Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

Otolaryngology Consultation Tracheostomies and


Complex Patient Population

Present By :
dr. Desnita Monica

Consultant :
Dr. dr. Fitri Hapsari Dewi, Sp. An

DEPARTMENT OF OTORHINOLARYNGOLOGY HEAD AND NECK


SURGERY FACULTY OF MEDICINE SEBELAS MARET UNIVERSITY
Dr. MOEWARDI HOSPITAL SURAKARTA
2024
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Journal Reading dengan judul


Otolaryngology Consultation Tracheostomies and Complex Patient Population

Oleh

Desnita Monica

S________

Pada Hari/Tanggal :
Tempat :

Mengetahui,
Pembimbing Journal Reading

Dr. dr. Fitri Hapsari Dewi, Sp. An

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
JURNAL ASLI.........................................................................................................4
ABSTRAK...............................................................................................................9
PENDAHULUAN..................................................................................................10
BAHAN DAN METODE......................................................................................10
HASIL....................................................................................................................12
DISKUSI................................................................................................................15
KESIMPULAN......................................................................................................18
CRITICAL APPRAISAL.......................................................................................19

3
4
5
6
7
8
Trakeostomi pada Rujukan Internal Layanan THT dan Populasi Pasien
yang Kompleks

Abstrak

Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai perbedaan pasien
rujukan internal yang menjalani trakeostomi oleh dokter spesialis THT
dibandingkan dokter spesialis lainnya.

Bahan dan Metode: Sebanyak 1035 trakeostomi yang dilakukan di University


of Kentucky dari Januari 2013 hingga November 2015 ditinjau secara
retrospektif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien yang berkontribusi
terhadap kesulitan prosedural telah ditinjau.

Hasil: Sebanyak 805 trakeostomi dilakukan secara berurutan. Dokter spesialis


THT melakukan 176 trakeostomi. Pasien yang mengalami obesitas tiga kali lebih
mungkin untuk dirujuk ke THT dibandingkan dengan dokter spesialis lainnya.
BMI rata-rata pada pasien THT adalah 36,38 kg/m2 dan 28,69 kg/m2 untuk
spesialis lainnya. Pasien dengan saluran napas bagian atas yang baik memiliki
peluang 5,5 kali lebih tinggi untuk dilakukan tindakan oleh dokter spesialis THT.
Konsultan THT melakukan 81,8% dari trakeostomi yang dilakukan secara sadar.
Terdapat proporsi yang lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan
penyakit diabetes, ginjal, paru dan kardiovaskular pada kelompok THT
dibandingkan dengan kelompok lainnya.

Kesimpulan: Trakeostomi yang lebih kompleks dirujuk dan dilakukan oleh


dokter spesialis THT di institusi penulis. Trakeostomi yang sulit dan menantang
tampaknya menjadi "standar" bagi para dokter spesialis THT

9
PENDAHULUAN
Trakeostomi adalah salah satu prosedur yang paling umum dilakukan di
rumah sakit. Sebanyak 10% pasien kritis menjalani trakeostomi untuk untuk
menangani kematian yang dapat terjadi akibat penyumbatan jalan napas.
Trakeostomi dapat mengurangi kebutuhan oksigenasi, memperpendek waktu
penyapihan dari ventilator dan waktu di ruang ICU. Dibandingkan intubasi
endotrakeal, keunggulan trakeostomi adalah menurunkan resistensi jalan napas,
dead space yang lebih kecil, kenyamanan pasien yang lebih besar dan
kebersihan paru yang lebih terjaga. Trakeostomi terbuka diterima secara luas
sebagai standar perawatan untuk jangka waktu lama dan sebagian besar
dilakukan di ruang operasi oleh dokter spesialis THT.
Munculnya trakeostomi perkutan dan "keengganan" dari dokter spesialis
THT untuk menggunakan prosedur ini telah menimbulkan pertanyaan tentang
peran THT di masa depan dalam tindakan trakeostomi Trakeostomi perkutan
sering dilakukan pada leher yang 'sesuai', kasus-kasus yang lebih rumit
seringkali dirujuk ke dokter spesialis THT. Hal ini merupakan konsensus umum
di antara para ahli THT dan merupakan dasar dari penelitian ini.
Pada penelitian ini, penulis mengeksplorasi secara objektif faktor-faktor
yang berhubungan dengan pasien yang terkait dengan trakeostomi yang
dilakukan oleh dokter spesialis THT dibandingkan dengan dokter spesialis lain
di institusi ini. Penulis berhipotesis bahwa trakeostomi yang dilakukan oleh
dokter spesialis THT memiliki kompleksitas yang lebih tinggi akibat
meningkatnya urgensi, anatomi yang sulit, dan peningkatan komorbiditas pasien.

BAHAN DAN METODE


Studi Karakteristik
Sebanyak 1.080 trakeostomi telah dilakukan di University of Kentucky,
sebuah pusat layanan akademik tersier, dari Januari 2013 hingga November
2015. Kriteria eksklusi adalah berusia di bawah 18 tahun, memiliki prosedur
yang salah dalam trakeostomi (misalnya penggantian selang trakeostomi); jika
terjadi operasi ulang, prosedur terbaru dan kejadian yang terkait diteliti ulang.

10
Trakeostomi dilakukan oleh beberapa dokter spesialis dalam kurun waktu
tersebut: Bedah Umum (termasuk Bedah Trauma), THT, Bedah Kardiotoraks,
Perawatan Kritis Paru, Perawatan Kritis Anestesi, dan Bedah Plastik.
Trakeostomi yang dilakukan oleh dokter spesialis THT dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu kelompok Konsultasi dan Primer. Trakeostomi yang dilakukan
atas permintaan dokter spesialis lain dimasukkan ke dalam kelompok
Konsultasi, sementara pasien yang dirawat langsung oleh dokter spesialis THT
dimasukkan ke dalam kelompok Primer. Peneliti hanya membandingkan
trakeostomi dalam kelompok Konsultasi dengan yang dilakukan oleh dokter
spesialis lain. Semua trakeostomi Primer yang dilakukan oleh THT dieksklusi
dengan tujuan untuk menganalisis kasus-kasus yang dirujuk ke THT, karena
dokter spesialis lain akan membuat keputusan kapan harus merujuk untuk
trakeostomi atau melakukan tindakan sendiri karena THT tidak akan merujuk
pasien primer untuk trakeostomi.
Operasi jalan napas yang menghalangi (seperti krisiotomi, baik yang
dilakukan oleh THT maupun tidak) tidak termasuk dalam penelitian ini karena
operasi ini dilakukan dalam kondisi yang sangat darurat. Satu-satunya kasus
darurat yang disertakan adalah kasus yang memerlukan trakeostomi mendesak
tetapi dirujuk ke THT atau layanan lainnya.
Data diperoleh melalui tinjauan data rekam medis elektronik dan disimpan
di basis data pusat. Data pasien meliputi demografi usia, jenis kelamin, indeks
massa tubuh (BMI), faktor risiko (merokok dan konsumsi alkohol),
komorbiditas, alasan pasien masuk rumah sakit (termasuk masalah saluran napas
bagian atas) dan jenis antikoagulan (aktif pada saat prosedur atau dihentikan).
BMI diklasifikasikan sebagai berat badan kurang (≤18,49 kg/m2), normal
(18,5-24,9 kg/m2), berat badan berlebih (≥25 kg/m2) dan obesitas (≥30,0 kg/m2).
Pasien obesitas berat memiliki BMI antara 35,0 kg/m2 dan 39,9 kg/m2 dengan
setidaknya satu komorbid terkait obesitas atau BMI ≥40 kg/m2. Komorbid
tersebut termasuk diabetes, hipotiroidisme, penyakit jantung, hipertensi,
penyakit pencernaan, penyakit ginjal, penyakit hati, penyakit pembuluh darah,
penyakit paru (selain intubasi kronis) dan stroke.

11
Penyakit komorbid dicatat jika merupakan penyakit kronis (misalnya
gangguan ginjal kronis) dan aktif pada saat masuk. Status antikoagulasi pada
saat prosedur juga dinilai: aspirin, clopidogrel dan warfarin dianggap dihentikan
jika dihentikan setidaknya 5 hari sebelum dilakukannya trakeostomi, dan
enoxaparin atau heparin jika dihentikan sebelum hari operasi. Data perioperatif
diperoleh dari laporan operasi, catatan perkembangan dan catatan bedah yang
dibuat oleh perawat, lokasi rumah sakit tindakan trakeostomi, teknik, jenis dan
ukuran trakeostomi yang dipasang, serta komplikasi (khususnya perdarahan).

Analisis Statistik

Dilakukan uji Chi-Square (dan uji Fisher’s jika diperlukan) untuk


membandingkan variabel kategorik. Variabel tersebut meliputi demografi
deskriptif serta karakteristik perioperatif pada pasien yang berkonsultasi dengan
dokter spesialis THT dan pasien yang menjalani trakeostomi oleh dokter spesialis
lain. Uji independent two sample T-Test ( dan uji Wilcoxon-Mann-Whitney jika
diperlukan) digunakan untuk membandingkan variabel kontinu. Regresi logistik
multipel dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang berpotensi
mempengaruhi pengambilan keputusan pasien yang berkonsultasi dengan THT.
Variabel yang signifikan dalam model regresi logistik univariat dimasukkan ke
dalam model penuh dan pemilihan model dilakukan untuk mengidentifikasi
variabel kritis dengan nilai Akaike Information Criteria (AIC) yang lebih rendah
yang menunjukkan kecocokan model yang lebih baik.

Tingkat signifikansi statistik ditetapkan pada 0,05 untuk semua uji, dan
semua analisis dilakukan dengan perangkat lunak SAS versi 9.4 Microsoft
Windows pada x64 (SAS Statistical Institute, Cary, NC).

HASIL
Karakteristik Pasien
Sebanyak 1.035 pasien trakeostomi diteliti: 57 pasien memenuhi kriteria

12
eksklusi (9,4%). Mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari
trakeostomi yang dilakukan pada rujukan internal THT dibandingkan dengan
yang dilakukan oleh layanan lain, sebanyak 173 pasien yang menjalani
trakeostomi primer dieksklusi. Oleh karena itu, total 805 pasien dimasukkan
dalam penelitian: 176 trakeostomi oleh dokter spesialis THT dan 629
trakeostomi yang dilakukan oleh dokter spesialis lain.
Rerata usia 55,3 tahun pada kelompok rujukan internal THT dan 56,4
tahun pada kelompok layanan lainnya. Perbedaan jenis kelamin tidak
signifikan secara statistik: 60,2% laki-laki dan 39,8% laki-laki di kelompok
rujukan internal THT dan 55,5% laki-laki serta 44,5% perempuan di
kelompok layanan lainnya (p = 0,2619). Pasien dari kelompok layanan lain
lebih cenderung merokok (p =0.0013), tetapi tidak ada perbedaan yang
ditemukan pada konsumsi alkohol (p = 0.5631). Lebih dari separuh pasien
yang melakukan rujukan internal THT mengalami obesitas dengan BMI ≥30
kg/m2 dibandingkan dengan 34,7% pada layanan lainnya. Proporsi pasien
obesitas yang tidak sehat (BMI ≥ 35 kg/m2 dengan setidaknya satu komorbid
atau BMI ≥40 kg/m2), juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok
rujukan internal THT (n = 75) dibandingkan dengan kelompok Lainnya (n =
110).

Komorbid Pasien
Komorbiditas awal pasien dinilai secara univariat dan dirangkum untuk
kedua kelompok. Jika dibandingkan dengan penyakit lain, pasien dari kelompok
rujukan internal THT lebih cenderung memiliki diabetes (40,3% vs 28,9%, p =
0,0004), hipotiroidisme (14,8% vs 7,0%, p = 0,0012), penyakit kardiovaskular
(43,8% vs 34,3%, p = 0,0012), penyakit jantung (43,8% vs 34,3%, p = 0,0012).
0%, p = 0,0012), penyakit kardiovaskular (43,8% vs 34,3%, p = 0,0218), penyakit
ginjal (24,4% vs 12,6%, p = 0,0001) dan penyakit paru (43,2% vs 33,4%, p =
0,0164). Lebih banyak pasien stroke yang menjalani trakeostomi oleh layanan
lain (p = 0,0042). Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan untuk
hipertensi, penyakit hati atau pembuluh darah.

13
Hubungan antara faktor-faktor potensial dan pengambilan keputusan untuk
rujukan internal THT
Untuk menentukan faktor-faktor potensial yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan rujukan internal THT, dilakukan regresi logistik multipel.
Dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas, pasien obesitas tiga kali lebih
mungkin dirujuk ke THT untuk menjalani trakeostomi. Pasien dengan gangguan
saluran napas bagian atas memiliki peluang lima kali lebih tinggi untuk dirujuk ke
THT. Pasien dengan hipotiroid atau penyakit ginjal lebih mungkin dikirim ke
THT. Sebaliknya, pasien stroke secara statistik lebih kecil kemungkinannya untuk
dirujuk ke THT.

Pengaturan operasi pasien


Lima belas pasien (8,5%) dari kelompok pasien rujukan internal THT
menjalani trakeostomi untuk kegawatdaruratan saluran napas bagian atas
dibandingkan sepuluh pasien (1,6%) pada kelompok layanan lain. Secara
keseluruhan, 515 pasien (81,9%) menjalani trakeostomi perkutan, sementara 114
pasien (18,1%) menjalani trakeostomi terbuka di ruang operasi dari kelompok
layanan lain. Sebagai perbandingan, pasien dari kelompok rujukan internal THT
memiliki proporsi trakeostomi perkutan yang jauh lebih rendah (1,7%) tetapi
proporsi trakeostomi terbuka di ruang operasi lebih tinggi (98,3%). Di antara 173
pasien yang menjalani trakeostomi terbuka pada kelompok rujukan internal THT,
9 trakeostomi dilakukan dengan pasien sadar (5,2%), sementara hanya 2 dari 173
(1,2%) trakeostomi terbuka sadar yang dilakukan dari layanan lain.
Operasi trakeostomi terbuka pada kelompok rujukan internal THT
memiliki lebih banyak pasien dengan hipotiroidisme (p = 0,005), penyakit ginjal
(p = 0,005), dan obesitas yang tidak wajar (BMI rata-rata untuk kelompok
rujukan internal THT 36,38 kg/m2 vs 29,41 kg/m2 untuk kelompok layanan lain).
Kami juga membandingkan trakeostomi terbuka pada kelompok rujukan internal
THT dengan trakeostomi perkutan pada kelompok layanan lain; lebih banyak
pasien rujukan internal THT yang secara signifikan ditemukan menderita

14
diabetes, hipotiroidisme, penyakit ginjal, penyakit paru, dan obesitas.

Status antikoagulasi pasien dan komplikasi perdarahan


Sebanyak 77 pasien dari kelompok rujukan internal THT menggunakan
antikoagulan, sementara 414 pasien dari kelompok layanan lain menggunakan
antikoagulan. Pasien yang menggunakan enoxaparin (10,3% vs 2,8%) dan
heparin (43,9% vs 22,7%) lebih banyak dari kelompok layanan lain. Tidak ada
perbedaan signifikan pada penggunaan aspirin 81 mg, aspirin 325 mg, clopidogrel
dan warfarin di antara dua kelompok.
Data perdarahan intraoperatif dan pascaoperasi juga dievaluasi. Tidak ada
perbedaan yang signifikan pada tingkat perdarahan saat menganalisis periode
waktu saja (intraoperatif, <1 minggu pascaoperasi, atau >1 minggu pascaoperasi)
atau tingkat keparahan perdarahan (perdarahan yang keluar selama tindakan,
perdarahan yang setelah tindakan) di antara kedua kelompok.

DISKUSI
Trakeostomi telah berkembang secara signifikan dari waktu ke waktu, dari
prosedur terbuka yang dilakukan di ruang operasi menjadi prosedur perkutan
yang dilakukan di samping tempat tidur pasien. Trakeostomi elektif yang
dilakukan di ruang operasi pada pasien dewasa yang diintubasi adalah contoh
trakeostomi yang mudah. Sebaliknya, trakeostomi darurat yang dilakukan di
samping tempat tidur pada pasien dengan leher pendek adalah contoh
trakeostomi yang sulit.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien berupa komorbiditas dan
obat-obatan hingga anatomi leher. Penyakit penyerta termasuk penyakit paru
lanjut, sirosis, penyakit kardiovaskular dan ginjal. Anatomi yang sulit termasuk
kifosis, tulang rawan krikoid letak rendah, neoplasma (jinak atau ganas) yang
menghalangi akses langsung ke trakea, obesitas, riwayat pembedahan pada leher
(seperti tiroidektomi), riwayat terapi radiasi pada leher, adanya gondok tiroid,
stenosis subglotis, stenosis trakea, atau pergeseran trakea. Obat-obatan,

15
khususnya antikoagulan, menjadi penyulit trakeostomi.
Faktor-faktor yang terkait dengan prosedur tindakan meliputi urgensi
trakeostomi, keahlian tim yang melakukan prosedur, tempat pembedahan
dilakukan (di samping tempat tidur atau di ruang operasi) dan ketersediaan
instrumen pembedahan (misal: pengisap, pengait trakea). Trakeostomi secara
sadar pada pasien stridulous dengan kanker laring adalah contoh trakeostomi
yang sulit.
Dalam penelitian ini, dilakukan 176 trakeostomi yang merupakan rujukan
dari spesialis lain ke spesialis THT (rujukan internal). Hanya ada 3 trakeostomi
perkutan yang dilakukan oleh dokter spesialis THT selama jangka waktu
tersebut. Trakeostomi perkutan umumnya dilakukan oleh dokter spesialis lain,
terutama bedah umum dan paru. Pada tahun 2012, Kornblith dkk. memeriksa
1000 pasien yang menjalani trakeostomi perkutan yang lebih rumit, termasuk
pasien dengan cedera cervical. Penelitian menunjukkan tingkat komplikasi yang
rendah dan bahkan menganjurkan trakeostomi perkutan sebagai gold standard.
Meskipun jumlah trakeostomi yang dilakukan secara sadar dalam
kelompok ini rendah (n = 11), layanan THT kami melakukan 81,8% (n = 9) di
antaranya, dan hal ini dengan jelas menyoroti pentingnya dokter spesialis THT
sebagai "ahli jalan napas". Jumlah trakeostomi yang dilakukan secara sadar oleh
layanan THT lebih tinggi selama periode ini, tetapi sebagian besar tidak dirujuk
kepada THT (misalnya trakeostomi primer untuk pasien yang dirawat inap
karena tumor laring yang menghalangi), sehingga tidak termasuk dalam
penelitian ini.
Beberapa penyakit penyerta memengaruhi kesulitan trakeostomi. Pasien
dengan obesitas, dua dan tiga kali lebih mungkin untuk dirujuk ke THT. Hal ini
mendukung hipotesis kami karena operasi pada pasien-pasien ini meningkatkan
kesulitan tindakan trakeostomi. Penyakit penyerta lainnya adalah hipotiroidisme,
ginjal (penyakit ginjal stadium akhir), dan penyakit paru (PPOK/asma). Banyak
pasien stroke yang tidak dirujuk ke poli THT karena pasien stroke cenderung
menjalani trakeostomi perkutan pada saat yang sama dengan pemasangan selang
gastrostomi endoskopi perkutan di samping tempat tidur oleh ahli bedah umum

16
di institusi kami.
Peneliti membandingkan trakeostomi berdasarkan teknik pembedahan
yang digunakan, yakni bedah terbuka dan perkutan. Tujuannya adalah untuk
mengeliminasi teknik pembedahan sebagai faktor perancu.

Penelitian kami tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan


antara tingkat perdarahan pada trakeostomi kelompok yang dirujuk ke poli THT
dengan trakeostomi pada kelompok yang dilakukan oleh spesialis lain. Hal ini
konsisten dengan data yang dipublikasikan saat ini: tingkat perdarahan
trakeostomi terbuka versus perkutan telah dipelajari secara ekstensif dan
tinjauan Cochrane menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan.
Dokter spesialis THT melakukan downsize pada trakeostomi secara
signifikan lebih awal dibandingkan dokter spesialis lainnya, tetapi hal ini tidak
mempengaruhi tingkat dekannulasi. Pada penelitian ini, dokter spesialis THT
akan mengevaluasi kemungkinan downsize pada hari kelima pasca operasi.
Dokter spesialis lain memiliki protokol untuk melakukan downsize, yakni
menunggu dua minggu sebelum mempertimbangkan downsize. Namun, tingkat
dekannulasi lebih rendah pada pasien yang dirujuk ke THT. Hal ini dapat

17
berhubungan dengan kecilnya kemungkinan dekannulasi pada pasien dengan
komorbiditas yang meningkat, seperti obesitas atau penyakit paru kronis.
Penurunan tingkat dekannulasi pada pasien obesitas telah ditetapkan sebelumnya
dalam literatur
Keterbatasan dari penelitian ini berkaitan dengan sifat retrospektif dan
fakta bahwa penelitian ini dilakukan di satu institusi akademik yang belum tentu
mewakili praktik yang ada di institusi lain. Komorbiditas diperoleh dari rekam
medis pada saat masuk; namun tingkat keparahan setiap kondisi tidak dapat
diperoleh dari rekam medis. Sebagai contoh, pasien yang menderita PPOK dapat
berkisar dari tahap penyakit yang ringan hingga yang lebih parah atau hipertensi
yang terkontrol dengan baik mungkin masih labil pada saat prosedur. Meskipun
kami mempertimbangkan untuk menggunakan Indeks Komorbiditas Charlson
dalam desain penelitian awal, kami merasa dengan besarnya penelitian ini, hal
ini dapat meningkatkan ketidakakuratan karena beberapa data mungkin
terlewatkan (misalnya demensia, AIDS, penyakit rematologi) atau mungkin
tidak menambah kesulitan trakeostomi (misalnya demensia). Penelitian
selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan skala keparahan ICU
untuk analisis seperti Indeks Komorbiditas Charlson atau skor APACHE. Selain
itu, alasan spesifik untuk konsultasi khusus untuk trakeostomi jarang dicatat oleh
layanan konsultasi (misalnya obesitas morbid, gagal ginjal, keterbatasan
anatomi, preferensi perawatan kritis) dan sebagian besar dilaporkan sebagai
gagal napas kronis.

KESIMPULAN
Dengan semakin banyaknya trakeostomi, perkutan atau terbuka, yang
dilakukan oleh layanan lain, pasien yang berisiko tinggi dan kompleks sangat
sering dirujuk dan dioperasi oleh dokter spesialis THT, tanpa peningkatan
komplikasi perdarahan yang signifikan. Trakeostomi yang sulit tampaknya
menjadi "standar" bagi ahli THT.

18
CRITICAL APPRAISAL
Otolaryngology Consultation Tracheostomies and Complex Patient
Population

GENERAL DESCRIPTION
1. Design : Retrospective cohort study.
2. Sample : A total 805 patients were included in the analysis: 176
Otolaryngology Consults and 629 tracheostomy done by other services
(Others) between January 2013 through November 2015
3. Title : Otolaryngology Consultation Tracheostomies and Complex Patient
Population
4. Authors : Written clearly with an explanation of the author's institutional
affiliation and the corresponding author
5. Abstract : Clear and structured. It has a brief introduction, clear research
objectives, interventions for each treatment group and a detailed
description of the results, with clear research conclusions.

PICO
1. Patient: A total 805 patients were included in the analysis: 176
Otolaryngology Consults and 629 tracheostomy done by other services
(Others) between January 2013 through November 2015
2. Intervention: Open tracheostomy in operating room and percutaneous
tracheostomy in bed side
3. Comparison: Tracheostomies performed by the otolaryngology consult
service compared to other specialty services at our institution.
4. Outcome: More complex tracheostomies are being referred to and
performed by otolaryngology at our institution. Difficult and challenging

19
tracheostomies seem to be the “standard” for otolaryngologists.

VIA ANALYSIS
1. Validity: The study obtained ethical approval and stated inclusion-
exclusion criteria and sampling technique and explained any patient
exclusions from analysis in the study. Informed consent was obtained
from all the participant in the study. This research was conducted with
thorough methodological analysis and the outcomes measured in a
reliable way, so the bias was minimized. Therefore, this research can
be considered fully valid.
2. Importance: This journal is important because it provides an
explanation of the differences in patients undergoing tracheostomy by
the otolaryngology consult service versus other specialties.
3. Applicability: This cohort study has a sizeable population, but it was
conducted at a single academic institution as this may not necessarily
represent the current practices at other institutions.

20
CRITICAL APPRAISAL CHECKLIST

Unclea
Yes No NA
r

Were the two groups similar and


recruited from the same V □ □ □
population?

Were the exposures measured


similarly to assign people to both
exposed and unexposed groups? V □ □ □

Was the exposure measured in a


valid and reliable way?
V □ □ □

Were confounding factors


identified?
V □ □ □

Were strategies to deal with


confounding factors stated?
V □ □ □

Unclea
Yes No NA
r
Were the groups/participants free
of the outcome at the start of the
study (or at the moment of
V □ □ □
exposure)?

21
Were the outcomes measured in a
V □ □ □
valid and reliable way?

Was the follow up time reported


and sufficient to be long enough for
outcomes to occur? V □ □ □

Yes No Unclear NA

Was follow up complete, and if not, were the reasons


to loss to follow up described and explored?
V □ □ □

Were strategies to address incomplete follow up


utilized?
V □ □ □

Was appropriate statistical analysis used?


V □ □ □

22

Anda mungkin juga menyukai