Pemikiran Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi”, diakses dari
https://fathimahalthafunnisa.blogspot.com/2015/03/pemikiran-syeikh-ahmad-khatib-al.html?m=1 pada tanggal 23
September 2019 pukul 03.45

4
5|PPMIDI

Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekkah


melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-
murid yang belajar kepadanya. Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan
daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke
Mekkah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah
asalnya masing-masing. Sejak berangkat ke tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak pernah
kembali ke tanah air, tetapi pengaruh nya cukup besar di Minangkabau, tanah asalnya
pengaruh Ahmad Khatib.

Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yangberasl dari daerah minang
kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad Khatib menolak hukum
waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan, khusus dikalangan
pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat naqsybandiah di teruskan oleh
murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga berjasa dalam mendidik murid-murid
yang datang dari Indonesia yang belajar kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan
tokoh dakwah terkemuka di Indonesia.

Penolakan Ahmad Khatib terhadap hukum waris adat di Minangkabau di perjuangkan


dengan sangat gigih oleh muridnya yahya, yang terkenal dengan Tuanku Simabur berasal
dari tanah datar sekarang kabupaten, dalam tulisan, khutbah, dan pengajian karang
kabupaten, simabur mengumumkan perang kepada kaum adat serta ulama ikut membantu
menegakkan hukum adat mengenai waris.

5
6|PPMIDI

B. Ahmad Khatib Sambas

Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah Kampung Asam, Sambas, Kalimantan Barat.
Tanggal lahirnya tidak diketahui, tapi sebagian sumber menyebutkan pada bulan shafar 1217
H bertepatan dengan tahun 1803 M. Ayahnya Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad
bin Jalaluddin. Masa kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh pamannya yang terkenal sangat
alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya
untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah
kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, H.
Nuruddin Musthafa, Imam Masjid Jami’ Kesultanan Sambas.

Kemudian ia meneruskan pendidikannya ke Timur Tengah, khususnya ke Makkah.


Kemudian memutuskan untuk menetap di Makkah sampai wafat pada tahun 1875 M. Di
sana ia berguru di antaranya kepada Syekh Daud bin Abdullah Al-Fathani  yang dikenal
sebagai guru besar Tarekat Syatariyah. Kemudian ia berguru juga kepada Syekh
Syamsuddin, guru besar Tarekat Qadiriyah. Sedangkan kepada Syekh Sulaiman Effendi,
guru besar Tarekat Naqsyabandiyah yang berpusat di Jabal Abu Qubais. Selain yang
disebutkan di atas, terdapat juga sejumlah nama yang juga menjadi guru-guru Khatib
Sambas, seperti Syaikh Muhammad Salih Rays, seorang mufti bermadzhab Syafi’i, Syeikh
Umar bin Abd al-Rasul al-Attar, juga mufti bermadzhab Syafi’I (w. 1249 H/833/4 M), dan
Syeikh ‘Abd al-Hafiz ‘Ajami (w. 1235 H/1819/20 M).Ia juga menghadiri pelajaran yang
diberikan oleh Syeikh Bisri al-Jabarti, Sayyid Ahmad Marzuki, seorang mufti bermadzhab
Maliki, Abd Allah (Ibnu Muhammad) al-Mirghani (w 1273 H/1856/7 M), seorang mufti
bermadzhab Hanafi serta Usman ibn Hasan al-Dimyati (w 1849 M). 4

4
Rozi, “Biografi Syekh Ahmad Khatib Sambas”, diakses dari http://nahdlatululama.id/blog/2016/07/26/syekh-
ahmad-khatib-sambas/ pada tanggal 22 september 2019 pukul 19.38

6
7|PPMIDI

1. Pemikiran Ahmad Khatib Sambas

a. Pendiri Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN)


Dalam bidang tarekat, ia menggabungkan kedua tarekat yang didapat dari gurunya
yang mengajarkan Qodiriyah dan Naqsyabandiyah. Kemudian dikenal dengan Tarekat
Qodiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Semasa hidupnya, Syekh Ahmad Khatib
Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah
beliau meninggal dipegang oleh Syekh Abdul Karim Banten.  Dua wakil penting
lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn
Muhammad Madura. 
Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah
Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya
TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.
Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya
yang paling penting adalah Syekh Abdullah Mubarrok Ibn Nur Muhammad atau
“Abah Sepuh” dari Suryalaya (Tasikmalaya) yang dilanjutkan putranya yaitu Syekh
Ahmad Shohibul Wafa’ Taj Al-Arifin yang dikenal Abah Anom. Khalifah lain di Jawa
Barat adalah KH Tubagus Abdullah Falak atau yang dikenal Abah Falak di daerah
Pagentongan, Bogor.
Di Jawa Tengah adalah KH Muslih Abdurrahman (Mbah Muslih), yang menerima
ijazah TQN dari KH Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul
Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Sedangkan di Jawa Timur TQN
berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura,
terutama di pesantren yang didirikan KH Romli Tamim, dan kemudian diteruskan KH
Musta’in Romly yang sempat menjadi Ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh
al-Nahdliyyah.
Ia juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti
Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf. Ia tidak meninggalkan banyak
karya tulis. Cuma satu kitab yang disandarkan kepadanya Fathul Arifin. Kitab tersebut
didiktekan dan ditulis oleh salah seorang muridnya, Muhammad Ismail bin
Abdurrahim Al-Bali. Kitab yang yang  selesai ditulis 1872 tersebut berisi ajaran dalam
TQN.

7
8|PPMIDI

Anda mungkin juga menyukai