SKENARIO
Sesosok mayat Mr.X ditemukan oleh warga tergeletak di belakang taman fasilitas umum
pada pukul 06.00 pagi. Dari hasil investigasi kepolisian di duga korban merupakan korban
penganiyayaan yang terjadi pada malam hari sebelumnya. Untuk memastikannya pihak
penyidik membawa mayat tersebut ke RS Bayangkara untuk di lakukan otopsi. Setelah
sampai di rumah sakit bayangkara, dokter forensic disana merencanakan melakukan
autopsy pada pukul 20.00 malam . Namun pada pukul 19.00 malam , keluarga Mr.x datang
dan ingin mengambil mayat tersebut karena ingin secepatnya di kuburkan agar tidak
melewati 5 waktu sholat.
II. Sasaran Pembelajaran
1. Mengindentifikasi dan menganalisis masalah yang ada dalam scenario
2. Menjelaskan Legal Reasoning yang terdapat dalam skenario
3. Menjelaskan Pandangan Islam tentang Kematian dan jenazah
4. Menjelaskan Dasar Hukum islam yang terkait dengan pemulasaran jenazah
5. Menetapkan Solusi dari masalah yang terdapat dalam scenario
III. Pertanyaan
1. Jelaskan pandangan Islam tentang kematian!
2. Identifikasi masalah
a. Bagaimana pandangan Islam dalam pelaksanaan otopsi?
b. Bagaimana pandangan Islam terkait penundaan pemakaman untuk kepentingan
otopsi?
3. Jelaskan Legal Reasoning terkait masalah pada skenario!
4. Jelaskan dasar hukum Islam terkait pemulasaran jenazah!
5. Jelaskan solusi dan kesimpulan dari masalah pada skenario!
IV. Pembahasan
1. Pandangan Islam tentang kematian
Kematian adalah putusnya hubungan manusia secara sempurna dari kehidupan dunia
menuju kehidupan akhirat.
Hakikat kematian dalam Al-Qur’an
a. Setiap orang akan merasakan kematian
Surat Al-Anbiya Ayat 35
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya
kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Tafsir : (Tiap-tiap yang berjiwa itu akan merasakan mati) di dunia
Ali Imran Ayat 185
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat
sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
Tafsir : Tiap jiwa akan merasakan kematian.
b. Kematian datang dan tak terhindarkan
Surat An-Nisa Ayat 78
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di
dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan,
mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu
bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu
(orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?
Tafsir : Kematian yang kalian takuti itu pasti akan datang di mana saja, walaupun
kalian berada di benteng yang sangat kokoh sekalipun.
Surat Al-Jumuah Ayat 8
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka
sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
Tafsir : Sesungguhnya kematian yang kalian hindari itu tidak akan dapat
terelakkan. Kematian itu pasti akan menemui kalian. Kemudian kalian akan
dikembalikan kepada Allah yang mengetahui semua yang gaib dan yang nyata. Dia
akan memberitahukan kalian segala apa yang telah kalian lakukan.
Qaf Ayat 19
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu
lari daripadanya.
Tafsir : (Dan datanglah sakaratul maut) yakni kesusahan dan rasa sakit yang
memuncak menjelang maut (dengan membawa kebenaran) yakni perkara akhirat,
hingga orang yang ingkar kepada hari akhirat dapat melihatnya secara nyata, hal ini
termasuk pula hal yang menyakitkan. (Itulah) kematian itu (hal yang kamu tidak
dapat menghindar darinya) yakni tidak dapat melarikan diri darinya.
c. Kematian adalah ketetapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Al An’am Ayat 2
Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal
(kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah
mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
Tafsir : Dialah yang mula-mula menciptakan kalian dari tanah, lalu menetapkan
bagi kehidupan tiap orang di antara kalian suatu umur tertentu. Hanya wewenang
Dia juga penentuan waktu pembangkitan dari kubur.
Al Mulk Ayat 2
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
Tafsir : (Yang menjadikan mati) di dunia (dan hidup) di akhirat, atau yang
menjadikan mati dan hidup di dunia. Nuthfah pada asalnya sebagai barang mati,
kemudian jadilah ia hidup; pengertian hidup ialah karena ia mempunyai perasaan.
Pengertian mati adalah kebalikannya. Pengertian lafal al-khalqu berdasarkan makna
yang kedua ini berarti memastikan (supaya Dia menguji kalian) atau mencoba
kalian di dalam kehidupan ini (siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya)
maksudnya yang paling taat kepada Allah. (Dan Dia Maha Perkasa) di dalam
melakukan pembalasan terhadap orang yang durhaka kepada-Nya (lagi Maha
Pengampun) kepada orang yang bertobat kepada-Nya.
2. Identifikasi masalah
a. Pandangan Islam dalam pelaksanaan otopsi
Bedah mayat sering juga juga disebut dengan otopsi, atau dalam bahasa Arab
disebut dengan jirahah attasyrih ( )جراحة التشریحyang berarti melukai, mengiris atau
operasi pembedahan. Bedah mayat oleh dokter Arab dikenal dengan istilah at
tashrih jistul al mauta. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah autopsy yang berarti
pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari sebab-sebab
kematianya.
Ada tiga macam jenis otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan
mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu
otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis
penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang
dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang
mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan
sebagainya.
Hukum Otopsi
Masalah Otopsi tentu saja belum termuat dalam literatur kitab-kitab Fiqih
klasik. Karena memang ini adalah permasalahan yang baru muncul diera modern.
Namun, kita bisa menjumpai pembahasan sedikit banyak ada kaitannya dengan
masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip, yakni hukum membedah perut wanita
hamil yang meninggal.
Mazhab Hanafiyah dan Syafi'iyah mengatakan dibolehkan membedah perut
wanita hamil yang meninggal dunia, dikarenakan janin di dalam perutnya masih
hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia hidup, meski
harus dengan merusak mayat. Namun mazhab Malikiyah dan AHanabilah tidak
membolehkan hal itu.
Dari sinilah kemudian para ulama kontemporer juga ternyata berbeda pendapat
dalam menyikapi hukum otopsi.Sebagian bersikukuh tetap mengharamkan,
sedangkan mayoritas ulama menghukumi boleh dengan catatan tertentu.
Kalangan yang membolehkan
Berangkat dari ijtihad tentang bedah perut mayat oleh para ulama di masa lalu,
kini para ulama modern mengambil kesamaan ‘illat dengan bedah mayat atau
otopsi mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan.
Mayoritas ulama menghukumi boleh asalkan terpenuhi semua syarat dan
ketentuannya. Setidaknya ada empat lembaga umat yang berkompeten dalam
masalah ini yang telah memberikan lampu hijau untuk dibolehkannya bedah mayat
ini, antara lain :
1) Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Lembaga ini pada Daurah yang kesembilan di tahun 1976 M (1397 H) telah
memberikan fatwa atas kebolehan praktek bedah mayat ini.
2) Majma’ Fiqih Islami di Mekkah Al-Mukarramah
Lembaga yang berpusat di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia ini
juga termasuk mengeluarkan fatwa atas keboleh praktek bedah mayat, pada
Daurah yang kesepuluh pada bulan Shafar tahun 1408 hijriyah bertepatan
dengan 17 Oktober 1987.
3) Lajnah Al-Ifta’ Kerajaan Jordan Al-Hasyimiyah
Lembaga fatwa milik kerajaan Jordan ini mengeluarkan fatwa atas kebolehan
bedah mayat pada tanggal 20 Jumada-Al-Ula 1397 hijriyah.
4) Lajnah Al-Ifta’ di Al-Azhar Mesir
Lembaga ini telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan bedah mayat
pada tahun 29 Februari 1971.
5) Beberapa ulama dunia
Sedangkan secara pribadi-pribadi, cukup banyak pula para ulama yang
mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat ini, diantaranya As-Syeikh
Hasanain Makhluf, Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, As-Syeikh
Ibrahim Al-Ya’qubi ,Dr. Mahmud Nadzhim An-Nusaimi, Dr. Muhammad Ali
As-Sarthawi dan lainnya. Di Indonesia MUI juga telah menurunkan fatwa
bolehnya Otopsi mayat yang memang dibutuhkan.
Untuk mengetahui status hukum terhadap tindakan otopsi mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan, dalam kajian hukum Islam
dapat menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyahsebagaimana yang diterapkan dalam
kaidah-kaidah berikut; Kaidah Pertama: “Kemudaratan yang khusus boleh
dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”.
Sebuah tindakan pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang
mengancam kepentingan publik atau mendatangkan mudharat ‘am. Untuk
menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka terhadap
pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bukti-
bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya harus diperkuat agar ia dapat
dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses pengadilan, untuk pembuktian itu
harus dengan melakukan otopsi atau membedah mayat korban.
Kaidah Kedua:“Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”.Berangkat
dari fenomena di atas, maka otopsi forensik sangat penting kedudukannya sebagai
metode bantu pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa
sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.
Kaidah Ketiga:“Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh
dalam kondisi hajat” Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman
dalam kondisi darurat, seperti halnya tidak adanya kemakruhan dalam kondisi hajat.
Maka jika otopsi di atas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-
satunya cara membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat, dan
karena itu status hukumnya dibolehkan. Kaidah Keempat:“Keperluan dapat
menduduki posisi keadaan darurat” Kaidah keempat di atas dapat memperkuat
argumentasi kaidah sebelumnya. Maka kaidah ini adalah hajat menempati
kedudukan darurat, baik hajat umum maupun hajat yang bersifat perorangan.
Kalangan yang Mengharamkan
Sedangkan sebagian kelompok ulama diantaranya Taqiyuddin An-Nabhani,
Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf berpendapat haramnya otopsi. Alasannya
karena otopsi pada hakikatnya melanggar kehormatan mayat, dan kalangan ini
berpegang kepada makna dzahir hadits yang melarang keras segala bentuk
aktivitas seperti otopsi.
“Berangkatlah berperang di jalan Allâh Azza wa Jalla dengan menyebut nama
Allâh Azza wa Jalla . Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah
kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian
memotong-motong mayat.” (HR Muslim)
“]Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-tayammumi], yaitu karena
adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu
kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah
menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika
dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga
orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena
dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka
yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil
Mukhtasharat, 1/435-436).
Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ ل مَيِ ًتا َغس
ّْ ل م
َن ِ َن َف ْلي َْغ َت
ّْ س ّْ ه َوم َ َف ْليَ َتوَضّْأ
ُّ َحمَل
“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan
barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu“. (HR Abu
Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71).
d. Mengkafani mayit
1) Hukum mengkafani mayit
Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu
kifayah. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu tentang
orang yang meninggal karena jatuh dari untanya, di dalam hadits tersebut Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Dalam hal ini telah ada hadits marfu’ (kafan seorang wanita adalah lima
helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul
(tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita
dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di
atas yang lain.” (Asy Syarhul Mumti’, 5/393).
Disunnahkan menambahkan sarung, jilbab dan gamis bagi mayit wanita.
Al Lajnah Ad Daimah mengatakan:
حولها وما العورة على باإلزار تكفينها يبدأ والمرأة, الجسد على قميص ثم, ثم
حوله وما الرأس على القناع, بلفافتين تلف ثم
“Mayit wanita dimulai pengkafananannya dengan membuatkan sarung
yang menutupi auratnya dan sekitar aurat, kemudian gamis yang menutupi
badan, kemudian kerudung yang menutupi kepala kemudian ditutup
dengan dua lapis” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah. 3/363).
Kafan untuk anak kecil
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan:
ولفافاتان قميص فيها يكفي والصغيرة
“Mayit anak kecil cukup dengan gamis dan dua lapis kafan” (Ad Durar Al
Mubtakirat, 1/438).
Tidak diharuskan kain kafan dari bahan tertentu
Tidak ada ketentuan jenis bahan tertentu untuk kain kafan. Yang jelas kain
tersebut harus bisa menutupi mayit dengan bagus dan tidak tipis sehingga
menampakkan kulitnya.
Wewangian untuk kain kafan
Disunnahkan memberi wewangian pada kain kafan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َّ َم ُر ْو ُّه ْالم َِي
ُّ ُت جَم ْرت
م إِ َذا ِ ثَلَثًا َفج
“Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga
kali” (HR Ahmad no. 14580, dishahihkan Al Albani dalam Ahkamul
Janaiz no. 84).
Teknis Mengkafani Mayit
Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafanimayit:
َيج َعل تبخيرها بعد بيض لفائف ثَ َلث فِي رجل تكفين وَسن
ْ بَينهَا فِيمَا الحنوط و
ْ جوده ومواضع وَجهه منافذ على و
َالبَاقِي الييه بَين بِقطن َو ِم ْنه ُ س
ُ ّطرف يرد ثم
الثانِيَة ثمّ االيسر على االيمن ثمّ االيمن شقه على االيسر ْالجَانِب من ْالعليا
َيج َعل َك َذلِك وَالثالِ َثة ِ ع ْند ْال َفا
ْ ضل اكثر و ِ راسه
“Disunnahkan mengkafani mayit laki-laki dengan tiga lapis kain putih
dengan memberikan bukhur (wewangian dari asap) pada kain tersebut.
Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian diberikan pewangi
pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul, dan yang
lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain
ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan
ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga.
Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.
e. Menyegerakan pemakaman
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
س ِر ُع ْوا ْ َجنَا َز ِّة أ ْ ِب, ن
َ ال ّْ ة تَ ُك
ّْ ن َف ِإ ًّ ح
َ ِخ ْيرّ صَال ِّ َعلَ ْي, ن
َ ه تُ َق ِد ُم ْونَهَا َف ّْ ِنّ وَإ ُ ك
ْ تك َ َف
َّ ِشرّ َغ ْي َر َذل
ُّ َض ُعون
ه َ َن ت ّْ ِِر َقاب
ّْ كم َع
“Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika ia termasuk orang-orang yang
berbuat kebaikan maka kalian telah menyajikan kebaikan kepadanya. Dan jika ia
bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan maka kalian telah melepaskan
kejelekan dari pundak-pundak kalian.” (H.R.Bukhari:1315)
Berkata pengarang kitab Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib: “Perintah
menyegerakan di sini menurut jumhur ulama’ salaf dan mutaakhirin adalah
sunnah. Ibnu Qudamah mengatakan: Tidak ada perselisihan di antara imam-imam
ahli ilmu dalam masalah kesunnahannya” (Tharhu at Tastrib syarh at Taqrib :3/289
At Tabriziy, maktabah syamilah)
Syaikh Utsaimin mengatakan: “Berdasarkan penjelasan ini maka kita
mengetahui kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mereka
mengakhirkan pemakaman jenazah sehingga datang kerabatnya… Mereka
menunggu selama satu atau sehari semalam agar kerabatnya datang. Pada
hakekatnya apa yang mereka lakukan ini adalah merupakan tindakan kejahatan
terhadap jenazah karena jenazah apabila termasuk orang yang baik ia
menginginkan untuk segera dikuburkan karena ia mendapatkan berita gembira
tentang surga ketika meninggal dunia. Dan apabila dikeluarkan dari rumahnya
maka jiwanya akan mengatakan:
قدموني
“Percepatlah untukku”
Yakni mendorong para pengusungnya agar mempercepat sampainya ke
kuburnya” (Syarh Mumti’:5/259, , Cet: Dar Ibnu Jauziy)
f. Segera melunasi utang-utangnya
Yakni hutang yang berkaitan dengan hak Allah seperti: zakat, kafarah, nazar
dan lain-lainnya ataupun hutang yang berkaitan dengan hak anak turun bani Adam
semisal hutang dari proses pinjam meminjam, jual beli, upah pekerja dan lain-
lainnya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
َ ه ُي ْق
ضى حَتى ُّ س َع ْن
ُّ ن نَ ْف ُ ه ُم َعل َقةّ ْال
ِّ م ْؤ ِم ِّ ِبِ َدّْين
“Jiwa seorang mukmin bergantung dengan utangnya sehingga ditunaikan”
(Dishahihkan oleh syaikh al Baniy dalam Misykatul Mashabih:2915, maktabah
syamilah)
Imam asy Syaukaniy berkata: “Di dalam hadits tersebut terdapat anjuran untuk
menunaikan hutang orang yang meninggal dunia dan pemberitaan bahwa jiwanya
bergantung dengan hutangnya sehingga ditunaikan.Dan ini terbatasi dengan orang
yang memiliki harta yang dapat dipergunakan untuk menunaikan
hutangnya.Adapun orang yang tidak memiliki harta untuk menunaikan hutangnya
maka sungguh telah datang hadits-hadits yang menunjukkan bahwasanya Allah
akan menunaikan hutangnya bahkan ada beberapa riwayat yang menjelaskan
bahwa apabila seseorang memiliki kecintaan untuk membayar hutangnya ketika
meninggal dunia maka Allah akan menanggung penunaian hutangnya walaupun ia
memiliki ahli waris yang tidak mau menunaikan hutangnya” (Nailul Authar:4/30,
cet:Dar al Wafa’)
Orang yang tidak mau menunaikan hutangnya akan disiksa di kuburnya
sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih dari jalur sahabat Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata:
وحنطناه فغسلناه رجل توفي، ليصلي ] وسلم عليه للا صلى [ للا رسول أتينا ثم
عليه، خطى فخطا. قال ثم: ‘ قلنا ‘ ؟ دين عليه هل: قال ) ديناران ( نعم: ‘ صلوا
قتادة أبو فقال ‘ صاحبكم على: علي ديناران ! للا رسول يا. صلى [ للا رسول فقال
] وسلم عليه للا: ‘ قال ‘ الميت وبرىء الغريم حق عليك هما: ثم عليه فصلى نعم
فقال الغد من لقيه: ‘ قال ‘ ؟ الديناران فعل ما: فقال: أمس مات إنما ! للا رسول يا.
الغد من لقيه ثم، فقال: ‘ فقال ‘ ؟ الديناران فعل ما: قضيتهما قد ! للا رسول يا.
فقال: ‘ ‘ جلده عليه بردت اآلن
“Seseorang telah meninggal, lalu kami segera memandikan, mengkafani, dan
memberinya wewangian, kemudian kami mendatangi Rasulullah agar
menshalatinya . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melangkah mendekatinya
lalu bersabda, ‘Barangkali Sahabat kalian ini masih mempunyai hutang?’ Orang-
orang yang hadir menjawab, ‘Ya ada, sebanyak dua dinar.’Maka Beliau
bersabda: “shalatilah saudara kalian. Abu Qatadah berkata, ‘Ya Rasululla
shalallahu ‘alaihi wa salam , hutangnya menjadi tanggunganku.’Maka beliau
bersabda, ‘Dua dinar hutangnya menjadi tanggunganmu dan murni dibayar dari
hartamu, sedangkan mayit ini terbebas dari hutang itu?’Abu Qatadah berkata,
‘Ya, benar.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kemudian
menshalatinya.Pada esok harinya ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
bertemu dengan abu Qatadah bertanya : “ apa yang dilakukan oleh dua dinar ?
Abu Qatadah mengatakan: Ya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dia baru
meninggal kemarin.Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pada esok
harinya kembali bertemu dengannya dan mengatakan , apa yang diperbuat oleh
dua dinar ?’ Akhirnya ia menjawab, ‘Aku telah melunasinya, wahai Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa salam.’ Kemudian Beliau shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda, ‘Sekarang barulah kulitnya merasa dingin” (Dishahihkan oleh syaikh
AlBaniy dalam Ahkamul Janaiz:16, maktabah syamilah)
g. Segera menunaikan wasiatnya
Syaikh al Utsaimin dalam Asy Syarh Al Mumti’ mengatakan, para ahli ilmu
berkata: “seyogyanya wasiat ditunaikan sebelum jenazah dikuburkan….”.
Lalu beliau mengatakan: “Wasiat dengan sesuatu yang wajib hukumnya wajib
segera ditunaikan dan sesuatu yang sunnah hukumnya sunnah tetapi mempercepat
penunaiannya sebelum dishalati dan dikubur adalah sesuatu yang dituntut baik
yang wajib maupun yang sunnah “ (Syarh Mumti’:5/261, , Cet: Dar Ibnu Jauziy)
5. Solusi dan Kesimpulan
Berdasarkan beberapa penjelasan dalam hadits menunjukkan dengan jelas bahwa
mayat seorang Muslim itu hendaknya segera dikuburkan, karena itu baik baginya dan
bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Namun jika ada alasan yang benar maka mengakhirkan atau menunda penguburan
mayat itu dibolehkan. Di antara alasan yang benar adalah menunggu banyaknya orang
yang akan menshalatkannya, menunggu waktu setelah shalat Jum’at karena meninggal
pada hari Jum’at, menunggu hingga sampai di kota Mekkah atau Madinah atau Baitul
Maqdis karena meninggal di dekat kota-kota tersebut, menunggu sampai daratan
karena meninggal di lautan, menunggu diotopsi, dan alasan-alasan lain yang
dibenarkan, termasuk di dalamnya menunggu kaum kerabat berdatangan sebagaimana
pertanyaan di atas.
Bahkan penguburan mayat kadang-kadang justru wajib ditunda untuk memastikan
kematiannya, seperti apabila ia meninggal mendadak atau karena tenggelam, atau
tabrakan atau terluka atau koma. Dalam kasus-kasus seperti itu mayat tidak segera
dikuburkan agar bisa dipastikan kematiannya terlebih dahulu secara medis.
Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa menunda penguburan mayat itu
dibolehkan dengan syarat mayat tersebut tidak sampai rusak atau membusuk dan
kehormatannya tetap terjaga.
Bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu upaya menetapkan
hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini berdasarkan Firman Allah SWT Surat
An-Nisa Ayat 58 yang Artinya: “Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-
baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha Mendengar,
Maha Melihat.”
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak pidana
dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur dalam proses perkara
di pengadilan.
Autopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan di maksudkan
untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya di sebut juga obductie Di Indonesia
masalah bedah mayat atau autopsi diatur di dalam Pasal 134 Undang-undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan diperkuat oleh pasal 133
Jadi berdasarkan kasus pada skenario, sebaiknya dari pihak penyidik
memberitahukan pihak keluarga dengan sebaik mungkin bahwa demi kepentingan
hukum dan mengungkap tindak pidana atau kejahatan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia agar tidak ada lagi korban lainnya, maka tindakan otopsi sangat perlu
untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Jazilatul Mu’ati. 1999. Kematian dalam Al-Qur’an. Surabaya : IAIN Sunan Ampel
https://almanhaj.or.id/4096-bedah-mayat-dalam-tinjauan-hukum-islam.html