Anda di halaman 1dari 52

Kedokteran adalah bidang keilmuan yang bersinggungan langsung dengan

nyawa manusia, sehingga bila terjadi sedikit kesalahan akan berakibat fatal (mal
praktek). Karena itu, dalam pembelajaran mahasiswa kedokteran harus
didukung dengan laboratorium pembelajaran yang memadai.
Salah satu laboratorium yang digunakan dalam pembelajaran bidang kedokteran
adalah laboratorium anatomi yang menggunakan media kadaver (mayat).
Sampai dengan saat ini, kadaver masih menjadi media yang paling efektif dalam
pembelajaran di laboratorium anatomi. Dengan media kadaver yang telah
dibelah dan dikeluarkan organ dalamnya, mahasiswa akan memahami dan
mengamati langsung semua organ tubuh manusia yang sesungguhnya.
Pemahaman ini sangat dibutuhkan dalam mendiagnosa pasien agar
pemeriksaannya cermat dan tepat sehingga terhindar dari mal praktek.
Karenanya, penggunaan kadaver dalam pembelajaran bidang kedokteran
merupakan suatu keniscayaan.
Pertanyaan

1. Bagaimanakah hukum menggunakan kadaver (mayat manusia) untuk media


pembelajaran?
2. Bagaimanakah akad yang benar dalam mendapatkan kadaver?
3. Adakah syarat yang harus dipenuhi dalam memilih kadaver?
4. Bagaimanakah tuntunan lslam dalam memperlakukan kadaver dalam
kondisi:
a. Ketika akan diawetkan,
b. Ketika membelah dan mekeluarkan organ tubuhnya, bagaimana etikanya?
c. Ketika mengamati dan mempelajari organ tubuhnya, bagaimana etikanya?
d. Ketika sudah tidak digunakan lagi, apakah perlakukan seperti mayat biasa:
dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan?

Jawaban a
Terdapat khilaf antara ulama Mu’ashirin (kontemporer):

1. Menggunakan kadaver untuk media pembelajaran hukumnya tidak


diperbolehkan. Sebab berdasar pada nash yang menjelaskan sifat manusia
yang dimuliakan oleh Allah.
2. Bila penggunaan kadaver menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat bisa
dihindari, maka dapat mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan
dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain :
a ) Mendahulukan mayat kafir harbi, murtad atau kafir zindiq (orang tidak
memiliki syari’at, berkeyakinan bahwa dunia ini kekal, atau orang yang
tidak percaya dengan adanya akhirat dan tidak mempercayai keesaan Allah)
daripada mayat muslim.
b ) Diyakini bahwa orang tersebut benar-benar sudah meninggal.
c ) Harus ada kebutuhan yang mendesak seperti tujuan pembelajaran, atau
penelitian penyakit yang tidak bisa digantikan oleh media yang lain.
d ) Sebelum meninggal mayat memberi izin untuk dijadikan cadaver, atau
ada izin dari keluarga
e ) Kadaver harus tetap diperlakukan semulia mungkin.
f ) Setelah kadaver sudah tidak dibutuhkan, maka seluruh anggota tubuhnya
dikumpulkan kembali untuk dikubur secara bersamaan.
g ) Karena pembelajaran dunia kedokteran ini untuk menuju
tercapainya fardlu kifayah, maka pemanfaatan kadaver harus dilakukan oleh
orang-orang yang bisa diharapkan keberhasilannya.

Catatan:
Mengingat belum ada undang-undang yang mengatur penggunaan
kadaver, PWNU Jawa Timur mendorong kepada pemerintah untuk segera
membuat undang-undang yang mengaturnya.
http://www.moslemforall.com/penggunaan-kadaver-mayat-sebagai-media-
pembelajaran-medis/

Hukum Jual Beli Mayat (Kadaver Untuk Pembelajaran)

Kadaver (mayat) memang diperlukan untuk proses belajar mengajar khususnya


ilmu anatomi dan bedah. Akan tetapi karena mendapatkannya sulit, maka
terkadang mayat didatangkan dengan cara membeli. Bagaimana hukumnya hal
ini?

Pertanyaan diajukan kepada syaikh Abdul Aziz bin Baz (mantan mufti utama
Saudi)rahimahullah,
‫ بعض كليات الطب تشتري جثثا من جنوب شرقي آسيا بغرض التشريح فما الحكم؟‬:‫س‬

Sebagian fakultas kedokteran membeli mayat (kadaver) dari negara Asia


tenggara dengan tujuan dipotong-potong (untuk pembelajaran), apa hukumnya?

.‫ أما غيرهم فال يجوز التعرض لهم‬،‫ إذا كانت الجثث من كفار ال أمان لهم فال حرج‬:‫ج‬

Jawaban:

Jika mayat-mayat tersebut merupakan mayat orang kafir yang tidak ada
keamanan bagi mereka , maka tidak mengapa. Adapun selain itu maka tidak
boleh diperjualbelikan.

(Fatawa At-Thib wal Mardha hal 421, syamilah)

Catatan:

-mayat kaum muslimin tidak selayaknya diperjual belikan apalagi dipotong-


potong karena ada larangan haditsnya

-diupayakan menggunakan mayat orang kafir untuk keperluan kadaver


pembelajaran

Beikut fatwa syaikh Muhammad Asy-Syinqiti rahimahullah mengenai hal ini.

: ‫ أوال‬: ‫الذي يترجح في نظري – والعلم عند هللا – هو جواز تشريح جثة الكافر دون المسلم وذلك لما يلي‬

. ‫ألن األصل عدم جواز التصرف في جثة المسلم إال في الحدود الشرعية المأذون بها والتشريح ليس منها‬

، ‫ فال يجوز العدول عنها إلى جثث المسلمين‬، ‫ أن الحاجة إلى التشريح يمكن سدها بجثث الكفار‬: ‫ثانيا‬

. ‫ أن أدلة المنع يمكن تخصيصها بالمسلم دون الكافر‬: ‫ ثالثا‬. ‫لعظيم حرمة المسلم عند هللا حيا أو ميتا‬

‫ أن استدالل القائلين بجواز التشريح مطلقا بقياسه على نبش القبر الميت ألخذ الكفن المغصوب‬: ‫رابعا‬

… ‫مردود بكونه قياسا مع الفارق‬


Yang rajih menurut saya [syaikh Asy-Syinqiti] –wal ‘ilmu ‘indallah– adalah
bolehnya membedah mayat orang kafir bukan mayat seorang muslim. Karena
pertimbangan berikut:

1.hukum asalnya tidak boleh melakukan tindakan yang macam-macam terhadap


mayat seorang muslim kecuali dalam batas-batas syariat yang diperbolehkan.
Dan pembedahan termasuk yang tidak dibolehkan.

2.kebutuhan untuk pembedahan bisa dipenuhi dengan mayat orang kafir dan
tidak boleh berpaling ke mayat seorang muslim karena muliannya derajat
seorang muslim di sisi Allah baik ketika hidup maupun mati.

3.dalil-dalil yang melarang [melarang mencincang dan menghacurkan tulang –


pent] mungkin merupakan takhsis/pengkhususan kepada muslim saja tidak pada
orang kafir

4.Mereka yang berdalil bolehnya pembedahan secara mutlak mengqiyaskannya


dengan bolehnya membongkar kubur mayat untuk mengambil kain kafan yang
dirampas, maka qiyas ini tertolak karena merupakan “qiyas ma’al faariq” [qiyas
yang tidak sesuai –pent]

‫ ولكن ينبغي أن يتقيد‬، ‫ولهذا كله فإنه يترجح في نظري القول بجواز تشريح جثة الكافر دون المسلم‬

‫ فإنه ال يجوز التمثيل بالكافر بتشريحه‬، ‫ فمتى زالت‬، ‫األطباء وغيرهم ممن يقوم بمهمة التشريح بالحاجة‬

.‫هـ‬.‫ا‬. ‫ ألن ما جاز لعذر بطل بزواله وهللا تعالى أعلم‬، ‫حينئذ‬

Oleh karena itu yang rajih menurut pendapatku adalah pendapat yang
membolehkan pembedahan mayat orang kafir dan tidak boleh pada mayat
orang muslim. Akan tetapi selayaknya para dokter dan yang lainnya [pemedah
mayat] membatasi kepentingan pemedahan mayat sesuai dengan kebutuhan.
Jika tidak ada kebutuhan, maka tidak boleh mencincang maupun membedah
mayat orang kafir ketika itu. Karena apa yang boleh karena ada udzur maka
tidak boleh ketika udzur tersebut hilang. Wallahu ta’ala a’lam.

https://muslimafiyah.com/hukum-jual-beli-mayat-kadaver-untuk-
pembelajaran.html
cadaver menurut hukum islam
22 JUNI 2015 / KHOLIFATULUNYUK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik
yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan,
kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut
hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin
ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan
dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini
terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan
beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem
pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan hukum.
Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini
bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam,
menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan
masyarakat dibandingkan dengan studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam
dan sebagainya. Fiqhlah yang paling banyak dikenal dan amat populer di
masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di
masyarakat Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan
qawa’id fiqhiyyah sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena
adanya perubahan sosial yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring
dengan itu, kajian pemikiran hukum Islam dari sudut theologi juga banyak
dilakukan para ahli dengan berbagai pendekatan yang digunakan.
Salah satu masalah yang terangkat dalam pembahasan masailul fiqh adalah
tentang pengobatan alternatif. Pada dasarnya, pengobatan alternatif berhukum
apa dalam Islam dan lain hal yang masih berhubungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian cadaver dan apa saja macamnya?
2. Apa saja alasan melakukan cadaver?
3. Bagaimana hukum cadaver dalam Islam?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam cadaver.
2. Untuk mengetahui alasan melakukan cadaver.
3. Untuk mengetahui hukum cadaver dalam Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam-Macam Cadaver
Cadaver pada dasarnya merupakan kegiatan mendonorkan organ tubuh manusia
yang telah meninggal untuk diberikan kepada manusia yang masih hidup.
Dalam hal ini, kegiatan cadaver dapat dipahami sebagai bagian dari kegiatan
transplantasi dalam ilmu kedokteran.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, kegiatan cadaver merupakan bagian dari
kegiatan transplantasi yang berarti pemindahan jaringan atau organ dari tempat
yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud jaringan disini ialah kumpulan sel-
sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai fungsi tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan organ ialah kumpulan jaringan yang
mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai
fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.
Melihat dari adanya hal tersebut di atas, maka dapat dibagi kegiatan
transplantasi cadaver itu pada 2 (dua) bagian:
a. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.
b. Transplantasi organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Berkenaan dengan hal tersebut, cadaver merupakan bagian dari homo
transplatasi. Pada homo transplantasi dikenal adanya 3 (tiga) kemungkinan:
c. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah saudara kembar
yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak
menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa
dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
d. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah saudara kandung
atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan
ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada
golongan ketiga.
e. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah dua orang yang
tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu
menyebabkan reaksi penolakan.
B. Alasan Melakukan Cadaver
Dalam hal ini akan dikemukakan dua pendapat yang pro dan kontra tentang
adanya donor organ ini dengan mengemukakan alasan-alasannya.
Pandangan yang menentang pencangkokan organ dengan tiga alasan yang
mendasar, yaitu:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia
Setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa
perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu
hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk
menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah
menjadi mayat, “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan
melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup”.
2. Tubuh manusia adalah amanah
Hidup dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi
pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tidak boleh
untuk merusak pinjaman yang diberikan oleh Allah Swt.
3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata
Pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk
dicangkokkan pada tubuh orang lain, disini tubuh dianggap sebagai benda
material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi
ketubuh seseorang.
Sedangkan bagi yang pro atas donor organ berlandaskan pada alasan berikut:

1. Kesejahteraan publik (maslahah)


Pada dasarnya manipulasi organ memang tak diperkenankan, meski demikian
ada beberapa pertimbangan lain yang bisa mengalahkan larangan itu, yaitu
potensinya untuk menyelamatkan hidup manusia yang mendapat bobot amat
tinggi dalam hukum Islam. Dengan alasan ini pun, ada beberapa kualifikasi
yang mesti diperhatikan, yaitu (1) Pencangkokan organ boleh dilakukan jika tak
ada alternatif lain untuk menyelamatkan nyawa, (2) derajat keberhasilannya
cukup tinggi ada persetujuan dari pemilik organ asli (atau ahli warisnya), (3)
penerima organ sudah tahu persis segala implikasi pencangkokan (informed
consent).
2. Altruisme
Ada kewajiban yang amat kuat bagi muslim untuk membantu manusia lain
khususnya sesama muslim, pendonoran organ secara sukarela merupakan
bentuk altruisme yang amat tinggi (tentu ini dengan anggapan bahwa si donor
tak menerima uang untuk tindakannya), dan karenanya dianjurkan.
C. Hukum Islam tentang Cadaver
Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa:
1. Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah
berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal
ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah:
‫ت‬ ُ ْ‫الض َُّر ْو َراتُ تُبِ ْي ُح اْل َمح‬
ِ ‫ظ ْو َرا‬
Artinya: “Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.
Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
‫الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬
Artinya: “Bahaya itu harus dihilangkan”.
2. Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan
menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan
dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada
ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau
ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni
1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka
pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan
orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada
izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin
keluarga/ahli waris.
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan
langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung tentang
teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di
ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri
mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali
dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ
tubuh, antara lain:
1. Al-Quran
a. Surat Al-Baqarah ayat 195
      
     •  
 
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S.
Al-Baqarah: 195).
Ayat di atas menyatakan bahwa Islam tidak membenarkan seseorang
membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan
secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi
harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b. Surat Al-Maidah ayat 32
      
        
   ••  
   ••   
    • 
      
Artinya: “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka Rasul-Rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi”. (Q.S. Al-Maidah:
32).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi)
sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang
telah disebutkan di atas.

c. Surat Al-Maidah ayat 2


     
      
    
      
    • 
      
       
     •  
•    
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-
syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang
mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu
dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Maidah:
2).
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-
menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang
sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena
agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surat Al-Isra ayat 70, juga
menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits
Rasulullah Saw, “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama
seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah)..
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin, meskipun pekerjaan transplantasi
itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan
karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya
mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur
merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya. Hal ini didasarkan pada
qaidah fiqhiyyah:
‫ب أ َ َخ ِفِّ ِه َما‬
ِ ‫ارتِ َكا‬
ْ ِ‫ض َر ًرا ب‬ َ ‫ي أ َ ْع‬
َ ‫ظ ُم ُه َما‬ َ ‫ت َم ْف‬
َ ‫س َدتا َ ِن ُر ْو ِع‬ ْ ‫ض‬ َ َ‫إِ َذا تَع‬
َ ‫ار‬
Artinya: “Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan),
maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan
melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.
2. Hadits
a. Rasulullah Saw bersabda:
‫اح ٍد اْل َه َر ُم‬ َ ‫ض ْع َدا ًء إِالَّ َو‬
َ ‫ض َع لَهُ َد َوا ًء‬
ِ ‫غي َْر دَاءٍ َو‬ َ َ‫ت َ َد ُاو ْوا ِع َبا َد هللاِ فَإ ِ َّن هللا َلَ ْم ي‬
Artinya: “Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat
penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”. (HR. Ahmad,
Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya
mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.

b. Rasulullah Saw bersada:


Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan
sembuh atas izin Allah. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cadaver pada dasarnya merupakan kegiatan mendonorkan organ tubuh
manusia yang telah meninggal untuk diberikan kepada manusia yang masih
hidup. Dalam hal ini, kegiatan cadaver dapat dipahami sebagai bagian dari
kegiatan transplantasi dalam ilmu kedokteran. Melihat dari adanya hal tersebut
di atas, maka dapat dibagi kegiatan transplantasi cadaver itu pada 2 (dua)
bagian, yaitu trasplantasi organ dan jaringan.
2. Pandangan yang menentang pencangkokan organ dengan tiga alasan yang
mendasar, yaitu:
a. Kesucian hidup/tubuh manusia.
b. Tubuh manusia adalah amanah.
c. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Sedangkan bagi yang pro atas donor organ berlandaskan pada alasan bahwa
kesejahteraan publik (maslahah) dan altruisme.
3. Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa:
a. Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat.
b. pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat.
B. Saran
Akhirnya telah rampung pembahasan tentang Pengobatan Alternatif yang dapat
penulis uraikan di dalam makalah ini. Akhirnya penulis hanya bisa berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya.

https://iffahajha.wordpress.com/2015/06/22/cadaver-menurut-hukum-islam/

BEDAH MAYAT DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM

Oleh
Ustadz Muhammad Yasir, Lc

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

‫﴾ أَح َيا ًء َوأَم َواتًا‬٢٥﴿ ‫ض كفَاتًا‬


َ ‫م نَج َعل األَر‬
Bukankah Kami menjadikan bumi tempat berkumpul orang-orang hidup dan
orang-orang mati? [al-Mursalât/77:25-26].

Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang mengartikan ayat tersebut dengan
menyebutkan, bahwa Allâh Azza wa Jalla menjadikan bumi dua bagian, yaitu
bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan bagian bawah dihuni oleh orang
yang mati.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan untuk segera


dalam mengurus mayat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫عن رقَاب ُكم‬ َ َ ‫صال َحةً فَ َخير تُقَد ُمونَ َها َوإن َيكُ س َوى ذَلكَ فَشَر ت‬
َ ُ‫ضعُونَه‬ ُ ‫أَسر‬
َ ُ‫عوا بالجنَازَ ة فَإن ت َك‬

Segerakanlah penyelenggaraan jenazah. Karena, apabila jenazah itu orang


shalih maka kalian telah berbuat baik untuknya. Sedangkan jika jenazah itu
bukan orang baik maka agar kalian segera meletakkan benda jelek dari pikulan
kalian. [HR al-Bukhâri, no. 1252].

Dalam prakteknya, adakalanya perintah ini tidak terlaksana. Mayat masih


dibiarkan berhari-hari atau berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun. Hal
itu disebabkan beberapa alasan yang hendak dicapai. Salah satu dari sekian
alasan yang ada, misalnya, untuk membedah mayat tersebut.

Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran calon dokter.

Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum
pidana, seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab
kematian sehingga mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan
mencari tersangka pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum
Allâh Azza wa Jalla secara benar dan tepat. Tujuan kedua, yang disebut otopsi
klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari penyebab medis kematian.
Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. Otopsi
ini biasanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan
kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan
usaha untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara
yang harus ditempuh adalah dengan cara membedah mayat.

Pembahasan ini sangat penting untuk diketahui hukumnya, karena pembedahan


mayat tersebut sudah merupakan perlakuan yang biasa didengar, terlebih lagi
bila pembedahan itu bertujuan untuk belajar bagi calon dokter. Banyak mayat
yang jadi sasaran perlakuan ini, bahkan biasanya menjadi sarana untuk
memperjualbelikannya.

Masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah mengenai perlakuan tidak
wajar terhadap mayat manusia dengan cara mengutak-atik organ tubuhnya.
Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia. Terlebih lagi
bila ditinjau dari hukum Islam.

Berikut dalil-dalil dan pendapat para Ulama tentang hukum perlakuan pada
mayat manusia.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

‫علَى َكثير م َّمن َخلَقنَا‬ َّ َ‫َولَقَد َك َّرمنَا بَني آدَ َم َو َح َملنَا ُهم في البَر َوالبَحر َو َرزَ قنَا ُهم من‬
َ ‫الطيبَات َوفَضَّلنَا ُهم‬
ً ‫ت َفض‬
‫يال‬

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. [al-Isrâ`/17:70]

Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia itu mulia. Dan kemuliaan ini
berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah mati. Sedangkan dalam
proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia terhadap mayat, seperti
dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh, dan perlakuan lain yang
semisalnya.

Disebutkan dalam hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apabila


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan perang, beliau akan
menasihati pemimpin pasukannya secara pribadi untuk teguh bertaqwa pada
Allâh Azza wa Jalla , serta menasihati seluruh pasukannya dengan pesan yang
baik, seraya berkata :

‫ َو َال ت َمثُلُوا‬،‫ َو َال ت َغد ُروا‬،‫ اغ ُزوا َو َال تَغُلُّوا‬،‫ قَاتلُوا َمن َكفَ َر باهلل‬،‫سبيل هللا‬
َ ‫اغ ُزوا باسم هللا في‬

Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama


Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka.
Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan
pula kalian memotong-motong mayat. [HR Muslim, no. 1731]

Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫عظم ال َميت َك َكسره َحيًّا‬


َ ‫َكس ُر‬

Memecahkan tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia


masih hidup. [HR Abu Dawud, no. 3209. Hadits ini dinyatakan shahîh oleh
Albani dalam kitabnya, Irwâul Ghalîl, 3/213]

Dalam riwayat Imam Ahmad terdapat sedikit perbedaan teks, yaitu:


“memecahkan tulang mayat orang Mukmin hukumnya seperti memecahkan
tulangnya ketika ia masih hidup”.

Pendapat Para Ulama


Kami hanya akan membawakan ucapan mereka mengenai perlakuan sewajarnya
terhadap mayat orang kafir. Sedangkan untuk mayat orang Muslim, kami rasa
tidak perlu dibahas lagi. Karena, kita mengetahui bahwa mayat Muslim wajib
diperlakukan dengan istimewa, dari awal dimandikan sampai proses
pemakaman; semua wajib dijalankan sesuai dengan tata cara tertentu yang
sudah diatur olah syariat.

Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang kafir, berikut pendapat dari para
Ulama.

Menurut madzhab Ulama Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyyah, Hambaliyah dan


Zhâhiriyah, mereka sepakat, bila seorang kafir dzimmi meninggal di tengah-
tengah kaum Muslimin, sedangkan di tempat itu tidak ada orang kafir dzimmi
lain yang mengurus mayatnya, maka kaum Musliminlah yang menguburkannya,
seperti ia diperlakukan dengan baik pada masa hidupnya. Hanya saja madzhab
Hanafiyah menambahkan, walaupun ia dikuburkan namun tidak diperlakukan
seperti mayat orang Mmuslim; maksudnya, tidak dikafani dan tidak dibuatkan
lahad, hanya dimasukkan begitu saja ke dalam kubur.

Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi dan orang murtad, maka madzhab
Syâfi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum Muslimin menguburkan mayat
mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak mengapa dengan tujuan
agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk bangkai mereka.

Sedangkan madzhab lainnya (Hanafiyah, Mâlikiyah, Hambaliyah dan


Zhâhiriyah); bahwasanya pendapat mereka tetap sama dalam hal perlakuan
terhadap mayat kafir harbi atau orang murtad, sebagaimana pendapat mereka
dalam perlakuan terhadap mayat kafir dzimmi.[1]

Demikian beberapa dalil yang menunjukkan perlakuan selayaknya pada mayat


manusia.

Hukum Bedah Mayat


Dalam permasalahan ini, Majelis Ulama Besar di Saudi Arabia telah melakukan
pembahasan mengenai hal ini dalam muktamar mereka ke sembilan tahun 1396
H / 1976 M. Pertemuan itu melahirkan keputusan sebagai berikut.
Untuk keperluan otopsi, baik otopsi forensik maupun otopsi medis, maka
Majelis Ulama Besar memutuskan, boleh membedah mayat untuk keperluan
tersebut. Dengan pertimbangan, adanya maslahat yang besar dibalik otopsi ini.
Karena, otopsi forensik bertujuan untuk menegakkan hukum pidana sehingga
terciptanya keamanan dalam masyarakat. Sedangkan otopsi medis, bertujuan
terjaganya masyarat dari penyakit mewabah.

Menurut pertimbangan majelis, kedua maslahat ini lebih besar dibandingkan


dengan mafsadat membedah mayat. Jadi, bedah mayat untuk tujuan ini
dibolehkan walaupun mayat tersebut adalah mayat orang muslim ataupun mayat
orang kafir ma’shûm (yang dilindungi oleh hukum Islam, seperti kafir dzimmi).

Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu untuk belajar. Dalam hal ini
majelis mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:

• Bahwa syariat Islam datang dengan tujuan membawa maslahat serta


memaksimalkannya; dan menolak mafsadat serta meminimalkannya.

• Bedah mayat untuk belajar medis ini ada maslahat yang besar, seperti yang
sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam ilmu medis.

• Belum adanya hewan yang bisa menggantikan jasad manusia guna memenuhi
kebutuhan pembelajaran ini.

• Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad muslim, baik ketika masih hidup
maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses bedah mayat pasti
memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.
• Tidak adanya keperluan yang mendesak untuk membedah mayat orang
muslim karena memungkinkan untuk memperoleh mayat orang kafir yang tidak
ma’shum.

Dengan pertimbangan di atas, maka majelis memutuskan tidak boleh membedah


mayat orang Muslim ataupun orang kafir yang ma’shum untuk pembelajaran
ilmu kedokteran. Yang digunakan cukuplah mayat orang kafir tidak ma’shûm,
seperti kafir harbi atau orang yang murtad.

Demikian keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia tersebut.

Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah
juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah mayat untuk keperluan
pembelajaran ilmu kedokteran. Beliau hanya membolehkan pembedahan mayat
kafir harbi dan mayat orang murtad saja.[2]

Akan tetapi, yang sangat penting untuk diperhatikan oleh dokter atau pelaksana
bedah mayat lainnya, ialah landasan dibolehkannya membedah mayat karena
faktor yang mendesak kebutuhan. Oleh karena itu, apabila suatu saat kebutuhan
ini telah terpenuhi, maka kembali kepada hukum asal bahwa seluruh jasad
manusia tidak boleh dipotong-potong. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh
Dr. Muhammad bin Muhammad Mukhtar Syinqithi dalam disertasi doktoralnya,
Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha (hukum-hukum
Islam seputar operasi medis), halaman ke-112.

Begitu pula kaidah ini seharusnya diterapkan dalam mengotopsi jenazah


seorang Muslim; apabila sebab kematian dapat diketahui dengan mudah tanpa
harus otopsi, atau hanya perlu pembedahan kecil, maka tidak boleh dibedah
melebihi kebutuhan yang sebenarnya diperlukan.

Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memuat beberapa alasan
yang memperkuat maslahat untuk membolehkan membedah mayat. Di antara
alasan tersebut sebagai berikut.
Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita hamil untuk mengeluarkan janin
yang kemungkinan besar akan hidup. Memang permasalahan ini sudah
diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat kami, pendapat
paling kuat adalah yang membolehkannya.[3]

Kedua, Dibolehkan memakan mayat manusia dalam keadaan kelaparan yang


mendesak.

Dalam Raudhatuth-Thâlibin (2/551) disebutkan, “Apabila orang kelaparan


sedangkan ia tidak mendapatkan makanan kecuali mayat orang ma’shûm, maka
halal baginya untuk memakan mayat tersebut … walaupun boleh, namun hanya
dimakan sebatas untuk menyambung hidup (tidak sampai kekenyangan, Pen.)
… daging mayat itu pun tidak boleh dimasak ataupun dipanggang, harus
dimakan mentah-mentah. Karena, dimakan dengan cara itu sudah cukup untuk
menyambung hidup…”.

Adapun masalah larangan memutilasi mayat yang disebutkan dalam hadits di


atas, ternyata, ada kalanya dibolehkan kalau memang diperlukan. Seperti
hukuman yang dijatuhkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kaum
Uraniyyin, dipotong tangan dan kaki mereka, ditusuk mata mereka sampai buta
dan dibiarkan sampai mati di bukit batu kota Madinah (HR Muslim, no.
1671).[4] Atau bisa juga dikatakan, bahwa larangan memutilasi mayat, kalau
hanya untuk main-main, bukan untuk suatu kebutuhan mendesak, seperti
memotong telinga untuk gantungan kunci dan lain-lain. Sedangkan dalam kasus
ini, bedah dilakukan untuk suatu maslahat besar.

Wallâhu ‘alam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M.


Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196
Sumber: https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-tinjauan-hukum-
islam.html
https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-tinjauan-hukum-islam.html
nilai seorang muslim

hukum tentang kehormatan seorang muslim


di dalam islam adalah amat jelas,
baik ketika masih hidup ataupun sesudah mati.

Tidak dibenarkan membunuh, melukai dan menyakitinya


serta tidak boleh mematahkan tulang
atau mencincang tubuhnya setelah dia meninggal.

Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya:

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja,


maka balasannya adalah neraka Jahannam, kekal ia didalamnya dan
Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab
yang besar baginya.”
(An Nisa’ : 93)

Dari Ibnu Umar, dia berkata:

“Rasulullah bersabda : “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia


sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan Yang Berhak disembah
kecuali Allah dan Muhamad adalah utusan Nya, mendirikan solat serta
menunaikan zakat. Maka apabila mereka melaksanakannya niscaya akan
terjaga darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam dan hisab
mereka pada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

dari Aisyah berkata'

“Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang


mu’min yang sudah meninggal seperti mematahkan tulangnya saat dia
masih hidup.”
(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Baihaqi, Ahmad dengan
sanad shohih)

maka, menurut Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari,


“Hadits ini menunjukkan bahwa kehormatan seorang mu’min setelah
dia meninggal sama sebagaimana tatkala dia masih hidup.”
jadi, menurut apa yang saya sendiri faham,
secara asasnya,
adalah haram dan dilarang untuk kita memotong,
atau melukai mayat seorang muslim yang lain..

namun,
islam itukan sempurna dan indah,
malah bersesuaian dengan setiap masa dan kondisi.

sebagai contohnya,
semua daripada kita yakin dan terima,
bahawa sekiranya dalam keadaan darurat,
memakan daging babi yang hukum pada asalnya adalah HARAM
bertukar menjadi harus,
asalkan tidak berlebih-lebihan..

“Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia


tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya.”
(QS. Al Baqarah : 173)
juga berdasarkan sebuah kaedah fiqh yang masyhur bahawa
keadaan darurat (terpaksa) itu boleh menghalalkan sesuatu
yang haram.

maka,
hukum memotong (membedah) mayat seorang muslim,
yang pada asalnya adalah haram,
boleh menjadi harus
sekiranya keadaan benar-benar memerlukan..

berbalik pada pembentangan di dalam kelas pagi tadi,


ada yang mengatakan kelihatan seperti ada double standard
apabila islam melarang menggunakan mayat seorang muslim,
namun membenarkan penggunaan mayat non-muslim,
sedangkan pandangan-pandangan dari agama lain,
kesemuanya membenarkan penggunaan cadaver
dengan syarat menghormatinya..

ya, pada awalnya


apabila membaca ayat pada slide yang dipancarkan tadi,
saya turut merasa begitu..
sehingga beberapa minit yang lalu,
saya cuba mencari penjelasan yang boleh meyakinkan saya..

namun, bila saya fikirkan kembali,


sebenarnya ayat itu bukanlah
menunjukkan bahawa islam memandang rendah kepada non-muslim,
atau mengambil sikap mengdouble standardkan antara kita dan mereka,
tetapi ayat itu menunjukkan pegangan atau stand agama islam
yang amat menghargai dan menjaga penganutnya,
dan dalam masa yang sama,
menghormati pendangan agama lain..

mungkin kalau boleh direphrase ayat dalam slide tadi,

" tidak dibenarkan membedah mayat seorang muslim (kerana terdapat


larangan tentangnya, kecuali jika amat diperlukan), namun agama lain
membenarkan pembedahan mayat, maka lakukanlah (jika ada agama
yang tidak membenarkan, maka jangan lakukan ke atas mereka)"

erm..boleh faham ke kalau rephrase macam tu?


mungkin ayat kat atas tadi,
menampakkan islam tu tak hargai mayat non muslim,
tapi sebenarnya tidak..

atau contoh lainnya


SEKIRANYA,
agama Buddha juga tidak membenarkan mayat penganut agamanya
digunakan bagi tujuan pembedahan,
pastilah ayat dalam slide tadi akan bermaksud

"tidak dibenarkan membedah mayat seorang muslim (kerana terdapat


larangan tentangnya, kecuali jika amat diperlukan), namun agama lain
membenarkan pembedahan mayat, maka lakukanlah kecuali terhadap
agama Buddha"

andaikata di sesuatu tempat,


pihak dari fakulti perubatan
memerlukan mayat sebagai bahan untuk dipelajari,
dan hanya terdapat mayat seorang muslim dan seorang non-muslim,
kalau ikut pegangan agama,
islam tidak membenarkan,
namun agama lain membenarkan mayatnya digunakan,
jadi pastilah yang diutamakan mayat non-muslim tersebut..

TETAPI,
sekiranya keluarga dari yang non-muslim tak membenarkan,
maka pastilah tidak boleh mayat non muslim tersebut diambil,
lalu inform consent (izin) dari keluarga muslim patut ditanya
kerana itu adalah jalan terakhir
untuk kelangsungan proses pembelajaran
yang insyaAllah bakal membawa banyak manfaat di masa hadapan.

wallahu'alam~

http://duha89.blogspot.co.id/2011/05/bedah-mayat-muslim.html

hukum kadaver
Beberapa waktu lalu saya mendapat statement cukup menarik dari
seorang ustadz pengisi kajian fikih sunnah di asrama tentang hukum
bedah mayat. Menurut beliau bedah mayat itu hukumnya haram atas
alasan apapun termasuk untuk riset mahasiswa kedokteran. Saya
penasaran dengan statemen itu dan ingin mencari kebenarannya. Maka
saya posting tulisan di milist diskusi MITI-Mahasiswa untuk berdiskusi
dengan beberapa ahli (dokter dan ahli fikih). Maka ini kira-kira
beberapa jawaban dari sekian jawaban yang saya rangkum dari hasil
diskusi di milist:

Pendapat dari rekan saya seorang dokter:

Bedah mayat (kadaver) hampir setiap tahun diadakan menjelang masuk


semester 2 oleh mahasiswa kedokteran. Karena di semester 2 inilah
mahasiswa kedokteran mulai melakukan praktikum Anatomi, yang
dilakukan dengan membedah mayat, atau bahasa kerennya KADAVER
(mayat yang telah diawetkan, biasanya proses pengawetan
menggunakan formalin dan memakan waktu setahun). Keberadaan
mayat dalam praktek kedokteran cukup urgent bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengembangan dunia kedokteran.
Dan yang paling penting, Bagaimana kita bisa mengobati pasien kalau
kita ga tahu struktur tubuh manusia. Apalagi untuk seorang ahli bedah.
Gak mungkin kan seseorang yang akan membedah tubuh manusia untuk
keperluan terapi, tapi ga pernah tahu struktur tubuh manusia itu seperti
apa? Gimana kita bisa tahu struktur itu normal apa nggak, kalo kita ga
pernah tahu dan liat. Seorang ahli bedah harus punya pengalaman
beratus-ratus kali agar bisa menjadi ahli bedah profesional.

Kalo antum pernah liat TMD (Team Medical Dragon), mungkin antum
akan paham urgensi dari praktikum bedah kadaver ini bagi mahasiswa
kedokteran. Pengalaman saya ketika belajar anatomi dulu, saya harus
membaca dan membuka atlas anatomi yang memberikan gambaran
lengkap struktur tubuh manusia, dari organ yang besar seperti hepar
sampai yang terkecil seperti serabut saraf/neuron. Hal ini diharapkan
akan membuat kita lebih mudah dalam belajar. Tapi, ternyata ketika
saya berhadapan langsung dengan kadaver, saya masih kebingungan.
Mencocokkan gambar yang di atlas dengan struktur asli. Bisa antum
bayangkan, bagaimana kalo seorang ahli bedah tidak pernah membedah
tubuh asli manusia?

Dalam fakultas kedokteran FK Unair, kita tidak pernah jual beli mayat.
Kadaver yang kita dapatkan berasal dari instalasi Forensik RSUD Dr
Soetomo. Biasanya kadaver2 ini adalah jenazah yang tidak diketahui
identitasnya. Tidak ada keluarga yang mengakui. Terakhir, insya Allah
kiat sebagai mahasiswa kedokteran sangat menghormati jenazah yang
kami gunakan untuk belajar. Kita selalu mendahului praktikum kita
dengan doa.

Selanjutnya ini adalah jawaban Ust Nanung Danar Dono yang disarikan
oleh Ega (rekan saya di departemen riset miti-mahasiswa). Ust Nanung
ini sering mengisi kajian halal haram di RadioPengajian.com (saat ini
menetap di Glasgow). Ini petikan jawaban beliau:

Sebatas yang saya pahami memang diharamkan JUAL-BELI jenazah


manusia karena tubuh manusia sangat tinggi nilainya atau bahkan tidak
ternilai harganya. Selain itu, kita tdk lagi bisa meminta keridloan si
mayyit utk menggunakan tubuhnya pasca kematiannya. Akan tetapi,
sesungguhnya ulama berbeda pendapat mengenai status hukum
penggunaan mayat (organ tubuh manusia pasca kematian) utuk
penelitian. Untuk JUAL-BELInya memang diharamkan, namun didasarkan
atas pemanfaatan untuk perkembangan ilmu pengetahuan (tanpa jual-
beli), ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa
penggunaan tubuh mayat utuk penelitian ilmiah kedokteran hukumnya
HARAM, karena tidak sepatutnya tubuh manusia 'dicabik-cabik' jadi
kepingan kecil-kecil. Tubuh mayit itu hak kubur (liang lahat).

Pendapat kedua menyatakan bahwa berdasarkan atas kemanfaatannya


utuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka DIIJINKAN menggunakan
organ tubuh mayit untuk keperluan ilmiah terseb. Meski demikian, ada
aturan penggunaan cadaver tsb untuk penelitian. SOP penelitian dgn
organ mayit itu mengisyaratkan bahwa sedapat mungkin kita
menggunakan organ hewan. Jika dan hanya jika sudah tidak ada lagi
yang bisa dilakukan dengan hewan dan hanya bisa menggunakan organ
manusia, maka penggunaan organ manusia dilakukan sebagi alternatif
terakhir.

Sedikit berbeda dengan status hukum dimana saat hidupnya sang 'calon'
mayat sudah mengikrarkan organ tubuhnya untuk disedekahkan untuk
keperluan yang lebih bermanfaat (kemaslahatan umat), misalnya :
penelitian kedokteran, atau membantu orang yang membutuhkannya
(tuna netra, renal failure, dll). Untuk hal semacam ini, ulama cenderung
mengijinkannya.

Bagaimana dengan KERA. Sebatas yang saya ketahui pernyataan bahwa


Kera tidak sama dengan manusia, itu benar sekali. DNA kera jauh
berbeda dengan DNA manusia. Mungkin ada beberapa organ yang mirip
secara visual, namun secara genetis, sangat jauh berbeda. Secara
kemiripan genetis, sesungguhnya justeri BABI yang paling dekat
kekerabatan DNA-nya dengan manusia. Itulah mengapa tidak ada
cangkok jantung/ginjal (zeno-transplantation) dari jantung/ginjal kera.
Selama ini yang dipakai adalah jantung/ginjal babi.

Menurut info penelitian Prof. Muladno dari IPB (kakak kelas saya jauh di
Fak. Peternakan UGM), pada tahun 1974, jumlah zeno-
transplantation jantung babi ke manusia yang berhasil di AS dan Jepang
sudah mencapai angka di atas 15.000 operasi. Untuk menghindari reaksi
penolakan ketika jantung babi dicangkokkan pada tubuh manusia, maka
beberapa puluh tahun yang lalu sudah dilakukan penanaman gen
manusia pada tubuh babi, sehingga diharapkan tidak ada lagi reaksi
penolakan ketika jantung babi dipasang menggantikan jantung manusia.

Wallahu a'lam bishowab.

http://trihanifa.blogspot.co.id/2013/07/hukum-bedah-mayat-part-1.html
TRANPLANTASI ORGAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM

I. Latar Belakang
Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 tentang bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan
tubuh manusia, lebih spesifik jika dibandingkan dengan yang diatur dalam
KUHPidana. Misalnya mengenai transplantasi komersil, jika dalam KUHPidana
termasuk kejahatan terhadap tubuh manusia, namun dalam Pasal 64 UU Nomor
36 Tahun 2009 dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dimasukkan dalam pasal
tersendiri yang lebih jelas, sehingga akan terlihat dengan jelas batasan
pertanggungjawaban pidana apabila dokter melakukan malpraktek.
Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh
yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam
menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan
pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh
Manusia.
Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan,
ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan
malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu:
1. Ada tindakan faktor kelalaian;
2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi
medis;
3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, disinggung mengenai keberadaan standar
profesi medis sebagai salah satu faktor penting untuk dapat menentukan ada
atau tidak adanya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam Pasal
21 Ayat (2) PP nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan
bahwa standar profesi tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Standar profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah ini adalah
pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesinya secara baik.
Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik,
terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara
klinis meliputi:
1. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor
sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien
sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah
dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada
pertalian darah).
2. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis.
3. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah
transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan
melakukan pemberian obat dan kontrol.
Tahapan klinis yang diuraikan diatas berlaku untuk donor hidup maupun donor
jenazah (cadaver). Untuk dapat dilakukan eksplantasi organ tubuh baik terhadap
donor hidup maupun donor jenazah diperlukan adanya persetujuan terlebih
dahulu, namun hingga saat ini persetujuan yang telah diatur hanya mengenai
persetujuan dari donor jenazah yang sudah dituangkan dalam PP Nomor 18
Tahun 1981. Indonesia sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam PP
tersebut dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem berdasarkan izin.
Hal ini berarti tidak boleh dilakukan suatu pegambilan organ tubuh tanpa
adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor. Berdasarkan PP Nomor
18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ
tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia
masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya
atau adanya persetujuan dari keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor
tidak pernah membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena
meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih
harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad
yang ditinggalkan.
Jika selama hidupnya donor belum pernah memberikan persetujuan untuk dapat
dilakukannya transplantasi terhadap salah satu organ tubuhnya maka, hak untuk
memberikan persetujuan eksplantasi ada pada ahli warisnya (Pasal 10 jo Pasal 2
PP nomor 18 Tahun 1981).
Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya medis transplantasi organ
tubuh pada khususnya, dapat berupa karena unsur kesengajaan maupun unsur
kelalaian. Dalam tanggung jawab pidana haruslah dibuktikan adanya kesalahan
professional yang dapat dibuktikan di sidang pengadilan melalui pendapat para
ahli. Adapun kesalahan professional tersebut biasanya dihubungkan dengan
masalah:
1. Kelalaian (negligence);
2. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari
tindakan kesewenangan dokter yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan
adanya gangguan terhadap diri pasien. Selain itu, adanya persetujuan juga dapat
meniadakan sifat melanggar hukum.
Berkenaan dengan hal persetujuan pasien, dalam hukum pidana persetujuan
bukan merupakan dasar bagi adanya pengecualian terjadinya suatu peristiwa
pidana, namun jika ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 89 KUHPidana
yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan menggunakan kekerasan. Jika seorang dokter yang melakukan
pembedahan (misalnya) terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pihak
pasien, maka dokter tersebut dapat dituduh telah melakukan kekerasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHPidana tersebut diatas. Seperti yang
dikatakan oleh Simons, bahwa persetujuan untuk mengadakan operasi dengan
tujuan pemulihan kesehatan akan meniadakan sifat pidana dari perbuatan
tersebut.
Transplantasi organ tubuh sebagai upaya pelayanan kesehatan, yang dapat
mengintervensi kehidupan seseorang baik secara jasmani maupun rohani, tidak
hanya melibatkan pelayanan kesehatan, penerima pelayanan kesehatan, tetapi
juga donor, baik itu donor hidup maupun donor mati.
Di dalam bidang hukum kesehatan sendiri belum jelas apa yang menjadi tolak
ukur telah terjadinya tindakan malpraktek pada upaya medis transplantasi organ
tubuh. Belum adanya satu pengertian yuridis yang menyatakan secara tegas
mengenai tindakan malpraktek, menimbulkan heterogenisasi pengertian tentang
apa itu yang dimaksud dengan malpraktek. Selama ini masyarakat yang
menggugat dokter ke pengadilan, karena merasa tindakan dokter itu merugikan
atau mencelakakan pasiennya sekedar menggunakan pasal – pasal KUHPidana.
Dalam tanggung jawab pidana perlu dibuktikan adanya kesalahan professional.
Kesalahan professional di bidang medis (medical malpractice) menurut
Veronica Komalawati adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis
sesuai dengan standar profesi medis, atau tidak melakukan tindakan medis
menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan
pengalaman rata – rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi
dimana tindakan medis itu dilakukan.
Mengenai kesalahan atau kealpaan (culpa) diatur dalam Pasal 359 KUHPidana
yang menyebutkan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Berdasarkan ketentuan dari pasal diatas, bahwa untuk menentukan adanya
kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat
unsur yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan itu besifat melawan hukum;
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Adanya unsur kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut ketentuan dalam KUHPidana, kesalahan merupakan unsur dari
pertanggungjawaban pidana agar dapat dipidananya seseorang. Tegasnya, unsur
kesalahan merupakan unsur mutlak untuk penjatuhan pidana. Kesalahan
dianggap ada, bilamana dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan
perbuatan atau menimbulkan keadaan – keadaan yang dilarang oleh hukum
pidana dan yang dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga untuk dapat
menjatuhkan pidana kepada seseorang, disamping harus memenuhi unsur –
unsur suatu tindak pidana yang bersangkutan, perbuatan yang dilakukan harus
bersifat melawan hukum, dan pada diri pelaku terdapat unsur kesalahan.
Selain itu untuk dapat dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan melawan
hukum harus memenuhi unsur hukum formal dan hukum materiil. Menurut
ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila
perbuatan itu telah memenuhi semua unsur – unsur dari rumusan suatu tindak
pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil yaitu apakah
perbuatan tersebut bersifat melawan hukum secara sungguh – sungguh yang
dilakukan dengan bertanggung jawab ataupun tidak.
Di dalam persidangan, Majelis hakim bukan hanya mempertimbangkan
terpenuhinya unsur kesalahan dan sifat melawan hukum formal dan materiil,
tetapi juga memperhatikan apakah terdapat suatu alasan pembenar dan pemaaf.
Dengan demikian, apabila ada unsur – unsur tersebut yang tidak terpenuhi,
dimana seorang dokter telah melakukan perawatan sesuai dengan
pengetahuannya dan sesuai standar profesi medis serta tidak dapat dibuktikan
telah terjadi kesalahan, kealpaan, kelalaian ataupun kesengajaan, maka hakim
dapat memberikan putusan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita seringkali membaca berita mengenai
peristiwa kejahatan, misalnya kasus penganiayaan, pembunuhan, dan kematian
mendadak. Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang
menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta
penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya
pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang
terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan
yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Pada tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali
apakah suatu peristiwa (misalnya ditemukannya mayat di pantai atau di suatu
gudang) merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan
dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli. Hal ini sesuai dengan
Pasal 7 ayat 1 (h) KUHAP:
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara

Pasal 120 ayat 1 KUHAP:


Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.

Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan


persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat 1 KUHAP:
Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat
pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

Bantuan dokter tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah di rumah sakit dan
dapat pula berupa pemeriksaan jenazah di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Karena begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan, maka
penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan barang bukti di Tempat Kejadian
Perkara (TKP), dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di Tempat Kejadian
Perkara (TKP) akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan
tindakan oleh penyidik serta dokter ahli.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai keterangan yang
dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia baik hidup atau mati ataupun bagian yang
diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak
di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua
buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak
dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa
potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah prosedur permintaan dokter untuk datang di Tempat Kejadian
Perkara (TKP)?
2. Bagaimanakah peranan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
3. Tujuan bantuan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penjelasan Umum
Bantuan dokter dalam menangani korban di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
memang sangat dibutuhkan. Bantuan dokter tersebut tidak hanya ditujukan
untuk korban mati saja tetapi korban hidup.

B. Pengertian TKP
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat-tempat lain dimana barang-
barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut
dapat diketemukan.
Meskipun kelak terbukti bahwa di tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu
tindak pidana, tempat tersebut tetap disebut sebagai TKP. Disini hanya akan
dibicarakan TKP yang berhubungan dengan manusia sebagai korban, seperti
kasus penganiayaan, pembunuhan dan kasus kematian mendadak (dengan
kecurigaan).

Gb.1. Tim Labfor di TKP Peledakan Bom Hotel JW Mariot


Sumber :
http://4.bp.blogspot.com/_4Ulhsnr0_Co/SmLEA_24RnI/AAAAAAAAFgg/aM
0DUbb3204/s400/grab.php.jpg
C. Bantuan Dokter sebagai Ahli
Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana yang
mengakibatkan kematian korban telah terjadi, maka pihak penyidik dapat
meminta/memerintahkan dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara tersebut.
Ketentuan yang mengatur tata laksana bantuan dokter sebagai ahli dapat dilihat
pada pasal-pasal dari KUHAP tentang ahli serta peraturan pelaksanaannya,
yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983. Pasal-pasal tentang saksi dari
KUHAP juga dapat dijadikan acuan sebab berdasarkan Pasal 179 ayat (2),
semua ketentuan bagi saksi berlaku pula bagi ahli dengan syarat mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Tata
laksana tersebut meliputi :
1. waktu pengajuan permintaan bantuan
2. pejabat yang berhak mengajukan
3. cara mengajukan permintaan
4. dokter yang boleh dimintai bantuan serta
5. cara dokter menyampaikan keterangannya.
Dalam menemukan kebenaran materiil maka dokter, dalam kapasitasnya
sebagai ahli, dapat diminta bantuannya untuk memberikan keterangannya. Pada
tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali apakah
suatu peristiwa (misalnya ditemukannya mayat di pantai atau disuatu gudang)
merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan dokter,
dalam kapasitasnya sebagai ahli. Bantuan tersebut dapat berupa pemeriksaan
jenazah di rumah sakit dan dapat pula berupa pemeriksaan jenazah di tempat
kejadian perkara (TKP). Tujuan utamanya adalah untuk menemukan fakta-fakta
medis yang dapat digunakan untuk menentukan peristiwa itu merupakan tindak
pidana atau bukan. Pada hakekatnya bantuan tersebut berupa pemberian
keterangan tentang :
1. Sesuatu obyek yang diajukan kepadanya untuk diperiksa
2. Sesuatu masalah yang bersifat hipotetik (hypothetical question).
Dalam hal penyidik atau hakim yang menangani perkara pidana menghadapi
persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis maka ia dapat meminta dokter
dalam kapasitasnya sebagai ahli untuk menjelaskannya, sebab dokter memiliki
ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk menjawabnya.

Membantu proses peradilan pada kasus-kasus pidana oleh dokter sebetulnya


tidak kalah pentingnya dengan tugas-tugas kemanusiaan yang lain. Oleh sebab
itulah pembuat undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) merasa perlu
menetapkan berbagai macam kewajiban bagi setiap dokter yang diminta
bantuannya sebagai ahli. Kewajiban tersebut terdiri atas :
1. Kewajiban melakukan pemeriksaan yang diminta
2. Kewajiban memberikan keterangan yang diperlukan
3. Kewajiban melaksanakan prosedur hukum yang diperlukan
Kewajiban melakukan pemeriksaan serta kewajiban memberikan keterangan
dapat dilihat pada Pasal 120 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut:
1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat seorang ahli
atau orang yang memiliki kesaksian khusus
2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik
bahwa ia akan member keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-
baiknya kecuali bila disebabkan harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya
yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan
keterangan yang diminta.
Selain itu dapat juga dilihat pada Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang bunyinya:
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter yang ahli lainnya wajib memberikan keterangannya.

Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang mengikat dokter, baik pada


tingkat penyidikan, penyidikan tambahan maupun tingkat pemeriksaan di
sidang pengadilan, kecuali ada alasan yang syah menurut undang-undang bahwa
yang bersangkutan boleh mengundurkan diri untuk tidak melaksanakannya.
Alasan yang syah itu adalah alasan yang menyebabkan dokter tidak dapat
didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri, yaitu:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara
ibu atau bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan
anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
Sebetulnya alasan yang disebutkan di atas itu diperuntukkan bagi saksi, namun
karena ada pasal dalam KUHAP yang menyatakan bahwa semua ketentuan
untuk saksi berlaku pula bagi ahli, maka alasan-alasan tersebut berlaku pula
bagi dokter untuk mengundurkan diri dari kewajiban memberikan keterangan.
Pasal tersebut adalah Pasal 179 ayat (2) KUHAP yang bunyinya:
Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Kendati demikian, berdasarkan Pasal 169 KUHAP mereka diperbolehkan untuk
tetap memberikan keterangan di bawah sumpah/janji dengan syarat:
a) Mereka sendiri menghendakinya
b) Penuntut umum setuju
c) Terdakwa juga menyetujuinya

Tanpa persetujuan penuntut umum dan terdakwa, dokter hanya boleh


memberikan keterangan tanpa sumpah/janji. Keterangan seperti ini tidak dapat
berfungsi sebagai alat bukti atau dengan kata lain, tidak dapat dijadikan unsur
pembentuk keyakinan hakim.

D. Prosedur permintaan dokter di TKP


Pada proses peradilan pidana, tugas yang paling utama dari penegak hukum
adalah menemukan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya.
Tugas yang demikian berat ini tidaklah mudah untuk dilaksanakan, sebab
penyidik dan penuntut umum ataupun hakim tidak melihat dan menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bagaimana proses terjadinya serta siapa yang
menjadi pelakunya. Lebih tidak mudah lagi jika korban tindak pidana
meninggal dunia atau saksi yang seharusnya dapat membantu tidak ada sama
sekali. Kalaupun korban masih hidup dan ada saksi, namun keterangan mereka
sering tidak sebagaimana yang diharapkan. Korban sering mendramatisasi
keterangannya agar pelakunya dihukum berat dan saksi juga sering berkata
bohong demi tujuan tertentu. Kadang keterangan mereka saling bertentangan
satu sama lain.
Sungguh pun demikian, masih beruntung bagi penegak hukum sebab hampir
setiap tindak pidana meninggalkan barang bukti (trace evidence), yang apabila
dianalisa secara ilmiah tidak mustahil dapat membuat terang perkara pidana
tersebut. Hanya sayangnya, sebagai penegak hukum mereka tidak dibekali
segala macam ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk
menganalisa secara ilmiah semua jenis barang bukti yang berhasil ditemukan.
Oleh sebab itulah diperlukan bantuan para ahli. Dalam hal barang bukti itu
berupa mayat, orang hidup , bagian tubuh manusia atau sesuatu yang berasal
dari tubuh manusia maka ahli yang tepat adalah dokter. Alasannya karena
disamping dapat melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik, dokter juga
menguasai ilmu anatomi, fisiologi, biologi, biokimiawi, patologi, psikiatri.
Bantuan dokter dalam melayani pemeriksaan korban diantaranya untuk
pembuatan visum et repertum (hasil pemeriksaan di TKP disebut dengan visum
et repertum TKP) , sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, penentuan identitas
jenazah yang sudah tidak utuh lagi (misalnya hanya tinggal tulang belulang),
penentuan telah berapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban
meninggal, penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan
kematian yang tidak wajar, tentang perkosaan, pemeriksaan korban keracunan
dan lain-lain. Bantuan yang diminta dapat berupa pemeriksaan di TKP atau di
Rumah Sakit. Dokter tersebut dalam pemeriksaan harus berdasarkan
pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Pada dasarnya pelayanan visum et repertum, dapat dibagi atas dua bagian besar
yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah meninggal.
Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah (Harus dibuat
berdasarkan hasil autopsi lengkap). yaitu visum yang dibuat oleh dokter atas
permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal karena kekerasan,
luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian yang sebabnya mencurigakan
dan lain-lain.
Jadi, bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa suatu tindak pidana
yang menyangkut nyawa manusia (mati), telah terjadi, maka pihak penyidik
dapat minta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat
kejadian perkara tersebut ( dasar hukum : Pasal 120 KUHAP ; Pasal 133
KUHAP). Bila dokter menolak untuk datang ke tempat kejadian perkara, maka
Pasal 224 KUHP, dapat dikenakan padanya. Sebelum dokter datang ke Tempat
kejadian perkara, harus diingat beberapa hal, diantaranya siapa yang meminta
datang ke TKP (otoritas), bagaimana permintaan tersebut sampai ke tangan
dokter, dimana TKP, serta saat permintaan tersebut diajukan. Meminta
informasi secara global tentang kasusnya,dengan demikian dokter dapat
membuat persiapan seperlunya. Dan perlu diingat bahwa dokter dijemput dan
diantar kembali oleh penyidik.

Jadi apa yang dimaksudkan diatas, dokter bila menerima permintaan harus
mencatat :
1. Tanggal dan jam dokter menerima permintaan bantuan
2. Cara permintaan bantuan tersebut ( telpon atau lisan)
3. Nama penyidik yang minta bantuan
4. Jam saat dokter tiba di TKP
5. Alamat TKP dan macam tempatnya (misal : sawah, gudang, rumah dsb.)
6. Hasil pemeriksaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan setibanya di TKP
1. Tanggal dan waktu kedatangan;
2. Nama orang di tkp pada saat kedatangan;
3. Kondisi cuaca;
4. Kondisi pencahayaan pada malam hari
5. Apa yang terjadi - insiden;
6. Apa yang telah terjadi – aktivitas sejak insiden;
7. Petugas yang bertanggung jawab atas kasus;
8. Adegan penjagaan keamanan tkp;
9. Bantuan yang diberikan di lokasi dan sumber daya lain yang sudah diminta.
Pejabat yang berhak mengajukan Permintaan diantaranya adalah penyidik,
penyidik pembantu, hakim. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa yang
dimaksud dengan :
1. Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti serangkaian
tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang
berhubungan dengan kejahatan dan pelangaran tindak pidana atau yang diduga
sebagai perbuatan tindak pidana. Terlihat penyelidikan merupakan tindakan
atau tahap permulaan dari proses selanjutnya, yaitu penyidikan. Meskipun
penyelidikan merupakan proses yang berdiri sendiri, penyelidikan tidak bisa
dipisahkan dari proses penyidikan.

2. Penyidikan
Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan adalah tahapan penyidikan. Pasal 1
butir 1 dan 2 KUHAP menjelaskan, penyidikan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.Terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan suatu tindak pidana, dapat diketahui
oleh penyidik dengan berbagai cara, mengetahui sendiri, atau menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang.
Adapun yang termasuk dalam kategori penyidik menurut Pasal 6 ayat (1)
KUHAP jo PP27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-
rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik pembantu berpangkat
serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa bila
penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya adalah
serendah-rendahnya golongan II/B untuk penyidik dan II/A untuk penyidik
pembantu. Bila di suatu Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah
Pembantu Letnan Dua dikatagorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya
(PP 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).

E. Peranan Dokter di TKP


Kehadiran dokter di TKP sangat diperlukan oleh penyidik. Peranan dokter di
TKP adalah membantu penyidik dalam mengungkapkan kasus dari kedokteran
forensik. Pada dasarnya semua dokter dapat bertindak sebagai pemeriksa di
TKP, namun dengan perkembangan spesialisasi dalam ilmu kedokteran, adalah
lebih baik bila dokter ahli forensik atau dokter kepolisian yang hadir.
Pemeriksaan kedokteran forensik di TKP harus mengikuti kententuan yang
berlaku umum pada penyidikan di TKP, yaitu menjaga agar tidak mengubah
keadaan TKP. Semua benda bukti di TKP yang ditemukan agar dikirim ke
laboratorium setelah sebelumnya diamankan sesuai prosedur.
Selanjutnya dokter dapat memberikan pendapatnya dan mendiskusikan dengan
penyidik dengan memperkirakan terjadinya peristiwa dan merencanakan
langkah penyidikan lebih lanjut.
Bila perlu dokter dapat melakukan anamnesa dengan saksi-saksi untuk
mendapatkan gambaran riwayat medis korban.
Adapun tindakan yang dapat dikerjakan dokter adalah:
1. Menentukan apakah korban masih hidup atau telah tewas, bila masih hidup
upaya terutama ditujukan untuk menolong jiwanya. Hal yng berkaitan dengan
kejahatan dapat ditunda untuk sementara.
2. Bila korban telah tewas tentukan perkiraan saat kematian, dari penurunan
suhu, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan post mortal lainnya; perkiraan
saat kematian berkaitan dengan alibi daripada tersangka.
3. Menentukan identitas atau jati diri korban baik secara visual, pakaian,
perhiasan, dokumen, dokumen medis dan dari gigi, pemeriksaan serologi, sidik
jari. Jati diri korban dibutuhkan untuk memulai penyidikan, oleh karena
biasanya ada korelasi antara korban dengan pelaku. Pelaku umumnya telah
mengetahui siapa korbannya.
4. Menentukan jenis luka dan jenis kekerasan, jenis luka dan jenis kekerasan
dapat memberikan informasi perihal alat atau senjata yang dipakai serta
perkiraaan proses terjadinya kejahatan tersebut dimana berguna dalam
interogasi dan rekonstruksi. Dengan diketahui jenis senjata, pihak penyidik
dapat melakukan pencarian secara lebih terarah.
5. Membuat sketsa keadaan di TKP secara sederhana dan dapat memberikan
gambaran posisi korban dikaitkan dengan situasi yang terdapat di TKP.
6. Mencari, mengumpulkan, dan menyelamatkan barang-barang bukti (trace
evidence) yang ada kaitannnya dengan korban, bagi kepentingan pemeriksaan
selanjutnya. Hal ini juga penting, sebab semakin banyak barang bukti
ditemukan, termasuk barang bukti medik, akan semakin mempermudah penegak
hukum membuat terang perkara pidana. Barang bukti medik tersebut harus
diselamatkan dari kerusakan dan dokter memang memiliki kemampuan untuk
itu.

Gb.2. Identifikasi Teroris Wonosobo 2006


Sumber : Arsip Kuliah Forensik dr.S.Hastry P.,SpF

F. Tujuan Bantuan Dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)


Pemeriksaan dokter di TKP atas diri korban, bertujuan untuk mendapatkan data
yang akurat dalam waktu singkat dan melakukan beberapa tes lapangan yang
berguna bagi pihak penyidik agar ia dapat melakukan strategi serta langkah
yang tepat untuk dapat membuat jelas dan terang suatu perkara pidana yang
menyangkut tubuh manusia.
Bantuan dokter di TKP adalah melakukan pemeriksaan yaitu berupa
pemeriksaan korban, dan pengolahan TKP, yang meliputi pengamanan TKP,
pembuatan sketsa dan pemotretan, dan pengumpulan barang bukti.

G. Pembahasan Kasus
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak
di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua
buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak
dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa
potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
Masalah : Bantuan apa yang dapat diberikan oleh dokter di TKP?
Penyidik dalam hal ini polisi dan dokter puslabfor tentunya, segera bertindak
cepat, dengan cara mengumpulkan korban dan barang bukti yang ada. Setelah
mendapatkan data dari jumlah pengunjung di kedua kafe pada saat kejadian,
dokter dibantu polisi memulai suatu proses untuk menyatukan potongan-
potongan tubuh, sekaligus juga mengidentifikasi masing-masing korban, nama
hingga kewarganegaraan. Pemeriksaan yang dilakukan dokter puslabfor antara
lain adalah :
Pemeriksaan Tulang
Pemeriksaan tulang berguna dalam proses identifikasi, antara lain:
a. Menentukan jenis kelamin
b. Menentukan umur
c. Menentukan tinggi badan
d. Pemeriksaan Gigi
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah merupakan pemeriksaan penting dari pemeriksaan biasa
yang dilakukan pada kasus forensik. Kadang kala sampel merupakan sampel
segar ataupun dengan tambahan pengawet terutama pada kasus kriminal. Lebih
sering lagi sample di kirim ke laboratorium berupa darah kering atau bercak
kecolatan yang terdapat pada senjata, pakaian atau objek lainnya. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk membedakan:
1. Apakah bercak tersebut darah.
2. Jika darah, apakah darah tersebut merupakan darah hewan atau manusia.
3. Jika darah manusia, apakah golongan darah manusia tersebut. Metode yang
dilakukan pada bercak tersebut dengan inspeksi, pemeriksaan mikroskopis,
analisis kimia, spektroskopis investigasi dan tes serologi.
Gb.12. Bom Bali I
Sumber : http://www.geocities.com/arabracismandislamicjihad/
Diposkan oleh guntur payasan di 03.19 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

aspek midecolegal rahasia medik


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bidang medis/kedokteran, segala temuan pada diri pasien dapat
dikatakan sebagai rahasia medik dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien,
sebagaimana disebutkan dalam permenkes No. 749a/1989 pasal 10 ayat 2 yaitu
isi ekam medis adalah milik pasien.
UU No. 29 tahun 2004 pasal 48 ayat 1 menyatakan setiap dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran. Di Indonesia, kerahasiaan pasien merupakan isu yang terus
berkembang dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dulu keharusan
menjaga rahasia itu mutlak, namun berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran yang berbunyi rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka pengakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Disamping dalam UU praktik kedokteran
rasihasia kedokteran juga diatur dalam Permenkes No. 269/Menkes/per/III/2008
menyatakan kerahasiaan pasien dapat dibuka kepada pihak tertentu seperti
diberikan kepada aparat penegak hukum berdasarkan perintah pengadilan atau
instansi/institusi lain guna kepentingan penelitian, pendidikan, atau audit medis.
Serta dalam KODEKI pasal 12 disebutkan setiap dokter wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Diluar hal diatas kerahasian pasien tidak dapat diungkapkan. Bahkan para
dokter dan pihak rumah sakit diharuskan melakukan daya upaya untuk menjaga
kerahasian pasien semaksimal mungkin. Contoh kasus ”Seorang teman sejawat
saya pernah menangani seorang pasien yang katakanlah bernama Dodi. Saat itu
Dodi datang dengan keluhan sering merasa cemas, waswas, dan takut. Setelah
melakukan pemeriksaan yang cermat, teman saya berkesimpulan bahwa pasien
menderita gejala gangguan kejiwaan sehingga dia meresepkan obat kejiwaan.
Beberapa minggu kemudian, didatangi seorang yang mengaku berasal dari
bagian administrasi kantor Dodi. Orang yang mengaku bertugas administrasi
pengobatan karyawan ini menanyakan jenis obat yang diberikan kepada Dodi.
Karena mengira orang ini adalah perwakilan resmi kantor, teman saya
menyampaikan jenis obat kejiwaan yang diberikannya kepada pasien tersebut.
Beberapa bulan kemudian, temen sejawat saya dituntut di depan pengadilan
oleh si Dodi. Dia menuntut dengan alasan telah membocorkan rahasia jenis obat
kepada perusahaannya tanpa izin darinya. Karena hal tersebut, perusahaan jadi
tahu bahwa dia menderita gangguan kejiwaan dan akhirnya diberhantikan dari
perusahaan. Saat itu Dodi menuntun ganti rugi jutaan rupiah. Hakim
memutuskan bahwa temen saya melakukan kesalahan dan harus membayar
ganti rugi kepada pasien itu”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas maka masalah yang dapat diambil
adalah:
1. Mengapa rahasia medik tidak dapat dibuka kepada orang lain tanpa
sepengetahuan pasien?
2. Bangaimanakah jika seseorang menderita HIV positif yang ingin mendonor
darahnya?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Rahasia
Rahasia adalah suatu hal yang tidak boleh atau tidak dikehendaki untuk
diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan atau tidak berhak mengetahui
hal itu.1 Masalah larangan membuka rahasia pasian oleh dokter merupakan
salah satu masalah klasik dalam bidang kedokteran, sedemikian klasiknya
sehingga dalam banyak naskah kedokteran/kesehatan kita dapati ketentuan yang
pada prinsipnya melarang dokter untuk membuka rahasia pasiennya sudah
ditentukan antara lain:
1. Sumpah Hippocrates
“… Apapun, dalam hubungan dalam hubungan dengan jasa professional saya
atau tidak dalam hubungan dengan jasa tersebut, yang saya lihat atau dengar,
tentang kehidupan manusia, yang tidak harus dibuka ke pihak luar, saya tidak
akan berkhianat, sebagai pengakuan bahwa semua itu harus dijaga
kerahasiannya.”
2. Deklarasi Genewa
“… Saya akan menjaga rahasia yang diberikan kepada saya, bahkan setelah
pasien meninggal dunia.”
3. Sumpah Dokter Indonesia
“Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala
sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai
dokter.”
Kewajiban dokter ialah menjaga dan menghormati rahasia itu terhadap orang
atau pihak yang tidak berkepentingan. Jika kita kemballi ke kasus Medan tadi,
maka yang harus dijawab pertama kali adalah: apakah orang tua bayi itu adalah
pihak yang berkepentingan atau berhak mengetahui proses kematian anaknya?
Setiap orang waras tentu tahu bahwa orang tua bayi tersebut berhak tahu
mengapa bayinya sampai mati. Kejadian dokter menolak menjelaskan kematian
bayi itu denga dalih “rahasia kedokteran” tersebut, bukan lagi erosi melainkan
sudah menjadi distorsi hakikat rhasia kedokteran.
Jadi, sebenarnya dokter justru harus menyampaikan rahasia itu kepada orang
yang berhak atau berkepentingan misalkan orang tua, wali, atau yang menbiayai
pengobatan (perusahaan). Walaupun demikian jika diduga pengungkapan
rahasia medik akan melemahkan pasien, maka boleh menahan rahasia itu.
Dalam kepustakaan Barat dikenal adanya next of kin, yakni urut-urutan siapa
yang paling berhak seseorang dan dapat dibelakukan dalam hal diatas. Dalam
budaya Timur, next of kin mungkin lebih rumit. Mengingat rumusan keluarga
atau pertalian darah yang jauh berbeda dengan budaya Barat.
Temuan-temuan dalam rekam medik adalah langsung milik pasien dan pasien
berhak sepenuhnya untuk mengetahui isi rekam medik tersebut. Jadi,
hakikatnya hanya pasien yang berhak atas rekam medik itu, terkecuali jika
pasien dalam keadaan kritis, perlu penanganan yang membutuhkan dana, baru
hal tersebut dapat di beritahukan kepada pihak keluarga atau yang menjamin
biaya pengobatan atau pasien korban pembunuhan yang perlu saksi dari ahli
untuk menentukan visum et revertum korban.
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan konfidensial, percaya-
mempercayai, dan hormat-menghormati. Oleh karena itu, dokter berkewajiban
memelihara suasana yang ideal tersebut, antara lain dengan memegang teguh
rahasia jabatan dan pekerjaannya sebagai dokter.

B. Ruang Lingkup Rahasia Kedokteran


Dalam hubungan dengan perlindungan kerahasiaan antara dokter dan pasiennya,
perlindungan hukum yang diberikan bukan hanya terhadap kerahasiaan dalam
hubungan langsung, tetapi lebih luas sesuai doktrin hukum tentang
“perlindungan hasil kerja”. Yang dimaksud oleh doktrin perlindungan hasil
kerja adalah perlindungan terhadap kerahasiaan medik bukan hanya rahasia
yang terbit dari hubungan langsung (konsultasi), melainkan juga perlindungan
kerahasiaan dari informasi yang didapatkan dari sumber lain yang didapatkan
dari pasien yang bersangkutan.
Tentu saja tidak semua informasi atas pengakuan, dokumen, fakta, data atau
yang diperoleh dari hasil pemeriksaan pasien merupakan kerahasiaan yang
dilindingi hukum. Hanya kerahasiaan tertentu saja yang merupakan rahasia
yang dilindungi, yakni rahasia-rahasia yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Rahasia tersebut merupakan informasi substansial dan penting bagi pasiennya
atau bagi pengobatannya.
2. Rahasia itu sebelumnya belum pernah terbuka untuk umum. Apabila rahasia
tersebut telah terbuka untuk umum, tapi belum meluas atau jika digunakan
sebagai alat bukti maka rahasia tersebut tidak boleh dibocorkan kepada orang
lain.
3. Rahasia tersebut bukanlah informasi yang memang tersedia untuk publik.
4. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan malu bagi pasien, dokter, atau
pihak-pihak lain.
5. Rahasia yang jika dibuka akan merugikan pasiennya.
6. Rahasia yang jika dibuka akan mempersulit pengobatan terhadap pasien.
7. Rahasia yang jika dibuka akan menimbulkan kemungkinan pasien tidak lagi
memberikan informasi selanjutnya pada dokter. Hal ini akan mempersulit dalam
proses pengobatan.
8. Bagi pasien, informasi tersebut sangat penting dan atau sensitif.
9. Jika dibuka rahasia tersebut, akan menimbulkan kemarahan/gejolak/atau
sikap masyarakat yang merugikan kepentingan pasien dan atau mepersulit
pengobatan.
10. Pasien tidak pernah mengizinkan (no waiver) secara tegas atau tersirat untuk
dibuka rahasia itu.
Karena itu, bukan merupaka kerahasiaan dan boleh dibuka oleh dokter terhadap
informasi yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas, asal saja dilakukan denga
penuh kewaspadaan, iktikad baik, dan jika tidak dilarang oleh pasien. Sikap
dokter yang paling baik dalam hal ini adalah jika ragu, jangan (if doubt, dont).
Disamping itu, dalam hubungan dengan pihak ketiga yang mendengar informasi
dari pasien, untuk dapat diputuskan rahasia atau tidaknya informasi tersebut,
perlu terlebih dahulu dilakukan pengujian-pengujian tertentu. Pengujian tersebut
antara lain:
1. Metode pengujian subjektif
Menurut metode ini faktor utama untuk menentukan apakah suatu informasi
merupakan rahasia atau tidak dengan melihat kepada “maksud” dari pasiennya.
Jika pasien menginginkan informasi tersebut dirahasiakan maka informasi itu
menjadi rahasia.
2. Metode pengujian objektif
Dalam metode ini faktor utama untuk menentukan apakah informasi tersebut
adalah rahasia dengan melihat informasi itu sendiri. Jika sifat informasi itu
adalah rahasia maka itu menjadi rahasia.
3. Metode pengujian menurut keperluan
Berdasarkan metode pengujian menurut keperluan ini, maka jika pihak ketiga
mendengarkan informasi rahasia dan keberadaan pihak ketiga itu memang
diperlukan ditempat itu maka pihak ketiga juga wajib menyimpan informasi
tersebut.
Kemudian, meskipun rahasia tersebut termasuk kategori yang mestinya
dilindungi, rahasia itu dapat pula dibuka jika:
1. Diperbolehkan oleh pasiennya.
2. Kepentingan umum menghendakinya
3. Rahasia tersebut dapat menjadi alat bukti untuk kasus pidana, meskipun tidak
semua rahasia yang dapat dibuka untuk menjadi alat bukti.
4. Penyakit tersebut dibuka untuk mencegah akan dilakukannya penyakit berat
(menular) oleh pasien atau orang lain. Meskipun dalam hal ini, lebih bijaksana
jika dokter itu meminta berhenti (duty to withdraw) sebagai dokter daripada
membuka rahasia. Atau melaksanakan kewajiban mengingat (duty to warn) oleh
dokter kepada calon korban jika telah ada ancaman yang nyata (firm intention).
5. Undang-undang lain memperbolehkan dibukannya informasi tersebut seperti
dalam UU No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 48 ayat 2.

Yang wajib menyimpan rahasia kedokteran adalah:


1. Pasal 2 UU Tentang Tenaga Kesehatan yaitu Tenaga Kesehatan Sarjana,
seperti : dokter,dokter gigi, apoteker dan sarjana lain dibidang kesehatan dan
Tenaga Kesehatan Sarjana Muda, Menengah dan Rendah, seperti : asisiten
apoteker, bidan, perawat, nutrisionis , dan lain lain
2. Mahasiswa Kedokteran , murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan ,
pengobatan dan atau perawatan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan

C. Dilematis Rahasia Kedokteran


Kunjungan pasien ke dokter adalah kunjungan yang bersifat sangat pribadi. Saat
berkunjung, pasien ingin menceritakan tentang penyakit serta keluhannya. Saat
menangani pasien, dokter membutuhkan informasi lain seperti riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga, anak-anaknya, pekerjaannya, hubungan istri atau
suami, dan sebagainya. Ketika memeriksa pasien, dokter akan menemukan lebih
banyak lagi hal yang bersifat sangat pribadi. Jika dokter meminta pasien
melakukan pemeriksaan lainnya, akan lebih banyak lagi terkuak hal-hal pribadi
pasien tersebut. Misalnya, dari pemeriksaan laboratorium dokter dapat
berkesimpulan bahwa pasien tiu adalah pecandu minuman keras, mengalami
infeksi saluran kemih, mengidap HIV/AIDS dan lainnya.
Bagi seorang dokter/tenaga medis, menjaga menjaga rahasia pasien sering
menjadi dilema, terutama jika bertentangan dengan kepentingan pihak lain atau
bahkan kepentingan umum. Karena dalam ilmu hukum diajarkan bahwa
menjaga rahasia pasien oleh dokter tidaklah mutlak. Artinya, dalam hal-hal
tertentu rahasia medik boleh bahkan wajib dibuka kepada pihak lain. Jika
misalnya seorang pasien yang menderita HIV/AIDS, kemudian pasien tersebut
ingin mendonorkan darahnya kepada pihak lain tersebut terancam terkena
penyakit yang mematikan itu, secara etika dan hukum dokter wajib memberi
tahu bahwa pendonor tersebut menderita AIDS. Hal ini, rahasia pasien tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum, sehingga kepentingan umum harus
lebih didahulukan. Di samping untuk kepentingan umum, kekecualian lain
terhadap kewajiban menjaga rahasia tersebut mestinya berlaku dalam hal-hal
antara lain:
1. jika ada persetujuan dari pasien untuk dibuka informasinya
2. jika dilakukan komunikasi dengan dokter yang lain dari pasien itu
3. jika informasi tersebut tidak tergolongkan rahasia

D. Kedudukan Rahasia Kedokteran Dalam Filsafat Hukum


1. Kedudukan rahasia kedokteran dalam logika hukum
Tentang merahasiakan informasi dari pasiem bahkan setelah pasien meninggal
dunia ini didapati ketentuan dengan tegas dalam pasal 51 huruf c UU Nomor 29
Tahun 2004 tentang praktik kedokteran. Disamping dalam UU tersebut dalam
KODEKI pasal 13 juga secara jelas tertulis bahwa kewajiban seorang dokter
menjaga rahasia pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia. Ini berarti
bahwa rahasia pasien dalam hukum sangat jelas.
Sedangkan sanksi hukum Menurut KUHP Pasal 322
a. Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia, yang menurut jabatan
atau pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu ia diwajibkan
untuk menyimpannya, dihukum dengan pidana perkara paling lama sembilan
bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah
b. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang yang tertentu,maka perbuatan
itu hanya dituntut atas pengaduan orang tersebut .
KUH Perdata 1365
“ Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang
lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannnya menyebabkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”
Pengertian dasar Hukum Kedokteran ialah penerapan hukum dalam bidang
kedokteran, artinya Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Ilmu Hukum
yang asas atau kaidah yang digunakan adalah dari Ilmu Hukum. Semua
penilaian pun dilakukan menggunakan kacamata hukum berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang berlaku, sehingga apabila hukum kedokteran tidak dapat
dirumuskan secara khusus, tetap dapat dipakai ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku (misalnya hukum pidana, perdata dan sebagainya).
Dalam suatu peristiwa yang mana mengakibatkan kerugian terhadap seseorang,
maka sudah tentu merupakan kewajiban dari pihak yang melakukan kesalahan
mengganti kerugian. Seseorang dalam hal ini korban, dari tindakan tersebut
mengalami kerugian baik material maupun moril sehingga adalah sudah wajar
kiranya kalau mereka yang dirugikan tersebut mendapat imbalan berupa ganti
rugi dari pihak yang merugikan.
Dalam menentukan pertanggung jawaban suatu tindakan yang mana salah satu
pihaknya dirugikan, maka pihak korban dapat memperoleh sejumlah ganti
kerugian yang sepantasnya guna pembiayaan kerugian yang telah dideritanya.
Hal tersebut terjadi sehubungan dengan adanya suatu resiko yang harus diterima
dan tidak dapat dibalikkan kepada orang lain, sebab dengan terjadinya
kesalahan yang menimbulkan korban, tidak terlepas dari kerugian yang
ditimbulkan. Sehingga, pada pihak penimbul kerugian wajib untuk memberikan
sejumlah ganti kerugian pada korbannya. “Menurut hukum yang berlaku
menyebutkan bahwa si pelaku perbuatan berkewajiban memberi ganti kerugian
pada seorang penderita kerugian”.
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan medis ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarnya ketentuan yang
mengatur perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal 1365 KUH
Perdata. Disamping itu pasal 1365 KUH Perdata berisikan ketentuan antara lain
sebagai berikut: “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian tersebut”.
Di dalam UU RI No. 23 / 1992 tentang kesehatan disebutkan juga perlindungan
terhadap pasien, yaitu pasal 55 yang berisikan ketentuan antara lain sebagai
berikut:
a. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan
perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun
non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah Bisakah Rahasia Kedokteran
dibuka?. Bisa dengan berbagai alasan, sebagai dasar hukum
a. Karena Daya Paksa
Diatur dalam pasal 48 KUHP :
“Barang siapa melakukan suatu perbuatan karena pengaruh daya paksa,tidak
dapat dipidana”
b. Karena menjalankan perintah UU:
Diatur dalam pasal 50 KUHP:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-
undang, tidak dipidana”.
c. Karena menjalankan perintah jabatan
Diatur dalam pasal 51 KUHP :
“Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang wenang, tidak dipidana”
2. Kedudukan rahasia kedokteran dalam etika hukum
Dalam etika hukum seorang dokter harus menghormati hak pasien diantaranya
dengan menjaga rahasia medik/kedokteran yang terdapat didalam pasien
tersebut, hal ini sesuai dalam KODEKI pasal 12.
Disamping itu juga dalam pasal 1 KODEKI disebutkan bahwa setiap dokter
harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter “Demi
Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu
yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai dokter”.
Jadi disini jelas apapun alasannya tanpa ada persetujuan pasien dan syarat-
syarat yang telah disebutkan diatas dokter/nakes tidak boleh membuka rahasia
medik.
3. Kedudukan rahasia kedokteran dalam pandangan penulis
Meski kerahasian pasien merupakan hal yang mutlak dijaga oleh dokter, ada
kondisi dokter/tenaga medis boleh membuka rahasia tersebut. Namun sebelum
hal ini terjadi dokter/nakes harus benar-benar aware bahwa pelepasan informasi
itu telah memenuhi syarat. Dia juga harus yakin rahasia ini tidak akan jatuh
pada pihak yang salah, jika itu terjadi nakes/dokter harus siap berhadapan
dengan ligitimasi hukum yang resikonya sangat besar.
http://gunturpayasan.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai