Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk menelaah lebih jauh tentang
kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut huku
Islam.
Semua penemuan baru sebagai hasil dari perkembangan teknologi tersebut, hendaknya disejalankan
dengan kaidah-kaidah hukum Islam, seperti hukum Bedah Mayat menurut pandangan Islam. [1]
.
Bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau
kepentingan tertentu.
Jadi, bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, walaupun hanya sekedar mengambil
barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi
yang ada hubungannya dengan ilmh pengetahuan dan penegakan hukum.
.
Tidak haram bila darurat dan tidak makruh karena hajat
Juga berpegang kepada kaidah:
.
Hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat (yang bersifat) umum maupun hajat khusus (perorangan). [3]
4) Memperhatikan Kepentingan Pendidikan dan Keilmuan
Di antara ilmu dasar dalam pendidikan kedokteran ialah ilmu tentang susunan tubuh manusia yang
disebut anatomi. Untuk membuktikan teori-teori dalam ilmu kedokteran tersebut, tentu dengan jalan praktek
langsung terhadap manusia. Otopsi menurut teori kedokteran atau bedah mayat, merupakan syarat yang amat
penting bagi seorang calon dokter, dalam memanfaatkan ilmunya kelak.
Sekiranya mayat itu memang diperlukan sabagai sarana penelitian untuk mangembangkan ilmu
kedokteran, maka menerut hukum Islam, hal ini dibolehkan, karena pengembangan ilmu kedokteran bertujuan
untuk mensejahterakan umat manusia.[4]
KESIMPULAN
Dari semua penjelasan makalah hadits di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesorang
yang sudah meninggal dunia boleh dibedah (diotopsi) mayatnya tersebut, itu dikarenakan empat hal:
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat.
2. Untuk mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3. Untuk kepentingan penegakan hukum, dan
4. Untuk kepentingan penelitian ilmu kedokteran.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Muhamad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas.
[1] Mahmud Kamal, Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1991).
[2] Muhammad Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta : PT Rajawali Pers, 1997), hlm. 135-138.
[3] Wahjuddin, Masalah Fiqhiyah, (Kalam Mulia, 1993).
[4] Mahmud Kamal, Op. Cit., hlm.471
[5] Imam As-Suyuthi, Al-Asybah Wan Nazhaair, (Beirut : Darul Fikri
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa otopsi atau bedah
mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para tim
dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-
sebab kematian mayat.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan sebagai
pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori Qawaid al-Fiqhiyah dapat
diterapkan kaidah-kaidah berikut ;
a. Kaidah Pertama
kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat
umum
Berdasarkan kaidah di atas, kemadharatan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan
demi menolak kemadharatan yang bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya,
adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau mendatangkan
mudaharat am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka
terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-
bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukanya harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan
jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan
melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Didalam hukum Islam. Suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang
sudah mati.
b. Kaidah Kedua
Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persolanan darurat itu membolehkan sesuatu yang
semula diharamkan.
Berangkat dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukanya
sebagai metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab
kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
c. Kaidah Ketiga
Tiada keharamna dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam kondisi hajat
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat,
seperti halnya tidak adanya kemakaruhan dalam kondisi hajat. Maka jika otopsi di atas
dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara membuktikan, maka
otopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu status hukumnya dibolehkan.
d. Kaidah Ke empat
Kperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat
Kaidah keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maka
kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang
bersifat perorangan.
A. Definisi Bedah Mayat (Otopsi)
Otopsi secara bahasa berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau
mengiris bagian tubuh manusia yang sakit atau operasi. Dalam bahasa arab dikenal dengan
istilah Jirahah atau amaliyah bil al jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi
pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at tashrih jistul al mauta.
Dalam bahasa inggris dikenal istilah autopsy yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang
yang mati untuk mencari sebab-sebab kematianya.
Dalam terminologi ilmu kedokteran otopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan
atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunanya pada bagian
dalam setelah dilakukan pembedahan dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang,
baik untuk kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
Otopsi ( juga dikenal sebagai pemeriksaan post-mortem atau obduction ) adalah
pemeriksaan tubuh orang mati dan dilakukan terutama untuk menentukan penyebab kematian
,untuk mengidentifikasi atau menggolongkan tingkat negara penyakit bahwa seseorang
mungkin memiliki , atau untuk menentukan apakah pengobatan medis atau bedah tertentu telah
efektif . Di lembaga-lembaga akademik , otopsi terkadang juga diminta untuk tujuan
pengajaran dan penelitian . Otopsi forensik otopsi dengan implikasi hukum dan dilakukan
untuk menentukan apakah kematian adalah kecelakaan , pembunuhan , bunuh diri , atau
peristiwa alam . Kata otopsi berasal dari kata Yunani autopsia : "melihat dengan mata sendiri".
Otopsi dilakukan oleh ahli patologi , dokter yang telah menerima pelatihan khusus dalam
diagnosis penyakit dengan pemeriksaan cairan tubuh dan jaringan.
B. PEMBAGIAN OTOPSI
2. Otopsi Klinik, dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit.
Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian
antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesispenyakit, dan sebagainya.
Otopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada kalanya ahli waris sendiri
yang memintanya.
C. OTOPSI MEDIKOLEGAL
1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis uraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut
:
1. Islam membolehkan bahkan wajib hukumnya untuk membedah perempuan
hamil yang telah meninggal guna menyelamatkan janin yang diperkirakan masih hidup
dalam kandungan dan wajib dilakukan bedah mayat apabila menelan harta orang lain,
karena menyangkut hak orang lain yang dapat mengganggu mayat di dalam kubur dan
pengadilan akhirat kelak.
2. Otopsi yang dilaksanakan guna menyelamatkan manusia, pendidikan dan
penegakan hukum diperbolehkan dalam Islam, sepanjang hal itu tidak melewati batas
dan guna kemaslahatan manusia sebagai makhluk hidup.
3. Beberapa pendapat ulama hanya disinggung dua permasalahan saja,
diperbolehkan membedah mayat yakni hanya kepada seseorang yang sedang
mengandung kemudian meninggal dunia, sedang janin yang ada didalam perutnya
diperkirakan masih hidup dan juga dalam hal jika seseorang meninggal dunia dan
didalam tubuhnya terdapat benda berharga, maka harus bahkan wajib membedah
perutnya