nyawa manusia, sehingga bila terjadi sedikit kesalahan akan berakibat fatal (mal
praktek). Karena itu, dalam pembelajaran mahasiswa kedokteran harus
didukung dengan laboratorium pembelajaran yang memadai.
Salah satu laboratorium yang digunakan dalam pembelajaran bidang kedokteran
adalah laboratorium anatomi yang menggunakan media kadaver (mayat).
Sampai dengan saat ini, kadaver masih menjadi media yang paling efektif dalam
pembelajaran di laboratorium anatomi. Dengan media kadaver yang telah
dibelah dan dikeluarkan organ dalamnya, mahasiswa akan memahami dan
mengamati langsung semua organ tubuh manusia yang sesungguhnya.
Pemahaman ini sangat dibutuhkan dalam mendiagnosa pasien agar
pemeriksaannya cermat dan tepat sehingga terhindar dari mal praktek.
Karenanya, penggunaan kadaver dalam pembelajaran bidang kedokteran
merupakan suatu keniscayaan.
Pertanyaan
Jawaban a
Terdapat khilaf antara ulama Mu’ashirin (kontemporer):
Catatan:
Mengingat belum ada undang-undang yang mengatur penggunaan
kadaver, PWNU Jawa Timur mendorong kepada pemerintah untuk segera
membuat undang-undang yang mengaturnya.
http://www.moslemforall.com/penggunaan-kadaver-mayat-sebagai-media-
pembelajaran-medis/
Pertanyaan diajukan kepada syaikh Abdul Aziz bin Baz (mantan mufti utama
Saudi)rahimahullah,
بعض كليات الطب تشتري جثثا من جنوب شرقي آسيا بغرض التشريح فما الحكم؟:س
. أما غيرهم فال يجوز التعرض لهم، إذا كانت الجثث من كفار ال أمان لهم فال حرج:ج
Jawaban:
Jika mayat-mayat tersebut merupakan mayat orang kafir yang tidak ada
keamanan bagi mereka , maka tidak mengapa. Adapun selain itu maka tidak
boleh diperjualbelikan.
Catatan:
: أوال: الذي يترجح في نظري – والعلم عند هللا – هو جواز تشريح جثة الكافر دون المسلم وذلك لما يلي
. ألن األصل عدم جواز التصرف في جثة المسلم إال في الحدود الشرعية المأذون بها والتشريح ليس منها
، فال يجوز العدول عنها إلى جثث المسلمين، أن الحاجة إلى التشريح يمكن سدها بجثث الكفار: ثانيا
. أن أدلة المنع يمكن تخصيصها بالمسلم دون الكافر: ثالثا. لعظيم حرمة المسلم عند هللا حيا أو ميتا
أن استدالل القائلين بجواز التشريح مطلقا بقياسه على نبش القبر الميت ألخذ الكفن المغصوب: رابعا
2.kebutuhan untuk pembedahan bisa dipenuhi dengan mayat orang kafir dan
tidak boleh berpaling ke mayat seorang muslim karena muliannya derajat
seorang muslim di sisi Allah baik ketika hidup maupun mati.
ولكن ينبغي أن يتقيد، ولهذا كله فإنه يترجح في نظري القول بجواز تشريح جثة الكافر دون المسلم
فإنه ال يجوز التمثيل بالكافر بتشريحه، فمتى زالت، األطباء وغيرهم ممن يقوم بمهمة التشريح بالحاجة
.هـ.ا. ألن ما جاز لعذر بطل بزواله وهللا تعالى أعلم، حينئذ
Oleh karena itu yang rajih menurut pendapatku adalah pendapat yang
membolehkan pembedahan mayat orang kafir dan tidak boleh pada mayat
orang muslim. Akan tetapi selayaknya para dokter dan yang lainnya [pemedah
mayat] membatasi kepentingan pemedahan mayat sesuai dengan kebutuhan.
Jika tidak ada kebutuhan, maka tidak boleh mencincang maupun membedah
mayat orang kafir ketika itu. Karena apa yang boleh karena ada udzur maka
tidak boleh ketika udzur tersebut hilang. Wallahu ta’ala a’lam.
https://muslimafiyah.com/hukum-jual-beli-mayat-kadaver-untuk-
pembelajaran.html
cadaver menurut hukum islam
22 JUNI 2015 / KHOLIFATULUNYUK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik
yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan,
kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut
hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin
ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan
dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini
terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan
beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem
pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan hukum.
Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini
bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam,
menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan
masyarakat dibandingkan dengan studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam
dan sebagainya. Fiqhlah yang paling banyak dikenal dan amat populer di
masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di
masyarakat Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan
qawa’id fiqhiyyah sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena
adanya perubahan sosial yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring
dengan itu, kajian pemikiran hukum Islam dari sudut theologi juga banyak
dilakukan para ahli dengan berbagai pendekatan yang digunakan.
Salah satu masalah yang terangkat dalam pembahasan masailul fiqh adalah
tentang pengobatan alternatif. Pada dasarnya, pengobatan alternatif berhukum
apa dalam Islam dan lain hal yang masih berhubungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian cadaver dan apa saja macamnya?
2. Apa saja alasan melakukan cadaver?
3. Bagaimana hukum cadaver dalam Islam?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam cadaver.
2. Untuk mengetahui alasan melakukan cadaver.
3. Untuk mengetahui hukum cadaver dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Macam-Macam Cadaver
Cadaver pada dasarnya merupakan kegiatan mendonorkan organ tubuh manusia
yang telah meninggal untuk diberikan kepada manusia yang masih hidup.
Dalam hal ini, kegiatan cadaver dapat dipahami sebagai bagian dari kegiatan
transplantasi dalam ilmu kedokteran.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, kegiatan cadaver merupakan bagian dari
kegiatan transplantasi yang berarti pemindahan jaringan atau organ dari tempat
yang satu ke tempat lainnya. Yang dimaksud jaringan disini ialah kumpulan sel-
sel (bagian terkecil dari individu) yang sama dan mempunyai fungsi tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan organ ialah kumpulan jaringan yang
mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai
fungssi tertentu, seperti jantung, hati, dan lain-lain.
Melihat dari adanya hal tersebut di atas, maka dapat dibagi kegiatan
transplantasi cadaver itu pada 2 (dua) bagian:
a. Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.
b. Transplantasi organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Berkenaan dengan hal tersebut, cadaver merupakan bagian dari homo
transplatasi. Pada homo transplantasi dikenal adanya 3 (tiga) kemungkinan:
c. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah saudara kembar
yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak
menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa
dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
d. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah saudara kandung
atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan
ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada
golongan ketiga.
e. Apabila resipien (yang menerima donor) dan donor adalah dua orang yang
tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu
menyebabkan reaksi penolakan.
B. Alasan Melakukan Cadaver
Dalam hal ini akan dikemukakan dua pendapat yang pro dan kontra tentang
adanya donor organ ini dengan mengemukakan alasan-alasannya.
Pandangan yang menentang pencangkokan organ dengan tiga alasan yang
mendasar, yaitu:
1. Kesucian hidup/tubuh manusia
Setiap bentuk agresi terhadap tubuh manusia dilarang, karena ada beberapa
perintah yang jelas mengenai ini dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan ini ada satu
hadis (ucapan) Nabi Muhammad yang terkenal yang sering dikutip untuk
menunjukkan dilarangnya manipulasi atas tubuh manusia, meskipun sudah
menjadi mayat, “Mematahkan tulang mayat seseorang adalah sama berdosa dan
melanggarnya dengan mematahkan tulang orang itu ketika ia masih hidup”.
2. Tubuh manusia adalah amanah
Hidup dan tubuh manusia pada dasarnya adalah bukan miliknya sendiri, tapi
pinjaman dari Tuhan dengan syarat untuk dijaga, karena itu manusia tidak boleh
untuk merusak pinjaman yang diberikan oleh Allah Swt.
3. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata
Pencangkokan dilakukan dengan mengerat organ tubuh seseorang untuk
dicangkokkan pada tubuh orang lain, disini tubuh dianggap sebagai benda
material semata yang bagian-bagiannya bisa dipindah-pindah tanpa mengurangi
ketubuh seseorang.
Sedangkan bagi yang pro atas donor organ berlandaskan pada alasan berikut:
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Cadaver pada dasarnya merupakan kegiatan mendonorkan organ tubuh
manusia yang telah meninggal untuk diberikan kepada manusia yang masih
hidup. Dalam hal ini, kegiatan cadaver dapat dipahami sebagai bagian dari
kegiatan transplantasi dalam ilmu kedokteran. Melihat dari adanya hal tersebut
di atas, maka dapat dibagi kegiatan transplantasi cadaver itu pada 2 (dua)
bagian, yaitu trasplantasi organ dan jaringan.
2. Pandangan yang menentang pencangkokan organ dengan tiga alasan yang
mendasar, yaitu:
a. Kesucian hidup/tubuh manusia.
b. Tubuh manusia adalah amanah.
c. Tubuh tak boleh diperlakukan sebagai benda material semata.
Sedangkan bagi yang pro atas donor organ berlandaskan pada alasan bahwa
kesejahteraan publik (maslahah) dan altruisme.
3. Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah
meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan
menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa:
a. Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat.
b. pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat.
B. Saran
Akhirnya telah rampung pembahasan tentang Pengobatan Alternatif yang dapat
penulis uraikan di dalam makalah ini. Akhirnya penulis hanya bisa berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi pembacanya.
https://iffahajha.wordpress.com/2015/06/22/cadaver-menurut-hukum-islam/
Oleh
Ustadz Muhammad Yasir, Lc
Di antara Ulama ahli tafsir, ada yang mengartikan ayat tersebut dengan
menyebutkan, bahwa Allâh Azza wa Jalla menjadikan bumi dua bagian, yaitu
bagian atas untuk dihuni orang yang hidup dan bagian bawah dihuni oleh orang
yang mati.
عن رقَاب ُكم َ َ صال َحةً فَ َخير تُقَد ُمونَ َها َوإن َيكُ س َوى ذَلكَ فَشَر ت
َ ُضعُونَه ُ أَسر
َ ُعوا بالجنَازَ ة فَإن ت َك
Tujuan dari pembedahan mayat, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua.
Pertama, untuk otopsi. Kedua, untuk pembelajaran calon dokter.
Otopsi sendiri dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan pertama, untuk hukum
pidana, seperti, otopsi forensik yang dilakukan untuk mengetahui penyebab
kematian sehingga mungkin menjadi masalah pidana. Agar memungkinkan
mencari tersangka pembunuhan tersebut dengan tujuan bisa menegakkan hukum
Allâh Azza wa Jalla secara benar dan tepat. Tujuan kedua, yang disebut otopsi
klinis atau akademik. Ini dilakukan untuk mencari penyebab medis kematian.
Digunakan dalam kasus kematian yang tidak diketahui atau tidak pasti. Otopsi
ini biasanya dilakukan bila terjadi wabah penyakit baru yang menyebabkan
kematian tanpa diketahui jenis penyakit yang membunuhnya, maka diperlukan
usaha untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti. Dan salah satu cara
yang harus ditempuh adalah dengan cara membedah mayat.
Masalah yang timbul dari fenomena tersebut adalah mengenai perlakuan tidak
wajar terhadap mayat manusia dengan cara mengutak-atik organ tubuhnya.
Padahal, ini tidaklah selayaknya diperlakukan pada jasad manusia. Terlebih lagi
bila ditinjau dari hukum Islam.
Berikut dalil-dalil dan pendapat para Ulama tentang hukum perlakuan pada
mayat manusia.
علَى َكثير م َّمن َخلَقنَا َّ ََولَقَد َك َّرمنَا بَني آدَ َم َو َح َملنَا ُهم في البَر َوالبَحر َو َرزَ قنَا ُهم من
َ الطيبَات َوفَضَّلنَا ُهم
ً ت َفض
يال
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan. [al-Isrâ`/17:70]
Ayat ini menunjukkan bahwa jasad manusia itu mulia. Dan kemuliaan ini
berlaku baik dalam keadaan ia hidup maupun sudah mati. Sedangkan dalam
proses bedah mayat, terjadi perlakuan yang tidak mulia terhadap mayat, seperti
dipotong daging atau tulangnya, diangkat organ tubuh, dan perlakuan lain yang
semisalnya.
َو َال ت َمثُلُوا، َو َال ت َغد ُروا، اغ ُزوا َو َال تَغُلُّوا، قَاتلُوا َمن َكفَ َر باهلل،سبيل هللا
َ اغ ُزوا باسم هللا في
Sedangkan perlakuan terhadap mayat orang kafir, berikut pendapat dari para
Ulama.
Adapun perlakuan terhadap mayat kafir harbi dan orang murtad, maka madzhab
Syâfi’iyah menyatakan tidak wajib bagi kaum Muslimin menguburkan mayat
mereka. Namun, bila hendak dikuburkan juga tidak mengapa dengan tujuan
agar kaum Muslimin tidak terganggu dengan bau busuk bangkai mereka.
Adapun jenis bedah mayat yang kedua, yaitu untuk belajar. Dalam hal ini
majelis mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya:
• Bedah mayat untuk belajar medis ini ada maslahat yang besar, seperti yang
sudah diketahui terkait dengan kemajuan dalam ilmu medis.
• Belum adanya hewan yang bisa menggantikan jasad manusia guna memenuhi
kebutuhan pembelajaran ini.
• Syariat Islam menghormati kemuliaan jasad muslim, baik ketika masih hidup
maupun ketika sudah mati. Sedangkan proses bedah mayat pasti
memperlakukan jasad tidak sesuai dengan kehormatannya.
• Tidak adanya keperluan yang mendesak untuk membedah mayat orang
muslim karena memungkinkan untuk memperoleh mayat orang kafir yang tidak
ma’shum.
Senada dengan pendapat majelis ini, Syaikh Abdul-Aziz bin Baz rahimahullah
juga berfatwa yang sama mengenai hukum bedah mayat untuk keperluan
pembelajaran ilmu kedokteran. Beliau hanya membolehkan pembedahan mayat
kafir harbi dan mayat orang murtad saja.[2]
Akan tetapi, yang sangat penting untuk diperhatikan oleh dokter atau pelaksana
bedah mayat lainnya, ialah landasan dibolehkannya membedah mayat karena
faktor yang mendesak kebutuhan. Oleh karena itu, apabila suatu saat kebutuhan
ini telah terpenuhi, maka kembali kepada hukum asal bahwa seluruh jasad
manusia tidak boleh dipotong-potong. Pendapat ini disampaikan oleh Syaikh
Dr. Muhammad bin Muhammad Mukhtar Syinqithi dalam disertasi doktoralnya,
Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha (hukum-hukum
Islam seputar operasi medis), halaman ke-112.
Dalam keputusan Majelis Ulama Besar Saudi Arabia memuat beberapa alasan
yang memperkuat maslahat untuk membolehkan membedah mayat. Di antara
alasan tersebut sebagai berikut.
Pertama, Dibolehkan membedah mayat wanita hamil untuk mengeluarkan janin
yang kemungkinan besar akan hidup. Memang permasalahan ini sudah
diperdebatkan oleh Ulama dahulu, namun, menurut hemat kami, pendapat
paling kuat adalah yang membolehkannya.[3]
Wallâhu ‘alam.
namun,
islam itukan sempurna dan indah,
malah bersesuaian dengan setiap masa dan kondisi.
sebagai contohnya,
semua daripada kita yakin dan terima,
bahawa sekiranya dalam keadaan darurat,
memakan daging babi yang hukum pada asalnya adalah HARAM
bertukar menjadi harus,
asalkan tidak berlebih-lebihan..
maka,
hukum memotong (membedah) mayat seorang muslim,
yang pada asalnya adalah haram,
boleh menjadi harus
sekiranya keadaan benar-benar memerlukan..
TETAPI,
sekiranya keluarga dari yang non-muslim tak membenarkan,
maka pastilah tidak boleh mayat non muslim tersebut diambil,
lalu inform consent (izin) dari keluarga muslim patut ditanya
kerana itu adalah jalan terakhir
untuk kelangsungan proses pembelajaran
yang insyaAllah bakal membawa banyak manfaat di masa hadapan.
wallahu'alam~
http://duha89.blogspot.co.id/2011/05/bedah-mayat-muslim.html
hukum kadaver
Beberapa waktu lalu saya mendapat statement cukup menarik dari
seorang ustadz pengisi kajian fikih sunnah di asrama tentang hukum
bedah mayat. Menurut beliau bedah mayat itu hukumnya haram atas
alasan apapun termasuk untuk riset mahasiswa kedokteran. Saya
penasaran dengan statemen itu dan ingin mencari kebenarannya. Maka
saya posting tulisan di milist diskusi MITI-Mahasiswa untuk berdiskusi
dengan beberapa ahli (dokter dan ahli fikih). Maka ini kira-kira
beberapa jawaban dari sekian jawaban yang saya rangkum dari hasil
diskusi di milist:
Kalo antum pernah liat TMD (Team Medical Dragon), mungkin antum
akan paham urgensi dari praktikum bedah kadaver ini bagi mahasiswa
kedokteran. Pengalaman saya ketika belajar anatomi dulu, saya harus
membaca dan membuka atlas anatomi yang memberikan gambaran
lengkap struktur tubuh manusia, dari organ yang besar seperti hepar
sampai yang terkecil seperti serabut saraf/neuron. Hal ini diharapkan
akan membuat kita lebih mudah dalam belajar. Tapi, ternyata ketika
saya berhadapan langsung dengan kadaver, saya masih kebingungan.
Mencocokkan gambar yang di atlas dengan struktur asli. Bisa antum
bayangkan, bagaimana kalo seorang ahli bedah tidak pernah membedah
tubuh asli manusia?
Dalam fakultas kedokteran FK Unair, kita tidak pernah jual beli mayat.
Kadaver yang kita dapatkan berasal dari instalasi Forensik RSUD Dr
Soetomo. Biasanya kadaver2 ini adalah jenazah yang tidak diketahui
identitasnya. Tidak ada keluarga yang mengakui. Terakhir, insya Allah
kiat sebagai mahasiswa kedokteran sangat menghormati jenazah yang
kami gunakan untuk belajar. Kita selalu mendahului praktikum kita
dengan doa.
Selanjutnya ini adalah jawaban Ust Nanung Danar Dono yang disarikan
oleh Ega (rekan saya di departemen riset miti-mahasiswa). Ust Nanung
ini sering mengisi kajian halal haram di RadioPengajian.com (saat ini
menetap di Glasgow). Ini petikan jawaban beliau:
Sedikit berbeda dengan status hukum dimana saat hidupnya sang 'calon'
mayat sudah mengikrarkan organ tubuhnya untuk disedekahkan untuk
keperluan yang lebih bermanfaat (kemaslahatan umat), misalnya :
penelitian kedokteran, atau membantu orang yang membutuhkannya
(tuna netra, renal failure, dll). Untuk hal semacam ini, ulama cenderung
mengijinkannya.
Menurut info penelitian Prof. Muladno dari IPB (kakak kelas saya jauh di
Fak. Peternakan UGM), pada tahun 1974, jumlah zeno-
transplantation jantung babi ke manusia yang berhasil di AS dan Jepang
sudah mencapai angka di atas 15.000 operasi. Untuk menghindari reaksi
penolakan ketika jantung babi dicangkokkan pada tubuh manusia, maka
beberapa puluh tahun yang lalu sudah dilakukan penanaman gen
manusia pada tubuh babi, sehingga diharapkan tidak ada lagi reaksi
penolakan ketika jantung babi dipasang menggantikan jantung manusia.
http://trihanifa.blogspot.co.id/2013/07/hukum-bedah-mayat-part-1.html
TRANPLANTASI ORGAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM
I. Latar Belakang
Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Pasal 64 UU Nomor 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 tentang bedah
mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan
tubuh manusia, lebih spesifik jika dibandingkan dengan yang diatur dalam
KUHPidana. Misalnya mengenai transplantasi komersil, jika dalam KUHPidana
termasuk kejahatan terhadap tubuh manusia, namun dalam Pasal 64 UU Nomor
36 Tahun 2009 dan dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dimasukkan dalam pasal
tersendiri yang lebih jelas, sehingga akan terlihat dengan jelas batasan
pertanggungjawaban pidana apabila dokter melakukan malpraktek.
Malpraktek yang dapat terjadi dalam upaya medis transplantasi organ tubuh
yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya adalah kesalahan dalam
menjalankan praktek yang dilaksanakan dengan sengaja yang berkaitan dengan
pelanggaran terhadap UU Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan
pelanggaran terhadap PP Nomor 18 Tahun 1981 Tentang bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh
Manusia.
Menurut pendapat Fred Ameln yang terdapat dalam buku Hukum Kesehatan,
ada 3 pokok penting untuk menimbang apakah seorang dokter itu melakukan
malpraktek atau tidak melakukan malpraktek yaitu:
1. Ada tindakan faktor kelalaian;
2. Apakah praktek dokter yang dimasalahkan sesuai dengan standar profesi
medis;
3. Apakah akibat yang ditimbulkan terhadap korban fatal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, disinggung mengenai keberadaan standar
profesi medis sebagai salah satu faktor penting untuk dapat menentukan ada
atau tidak adanya tindakan malpraktek yang dilakukan oleh dokter. Dalam Pasal
21 Ayat (2) PP nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan disebutkan
bahwa standar profesi tenaga kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Standar profesi tenaga kesehatan menurut Peraturan Pemerintah ini adalah
pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk
dalam menjalankan profesinya secara baik.
Agar upaya medis transplantasi organ tubuh dapat berjalan dengan baik,
terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh. Tahapan yang berlaku secara
klinis meliputi:
1. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor
sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien
sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih mudah
dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan semenda (ada
pertalian darah).
2. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis.
3. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah
transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan
melakukan pemberian obat dan kontrol.
Tahapan klinis yang diuraikan diatas berlaku untuk donor hidup maupun donor
jenazah (cadaver). Untuk dapat dilakukan eksplantasi organ tubuh baik terhadap
donor hidup maupun donor jenazah diperlukan adanya persetujuan terlebih
dahulu, namun hingga saat ini persetujuan yang telah diatur hanya mengenai
persetujuan dari donor jenazah yang sudah dituangkan dalam PP Nomor 18
Tahun 1981. Indonesia sendiri, berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam PP
tersebut dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem berdasarkan izin.
Hal ini berarti tidak boleh dilakukan suatu pegambilan organ tubuh tanpa
adanya izin yang jelas/nyata yang diberikan oleh donor. Berdasarkan PP Nomor
18 Tahun 1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ
tubuh, persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia
masih hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya
atau adanya persetujuan dari keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor
tidak pernah membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena
meskipun tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih
harus tetap menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad
yang ditinggalkan.
Jika selama hidupnya donor belum pernah memberikan persetujuan untuk dapat
dilakukannya transplantasi terhadap salah satu organ tubuhnya maka, hak untuk
memberikan persetujuan eksplantasi ada pada ahli warisnya (Pasal 10 jo Pasal 2
PP nomor 18 Tahun 1981).
Kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya medis transplantasi organ
tubuh pada khususnya, dapat berupa karena unsur kesengajaan maupun unsur
kelalaian. Dalam tanggung jawab pidana haruslah dibuktikan adanya kesalahan
professional yang dapat dibuktikan di sidang pengadilan melalui pendapat para
ahli. Adapun kesalahan professional tersebut biasanya dihubungkan dengan
masalah:
1. Kelalaian (negligence);
2. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan, yang akan melindungi pasien dari
tindakan kesewenangan dokter yang dapat saja terjadi sehingga mengakibatkan
adanya gangguan terhadap diri pasien. Selain itu, adanya persetujuan juga dapat
meniadakan sifat melanggar hukum.
Berkenaan dengan hal persetujuan pasien, dalam hukum pidana persetujuan
bukan merupakan dasar bagi adanya pengecualian terjadinya suatu peristiwa
pidana, namun jika ketentuan ini kita hubungkan dengan Pasal 89 KUHPidana
yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan
dengan menggunakan kekerasan. Jika seorang dokter yang melakukan
pembedahan (misalnya) terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pihak
pasien, maka dokter tersebut dapat dituduh telah melakukan kekerasan
sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHPidana tersebut diatas. Seperti yang
dikatakan oleh Simons, bahwa persetujuan untuk mengadakan operasi dengan
tujuan pemulihan kesehatan akan meniadakan sifat pidana dari perbuatan
tersebut.
Transplantasi organ tubuh sebagai upaya pelayanan kesehatan, yang dapat
mengintervensi kehidupan seseorang baik secara jasmani maupun rohani, tidak
hanya melibatkan pelayanan kesehatan, penerima pelayanan kesehatan, tetapi
juga donor, baik itu donor hidup maupun donor mati.
Di dalam bidang hukum kesehatan sendiri belum jelas apa yang menjadi tolak
ukur telah terjadinya tindakan malpraktek pada upaya medis transplantasi organ
tubuh. Belum adanya satu pengertian yuridis yang menyatakan secara tegas
mengenai tindakan malpraktek, menimbulkan heterogenisasi pengertian tentang
apa itu yang dimaksud dengan malpraktek. Selama ini masyarakat yang
menggugat dokter ke pengadilan, karena merasa tindakan dokter itu merugikan
atau mencelakakan pasiennya sekedar menggunakan pasal – pasal KUHPidana.
Dalam tanggung jawab pidana perlu dibuktikan adanya kesalahan professional.
Kesalahan professional di bidang medis (medical malpractice) menurut
Veronica Komalawati adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medis
sesuai dengan standar profesi medis, atau tidak melakukan tindakan medis
menurut ukuran tertentu yang didasarkan pada ilmu pengetahuan medis dan
pengalaman rata – rata dimiliki seorang dokter menurut situasi dan kondisi
dimana tindakan medis itu dilakukan.
Mengenai kesalahan atau kealpaan (culpa) diatur dalam Pasal 359 KUHPidana
yang menyebutkan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Berdasarkan ketentuan dari pasal diatas, bahwa untuk menentukan adanya
kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang harus dipenuhi empat
unsur yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana, dan perbuatan itu besifat melawan hukum;
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Adanya unsur kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Menurut ketentuan dalam KUHPidana, kesalahan merupakan unsur dari
pertanggungjawaban pidana agar dapat dipidananya seseorang. Tegasnya, unsur
kesalahan merupakan unsur mutlak untuk penjatuhan pidana. Kesalahan
dianggap ada, bilamana dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan
perbuatan atau menimbulkan keadaan – keadaan yang dilarang oleh hukum
pidana dan yang dilakukan dengan bertanggung jawab. Sehingga untuk dapat
menjatuhkan pidana kepada seseorang, disamping harus memenuhi unsur –
unsur suatu tindak pidana yang bersangkutan, perbuatan yang dilakukan harus
bersifat melawan hukum, dan pada diri pelaku terdapat unsur kesalahan.
Selain itu untuk dapat dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan melawan
hukum harus memenuhi unsur hukum formal dan hukum materiil. Menurut
ajaran melawan hukum formal, suatu perbuatan telah dapat dipidana apabila
perbuatan itu telah memenuhi semua unsur – unsur dari rumusan suatu tindak
pidana (delik) atau telah cocok dengan rumusan pasal yang bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil yaitu apakah
perbuatan tersebut bersifat melawan hukum secara sungguh – sungguh yang
dilakukan dengan bertanggung jawab ataupun tidak.
Di dalam persidangan, Majelis hakim bukan hanya mempertimbangkan
terpenuhinya unsur kesalahan dan sifat melawan hukum formal dan materiil,
tetapi juga memperhatikan apakah terdapat suatu alasan pembenar dan pemaaf.
Dengan demikian, apabila ada unsur – unsur tersebut yang tidak terpenuhi,
dimana seorang dokter telah melakukan perawatan sesuai dengan
pengetahuannya dan sesuai standar profesi medis serta tidak dapat dibuktikan
telah terjadi kesalahan, kealpaan, kelalaian ataupun kesengajaan, maka hakim
dapat memberikan putusan dibebaskan dari segala tuntutan hukum.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita seringkali membaca berita mengenai
peristiwa kejahatan, misalnya kasus penganiayaan, pembunuhan, dan kematian
mendadak. Di masyarakat, kerap terjadi peristiwa pelanggaran hukum yang
menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Untuk pengusutan dan penyidikan serta
penyelesaian masalah hukum ini di tingkat lebih lanjut sampai akhirnya
pemutusan perkara di pengadilan, diperlukan bantuan berbagai ahli di bidang
terkait untuk membuat jelas jalannya peristiwa serta keterkaitan antara tindakan
yang satu dengan yang lain dalam rangkaian peristiwa tersebut.
Pada tingkat penyelidikan sebetulnya penegak hukum belum tahu sama sekali
apakah suatu peristiwa (misalnya ditemukannya mayat di pantai atau di suatu
gudang) merupakan peristiwa pidana atau bukan. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan penyelidikan dan dalam rangka itu penyelidik dapat meminta bantuan
dokter, dalam kapasitasnya sebagai ahli. Hal ini sesuai dengan
Pasal 7 ayat 1 (h) KUHAP:
Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
Bantuan dokter tersebut dapat berupa pemeriksaan jenazah di rumah sakit dan
dapat pula berupa pemeriksaan jenazah di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Karena begitu pentingnya barang bukti dalam tindak pidana pembunuhan, maka
penyidik harus sebisa mungkin mendapatkan barang bukti di Tempat Kejadian
Perkara (TKP), dikhawatirkan barang bukti dan lokasi di Tempat Kejadian
Perkara (TKP) akan berubah atau bahkan hilang apabila tidak dilakukan
tindakan oleh penyidik serta dokter ahli.
Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai keterangan yang
dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil
pemeriksaan medik terhadap manusia baik hidup atau mati ataupun bagian yang
diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak
di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua
buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak
dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa
potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
B. Perumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah prosedur permintaan dokter untuk datang di Tempat Kejadian
Perkara (TKP)?
2. Bagaimanakah peranan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
3. Tujuan bantuan dokter di Tempat Kejadian Perkara (TKP)?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penjelasan Umum
Bantuan dokter dalam menangani korban di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
memang sangat dibutuhkan. Bantuan dokter tersebut tidak hanya ditujukan
untuk korban mati saja tetapi korban hidup.
B. Pengertian TKP
Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah tempat-tempat lain dimana barang-
barang bukti atau korban yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut
dapat diketemukan.
Meskipun kelak terbukti bahwa di tempat tersebut tidak pernah terjadi suatu
tindak pidana, tempat tersebut tetap disebut sebagai TKP. Disini hanya akan
dibicarakan TKP yang berhubungan dengan manusia sebagai korban, seperti
kasus penganiayaan, pembunuhan dan kasus kematian mendadak (dengan
kecurigaan).
Jadi apa yang dimaksudkan diatas, dokter bila menerima permintaan harus
mencatat :
1. Tanggal dan jam dokter menerima permintaan bantuan
2. Cara permintaan bantuan tersebut ( telpon atau lisan)
3. Nama penyidik yang minta bantuan
4. Jam saat dokter tiba di TKP
5. Alamat TKP dan macam tempatnya (misal : sawah, gudang, rumah dsb.)
6. Hasil pemeriksaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan setibanya di TKP
1. Tanggal dan waktu kedatangan;
2. Nama orang di tkp pada saat kedatangan;
3. Kondisi cuaca;
4. Kondisi pencahayaan pada malam hari
5. Apa yang terjadi - insiden;
6. Apa yang telah terjadi – aktivitas sejak insiden;
7. Petugas yang bertanggung jawab atas kasus;
8. Adegan penjagaan keamanan tkp;
9. Bantuan yang diberikan di lokasi dan sumber daya lain yang sudah diminta.
Pejabat yang berhak mengajukan Permintaan diantaranya adalah penyidik,
penyidik pembantu, hakim. Oleh karena itu kita perlu mengetahui apa yang
dimaksud dengan :
1. Penyelidikan
Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti serangkaian
tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang
berhubungan dengan kejahatan dan pelangaran tindak pidana atau yang diduga
sebagai perbuatan tindak pidana. Terlihat penyelidikan merupakan tindakan
atau tahap permulaan dari proses selanjutnya, yaitu penyidikan. Meskipun
penyelidikan merupakan proses yang berdiri sendiri, penyelidikan tidak bisa
dipisahkan dari proses penyidikan.
2. Penyidikan
Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan adalah tahapan penyidikan. Pasal 1
butir 1 dan 2 KUHAP menjelaskan, penyidikan adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu
membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus
menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.Terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan suatu tindak pidana, dapat diketahui
oleh penyidik dengan berbagai cara, mengetahui sendiri, atau menerima laporan
atau pengaduan dari seseorang.
Adapun yang termasuk dalam kategori penyidik menurut Pasal 6 ayat (1)
KUHAP jo PP27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-
rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik pembantu berpangkat
serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa bila
penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya adalah
serendah-rendahnya golongan II/B untuk penyidik dan II/A untuk penyidik
pembantu. Bila di suatu Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah
Pembantu Letnan Dua dikatagorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya
(PP 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2)).
G. Pembahasan Kasus
Malam hari tanggal 12 Oktober 2002, sebuah bom berkekuatan besar meledak
di kawasan wisata Legian, Kuta, Bali. Bom tersebut meluluh-lantakkan dua
buah café yang penuh sesak dengan turis baik domestik maupun asing. Banyak
dari korban meninggal dalam keadaan tidak utuh lagi, banyak yang berupa
potongan tubuh, hingga ada yang terbakar habis.
Masalah : Bantuan apa yang dapat diberikan oleh dokter di TKP?
Penyidik dalam hal ini polisi dan dokter puslabfor tentunya, segera bertindak
cepat, dengan cara mengumpulkan korban dan barang bukti yang ada. Setelah
mendapatkan data dari jumlah pengunjung di kedua kafe pada saat kejadian,
dokter dibantu polisi memulai suatu proses untuk menyatukan potongan-
potongan tubuh, sekaligus juga mengidentifikasi masing-masing korban, nama
hingga kewarganegaraan. Pemeriksaan yang dilakukan dokter puslabfor antara
lain adalah :
Pemeriksaan Tulang
Pemeriksaan tulang berguna dalam proses identifikasi, antara lain:
a. Menentukan jenis kelamin
b. Menentukan umur
c. Menentukan tinggi badan
d. Pemeriksaan Gigi
e. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah merupakan pemeriksaan penting dari pemeriksaan biasa
yang dilakukan pada kasus forensik. Kadang kala sampel merupakan sampel
segar ataupun dengan tambahan pengawet terutama pada kasus kriminal. Lebih
sering lagi sample di kirim ke laboratorium berupa darah kering atau bercak
kecolatan yang terdapat pada senjata, pakaian atau objek lainnya. Pemeriksaan
yang dilakukan untuk membedakan:
1. Apakah bercak tersebut darah.
2. Jika darah, apakah darah tersebut merupakan darah hewan atau manusia.
3. Jika darah manusia, apakah golongan darah manusia tersebut. Metode yang
dilakukan pada bercak tersebut dengan inspeksi, pemeriksaan mikroskopis,
analisis kimia, spektroskopis investigasi dan tes serologi.
Gb.12. Bom Bali I
Sumber : http://www.geocities.com/arabracismandislamicjihad/
Diposkan oleh guntur payasan di 03.19 Tidak ada komentar: Link ke posting ini
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
A. Latar Belakang
Dalam bidang medis/kedokteran, segala temuan pada diri pasien dapat
dikatakan sebagai rahasia medik dan rahasia ini sepenuhnya milik pasien,
sebagaimana disebutkan dalam permenkes No. 749a/1989 pasal 10 ayat 2 yaitu
isi ekam medis adalah milik pasien.
UU No. 29 tahun 2004 pasal 48 ayat 1 menyatakan setiap dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia
kedokteran. Di Indonesia, kerahasiaan pasien merupakan isu yang terus
berkembang dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dulu keharusan
menjaga rahasia itu mutlak, namun berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran yang berbunyi rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka pengakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Disamping dalam UU praktik kedokteran
rasihasia kedokteran juga diatur dalam Permenkes No. 269/Menkes/per/III/2008
menyatakan kerahasiaan pasien dapat dibuka kepada pihak tertentu seperti
diberikan kepada aparat penegak hukum berdasarkan perintah pengadilan atau
instansi/institusi lain guna kepentingan penelitian, pendidikan, atau audit medis.
Serta dalam KODEKI pasal 12 disebutkan setiap dokter wajib merahasiakan
segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia.
Diluar hal diatas kerahasian pasien tidak dapat diungkapkan. Bahkan para
dokter dan pihak rumah sakit diharuskan melakukan daya upaya untuk menjaga
kerahasian pasien semaksimal mungkin. Contoh kasus ”Seorang teman sejawat
saya pernah menangani seorang pasien yang katakanlah bernama Dodi. Saat itu
Dodi datang dengan keluhan sering merasa cemas, waswas, dan takut. Setelah
melakukan pemeriksaan yang cermat, teman saya berkesimpulan bahwa pasien
menderita gejala gangguan kejiwaan sehingga dia meresepkan obat kejiwaan.
Beberapa minggu kemudian, didatangi seorang yang mengaku berasal dari
bagian administrasi kantor Dodi. Orang yang mengaku bertugas administrasi
pengobatan karyawan ini menanyakan jenis obat yang diberikan kepada Dodi.
Karena mengira orang ini adalah perwakilan resmi kantor, teman saya
menyampaikan jenis obat kejiwaan yang diberikannya kepada pasien tersebut.
Beberapa bulan kemudian, temen sejawat saya dituntut di depan pengadilan
oleh si Dodi. Dia menuntut dengan alasan telah membocorkan rahasia jenis obat
kepada perusahaannya tanpa izin darinya. Karena hal tersebut, perusahaan jadi
tahu bahwa dia menderita gangguan kejiwaan dan akhirnya diberhantikan dari
perusahaan. Saat itu Dodi menuntun ganti rugi jutaan rupiah. Hakim
memutuskan bahwa temen saya melakukan kesalahan dan harus membayar
ganti rugi kepada pasien itu”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas maka masalah yang dapat diambil
adalah:
1. Mengapa rahasia medik tidak dapat dibuka kepada orang lain tanpa
sepengetahuan pasien?
2. Bangaimanakah jika seseorang menderita HIV positif yang ingin mendonor
darahnya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Rahasia
Rahasia adalah suatu hal yang tidak boleh atau tidak dikehendaki untuk
diketahui oleh orang yang tidak berkepentingan atau tidak berhak mengetahui
hal itu.1 Masalah larangan membuka rahasia pasian oleh dokter merupakan
salah satu masalah klasik dalam bidang kedokteran, sedemikian klasiknya
sehingga dalam banyak naskah kedokteran/kesehatan kita dapati ketentuan yang
pada prinsipnya melarang dokter untuk membuka rahasia pasiennya sudah
ditentukan antara lain:
1. Sumpah Hippocrates
“… Apapun, dalam hubungan dalam hubungan dengan jasa professional saya
atau tidak dalam hubungan dengan jasa tersebut, yang saya lihat atau dengar,
tentang kehidupan manusia, yang tidak harus dibuka ke pihak luar, saya tidak
akan berkhianat, sebagai pengakuan bahwa semua itu harus dijaga
kerahasiannya.”
2. Deklarasi Genewa
“… Saya akan menjaga rahasia yang diberikan kepada saya, bahkan setelah
pasien meninggal dunia.”
3. Sumpah Dokter Indonesia
“Demi Allah saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala
sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai
dokter.”
Kewajiban dokter ialah menjaga dan menghormati rahasia itu terhadap orang
atau pihak yang tidak berkepentingan. Jika kita kemballi ke kasus Medan tadi,
maka yang harus dijawab pertama kali adalah: apakah orang tua bayi itu adalah
pihak yang berkepentingan atau berhak mengetahui proses kematian anaknya?
Setiap orang waras tentu tahu bahwa orang tua bayi tersebut berhak tahu
mengapa bayinya sampai mati. Kejadian dokter menolak menjelaskan kematian
bayi itu denga dalih “rahasia kedokteran” tersebut, bukan lagi erosi melainkan
sudah menjadi distorsi hakikat rhasia kedokteran.
Jadi, sebenarnya dokter justru harus menyampaikan rahasia itu kepada orang
yang berhak atau berkepentingan misalkan orang tua, wali, atau yang menbiayai
pengobatan (perusahaan). Walaupun demikian jika diduga pengungkapan
rahasia medik akan melemahkan pasien, maka boleh menahan rahasia itu.
Dalam kepustakaan Barat dikenal adanya next of kin, yakni urut-urutan siapa
yang paling berhak seseorang dan dapat dibelakukan dalam hal diatas. Dalam
budaya Timur, next of kin mungkin lebih rumit. Mengingat rumusan keluarga
atau pertalian darah yang jauh berbeda dengan budaya Barat.
Temuan-temuan dalam rekam medik adalah langsung milik pasien dan pasien
berhak sepenuhnya untuk mengetahui isi rekam medik tersebut. Jadi,
hakikatnya hanya pasien yang berhak atas rekam medik itu, terkecuali jika
pasien dalam keadaan kritis, perlu penanganan yang membutuhkan dana, baru
hal tersebut dapat di beritahukan kepada pihak keluarga atau yang menjamin
biaya pengobatan atau pasien korban pembunuhan yang perlu saksi dari ahli
untuk menentukan visum et revertum korban.
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan konfidensial, percaya-
mempercayai, dan hormat-menghormati. Oleh karena itu, dokter berkewajiban
memelihara suasana yang ideal tersebut, antara lain dengan memegang teguh
rahasia jabatan dan pekerjaannya sebagai dokter.