Anda di halaman 1dari 9

BEDAH MAYAT (OTOPSI)

Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang
kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut huku
Islam.
Semua penemuan baru sebagai hasil dari perkembangan teknologi tersebut, hendaknya disejalankan
dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum Bedah Mayat menurut pandangan Islam. [1]

A. PENGERTIAN BEDAH MAYAT


Perkataan bedah mayat dalam bahasa Arab disebut:

.

Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau
kepentingan tertentu.
Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, walaupun hanya sekedar mengambil
barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi
yang ada hubungannya dengan ilmh pengetahuan dan penegakan hukum.

B. TUJUAN BEDAH MAYAT


Di antara tujuan yang terpenting bedah mayat adalah:
1) Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
Pada prinsipnya ajaran Islam memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu berijtihad dalam hal-hal
yang tidak ada ditemukan dan sebagai landasannya adalah firman Allah:

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj : 78).
2) Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3) Untuk kepentingan penegakan hukum
Untuk menegakkan hukum yang adil menurut Islahm, tertentu diserahkan kepada ahlinya, agar para ahli
itu dapat menerapkannya dengan cara yang adil dan benar, sebagai firman Allah:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. (QS. An-Nisa :
58).
Penghormatan terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi penegakan hukum lebih penting lagi,
karena menyangkut dengan nasib seseorang yang akan dijatuhi hukuman, berat atau ringan.
4) Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran
Salah satu cabang ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan penbedahan mayat, yaitu ilmu
anatomi, yang dasar-dasarnya sudah disebutkan dalam al-Quran sejak empat belas abad yang lalu. Konsep inilah
sebenarnya dikembangkanoleh sarjana muslim pada abad pertengahan dan kemudian dipelajari oleh bangsa
Barat lewat penelitian ilmiah. Konsep tersebut berbunyi:


..Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan.... (QS. Az-Zumar : 6).
Adapun tiga kegelapan yang dimaksud ayat tersebut di atas adalah: kegelapan dalam perut, kegelapan
dalam rahim dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim. [2]

C. HUKUM BEDAH MAYAT


Tujuan bedah mayat yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaitkan dengan hukum Islam, agar orang
yang akan melaksanakannya tidak merasa ragu-ragu dan dianggap bertentangan dengan ajaran agama.
1) Menyelamatkan Janin
Dalam hal ini, Islam membolehkan membedah mayat yang di dalam rahimnya terdapat janin yang masih
hidup. Urusan tersebut diserahkan kepada dokter ahli untuk melaksanakannya, dan merawat janin yang
diselamatkan itu. Bahkan ada pendapat yang menagtakan, wajib hukumnya membedah mayat, bila diperkirakan
dokter, janinnya masih hidup.
2) Mengeluarkan Benda yang Berharga dari Perut Mayat
Bedah mayat wajib hukumnya, bila dalam perutnya ada batu prmata (barang berharga) milik orang lain.
Hal ini berarti, tidaj wajib mayat itu dibedah, bila yang di dalam perutnya itu miiknya sendiri dan dianggap sudah
hancur atau habis dan tidak ada lagi hubungannya dengan hak ahli waris . para ahli waris, cukup melihat kepada
peniggalan yang ada, disamping perlu menghormati si mayat.
3) Menegakan Kepentingan Hukum

.

Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat
Juga berpegang kepada kaidah:


.
Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat (yang bersifat) umum maupun hajat khusus (perorangan). [3]
4) Memperhatikan Kepentingan Pendidikan dan Keilmuan
Di antara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang
disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek
langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat
penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
Sekiranya mayat itu memang diperlukan sabagai sarana penelitian untuk mangembangkan ilmu
kedokteran, maka menerut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan
untuk mensejahterakan umat manusia.[4]

D. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG BEDAH MAYAT


Dalam menentukan hukum bedah mayat, tidak sama pendapat para ulama, sebagaimana terlihat para
uraian berikut:
a. Imam Ahmad bin Hambali
Seorang yang sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia, maka perutnya tidak boleh, kecuali
sudah diyakini benar, bahwa janin itu masih hidup.
b. Imam Syafii
Jika seorang hamil, kemudian dia meinggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup, maka perutnya
boleh dibedah untuk mengeluartkan janinnya. Begitu juga hukumnya, kalau dalam perut si mayat itu ada barang
yang berharga.
c. Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan di dalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu harus di
bedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya
untuk mengeuarkan janin yang diperkirakan masih hidup.
d. Imam Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin
itu.[5]

KESIMPULAN
Dari semua penjelasan makalah hadits di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesorang
yang sudah meninggal dunia boleh dibedah (diotopsi) mayatnya tersebut, itu dikarenakan empat hal:
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2. Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3. Untuk kepentingan penegakan hukum, dan
4. Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

As-Suyuthi, Imam. Al-Asybah Wan Nazhaair. Beirut : Darul Fikri

Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas.

Wahjuddin. !992. Masaail Fiqhiyyah. Kalam Mulia

[1] Mahmud Kamal, Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1991).
[2] Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT Rajawali Pers, 1997), hlm. 135-138.
[3] Wahjuddin, Masalah Fiqhiyah, (Kalam Mulia, 1993).
[4] Mahmud Kamal, Op. Cit., hlm.471
[5] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nazhaair, (Beirut : Darul Fikri
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah
mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim
dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-
sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan sebagai
pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah dapat
diterapkan kaidah-kaidah berikut ;
a. Kaidah Pertama

kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat
umum
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan
demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya,
adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau mendatangkan
mudaharat am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka
terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-
bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan
jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan
melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam. Suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang
sudah mati.

b. Kaidah Kedua

Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan sesuatu yang
semula diharamkan.
Berangkat dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukanya
sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab
kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.

c. Kaidah Ketiga

Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat,
seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas
dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan, maka
otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.

d. Kaidah Ke empat

Kperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka
kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang
bersifat perorangan.
A. Definisi Bedah Mayat (Otopsi)
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau
mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan
istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi
pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta.
Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang
yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan
atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian
dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang,
baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
Otopsi ( juga dikenal sebagai pemeriksaan post-mortem atau obduction ) adalah
pemeriksaan tubuh orang mati dan dilakukan terutama untuk menentukan penyebab kematian
,untuk mengidentifikasi atau menggolongkan tingkat negara penyakit bahwa seseorang
mungkin memiliki , atau untuk menentukan apakah pengobatan medis atau bedah tertentu telah
efektif . Di lembaga-lembaga akademik , otopsi terkadang juga diminta untuk tujuan
pengajaran dan penelitian . Otopsi forensik otopsi dengan implikasi hukum dan dilakukan
untuk menentukan apakah kematian adalah kecelakaan , pembunuhan , bunuh diri , atau
peristiwa alam . Kata otopsi berasal dari kata Yunani autopsia : "melihat dengan mata sendiri".
Otopsi dilakukan oleh ahli patologi , dokter yang telah menerima pelatihan khusus dalam
diagnosis penyakit dengan pemeriksaan cairan tubuh dan jaringan.

B. PEMBAGIAN OTOPSI

Berdasarkan tujuannya, otopsi terbagi atas :

1. Otopsi Anatomi, dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.


Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah disimpan 2 x 24
jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada ahli waris yang mengakuinya.
Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun
sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat
dipertanggungjawabkan sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara
setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya
setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah sesuai dengan KUHP perdata
pasal 935. (1,2,3)

2. Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit.
Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian
antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesispenyakit, dan sebagainya.
Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri
yang memintanya.

3. Otopsi Forensik/Medikolegal, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal


akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun
bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya
penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
o Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
o Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat
kematian.
o Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan.
o Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum
et repertum.

C. OTOPSI MEDIKOLEGAL

Otopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya


penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan obyektif pada korban, yang
diperoleh dari pemeriksaan medis.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada otopsi medikolegal :

1. Tempat untuk melakukan otopsi adalah pada kamar jenazah.


2. Otopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk otopsi oleh pihak yang
berwenang.
3. Otopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan untuk otopsi.
4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus dikumpulkan
dahulu sebelum memulai otopsi. Tetapi kesimpulan harus berdasarkan temuan-temuan
dari pemeriksaan fisik.
5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan otopsi.
6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat pada
laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda identifikasi, photo,
sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh.
7. Ketika dilakukan otopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak
berwenang.
8. Pencatatan perincian pada saat tindakan otopsi dilakukan oleh asisten.
9. Pada laporan otopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.
10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diotopsi.

Adapun persiapan yang dilakukan sebelum melakukan otopsi forensik/medikolegal adalah:

1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan otopsi yang akan dilakukan,


termasuk surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan visum et
repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diotopsi adalah mayat yang dimaksud dalam surat
tersebut.
3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian
selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan jenis
pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.
4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk otopsi tidak
diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :
o Timbangan besar untuk menimbang mayat.
o Timbangan kecil untuk menimbang organ.
o Pisau, dapat dipakai pisau belati atau pisau dapur yang tajam.
o Gunting, berujung runcing dan tumpul.
o Pinset anatomi dan bedah.
o Gergaji, gergaji besi yang biasanya dipakai di bengkel.
o Forseps atau cunam untuk melepaskan duramater.
o Gelas takar 1 liter.
o Pahat.
o Palu.
o Meteran.
o Jarum dan benang.
o Sarung tangan.
o Baskom dan ember.
o Air yang mengalir
5. Mempersiapkan format otopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam
pembuatan laporan otopsi.

1. D. DASAR HUKUM DI INDONESIA


Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pekerjaan dokter dalam
membantu peradilan:
Pasal 133 KUHAP :
o Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau
dokter dan atau ahli lainnya.
o Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan
atau pemeriksaan bedah mayat.
o Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg
memuat identitas mayat diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain
badan mayat.

Pasal 134 KUHAP:


1. Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3)
undang-undang ini.

Pasal 179 KUHAP:


1. Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.
2. Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan
sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang
sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Landasan (Teori) Hukum Otopsi Menurut Agama Islam


Semua penemuan baru sebagai hasil dari perekembangan teknologi tersebut, hendaknya
disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti otopsi menurut pandangan Hukum
Islam[1].
Adapaun teori yang dapat menjawab persolan pedah mayat (otopsi) adalah sebagai berikut :
1. Al-quran


Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging)
hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya.(QS.Al Baqoroh : 173)
2. Kaidah-kaidah Fiqh
-
Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
-
Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya
dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya
-
Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal, maka hal
tersebut juga wajib
-
kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu
-
kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat
umum

1. Hukum Pembedahan Menurut Pandangan Ulama

\ a. Menurut Imam Ahmad bin Hambal


Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya tidak
perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada didalamnya masih hidup.

b. Menurut Imam Syafii


Jika seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga hukumnya kalau
dalam perut si mayat itu ada barang berharga.
c. Menurut Imam Malik
Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu
harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi tidak perlu (tidak
boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan janinnya yang diperkirakan masih hidup.

d. Menurut Imam Hanafi


Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.

1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
:
1. Islam membolehkan bahkan wajib hukumnya untuk membedah perempuan
hamil yang telah meninggal guna menyelamatkan janin yang diperkirakan masih hidup
dalam kandungan dan wajib dilakukan bedah mayat apabila menelan harta orang lain,
karena menyangkut hak orang lain yang dapat mengganggu mayat di dalam kubur dan
pengadilan akhirat kelak.
2. Otopsi yang dilaksanakan guna menyelamatkan manusia, pendidikan dan
penegakan hukum diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu tidak melewati batas
dan guna kemaslahatan manusia sebagai makhluk hidup.
3. Beberapa pendapat ulama hanya disinggung dua permasalahan saja,
diperbolehkan membedah mayat yakni hanya kepada seseorang yang sedang
mengandung kemudian meninggal dunia, sedang janin yang ada didalam perutnya
diperkirakan masih hidup dan juga dalam hal jika seseorang meninggal dunia dan
didalam tubuhnya terdapat benda berharga, maka harus bahkan wajib membedah
perutnya

Anda mungkin juga menyukai