Anda di halaman 1dari 30

I.

SKENARIO
Sesosok mayat Mr.X ditemukan oleh warga tergeletak di belakang taman fasilitas umum
pada pukul 06.00 pagi. Dari hasil investigasi kepolisian di duga korban merupakan korban
penganiyayaan yang terjadi pada malam hari sebelumnya. Untuk memastikannya pihak
penyidik membawa mayat tersebut ke RS Bayangkara untuk di lakukan otopsi. Setelah
sampai di rumah sakit bayangkara, dokter forensic disana merencanakan melakukan
autopsy pada pukul 20.00 malam . Namun pada pukul 19.00 malam , keluarga Mr.x datang
dan ingin mengambil mayat tersebut karena ingin secepatnya di kuburkan agar tidak
melewati 5 waktu sholat.
II. Sasaran Pembelajaran
1. Mengindentifikasi dan menganalisis masalah yang ada dalam scenario
2. Menjelaskan Legal Reasoning yang terdapat dalam skenario
3. Menjelaskan Pandangan Islam tentang Kematian dan jenazah
4. Menjelaskan Dasar Hukum islam yang terkait dengan pemulasaran jenazah
5. Menetapkan Solusi dari masalah yang terdapat dalam scenario
III. Pertanyaan
1. Jelaskan pandangan Islam tentang kematian!
2. Identifikasi masalah
a. Bagaimana pandangan Islam dalam pelaksanaan otopsi?
b. Bagaimana pandangan Islam terkait penundaan pemakaman untuk kepentingan
otopsi?
3. Jelaskan Legal Reasoning terkait masalah pada skenario!
4. Jelaskan dasar hukum Islam terkait pemulasaran jenazah!
5. Jelaskan solusi dan kesimpulan dari masalah pada skenario!
IV. Pembahasan
1. Pandangan Islam tentang kematian
Kematian adalah putusnya hubungan manusia secara sempurna dari kehidupan dunia
menuju kehidupan akhirat.
Hakikat kematian dalam Al-Qur’an
a. Setiap orang akan merasakan kematian
Surat Al-Anbiya Ayat 35
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Tafsir : (Tiap-tiap yang berjiwa itu akan merasakan mati) di dunia
Ali Imran Ayat 185
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Tafsir : Tiap jiwa akan merasakan kematian.
b. Kematian datang dan tak terhindarkan
Surat An-Nisa Ayat 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,
mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu
bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Tafsir : Kematian yang kalian takuti itu pasti akan datang di mana saja, walaupun
kalian berada di benteng yang sangat kokoh sekalipun.
Surat Al-Jumuah Ayat 8
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Tafsir : Sesungguhnya kematian yang kalian hindari itu tidak akan dapat
terelakkan. Kematian itu pasti akan menemui kalian. Kemudian kalian akan
dikembalikan kepada Allah yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata. Dia
akan memberitahukan kalian segala apa yang telah kalian lakukan.
Qaf Ayat 19
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu
lari daripadanya.
Tafsir : (Dan datanglah sakaratul maut) yakni kesusahan dan rasa sakit yang
memuncak menjelang maut (dengan membawa kebenaran) yakni perkara akhirat,
hingga orang yang ingkar kepada hari akhirat dapat melihatnya secara nyata, hal ini
termasuk pula hal yang menyakitkan. (Itulah) kematian itu (hal yang kamu tidak
dapat menghindar darinya) yakni tidak dapat melarikan diri darinya.
c. Kematian adalah ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Al An’am Ayat 2
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal
(kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah
mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
Tafsir : Dialah yang mula-mula menciptakan kalian dari tanah, lalu menetapkan
bagi kehidupan tiap orang di antara kalian suatu umur tertentu. Hanya wewenang
Dia juga penentuan waktu pembangkitan dari kubur.
Al Mulk Ayat 2
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
Tafsir : (Yang menjadikan mati) di dunia (dan hidup) di akhirat, atau yang
menjadikan mati dan hidup di dunia. Nuthfah pada asalnya sebagai barang mati,
kemudian jadilah ia hidup; pengertian hidup ialah karena ia mempunyai perasaan.
Pengertian mati adalah kebalikannya. Pengertian lafal al-khalqu berdasarkan makna
yang kedua ini berarti memastikan (supaya Dia menguji kalian) atau mencoba
kalian di dalam kehidupan ini (siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya)
maksudnya yang paling taat kepada Allah. (Dan Dia Maha Perkasa) di dalam
melakukan pembalasan terhadap orang yang durhaka kepada-Nya (lagi Maha
Pengampun) kepada orang yang bertobat kepada-Nya.
2. Identifikasi masalah
a. Pandangan Islam dalam pelaksanaan otopsi
Bedah mayat sering juga juga disebut dengan otopsi, atau dalam bahasa Arab
disebut dengan jirahah attasyrih (‫ )جراحة التشریح‬yang berarti melukai, mengiris atau
operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at
tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy yang berarti
pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab
kematianya.
Ada tiga macam jenis otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu
otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis
penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang
dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang
mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan
sebagainya.
Hukum Otopsi
Masalah Otopsi tentu saja belum termuat dalam literatur kitab-kitab Fiqih
klasik. Karena memang ini adalah permasalahan yang baru muncul diera modern.
Namun, kita bisa menjumpai pembahasan sedikit banyak ada kaitannya dengan
masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip, yakni hukum membedah perut wanita
hamil yang meninggal.
Mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah mengatakan dibolehkan membedah perut
wanita hamil yang meninggal dunia, dikarenakan janin di dalam perutnya masih
hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia hidup, meski
harus dengan merusak mayat. Namun mazhab Malikiyah dan AHanabilah tidak
membolehkan hal itu.
Dari sinilah kemudian para ulama kontemporer juga ternyata berbeda pendapat
dalam menyikapi hukum otopsi.Sebagian bersikukuh tetap mengharamkan,
sedangkan mayoritas ulama menghukumi boleh dengan catatan tertentu.
Kalangan yang membolehkan
Berangkat dari ijtihad tentang bedah perut mayat oleh para ulama di masa lalu,
kini para ulama modern mengambil kesamaan ‘illat dengan bedah mayat atau
otopsi mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan.
Mayoritas ulama menghukumi boleh asalkan terpenuhi semua syarat dan
ketentuannya. Setidaknya ada empat lembaga umat yang berkompeten dalam
masalah ini yang telah memberikan lampu hijau untuk dibolehkannya bedah mayat
ini, antara lain :
1) Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Lembaga ini pada Daurah yang kesembilan di tahun 1976 M (1397 H) telah
memberikan fatwa atas kebolehan praktek bedah mayat ini.
2) Majma’ Fiqih Islami di Mekkah Al-Mukarramah
Lembaga yang berpusat di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia ini
juga termasuk mengeluarkan fatwa atas keboleh praktek bedah mayat, pada
Daurah yang kesepuluh pada bulan Shafar tahun 1408 hijriyah bertepatan
dengan 17 Oktober 1987.
3) Lajnah Al-Ifta’ Kerajaan Jordan Al-Hasyimiyah
Lembaga fatwa milik kerajaan Jordan ini mengeluarkan fatwa atas kebolehan
bedah mayat pada tanggal 20 Jumada-Al-Ula 1397 hijriyah.
4) Lajnah Al-Ifta’ di Al-Azhar Mesir
Lembaga ini telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan bedah mayat
pada tahun 29 Februari 1971.
5) Beberapa ulama dunia
Sedangkan secara pribadi-pribadi, cukup banyak pula para ulama yang
mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat ini, diantaranya As-Syeikh
Hasanain Makhluf, Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, As-Syeikh
Ibrahim Al-Ya’qubi ,Dr. Mahmud Nadzhim An-Nusaimi, Dr. Muhammad Ali
As-Sarthawi dan lainnya. Di Indonesia MUI juga telah menurunkan fatwa
bolehnya Otopsi mayat yang memang dibutuhkan.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan, dalam kajian hukum Islam
dapat menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyahsebagaimana yang diterapkan dalam
kaidah-kaidah berikut; Kaidah Pertama: “Kemudaratan yang khusus boleh
dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”.
Sebuah tindakan pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang
mengancam kepentingan publik atau mendatangkan mudharat ‘am. Untuk
menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap
pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-
bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya harus diperkuat agar ia dapat
dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, untuk pembuktian itu
harus dengan melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Kaidah Kedua:“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”.Berangkat
dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukannya sebagai
metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa
sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah Ketiga:“Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh
dalam kondisi hajat” Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman
dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak adanya kemakruhan dalam kondisi hajat.
Maka jika otopsi di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-
satunya cara membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan
karena itu status hukumnya dibolehkan. Kaidah Keempat:“Keperluan dapat
menduduki posisi keadaan darurat” Kaidah keempat di atas dapat memperkuat
argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat menempati
kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifat perorangan.
Kalangan yang Mengharamkan
Sedangkan sebagian kelompok ulama diantaranya Taqiyuddin An-Nabhani,
Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf berpendapat haramnya otopsi. Alasannya
karena otopsi pada hakikatnya melanggar kehormatan mayat, dan kalangan ini
berpegang kepada makna dzahir hadits yang melarang keras segala bentuk
aktivitas seperti otopsi.
“Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama
Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah
kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian
memotong-motong mayat.” (HR Muslim)

‫ظم ْال َميت َك َكسْره َحيًّا‬


ْ ‫َكسْر َع‬
“Memecahkan tulang mayat hukumnya seperti memecahkan tulangnya ketika ia
masih hidup. (HR. Abu Dawud)
Ketetapan MUI
Dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) disebutkan bahwa asal
hukum otopsi adalah haram yang dirukhsah (dibolehkan karena ada kedaruratan).
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Fatwa MUI no 6 Tahun 2009, disana
diantaranya disebutkan syarat bolehnya Otopsi adalah:
1) Otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i
(seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian
kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga
yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
2) Otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan
sebagaimana dimaksud pada point 1,
3) Jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan,
dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
4) Jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya
sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin
daripemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
b. Pandangan Islam terkait penundaan pemakaman untuk kepentingan otopsi
Pengurusan jenazah hukumnya fardhu kifayah, dan anjuran Rasulullah dalam
hal ini adalah menyegerakannya. Namun, kadangkala pada praktiknya muncul
beberapa masalah karena berkenaan dengan, misalnya kepentingan studi,
penyelidikan hukum, atau adat. Beberapa praktik tersebut kerap menunda
pelaksanaan pemandian jenazah yang secara otomatis menunda pula prosesi
pemakaman. Munculah pertanyaan, apa hukum mengakhirkan penguburan jenazah?
Berapa lama batas mengakhirkan penguburan jenazah?
Rasulullah bersabda:
Artinya: "Percepatlah kalian dalam membawa jenazah. Jika jenazah itu baik
maka kalian telah mendekatkanya pada kebaikan. Jika jenazah itu jelek, maka
kalian telah melepaskan dari pundak kalian." (HR Bukhari)
Berdasarkan hadits ini Muhammad al-Khatib al-Syirbini dalam kitab Mughni
al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, berpendapat tidak boleh menunda
penguburan jenazah untuk alasan memperbanyak orang yang menshalatinya. “(Dan
tidak ditunda) pelaksanaan shalat jenazah (karena alasan memperbanyak orang
yang menshlatinya) berdasarkan hadits shahih: ‘Bersegeralah kalian dengan urusan
jenazah’. Dan boleh menanti walinya sebentar selama tidak dikhawatirkan
perubahan kondisinya.” (Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila
Ma’rifah Alfazh al-Minhaj).
Dengan mengulas pendapat Imam Nawawi, Muhammad al-Khatib al-Syirbini
lalu merinci bahwa ketika sebelum shalat jenazah telah hadir beberapa orang, maka
yang belum hadir tidak perlu ditunggu. Beliau lalu melanjutkan: “Meskipun
demikian, al-Zarkasi dan ulama selainnya berpendapat, bila mereka belum
mencapai 40 orang, maka ditunggu sebentar agar mencapai jumlah tersebut. Sebab,
jumlah jamaah 40 orang ini dianjurkan dalam menshalati jenazah. Dalam kitab
Shahih Muslim, terdapat riwayat dari Ibn Abbas, bahwa sungguh beliau menunda
shalat jenazah karena menanti jumlah jamaah 40 orang. Disebutkan hikmahnya
adalah tiada berkumpul 40 orang jamaah melainkan salah seorangnya adalah wali
Allah. Dan hukum 100 orang sama dengan 40 orang, seperti kesimpulan yang
diambil dari hadits tadi.
Tidak selayaknya mengaakhirkan penguburan mayat karena menunggu
sebagian keluarganya, kecuali jika hanya sebentar saja. Jika tidak maka
menyegerakannya adalah lebih utama. Jika keluarganya datang maka mereka bisa
menshalati di atas kuburannya sebagaimana yang diperbuat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam saat beliau shalat di atas kuburan seorang perempuan yang suka
membersihkan masjid, lalu mereka menguburkannya tanpa memberitahu beliau,
maka beliau bersabda : “Tunjukkanlah kuburannya kepadaku”. Maka merekapun
menunjukkannya lalu beliau shalat di atas kuburannya. (H.R. Bukhari)
Kasus tentang penundaan terhadap prosesi penguburan jenazah juga pernah
muncul dalam bahtsul masail waqi'iyyah pada Muktamar Ke-10 Nahdlatul Ulama
di Makassar pada tahun 2010. Dengan mengutip penjelasan Mughni al-Muhtaj ila
Ma’rifah Alfazh al-Minhaj di atas disimpulkan bahwa mengakhirkan penguburan
jenazah pada dasarnya tidak diperbolehkan. Hanya saja larangan tersebut terkecuali
untuk kasus-kasus tertentu, di antaranya:
1) Untuk mensucikan jenazah berpenyakit menular yang menurut dokter harus
ditangani secara khusus,
2) Untuk keperluan otopsi dalam rangka penegakan hukum,
3) Untuk menunggu kedatangan wali jenazah dan atau menunggu terpenuhinya
empat puluh orang yang akan menshalati dengan segera selama tidak
dikhawatirkan ada perubahan pada jenazah.
Dari sini terungkap bahwa di luar kasus-kasus khusus, hukum asal menunda-
nunda penguburan jenazah adalah tidak boleh. Batas akhir jeda menanti hingga
penguburan jenazah adalah sampai timbulnya khauf al-taghayyur (kehawatiran
perubahan kondisi jenazah) atau sampai selesainya kebutuhan atas kasus-kasus
khusus tersebut.
3. Legal Reasoning terkait skenario
Penyelesaian kejahatan terutama yang berkaitan dengan tubuh dan nyawa tidak
selalu dapat diselesaikan oleh ilmu hukum sendiri. Dapat dikatakan seperti itu karena
memang obyek kejahatannya adalah tubuh dan nyawa manusia, sedangkan tubuh dan
nyawa manusia adalah kajian bidang ilmu kedokteran. Dengan demikian seringkali
untuk kepentingan pembuktian dan penyelidikan sebab-sebab kematian lapangan ilmu
hukum meminta bantuan kepada bidang kedokteran.
Salah satunya Ilmu kedokteran dalam hukum pidana diposisikan sebagai ilmu
pembantu hukum pidana dimana dalam hal penyelesaian perkara pidana disebut
sebagai ilmu kedokteran forensik. Ilmu kedokteran forensik berperan dalam
pengungkapan kasus-kasus yang berakibat timbulnya luka dan kematian, tanpa bantuan
ilmu kedokteran forensik mustahil bagi ilmu hukum untuk dapat mengungkapkan
misteri kejahatan tersebut.
Tanda kematian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan seseorang telah
benar-benar mati, banyak pendapat yang mendefinisikan tanda kematian (sign of death)
ini tetapi yang lebih penting untuk diamati dari berbagai tanda kematian ada tiga
macam yaitu lebam mayat (livoris mortis), kaku mayat (rigor mortis), dan penurunan
suhu mayat (algor mortis). Kepentingan dari observasi pada tiga hal ini adalah untuk
menentukan sebab kematian, cara kematian, dan waktu atau saat kematian.
Untuk memperoleh kebenaran, maka ilmu kedokteran memerlukan teori dan
praktek yang lazim kita kenal dengan autopsi atau bedah mayat. Proses autopsi inilah
yang akan mengantarkan kepada hal-hal yang dikenal dengan Seven “W” of Darjes,
yaitu: perbuatan apa yang telah dilakukan; di mana perbuatan itu dilakukan; bilamana
perbuatan itu dilakukan; bagaimana perbuatan itu dilakukan; dengan apa perbuatan itu
dilakukan; mengapa perbuatan itu dilakukan dan siapa yang melakukan. Hasil
pemeriksaan mayat dan bedah mayat (autopsi) disebut sebagai visum et repertum. Hasil
dari visum et repertum inilah yang dapat dijadikan bukti yang dapat dilihat dan
ditemukan.
Adanya visum et repertum sebagai hasil dari penyelidikan dapat memberi
keterangan kepada penegak hukum untuk mengetahui pelaku tindak pidana. Di
Indonesia, undang-undang melarang warganya untuk menghalangi petugas melakukan
pembedahan atas mayat demi kepentingan peradilan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 222 dijelaskan, "Barangsiapa
dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pemeriksaan
mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau denda paling banyak/sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah."
Untuk mengantisipasi kemaslahatan bedah mayat ini, Majelis Pertimbangan
Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI pada Fatwa No. 4 tahun 1955
mengisyaratkan dibolehkannya bedah mayat dengan tujuan kepentingan ilmu
pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan. Akan tetapi kebolehan itu
dibatasi sekedar dalam keadaan darurat menurut kadar kepentingannya.
Autopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan di maksudkan
untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya di sebut juga obductie Di Indonesia
masalah bedah mayat atau autopsi diatur di dalam Pasal 134 Undang-undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi sebagai berikut:
a. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat
tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu
kepada keluarga korban.
b. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan jelasnya tentang
maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
c. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak
yang perlu diberitahu tidak diketemukan penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 Undang-undang ini.
Selain itu diperkuat juga oleh Pasal 133 dari Undang-undang tersebut berbunyi sebagai
berikut:
a. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran dan atau ahli lainnya.
b. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
c. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah
sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang dilakukan dengan
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Berpijak dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa autopsi atau bedah
mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh
para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk
mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia di dunia,
diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab kemampuan yang dimiliki
manusia terbatas. Dan semua cabang ilmu pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki
oleh satu orang saja. Oleh karenanya diperlukan orang yang ahli dibidang tertentu
untuk menjawab persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuinya.
Contoh konkretnya adalah orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang
penyakitnya agar bisa diobati. Hukum bedah mayat dengan tujuan anatomis dan klinis
dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan untuk berobat,
karena setiap penyakit ada obatnya. (H.R. Abu Daud dari Abu Darda). Hadits ini juga
mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu kesehatan, seperti bedah mayat
untuk mengantisipasi penyakit yang belum ditemukan obatnya pada saat itu.
Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya
menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah
SWT Surat An-Nisa Ayat 58 yang Artinya: “Sungguh Allah menyuruhmu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu
menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.
Sungguh : Allah sebaik-baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana dapat
dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara di
pengadilan.
4. Dasar hukum Islam terkait pemulasaran jenazah
Ketika baru meninggal
a. Dianjurkan memejamkan mata orang yang baru meninggal dunia
Dalil hadits dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia
mengatakan:
‫إن الرو َح إذا قُبِض‬
َّ ‫ ثم قال‬. ‫ضه‬
َ ‫ فأغم‬. ‫بصره‬
ُ َّ ‫دخل رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم على أبي سلمةَ وقد‬
‫شق‬
‫البصر‬
ُ ‫ت ِبعه‬
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang
telah meninggal, ketika itu kedua matanya terbuka. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi
wa salam pun memejamkan kedua mata Abu Salamah dan bersabda:
“Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya”
(HR. Muslim no. 920).
Ulama ijma bahwa memejamkan mata mayit hukumnya sunnah.
b. Mendo’akan kebaikan kepada mayit
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah,
beliau berdo’a:
‫اللهم اغفر ألبي سلمة وارفع درجته في المهديين واخلفه في عقبه في الغابرين واغفر لنا وله يا رب العالمين‬
‫وافسح له في قبره ونور له فيه‬
“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk
orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi
anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam,
luaskanlah kuburnya dan terangilah” (HR. Muslim no. 920).
c. Menutup mulutnya
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah mengatakan:
‫]و شد لحييه] و ذلك مخافة أن يبقى فمه مفتوحا حالة غسله و حالة تجهيزه فيشد حتى ينطبق فمه مع أسنانه‬
“Ketika mayit meninggal ]ditutup mulutnya] yaitu karena dikhawatirkan mulutnya
terbuka ketika dimandikan dan ketika dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup
sampai bersatu antara gigi dan mulutnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah
Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
d. Mengikat dagunya agar tidak terbuka
Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan menggunakan kain yang lebar dan
panjang diikat melingkar dari dagu hinggake atas kepalanya, sehingga agar
mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.
Dalil masalah ini adalah nazhar (akal) yang shahih, yaitu di dalamnya terdapat
kemaslahatan yang sangat jelas bagi jenazah dan orang yang mengurusnya.
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Setahu saya tidak ada dalil atsar dalam
masalah ini namun yang ada hanya dalil akal yaitu: di dalamnya terdapat
kemaslahatan. Dan hendaknya dilakukan dengan lemah lembut”7 .
Proses pelemasan ini dilakukan ketika jenazah baru meninggal dunia ketika
tubuhnya masih dalam keadaan hangat adapun jika sudah lama atau tubuhnya
sudah dingin maka tidak perlu dilemaskan karena tubuhnya sudah kaku.Apabila
kita lemaskan dalam kondisi jenazah sudah kaku maka akan menyakiti jenazah
dan hal ini tidak diperbolehkan karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda:
ِ ‫ظ ِم ْال َم ِي‬
‫ت َك َكس ِْر ِه َحيًّا‬ ْ ‫َكس ُْر َع‬
“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya
dalam keadaan hidup” . (H.R.Ibnu Majah:1616)
Berkata penulis kitab Aunul Ma’bud ketika mengomentari hadits ini: “Berkata Ath
Thibiy: Di dalamnya terdapat isyarat bahwasanya orang yang meninggal dunia
tidak boleh dihinakan sebagaimana ketika masih hidup.Berkata Ibnu Malik: Dan
bahwasanya orang yang meninggal dunia merasa tersakiti .Berkata Ibnu Hajar:
Kelazimannya menunjukkan bahwa ia merasakan kelezatan sebagaimana orang
yang masih hidup.Dan Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan atsar dari Ibnu
Mas’ud ia berkata:
‫أَذَى ْال ُمؤْ ِمن فِي َم ْوته َكأَذَاهُ فِي َحيَاته‬
“Menyakiti seorang mukmin ketika telah meninggal dunia seperti menyakitinya
ketika di masa hidupnya” (Aunul Ma’bud syarh sunan Abu Dawud:7/195,
Syamsyul Abadiy, Cet: Dar al Hadits)
Adapun caranya adalah sebagai berikut:
1) Dilipat lengannya ke pangkal lengannya kemudian dijulurkan lagi
2) Dilipat betisnya ke pahanya dan pahanya ke perutnya kemudian dikembalikan
lagi
Jari-jemarinya dilemaskan juga dengan ditekuk dengan lembut. (Syarh
Mumti’:5/254, , Cet: Dar Ibnu Jauziy)
e. Melepas pakaian yang melekat di badannya
Seluruh pakaian yang melekat pada jasad jenazah hendaknya dilepas sehingga
tidak ada satu helai kainpun yang melekat pada jasadnya kemudian diganti
dengan kain yang menutupi selurut jasadnya.
Dalil amalan ini adalah :
1) Para sahabat mengatakan ketika akan memandikan Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam:
‫سلَّ َم َم ْن ثِيَابه َك َما تجرد َم ْوت َانَا‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ََل نَد ِْري أَنُ َج ِرد ُ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َ ِ‫َّللا‬
“Kami tidak tahu, apakah kami melepas pakaian Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam sebagaimana kami melepas pakaian orang yang meninggal
dunia di antara kami ataukah tidak”. (HR. Ahmad:6/267 dan Abu
Dawud:3141)
Hadits ini menunujukkan bahwa adat dan kebiasaan yang berlaku di masa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika akan memandikan jenazah
melepas pakaian yang melekat pada jasadnya
2) Agar badannya tidak cepat rusak karena pakaian yang melekat padanya
akan memanaskan tubuhnya.
Jenazah apabila terkena hawa panas maka akan cepat rusak. Kadang-kadang
keluar kotoran yang akan mengotorinya sehingga akan tampak menjijikkan
dan menimbulkan bau yang tidak sedap.
f. Menutupnya dengan kain
Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:
‫ي بب ُْر ٍد ِح َب َر ٍة‬
َ ‫س ِج‬ َ ِ‫أن رسو َل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّم ِحينَ ت ُ ُوف‬
ُ ‫ي‬ َّ
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau ditutup
dengan kain hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak)” (HR. Bukhari no. 5814,
Muslim no. 942).
g. Dianjurkan bersegera mempersiapkan mayit untuk dikubur
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
‫ فش ٌَّر تضعونَهُ عن رقابكم‬، َ‫ وإن يَكُ ِس َوى ذلك‬، ‫فخير تُقَ ِد ُمونَ َها‬
ٌ ً‫ فإن ت َكُ صالحة‬، ِ‫أَس ِْرعُواْ بالجنازة‬
“Percepatlah pengurusan jenazah. Jika ia orang yang shalih di antara kalian,
maka akan jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan
demikian, maka keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian” (HR.
Bukhari no. 1315, Muslim no. 944).
Memandikan Mayit
a. Hukum memandikan mayit

Memandikan mayit hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan hadits dari


Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
َ ‫ أو قال فأ َ ْق َع‬، ُ‫صتْه‬
، ُ‫صتْه‬ َ َ‫ إذْ َوقَ َع عن راحلتِ ِه فَ َوق‬، َ‫واقف مع النبي ِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم ب َع َرفَة‬
ٌ ‫بينَا رج ٌل‬
‫ وَل‬، ‫ ث َ ْو َب ْي ِه‬: ‫ أو قا َل‬، ‫ وك َِفنُوهُ في ث َ ْو َبي ِْن‬، ‫ ا ْغسِلوهُ بماءٍ و ِسد ٍْر‬: ‫ي صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم‬
ُّ ‫فقا َل النب‬
‫يوم القيام ِة يُلَبِي‬َ ُ‫فإن هللاَ ي ْب َعثُه‬ َ ‫ وَل تُخ َِمروا رأ‬، ُ‫طوه‬
َّ ، ُ‫سه‬ ُ ِ‫ت ُ َحن‬
“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu
meninggal. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia
dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri
minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya
di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no.
1206).
Juga hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha, ia berkata:
‫أكثر من ذلك‬ ً ‫ أو خم‬، ‫ ا ْغس ِْلنَها ثالثًا‬: ‫ فخرج فقال‬، ‫ت النبي ِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّ َم‬
َ ‫ أو‬، ‫سا‬ ْ ُ‫ت‬
ِ ‫وفيت إحدى بنا‬
‫ فإذا فرغت ُ َّن فآ ِذنَّنِي فلما‬،‫كافور‬
ٍ ‫ أو شيئًا من‬، ‫كافورا‬
ً ‫ واجعلنَ في اآلخر ِة‬، ‫وسدر‬
ٍ ٍ‫ بماء‬، ‫إن رأيت ُ َّن ذلك‬
‫فرغنا آذناه فألقى إلينا حقوه فضفرنا شعرها ثالثة قرون وألقيناها خلفها‬
“Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meninggal (yaitu
Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda: “mandikanlah ia tiga kali, atau lima
kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun
bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus,
atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”.
Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau.
Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir
rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya” (HR.
Bukhari no. 1258, Muslim no. 939).
Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih pemandian mayit.
Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit. Sebagaimana yang
memandikan jenazah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Ali
radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:
‫ وكان طيبًا حيًّا‬, ‫أر شيئًا‬ َ ‫ت فلم‬ ِ ‫ظ ُر ما يكونُ منَ المي‬ ُ ‫ فذ َهبتُ أن‬, ‫غسلتُ رسو َل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّم‬
‫ وصال ٌح‬, ‫العباس‬ِ ُ‫ والفض ُل بن‬, ‫والعباس‬
ُ ,‫ب‬ ٍ ‫ي بنُ أبي طال‬ ُّ ‫ عل‬: ٌ‫الناس أربعة‬
ِ َ‫ وولي دفنَه وإجنانَه دون‬, ‫وميتًا‬
‫ب عليه اللبنُ نَصبًا‬َ ‫ص‬ ِ ُ‫مولى رسو ِل هللاِ ص َّلى هللاُ عليه وس َّلم وألحدَ لرسو ِل هللاِ ص َّلى هللاُ عليه وس َّلم لحدًا ون‬
“Aku memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan aku
memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasad beliau bagus ketika
hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi
beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al
Abbas, Al Fadhl bin Al Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata” (HR. Ibnu Majah no. 1467
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki. Demikian juga
jenazah wanita dimandikan oleh wanita. Karena Kecuali suami terhadap istrinya
atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan wajibnya menjaga aurat. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya:
ْ َ‫َّللاِ عوراتُنا ما نأتي منها وما نذَ ُر قا َل احف‬
َ‫ظ عورتَكَ َّإَل من زوجتِكَ أو ما ملكت يمينُك‬ َّ ‫يا رسو َل‬
“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan
dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “tutuplah
auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu” (HR. Tirmidzi no. 2794,
dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka boleh dimandikan
oleh lelaki atau wanita.
b. Perangkat memandikan mayit
Perangkat yang dibutuhkan untuk memandikan mayit diantaranya:
1) Sarung tangan atau kain untuk dipakai orang yang memandikan agar terjaga
dari najis, kotoran dan penyakit
2) Masker penutup hidung juga untuk menjaga orang yang memandikan agar
terjaga dari penyakit
3) Spon penggosok atau kain untuk membersihkan badan mayit
4) Kapur barus yang sudah digerus untuk dilarutkan dengan air
5) Daun sidr (bidara) jika ada, yang busanya digunakan untuk mencuci rambut
dan kepala mayit. Jika tidak ada, maka bisa diganti dengan sampo
6) Satu ember sebagai wadah air
7) Satu embar sebagai wadah air kapur barus
8) Gayung
9) Kain untuk menutupi aurat mayit
10) Handuk
11) Plester bila dibutuhkan untuk menutupi luka yang ada pada mayat
12) Gunting kuku untuk menggunting kuku mayit jika panjang
c. Cara memandikan mayit
1) Melemaskan persendian mayit
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
‫الغسل عند تلين أن ذلك في فالحكمة مفاصله تليين وأما‬، ‫يثنيها ثم يده يمد بأن وذلك‬، ‫يثنيه ثم منكبه ويمد‬،
‫األخرى بيده يفعل وهكذا‬، ‫برجليه يفعل وكذلك‬، ‫تلين حتى ثالثا ً أو مرتين يمدها ثم ليثنيها رجله فيقبض‬
‫الغسل عند‬

“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan ketika


dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu ditekuk. Dan
direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada tangan yang satunya
lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk,
kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah
untuk dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat,
1/424).
Dan hendaknya berlaku lembut pada mayit. Karena Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam bersabda:
ِ ‫ظ ِم ْال َم ِي‬
‫ت َك َكس ِْر ِه َحيًّا‬ ْ ‫َكس ُْر َع‬
“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti
memecahnya dalam keadaan hidup” (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Abu Daud).
2) Melepas pakaian yang melekat di badannya
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
(‫يعني )ثيابه وخلع‬: ‫موته ساعة تخلع أن يسن فيها مات التي الثياب‬، ‫أو برداء ويستر‬
‫نحوه‬
“]Dilepaskan pakaiannya] yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika meninggal.
Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat. Kemudian ditutup dengan
rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/424).
Namun orang yang meninggal dunia ketika ihram tidaklah boleh ditutup wajah
dan kepalanya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma di atas.
Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan dengan cara
biasa, maka digunting hingga terlepas.
3) Menutup tempat mandi dari pandangan orang banyak
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
‫والنوافذ األبواب مغلقة غرفة داخل في يستر أن‬، ‫يتولون الذين إال أحد يراه وال‬
‫تغسيله‬، ‫الناس أمام يغسل أن يجوز وال‬
“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan jendelanya.
Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang mengurus pemandian
jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di hadapan orang-orang banyak” (Ad
Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).
Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap sesama
jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi
wanita.
4) Teknis pemandian
Disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat:
‫جلُوس قرب الى حَا ِمل غير راس يرفع ثمّ حَيّ غسل كفي وهما وسمى نوى‬
ُ
ْ ‫حي َنئِذّ المَاء وَيكثر بِر ْفق ب‬
‫َطنه ويعصر‬ َ
ِ ّ‫خرقة يَده على يلف ثم‬ ‫وَحرم بهَا فينجيه‬
ِ
ُّ َ‫سبع ل‬
‫ه من َعورَة مس‬
ْ ‫خرقة َو َعلَ ْيهَا اصبعيه‬
ّ‫يدخل ثم‬ َ ‫هّ َوفِي اسنانه فيمسح َفمه فِي مبلولة‬
ِ ‫َم ْنخ َر ْي‬
‫بثفله وبدنه السدر برغوة ولحيته راسه وَيغسل يوضئه ثمّ مَاء ادخال بِ َلّ فينظفهما‬
ْ ‫لم فان ب‬
ِّ ‫َطنه على مرة كل يَده وامرار وتيامن تثليث وَسن المَاء َعلَ ْي‬
ّ‫ه ي ِفيض ثم‬
ْ ‫ل واشنان وخلل حَار َومَاء مرة على‬
‫اقتِصَار وَكره ينقى حَتى زَاد ينق‬ َّ ِ‫حَاجَة ب‬
‫شعره وتسريح‬
‫ارب وقص شعر وخضاب االخيرة فِي وَسدر كافور وَسن‬
ِ ‫ش‬َ ‫طاال ان اظفار وتقليم‬
“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang
hidup. Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai
mendekati posisi duduk. Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut.
Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan
lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang
yang berusia 7 tahun (atau lebih). Kemudian masukkan kain yang basah
dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang
hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air. Kemudian lakukanlah
wudhu pada mayit. Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa
dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya.
Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan
disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan
air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih.
Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan
air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan. Kemudian sisirlah rambutnya
dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir.
Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong
kukunya jika panjang”.
5) Poin-poin tambahan seputar teknis pemandian mayit
 Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Disunnahkan tiga
kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan
 Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan rambutnya dan dibersihkan.
Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan diletakkan di bagian
belakangnya. Sebagaimana dalam hadits Ummu Athiyyah di atas
6) Jika tidak memungkinkan mandi, maka tayammum
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan
tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di
tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya,
maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap
wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
(‫المشقة ألجل وذلك )يمم ميت غسل تعذر وإذا‬، ‫بالتراب يديه أحدهم فيضرب‬،
‫وجهه ويمسح‬، ‫كفيه ويمسح‬، ‫الغسل مقام ويقوم‬، ‫الذي بالمحترق لذلك ويمثلون‬
‫لحمه تمزق غسل إذا‬، ‫يغسلوه أن يستطيعون فل‬، ‫جروح بدنه في كان من وكذلك‬
‫كثيرة‬، ‫بشعة وجلدته‬، ‫جلده تمزق الماء عليه صب إذا إنه بحيث‬، ‫فل لحمه؛ وتمزق‬
‫هذه والحالة يغسل‬

“]Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-tayammumi], yaitu karena
adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu
kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah
menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika
dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga
orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena
dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka
yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/435-436).
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ ‫ل مَيِ ًتا َغس‬
ّْ ‫ل م‬
‫َن‬ ِ ‫َن َف ْلي َْغ َت‬
ّْ ‫س‬ ّْ ‫ه َوم‬ َ ‫َف ْليَ َتوَضّْأ‬
ُّ َ‫حمَل‬
“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan
barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu“. (HR Abu
Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).
d. Mengkafani mayit
1) Hukum mengkafani mayit
Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu
kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang
orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ّ‫سلو ُه‬ ْ ّ‫س ْدرّ بماء‬


ِ ‫اغ‬ َ ‫ن في‬
ِ ‫ و‬، ‫وك ِف ُنو ُّه‬ ِّ ‫ثَ ْوبَ ْي‬
“Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua
lapis kain” (HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206).
Kadar wajib dari mengkafani jenazah adalah sekedar menutup seluruh
tubuhnya dengan bagus. Adapun yang selainnya hukumnya sunnah. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫م َكفنَّ إِ َذا‬ ُ ‫خا ُّه أَح‬
ّْ ‫َد ُك‬ َ َ‫ن أ‬ ِ ‫َه َف ْل ُيح‬
ّْ ‫َس‬ ُّ ‫َك َفن‬
“Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka
hendaklah memperbagus kafannya” (HR. Muslim no. 943).
Kecuali orang yang meninggal dalam keadaan ihram, maka tidak ditutup
kepalanya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‫ تُحَنِطُو ُّه وال‬، ‫مروا وال‬ َ ُ‫ه ت‬
ِ ‫خ‬ ُّ ‫رأس‬
َ ، ّ‫للا فإن‬
َّ ‫ه‬ُّ ‫م ي ْب َع ُث‬ ِّ ‫ُيلَ ِبي القيام‬
َّ ‫ة يو‬
“Jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan
membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan bertalbiyah” (HR. Bukhari
no. 1849, Muslim no. 1206).
2) Kriteria kain kafan
 Kain kafan untuk mengkafani mayit lebih utama diambilkan dari harta
mayit.
Dan semua biaya pengurusan jenazah lebih didahulukan untuk diambil dari
harta mayit daripada untuk membayar hutangnya, ini adalah pendapat
jumhur ulama. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
….ّ‫ه فِي و ََك ِف ُن ْو ُه‬
ِّ ‫ثَ ْوبَ ْي‬
“Kafanilah dia dengan dua bajunya”
Artinya, dari kain yang diambil dari hartanya.
 Memakai kain kafan berwarna putih hukumnya sunnah, tidak wajib.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫وكفنوا البياضَّ ثيابِكم ِمن البَسوا‬
ِ ‫خير ِمن فإنها موتاكم فيها‬
ِّ ‫ثيابِكم‬
“Pakailah pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit dengan kain
warna putih. Karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian” (HR. Abu
Daud no. 3878, Tirmidzi no. 994, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al
Jami no.1236).
 Disunnahkan menggunakan tiga helai kain putih.
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha ia berkata:
َّ‫ل ُّك ِفن‬
ُّ ‫للا رسو‬
ِّ ‫ه للاُّ صلى‬ َّ ‫ سحوليةّ بيضّ أثوابّ ثلثِّ في وسل‬، ‫من‬
ِّ ‫م علي‬
َّ ‫ْس‬
‫ف‬ ُ ‫ ُكر‬. ‫عمامةّ وال قميصّ فيها ليس‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dikafankan dengan 3 helai kain
putih sahuliyah dari Kursuf, tanpa gamis dan tanpa imamah” (HR.
Muslim no. 941).
 Kafan mayit wanita
Jumhur ulama berpendapat disunnahkan wanita menggunakan 5 helai kain
kafan. Namun hadits tentang hal ini lemah. Maka dalam hal ini perkaranya
longgar, boleh hanya dengan 3 helai, namun 5 helai juga lebih utama.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
‫ مرفوع حديث أثواب خمسة المرأة كفن جعل في جاء وقد‬، ‫إسناده في أن إال‬
ً‫نظرا‬
ّ ‫راوياً فيه ألن ؛‬
ّ ً ‫مجهوال‬
ّ ، ‫ العلماء بعض قال ولهذا‬: ‫فيما تكفن المرأة إن‬
‫ الرجل به يكفن‬، ‫ أي‬: ‫بعض على بعضها يلف أثواب ثلثة في‬

“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima
helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul
(tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita
dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di
atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393).
Disunnahkan menambahkan sarung, jilbab dan gamis bagi mayit wanita.
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:
‫ حولها وما العورة على باإلزار تكفينها يبدأ والمرأة‬, ‫ الجسد على قميص ثم‬, ‫ثم‬
‫ حوله وما الرأس على القناع‬, ‫بلفافتين تلف ثم‬
“Mayit wanita dimulai pengkafananannya dengan membuatkan sarung
yang menutupi auratnya dan sekitar aurat, kemudian gamis yang menutupi
badan, kemudian kerudung yang menutupi kepala kemudian ditutup
dengan dua lapis” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363).
 Kafan untuk anak kecil
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
‫ولفافاتان قميص فيها يكفي والصغيرة‬
“Mayit anak kecil cukup dengan gamis dan dua lapis kafan” (Ad Durar Al
Mubtakirat, 1/438).
 Tidak diharuskan kain kafan dari bahan tertentu
Tidak ada ketentuan jenis bahan tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain
tersebut harus bisa menutupi mayit dengan bagus dan tidak tipis sehingga
menampakkan kulitnya.
Wewangian untuk kain kafan
Disunnahkan memberi wewangian pada kain kafan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ ‫َم ُر ْو ُّه ْالم َِي‬
ُّ ُ‫ت جَم ْرت‬
‫م إِ َذا‬ ِ ‫ثَلَثًا َفج‬
“Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga
kali” (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul
Janaiz no. 84).
Teknis Mengkafani Mayit
Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafanimayit:
‫َيج َعل تبخيرها بعد بيض لفائف ثَ َلث فِي رجل تكفين وَسن‬
ْ ‫بَينهَا فِيمَا الحنوط و‬
ْ ‫جوده ومواضع وَجهه منافذ على و‬
‫َالبَاقِي الييه بَين بِقطن َو ِم ْنه‬ ُ ‫س‬
ُ ّ‫طرف يرد ثم‬
‫الثانِيَة ثمّ االيسر على االيمن ثمّ االيمن شقه على االيسر ْالجَانِب من ْالعليا‬
‫َيج َعل َك َذلِك وَالثالِ َثة‬ ِ ‫ع ْند ْال َفا‬
ْ ‫ضل اكثر و‬ ِ ‫راسه‬
“Disunnahkan mengkafani mayit laki-laki dengan tiga lapis kain putih
dengan memberikan bukhur (wewangian dari asap) pada kain tersebut.
Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian diberikan pewangi
pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul, dan yang
lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain
ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan
ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga.
Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.
e. Menyegerakan pemakaman
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫س ِر ُع ْوا‬ ْ َ‫جنَا َز ِّة أ‬ ْ ِ‫ب‬, ‫ن‬
َ ‫ال‬ ّْ ‫ة تَ ُك‬
ّْ ‫ن َف ِإ‬ ًّ ‫ح‬
َ ِ‫خ ْيرّ صَال‬ ِّ ‫ َعلَ ْي‬, ‫ن‬
َ ‫ه تُ َق ِد ُم ْونَهَا َف‬ ّْ ِ‫نّ وَإ‬ ُ ‫ك‬
ْ ‫تك‬ َ ‫َف‬
َّ ِ‫شرّ َغ ْي َر َذل‬
ُّ َ‫ض ُعون‬
‫ه‬ َ َ‫ن ت‬ ّْ ِ‫ِر َقاب‬
ّْ ‫كم َع‬
“Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika ia termasuk orang-orang yang
berbuat kebaikan maka kalian telah menyajikan kebaikan kepadanya. Dan jika ia
bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah melepaskan
kejelekan dari pundak-pundak kalian.” (H.R.Bukhari:1315)
Berkata pengarang kitab Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib: “Perintah
menyegerakan di sini menurut jumhur ulama’ salaf dan mutaakhirin adalah
sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan: Tidak ada perselisihan di antara imam-imam
ahli ilmu dalam masalah kesunnahannya” (Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib :3/289
At Tabriziy, maktabah syamilah)
Syaikh Utsaimin mengatakan: “Berdasarkan penjelasan ini maka kita
mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka
mengakhirkan pemakaman jenazah sehingga datang kerabatnya… Mereka
menunggu selama satu atau sehari semalam agar kerabatnya datang. Pada
hakekatnya apa yang mereka lakukan ini adalah merupakan tindakan kejahatan
terhadap jenazah karena jenazah apabila termasuk orang yang baik ia
menginginkan untuk segera dikuburkan karena ia mendapatkan berita gembira
tentang surga ketika meninggal dunia. Dan apabila dikeluarkan dari rumahnya
maka jiwanya akan mengatakan:
‫قدموني‬
“Percepatlah untukku”
Yakni mendorong para pengusungnya agar mempercepat sampainya ke
kuburnya” (Syarh Mumti’:5/259, , Cet: Dar Ibnu Jauziy)
f. Segera melunasi utang-utangnya
Yakni hutang yang berkaitan dengan hak Allah seperti: zakat, kafarah, nazar
dan lain-lainnya ataupun hutang yang berkaitan dengan hak anak turun bani Adam
semisal hutang dari proses pinjam meminjam, jual beli, upah pekerja dan lain-
lainnya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
َ ‫ه ُي ْق‬
‫ضى حَتى‬ ُّ ‫س َع ْن‬
ُّ ‫ن نَ ْف‬ ُ ‫ه ُم َعل َقةّ ْال‬
ِّ ‫م ْؤ ِم‬ ِّ ِ‫بِ َدّْين‬
“Jiwa seorang mukmin bergantung dengan utangnya sehingga ditunaikan”
(Dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam Misykatul Mashabih:2915, maktabah
syamilah)
Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk
menunaikan hutang orang yang meninggal dunia dan pemberitaan bahwa jiwanya
bergantung dengan hutangnya sehingga ditunaikan.Dan ini terbatasi dengan orang
yang memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk menunaikan
hutangnya.Adapun orang yang tidak memiliki harta untuk menunaikan hutangnya
maka sungguh telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Allah
akan menunaikan hutangnya bahkan ada beberapa riwayat yang menjelaskan
bahwa apabila seseorang memiliki kecintaan untuk membayar hutangnya ketika
meninggal dunia maka Allah akan menanggung penunaian hutangnya walaupun ia
memiliki ahli waris yang tidak mau menunaikan hutangnya” (Nailul Authar:4/30,
cet:Dar al Wafa’)
Orang yang tidak mau menunaikan hutangnya akan disiksa di kuburnya
sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari jalur sahabat Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata:
‫ وحنطناه فغسلناه رجل توفي‬، ‫ليصلي ] وسلم عليه للا صلى [ للا رسول أتينا ثم‬
‫ عليه‬، ‫ خطى فخطا‬. ‫ قال ثم‬: ‘ ‫ قلنا ‘ ؟ دين عليه هل‬: ‫ قال ) ديناران ( نعم‬: ‘ ‫صلوا‬
‫ قتادة أبو فقال ‘ صاحبكم على‬: ‫ علي ديناران ! للا رسول يا‬. ‫صلى [ للا رسول فقال‬
‫ ] وسلم عليه للا‬: ‘ ‫ قال ‘ الميت وبرىء الغريم حق عليك هما‬: ‫ثم عليه فصلى نعم‬
‫ فقال الغد من لقيه‬: ‘ ‫ قال ‘ ؟ الديناران فعل ما‬: ‫ فقال‬: ‫ أمس مات إنما ! للا رسول يا‬.
‫ الغد من لقيه ثم‬، ‫ فقال‬: ‘ ‫ فقال ‘ ؟ الديناران فعل ما‬: ‫ قضيتهما قد ! للا رسول يا‬.
‫ فقال‬: ‘ ‫‘ جلده عليه بردت اآلن‬
“Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikan, mengkafani, dan
memberinya wewangian, kemudian kami mendatangi Rasulullah agar
menshalatinya . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangkah mendekatinya
lalu bersabda, ‘Barangkali Sahabat kalian ini masih mempunyai hutang?’ Orang-
orang yang hadir menjawab, ‘Ya ada, sebanyak dua dinar.’Maka Beliau
bersabda: “shalatilah saudara kalian. Abu Qatadah berkata, ‘Ya Rasululla
shalallahu ‘alaihi wa salam , hutangnya menjadi tanggunganku.’Maka beliau
bersabda, ‘Dua dinar hutangnya menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari
hartamu, sedangkan mayit ini terbebas dari hutang itu?’Abu Qatadah berkata,
‘Ya, benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian
menshalatinya.Pada esok harinya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
bertemu dengan abu Qatadah bertanya : “ apa yang dilakukan oleh dua dinar ?
Abu Qatadah mengatakan: Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dia baru
meninggal kemarin.Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pada esok
harinya kembali bertemu dengannya dan mengatakan , apa yang diperbuat oleh
dua dinar ?’ Akhirnya ia menjawab, ‘Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam.’ Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda, ‘Sekarang barulah kulitnya merasa dingin” (Dishahihkan oleh syaikh
AlBaniy dalam Ahkamul Janaiz:16, maktabah syamilah)
g. Segera menunaikan wasiatnya
Syaikh al Utsaimin dalam Asy Syarh Al Mumti’ mengatakan, para ahli ilmu
berkata: “seyogyanya wasiat ditunaikan sebelum jenazah dikuburkan….”.
Lalu beliau mengatakan: “Wasiat dengan sesuatu yang wajib hukumnya wajib
segera ditunaikan dan sesuatu yang sunnah hukumnya sunnah tetapi mempercepat
penunaiannya sebelum dishalati dan dikubur adalah sesuatu yang dituntut baik
yang wajib maupun yang sunnah “ (Syarh Mumti’:5/261, , Cet: Dar Ibnu Jauziy)
5. Solusi dan Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan dalam hadits menunjukkan dengan jelas bahwa
mayat seorang Muslim itu hendaknya segera dikuburkan, karena itu baik baginya dan
bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Namun jika ada alasan yang benar maka mengakhirkan atau menunda penguburan
mayat itu dibolehkan. Di antara alasan yang benar adalah menunggu banyaknya orang
yang akan menshalatkannya, menunggu waktu setelah shalat Jum’at karena meninggal
pada hari Jum’at, menunggu hingga sampai di kota Mekkah atau Madinah atau Baitul
Maqdis karena meninggal di dekat kota-kota tersebut, menunggu sampai daratan
karena meninggal di lautan, menunggu diotopsi, dan alasan-alasan lain yang
dibenarkan, termasuk di dalamnya menunggu kaum kerabat berdatangan sebagaimana
pertanyaan di atas.
Bahkan penguburan mayat kadang-kadang justru wajib ditunda untuk memastikan
kematiannya, seperti apabila ia meninggal mendadak atau karena tenggelam, atau
tabrakan atau terluka atau koma. Dalam kasus-kasus seperti itu mayat tidak segera
dikuburkan agar bisa dipastikan kematiannya terlebih dahulu secara medis.
Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa menunda penguburan mayat itu
dibolehkan dengan syarat mayat tersebut tidak sampai rusak atau membusuk dan
kehormatannya tetap terjaga.
Bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan
hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat
An-Nisa Ayat 58 yang Artinya: “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-
baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar,
Maha Melihat.”
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana
dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara
di pengadilan.
Autopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan di maksudkan
untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya di sebut juga obductie Di Indonesia
masalah bedah mayat atau autopsi diatur di dalam Pasal 134 Undang-undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan diperkuat oleh pasal 133
Jadi berdasarkan kasus pada skenario, sebaiknya dari pihak penyidik
memberitahukan pihak keluarga dengan sebaik mungkin bahwa demi kepentingan
hukum dan mengungkap tindak pidana atau kejahatan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia agar tidak ada lagi korban lainnya, maka tindakan otopsi sangat perlu
untuk dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Jazilatul Mu’ati. 1999. Kematian dalam Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel

https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-tinjauan-hukum-islam.html

1. Kitab Ahkâmul Maqâbir fî Syari’ah Islâmiyah, hlm. 232-233.


2. Majmû’Fatâwâ, Syaikh Bin Baz, 22/349-350.
3. Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 216.
4. Ahkâm Jirâhah Thibbiyyah wal-Atsar Mutarattibah ‘Alaiha, hlm. 118-119.
http://www.konsultasislam.com/2016/01/autopsi.html
Shiddiq Al Jawi, M. 2014. Makalah Kajian Akademik Hukum Bedah Mayat. Asosiasi Ilmu
Forensik Indonesia dan Departemen IKF &Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi:
Jakarta.
https://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/muhammad-tambrin-ini-pandangan-islam-seputar-
otopsi-jenazah
1. https://almanhaj.or.id/1427-mengakhirkan-penguburan-mayat-karena-menunggu-datangnya-
kerabat.html
2. Bukhari, Kitab Al-Janaiz, bab mempercepat prosesi jenazah 1315, dan Muslim, Al-Janaiz,
bab bersegera dalam mengurus mayat, 944.
3. Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah t. th.], Jilid II, h. 51
http://www.nu.or.id/post/read/79494/hukum-menunda-penguburan-jenazah
https://muslim.or.id/43876-fikih-pengurusan-jenazah-1-memandikan-dan-mengkafani.html
1. Yulian Purnama, Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Ilmu Komputer UGM, kontributor
web Muslim.or.id dan Muslimah.or.id
2. Ust. Zaenuddin Abu Qushaiy

Anda mungkin juga menyukai